259673804 Lingkungan Sosial Dan Budaya

LINGKUNGAN SOSIAL DAN BUDAYA

A. KONSEP DAN PENGERTIAN KEBUDAYAAN
Pemasar global yang berusaha memasuki pasar di berbagai negara akan menghadapi
lingkungan budaya yang beranekaragam. Setiap negara memiliki keyakinan, sikap, persepsi,
motivasi, ritual, nilai moral dan aspek-aspek budaya lainnya masing-masing. Nilai (value)
yang dianggap sangat penting di negara A barangkali dipandang kurang penting di negara B.
Bila faktor-faktor ekonomi sangat berpengaruh dalam menentukan kemampuan (daya
beli) konsumen untuk membeli suatu produk, maka faktor-faktor budaya menentukan apakah
suatu pembelian akan terjadi atau terwujud. Konsumsi bukan semata-mata merupaka fungsi
dari pendapatan, tetapi juga fungsi dari berbagai pengaruh budaya.
Dua negara yang memiliki pendapatan per kapita relatif sama belum tentu memiliki
pola konsumsi yang berbeda. Oleh karena itu, agar dapat memahami pasar di luar negeri,
pemasar global perlu memperhatikan lingkungan budaya yang berpengaruh terhadap perilaku
konsumen.
Konsep kebudayaan bersifat sangat luas dan kompleks. Menurut arti etimologis (asal
usul kata), kebudayaan berasal dari kata Sansekerta yakni budhayah, bentuk jamak dari
budhi yang berarti akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang
bersangkutan dengan akal pikir manusia. Kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks
yang mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat, dan segala kemampuan
lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan sebagai keseluruhan

sifat-sifat perilaku yang dipelajari dan terintegrasi, yang digunakan bersama oleh para
anggota masyarakat.
Kebudayaan berkaitan dengan pola perilaku dan keyakinan dalam masyarakat.
Kebudayaan meliputi keyakinan, norma, nilai, asumsi, harapan, dan rencana-rencana
tindakan. Dengan demikian kebudayaan memberikan kerangka bagi masyarakat untuk
memandang dunia di sekitarnya, menginterpretasikan kejadian-kejadian dan perilaku, dan
bereaksi terhadap realitas yang dirasakan.
Kebudayaan memiliki beberapa karakteristik, di antaranya:
1 . Kebudayaan bersifat prescriptive, kebudayaan memberikan ketentuan mengenai jenisjenis perilaku tertentu yang dianggap dapat diterima dalam masyarakat tertentu.
2. Kebudayaan digunakan dan dikembangkan bersama dalam masyarakat, anggota suatu
masyarakat menggunakan adat tertentu secara bersama-sama dan cenderung menyepakati
1

karakteristik-karakteristik realitas dasar. Dengan demikian kebudayaan terbentuk atas
dasar interaksi dan penciptaan sosial.
3. Kebudayaan mempermudah komunikasi, sebenarnya kebudayaan bisa memperlancar dan
sekaligus dapat pula menghambat komunikasi. Dalam kelompok masyarakat tertentu,
hubungan antaranggota dapat berlangsung lebih mudah karena mereka memiliki
kebiasaan, pola pikir, dan perasaan yang relatif sama. Sedangkan komunikasi antara
kelompok masyarakat (apalagi antar negara) akan sangat sulit bila masing-masing

kelompok memiliki nilainilai budaya yang sangat berbeda. Hal ini yang sering
menimbulkan masalah dalam komunikasi antarnegara (termasuk di dalamnya upaya
standardisasi periklanan oleh perusahaan global di setiap negara).
4. Kebudayaan bukan merupakan bawaan sejak lahir, tetapi dipelajari, kebudayaan
dipelajari melalui sosialisasi (enculturation) dan akulturasi. Sosialisasi terjadi bila
seseorang belajar memahami kebudayaan yang berlaku di lingkungannya dibesarkan,
sedangkan bila orang tersebut mempelajari kebudayaan lain, maka proses yang terjadi
dinamakan akulturasi.
5. Kebudayaan bersifat subyektif, setiap orang dalam kebudayaan yang berlainan cenderung
memiliki pandangan clan interpretasi yang berbecla terhadap suatu obyek yang sarna.
Apa yang clapat diterima oleh lingkungan budaya tertentu belum tentu bisa diterima di
lingkungan budaya lain.
6. Kebudayaan bersifat kekal/abadi. kebudayaan digunakan, dipelihara, clan diteruskan dari
generasi ke generasi dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu kebudayaan relatif stabil
dan permanen. Masih banyak negara tertentu yang berusaha mempertahankan warisan
budaya lamanya dan cenderung menolak adanya perubahan.
7. Kebudayaan bersifat kumulatif, kebudayaan mengalami perkembangan dari waktu ke
waktu. Setiap generasi berusaha menambahkan sesuatu ke dalam budaya yang dianutnya
sebelum mewariskannya kepada generasi berikutnya.
8. Kebudayaan bersifat dinamis, meskipun kebudayaan diwariskan dari suatu generasi ke

generasi berikutnya, tidak berarti kebudayaan bersifat statis dan tidak mungkin
mengalami perubahan. Kebudayaan akan mengalami perkembangan dan perubahan dari
waktu ke waktu. Sebagai contoh, model rambut yang berubah-ubah, penambahan kosa
kata dalam suatu bahasa, model pakaian, dan sebagainya.
B. UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan merupakan keseluruhan gagasan dan karya
manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi
2

pekertinya. Dengan demikian ada beberapa unsur universal yang sekaligus menjadi isi
kebudayaan.yaitu:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3. Bahasa
4. Sistern pengetahuan
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian
7. Sistem teknologi dan peralatan.
Pengelompokan unsur-unsur universal dari kebudayaan di atas bukanlah satu-satunya
pengelompokan yang ada. Dua ahli pemasaran, yakni Terpstra dan Sarathy (1994, p. 99)

mengemukakan delapan elemen pokok dalam kebudayaan, yaitu:
1. Kebudayaan Material.
Kebudayaan material meliputi alat-alat dan bentuk yang terdapat dalarn suatu
masyarakat. Tidak termasuk di dalamnya barang-barang fisik yang memang tersedia
secara alamiah (tanpa disentuh proses dan prosedur teknologi). Contohnya sebatang
pohon cemara bukanlah bagian dari kebudayaan. Akan tetapi bila telah diubah dan dihias
menjadi pohon Natal, maka pohon tersebut menjadi bagian dari kebudayaan. Kebudayaan
material mencerminkan standar kehidupan dan tingkat kemajuan ekonomi, serta berkaitan
erat dengan teknologi. Teknologi dapat diartikan sebagai teknik atau metode pembuatan
dan penggunaan barang-barang fisik.
Di antara negara industri dan negara berkembang terdapat kesenjangan teknologi
(technology gap), yaitu perbedaan dalam kemampuan untuk menciptakan mendesain, dan
menggunakan barang. Oleh sebab itu timbul perbeclaan yang cukup besar dalarn hal:


Cara bekerja dan efektivitasnya.



Pola konsumsi dan jenis barang/jasa yang dikonsumsi.

Sebagai contoh, adanya mesin cuci, mobil, kartu kredit, televisi, parabola, dan

telepon menimbulkan perubahan gaya hiclup, perilaku konsumen clan permintaan akan
produk-produk baru. Mesin cuci dapat mengubah kebiasaan orang dalam mencuci
pakaian. Kartu kredit mengubah kebiasaan orang menyimpan clan membawa uang kas.
Masih banyak contoh lain yang dapat kita lihat dalam kehidlupan sehari-hari.
Adanya perbedaan kebudayaan material antarnegara menyebabkan seringkali
pemasar global perlu melakukan adaptasi, misalnya dalam hal:


Voltage listrik yang digunakan.
3



Sistem metrik yang berlaku, misalnya meter, sentimeter, kilogram, derajat Fahrenheit,
derajat Cilcius, mil, dan lain-lain.




Media periklanan yang ada.



Infrastruktur yang ada.



Fasilitas pergudangan dan pendingin.



Sistem transportasi yang ada.



Jenis-jenis wholesaler dan retailer yang tersedia.
Dalam kaitannya dengan kebudayaan material, seorang pemasar global bisa

berperan sebagai agen perubahan budaya. Kebudayaan material suatu negara dapat

diubah melalui pengenalan produk baru. Perubahannya bisa bersifat dramatis (misalnya
dengan adanya mesin canggih yang menimbulkan revolusi dalarn teknologi percetakan)
ataupun sederhana (misalnya produk makanan baru).
2. Bahasa.
Bahasa mencerminkan karakteristik dan nilai-nilai suatu kebudayaan. Setiap
negara memiliki kosa kata yang kaya untuk hal-hal yang penting bagi kebudayaannya.
Misalnya bahasa Inggris memiliki banyak kosa kata untuk aktivitas-aktivitas bisnis. Hal
ini menggambarkan karakteristik masyarakat Inggris dan Amerika. Seorang pemasar
global perlu menguasai bahasa asing, terutama bahasa host country. Hal ini dikarenakan
bahasa merupakan saran yang paling baik untuk mempelajari suatu kebudayaan.
Penguasaan bahasa asing juga akan sangat membantu dalam melakukan negosiasi dan
komunikasi dengan pernimpin politik, karyawan, pemasok, dan pelanggan di host
country. Dengan adanya kesatuan bahasa antara perusahaan dan audience-nya, maka
kegiatan periklanan, branding, pengepakan, personal selling, public relations, dan riset
pemasaran dapat berlangsung lebih lancar.
Hal yang tak kalah pentingnya adalah komunikasi simbolik seperti gerak tubuh,
roman wajah, ekspresi, dan lain-lain. Dalam situasi-situasi tertentu bisa terjadi
komunikasi simbolik jauh lebih penting daripada komunikasi verbal.
3. Estetika.
Estetika meliputi hal-hal seperti keindahan dan perasaan yang diekspresikan

dalam seni (seperti seni tari, drama, musik), warna, dan bentuk (from). Nilai-nilai estetika
masyarakat tertentu terungkap dalam desain, gaya, warna, ekspresi, simbol, emosi,
gerakan, dan sikap (posture) yang dihargai dan disukai dalam masyarakat tersebut.
Atribut-atribut ini berpengaruh terhadap perancangan dan pemasaran berbagai macam
produk.
4

4. Pendidikan.
Pengertian pendidikan mencakup segala macam proses mentransmisikan
keterampilan, ide, dan sikap termasuk di dalamnya pelatihan-pelatihan dalam disiplin
ilmu tertentu. Salah satu fungsi pendidikan adalah untuk menyampaikan budaya dan
tradisi yang berlaku kepada para generasi baru. Pendidikan juga dapat digunakan untuk
mengubah budaya.
Dalam kaitannya dengan pemasaran global, pemasar perlu mendidik konsumen
mengenai penggunaan dan manfaat dari produk dan teknik baru yang ditawarkan. Sistem
pendidikan formal di suatu negara mempengaruhi tingkat pendidikan masyarakatnya.
Oleh karena itu meskipun perusahaan tidak harus mempergunakan sistem pendidikan
formal untuk mendidik konsumen, kesuksesan usaha tersebut dipengaruhi oleh sistem
pendidikan yang berlaku. Ada beberapa implikasi situasi pendidikan di host country
terhadap pernasaran global, yaitu:

a. Apabila konsumennya banyak yang buta huruf, maka program periklanan dan label
kemasan perlu diadaptasi dengan kondisi setempat.
b. Pelaksanaan riset pemasaran mungkin akan mengalami kesulitan, terutama dalam
berkomunikasi dengan konsumen dan dalam upaya memperoleh peneliti yang
qualified.
c. Produk-produk yang sifatnya kompleks atau membutuhkan instruksi tertulis,
mungkin perlu dimodifikasi agar sesuai dengan tingkat pendiclikan masyarakat host
country.
d. Kualitas jasa-jasa pendukung pemasaran, seperti agen periklanan, tergantung pada
seberapa baik sistem pendidikan mempersiapkan setiap orang untuk melaksanakan
pekerjaan tersebut.
5. Agama.
Agama mempengaruhi pandangan kebudayaan terhadap kehidupan, makna
kehidupan, dan konsep kehidupan. Pada umumnya agama mempengaruhi tekanan atau
perhatian yang diberikan pada kehidupan material, yang pacla gilirannya mempengaruhi
sikap terhadap kepemilikan dan penggunaan barang dan jasa. Misalnya Gereja Katolik
hingga saat ini melarang penggunaan alat-alat kontrasepsi. Setiap pemasar global harus
memahami dan selalu memperhatikan prinsip-prinsip religius host country.
6. Sikap dan Nilai.


5

Sikap dan nilai yang dianut seseorang menentukan apa yang dianggapnya benar
atau sesuai, apa yang penting, dan apa yang diperlukan. Ada beberapa macam sikap dan
nilai yang berhubungan erat dengan pemasaran, yaitu:
a. Aktivitas Pemasaran.
Sikap suatu negara terhadap dunia bisnis berpengaruh terhadap aspek-aspek program
pemasaran, seperti saluran distribusi, ketersediaan tenaga pemasaran, dan lain-lain.
b. Kesejahteraan.
Pemasar global cenderung lebih suka beroperasi di negara-negara yang bersifat
acquisitive society, di mana kesejahteraan dan pendapatan merupakan indikator
kesuksesan dan prestasi. Kondisi seperti itu bisa menjadi pernicu motivasi dalam
melakukan produksi dan konsumsi.
c. Perubahan.
Pada saat suatu perusahaan memasuki pasar luar negeri, perusahaan tersebut
membawa perubahan dengan jalan memperkenalkan produk baru dan cara baru
melakukan sesuatu. Umumnya orang Amerika Utara sangat terbuka terhadap
perubahan dan hal-hal baru. Dalam kondisi seperti ini, pemasar perlu menekankan
unsur produk yang baru dan berbeda. Akan tetapi banyak masyarakat yang masih
cenderung menolak perubahan. Menghadapi kondisi seperti ini, pemasar perlu

menghubungkan

produknya

dengan

nilai-nilai

tradisional.

Bahkan

bila

memungkinkan, perusahaan perlu melakukan pendekatan dengan para pernimpin
agama atau opinion leader lainnya supaya produk baru yang ditawarkan dapat
diterima masyarakat umum.
d. Risk Taking.
Pengambilan risiko biasanya dikaitkan dengan aktivitas kewiraswastaan. Akan tetapi,
konsumen juga mengambil risiko dalam mencoba suatu produk baru. Demikian pula
halnya dengan perantara (intermediary) yang menangani produk yang belum pernah
diuji/dicoba. Masyarakat konservatif umumnya cenderung akan menolak risiko
seperti itu. Oleh karena itu pemasar global perlu berusaha menekan atau mengurangi
risiko yang berkaitan dengan mencoba produk baru. Cara yang dilakukan misalnya
melalui pendidikan, pemberian garansi, penjualan konsinyasi, dan teknik-teknik
pemasaran lainnya.
7. Organisasil Sosial.
Organisasi sosial berkaitan dengan cara seseorang berhubungan dengan orang
lain. Setiap masyarakat memiliki organisasi sosial masing-masing, yang bentuknya bisa
6

berupa keluarga, common territory, special-interest group, maupun class atau caste
groupings. Adanya organisasi sosial berpengaruh terhadap peranan yang dimainkan
seseorang sebagai konsumen dan consumption influencers. Oleh karena itu pemasar
global perlu mengidentifikasi dan memanfaatkan opinion leader dalam memasarkan
produknya di host country.
Berdasarkan suatu penelitian terhadap prioritas nilai-nilai kebudayaan (cultural
values), Elashmawi dan Harris (1994, p. 58) menyimpulkan bahwa ada perbedaan antara
orang Jepang, Amerika, Malaysia, Rusia, Swedia, dan Perancis dalam hal pemberian :roritas
terhadap 20 aspek nilai budaya yang digunakan.
C.

PENGARUH

KEBUDAYAAN

TERHADAP

PEMASARAN GLOBAL
Kebudayaan mempengaruhi semua aspek pemasaran. Setiap perusahaan yang
berorientasi pada pemasaran harus membuat keputusan berdasarkan sudut pandang
konsumennya. Tindakan konsumen dibentuk oleh gaya hidup dan pola perilaku yang berasal
dari kebudayaan masyarakat. Jadi, hal-hal seperti produk yang dibeli, atribut yang dinilai,
tokoh-tokoh yang pendapatnya diterima, sangat tergantung pada kebudayaan.
Pengaruh perbedaan budaya terhadap bauran pemasaran bisa berupa:
1. Produk.
Dua produk yang serupa bila dilemparkan ke pasar yang sama, belum tentu
memperoleh tanggapan yang sama dari konsumen. Demikian pula kesuksesan suatu
produk di satu negara tidak menjamin akan sukses pula di negara lainnya.
Meskipun kinerja suatu produk tergantung pada banyak faktor, tetapi dalam
banyak kasus kegagalan produk disebabkan oleh faktor-faktor kesalahan budaya.
Misalnya, Kentucky Fried Chicken (KFC) dapat diterima dengan baik di Perancis, tetapi
McDonald's tidak.
2. Distribusi.
Saluran distribusi perlu dimodifikasi agar dapat sesuai dengan kondisi lokal.
Misainya perusahaan kosmetika Avon sukses menerapkan sistem penjualan langsung
(door-to-door) di Amerika, karena setiap orang dapat melakukan pembelian secara.
pribadi di rumah atau tempat kerja masing-masing. Sistem penjualan langsung ini tidak
dapat berjalan dengan sukses ketika diterapkan di Eropa. Ada dua penyebab
kegagalannya, yaitu pertama, wanita Eropa menganggap kunjungan distribusi
(representatives) mengganggu privacy mereka. Kedua, para distributor seringkali merasa
kurang enak karena harus menjual (tentunya mencari laba) kepada ternannya sendiri.
7

3. Promosi.
Aktivitas promosi, terutama periklanan, merupakan aktivitas yang paling rentan
terhadap kekeliruan kultural. Berikut ini ada tiga contoh mengenai kekeliruan yang
terjacli. Contoh pertama, Pepsi mengalami kesulitan sewaktu menggunakan Man yang
bertema "Come alive, you're in the Pepsi generation" di Jerman. Hal ini karena tema
tersebut di Jerman mengandung arti "Come alive out of the grave" atau kurang lebih
berarti "Bangkitlah dari kuburan". Contoh kedua, Carlsberg harus menambahkan gambar
satu ekor gajah lagi pada label birnya yang semula bergambar dua ekor gajah untuk
keperluan Man di Afrika. Penyebabnya adalah kepercayaan di Afrika yang menganggap
dua ekor gajah merupakan simbol nasib buruk. Contoh terakhir, Colgate Palmolive
Company mengalami kegagalan ketika memperkenalkan pasta gigi Cue di Perancis,
karena ternyata setelah diselidiki kata cue mengandung arti yang porno dalam bahasa
Perancis.
4. Harga.
Harga yang bersedia dibayar oleh pelanggan untuk produk tertentu tergantung
pada nilai persepsi dan nilai aktual produk tersebut. Umumnya produk yang diimpor dari
negara Barat dipersepsikan memiliki nilai yang lebih tinggi di negara-negara
berkembang. Oleh karena itu biasanya harga produk impor tersebut jauh lebih mahal
daripada produk lokal.
D.

ANALISIS LINGKUNGAN KEBUDAYAAN
Secara konseptual, analisis lingkungan kebudayaan dapat diclasarkan pada tiga
pendekatan berikut:
1. Pendekatan etnosentris, yaitu panclangan yang beranggapan bahwa- negaranya yang
terbaik. Misalnya menganggap bahwa apa yang baik di home country akan selalu baik
pula di host country.
2. Asimilasi, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa karakteristik budaya yang ada di
home country akan selalu relevan di mana saja.
3. Keunggulan hos country (primacy of host country), yaitu pandangan yang memperhatikan
komposisi pasar dan menekankan pengambilan keputusan yang didasarkan pada
karakteristik budaya host country. Pendekatan ini menganggap bahwa informasi domestik
(home country) tidak tepat digunakan dalarn rangka menunjang keberhasilan operasi di
host country.

8

Penilaian terhadap kebudayaan suatu negara keperluan pemasaran membutuhkan
analisis sikap, motivasi, persepsi, dan proses belajar masyarakat negara yang bersangkutan.
Hal ini dapat dilakukan dengan melaksanakan observasi maupun penelitian lapangan.
Dalam rangka memahami lingkungan kebudayaan dalam konteks pemasaran global,
ada beberapa konsep dan teori yang dapat dipergunakan, di antaranya:
1 . Teori Hirarki Kebutuhan Maslow.
Konsep teori yang dikembangkan pertama kali oleh Abraham Maslow pada tahun
1943 ini, menjelaskan suatu hirarki kebutuhan yang menunjukkan adanya lima tingkatan
kebutuhan manusia. Kebutuhan yang lebih tinggi akan mendorong seseorang untuk
mendapatkan kepuasan atas kebutuhan tersebut, setelah kebutuhan yang lebih rendah
(sebelumnya) telah dipuaskan. Kelima tingkatan kebutuhan menurut Maslow adalah
sebagai berikut:
a. Kebutuhan fisiologis (physiological needs), yaitu kebutuhan seperti rasa makanan,
minuman, perumahan, sex, dan lain-lain.
b. Kebutuhan akan keamanan (safety needs), yaitu kebutuhan akan keselamatan dan
perlindungan dari bahaya - baik bahaya fisik maupun emosional.
c. Kebutuhan sosial (social needs), yaitu kebutuhan akan rasa cinta dan kepuasan dalam
menjalin hubungan dengan orang lain, kepuasan dan perasaan memiliki serta diterima
dalarn suatu kelompok, rasa kekeluargaan, persahabatan, dan kasih sayang.
d. Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), mencakup faktor penghargaan internal
(misalnya respek, otonomi, dan prestasi) dan faktor penghargaan eksternal (seperti
status atau kedudukan, pengakuan, dan perhatian).
e. Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs), yaitu kebutuhan pemenuhan
diri, untuk mempergunakan potensi diri, pengembangan diri semaksimal mungkin,
kreativitas, ekspresi diri dan melakukan apa yang paling sesuai, serta menyelesaikan
pekerjaannya sendiri.
Teori Maslow merupakan penyederhanaan atas kebutuhan manusia yang sangat
kompleks. Meskipun demikian teori ini banyak manfaatnya bagi para pemasar global.
Semakin berkembang atau maju suatu negara, maka semakin besar pula proporsi barang
dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan sosial serta kebutuhan akan penghargaan.
Dengan semakin majunya suatu negara maka kebutuhan aktualisasi diri semakin
berpengaruh terhadap perilaku konsumen. Misalnya di Amerika Serikat, kini mobil bukan
lagi merupakan simbol status atau gengsi. Ini berbeda dengan negara-negara berkembang
9

yang seringkali menggunakan kepemilikan mobil sebagai indikator kesejahteraan atau
status sosial.
2. Self-Reference Criterion.
Dalam menghadapi situasi khusus, umumnya ada kecenderungan bahwa
seseorang akan menggunakan nilai-nilai yang dianutnya sebagai ukuran atau standar
untuk memahami dan menanggapi kondisi yang ada. Istilah yang sering digunakan untuk
menjelaskan hal ini adalah self-reference criterion (SRC). Misalnya orang Amerika yang
sangat menghargai ketepatan waktu dan pentingnya waktu menghadari pertemuan bisnis
dengan orang Arab. Bagi orang Arab, waktu yang dijanjikan untuk bertemu (misaInya
pukul 10.00 pagi) tidak harus berarti persis pukul 10.00 tetapi bisa berkisar pukul 10.00
(artinya bisa lewat pukul 10.00). Orang Amerika tersebut bisa menjadi kecewa, bahkan
marah karena baginya. rekan bisnisnya itu tidak menghargai waktu sebagaimana yang ia
lakukan. SRC bisa memberikan pengaruh buruk dalam menjalin bisnis global dan dapat
pula menjadi penyebab utama kegagalan dan kesalahpahaman.
James A. Lee mengemukakan suatu kerangka sistematis yang terdiri atas empat
langkah untuk mengurangi efek kecenderungan penggunaan SRC. Keempat langkah
tersebut terdiri atas (Jain, 1990, p. 233; Keegan, 1989, p. 111):
a. Menetapkan masalah atau tujuan bisnis, dipandang dari sudut karakteristik,
kebiasaan, dan norma budaya home country.
b. Menetapkan masalah atau tujuan bisnis, dipandang dari sudut karakteristik,
kebiasaan, dan norma budaya asing.
c. Memisahkan pengaruh SRC terhadap masalah yang ditentukan dan memeriksanya
secara cermat untuk mengetahui bagaimana SRC dapat memperumit masalah.
d. Menentukan kembali masalah tanpa pengaruh SRC dan mencari solusi bagi situasi
tujuan bisnis yang optimum.
3. Teori Difusi.
Teori difusi dikemukakan pertama kali oleh Evertt M. Rogers (1962) dalam
bukunya yang bedudul Diffusion of Innovations. Teori difusi menjelaskan proses mental
yang dijalani atau dilalui seseorang semenjak pertama kali mengetahui adanya suatu
inovasi sampai ia mengadopsi inovasi tersebut. Adopsi diartikan sebagai keputusan
seseorang untuk menjadi pemakai suatu produk secara reguler. Sedangkan inovasi adalah
setiap barang, jasa, atau ide yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang baru oleh individu
tertentu. Makna baru bisa dalam pengertian absolut (benar-benar baru bagi dunia atau
sebelumnya belum pernah ada) maupun situasional (baru bagi pasar tertentu, tetapi sudah
dikenal di pasar lainnya). Proses adopsi terdiri atas lima tahap yang terdiri atas:
10

a. Kesadaran (awareness).
Konsumen menyadari adanya. inovasi tetapi masih kurang informasi.
b. Minat (interest).
Konsumen mulai berminat dan terdorong untuk mencari informasi tambahan
mengenai inovasi yang telah disadarinya.
c. Evaluasi.
Konsumen mempertimbangkan apakah perlu mencoba inovasi atau produk baru.
d. Percobaan (trial).
Konsumen mencoba inovasi untuk menyernpurnakan penilaian sebelumnya. Pemasar
bisa mendorong hal ini dengan berbagai cara, misainya memberikan kesempatan
untuk demonstrasi mengendarai mobil, membagikan produk sampel, dan lain-lain.
e. Adopsi.
Konsumen memutuskan untuk menerima dan menggunakan produk baru secara
reluger.
Keberhasilan proses adopsi suatu inovasi sangat tergantung pada karakteristik inovasi,
yang meliputi:
a. Keunggulan relatif, yaitu seberapa besar kelebihan relatif produk baru dibandingkan
dengan produk yang sudah ada.
b. Kesesuaian (compatibility), yaitu seberapa tinggi kesesuaian produk baru dengan
nilai-nilai, pola perilaku, dan pengalaman masa ialu yang dimiliki para pengadopsi.
c. Kompleksitas, yaitu seberapa sulit suatu produk baru untuk dimengerti dan
digunakan.
d. Divisibility, yaitu dapat atau tidaknya suatu produk baru dicoba dan digunakan dalam
jumlah terbatas.
e. Communicability, yaitu seberapa luas hasil inovasi atau nilai suatu produk dapat
dikomunikasikan kepada pasar potensial.
Berdasarkan waktu relatif yang dibutuhkan dalam mengadopsi suatu inovasi, ada
lima kategori pengadopsi. Kelima kategori tersebut adalah inovator, early adopter, early
majority, late majurity, dan laggards.
4. Budaya Konteks Tinggi dan Budaya Konteks Rendah.
Edward T. Hall mengemukakan konsep budaya konteks tinggi dan budaya
konteks rendah sebagai cara untuk memahami berbagai macam orientasi budaya.
Pengelompokan ini dilakukan atas dasar tingkatan komunikasi budaya. Dalam budaya
konteks rendah, sebagian besar informasi disampaikan melalui kata-kata dalam pesanpesan yang dinyatakan secara eksplisit. Sedangkan dalam budaya konteks tinggi tidak
11

terlalu banyak informasi yang terkandung dalam pesan verbal, karena sebagian besar
informasi

berada

dalarn

konteks

komunikasi

yang

meliputi

latar

belakang,

hubungan/asosiasi, dan nilai-nilai dasar komunikator. Jadi, dalam budaya konteks tinggi
(seperti Jepang atau Arab), pemberian kredit bank lebih banyak didasarkan pada posisi
atau kedudukan sosial seseorang daripada pertimbangan analisis formal. Kondisi
sebaliknya terjadi dalam budaya konteks rendah (seperti Amerika, Swiss, Jerman).
E.

MANAJER MULTIKULTURAL
Dewasa ini semakin banyak dibutuhkan adanya manajer-manajer yang berwawasan
multikultural. Globalisasi yang telah mendorong terciptanya global village dan global
customers menyebabkan semakin banyaknya interaksi silang budaya (cross-cultural), baik
antar budaya yang beranekaragam dalam suatu negara yang sama, maupun dengan budaya
dari negara lain. Manajer multikultural memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.

Memiliki pola pikir yang luas dan mendalam, serta
mentransformasikan stereotypes menjadi pandangan yang positif terhadap orang lain.

2.

Selalu siap untuk menerima pergeseran pandangan, yang
kadangkala perlu diikuti dengan mengubah pandangan lama dan menggantikannya
dengan pandangan baru.

3.

Menciptakan kembali asumsi, norma, dan praktik budaya
berdasarkan wawasan dan pengalaman baru.

4.

Siap beradaptasi dengan lingkungan dan gaya hidup baru.

5.

Menerima dan memfasilitasi pengalaman transisional.

6.

Memiliki

kompetensi

dan

keterampilan

mutlikultural,

termasuk bahasa asing.
7.

Menciptakan sinergi budaya di manapun dan kapanpun dapat
dilakukan.

8.

Beroperasi

secara

efektif

dalam

lingkungan

multinasional/multikultural.
9.

Menyusun skenario masa depan yang optimistik dan dapat
dilakukan.

12