PENEGAKAN HUKUM ATAS PELANGGARAN IZIN LI

Penegakan Hukum atas Pelanggaran Izin
Lingkungan Berdasarkan UU No. 32 Tahun
2009 dan
UU Terkait di Indonesia
Disusun Oleh:
AISAH RAHMA WATI8111416034
NINDI ANINDYA PUTRI
8111416039
HUKUM LINGKUNGAN
ROMBEL 01

Sistem Perizinan Lingkungan Hidup
dalam UU Lingkungan Hidup di
Indonesia
Dalam UU-PPLH terdapat 2 (dua) konsep izin, yakni:
1. Pertama, izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada
setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang
wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk
memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 35).
2. Kedua, izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang

diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha
dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 36).
Kedua izin ini disebutkan sebagai izin lingkungan hidup. Yang
berwenang dalam menerbitkan izin lingkungan adalah Menteri,
Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
Izin lingkungan diterbitkan berdasarkan surat keputusan
kelayakan lingkungannya atau rekomendasi UKL-UPL (Pasal 36
ayat (2) UUPPLH).

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012
Tentang Izin Lingkungan, izin lingkungan diperoleh melalui
tahapan kegiatan yang meliputi:
• Penyusunan Amdal dan UKL-UPL;
• Penilaian Amdal dan Pemeriksaan UKL-UPL; dan
• Permohonan dan Penerbitan Izin Lingkungan.
Izin lingkungan dengan izin usaha dan/atau kegiatan
mempunyai keterkaitan yang erat. Pasal 40 UU-PPLH
menyatakan,
izin
lingkungan

merupakan
syarat
untuk
mendapatkan izin usaha atau kegiatan pengelolaan lingkungan
hidup. Kemudian untuk mendapatkan izin lungkungan, pelaku
usaha atau kegiatan diwajibkan membuat Amdal atau UKL-UPL.
Dalam hal izin lingkungan di cabut, izin usaha dan/atau kegiatan
dibatalkan. Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami
perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib
memperbarui izin lingkungan.

Penegakan Hukum atas
Pelanggaran Izin Lingkungan
Penegakan hukum untuk masing – masing instrumen berbeda, yaitu
instrumen administratif oleh pejabat administratif atau pemerintahan,
perdata oleh pihak yang dirugikan sendiri, baik secara individual
maupun secara kelompok bahkan masyarakat atau negara sendiri atas
nama kepentingan umum (algemeen belang; public interest). Adapun
hukum pidana yang penuntutannya dimonopoli oleh negara yang
alatnya adalah jaksa sebagai personifikasi negara.

Berdasarkan penjelasan Pasal 123 UU-PPLH, jenis – jenis izin
lingkungan adalah izin pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
beracun (B3), izin pembuangan air limbah ke laut, dan izin
pembuangan air limbah ke sumber air. Izin lingkungan termuat dalam
UU No. 32 Tahun 2009, menggabungkan proses pengurusan keputusan
kelayakan lingkungan hidup, izin pembuangan limbah cair, dan izin
limbah bahan beracun berbahaya. Sebelumnya, berdasarkan UU No. 23
Tahun 1997, keputusan kelayakan lingkungan hidup diurus di awal
kegiatan usaha. Setelah kontruksi selesai, pengusaha harus mengurus
izin pembuangan limbah cair dan B3. Sekarang ketiga perizinan itu
digabungkan, diurus satu kali menjadi izin lingkungan.

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN ADMINISTRASI
Dibandingkan dengan UU No. 23 Tahun 1997, dalam UU No.
32 Tahun 2009 terdapat beberapa pasal yang mengatur sanksi
administratif yang tidak terbatas pada sanksi paksaan
pemerintahan, pembayaran sejumlah uang dan pencabutan izin
saja, tetapi mengatur sanksi administratif yang lain sebagaimana
diatur dalam Pasal 76 ayat (2): Sanksi administratif terdiri atas:
a. Teguran tertulis;

b. Paksaan pemerintah;
c. Pembekuan izin lingkungan; atau
d. Pencabutan izin lingkungan.
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN PERDATA
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh
melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pemilihan
secara suka rela para pihak yang bersengketa. Ketentuan
tersebut diatur dalam UU-PPLH Pasal 84 dan Pasal 85.

Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan
Dalam sengketa lingkungan bahwa penyelesaian sengketa dapat
menggunakan jasa pihak ketiga netral, baik yang memiliki kewenangan
mengambil keputusan (Arbitrase) maupun yang tidak memiliki
kewenangan mengambil keputusan (Mediasi dan Konsiliasi), untuk
membantu penyelesaian sengketa lingkungan. Pemerintah dan/atau
masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan
penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah No. 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan (Pasal 86 UUPPLH).
Penyelesain Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan

Atas dasar Pasal 65 ayat (1) UU-PPLH, korban pencemaran dapat
menuntut pihak pencemar atas ganti rugi. Dalam Pasal 88 UU-PPLH
mengandung apa yang dinamakan dengan strict liability, adalah asas
tanggung jawab mutlak atau asas tanggung jawab mutlak. Pasal 90 ayat
(1) UU-PPLH mengatur hal yang baru bahwa Instansi Pemerintah dan
pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup
berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu
terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan lingkungan hidup yang mengakibatkan
kerugian lingkungan hidup.

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN PIDANA
Sanksi pidana diatur dalam Pasal 97 sampai dengan Pasal 120
UU-PPLH dan menurut Pasal 97 bahwa tindak pidana dalam undang
– undang ini merupakan kejahatan.
Penjelasan Umum UU No. 32 Tahun 2009 menyebutkan
“Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas
ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum
pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan
hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas

ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil
tertentu, yaitu pemindanaan terhadap pelanggaran baku mutu air
limbah, emisi, dan gangguan.” Penjelasan umum UU-PPLH
tersebut, hanya memandang
hukum pidana sebagai upaya
terakhir (ultimum remedium) bagi tindak pidana formil tertentu,
yaitu pemindanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah,
emisi, dan gangguan, sebagaimana diatur dalam Pasal 100 UUPPLH. Sementara untuk tindak pidana lainnya yang diatur selain
Pasal 100 UU-PPLH, tidak berlaku asas ultimum remedium, yang
diberlakukan
asas
premium
remideum
(mendahulukan
pelaksanaan penegakan hukum pidana).

Faktor Penghambat Penegakan Hukum
Lingkungan
Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat penegakan
hukum lingkungan di Indonesia, antara lain:

1. Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat terkait hukum
lingkungan
Secara umum penegakan hukum lingkungan jauh lebih
rumit daripada delik lain, karena seperti telah dikemukakan
sebelumnya bahwa hukum lingkungan menempati titik silang
berbagai pendapat hukum klasik. Menurut Hamzah (2005:51)
pada umumnya suatu masalah dimulai pada satu titik, yaitu
terjadinya pelanggaran hukum lingkungan. Dari titik
perangkat ini dapat dimulai dari orang pribadi, anggota
masyarakat, korban penegakan hukum yang mengetahui
langsung terjadinya pelanggaran tanpa adanya laporan atau
pengaduan.

2. Kendala dalam pembuktian
Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa
Indonesia tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga
dampak negatif (misalnya terjadinya pencemaran).
Untuk dapat membuktikan bahwa suatu perbuatan telah
menimbulkan pencemaran perlu penyidikan, dan oenyidikan
ini dilakukan oleh aparat POLRI. Untuk itu disamping

diperlukan kemampuan dan keuletan setiap petugas, juga
diperlukan suatu modal yang dapat digunakan untuk
menentukan apakah suatu perbuatan telah memenuhi unsur
pelanggaran (pasal 22 UU Nomor 4 Tahun 1982).

3. Insfrastruktur penegak hukum
Kesulitan utama yang kerap dinyatakan oleh pemerintah atau
aparat penegak hukum dalam mengatasi pembakaran hutan
adalah minimnya aparat pemantau, atau minimnya alat bukti.
Dalam hal tertangkap tangan maka yang dijerat adalah para
operator yang notabene adalah pekerja harian. Negara
harusnya memiliki power untuk mencabut izin operasi atau
konsesi atas perusahaan yang dikekuasannya terdapat titik api.
4. Budaya Hukum yang masih buruk
Pada beberapa kasus, kejahatan lingkungan terjadi karena
masih kentalnya budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme antara
perusahaan-perusahaan dengan pemerintah maupun DPR.
Lobby-lobby illegal masih sering terjadi. Memang bukanlah
pekerjaan yang mudah untuk memberantas praktek KKN yang
kerap kali terjadi, namun hal tersebut bukanlah tidak mungkin.