Computer Usage Readiness E Commerce Read

Computer Usage Readiness, E-Commerce Readiness dan E-Business Readiness
Pada Industri Kreatif Subsektor Agribisnis
(Studi Pada Usaha Kecil Menengah Keripik Pisang di Bandar Lampung)

Oleh: Wheny Khristianto
Dosen Jurusan Administrasi Bisnis-Universitas Lampung
Email: whenykh@yahoo.com
Abstrak
Ekonomi Indonesia berkembang dengan pesat saat dunia memasuki era ekonomi kreatif.
Teknologi Informasi telah menjadikan peluang untuk mengembangkan industri kreatif menjadi
sangat besar dan terbuka. Peran industri kreatif sudah terbukti menjadi pendorong pertumbuhan
ekonomi rakyat, salah satunya di industri kretaif berbasis agribisnis. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui dan mendeskripsikan adopsi teknologi informasi, mengidentifikasi dan
menganalisa faktor penghambat Computer Usage Readiness, E-Commerce Readiness dan EBusiness Readiness di sektor usaha agribisnis keripik pisang di Bandar Lampung. Terdapat 30
UKM di industri keripik pisang yang menjadi sampel pada penelitian ini. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Hasilnya adalah: adopsi
teknologi informasi di usaha keripik pisang masih sangat rendah, tetapi usaha-usaha tersebut
mempunyai computer usage readiness, e-Commerce readiness, dan e-Business readiness yang
tinggi. Pada penelitian ini ditemukan juga bahwa kesiapan sumber daya manusia, keuangan, dan
ketidaktahuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi menjadi kendala adopsi teknologi
informasi dan komunikasi pada usaha mereka.

Kata kunci: ekonomi kreatif, teknologi informasi, computer usage readiness, e-Commerce
readiness, e-Business readiness.
PENDAHULUAN
Ekonomi informasi berkembang dengan pesat seiring dengan pengaruhnya di berbagai
sendi kehidupan msyarakat. Interkoneksi antar manusia dan lingkungan global telah merubah
karakter masyarakat, gaya hidup, dan perilaku masyarakat. Dalam dunai bisnis, pasar menjadi
semakin terbuka dan luas dengan tingkat kompetisi yang tinggi. Hal inilah yang menjadikan
negara maju mengakui bahwa dalam menekan biaya produksi dan efisiensi, mereka
mendapatkan pesaing besar, yaitu Cina dan Jepang. Oleh karenanya, negara-negara maju
melakukan pemindahan konsentrasi industri ke negara berkembang di kawasan Asia. Hal ini pula
yang menjadi bukti bahwa negara-negara maju tidak lagi dapat mengandalkan kekuatan di bidang
industri. Ada kekuatan lain yang lebih unggul dari kekuatan industri, yaitu kekuatan sumber daya
manusia (SDM) yang kreatif (Khristianto, 2008).
Saat ini, dunia memasuki era ekonomi ke-empat, yaitu era ekonomi yang menempatkan
informasi, kreatifitas, dan inovasi berperan sebagai penggerak dalam pertumbuhan ekonomi. Era
ekonomi ini disebut dengan era ekonomi kreatif. Era industri kreatif merupakan kelanjutan dari
era informasi, seperti yang diungkapkan oleh Alvin Tofler dalam Future Shock pada tahun 1970
bahwa peradaban manusia terdiri dari tiga gelombang: era pertanian, era industri, dan era
informasi (Esti dan Suryani, 2008). John Howkins, dalam bukunya yang berjudul The Creative
Economy yang terbit pada tahun 2001 mengatakan bahwa kehadiran gelombang ekonomi

keempat baru disadari setelah ditemukan bukti bahwa di Amerika Serikat, hak cipta pada tahun
1996 mempunyai nilai ekspor sebesar USD 60,2 miliar. Angka tersebut melampaui ekspor
industri otomotif, pesawat, dan pertanian (Esti dan Suryani, 2008).

Untuk menyongsong gelombang ekonomi kreatif, maka sejak tahun 2007 pemerintah
Indonesia telah melakukan kajian awal untuk memetakan kontribusi ekonomi dari sektor industri
kreatif. Selanjutnya Departemen Perdagangan (Depdag) menyusun Rancangan Pengembangan
Ekonomi Kreatif Indonesia. Terdapat 14 (empat belas) sektor yang diklasifikasikan sebagai
industri kreatif oleh Depdag, meliputi: periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain,
fashion, film-video dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan
percetakan, layanan komputer, radio dan televisi (Simatupang, 2008). Dalam perkembangannya,
beberapa sektor industri ikut mengambil bagian sebagai inkubator industri kreatif, seperti
agrobisnis, kuliner, dan otomotif (Murniati, 2009). Industri kreatif ini dalam kenyataannya
banyak didominasi dan digerakkan oleh pemilik industri kecil dan menengah (Murniati, 2009).
Sebagai kelanjutannya, Pemerintah kemudian mencanangkan tahun 2009 sebagai Tahun
Indonesia Kreatif. Industri kreatif memang layak mendapatkan perhatian, karena industri ini telah
mampu memberikan sumbangan kepada Produk Domestik Bruto (PDB) nasional secara
signifikan, yaitu dengan rata-rata kontribusi sebesar 104,637 triliun rupiah pada periode 20022006. Nilai ini berarti industri kreatif telah memberikan kontribusi sebesar 6,28% pada periode
2002-2006. Nilai kontribusi ini berada di atas kontribusi sektor pengangkutan umum dan
komunikasi, sektor bangunan, dan sektor listrik, gas dan air bersih (Depdag, 2007).

Pada tahun 2006, kontribusi industri kreatif terhadap PDB mengalami penurunan, menjadi
sebesar 5,67%. Hal ini disebabkan oleh menurunnya bisnis di subsektor industri kerajinan,
desain, fesyen, dan film, video dan fotografi yang merupakan bagian dari industri kreatif.
Walaupun begitu, jika dianalisis berdasarkan subsektor industrinya, maka terdapat subsektor
industri kreatif yang sangat potensial dan memiliki pertumbuhan PDB di atas pertumbuhan PDB
nasional. Sebagai bukti, berdasarkan rata-rata pertumbuhan PDB tahuan periode 2002-2006
dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,24%, maka subsektor industri kreatif
memiliki rata-rata pertumbuhan sebagai berikut: (1) musik (18,06%), (2) penerbitan dan
percetakan (12,59%), (3) periklanan (11,35%), (4) arsitektur (10,86%), (5) layanan komputer dan
piranti lunak (10,60%), (6) televisi dan radio (8,51%), (7) permainan interaktif (8,24%), (8) pasar
barang seni (7,65%), dan (9) seni pertunjukan (7,65%) (Depdag, 2007). Hal ini membuktikan
bahwa industri kreatif menjadi leading sector yang konstruktif dalam memberikan kontribusi
devisa (Yusuf, 2009). Industri kreatif juga sangat berperan dalam penyerapan tenaga kerja. Pada
tahun 2006, terdapat lima subsektor industri kreatif yang memberikan kontribusi terhadap
penyerapan tenaga kerja dia atas rata-rata pertumbuhan penyerapan tenaga kerja nasional dan
rata-rata pertumbuhan tenaga kerja sektor industri kreatif, yaitu: (1) arsitektur (36,83%), (2)
layanan komputer dan piranti lunak (31,40%), permainan interaktif (30,75%), (4) riset dan
pengembangan (28,89%), dan periklanan (26,2%).
Saat ini, peluang untuk mengembangkan industri kreatif sangat besar dan terbuka.
Teknologi informasi (TI) menjadi salah satu sarana untuk mempercepat berkembangnya

indusutri kreatif, karena TI memberikan kemudahan dalam melakukan kreatifitas, dapat dijadikan
sebagai alat untuk untuk menwarkan, menjual, dan memasarkan produk industri kreatif. Kondisi
ini semakin kondusif, karena perubahan yang terjadi pada perilaku pasar dan konsumen yang
terjadi sekarang ini. Konsumen menjadikan TI sebagai sarana untuk memperoleh informasi
tentang suatu produk dengan cepat, mengetahui harga di pasaran melalui media TI.
Peran industri kreatif yang signifikan dan sudah terbukti sebagai pendorong pertumbuhan
ekonomi rakyat. Peluang untuk mengembangkan industri kreatif juga sangat terbuka karena
potensinya yang sangat melimpah di Indonesia. Saat ini, industri kreatif daerah belum menjadi
kajian yang intensif dan masih kurang mendapatkan perhatian, sehingga industri kreatif tersebut
belum mampu menjadi industri yang membuka lapangan kerja secara lebih luas, melakukan
ekspor, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah secara signifikan.

Saat ini, industri kreatif di Lampung sudah mulai tumbuh, namun belum mampu
berkembang baik (Lampung Post, 2011). Meskipun banyak menghasilkan kreatifitas yang diakui
di tingkat nasional, perkembangan industri kreatif yang mulai marak sejak tahun 2009 di
Lampung dinilai belum maksimal (Lampung Post, 2011). Selain masih minimnya peran
pemerintah daerah dalam pengembangan industri kreatif, hal lain yang menjadi alasan belum
berkembangnya industri kreatif secara optimal adalah adopsi teknologi yang masih rendah
(Lampung Post, 2011). Padahal, adopsi teknologi, terutama teknologi informasi (TI) dapat
dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan transformasi bisnis, ketepatan dan efisiensi

pertukaran informasi (Rahmana, 2009), memperluas jaringan pemasaran dan memperluas market
share. Peningkatan adopsi TIK ini sangat diperlukan agar industri kreatif mampu bertahan dan
bersaing dalam kancah perdagangan global.

TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka pada penelitian ini
dimaksudkan untuk:
a. mengetahui dan mendeskripsikan adopsi TI oleh UKM industri kreatif subsektor
agribisnis, dan
b. mengidentifikasi dan menganalisa faktor penghambat adopsi TI yang dihadapi oleh UKM
industri kreatif subsektor agribisnis
TINJAUAN PUSTAKA
Difusi Inovasi
Difusi adalah proses dimana sebuah inovasi diadopsi oleh anggota pada suatu komunitas
(Hasyim, 2007). Ada empat faktor yang mempengaruhi adopsi sebuah inovasi oleh anggota atau
bagian dari sebuah organisasi, yaitu: (1) inovasi itu sendiri, (2) saluran komunikasi yang
digunakan untuk menyebarkan inovasi, (3) waktu, dan (4) dimana tampat inovasi tersebut
diperkenalkan (Roger, 1995). Adopsi inovasi mempunyai arti yang kompleks, karena hal ini
menyangkut proses pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh banyak faktor untuk
menerima ide-ide baru. Adopsi inovasi merupakan bagian dari strategi perusahaan, sehingga

dalam proses adopsi inovasi diperlukan informasi yang cukup. Selanjutnya, calon adopter
(pelaku adopsi) akan mencari informasi dari sumber informasi yang relevan dan sesuai dengan
kebutuhan perusahaan.
Ada empat tahapan dalam adopsi inovasi, yaitu: tahap kesadaran, tahap menaruh minat,
tahap evaluasi, dan tahap mencoba. Tahap kesadaran adalah tahapan dimana calon adopter
belajar tentang sesuatu yang baru. Pengetahuan calon adopter terhadap hal yang akan diadopsi
biasanya masih bersifat umum. Tahap menaruh minat, dimana calon adopter mulai
mengembangkan informasi yang diperoleh pada tahap pertama. Calon adopter mulai mempelajari
secara lebih rinci tentang ide baru tersebut. Lebih dari itu, calon adopter bahkan tidak merasa
puas jika hanya mengetahui saja, akan tetapi mereka ingin berbuat yang lebih banyak lagi.
Sebagai contoh, calon adopter akan menggali informasi dari berbagai media cetak maupun media
elektronik. Tahap evaluasi merupakan tahap ketiga. Setelah calon adopter mempunyai informasi
yang banyak dan bukti-bukti yang sudah terkumpul, maka calon adopter akan melakukan
penilaian untuk menentukan apakah teknologi baru tersebut akan diadpsi atau tidak. Tahap
selanjutnya adalah tahap mencoba, yaitu tahap dimana calon adopter melakukan interaksi
langsung terhadap teknologi baru tersebut. Tahap ini merupakan konsekuensi jika calon adopter

menyimpulkan bahwa teknologi atau hal baru akan memberikan dampak yang baik bagi
kelangsungan organisasi atau individu yang terkait dengan teknologi atau hal baru tersebut.
Tahap mencoba ini dapat dilakukan secara perseorangan atau berkelompok.

Adopsi biasanya terjadi pada unit yang lebih kecil, seperti individu atau perusahaan. Hal
ini tentunya berbeda dengan difusi yang umumnya terjadi pada tingkat yang lebih luas. Roger
(1995) membedakan orang yang mengadopsi inovasi berdasarkan atas waktu menjadi 5, yaitu: (1)
innovator, mereka adalah pengambil resiko dan pionir yang merupakan kelompok awal yang
melakukan adopsi, (2) early adopter, adalah kelompok kedua yang melakukan interkasi dengan
inovasi dan berperan membantu menyebarluaskan inovasi tersebut kepada pihak lain, (3) early
majority, adalah kelompok yang dipengaruhi oleh innovator dan early adopter , (4) late majority
adalah mereka yang melakukan pendekatan secara seksama terhadap inovasi sampai mempunyai
keyakinan bahwa adopsi yang dilakukan tersebut memberikan hasil yang terbaik, dan (5)
laggard, adalah individu yang sangat skeptis dan mempunyai sikap menolak untuk melakukan
adopsi sampai mereka merasa sangat memerlukan untuk melakukan adopsi.
Teknologi Informasi
Sebelum istilah TI muncul dan berkembang, istilah TI biasa disebut teknologi komputer
atau pengolahan data secara elektronik (electronic data processing). Istilah TI dalam pengertian
modern pertama kali muncul dalam sebuah artikel tahun 1958 yang ditulis oleh Leavitt dan
Whisler dan diterbitkan oleh Havard Business Review. Leavitt dan Whisler mengatakan bahwa
teknologi baru belum memiliki nama tunggal. Kita akan menyebutnya dengan teknologi
informasi (http://hbr.org/1958/11/management-in-the-1980s, diakses tanggal 21 Maret 2012).
Menurut Martin (1999), TI tidak hanya terbatas pada teknologi komputer yang digunakan untuk
menyimpan informasi, melainkan juga mencakup teknologi komunikasi untuk mengirimkan

informasi. Lukas (2000) juga menyebutkan bahwa TI adalah segala bentuk teknologi yang
diterapkan untuk memproses dan mengirim informasi dalam bentuk elektronik.
McLeod (2005) menyampaikan bahwa terdapat tiga alasan mendasar untuk semua
aplikasi bisnis dalam TI, yaitu: (1) mendukung proses bisnis, (2) mendukung pengambilan
keputusan para pegawai dan manajernya, (3) mendukung berbagai strategi untuk keunggulan
kompetitif. Pada perkembangannya, TI merupakan suatu teknologi yang digunakan untuk
mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, memanipulasi data
dalam berbagai cara untuk menghasilkan informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang
relevan, akurat dan tepat waktu, yang digunakan untuk keperluan pribadi, bisnis, dan
pemerintahan dan merupakan informasi yang strategis untuk pengambilan keputusan. Teknologi
ini menggunakan seperangkat komputer untuk mengolah data, sistem jaringan untuk
menghubungkan satu komputer dengan komputer yang lainnya sesuai dengan kebutuhan, dan
teknologi komunikasi digunakan agar dapat disebar dan diakses secara global (Rahmana, 2009).
Industri Kreatif
Definisi industri kreatif menurut Wikipedia adalah sekumpulan aktivitas ekonomi yang
terkait
dengan
penciptaan
atau
penggunaan

pengetahuan
dan
informasi
(http://.id.wikipedia.org/wiki/industri_kreatif, diakses tanggal 23 Maret 2012). Industri ini dikenl
juga dengan sebutan industri budaya atau ekonomi kreatif. Menurut Department for Culture,
Media and Sport (DCMS)-United Kingdom (UK), industri kreatif merupakan industri yang
berasal dari pemanfaatan kreatifitas, ketrampilan, serta bakat individu untuk menciptakan
kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya
cipta individu tersebut (DCMS, 2001). Sedangkan Kementerian Perdagangan Indonesia
memberikan pengertian yang sama dengan DCMS.

Berdasarkan definisi di atas, DCMS, pemerintah UK mengejawantahkan industri kreatif
menjadi 11 (sebelas) subsektor. Sedangkan pemerintah Indonesia menetapkan 14 (empat belas)
subsektor yang merupakan industri berbasis kreatifitas. Empat belas subektor industri kreatif
tersebut adalah: periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, fesyen, video-film
dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan
komputer dan perinti lunak, televisi dan radio, riset dan pengembangan (Depdag, 2007). Dalam
perkembangannya, beberapa sektor industri ikut mengambil bagian sebagai inkubator industri
kreatif, seperti agrobisnis, kuliner, dan otomotif (Murniati, 2009)
Indonesia Design Power (IDP), sebagai kelompok kerja di bawah Depdag Republik

Indonesia menyusun Rancangan Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia yang berisi:
a. Rencana Pengembangan Industri Kreatif 1009-2025, memaparkan pengantar dan arah
pengembangan ekonomi kreatif Indonesia, kerangka kerja pengembangan ekonomi
kreatif, dan rencana strategis pengembangan ekonomi kreatif Indonesia 2009-2025;
b. Rencana Pengembangan 14 (empat belas) subsektor industri kreatif 2009-2015,
memaparkan pemahaman umum, kontribusi ekonomi, analisis dan pemetaan kondisi,
rencana strategis pengembangan, dan kisah keberhasilan (success story) untuk masingmasing subsektor industri kreatif.
Adopsi TI Oleh Industri Kreatif
Penelitian ilmiah yang mengkaji adopsi TI oleh industri kreatif masih belum ditemukan.
Hal ini dimungkinkan karena industri kreatif dalam kenyataannya banyak didominasi dan
digerakkan oleh pemilik industri kecil dan menengah (Murniati, 2009). Sehingga dalam tinjauan
pustaka ini akan dipaparkan tentang adopsi TI pada usaha kecil dan menengah (UKM). Namun
peran TI dalam menciptakan nilai pada industri kreatif. Hal ini disampaikan oleh Wibisono
(2010) bahwa TI sangat berpengaruh terhadap kemudahan dalam melakukan kreatifitas.
Kreatifitas merupakan kunci utama dalam industri kreatif, karena TI seperti komputer, software,
internet dan perangkat lainnya dapat berperan sebagai sumber informasi yang tidak terbatas untuk
mendapatkan ide atau gagasan baru, peluang yang memberikankontribusi untuk mengembangkan
industri kreatif.
Adeosun, et al (2009) berpendapat bahwa penggunaan TI memberikan nilai positif bagi
strategi manajemen yang terkait dengan aspek komunikasi, akses informasi, pengambilan

keputusan, manajemen data dan knowledge management pada sebuah organisasi. TI dapat
menjadi kekuatan strategi dan alat bagi organisasi yang memberikan keuntungan pada aspek
promosi dan kekuatan daya saing (Buhalis, 2003). Hengst dan Sol (2001) berpendapat bahwa TI
memberikan keuntungan bagi organisasi bisnis untuk mengurangi biaya dan meningkatkan
kemampuan organisasi bisnis dalam melakukan koordinasi dengan pihak luar. Namun, beberapa
peneliti dengan penelitian yang telah dilakukan mengungkapkan fakta bahwa adopsi TI di UKM
masih sangat rendah dari yang diharapkan (Pavic, et al., 2007; Yu, 2006).
Di era knowledge-based economy saat ini adalah penting bagi UKM untuk melakukan
adopsi TI. Karena adopsi TI memberikan kemampuan bagi UKM untuk memberikan layanan
yang semakin baik dan daya saing (Apulu dan Latham, 2011). TI juga terbukti mempunyai
dampak positif pada kinerja organisasi (Maldeni dan Jayasena, 2009). Organisasi bisnis modern
diperkirakan tidak akan mampu bekerja secara optimal dan dapat memberi dampak yang kurang
baik terhadap daya tahan dan pertumbuhan ekonomi secara umum (Berisha-Namani, 2009).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lefebvre, et al., (1999), terdapat empat faktor yang
menetukan adopsi teknologi baru oleh UKM, yaitu: (1) karakteristik UKM, (2) strategi dan

manajemen kompetisi UKM, (3) pengaruh pihak internal dan eksternal dalam proses
pengambilan keputusan adopsi, dan (4) karakteristik teknologi baru yang akan diadopsi.
METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Kegiatan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian
deskriptif. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2002:3), metode penelitian kualitatif
sebagai suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati. Penelitian kualitatif memandang obyek yang
diteliti secara holistik. Jadi dalam hal ini tidak mengisolasi individu atau organisasi ke dalam
variabel atau hipotesis tetapi memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Sedangkan
jenis penelitian deskriptif, menurut Nawawi (2001:44) dapat diartikan sebagai penelitian yang
berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data yang
ada. Jadi ia juga menyajikan data, menganalisis, dan menginterpretasi.
Daerah Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di industri kreatif subsektor agrobisnis, dalam hal ini adalah
industri keripik pisang di kota Bandar Lampung . Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan
alasan bahwa di Bandar Lampung terdapat industri kreatif komoditi agrobisnis keripik pisang
yang mempunyai potensi sangat besar, mempunyai orientasi pasar antar daerah di dalam Propinsi
Lampung maupun daerah di luar Propinsi Lampung.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Tinjauan Kondisi Umum Sentra UKM Keripik Pisang di Kelurahan Segalamider
Tanaman pisang termasuk dalam famili Musaceae yang berordo Saitaminae. Famili
Musaseae mempunyai sub famili yang salah satunya adalah Muscoideae dengan genus yaitu
Musa . Jenis buah pisang yang banyak dikenal antara lain adalah pisang ambon, pisang kepok,
pisang raja, pisang siam, pisang tanduk, pisang muli, dan pisang mas. Di Indonesia, tanaman
pisang hampir tersebar di seluruh propinsi. Hal ini dikarenakan iklim Indonesia sangat sesuai
untuk tumbuhan pisang, sehingga ini sangat memungkinkan sekali bagi tanaman pisang tumbuh
dengan baik dan tersebar di sepanjang daerah tropik pada kawasan 30 derajat LU dan 30 derajat
LS. Tabel 1 di bawah ini menunjukkan daerah sentra produksi pisang di Indonesia.
Tabel 1. Daerah Sentra Produksi Pisang di Indonesia
Propinsi
Wilayah
Jawa Barat
Sukabumi, Garut, Bogor, Purwakarta, Serang
Jawa Tengah
Demak, Pati, Banyumas, Sidoarjo, Kesugihan, Kutosari, Pringsurat
Jawa Timur
Banyuwangi, Malang Selatan
Sulawesi Tenggara
Sepanjang aliran sungai
Lampung
Lampung Selatan, Lampung Tengah, Lampung Timur
Sumatera Utara
Padang Sidempuan, Natal, Samosir, Tarutung, Pematang Siantar,
Belawan, Rantau Prapat
NTT
Seluruh daerah
Bali
Bulelelng, Karang Asem, Jembarna, Tebaran
Sumatera Selatan
Tebing Tinggi, Ogan Komering Ulu, Ogan Komering Ilir, Baturaja

Sumatera Barat
Tanah Datar, Agan, Pariaman, Pasaman
Sumber: www.deptan.go.id/ditbuah/komoditi/pisang, 2003.
Berdasarkan Tabel di atas, Provinsi Lampung termasuk salah satu sentra tanaman pisang
di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa bagi Propinsi Lampung, pisang merupakan
hasil bumi andalan karena produksinya lebih tinggi dibandingkan buah-buahan lainnya, yaitu
sebesar 19.081 ton7tahun (BPS 2003) dan merupakan salah satu komoditas ekspor. Tingginya
produksi pisang ini memberikan peluang bagi munculnya industri pengolahan keripik pisang di
Lampung. Industri ini membutuhkan pisang segar sebanyak 35.880 ton/tahun atau 11% dari total
produksi yang ada di Lampung.
Karakteristik Umum Responden Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada 30 UKM yang ada di sentra UKM Keripik Pisang, Bandar
Lampung. Karakteristik umum responden diuraiakan berdasarkan jenis kelamin, umur, tingkat
pendidikan, umur perusahaan, jumlah karyawan, pengetahuan tentang TIK, penggunaan
komputer, penggunaan telepon, pengetahuan responden tentang komputer, pembuatan laporan
keuangan, penggunaan internet, dan penyimpanan informasi perusahaan.
(i)
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, didapatkan data bahwa sebanyak 53% pemilik usaha keripik
pisang ini adalah laki-laki, sedangkan 47% pemilik usaha keripik pisang ini adalah permpuan.
Data teresebut dapat dilihat pada Diagram 1 di bawah ini.

Wanita
47%

Pria
53%

Sumber: Data primer yang diolah, 2012.
Diagram 1. Data Responden Pemilik UKM Keripik Pisang di Bandar Lampung
Berdasarkan Jenis Kelamin
Fakta bahwa jumlah pemilik UKM Keripik Pisang mayoritas laki-laki dapat dipahami.
Hal ini disebabkan berwirausaha adalah sesuatu kegiatan yang mengandung resiko yang patut
dipertimbangkan, sehingga menurut kodratnya perempuan adalah sosok yang berhati-hati dalam
aktivitas yang berkaitan dengan transaksi jual beli, usaha dan sejenisnya jika dibandingkan
dengan laki-laki (Kolsaker dan Payne, 2002). Selain itu, budaya di masyarakat Indonesia, pada
umumnya memposisikan seorang laki-laki sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap
nafkah keluarga. Berdasarkan kenyataan ini, tidak salah jika laki-laki lebih banyak berperan
sebagai pemilik usaha dibandingkan perempuan. Jadi, tidak salah jika pemilik UKM Keripik
Pisang didominasi oleh laki-laki.

(ii). Distribusi Responden Berdasarkan Umur
Pada penelitian ini, umur responden dikelompokkan menjadi lima bagian. Berdasarkan
pengelompokkan tersebut, ternyata responden yang berumur antara 31 tahun sampai 35 tahun dan
yang berumur 36 tahun sampai 40 tahun mendominasi sebagai pemilik UKM Keripik Pisang
dengan masing-masing sebanyak 10 orang (33%). Kelompok umur 25 tahun sampai 30 tahun
tidak ditemui dalam penelitian ini (0%). Secara detail, komposisi distribusi umur responden dapat
dilihat pada Diagram 2 di bawah ini.
> 45 tahun
10%
41-45 tahun
23%

25-30 tahun
0%
31-35
tahun
34%

36-40 tahun
33%

Sumber: Data primer yang diolah, 2012.
Diagram 2. Distribusi Responden Berdasarkan Umur
Berdasarkan data di atas mencerminkan bahwa pelaku UKM Keripik Pisang adalah
mereka yang berusia matang dan produktif, yaitu usia 25 tahun ke atas. Hal ini dikarenakan
seseorang yang berusia 25 tahun ke atas dianggap mampu dan memiliki tanggung jawab dalam
menjalankan usaha.
(iii). Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Latar pendidikan responden saat ini paling banyak adalah sekolah menengah umum
(SMU) sebanyak 22 orang (73%). Responden yang mempunyai latar belakang pendidikan
sekolah menengah pertama (SMP) sebanyak 4 orang (13%), diploma sebanyak 2 orang (7%), dan
perguruan tinggi sebanyak 2 orang (7%). Distribusi ini ditunjukkan pada Diagram 3 di bawah ini.
Perguruan
Tinggi SMP
7% 13%

Diploma
7%

SMU
73%

Sumber: Data primer yang diolah, 2012.
Diagram 3. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan

Penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas pelaku UKM berpendidikan menengah atas.
Hanya sedikit dari responden yang mengenyam pendidikan setingkat SMP dan perguruan tinggi.

Hal yang menyebabkan para responden memiliki pendidikan hanya sampai SMU mungkin
dikarenakan faktor ekonomi, latar belakang keluarga. Sesuai dengan latar belakang pendidikan
yang mereka miliki, responden mempunyai latar belakang yang cukup baik sebagai pelaku
wirausaha.
(iv). Distribusi Responden Berdasarkan Umur Perusahaan
Pelaku UKM keripik pisang mempunyai keragaman dalam menjalankan usahanya, salah
satunya ditunjukkan dari umur perusahaan. Mereka mulai menjalankan usaha keripik pisang
dalam waktu yang tidak bersamaan. Namun, didapatkan data bahwa sebanyak 15 UKM Keripik
Pisang (50%) mempunyai umur usaha yang sama, yaitu antara 3 tahun sampai 5 tahun.
Data distribusi responden berdasarkan umur perusahaan ditunjukkan pada Diagram 4
sebagari berikut.
> 8 tahun
17%

< 3 tahun
16%

6-8 tahun
17%
3-5 tahun
50%

Sumber: Data primer yang diolah, 2012.
Diagram 4. Distribusi Responden Berdasarkan Umur Perusahaan
Berdasarkan data di atas, diketahui juga bahwa terdapat 5 UKM (17%) yang memiliki
umur usaha antara 6 tahun sampai 8 tahun, 5 UKM (17%) memiliki umur usaha lebih dari 8
tahun, dan 5 UKM (17%) yang memiliki umur usaha kurang dari 3 tahun. Hal ini menunjukkan
bahwa usaha keripik pisang di Bandar Lampung merupakan sebuah usaha yang relatif baru
berkembang dan masih mempunyai peluang untuk terus bertambah jumlah UKM yang bergerak
di usaha ini.
(v). Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Karyawan
Jumlah karyawan yang dimiliki oleh UKM Keripik Pisang cukup beragam. Ada 23 UKM
(77%) yang memiliki karyawan sebanyak 1-5 orang. Sebanyak 6 UKM (20%) memiliki jumlah
karyawan 6-10 orang, dan hanya 1 UKM (3%) yang mempunyai karyawan sebanyak 11-15
orang. Distribusi dari jumlah karyawan dapat dilihat secara lebih jelas pada Diagram 5 berikut
ini.

11-15
orang
3%

> 15
orang
0%

6-10
orang
20%

1-5 orang
77%

Sumber: Data primer yang diolah, 2012.
Diagram 5. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Karyawan
Data pada Diagram 5 di atas menunjukkan bahwa UKM-UKM tersebut terbukti mampu
menyerap tenaga kerja, walaupun pada penelitian ini jumlah tenaga kerja yang diserap oleh
UKM-UKM tersebut relatif masih kecil jumlah karyawannya. Hal ini ditunjukkan bahwa yang
dominan jumlahnya adalah UKM yang memiliki karyawan sebanyak 1-5 orang.
(vi). Distribusi Responden Tentang Pengetahuan TIK
Pada penelitian ini, pengetahuan tentang TIK yang dimiliki oleh pemilik UKM dapat
ditampilkan pada Diagram 6 di bawah ini.

Tidak
20%
Ya
80%

Sumber

: Data primer yang diolah, 2012
Diagram 6. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan TIK

Sesuai dengan data diatas, terdapat 24 pemilik UKM (80%) yang sudah mempunyai
pengetahuan tentang TIK. Jumlah ini adalah jumlah yang dominan. Kemudian, hanya 6 pemilik
UKM (6%) yang belum memiliki pengetahuan tentang TIK. Pengetahuan tentang TIK ini
meliputi pengetahuan tentang perkembangan telepon, handphone, komputer, dan internet.
Pengetahuan mereka tersebut dapat berasal dari informasi yang ada di media cetak ataupun non
cetak, dari orang lain, dari membaca buku dan sumber-sumber informasi lainnya.

(vii). Distribusi Responden Tentang Penggunaan Komputer
Data distribusi responden berdasarkan berdasarkan penggunaan komputer dapat
ditampilkan pada Diagram 7 sebagai berikut.
Ya
13%

Tidak
87%

Sumber

: Data primer yang diolah, 2012.
Diagram 7. Distribusi Responden Beradasarkan Penggunaan Komputer

Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa sebanyak 26 UKM (87%) tidak
menggunakan komputer dalam menjalankan usahanya. Jumlah ini adalah jumlah yang dominan.
Kemudian, sebanyak 4 UKM (13%) yang menggunakan komputer untuk membantu kinerja usaha
UKM.
Masih banyaknya UKM yang tidak menggunakan komputer mungkin disebabkan oleh
beberapa hal, seperti: kurangnya sumber daya manusia yang mampu mengoperasikan komputer,
jumlah investasi yang dikeluarkan untuk pembelian komputer, atau pengetahuan tentang
komputer yang masih sangat terbatas. Bukti bahwa pengetahuan tentang komputer di kalangan
UKM keripik pisang masih kurang didapatkan dari minimnya jumlah pemilik UKM keripik
pisang yang mempunyai pengetahuan tentang komputer.
(viii). Distribusi Responden Tentang Penggunaan Internet
Data UKM yang menggunakan internet terdapat pada Diagram 7. yang ditampilkan
seperti di bawah ini.
Ya
7%

Tidak
93%

Sumber

: Data primer yang diolah, 2012.
Diagram 8. Distribusi Responden Tentang Penggunaan Internet

Berdasarkan data pada Diagram 7 didapatkan realitas bahwa sebanyak 28 UKM (93%)
tidak menggunakan internet, sedangkan hanya 2 UKM (7%) yang menggunakan internet. Data ini
menunjukkan bahwa UKM yang bergerak di industri keripik pisang masih mempunyai tingkat

penggunaan internet yang sangat minim sekali. Internet masih belum menjadi kebutuhan atau hal
yang perlu untuk usaha mereka dapat disebabkan karena beberapa hal, seperti: jumlah investasi
yang harus dikeluarkan, selama ini usaha dapat berjalan lancar tanpa adanya peran internet,
sumber daya yang mampu menguasai teknologi internet masih sangat terbatas sekali.
Deskripsi Variabel Penelitian
a. Deskripsi Variabel Computer Usage Readiness
Variabel computer usage rediness diteliti dengan 3 item pertanyaan yang dapat dilihat
distribusi frekuensi untuk masing-masing item seperti terlihat di Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Rekapitulasi Distribusi Frekuensi Penilaian Responden pada Variabel
Computer Usage Readiness
Jawaban Responden
SS

Item
f

%

S
f

%

No. 18 1
3,33%
20
66,67%
No. 19 12
40%
9
30%
No. 20 11
36,67%
9
30%
Sumber: Data primer yang diolah, 2012.

N

TS

STS

f

%

f

%

f

%

1
7
5

3,33%
23,33%
16,67%

8
0
5

26,67%
0%
16,67%

0
2
0

0%
6,67%
0%

Keterangan:
No. 18 : Kesiapan untuk menggunakan teknologi komputer guna mengelola perencanaan produksi
No. 19 : Kesiapan menggunakan teknologi komputer untuk pengelolaan barang-barang di gudang
No. 20 : Kesiapan menggunakan teknologi komputer untuk penjadwalan proses dari bahan baku menjadi bahan jadi
dan siap dipasarkan.

Berdasarkan Tabel 2 di atas, dapat diketahui bahwa jawaban terbanyak responden untuk
item No. 18 adalah setuju, yaitu sebanyak 20 responden (66,67%). Hal ini menunjukkan bahwa
mayoritas responden mempunyai kesiapan untuk menggunakan teknologi komputer guna
mengelola perencanaan produksi. Alasan responden memberikan jawaban setuju adalah bahwa
teknologi komputer dapat digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan usaha dan
mempermudah pekerjaan. Responden yang menyatakan tidak setuju adalah 8 responden
(26,67%). Ini menunjukkan bahwa UKM di sentra keripik pisang yang belum ada kesiapan untuk
menggunakan teknologi komputer disebabkan karena mereka tidak bisa menggunakan teknologi
dan menganggap teknologi komputer belum begitu penting digunakan dalam usaha mereka.
Jawaban terbanyak untuk item No. 19 adalah sangat setuju, yaitu sebanyak 12 responden
(40%). Ini menunjukkan bahwa mayoritas responden mempunyai kesiapan penggunakan
teknologi komputer untuk pengelolaan barang-barang di gudang. Mereka memberikan alasan
bahwa teknologi komputer dapat digunakan untuk meningkatkan usaha dan mempermudah
pekerjaan. Untuk item No. 19 ini, hanya ada terdapat 2 responden (6,67%) yang menyatakan
tidak setuju. Mereka tidak siap menggunakan teknologi komputer untuk pengelolaan barangbarang di gudang karena tidak bisa menggunakan teknologi.
Kemudian, jawaban terbanyak untuk item No. 20 adalah sangat setuju, yaitu 11 responden
(36,67%). Ini berarti bahwa mayoritas responden mempunyai kesiapan menggunakan teknologi

komputer untuk penjadwalan proses dari bahan baku menjadi bahan jadi dan siap dipasarkan.
Alasan jawaban mereka adalah teknologi tersebut dapat mempermudah pekerjaan, seperti
mengecek keluar masuknya barang dan meningkatkan pasar yang akan diperoleh oleh
perusahaan. Responden yang menjawab tidak setuju untuk item No. 20 sebanyak 5 responden
(16,67%). Alasan mereka tidak siap menggunakan teknologi karena teknologi komputer terlalu
susah , sehingga mereka tidak dapat menggunakan. Alasan yang lain adalah mereka belum
mempunyai danan untuk membeli teknologi komputer ini.
b. Deskripsi Variabel e-Commerce Readiness
Variabel e-Commerce Readiness diteliti dengan menggunakan 3 item pertanyaan.
Distribusi frekuensi masing-masing item pada variabel e-Commerce Readiness disajikan pada
Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Rekapitulasi Distribusi Frekuensi Penilaian Responden pada Variabel
e-Commerce Usage Readiness
Jawaban Responden
SS

Item
f

%

S
f

%

No. 21
6
20%
11
36,67%
No. 22
6
20%
13
43,33%
No. 23
6
20%
13
43,33%
Sumber: Data primer yang diolah, 2012

N

TS

STS

f

%

f

%

F

%

10
6
8

33,33%
20%
26,67%

3
4
3

10%
13,33%
10%

0
1
0

0%
3,33%
0%

Keterangan:
No. 21 : Kesiapan menggunakan internet untuk menerima pesanan pembelian dari pelanggan.
No. 22 : Kesiapan menggunakan internet untuk menjual produk-produk hasil usaha kepada pembeli.
No. 23 : Kesiapan menawarkan pelayanan kepada pelanggan melalui internet.

Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa jawaban terbanyak responden untuk item
No. 21 adalah setuju, yaitu 11 responden (36,67%). Hal ini menujukkan bahwa responden
mempunyai kesiapan menggunakan internet untuk menerima pesanan pembelian dari pelanggan.
Alasannya adalah teknologi internet dapat digunakan untuk memperluas jangkauan pasar dan
mempercepat pekerjaan. Untuk responden yang memberikan jawaban tidak setuju hanya terdapat
3 responden (10%). Alasan mereka tidak siap menggunakan teknologi internet karena mereka
belum menguasai teknologi tersebut.
Jawaban terbanyak responden untuk item No. 22 adalah setuju, yaitu 13 responden
(43,33%). Responden cenderung setuju, siap menggunakan internet untuk menjual produkproduk hasil usaha kepada pembeli karena dengan bantuan internet mereka mampu untuk
memperperluas jangkauan pelanggan, mempermudah interaksi dengan pembeli, sehingga
meningkatkan volume penjualan. Responden yang menyatakan tidak setuju sebanyak 4
responden (13,33%). Mereka tidak siap menggunakan internet karena tidak bisa menggunakan
dan menganggap bahwa internet belum dibutuhkan dalam usaha mereka.
Kemudian, untuk item No. 23, jawaban terbanyak adalah setuju, yaitu 13 responden
(43,33%). Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden mempunyai kesiapan menawarkan
pelayanan kepada pelanggan melalui internet. Alasan mereka adalah untuk meningkatkan usaha
dan mempercepat pekerjaan. Responden yang memberi jawaban tidak setuju sebanyak 3

responden (30%). Mereka tidak siap menawarkan layanan kepada pelanggan melalui internet
dengan alas an mereka belum dapat menggunakan internet.
c. Deskripsi Variabel e-Business Readiness
Variabel e-Commerce Readiness diteliti dengan menggunakan 3 item pertanyaan.
Distribusi frekuensi masing-masing item pada variabel e-Business Readiness disajikan pada
Tabel 4.
Tabel 4. Rekapitulasi Distribusi Frekuensi Penilaian Responden pada Variabel
e-Busines Readiness
Jawaban Responden
SS

Item
f

%

S
f

%

No. 24
3
10%
17
56,67%
No. 25
8
26,67%
11
36,67%
No. 26
8
26,67%
14
46,67%
Sumber: Data primer yang diolah, 2012.

N

TS

STS

f

%

f

%

F

%

6
10
6

20%
33,33%
20%

4
0
2

13,33%
0%
6,67%

0
1
0

0%
3,33%
0%

Keterangan:
No. 24: Kesiapan untuk mengatur segala bentuk transaksi bisnis dengan pembeli (pemesanan, pembayaran, surat
menyurat, dan lainnya) menggunakan media elektronik
No. 25: Kesiapan untuk mengatur segala bentuk transaksi bisnis dengan pelanggan (pemesanan, pembayaran, surat
menyurat, dan lainnya) menggunakan media elektronik
No. 26: Kesiapan untuk mengatur segala bentuk transaksi bisnis dengan pemasok (pemesanan, pembayaran, surat
menyurat, dan lainnya) menggunakan media elektronik

Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa pada item No. 24, jawaban responden terbanyak
adalah setuju, sebanyak 17 responden (56,67%). Jawaban ini menunjukkan bahwa mayoritas
responden mempunyai kesiapan untuk mengatur segala bentuk transaksi bisnis dengan pembeli,
misalnya untuk keperluan pemesanan, surat menyurat dengan menggunakan media elektronik.
Mereka beralasan bahwa dengan menggunakan media elektronik, mereka dapat meningkatkan
usaha dan promosi. Terdapat 4 responden (13,33%) yang menyatakan tidak setuju, karena mereka
belum mampu menggunakan, transaksi bisnis dengan pembeli melalui media elektronik belum
begitu diperlukan, dan mereka tidak ada dana untuk membeli teknologi.
Untuk item No. 25, jawaban responden paling banyak adalah setuju. Jawaban ini berasal
dari 11 responden (36,67%). Hal ini memberikan bukti bahwa mayoritas responden kesiapan
untuk mengatur segala bentuk transaksi bisnis dengan pelanggan menggunakan media
elektronik. Hal ini disebabkan karena mereka dapat meningkatkan hasil usaha yang mereka
jalankan. Hanya terdapat 1 responden yang menyatakan sangat tidak setuju (3.33%), karena
responden tersebut memiliki keterbatasan dana dan sumber daya manusia.
Kemudian, untuk item No. 26, mayoritas responden memberikan jawaban setuju, yaitu 16
responden (46,67%). Responden mempunyai kesiapan untuk mengatur segala bentuk transaksi
bisnis dengan pemasok menggunakan media elektronik, karena untuk mempermudah proses
bisnis. Hanya terdapat 2 responden (6,67%) yang menyatakan tidak setuju. Alasan mereka tidak
siap untuk mengatur segala bentuk transaksi bisnis dengan pemasok menggunakan media
elektronik adalah dana yang mereka miliki terbatas.

KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, terdapat beberapa kesimpulan dan
saran yang dapat diuraiakn sebagai berikut:
1. Adopsi TI oleh UKM di sentra industri keripik industri pisang di Bandar Lampung masih
sangat rendah. Hal ini terbukti dari masih sangat sedikitnya UKM yang menggunakan
komputer dan internet untuk mendukung kinerja usaha yang mereka miliki.
2. Rendahnya tingkat adopsi TI, seperti komputer dan internet disebababkan oleh anggapan
pelaku bisnis bahwa perlu dana yang besar untuk mengadopsi TI, kurangnya sumber daya
manusia mumpuni yang dapat menjalankan TI yang diadopsi, dan anggapan bahwa usaha
tetap dapat berjalan dan berkembang tanda adanya adopsi TI.
3. Mayoritas UKM di sentra industri keripik pisang memiliki Computer Usage Readiness.
Hal ini ditunjukkan dengan tingginya kesiapan untuk menggunakan teknologi komputer
guna mengelola perencanaan produksi, kesiapan penggunakan teknologi komputer untuk
pengelolaan barang-barang di gudang, dan mayoritas responden mempunyai kesiapan
menggunakan teknologi komputer untuk penjadwalan proses dari bahan baku menjadi
bahan jadi dan siap dipasarkan.
4. Mayoritas UKM di sentra industri keripik pisang memiliki e-Commerce Readiness.
Kesiapan ini ditunjukkan dengan tingginya kesiapan menggunakan internet untuk
menerima pesanan pembelian dari pelanggan, kesiapan menggunakan internet untuk
menjual produk-produk hasil usaha kepada pembeli, dan kesiapan menawarkan pelayanan
kepada pelanggan melalui internet
5. E-Business Readiness dari UKM di sentra industri keripik pisang juga tinggi. Hal tersebut
Kesiapan untuk mengatur segala bentuk transaksi bisnis dengan pembeli, pelanggan, dan
pemasok (pemesanan, pembayaran, surat menyurat, dan lainnya) menggunakan media
elektronik.
Sesuai dengan kesimpulan di atas, maka ada beberapa saran yang dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Adopsi TI di sentra industri keripik pisang perlu ditingkatkan. Hal ini ditujukan agar
industri keripik pisang mempunyai daya saing di era bisnis global. Kemampuan TI dapat
dijadikan sarana untuk mempromosikan produk, perluasan pangsa pasar, mencari
konsumen, dan menjalin hubungan dengan pelanggan melalui media internet. Hal tersebut
tentunya dapat berdampak pada meningkatnya omset penjualan.
2. Untuk meningkatkan adopsi TI di kalangan UKM, maka perlu dilakukan langkah-langkah
seperti: (a) penyadaran kepada pelaku UKM tentang manfaat dan kegunaan TI untuk
mendukung bisnis, (b) pelatihan tentang komputer, internet terhadap UKM, serta (c)
proses pendampingan sehingga UKM dapat memiliki sumber daya manusia yang dapat
menjalankan TI yang akan diadopsi. Hal ini dapat dilakukan oleh pemerintah daerah
bekerja sama dengan institusi pemerintah lainnya atau pihak swasta.

DAFTAR PUSTAKA
……………….. 2007. Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia , Departemen Perdagangan
Republik Indonesia.
……………….. 2001. Creative Industries Mapping Document, Department of Culture, Media
and Sport, London , United Kingdom.
………………… 2011. Produk Industri Kreatif Sulit Dipasarkan. Lampung Post, 28
Desember.
………………… 2011. Industri Kreatif: Potensi Besar, Hambatan Besar. Lampung Post,
6 Pebruari.
Apulu, I., Latham, A. 2011. Driver for Information and Communication Technology Adoption: A
Case Study of Nigerian Small and Medium Sized Enterprises . International Journal of
Business and Management, Vol. 6, No. 5, May.
Adeosun, O., Adeosun, T.H., and Adetunde, I.A. 2009. Strategic Application of Information and
Communication Technology for Effective Service Delivery in Banking Industri. Journal
of Social Science, 5(1), 47-51.
Berisha-Namani, M. 2009 The Role of Information Technology in Small and Medium sized
Enterprises in Kosovo. Fullbright Academy Conference Small Places Can Change The
World.
Buhalis, D. 2003 eAirlines: Strategic and Tactical Use of ICTs in the Airlines Industri.
Information and Management, 41, 805-825.
Hasyim, J. 2007. Information Technology Adption Among SME Owners in Malaysia .
International Journal of Business and Information, Vol.2, No. 2, Desember.
Hengst, M., Sol, H.G. 2001. The Impact of Information and Communication Technology on
Interorganizational Coordination: Guidelines from Theory. Informing Science, Special
Series on Information Exchange in Electronic Markets, 4, 3, 2001. A Special Series on
Information Exchange in Electric Markets.
Kolsaker, A and Payne, C. 2002. Engendering Trust in E-Commerce: A Study of Gender-based
Concerns. Marketing Intelligence and Planning . Vol 20, No.4, pp. 206-214.
Khristianto, W. 2008. Peluang dan Tantangan Industri Kreatif di Indonesia. Jurnal Bisnis dan
Manajemen, Vol. 5, No. 1, ISSN 1411-9366.
Lucas, C.H. 2000. Information Management, 7th Edition. McGraw-Hill, New York.
Maldeni, H.M.C.M., Jayasena, S. 2009. Information and Communication Technology Usage and
Bank Branch Performance. The International Journal on Advances in ICT for Emerging
Regions (ICTer), 2(2), 29-37.
McLeod, R. 2005. Management Information System, 10th Edition. Prentice Hall. New York

Moleong, L. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit Rosda Karya, Bandung.
Murniati, D.E. 2009. Peran Perguruan Tinggi Dalam Triple Helix Sebagai Upaya
Pengembangan Industri Kreatif. Seminar Nasional Peran Pendidikan Kejuruan Dalam
Pengembangan Industri Kreatif. Jurusan PTBB FT UNY, 21 Nopember.
Nawawi, H. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Pavic, S., Koh, S.C.L., Simpson, M., Padmore, J. 2007. Could e-Business Create a Competitive
Advantage in UK SMEs? Benchmarking: An International Journal 14(3), 320-351.
Rahmana, A. 2009. Peranan Teknologi Informasi Dalam Peningkatan Daya Saing Usaha Kecil
Menengah. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi (SNATI), ISSN: 1907-5022,
Yogyakarta.
Roger, E.M. 1995. Diffusion of Innovation (4th Edition). New York: The Free Press.
Simatupang, T.M. 2008. Industri Kreatif Indonesia . Bandung: Sekolah Bisnis dan Manajemen,
Institut Teknologi Bandung.
Wahid, F., Iswari, L. 2007. Adopsi Teknologi Informasi Oleh Usaha Kecil dan Menengah Di
Indonesia . Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi (SNATI), ISSN: 1907-5022,
Yogyakarta.
Wibisono, A. 2010. Industri Kreatif: Peran Teknologi Informasi dan Penciptaan Nilai.
Yu, C.S. 2006. Exploring Influences on Taiwanese e-Marketplace Adoption Decisions. Journal of
Global Information Technology Management, 9(2), 5-21
Yusuf, H.E. 2009. Peluang Pasar Industri Kreatif. Harian Pikiran Rakyat, 15 Januari.

Dokumen yang terkait

AN ALIS IS YU RID IS PUT USAN BE B AS DAL AM P E RKAR A TIND AK P IDA NA P E NY E RTA AN M E L AK U K A N P R AK T IK K E DO K T E RA N YA NG M E N G A K IB ATK AN M ATINYA P AS IE N ( PUT USA N N O MOR: 9 0/PID.B /2011/ PN.MD O)

0 82 16

Anal isi s L e ve l Pe r tanyaan p ad a S oal Ce r ita d alam B u k u T e k s M at e m at ik a Pe n u n jang S MK Pr ogr a m Keahl ian T e k n ologi , Kese h at an , d an Pe r tani an Kelas X T e r b itan E r lan gga B e r d asarkan T ak s on om i S OL O

2 99 16

IMPLEMENTASI E SERVICE PT TELKOM DALAM MENINGKATKAN BRAND AWARNESS ( StudiPadaDivisiPelayananPelanggan PT Telkom Kota Madiun)

1 22 61

Modul TK E 2016 150 hlm edit Tina M imas

2 44 165

Pengaruh Penerapan E Spt Ppn dan Kualitas Pelayanan Pajak Terhadap Kepuasan Wajib Pajak (Studi Kasus pada Pengusaha Kena Pajak di KPP Bandung Karees)

6 35 50

Pengaruh Penerapan E Faktur dan Efisiensi Pengisian SPT Terhadap Persepsi Pengusha Kena Pajak (Studi Kasus pada KPP Pratama Garut)

10 42 26

Pembuatan Personal Computer Game Edukasi Matematika Untuk Anak TK

0 17 1

Pengaruh Persepsi Kemudahan dan Kepuasan Wajib Pajak Terhadap Penggunaan E Filling (Survei Pada Wajib Pajak Orang Pribadi Di Kpp Pratama Soreang)

12 68 1

Pengaruh Sistem Administrasi Perpajakan Modern dan Penerapan E Filling Terhadap Kualitas Pelayanan (Studi Kasus pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Subang)

5 56 42

PENGARUH ARUS PENGELASAN TERHADAP KEKUATAN TARIK PADA PENGELASAN BIMETAL (STAINLESS STEEL A 240 Type 304 DAN CARBON STEEL A 516 Grade 70) DENGAN ELEKTRODA E 309-16

10 133 86