Melukis Asa Di Atas Pasir Pulau Derawan

Melukis Asa Di Atas Pasir Pulau Derawan
Karya: Irham Roy
Ssssssttt… buuuuusshhh… sssttt… bussshh… suara ombak nan syahdu membangunkanku dari
peraduan. Brrr… merinding seluruh tubuh ku dibelai mesra sejuknya semilir angin laut di pagi hari
yang masuk melalui celah celah papan rumah tua kami. Tik… tok… tik… tok… jam dinding bundar di
atas pintu kamar telah menunjukkan pukul 07.00 pagi, samar samar kulihat angka itu dengan mata
masih menyipit. “Hera… bangun… matahari sudah tinggi” suara ibu memanggilku dari ruang sebelah.
“plantong.. plentong.. zessss…” tercium aroma sedap dan wangi dari dapur rumah, bawang merah,
bawang putih… cabai… hmmm sepertinya ibu tengah membuat sarapan.
Kuraih piring dan sendok yang berada di rak piring dekat tungku tempat ibu memasak. “Astaga Hera…
belum juga kamu mandi, sudah kamu sibuk mengambil piring dan sendok siap siap sarapan. Mandi
dulu nak, kemudian barulah makan” seru ibu sambil memelukku. Aku tau ibu sangat menyayangiku,
untuk itu ia menasihatiku agar aku menjadi anak yang baik.
“sudah kau habiskan makananmu nak? Pergilah kau bermain bersama teman temanmu”.
Kuambil topi bundar beranyamkan daun rumbia milik ayahku, aku siap bermain di pantai. Ya… aku
tinggal di sebuah pulau nan indah bernama pulau derawan. Pulau yang menjadi objek wisata
kebanggaan daerah kami. Banyak turis lokal maupun asing yang berkunjung kesini baik sekedar
berlibur maupun melakukan penelitian. Pasir pantai yang putih bersih berkilauan, air laut yang biru
jernih, ombak yang berdebur syahdu bersahutan, alam bawah laut yang masih indah terjaga, biota
laut yang beragam serta kebudayaan masyarakat kami yang khas memberikan kesan eksotisme
tersendiri bagi pulau ini. Suku asli yang mendiami pulau ini disebut dengan suku bajau, entah benar

atau tidak aku pernah mendengar cerita dari almarhumah nenekku bahwa kami ini masih keturunan
orang filipina. Di belakang namaku sendiri tersemat marga filipina keluarga kami yaitu Reyes, nama
lengkapku Hera Reyes. Entah harus bahagia atau biasa saja, yang jelas aku bangga menjadi penduduk
lokal pulau derawan, salah satu syurga dunia yang ada di Borneo, Indonesia
Aku lebih banyak menghabiskan waktu bermain bersama ketiga sahabatku karang, ombak
dan penyu. Sahabat terbaikku yang dapat mendengarkan dan mengerti apapun keaadaanku.
Mungkin teman teman sebayaku menganggapku aneh berteman dengan karang, ombak dan penyu.
Tapi menurutku merekalah yang lebih aneh karena tidak pernah bisa mengerti apa yang
kusampaikan, pernah aku ingin bermain dengan mereka. Aku merasa diriku dengan mereka itu sama.
Tapi apa yang mereka lakukan, mereka menganggapku seolah olah anak yang tak penting yang hanya
bisa mengganggu mereka. Bahkan mereka selalu mengejekku, orang gila yang selalu berbicara
dengan hewan, aku juga dianggap anak yang bodoh karena tidak bisa bersekolah sama seperti
mereka. ketiga sahabatku ini, tidak ada yang kami tutupi antara satu sama lain. Aku selalu berbicara
tentang hariku, perasaanku dan hal hal yang kualami setiap harinya. Begitu juga mereka, senang
rasanya bisa mendengar karang bercerita bagaimana dia di dasar laut sana hidup bahagia dengan
keindahan dirinya yang mendapat pujian dari penyelam. Bahagia rasanya mendengar pengalaman

ombak yang berhasil membantu para nelayan berlayar dan pulang dengan selamat membawa rezeki
untuk keluarganya serta penyu yang bercerita bahwa dia sangat bangga dijadikan ikon daerah kami.
Kisah kisah menakjubkan yang memberikanku semangat setiap harinya. Seperti biasa dipenghujung

pertemuan kami akan kulukiskan kisah-kisah luar biasa itu di atas pasir putih yang terhampar luas.
Lukisan yang kugunakan sebagai media berbagi dengan alamku, yang banyak bercerita tentang
bagaimana persahabatan kami.
“Hera Ayolah Bangun” suara ibu membangunkanku. Kubuka mataku secara perlahan terlihat
anak laki laki dengan rambut keriting bercelana pendek berbaju hijau bergaris garis putih berada di
samping tempat tidurku. “Hai Hera! namaku Alex, kamu telah memenangkan lomba melukis di atas
pasir dan mendapatkan hadiah tiket meraih impian” kata anak lelaki itu. Setengah kaget aku
mendapatinya. Tak pernah kulihat sebelumnya wajah anak lelaki ini, sepertinya dia bukan anak pulau
ini.
Kuambil selembar kertas dan sebuah pulpen. Di kertas itu kutuliskan “Benarkah? Lalu, ticket
itu digunakan untuk apa?” “Ticket ini akan digunakan untuk mengabulkan semua permintaanmu dari
pagi hingga petang.” Jawab Alex. Aku kembali menulis sesuatu di kertas, “Kalau begitu, aku ingin
sekali, bisa berbicara seperti anak yang lainnya.” Pintaku pada alex. Karena aku merasa… aku
terhenyak, mulutku bersuara. Ternyata benar apa yang dikatakan alex, ticket ini dapat mengabulkan
impianku. “ini adalah permintaan pertamamu yang telah dikabulkan dengan ticket ini, sekarang
pergilah, kalau kau memiliki impian yang lain sebutkan saja maka itu akan menjadi kenyataan.” Kata
alex. Namun, setelah itu alex hilang entah kemana. Aku tak begitu menghiraukannya, aku berlari
menuju pantai.
Saat berada di pantai aku melihat anak-anak sebayaku bermain dengan riang. Tiba tiba sang
penyu menghampiriku, dan mengajakku berenang ke tengah laut. Saat kami menuju ke laut, ombak

dengan lembutnya menyambutku dan penyu, dalam sekejap mata aku sudah berada di dasar laut
berenang bersama penyu. Banyak sekali biota laut yang kulihat, ada ikan nemo dan ubur-ubur yang
berjalan mundur. “Hay Hera, aku Marli.” terdengar suara seseorang yang berbicara kepadaku. Saat
aku menengok ke samping ternyata suara itu adalah suara penyu. Aku sangat terkejut bagaimana
bisa hewan dapat berbicara? Ini pasti karena ticket impian. Di tengah perjalanan aku melihat sebuah
tempat yang dipenuhi bermacam macam karang yang sangat cantik. Penyu mengajakku ke sana,
“Penyu, ini tempat apa indah sekali” tanyaku pada penyu. “Ini adalah tempat dimana para penyu
selalu berkumpul, tetapi semenjak banyak nelayan yang ingin memburu para penyu untuk diambil
sisiknya, kami sudah jarang sekali berkunjung ke sini. Hera, dulu ada seekor penyu yang bernama
macto, dia adalah penyu yang sangat tangguh sama sepertimu. Dia juga bisu seperti mu. tapi dia
tidak pernah befikir bahwa dengan memiliki kekurangan seseorang tidak bisa mewujudkan
mimpinya, karena semangatnya itu. Macto bisa mewujudkan mimpinya menjadi pemimpin klan
penyu hijau” jelas penyu itu.

Marlite terlihat mengeluarkan sesuatu dari mulutnya, ternyata itu sebuah kalung sisik penyu
yang di tengahnya ada mutiara hitam yang sangat cantik. “Hera, ini adalah kalung peninggalan dari
macto dia pernah memintaku untuk memberikan kalung ini pada seorang yang percaya bahwa mimpi
itu akan tercapai walaupun banyak rintangan yang menghalang, pesanku jagalah kalung ini dan
apabila kamu sudah merasakan bahwa mimpi itu ada tolong kamu berikan kalung ini kepada orang
yang masih banyak mimpinya untuk dicapai”. Aku tak mengerti apa yang dikatakan marli tiba tiba

sinar senja mulai muncul terbias sampai ke dasar lautan, tiba-tiba alex datang dan berkata
“Kembalilah ke rumah mu. Kau akan memiliki sebuah impian besar yang tidak hanya akan menjadi
impian namun juga kenyataan!”.
“Hera, hera sayang! ayo bangun! Hari sudah siang! Ada apa denganmu Hera, tumben sekali
kau bangun sesiang ini?” Itu suara ibu. Ah bu.. pasti aku kelelahan karena bermain-main di pantai. Bu
aku lelah, ke… kenapa ini. Kenapa aku tidak bisa berbicara. Aku mengambil kertas dan menuliskan
“Bu kenapa aku tidak bisa berbicara, kemarin aku bisa berbicara bahkan aku berbicara dengan
penyu” Ibu ku hanya tersenyum dan berkata “Hera kamu hanya mimpi sayang” kata ibu sambil
mengusap rambut ku.Aku kembali menengok ke kiri kananku, tetapi ticket impian yang diberikan alex
sudah tidak ada, ibu benar.. itu semua hanya mimpi. Tetapi, kalung dari marli telah tergantung di
leherku. Aku heran, apakah ini mimpi atau tidak.
Langkahku menuju pantai terasa berat, dengan muka yang tertekuk tetapi di sertai juga rasa
senang dan terheran heran. aku menuju pantai untuk bertemu sahabat-sahabatku, aku ingin
bercerita tentang mimpiku semalam yang luar biasa. Sesampaiku di pantai, penyu menyambut
kedatanganku dan kuceritakan semua mimpiku di bibir pantai. Seperti biasanya, seluruh perasaan
kuceritakan melalui butiran pasir yang ku wujudkan melalui sebuah lukisan. Namun, kali ini gambar
yang kulukiskan tampak berbeda seperti biasanya. Semua perasaan, kulampiaskan pada lukisanku
sehingga menciptakan sebuah lukisan yang membentang luas. Aku sendiri tidak sadar telah
menciptakan lukisan semegah ini, apa karena kulukiskan dengan emosi dan perasaan?
“Hey Hera, kamu ngapain? Kamu pikir kamu pelukis hebat, lukisan jelek kaya gini kok kamu

pamerkan! Mau kamu tunjukkan ke siapa lukisan itu, ohh pasti mau kamu tunjukkan ke penyumu
yang aneh itu. Hahahaha”. Seperti biasa aku aku selalu menjadi bahan olok olokan oleh teman teman
sebaya ku. Dan entah kenapa aku tak bisa mengendalikan perasaanku, biasanya aku tak
menghiraukan mereka dan sudah terbiasa. Namun, pada saat ini perasaanku begitu kacau, seolah
olah harapan ku telah musnah ditelan mimpi dan kenyataan
“Kamu bilang ingin bersekolah bersama kami, tapi apa? Yang kamu bisa setiap hari hanya
menggambar dan berbicara dengan penyu lah, ombak lah, karang lah, apalah itu dasar gila.” Ucap
salah satu dari mereka. “Untung ibumu sabar merawat dan mengajarimu, kalau aku yang jadi ibumu,
mungkin kamu sudah aku tenggelamkan di tengah laut biar jadi makanan ikan hiu. Hahaha”. Tak bisa
lagi kubendung air mataku, aku berlari sekencang mungkin meninggalkan lukisan dan teman

temanku yang kejam itu. Kucari sosok ibuku untuk menangis dan mengadu, hanya dia yang baik
padaku di dunia ini.
“Kamu kenapa Hera? Tanya ibuku kebingungan. Aku hanya bisa terisak menggambarkan
perasaanku tak bisa kuucapkan sepatah kata pun untuk mengungkapkannya. Ternyata marli sudah
berbohong padaku, tak ada mimpi yang bisa dicapai oleh orang sepertiku, aku berusaha untuk
menjelaskan hal ini kepada ibu. Tapi, Ibu hanya mengusap rambutku, menenangkan ku, di peluknya
aku erat erat agar aku tenang.
Tiba tiba semilir angin berhembus mengantarkan musik dalling yang menyambut kedatangan
tamu agung, dari kejauhan terlihat segerombolan penjabat daerah yang berkunjung ke pulau ini.

Tarian dalling itu sangat indah, dengan gerakan tangan dan pinggul yang gemulai dimainkan oleh
para penari membuatku seakan akan melupakan kesediah yang telah kurasakan, seakan akan para
penari itu menari untuk menghiburku. Gerakan tangan dan pinggul selaras mengikuti alunan musik
yang menyertainya. Ayo usap air matamu, kita lihat pertunjukan tarian daling itu
Sesampai ku di pantai ternyata ada seorang penjabat beserta rombongan yang mengunjungi
pulau kami. Aku lebih memilih bersembunyi di balik batu yang besar daripada bersalaman ddengan
penjabat itu seperti orang orang lain. Salah seorang pengawal penjabat melihat lukisan pasir yang
kugambar, pengawal itu ingin menghapus lukisanku karena telah merusak pemandangan sang kepala
diknas. Tapi… “Tunggu, jangan dihapus dulu. Ini lukisan siapa, indah sekali. Siapa yang
membuatnya?” tanya penjabat itu. “Permisi pak, yang melukis lukisan itu adalah Hera Reyes pak!”
kata seorang anak yang sering melihatku melukis di atas pasir. Penjabat itu bertanya tanya siapa yang
namanya hera. Semua orang langsung melirikku di balik batu. “Kemarilah nak, jangan takut” ajak
penjabat.
Aku menghampiri kepala diknas itu. “Kamu kelas berapa Hera?” tanya penjabat itu. Aku hanya
terdiam dan melirik ke arah ibu. “Saya ibunya hera pak. Hera tidak bisa bersekolah karena tidak ada
sekolah yang mau menerima dia karena hera ini bisu” jelas ibuku. “Sayang sekali anak berbakat
seperti hera tidak bisa bersekolah” jawab pak penjabat.
Penjabat itu mengajakku ke kota untuk bersekolah di sana. Tak kusangka penjabat itu
rupanya pak kepala diknas kabupaten berau. Tubuhku terasa lemas ketika pak kepala diknas itu
berkata seperti itu, ternyata aku sudah tak percaya bahwa anak sepertiku dapat menggapai mimpi.

Benar yang dikatakan marli. Dan kepala diknas bertanya kepadaku hadiah apa yang bisa diberikannya
kepadaku. Jawabannya kulukiskan di atas pasir, ternyata pak kepala diknas mengerti apa yang aku
mau. Aku ingin hadiahku yaitu memberikan larangan dan menghukum orang yang sudah memburu
penyu penyu yang kulitnya akan dijadikan sisik. Pak kepala diknas menyanggupi permintaanku.
Keesokan harinya, aku berangkat ke kota bersama ibu dan kepala diknas untuk bersekolah di
sana. Sepanjang perjalananku ke kota aku selalu menggenggam erat kalung yang diberikan marli
kepadaku saat di mimpi. Dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku berjanji akan selalu percaya dan
berusaha bahwa mimpi seseorang akan terkabul apabila kita mau berusaha dan tak pernah patah

semangat untuk menggapai mimpi itu dan aku juga akan melanjutkan pesan marli. Untuk
memberikan kalung sisik ini kepada orang yang percaya bahwa mimpi itu akan selalu tercapai
walaupun banyak rintangan yang menghadang. Teman temanku, penyu, ombak, dan karang aku tidak
akan melupakan kalian, ini bukanlah perpisahan. Aku akan kembali membawa perubahan, dan aku
janji aku tidak akan lagi dihina oleh anak anak lain.

Sumber:
http://cerpenmu.com/cerpen-fantasi-fiksi/melukis-asa-di-atas-pasir-pulau-derawan.html