Identifikasi Daun Ganja Berdasarkan Fitur Daun Menggunakan Gray Level Co-occurrence Matrix Dan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

  

Identifikasi Daun Ganja Berdasarkan Fitur Daun

Menggunakan Gray Level Co-occurrence Matrix Dan

Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

  1

  2

  3 Liza Angriani , Nur Ain Banyal , Surianti

AMIK Umel Mandiri Jayapura

  

  

  

  

Abstrak

  Tanaman ganja yang sengaja ditanam oleh masyarakat pada umumnya diselingi dengan tanaman singkong atau di tengah-tengah lahan tanaman singkong karena selain mirip secara morfologi, daun tanaman singkong juga dapat menutupi adanya tanaman ganja di lahan tersebut. Oleh karena itu, pada penelitian ini pengunaan tanaman singkong dipakai sebagai data pembanding yang dianggap cukup mewakili untuk mengenal fitur daun ganja dan mengidentifikasikannya. Pengenalan tanaman berbantuan komputer merupakan tugas yang masih sangat menantang dalam visi komputer karena kurangnya model atau skema representasi yang tepat. Pada penelitian ini, Gray Level Co-Occurrence Matrix (GLCM) akan digunakan untuk ekstraksi citra daun dan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation (JST-BP) untuk pencocokan basis data citra terhadap input citra yang akan diidentifikasi. Hasil uji coba sistem identifikasi menunjukkan tingkat akurasi sebesar 83,33 % dengan kombinasi persentasi data latih 80% dan data uji 20 % dari total keseluruhan data, dimana jumlah data daun ganja dan daun singkong yang digunakan masing-masing sebanyak 30 citra.

  Kata Kunci: Daun Ganja, Gray Level Co-occurrence Matrix, Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation.

1. Pendahuluan

  Tanaman ganja merupakan salah satu tanaman bahan baku narkotika yang paling banyak disalahgunakan. Biji dan daun ganja dapat diproses menjadi narkotika yang umumnya dicampur pada rokok dan makanan. Ganja memilki efek yang berbahaya bagi tubuh seperti paranoid, halusinasi, kesenangan tidak jelas, kebingungan, pernapasan, candu/ketergantungan dan lain-lain. Namun walaupun memilki efek yang berlebihan, ganja dapat dimanfaatkan menjadi obat alternatif dengan takaran/pemakaian yang tepat.

  Tanaman ganja berasal dari tanaman pada famili cannabaceae dan genus cannabis serta memiliki tiga spesies yaitu cannabis sativa l., cannabis indica l., dan cannabis ruderalis. Sehingga pada penelitian ini tiga spesies tersebut yang digunakan sebagai data inputan dalam bentuk citra yang pemilihannya dilakukan secara acak. Selain itu, pemilihan acak didasari oleh tanaman ganja yang tumbuh liar atau sengaja ditanam oleh masyarakat tidak diperhatikan jenis atau spesiesnya karena yang penting bagi masyarakat adalah yang bisa menghasilkan uang.

  Tanaman ganja yang sengaja ditanam oleh masyarakat pada umumnya didapati ditanam diselingi dengan tanaman singkong atau di tengah-tengah lahan tanaman singkong karena selain mirip secara morfologi tanaman singkong jika berusia 5 bulan setelah tanam akan mencapai tinggi kurang lebih 3 meter sehingga dengan morfologi tanaman singkong tersebut keberadaannya dapat menutupi adanya tanaman ganja di lahan tersebut karena tanaman ganja pada usia tersebut hanya mencapai tinggi kurang lebih 2 meter.

  Salah satu kejadian yang pernah terjadi menurut data BNN (2014) pada tahun 2010 pernah ditemukan di Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan lahan tanaman ganja seluas 4 hektar yang ditanam di sela-sela tanaman singkong dan Kabupaten Bandung Jawa Barat juga ditemukan lahan tanaman ganja seluas 1 hektar yang ditanam di sela-sela tanaman singkong.

  Bentuk daun singkong yang menjari sehingga hampir mirip dengan daun ganja dan sulitnya mengenal tanaman ganja pada usia 1 minggu setelah tanam karena sangat mirip dengan tanaman singkong. Sehingga perlu dilakukan pencegahan sedini mungkin sebelum tanaman ganja memasuki masa panen. Oleh karena itu dalam penelitian ini pengunaan tanaman singkong dipakai sebagai data pembanding didasarkan pada keadaan nyata dilapangan atau di lingkungan masyarakat sehingga dianggap cukup mewakili untuk mengenal fitur daun ganja dan mengidentifikasikannya.

  Pada penelitian ini, Gray Level Co-Occurrence Matrix (GLCM) akan digunakan untuk ekstraksi citra daun dan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation (JST-BP) untuk pencocokan basis data citra terhadap input citra yang akan diidentifikasikankan..

2. Tinjauan Pustaka

  2.1. Ekstraksi Ciri dengan GLCM

  Ekstraksi ciri merupakan langkah awal dalam melakukan klasifikasi dan interpretasi citra. Proses ini berkaitan dengan kuantisasi karakteristik citra ke dalam sekelompok nilai ciri yang sesuai. Analisis tekstur lazim dimanfaatkan sebagai proses antara untuk melakukan klasifikasi dan interpretasi citra. Manusia mengenal tekstur seperti lembut dan kasar walaupun tangan tidak menyentuh benda tersebut, tapi otak mampu membedakan hal tersebut melalui visualisasi yang ditangkap oleh mata. Tekstur dapat dicirikan sebagai berikut: a.

  Pengulangan pola dari variasi lokal sehingga membentuk kesatuan yang utuh b.

  Menyediakan informasi susunan spasial dari warna dan intensitas citra c. Dicirikan dengan distribusi spasial dari level intensitas dari nilai pixel ketetanggaan d.

  Tidak bisa didefinisikan sebagai suatu satu point/nilai tertentu karena merupakan sebuah pola atau kesatuan.

  Gambar 1. Tekstur dengan Tingkat Nilai Piksel yang Sama Pada Gambar 1. menunjukkan tekstur sebuah citra yaitu terdiri dari 50% hitam dan 50% putih. Uji statistik standar seperti mean dan standar deviasi tidak akan mampu membedakan ketiga citra tersebut karena akan menghasilkan nilai yang sama. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa tekstur merupakan suatu pengulangan pola dan distribusi spasial. Artinya ketiga citra tersebut mempunyai tingkat intensitas nilai pixel yang sama tapi mempunyai distribusi spasial yang berbeda.

  Suatu proses klasifikasi citra berbasis analisis tekstur pada umumnya membutuhkan tahapan ekstraksi ciri, yang salah satunya dapat dianalisis menggunakan metode struktural. Analisis dengan metode ini menggunakan deskripsi primitif tekstur dan aturan sintaktik. Metode struktural banyak digunakan untuk pola- pola makrostruktur. Berdasarkan orde statistiknya, analisis tekstur dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu analisis tekstur orde satu, orde dua, dan orde tiga. Pada penelitian ini menggunakan analisis tekstur orde dua. Statistik orde kedua mempertimbangkan hubungan antara dua piksel (piksel yang bertetangga) pada citra. Untuk kebutuhan analisanya, analisis tekstur orde dua memerlukan bantuan matriks kookurensi (matrix co- occurence) untuk citra keabuan, biasanya disebut GLCM. Analisa tekstur orde dua lebih baik dalam merepresentasikan tekstur citra dalamparameter-parameter terukur, seperti kontras, korelasi, homogenitas, entropi, dan energi. Matriks kookurensi merupakan matriks bujursangkar dengan jumlah elemen sebanyak kuadrat jumlah level intensitas piksel pada citra. Setiap titik (i,j) pada matriks kookurensi berorientasi berisi peluang kejadian piksel bernilai i bertetangga dengan piksel bernilai j pada jarak d serta orientasi sudut (180−θ).

  2.2. JST Backpropagation

  Metode backpropagation merupakan salah satu algoritma yang sering digunakan dalam menyelesaikan masalah-masalah rumit hal ini dimungkinkan karena jaringan dengan algoritma ini dilatih dengan menggunakan metode belajar terbimbing. Yang mana pelatihan terbimbimbing pada dasarnya mengasumsikan tersedianya pembimbing yang mengklasifikasikan contoh-contoh pelatihan ke dalam kelas-kelasnya.

  Pada jaringan diberikan sepasang pola yang terdiri atas pola masukan dan pola keluaran. Ketika suatu pola diberikan pada suatu jaringan, bobot-bobot diubah untuk memperkecil perbedaan pola keluaran dan pola yang diinginkan. Latihan ini dilakukan berulang-ulang sehingga semua pola yang keluarkan jaringan dapat memenuhi pola yang diinginkan.

  Algoritma pelatihan JST berbasis backpropagation terdiri atas dua langkah, yaitu perambatan maju dan mundur. Langkah perambatan maju dan perambatan mundur dilakukan pada jaringan untuk setiap polayang dibeikan selama jaringan mengalami pelatihan.

  Pada langkah perambatan maju, perhitungan bobot-bobot neuron hanya didasarkan pada vektor masukan, sedangkan perambatan mundur, bobot-bobot diperhalus dengan memperhitungkan nilai target atau keluaran.

  Gambar 2. Lapisan Jaringan Backpropagation (Sumber: Cheng, 2014) Pada perambatan galat maju dimulai dengan memberikan pola masukan ke lapisan masukan.

  Pola masukan ini merupakan nilai aktivasi unit-unit masukan. Dengan melakukan permabatan maju dihitung nilai aktivasi pada unti-unit lapisan berikutnya. Pada setiap lapisan, tiap unit pengolahan melakukan penjumlahan berbobot dan menerapkan fungsi aktivasi sigmoid untuk menghitung keluarannya

  Jaringan perambatan mundur terdiri atas tiga lapisan atau lebih unit pengolah. Pada Gambar 2. menunjukan jaringan perambatan galat mundur dengan tiga lapis pengolah, bagian bawah sebagai masukan, bagian tengah disebut sebagai lapisan tersembunyi (hidden layer) dan bagian atas disebut sebagai lapisan keluaran. Ketiga lapisan ini terhubung secara penuh.

  3. Metode Penelitian Rancangan sistem yang akan dikembangkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.

  Gambar 3. Diagram Alur Perancangan Sistem Adapun penjelasan dari Diagram Alur Perancangan Sistem sebagai berikut: a. Load Citra Daun Ganja dan Singkong (sebagai Citra Pembanding).

  Sebelum melakukan image preprocessing, citra yang akan digunakan harus di-resize tujuannya untuk mempercepat proses komputasi. Kemudian di-cropping dengan tujuannya untuk mempersempit

  background pada citra. Sehingga citra yang diperoleh berukuran 150 x 150 piksel. Data citra daun ganja dan daun singkong sebagai pembanding masing-masing sebanyak 30 citra dengan format JPG.

  b.

  Grayscale

  Grayscaling adalah teknik yang dilakukan untuk mengubah citra berwarna yang mana pada citra

  berwarna tiap pikselnya terdiri tiga nilai yaitu red green blue (RGB) menjadi bentuk grayscale atau tingkat keabuan (dari hitam ke putih). Dengan pengubahan ini matriks penyusun citra yang sebelumnya tiga matriks akan menjadi satu matriks. Dengan mengunakan persamaan berikut.

  0.2989*R + 0.5870*G + 0.1140*B (1) Mengubah sampel image dari image RGB menjadi image grayscale dilakukan untuk mempermudah proses pelatihan (training). karena dapat menyederhakan model citra agar nilai yang dihasilkan tidak beragam. Image Grayscale akan menjadi masukan pada tahapan ekstraksi fitur GLCM.

  c.

  Ekstraksi Fitur GLCM GLCM adalah metode analisis tekstur citra orde kedua yang didapatkan dengan menghitung probabilitas hubungan ketetanggaan antara dua piksel pada jarak dan orientasi sudut tertentu. Pada GLCM, elemen- elemen suatu matriks merupakan jumlah pasangan piksel yang memiliki tingkat kecerahan tertentu, di mana pasangan piksel itu terpisah dengan jarak d dan sudut inklinasi θ. Dengan kata lain, matriks kookurensi adalah probabilitas munculnya gray level i dan j dari dua piksel yang terpisah pada jarak d dan sudut θ. Suatu piksel yang bertetangga yang memiliki jarak d diantara keduanya, dapat terletak di delapan arah yang berlainan, hal ini ditunjukkan pada Gambar 5.

  Gambar 4. Hubungan Ketetanggaan antar Piksel sebagai Fungsi Orientasi dan Jarak Spasial (Sumber: Ganis, 2011)

  Arah orientasi sudut yang dibentuk dalam empat arah dengan interval sudut 45°, yaitu 0°, 45°, 90°, dan 135°. Sedangkan jarak antar piksel biasanya ditetapkan sebesar 1 piksel, 2 piksel, 3 piksel dan seterusnya. Alur tahapan ekstraksi fitur GLCM dapat dilihat pada Gambar 5.

  Gambar 5. Alur Tahapan Ekstraksi Fitur

4. Hasil dan Pembahasan

  4.1. Ekstraksi Fitur

  Hasil ekstraksi fitur GLCM untuk 30 data daun ganja dan 30 data daun singkong (sebagai data pembanding) berdasarkan variabel fitur contrast (C), correlation (Cr), energy (E), dan homogenity (H) pada sudut 45 dan 135 diperlihatkan pada tabel berikut:

  Tabel 1. Range Nilai Hasil Ekstraksi Fitur Daun Ganja Sedangkan range nilai ekstraksi fiturnya utuk keempat jenis variable fitur daun singkong diperlihatkan pada Tabel 2.

  Tabel 2. Range Nilai Hasil Ekstraksi Fitur Daun Singkong Pada Tabel 1 dan Tabel 2 dapat dilihat perbedaan range nilai hasil ekstraksi fitur daun ganja dan singkong sehingga bisa dijelaskan bahwa adanya perbedaan fitur daun pada daun ganja dan singkong. Fitur

  

Contrast adalah untuk melihat intensitas antara nilai-nilai tertinggi (terang) dan nilai-nilai terendah (gelap)

dari piksel yang saling berdekatan.

  4.2. Identifikasi JST-BP

  Pada bagian ini akan dilakukan proses identifikasi dengan JST-BP di mana terdiri atas empat inputan yaitu contrast (C), correlation (Cr), energy (E), dan homogenity (H) dengan parameter laju pembelajaran 0,1 dan target error 0,001.

  Adapun Arsitektur JST-BP pada penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 6.

  Gambar 6. Arsitektur JST-BP

  4.3. Tahap Uji Evaluasi unjuk kerja sistem identifikasi yang dibuat menggunakan persamaan berikut.

  • = 100 % .................
  • di mana TP = True Positive, TN = True Negative, FP = False Positive dan FN = False Negative.

  Pada tahap pengujian sistem nilai akurasi sistem dilihat dari kombinasi persentasi data latih dan uji. Kombinasi persentasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

  

Tabel 3. Kombinasi Persentasi Data Latih dan Uji Pada Tabel 4 terlihat bahwa nilai persentasi akurasi tertinggi pada kombinasi persentasi data latih 80% dan data uji 20% yaitu sebesar 83,33%.

5. Kesimpulan

  Identifikasi daun ganja telah diuraikan pada paper ini dengan menggunakan GLCM sebagai ekstraksi fitur dan JST-BP sebagai pengidentifikasiannya. Karakteristik daun ganja dengan GLCM menghasilkan nilai range yang berbeda untuk empat variable fitur yaitu contrast (C), correlation (Cr), energy (E), dan

  

homogenity (H). Sedangkan untuk sudut 45 dan 135 menghasilkan nilai fitur yang hampir sama. Hasil uji

  coba sistem identifikasi menunjukkan tingkat akurasi sebesar 83,33 % dengan kombinasi persentasi data latih 80% dan data uji 20 % dari total keseluruhan data.

  Referensi

  [1] Arun Priya C. Dkk. 2012. An Efficient Leaf Recognition Algorithm for Plant Classification Using Support Vector Machine. IEEE. [2] BNN dan PusLitKes UI. 2010. Survey Nasional Penyalagunaan dan Peredaran Gelap Narkoba di Indonesia. Jakarta. [3] Cheng, Li and Jin Liu. 2014. An Optimized Neural Network Classifier for Automatic Modulation Recognition. TELKOMNIKA Indonesian Journal of Electrical Engineering. Vol.12, No.2. [4] Chiang, Y.M. and Weng, J.M. 2013. A Texture Classification Method based on Gray-Level Co-

  Occurrence Matrix and Support Vector Machines. European International Journal of Science and Technology. Vol. 2, No. 10. [5] Ganis, K.Y. dkk. 2011. Klasifikasi Citra Dengan Matriks Ko-Okurensi Aras Keabuan (Gray Level Co-

  Occurrence Matrix-GLCM) Pada Lima Kelas Biji-Bijian. Tesis tidak diterbitkan. Semarang. Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Undip. [6] Haralick, R.M., et al, 1973. Textural Features for Image Classification. IEEE Transaction on System, Man and Cybernetics. Vol. 3, No. 6. [7] Hassan Hajjdiab and Iman Al Maskari. 2011. Plant Species Recognition Using Leaf Contours. IEEE.