Politik Luar Negeri Indonesia dan Peruba
Politik Luar Negeri Indonesia dan Perubahan
Diskursus tentang Pembangunan: Sebuah
Tinjauan Ekonomi-Politik*
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
[email protected]
ABSTRACT
This paper aims to analyze how the bebas-aktif foreign policy dealing with
the contemporary development of global capitalism. Since its declaration
in 1945, the bebas-aktif foreign policy tried to place Indonesia in the
ideological battlefield of world politics. As argued by Mohammad Hatta in
his speech, the bebas-aktif foreign policy tends to avoid the rooted conflict
between the capitalist United States and the communist Sovyet Union, and
consequently placed Indonesia in an active but independent form of
articulation in international politics. But after the cold war ended up with
the fall of Sovyet Union and the acclaimed triumph of capitalism, the
world politics has no more coloured by the ideological batte. Since the fall
of Sovyet Union, the world order has been built under the globalised
mechanism of global capitalism which operates through two main
international financial institutions: IMF and The World Bank. Since its
establishment, they expands the logic of market-driven development to
many third world countries. In Southeast Asia, the changing sphere of
global capitalism raised after the economic crisis hit Asia in 1997-1998. It
implied many countries, including Indonesia, to comply with several
development frameworks offered by IMF and The World Bank in the name
of “good governance”. The discourse of ‘good governance’ created by
those financial institutions is currently hegemonizing the Indonesian
development policy and injecting the new ideology of market liberalism
which is operated through the regulatory state. Utilizing the structuralist
and political economy approach, this paper argues that in dealing with
those problems, the bebas-aktif foreign policy should be reformulated in
structural approach, which address the political economic dimension in
the foreign policy making process.
Keywords: Bebas-Aktif Foreign Policy, Political Economy, Global Capitalism,
Discourse
Makalah Disampaikan pada Seminar Politik Luar Negeri Bebas-Aktif, Balai Senat Universitas
Gadjah Mada, 2 September 2013. Mohon tidak dikutip tanpa seizin penulis.
*
“.. Betapa djuga lemahnja kita sebagai bangsa jang baru, menurut anggapan
Pemerintah kita harus tetap mendasarkan perdjoangan kita atas adagium: pertjaja
kepada diri sendiri dan berdjoang atas tenaga dan kesanggupan jang ada pada
kita...”
-Mohammad HattaA. Pendahuluan
Dalam salah satu tulisannya tentang politik luar negeri Indonesia,
Mohammad Hatta menyatakan, “…Indonesia, rich in natural resources and having
84,000,000 inhabitants, comes automatically as an important factor onto the
chessboard of world politics…” (Hatta, 1958: 480). Menurut Hatta, salah satu faktor
yang menentukan posisi politik Indonesia dalam kancah global adalah kekayaan
sumber daya alam yang berlimpah dan jumlah penduduk yang begitu besar.
Sebagai negara bekas koloni yang baru saja merdeka, Indonesia dihadapkan
pada sebuah pilihan sulit: tarikan eksternal dan kebutuhan dana untuk menyukseskan
program pembangunan. Pilihan untuk membangun perekonomian seringkali
berujung pada masuknya sebuah negara ke kubu-kubu politik tertentu –untuk
mendapatkan ‘bantuan’ (aid). Inilah sebabnya, sebuah pembangunan akan sangat
menentukan bagi politik luar negeri sebuah negara.
Tesis Hatta di atas pada dasarnya sangat relevan dengan kondisi Indonesia
saat ini. Dengan kekuatan sumber daya alam dan sumber daya manusia, Indonesia
menjadi ‘objek’ dari proses akumulasi kapital yang dilakukan oleh kekuatankekuatan dominan (Robison, 1986; Hadiz & Robison, 2004). Akan tetapi, selama ini,
tidak banyak studi tentang politik luar negeri, terutama politik luar negeri Indonesia,
yang membahas dari sisi ekonomi politik pembangunan. Padahal, dalam sejarah
politik luar negeri Indonesia, ‘bantuan pembangunan’ (aid) terbukti sangat kental
mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia, terutama di masa Orde Baru
(Weinstein, 1971). Setelah orde baru runtuh, kebijakan-kebijakan Indonesia di luar
negeri juga sangat terkait dengan wacana-wacana pembangunan neoliberal yang
dibawa oleh lembaga-lembaga keuangan internasional untuk mengatasi krisis
ekonomi 1998 (Novotny, 2004; Agussalim, 2011).
Sehingga, analisis mengenai politik luar negeri dalam perspektif ekonomi
politik pembangunan sangat diperlukan. Politik Luar Negeri pada dasarnya adalah
instrument sebuah negara untuk bermain dalam percaturan politik internasional
(Kegley & Wittkopf, 2006). Ekonomi Politik Internasional (EPI) sangat penting
untuk mendefinisikan ‘apa itu power dalam politik internasional’ dan ‘bagaimana
power beroperasi dalam politik internasional’ (Cox, 2004). Oleh sebab itulah,
ekonomi politik pembangunan menjadi sangat relevan untuk digunakan dalam
analisis politik luar negeri.
Paper ini akan mencoba untuk mengulas politik luar negeri Indonesia dalam
kacamata analisis tersebut. Paper ini, mengikuti perspektif kritis, melihat politik luar
negeri sebagai sebuah hasil dari pertarungan antara wacana-wacana pembangunan
yang dianut oleh rezim politik tertentu.1 Oleh sebab itu, berlawanan dengan
perspektif realisme yang melihat politik luar negeri hanya sebagai cara untuk
membangun kekuatan (power politics), paper ini melihat politik luar negeri sebagai
hasil dari kontestasi wacana tentang pembangunan yang tidak hanya dibuat oleh
pengambilan keputusan politik di dalam negeri, melainkan juga merupakan hasil dari
kontestasi wacana di luar negeri.
Dengan demikian, paper ini tidak melihat ‘politik luar negeri’ hanya sebagai
produk keputusan birokrasi (Kementerian Luar Negeri) atau keputusan individual
(Presiden) sebagaimana dipahami kaum ‘problem-solver’2, melainkan sebagai hasil
dari pertarungan wacana dan kepentingan ekonomi politik yang ada di dalam dan
luar negeri. Sebab, semua relasi sosial yang dikonstruksi di dunia memiliki basis
material yang diciptakan oleh ‘produksi’ dan relasi produksi tersebut direproduksi
melalui ‘ideologi’ yang menginterpelasi sebuah negara menjadi ‘subjek’ (Cox, 2004;
Althusser, 1977). Politik Luar Negeri, jika meminjam Cox (2002), adalah sebuah
1
Perspektif kritis yang dimaksud dalam paper ini lebih banyak mengikuti pendekatan EPI-Gramscian
yang diajukan oleh Robert W. Cox yang digabungkan dengan pendekatan kritis dalam studi
pembangunan yang digunakan untuk melihat bagaimana pembangunan berkaitan dengan politik luar
negeri suatu negara. Beberapa studi kritis tentang pembangunan telah dilakukan di beberapa negara:
Escobar (1995) untuk kasus Amerika Latin, Abrahamsen (2000) dan Ferguson (1995) untuk kasus
Afrika, Robison (1986) dan Hadiz dan Robison (2004) yang membahas Indonesia secara lebih spesifik,
serta Carroll (2010) yang membahas Asia Tenggara.
2
Pendekatan yang dimaksud sebagai ‘problem-solver’ melihat kebijakan luar negeri sebagai sebuah
problem yang harus diselesaikan oleh sang pembuat keputusan. Oleh sebab itu, pendekatan ini sangat
menekankan proses pembuatan keputusan dalam analisis politik luar negeri. Di antara karya yang
terkemuka adalah Allison (1971) yang membahas soal krisis misil kuba. Lihat Korany (1992).
proses untuk menciptakan semacam ‘structural power’ yang ditentukan oleh
kekuatan produksi sebuah negara. Oleh sebab itu, politik luar negeri tidak semata
keputusan yang diambil oleh struktur birokrasi negara, melainkan juga hasil dari
kontestasi wacana yang digunakan untuk mereproduksi kekuatan sebuah negara –
atau ‘pembangunan’. Hal inilah yang coba dianalisis melalui paper ini.
Paper ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan
mendiskusikan diskursus-diskursus tentang pembangunan dalam teori hubungan
internasional. Paper ini melihat ‘pembangunan’ sebagai sebuah konsep yang
dikontestasikan dalam konteks global, dan mempengaruhi praktik yang terjadi di
negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Bagian kedua akan mendiskusikan
konstruksi kebijakan luar negeri Indonesia dan kaitannya dengan kontestasi wacana
pembangunan
sejak
kemerdekaan.
Bagian
ketiga
akan
mengevaluasi dan
menyimpulkan secara kritis relasi antara pembangunan dan politik luar negeri
Indonesia.
B. Pembangunan: Diskursus yang Dikontestasikan
Bagaimana studi Hubungan Internasional membaca konsep ‘pembangunan’
(development)?
Penganut teori-teori modernisasi akan melihat ‘pembangunan’
sebagai proses transisi antara masyarakat yang tradisional menuju masyarakat
modern (Abrahamsen, 2000; Escobar, 1995: 6). Untuk menjadikan masyarakat
modern, tolak ukur yang digunakan adalah perubahan masyarakat dengan tolak ukur
pertumbuhan ekonomi. (Abrahamsen, 2000: 26). Untuk mendorong pertumbuhan,
kompetisi dan pasar bebas harus dihidupkan. Pembangunan dalam perspektif ini
adalah alat untuk memfasilitasi pasar yang efektif dan efisien. Dalam konsep ini,
pasar domestik harus diekspansi dan hambatan-hambatan pasar harus disingkirkan
melalui fasilitas negara yang teknokratis (Escobar, 1995: 48)
Di negara-negara dunia ketiga, Model pembangunan ini pertama kali
dikampanyekan oleh IBRD –kemudian berubah menjadi Bank Dunia— di dunia
ketiga dalam laporan mereka tentang Kolombia di tahun 1948 (Escobar, 1995: 25).
Menurut laporan di Kolombia, ‘negara dunia ketiga’ akan maju manakala mereka
dapat menyelesaikan problem di dalam negeri dengan membuka pasar (Escobar,
1995: 27). Negara-negara dunia ketiga dianggap sebagai ‘anak kecil’ yang harus
belajar dari orang dewasa (baca: Amerika Serikat dan negara-negara maju lain) untuk
dapat maju. Oleh sebab itu, pembangunan harus dikelola secara teknokratis dan
membuka peluang pada pasar untuk mengembangkan dirinya sendiri (self-regulating
market)
Oleh sebab itu, dari perspektif ini, berkembang teori-teori tentang
pertumbuhan
ekonomi
yang
linear,
memerlukan
tahapan-tahapan
tertentu,
teknokratis, kapitalistik dan sangat anti-politik.3 Bagaimana model pembangunan ini
dibiayai? Fenomena ekonomi-politik internasional yang terjadi di tahun 1970an
memberikan jawaban: adanya ‘oil boom’. Melonjaknya penerimaan Migas di banyak
negara, termasuk Indonesia, memberikan keuntungan pada kemampuan negara untuk
membiayai proyek pembangunan mereka (Robison, 1986). Untuk menopang hal itu,
dibukalah proyek penanaman modal asing yang di Indonesia telah berlangsung
melalui UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Robison, 1986).
Namun pada perkembangannya, teori pembangunan yang berbasis pada
modernisasi ini melahirkan persenyawaan dengan kekuatan-kekuatan otoritarian
yang
menjadikan
‘developmentalisme’
sebagai
tulang
punggung
untuk
mempertahankan legitimasi mereka. Herbert Feith menyebutnya sebagai ‘rezim
developmentalis represif’. (Feith, 1981). Dengan model ini, pembangunan yang
berbasis pada mekanisme pasar dan teknokrasi digalakkan dengan melalui represi
atas kekuatan-kekuatan sosial yang menghalangi pembangunan. Dengan model ini,
lahirlah oligarki politik yang disangga oleh pemilik modal dan lembaga keuangan
internasional (Robison, 2006).
Di akhir tahun 1980-an, model-model developmentalisme yang disangga oleh
kekuatan negara ini mengalami kontradiksi dan kegagalan-kegagalan. Surutnya dana
penerimaan di sektor Migas pasca-Oil Boom membuat negara memerlukan sumber
pembiayaan lain. Penerapan model pembangunan gaya lama yang bertumpu di atas
ekonomi pasar dan peran negara yang developmentalistik justru berakibat pada
hyper-inflasi, krisis pembayaran utang, krisis keuangan, hingga pelayanan publik
yang buruk (Abrahamsen, 2000: 37). Oleh sebab itu, Bank Dunia dan IMF
3
Di antara teori-teori tersebut adalah teori tentang ‘lima tahap pembangunan’ dari Rostow yang
melihat pembangunan sebagai sebuah proses yang linear dan teknokratis. Teori tersebut menjadi
acuan dari konsep pembangunan Orde Baru.
mempromosikan desain kebijakan pembangunan baru yang bertumpu pada
finansialisasi. Konsep pembangunan itulah yang disebut sebagai ‘structural
adjustment program’ (Hakim, 2011; Abrahamsen, 2000).
‘Structural adjustment program’ sebagai mantra jitu yang mengatasi krisis
ekonomi di sebuah negara punya dua strategi utama: ‘stabilisasi’ dan ‘langkah
penyesuaian struktural’. Konsep pertama digunakan oleh IMF sebagai resep
‘penyelamatan negara’ sehingga negara tersebut dapat keluar dari krisis ekonomi.
Setelah ekonomi stabil, barulah digunakan konsep kedua yang berisi langkahlangkah penyesuaian kebijakan yang disertai dengan pinjaman dana (Abrahamsen,
2000: 37-38). Kerangka kebijakan ini pertama kali diterapkan di Afrika Utara pada
dekade tahun 1980an.
Namun, konsep pembangunan ini juga tidak kedap kritik. Di antara yang
terkemuka adalah Escobar (1995), Ferguson (1995), dan Abrahamsen (2000). Dalam
karyanya yang terkenal di Lesotho, Ferguson (1995) melihat bahwa proyek
‘structural adjustment program’ pada dasarnya bersifat anti-politik dan justru
melemahkan kekuatan-kekuatan sosial yang ada dan memperkuat rezim politik yang
represif. Ferguson menceritakan sebagai berikut,
“…tbe “development in Lesotho is not a machine for eliminating poverty
that is incidentally involved with the state bureaucracy; it is a machine for
reinforcing and expanding the exercise of bureaucratic state power, which
is incidentally takes “poverty” as its point of entry –launching intervention
tbat may have no effect on the poverty but does in fact have other concrete
effects…”
(Ferguson, 1995: 302-303).
Analisis Ferguson menampilkan ‘sisi lain’ dari model structural adjustment
program tersebut: munculnya oligarki yang dimotori oleh negara. Ferguson melihat
bahwa kerangka pembangunan di Lesotho yang dikampanyekan oleh CIDA
(Canadian International Development Agency), setelah mereka menyatakan bahwa
proyek mereka Thaba-Tseka mengalami kegagalan, menghancurkan tatanan sosial
yang ada di Lesotho dengan ‘anti-politics machine’. Kritik ini menghujam pada
strategi pembangunan yang ditawarkan oleh Bank Dunia dan institusi pembangunan
internasional lain yang berbasis pada ‘structural adjustment program’.
Oleh sebab itu, mengacu pada beberapa kritik ini, pada tahun 1990an Bank
Dunia mulai mengubah strategi mereka dengan melibatkan ‘modal sosial’ sebagai
variabel yang tak terpisahkan dari pembangunan (Harris, 2002; Li, 2007; Carroll,
2010). Dengan melibatkan modal sosial, Bank Dunia memperkenalkan model
pembangunan yang bersifat desentralistik dan memperhatikan partisipasi melalui
mekanisme-mekanisme penjaringan aspirasi dalam perencanaan pembangunan
(Harris, 2002: 9). Namun, sebagaimana kritik-kritik yang mengemuka, ‘modal sosial’
yang dibangun hanya sekadar ‘bungkus’ dari model perencanaan yang masih sangat
teknokratis dan mengutamakan pasar (Hadiz, 2004; Hadiz, 2010; Carroll, 2010).
Dari pemaparan di atas, kita dapat memahami bahwa pada dasarnya,
diskursus tentang ‘pembangunan’ yang ada di negara-negara dunia ketiga tak lepas
dari diskursus yang diciptakan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional yang
ingin mempertahankan hegemoni neoliberalisme dalam ekonomi politik internasional.
Dengan
demikian,
‘governmentality’,
jika
menggunakan
pembangunan
argument
adalah
cara
Foucault
(1991)
negara-negara
maju
tentang
untuk
menormalisasi diskursus neoliberalisme dan meng-govern negara-negara dunia
ketiga. Inilah yang disebut oleh Cox (2004) sebagai ‘empire’.
Pertanyaannya,
bagaimana
diskursus-diskursus
tentang
pembangunan
tersebut mempengaruhi pembuatan kebijakan luar negeri? Cox (2004) berargumen,
ekonomi politik internasional memberi fondasi pada politik internasional untuk
memahami power. Dalam konteks negara dunia ketiga, Hatta (1958) telah
menyatakan bahwa posisi sebuah negara (Indonesia) akan ditentukan oleh sumber
daya apa yang ia miliki. Jika dipahami dalam konteks pembangunan, kita akan
sampai pada argument bahwa diskursus tentang pembangunan yang ada di suatu
negara berpengaruh terhadap konstruksi ‘kepentingan nasional’ yang ingin dicapai
dalam politik luar negeri. Pada titik inilah analisis tentang politik luar negeri RI
menjadi
relevan
untuk
memetakan
keterkaitan
antara
diskursus
tentang
pembangunan dan politik luar negeri.
C. Indonesia Pasca-Kolonial dan Lahirnya ‘Politik Bebas Aktif’
Analisis mengenai politik luar negeri RI dapat dibagi menjadi tiga babak
utama: Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Pada tanggal 2 September 1947,
Wakil Presiden Muhammad Hatta menyampaikan sebuah pidato di, hadapan Badan
Pekerja KNIP. Pidato yang kemudian diberi judul “Mendajung di Antara Dua
Karang” tersebut menjadi sebuah pidato yang bersejarah karena memuat pendirian
pemerintah RI dalam menyikapi pertarungan politik internasional. Pidato tersebut
disampaikan dalam konteks posisi Indonesia menyikapi perjanjian Renville yang
baru saja dibatalkan (Hatta, 1947).
Pidato tersebut mengambil latar perjanjian Renville yang baru saja dibatalkan
oleh pemerintah Amir Sjarifuddin. Menurut Hatta, pembatalan Renville yang terjadi
karena pergolakan di dalam negeri dan kecenderungan untuk memihak pada politik
anti-imperialisme Sovyet membuat Indonesia berada di bawah tarikan dua kekuatan
besar: ‘kapitalisme’, yang dipandu oleh paham lassez-faire dan persaingan bebas,
serta ‘sosialisme’ yang memiliki ‘materialisme sejarah’ sebagai cara untuk mengatur
manusia (Hatta, 1947: 484). Oleh sebab itulah, menurut Hatta, dengan potensi yang
menyeret Indonesia masuk pada percaturan politik internasional tersebut, Indonesia
harus memiliki posisi tawar.sendiri dengan ‘politik luar negeri bebas aktif’. Dengan
politik bebas aktif, Indonesia akan dapat melaksanakan pembangunan (Hatta, 1947;
Hatta, 1953: Hatta, 452; 1958: 489).
Dalam pidatonya, Hatta menyatakan pendirian politik luar negeri Indonesia
sebagai berikut,
Pemerintah berpendapat bahwa pendirian jang harus kita ambil ialah supaja
kita djangan mendjadi objek dalam pertarungan politik internasional,
melainkan kita harus tetap mendjadi subjek jang berhak menentukan sikap
kita sendiri, berhak memperdjoangkan tudjuan kita sendiri, jaitu Indonesia
Merdeka seluruhnja.
(Hatta, 1947: 9)
Haluan politik luar negeri Indonesia ditegaskan oleh Hatta: ‘percaya kepada
diri sendiri dan berjuang atas kesanggupan sendiri’. Hatta melihat bahwa pertarungan
politik internasional saat itu didominasi oleh dua kekuatan ‘raksasa’: Amerika
Serikat dan Uni Sovyet. Menyikapi pertarungan tersebut, Hatta menyatakan bahwa
Indonesia mendasarkan sikapnya pada kepentingan nasional yang menentukan sikap
dan posisi Indonesia di kancah global. Kepentingan nasional tersebut mengacu pada
‘politik ke dalam’ yang berisi strategi-strategi pembangunan pemerintah (Hatta,
1947).
Apa yang bisa diambil dari pembacaan Hatta tersebut? Pidato ‘mendajung di
antara dua karang’ menampilkan dua diskursus utama dalam haluan politik luar
negeri Indonesia: Pertama, haluan politik luar negeri Indonesia bertumpu pada
‘kepentingan nasional’ yang menentukan posisi dan sikap politik Indonesia. Kedua,
‘kepentingan nasional’ tersebut sangat berkaitan dengan diskursus tentang
‘pembangunan’ yang dijalankan oleh pemerintah di dalam negeri.
Pidato Hatta tersebut menyiratkan diskursus tentang pembangunan pascakolonial yang mengharuskan Indonesia untuk mencari dana pembangunan. Pencarian
dana pembangunan yang terhambat oleh adanya agresi dan konfrontasi militer
dengan Belanda membuat Indonesia harus memikirkan jalan; apakah harus berpihak
pada dua kekuatan atau harus bersikap independen; sehingga bisa lebih ‘lincah’
dalam bergerak. Pendirian tersebut diperjelas oleh Hatta dalam tulisannya yang lain
di tahun 1953,
“Indonesia cannot possibly reconcile herself to being tied to the economies
of a few nations, all the more so because certain articles of export such as
rubber are subject to much fluctuation in price. Only by adhering to a
peaceful yet independent policy can Indonesia ade quately safeguard its
economic interests”
(Hatta, 1953: 450)
Dari sana, terlihat bahwa haluan politik luar negeri yang diambil oleh
Indonesia sangat terkait oleh kebutuhan penting Indonesia, yaitu ekspor kayu.
Menurut Hatta, kondisi ekonomi Indonesia saat itu masih sangat lemah dan sangat
bergantung dengan ekspor. Oleh sebab itu, perdagangan dengan semua negara harus
dilakukan untuk menopang ekonomi nasional, juga menyukseskan agenda-agenda
pembangunan yang ada (Hatta., 1953: 450-451)..
Pada titik ini, kita bisa melihat bahwa politik luar negeri ‘bebas-aktif’ lahir
dari sebuah konteks pembangunan pasca-kolonial yang mengharuskan Indonesia
mencari strategi untuk mendapatkan dana pembangunan. Indonesia tidak menyatakan
memihak karena akan merugikan basis produksi Indonesia dalam perdagangan
internasional. Pada titik ini, pembangunan pasca-kolonial menjadi latar ekonomipolitik atas politik luar negeri Indonesia.
Pernyataan Hatta tersebut juga menjadi entry-point untuk memahami kiprah
Indonesia dalam menggalang negara-negara koloni untuk melawan penjajahan.
Dengan politik luar negeri bebas-aktif, Indonesia menggelar Konferensi Asia Afrika
(KAA) di Bandung, Aliansi NEFO (New Emerging Forces), dan aksi-aksi antikolonialisme. Diskursus utama yang mengemuka dalam aktivitas tersebut adalah
diskursus anti-kolonialisme dan penggalangan solidaritas negara-negara baru yang
secara geografis memiliki potensi perdagangan dengan Indonesia. Beberapa langkah
ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu kekuatan negara dunia ketiga di level
internasional.
Namun, kebijakan luar negeri ‘bebas-aktif’ ini lambat laun mulai merapatkan
Indonesia pada kekuatan-kekuatan Timur, terutama setelah tahun 1959. Kampanye
Indonesia untuk menolak keikutsertaan Malaysia di Dewan Keamanan PBB serta
kampanye pembebasan Irian Barat mendekatkan Indonesia dengan Sovyet.
Kedekatan tersebut diejawantahkan melalui bantuan dana pembangunan dan
dukungan politik (Derkach, 1965). Keluarnya Indonesia dari PBB dan kampanye
pembebasan Irian Barat merupakan cara Indonesia dalam membangun posisi di
negara-negara pascakolonial lain, yang juga tak lepas dari tarikan-tarikan kekuatan
politik yang memiliki sumber daya. Pada titik inilah kita akan memahami bahwa
konstruksi politik luar negeri Indonesia di era Orde Lama akan sangat terkait dengan
diskursus tentang pembangunan di level domestik dan internasional.
Akan tetapi, kekacauan politik pasca-30 September 1965 telah menyebabkan
Indonesia mulai disibukkan oleh isu-isu domestik. Melemahnya Sukarno dan
menguatnya kekuatan militer yang didukung oleh gerakan massa membuat situasi
politik berubah 180 derajat. Jenderal Soeharto, yang menjadi ‘bintang’ pada krisis
politik tersebut, mengambil alih kekuasaan pada tanggal 11 Maret 1966.
D. Utang dan Pembangunan: Politik Luar Negeri Indonesia era Orde Baru
Akan tetapi, pada tahun 1966, terjadi perubahan politik yang cukup drastic di
Indonesia: perpindahan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto. Ditopang oleh kekuatan
militer dan diuntungkan oleh efek politik pasca-G30S, Soeharto memegang tampuk
kekuasaan dan sejak 1968 menjadi Presiden RI. Sejak saat itu, Soeharto
menampilkan politik luar negeri yang berbeda 180 derajat dari Orde Lama. Soeharto
menormalisasi hubungan Indonesia-Malaysia, kembali masuk ke PBB, turut
mendirikan ASEAN, hingga menjalin hubungan yang lebih baik dengan negaranegara Barat (Sukma, 1995).
Pada konteks ini, Soeharto masih menjalankan politik bebas-aktif dengan
aktif dalam forum-forum internasional, terutama di tingkat regional. Namun, politik
luar negeri RI pada waktu itu lebih cenderung didesain untuk mendapatkan utang
luar negeri yang digunakan untuk membiayai pembangunan. IMF dan Bank Dunia
(IBRD) membiayai pembangunan tersebut. Sebagai kompensasi kebijakannya,
Soeharto mengesahkan UU Penanaman Modal Asing pada tahun 1967 yang menjadi
payung investasi asing dan diplomasi untuk mendapatkan utang (Robison, 1986).
Pengesahan UU tersebut juga diikuti oleh pelaksanaan Indonesia Investment
Conference di Jenewa yang disponsori oleh Time, Inc. dan menghadirkan para
pebisnis Barat yang ingin berinvestasi di Indonesia (Time, 1967). Konferensi
tersebut dihadiri oleh Adam Malik (Menteri Luar Negeri) dan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX.
Di awal masa pemerintahan Orde Baru, ‘utang’ menjadi diskursus utama
yang menggeret politik luar negeri. Konsekuensi dari ‘utang’ adalah strategi
pembangunan. Negara-negara donor yang difasilitasi oleh Amerika Serikat dan
lembaga-lembaga keuangan internasional tentu saja memiliki prasyarat-prasyarat
tertentu agar pinjaman dicairkan. Untuk menopang utang agar bisa memenuhi
kriteria pembangunan yang diinginkan oleh negara donor, Indonesia membentuk
IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) yang berisi negara-negara yang
memberikan resep kebijakan bersama-sama dengan IMF dan IBRD (Bank Dunia)
(Robison, 1986).4 Negara-negara donor yang tergabung dalam IGGI tersebut secara
rutin memberikan masukan kepada Indonesia mengenai strategi pembangunan apa
yang perlu dilaksanakan. Salah satunya, Soeharto yang ditopang oleh para teknokrat
dan ekonom-ekonom liberal yang percaya pada teori-teori modernisasi menerapkan
kebijakan yang berbasis pada perencanaan lima tahunan. Model perencanaan
pembangunan tersebut terinspirasi dari teori WW Rostow dan dibangun secara
teknokratis (Robison, 1986).
4
IGGI dibubarkan pada tahun 1992 dan digantikan oleh CGI (Consultative Group on Indonesia). Jika
IGGI bersifat preskriptif dan memberikan resep-resep kebijakan, CGI lebih bersifat konsultatif. Lihat
Sukma (1995).
Pada tahun 1974, kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka datang ke
Indonesia untuk melihat investasi yang sedang berjalan. Namun, kedatangan perdana
menteri Jepang tersebut segera mendapatkan protes dari mahasiswa yang menolak
investasi asing dan utang luar negeri. Pemerintah merespons dengan keras; terjadilah
peristiwa kerusuhan 15 Januari 1974 (Malari) di Jakarta.
Peristiwa Malari ini mencerminkan adanya resistensi terhadap kebijakan luar
negeri RI yang berbasis pada ‘utang’. Selain itu, fenomena ini memperlihatkan
diskursus
tentang
pembangunan
dimana
kebijakan
pembangunan
yang
‘developmentalistik’ diramu dengan otoritarianisme yang merepresi kekuatankekuatan sosial lain. Dengan mengedepankan investasi dan menjaga proyek tersebut
dengan kekuatan militer, Indonesia mendapatkan keuntungan dengan adanya oil
boom dan dana segar yang didapatkan oleh pemerintah melalui utang luar negeri dan
investasi.5 Diplomasi utang menampakkan hasil yang cukup signifikan pada awal
Orde Baru. Feith (1981) menyebut hal ini dengan ‘rezim developmentalis represif’.
Orde Baru meneruskan politik luar negeri bebas-aktif dengan aktif di forumforum ASEAN dan mendorong gerakan non-blok. Hal ini menyebabkan Indonesia
banyak tampil di forum-forum tingkat regional. Namun, di sisi lain, Indonesia juga
melakukak kebijakan anti-Sovyet dengan memutus semua bentuk hubungan
diplomatik dengan Sovyet dan China sejak 1967 (Sukma, 1995). Sehingga, pada titik
ini, kita sudah bisa membaca diskursus tentang pembangunan yang dianut oleh Orde
Baru, dengan mengedepankan utang luar negeri, kebijakan yang developmentalis,
dan militer yang represif terhadap kekuatan sosial lain. Kebijakan luar negeri RI
yang berbasis pada ‘diplomasi utang’ pada dasarnya adalah manifestasi dari
diskursus pembangunan yang menitikberatkan pada utang luar negeri dan
pembukaan investasi asing sebagai cara untuk mendapatkan dana segar dan
membiayai pembangunan yang telah diresepkan oleh IMF dan Bank Dunia.
Pada awal dekade 1990-an, Uni Sovyet jatuh dan Perang Dingin usai. Kondisi
ini mengubah prioritas politik luar negeri AS yang tidak lagi menggelontorkan
banyak uang ke Indonesia. Pada tahun 1992, IGGI yang mendampingi Indonesia
5
Salah satu investasi asing yang mula-mula dibuka adalah konsesi tambang emas di Papua yang
dikelola oleh Freeport, perusahaan tambang asal Amerika Serikat. Setelah itu, dibukalah investasiinvestasi asing, terutama di wilayah finansial dan pertambangan, yang diuntungkan oleh UU Nomor 1
tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
untuk membuat kebijakan pembangunan dibubarkan dan digantikan oleh CGI yang
lebih bersifat konsultatif (Sukma, 1995). Seiring dengan kebijakan luar negeri AS
yang berubah, Indonesia mulai memperkuat hubungan kerjasamanya melalui negaranegara Gerakan Non-Blok ketika terpilih memimpin Gerakan Non-Blok pada tahun
1995. Sementara itu, di level domestik, Indonesia mulai mengikuti perubahan
diskursus yang dibawa oleh Bank Dunia dengan serangkaian kebijakan deregulasi
dan liberalisasi (Hadiz dan Robison, 2004). Surutnya penerimaan dari minyak
membuat para investor Indonesia beralih ke sektor keuangan; liberalisasi finansial
berlangsung sejak dekade 1980an. Pertanyaannya, uangnya berasal dari mana? Lagilagi, jawabannya sama: dari utang. Dari sinilah tumbuh oligarki yang sudah lahir
sejak Indonesia membuka pintu investasi asing (Hadiz dan Robison, 2004: 74).
Namun, kebijakan liberalisasi tersebut tidak bisa bertahan ketika Indonesia
mengalami krisis keuangan di tahun 1997-1998. Ketika Rupiah ambruk,
perekonomian Indonesia tak mampu bertahan dari badai krisis dan akhirnya
membangkitkan kekuatan-kekuatan sosial yang telah lama direpresi oleh Orde Baru.
Kebijakan luar negeri Indonesia pada saat itu didesain untuk menstabilisasi
perekonomian dengan memperbaharui nota kesepahaman (Letter of Intent) dengan
IMF (Hadiz dan Robison, 2004). Namun, mota kesepahaman baru tersebut tak
mampu mengatasi krisis dan justru semakin memperhebat gerakan massa. Soeharto
jatuh pada tanggal 21 Mei 1998.
E. Neoliberalisme dan Politik Luar Negeri RI Pasca-Orde Baru
Setelah Soeharto jatuh, tampuk kepemimpinan Indonesia beralih pada
Habibie, seorang teknolog yang bergabung dengan pemerintahan Soeharto sejak
1990. Habibie melanjutkan nota kesepahaman yang telah dibangun dengan IMF
untuk menstabilisasi perekonomian Indonesia. Upaya Habibie dilanjutkan oleh
Abdurrahman Wahid dan Megawati yang melanjutkan pinjaman dengan IMF dan
membangun kerangka kebijakan pembangunan berbasis ‘structural adjustment
program’ dengan dukungan dana dari beberapa lembaga donor: IMF, Bank Dunia,
USAID, dll. (Hadiz, 2004; Hadiz & Robison, 2004).
Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh peerintah RI pasca-Orde Baru
tersebut mencerminkan apa yang disebut sebagai ‘post-Washington Consensus’
(Carroll, 2010; Carroll, 2012). Kebijakan pembangunan yang mula-mula diambil
adalah desentralisasi, yang digalakkan oleh Bank Dunia dan USAID. Desentralisasi
menandai upaya untuk memasukkan ‘modal sosial’ dalam proses perencanaan
pembangunan (Hadiz, 2004: 701-702; Li, 2007). Skema desentralisasi di Indonesia
mentransfer kewenangan hingga pada tingkatan pemerintah daerah dan pemerintah
desa, sehingga mengurangi otoritas pemerintah pusat dalam pembuatan kebijakan
publik (Hadiz, 2004). Sehingga, konsekuensinya, aktivitas-aktivitas lembaga donor
tidak lagi hanya berada di wilayah pusat, tetapi juga sampai ke daerah. Salah satu
bentuk kebijakan yang lahir dari desentralisasi tersebut adalah Program
Pembangunan Kecamatan yang dibiayai oleh Bank Dunia (kini menjadi PNPMMandiri Perdesaan). (Li, 2007).
Dengan demikian, kita bisa membaca ada semacam pergeseran dalam strategi
pembangunan yang diusung oleh negara-negara donor dalam mengampanyekan
pembangunan di Indonesia. Lantas, bagaimana dengan politik luar negeri yang
diambil oleh Wahid dan Megawati? Salah satu kebijakan yang diambil oleh presiden
Abdurrahman Wahid adalah memperbaiki citra Indonesia yang baru saja jatuh akibat
berbagai kasus yang menerpa: Timor Timur, Aceh, Papua, dan Maluku (Smith, 2000).
Aktivitas Abdurrahman Wahid yang sering bepergian –disebut pula sebagai “Foreign
Policy President” dapat dibaca sebagai sebuah langkah untuk mengembalikan citra
Indonesia yang terlanjur negatif, juga dalam konteks menopang pembangunan politik
Indonesia yang sedang bergerak menuju transisi demokrasi (Smith, 2000: 506-508).
Namun, pemerintahan Abdurrahman Wahid hanya bertahan selama hampir
dua tahun. Setelah serangkaian maneuver politik, MPR-RI meng-impeach Presiden
Abdurrahman Wahid dalam sebuah sidang istimewa. Terpilih sebagai pengganti
Abdurrahman Wahid adalah Megawati Sukarnoputri, putri dari mantan Presiden RI,
Sukarno. Kendati merupakan putri dari seorang mantan Presiden RI yang mengambil
langkah revolusioner dan tegas melawan negara-negara Barat, kebijakan-kebijakan
Megawati ternyata berbeda dengan ayahnya. Megawati segera mengambil langkah
normalisasi utang serta memperpanjang pinjaman dengan IMF dan Bank Dunia
(Anwar, 2003). Sama seperti Soeharto, ia lebih banyak berurusan dengan
pembangunan di level domestik dan lebih banyak mempercayakan urusan luar negeri
dengan Menteri Luar Negeri, Hassan Wirajudha.6
Mengapa kebijakan luar negeri Megawati tidak jauh berbeda dengan Soeharto?
Dalam perspektif ekonomi politik pembangunan, jawabannya bisa kita temukan:
kebutuhan untuk membiayai pembangunan yang dananya berasal dari pinjaman.
Pada tahun 2001-2003, Megawati banyak menandatangani Letter of Intent yang
berisi persetujuan untuk menanamkan pola-pola Washington Consensus dalam
kebijakan publik di Indonesia dan mencairkan pinjaman untuk melaksanakannya
(Umar, 2012).7
Menariknya, pada masa Megawati, Indonesia aktif dalam forum-forum di
tingkat regional (ASEAN). Indonesia menjadi tuan rumah Bali Concord III yang
kemudian menjadi ‘batu pertama’ dari ASEAN Community yang digadanggadangkan akan efektif terlaksana di dekade 2020an. Namun, karena Megawati lebih
banyak mempercayakan kebijakan pada Menteri, ASEAN masih menjadi agenda dari
Kementerian Luar Negeri dan belum menjadi agenda utama pemerintah. Politik Luar
Negeri Indonesia justru lebih banyak disibukkan oleh agenda kebijakan Global War
on Terror Amerika Serikat yang menyeret Indonesia karena ada pengeboman di Bali
tahun 2002.
Sikap Indonesia yang lebih banyak disibukkan oleh Global War on Terror ini
menarik untuk dicermati. Mengapa Indonesia lebih memprioritaskan pemberantasan
terorisme daripada ASEAN? Jika dianalisis dari kebijakan pembangunan Indonesia,
terlihat bahwa pemberantasan terorisme punya implikasi pada hubungan kerjasama
antara Indonesia dan Amerika Serikat/Australia, yang bisa berakibat pada pemutusan
kerjasama ekonomi yang berakibat negatif terhadap kepentingan nasional Indonesia.
Politik liberalisasi yang dikampanyekan oleh IMF dan Bank Dunia kemudian
diteruskan oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Di paruh pertama pemerintahannya,
Hassan Wirajudha adalah seorang diplomat karier yang cukup senior di jajaran Departemen Luar
Negeri. Wirajudha kemudian banyak meneruskan kebijakan-kebijakan yang lebih bersifat birokrat,
seperti ASEAN (Bali Concord III tahun 2003) atau pertemuan-pertemuan bilateral. Lihat Anwar
(2003),
7
Salah satu kebijakan yang diambil oleh Megawati adalah privatisasi BUMN. Di antara kasus yang
terkenal dalam kebijakan privatisasi tersebut adalah privatisasi Indosat yang sahamnya dibeli oleh
SingTel, perusahaan telekomunikasi Singapura. Kebijakan privatisasi dan liberalisasi dalam bentuk
rangkaian UU tersebut dapat dibaca sebagai manifestasi kebijakan Washington Consensus di
Indonesia.
66
Yudhoyono banyak terlibat dalam mengurusi hal-hal domestik, seperti rekonstruksi
Aceh pasca-Tsunami atau gempa di Yogyakarta. Kerangka kebijakan pembangunan
yang ditawarkan oleh Yudhoyono mengikuti model kebijakan ‘socio-institutional
neoliberalism’ (Carroll, 2010). Yudhoyono yang mewarisi konteks kebijakan
Washington Consensus dari Megawati meneruskannya dalam bentuk Good
Governance dan mendesentralisasikannya ke level daerah, sehingga membuat
pembangunan tidak lagi bertumpu hanya pada negara, tetapi juga dikelola secara
desentralistik dengan menggunakan good governance sebagai pilar utama (Carroll,
2012).
Dengan berkembangnya diskursus baru tentang pembangunan, yaitu
kerangka Post-Washington Consensus, terjadi pergeseran-pergeseran dalam konteks
politik luar negeri Indonesia. Pergeseran tersebut dapat dipetakan ke dalam dua
kategori.
Pertama,
kebijakan
pembangunan
yang
bersifat
desentralistik
menyebabkan ekspansi kekuatan politik internasional tidak lagi masuk via ‘negara’,
melainkan bisa masuk langsung pada masyarakat. Inilah yang dikritik oleh Carroll
(2012) sebagai ‘trojan horse’ yang bisa menikam dari dalam. Kedua, politik luar
negeri tidak lagi bersifat ‘statist’ atau mengandalkan negara. Semua aparatus negara
bahkan kekuatan sosial kini bisa menjadi ‘diplomat’ karena interaksi yang intens
dengan dunia luar menjadikan setiap hubungan luar negeri tidak hanya menjadi
domain ‘negara’, tetapi juga melibatkan aktor-aktor yang lain.
Sehingga, dengan konfigurasi semacam ini, bagaimana posisi politik luar
negeri Indonesia? Yudhoyono kemudian mengajukan konsep ‘zero enemy and
million friends’ sebagai haluan baru politik luar negeri Indonesia. Konsep ini
meniscayakan Indonesia untuk bekerjasama dengan semua kekuatan untuk, “(1)
promote justice and order in the international arena, (2) better investment policy for
economic development, (3) democracy and consolidation in regional integration, (4)
protecting Indonesian nationals particularly migrant workers, (5) maintaining
national unity,dan (6)
striving for amore effective foreign policy mechanism.”
(Puspitasari, 2010).
Konsep ini meniscayakan Indonesia untuk memilih
‘multilateralisme’
sebagai
haluan
dalam
setiap
perundingan
internasional.
Belakangan, Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa merumuskan konsep baru:
dynamic equilibrium yang melihat politik luar negeri sebagai ‘keseimbangan
dinamis’ dan Indonesia mesti membangun hubungan persahabatan yang lebih kuat
dengan sesama negara ‘global south’ (Umar, 2011).
Bagaimana kita membaca kerangka politik luar negeri Indonesia ini dalam
konteks ekonomi politik pembangunan? Kebijakan pembangunan Indonesia di dalam
negeri telah didesain dengan menginternalisasi apa yang disebut sebagai ‘socioinstitutional
neoliberalism/post-washington
consensus’
yang
menempatkan
neoliberalisme sebagai sebuah cara untuk membangun masyarakat. Dengan demikian,
pada level domestik, ‘negara’ sudah tidak lagi menjadi aktor utama yang memenuhi
kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu, peran ‘negara’ diredefinisi dengan konsep
‘zero enemy and million friends’.
Karena pembangunan yang didesain dengan model ‘post-Washington
Consensus’ membutuhkan stimulus modal di level domestik, peran negara kini
adalah membuka pintu seluas-luasnya kepada modal asing untuk masuk ke dalam
negeri dan berinvestasi. Era perdagangan bebas dengan Cina (ACFTA) kemudian
semakin menambah semarak politik pembangunan di Indonesia, yang tidak hanya
berada di bawah tarikan lembaga-lembaga keuangan internasional, tetapi juga Cina.
Upaya untuk menghadapi hegemoni Cina ini bukannya tidak diperhatikan oleh
Indonesia; pada titik inilah kita bisa menjelaskan konsep ‘dynamic equilibrium’ dari
Marty Natalegawa yang ia ejawantahkan dalam politik luar negeri berbasis ASEAN
(Umar, 2011).
Dari pemaparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa politik luar negeri di
Indonesia pasca-Orde Baru tak lepas dari konsolidasi neoliberalisme yang
bertransformasi di Indonesia. Diskursus tentang pembangunan yang diwarisi dari
Orde Baru dan dikembangkan oleh ekonom-ekonom dari Bank Dunia atau lembaga
donor kini diinternalisasi menjadi strategi pembangunan dan mempengaruhi
kebijakan luar negeri Indonesia. Politik luar negeri menjadi semacam instrument
untuk
menjaga
eksistensi
dari
hegemoni
neoliberalisme
dalam
kebijakan
pembangunan Indonesia.
F. Kesimpulan
Robert W. Cox pernah berkata, “Production creates the material basis for all
forms of social existence.” (Cox, 2004). Argumen yang akar epistemologisnya dapat
ditarik dari penganut pendekatan Marxis dan Gramscian ini mengarahkan kita pada
sebuah proposisi utama, bahwa semua bentuk hubungan sosial akan ditentukan oleh
basis material yang bersumber pada proses produksi. Dengan meletakkan ‘produksi’
sebagai basis utama dari pembangunan, dalam konteks paper ini, kita bisa
mengatakan bahwa politik luar negeri akan ditentukan oleh pertarungan wacana
ekonomi-politik tentang pembangunan yang terjadi pada sebuah negara.
Paper ini berkesimpulan bahwa kebijakan-kebijakan luar negeri sejak era
kemerdekaan hingga pasca-Orde Baru pada dasarnya diambil berdasarkan kebutuhan
untuk membangun bangsa dan memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ketika Orde
Lama, ‘politik bebas-aktif’ dirumuskan agar Indonesia mampu bergerak secara lebih
luwes dalam memperdagangkan komoditas ekspornya. Sebab, seperti analisis Hatta
(1953), kebutuhan ekonomi dalam negeri sangat bergantung pada ekspor komoditas
domestik yang membutuhkan hubungan kerjasama luar negeri. Hubungan itu
dipertahankan dalam politik anti-kolonialisme Sukarno yang bertujuan untuk
mengonsolidasikan kekuatan negara-negara dunia ketiga dalam menghadapi
imperialisme.
Di masa Orde Baru, paradigma pembangunan berubah menjadi modernisasi
yang mengimplikasikan dibukanya investasi asing dan perekonomian pada modal
asing. Kebijakan ini disebut sebagai ‘developmentalisme’ yang ditopang oleh
kekuatan represif militer (Feith, 1981). Munculnya ‘developmentalisme’ Orde Baru
direspons oleh politik luar negeri dengan mencari ‘utang’ yang bisa digunakan
sebagai talangan pembangunan. Konsekuensinya, dengan adanya utang yang
diberikan oleh negara-negara donor tersebut, Indonesia harus memenuhi persyaratan
kebijakan yang harus dilakukan sebagai kompensasi cairnya pinjaman. Sehingga,
kebijakan luar negeri Orde Baru pada prinsipnya merupakan kebijakan yang dekat
dengan negara-negara Barat
Jatuhnya Orde Baru mengubah kembali diskursus pembangunan di Indonesia.
Akan tetapi, perubahannya tidak berbeda jauh dengan Orde Baru, sebab diskursus
tentang pembangunan di era ini didominasi oleh pandangan mengenai good
governance yang dibawa oleh proponen neoliberalisme. Di era ini, berkembang
wacana tentang ‘governing through the social’ yang memungkinkan kekuatan asing
masuk dan menginternalisasi diskursusnya pada level yang sangat lokal –bahkan
sampai pada level desa— tanpa harus melalui perantara negara (Carroll, 2010; Harris,
2002). Konsekuensi dari fenomena ini adalah biasnya peran negara dan membuat
politik luar negeri menjadi tidak lagi berfungsi sebagai ‘filter’ dalam mengurusi
hubungan luar negeri. Oleh sebab itu, terjadi pula perubahan diskursus politik luar
negeri Indonesia menjadi lebih bersifat fasilitatif terhadap neoliberalisme yang
berkembang di Indonesia. Politik luar negeri menjadi instrument untuk menarik
investasi asing masuk ke Indonesia dan memberikan pencitraan positif bagi
Indonesia di masyarakat internasional.
Dari pemaparan di atas, paper ini berkesimpulan bahwa pembuatan
keputusan politik luar negeri di Indonesia selalu memiliki basis material yang
bersumber dari kebutuhan sebuah negara untuk survive. Paper ini membuktikan
bahwa pembangunan –sebagai sebuah langkah real negara untuk menghidupi dirinya
dalam bertahan hidup dalam realitas politik internasional—memiliki pengaruh
terhadap pengambilan keputusan politik luar negeri. Oleh sebab itu, penting untuk
melihat politik luar negeri –terutama di dunia ketiga— tidak sekadar dari level
rational choice, bureaucratic polity, dan governmental politics yang disarankan oleh
penganut pendekatan ‘problem solver’ (Korany, 1984), tetapi juga dari sudut
pandang ekonomi politik yang memperlihatkan basis material dari kebijakan tersebut.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa ‘politik luar negeri’ Indonesia sejak
1966 berada di bawah ‘hegemoni’ dari kapitalisme yang mengambil banyak wajah
(developmentalisme, neoliberalisme, dll.). Hal ini merupakan konsekuensi dari
paradigma pembangunan yang sangat menekankan pada self-regulating market dan
‘negara’ sebagai penjaga keefektifan mekanisme pasar. Paradigma politik luar negeri
‘bebas-aktif’, pada praktiknya, tidak lagi menjadi pilihan kebijakan. Hal ini perlu
menjadi agenda kebijakan yang perlu dipikirkan lagi secara lebih kritis, agar
Indonesia mampu menempatkan posisinya secara tepat dalam pentas politik
internasional. [*]
DAFTAR PUSTAKA
Abrahamsen, R. (2000). Disciplining Democracy: Development Discourse and Good
Governance in Africa. London: Zed Books.
Anwar, D.F. & Crouch, H. (2003). “Indonesia: Foreign Policy and Domestic
Politics”. Trends in Southeast Asia Vol. 9.
Agussalim, D. (2011). “New Trends in Indonesian’s Foreign Policy Orientation and
Practices: From Regional To Global-Oriented”. Nagoya Graduate School of
International Development Blog. Accessed from http://www2.gsid.nagoyau.ac.jp/blog/anda/files/2011/08/56-dafri-agussalim_trends-in-indonesiasforeign-policy.pdf
Carroll, T. (2010). Delusion of Development: The World Bank and The PostWashington Consensus in Southeast Asia. New York: Palgrave.
Carroll, T. (2012). Neoliberal Development Policy in Asia Beyond The PostWashington Consensus. Jakarta: TIFA and INFID.
Cox, R.W. (2004). “Beyond Empire and Terror: Critical Reflections on the Political
Economy of World Order”. New Political Economy Vol. 9 (3): 307-323.
Cox, R.W. & Schehter, M.G. (2002). The Political Economy of a Plural World:
Critical Reflections on Power, Morals and Civilization. London: Routledge.
Derkach, Nadia. “The Soviet Policy towards Indonesia in the West Irian and the
Malaysian Disputes” Asian Survey, Vol. 5, (11), pp. 566-571
Escobar, A. (1995). Encountering Development: The Making and Unmaking of The
Third World. New Jersey: Princeton University Press.
Feith, H. (1981). “Rezim-rezim Developmentalis Represif di Asia: Kekuatan Lama,
Kerawanan Baru”, Prisma, 11 Vol. 11, pp. 69-84.
Ferguson, J. (1995). Anti-Politics Machine: Development, Depoliticization, and
Bureaucratic Power in Lesotho. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Foucault, M. (1991). “Governmentality” in Sukma, A. and Gupta, A. (eds). The
Anthropology of the State. Oxford, Malden, and Victoria: Blackwell.
Hadiz, V.R. (2004). “Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of
Neo-Institustional Perspective”. Development and Change, Vol. 3 (4) :697-718
Hadiz, V.R. (2006). “Corruption and Neo-liberal Reform: Markets and Predatory
Power in Indonesia and Southeast Asia” in Robison, R. (ed). The Neoliberal
Revolution: Forging the Market State. New York: Palgrave.
Hakim, L.N. (2011). “Governance and New Mode of Governing: Indonesia as a
Metaphor” Jurnal Sosial Politik. Vol. 15 (2): 111-123.
Harris, J. (2002). Depoliticizing Development: The World Bank and Social Capital.
New Delhi: Left World Books.
Hatta, M. (1947). “Mendajung di Antara Dua Karang” Pidato disampaikan dalam
Rapat BPKNP, Yogyakarta, Indonesia.
Hatta, M. (1953). “Indonesia’s Foreign Policy”. Foreign Affairs, Vol. 31 (3), pp.
441-452.
Hatta, M. (1958). “Indonesia’s Between Power Blocs”. Foreign Affairs, Vol. 36 (3),
pp. 480-490.
Kegley, C.W. & Wittkopf, E.R. (2006). World Politics: Trends and Transformation
Belmont: Thomson-Wadsworth.
Korany, B. (1984). “Foreign Policy in the Third World: An Introduction”
International Political Science Review, Vol. 5 (1), pp. 7-20.
Li, T.M. (2007). The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan
di Indonesia. Penterjemah Hery Santoso dan Pujo Semedi. Depok: Marjin Kiri.
Novotny, D. (2004). “Indonesia’s Foreign Policy: In Quest for the Balance of
Threats”. Presented to the 15th Biennial Conference of the Asian Studies
Association of Australia, Canberra, AU.
Puspitasari, I. (2010). “Indonesia’s New Foreign Policy: Thousand Friends Zero
Enemy” IDSA Issue Brief, November.
Robison, R (1986). Indonesia: The Rise of Capital. Singapore: Equinox.
Robison, R. (2006). “Neo-liberalism and the Market State: What is the Ideal Shell?”
in Robison, R. (ed). The Neoliberal Revolution: Forging the Market State. New
York: Palgrave.
Robison, R. & Hadiz, V.R. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of
Oligarchy in an Age of Markets. London: RoutledgeCurzon.
Sukma, R. (1995). “The Evolution of Indonesia's Foreign Policy: An Indonesian
View” Asian Survey, Vol. 35 (3) pp. 304-315.
Smith, A.L. (2000). “Indonesia's Foreign Policy under Abdurrahman Wahid: Radical
or Status Quo State?” Contemporary Southeast Asia, Vol. 22 (3), pp. 498-526
Smith, A.L. (2003). “Indonesia in 2002: Megawati's Way” Southeast Asian Affairs,
pp. 97-116.
Time Magazine. (1967). “Investment: Indonesia Waits”. Archive, 10 November 1967.
Umar, A.R.M. (2011). “A Critical Reading of Natalegawa Doctrine”. The Jakarta
Post, 7 January.
Umar, A.R.M. (2012). “Ekonomi Politik Perminyakan Indonesia: Analisis Kebijakan
Liberalisasi Sektor Hulu Migas Indonesia Pasca-1998” Jurnal Sosial Politik.
Vol. 16 (1): 45-61.
Weinstein, F.B. (1971). “The Indonesian Elite's View of the World and The Foreign
Policy of Development”. Paper presented at the annual meeting of the
Association for Asian Studies, Washington, D. C, US.
Diskursus tentang Pembangunan: Sebuah
Tinjauan Ekonomi-Politik*
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
[email protected]
ABSTRACT
This paper aims to analyze how the bebas-aktif foreign policy dealing with
the contemporary development of global capitalism. Since its declaration
in 1945, the bebas-aktif foreign policy tried to place Indonesia in the
ideological battlefield of world politics. As argued by Mohammad Hatta in
his speech, the bebas-aktif foreign policy tends to avoid the rooted conflict
between the capitalist United States and the communist Sovyet Union, and
consequently placed Indonesia in an active but independent form of
articulation in international politics. But after the cold war ended up with
the fall of Sovyet Union and the acclaimed triumph of capitalism, the
world politics has no more coloured by the ideological batte. Since the fall
of Sovyet Union, the world order has been built under the globalised
mechanism of global capitalism which operates through two main
international financial institutions: IMF and The World Bank. Since its
establishment, they expands the logic of market-driven development to
many third world countries. In Southeast Asia, the changing sphere of
global capitalism raised after the economic crisis hit Asia in 1997-1998. It
implied many countries, including Indonesia, to comply with several
development frameworks offered by IMF and The World Bank in the name
of “good governance”. The discourse of ‘good governance’ created by
those financial institutions is currently hegemonizing the Indonesian
development policy and injecting the new ideology of market liberalism
which is operated through the regulatory state. Utilizing the structuralist
and political economy approach, this paper argues that in dealing with
those problems, the bebas-aktif foreign policy should be reformulated in
structural approach, which address the political economic dimension in
the foreign policy making process.
Keywords: Bebas-Aktif Foreign Policy, Political Economy, Global Capitalism,
Discourse
Makalah Disampaikan pada Seminar Politik Luar Negeri Bebas-Aktif, Balai Senat Universitas
Gadjah Mada, 2 September 2013. Mohon tidak dikutip tanpa seizin penulis.
*
“.. Betapa djuga lemahnja kita sebagai bangsa jang baru, menurut anggapan
Pemerintah kita harus tetap mendasarkan perdjoangan kita atas adagium: pertjaja
kepada diri sendiri dan berdjoang atas tenaga dan kesanggupan jang ada pada
kita...”
-Mohammad HattaA. Pendahuluan
Dalam salah satu tulisannya tentang politik luar negeri Indonesia,
Mohammad Hatta menyatakan, “…Indonesia, rich in natural resources and having
84,000,000 inhabitants, comes automatically as an important factor onto the
chessboard of world politics…” (Hatta, 1958: 480). Menurut Hatta, salah satu faktor
yang menentukan posisi politik Indonesia dalam kancah global adalah kekayaan
sumber daya alam yang berlimpah dan jumlah penduduk yang begitu besar.
Sebagai negara bekas koloni yang baru saja merdeka, Indonesia dihadapkan
pada sebuah pilihan sulit: tarikan eksternal dan kebutuhan dana untuk menyukseskan
program pembangunan. Pilihan untuk membangun perekonomian seringkali
berujung pada masuknya sebuah negara ke kubu-kubu politik tertentu –untuk
mendapatkan ‘bantuan’ (aid). Inilah sebabnya, sebuah pembangunan akan sangat
menentukan bagi politik luar negeri sebuah negara.
Tesis Hatta di atas pada dasarnya sangat relevan dengan kondisi Indonesia
saat ini. Dengan kekuatan sumber daya alam dan sumber daya manusia, Indonesia
menjadi ‘objek’ dari proses akumulasi kapital yang dilakukan oleh kekuatankekuatan dominan (Robison, 1986; Hadiz & Robison, 2004). Akan tetapi, selama ini,
tidak banyak studi tentang politik luar negeri, terutama politik luar negeri Indonesia,
yang membahas dari sisi ekonomi politik pembangunan. Padahal, dalam sejarah
politik luar negeri Indonesia, ‘bantuan pembangunan’ (aid) terbukti sangat kental
mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia, terutama di masa Orde Baru
(Weinstein, 1971). Setelah orde baru runtuh, kebijakan-kebijakan Indonesia di luar
negeri juga sangat terkait dengan wacana-wacana pembangunan neoliberal yang
dibawa oleh lembaga-lembaga keuangan internasional untuk mengatasi krisis
ekonomi 1998 (Novotny, 2004; Agussalim, 2011).
Sehingga, analisis mengenai politik luar negeri dalam perspektif ekonomi
politik pembangunan sangat diperlukan. Politik Luar Negeri pada dasarnya adalah
instrument sebuah negara untuk bermain dalam percaturan politik internasional
(Kegley & Wittkopf, 2006). Ekonomi Politik Internasional (EPI) sangat penting
untuk mendefinisikan ‘apa itu power dalam politik internasional’ dan ‘bagaimana
power beroperasi dalam politik internasional’ (Cox, 2004). Oleh sebab itulah,
ekonomi politik pembangunan menjadi sangat relevan untuk digunakan dalam
analisis politik luar negeri.
Paper ini akan mencoba untuk mengulas politik luar negeri Indonesia dalam
kacamata analisis tersebut. Paper ini, mengikuti perspektif kritis, melihat politik luar
negeri sebagai sebuah hasil dari pertarungan antara wacana-wacana pembangunan
yang dianut oleh rezim politik tertentu.1 Oleh sebab itu, berlawanan dengan
perspektif realisme yang melihat politik luar negeri hanya sebagai cara untuk
membangun kekuatan (power politics), paper ini melihat politik luar negeri sebagai
hasil dari kontestasi wacana tentang pembangunan yang tidak hanya dibuat oleh
pengambilan keputusan politik di dalam negeri, melainkan juga merupakan hasil dari
kontestasi wacana di luar negeri.
Dengan demikian, paper ini tidak melihat ‘politik luar negeri’ hanya sebagai
produk keputusan birokrasi (Kementerian Luar Negeri) atau keputusan individual
(Presiden) sebagaimana dipahami kaum ‘problem-solver’2, melainkan sebagai hasil
dari pertarungan wacana dan kepentingan ekonomi politik yang ada di dalam dan
luar negeri. Sebab, semua relasi sosial yang dikonstruksi di dunia memiliki basis
material yang diciptakan oleh ‘produksi’ dan relasi produksi tersebut direproduksi
melalui ‘ideologi’ yang menginterpelasi sebuah negara menjadi ‘subjek’ (Cox, 2004;
Althusser, 1977). Politik Luar Negeri, jika meminjam Cox (2002), adalah sebuah
1
Perspektif kritis yang dimaksud dalam paper ini lebih banyak mengikuti pendekatan EPI-Gramscian
yang diajukan oleh Robert W. Cox yang digabungkan dengan pendekatan kritis dalam studi
pembangunan yang digunakan untuk melihat bagaimana pembangunan berkaitan dengan politik luar
negeri suatu negara. Beberapa studi kritis tentang pembangunan telah dilakukan di beberapa negara:
Escobar (1995) untuk kasus Amerika Latin, Abrahamsen (2000) dan Ferguson (1995) untuk kasus
Afrika, Robison (1986) dan Hadiz dan Robison (2004) yang membahas Indonesia secara lebih spesifik,
serta Carroll (2010) yang membahas Asia Tenggara.
2
Pendekatan yang dimaksud sebagai ‘problem-solver’ melihat kebijakan luar negeri sebagai sebuah
problem yang harus diselesaikan oleh sang pembuat keputusan. Oleh sebab itu, pendekatan ini sangat
menekankan proses pembuatan keputusan dalam analisis politik luar negeri. Di antara karya yang
terkemuka adalah Allison (1971) yang membahas soal krisis misil kuba. Lihat Korany (1992).
proses untuk menciptakan semacam ‘structural power’ yang ditentukan oleh
kekuatan produksi sebuah negara. Oleh sebab itu, politik luar negeri tidak semata
keputusan yang diambil oleh struktur birokrasi negara, melainkan juga hasil dari
kontestasi wacana yang digunakan untuk mereproduksi kekuatan sebuah negara –
atau ‘pembangunan’. Hal inilah yang coba dianalisis melalui paper ini.
Paper ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan
mendiskusikan diskursus-diskursus tentang pembangunan dalam teori hubungan
internasional. Paper ini melihat ‘pembangunan’ sebagai sebuah konsep yang
dikontestasikan dalam konteks global, dan mempengaruhi praktik yang terjadi di
negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Bagian kedua akan mendiskusikan
konstruksi kebijakan luar negeri Indonesia dan kaitannya dengan kontestasi wacana
pembangunan
sejak
kemerdekaan.
Bagian
ketiga
akan
mengevaluasi dan
menyimpulkan secara kritis relasi antara pembangunan dan politik luar negeri
Indonesia.
B. Pembangunan: Diskursus yang Dikontestasikan
Bagaimana studi Hubungan Internasional membaca konsep ‘pembangunan’
(development)?
Penganut teori-teori modernisasi akan melihat ‘pembangunan’
sebagai proses transisi antara masyarakat yang tradisional menuju masyarakat
modern (Abrahamsen, 2000; Escobar, 1995: 6). Untuk menjadikan masyarakat
modern, tolak ukur yang digunakan adalah perubahan masyarakat dengan tolak ukur
pertumbuhan ekonomi. (Abrahamsen, 2000: 26). Untuk mendorong pertumbuhan,
kompetisi dan pasar bebas harus dihidupkan. Pembangunan dalam perspektif ini
adalah alat untuk memfasilitasi pasar yang efektif dan efisien. Dalam konsep ini,
pasar domestik harus diekspansi dan hambatan-hambatan pasar harus disingkirkan
melalui fasilitas negara yang teknokratis (Escobar, 1995: 48)
Di negara-negara dunia ketiga, Model pembangunan ini pertama kali
dikampanyekan oleh IBRD –kemudian berubah menjadi Bank Dunia— di dunia
ketiga dalam laporan mereka tentang Kolombia di tahun 1948 (Escobar, 1995: 25).
Menurut laporan di Kolombia, ‘negara dunia ketiga’ akan maju manakala mereka
dapat menyelesaikan problem di dalam negeri dengan membuka pasar (Escobar,
1995: 27). Negara-negara dunia ketiga dianggap sebagai ‘anak kecil’ yang harus
belajar dari orang dewasa (baca: Amerika Serikat dan negara-negara maju lain) untuk
dapat maju. Oleh sebab itu, pembangunan harus dikelola secara teknokratis dan
membuka peluang pada pasar untuk mengembangkan dirinya sendiri (self-regulating
market)
Oleh sebab itu, dari perspektif ini, berkembang teori-teori tentang
pertumbuhan
ekonomi
yang
linear,
memerlukan
tahapan-tahapan
tertentu,
teknokratis, kapitalistik dan sangat anti-politik.3 Bagaimana model pembangunan ini
dibiayai? Fenomena ekonomi-politik internasional yang terjadi di tahun 1970an
memberikan jawaban: adanya ‘oil boom’. Melonjaknya penerimaan Migas di banyak
negara, termasuk Indonesia, memberikan keuntungan pada kemampuan negara untuk
membiayai proyek pembangunan mereka (Robison, 1986). Untuk menopang hal itu,
dibukalah proyek penanaman modal asing yang di Indonesia telah berlangsung
melalui UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Robison, 1986).
Namun pada perkembangannya, teori pembangunan yang berbasis pada
modernisasi ini melahirkan persenyawaan dengan kekuatan-kekuatan otoritarian
yang
menjadikan
‘developmentalisme’
sebagai
tulang
punggung
untuk
mempertahankan legitimasi mereka. Herbert Feith menyebutnya sebagai ‘rezim
developmentalis represif’. (Feith, 1981). Dengan model ini, pembangunan yang
berbasis pada mekanisme pasar dan teknokrasi digalakkan dengan melalui represi
atas kekuatan-kekuatan sosial yang menghalangi pembangunan. Dengan model ini,
lahirlah oligarki politik yang disangga oleh pemilik modal dan lembaga keuangan
internasional (Robison, 2006).
Di akhir tahun 1980-an, model-model developmentalisme yang disangga oleh
kekuatan negara ini mengalami kontradiksi dan kegagalan-kegagalan. Surutnya dana
penerimaan di sektor Migas pasca-Oil Boom membuat negara memerlukan sumber
pembiayaan lain. Penerapan model pembangunan gaya lama yang bertumpu di atas
ekonomi pasar dan peran negara yang developmentalistik justru berakibat pada
hyper-inflasi, krisis pembayaran utang, krisis keuangan, hingga pelayanan publik
yang buruk (Abrahamsen, 2000: 37). Oleh sebab itu, Bank Dunia dan IMF
3
Di antara teori-teori tersebut adalah teori tentang ‘lima tahap pembangunan’ dari Rostow yang
melihat pembangunan sebagai sebuah proses yang linear dan teknokratis. Teori tersebut menjadi
acuan dari konsep pembangunan Orde Baru.
mempromosikan desain kebijakan pembangunan baru yang bertumpu pada
finansialisasi. Konsep pembangunan itulah yang disebut sebagai ‘structural
adjustment program’ (Hakim, 2011; Abrahamsen, 2000).
‘Structural adjustment program’ sebagai mantra jitu yang mengatasi krisis
ekonomi di sebuah negara punya dua strategi utama: ‘stabilisasi’ dan ‘langkah
penyesuaian struktural’. Konsep pertama digunakan oleh IMF sebagai resep
‘penyelamatan negara’ sehingga negara tersebut dapat keluar dari krisis ekonomi.
Setelah ekonomi stabil, barulah digunakan konsep kedua yang berisi langkahlangkah penyesuaian kebijakan yang disertai dengan pinjaman dana (Abrahamsen,
2000: 37-38). Kerangka kebijakan ini pertama kali diterapkan di Afrika Utara pada
dekade tahun 1980an.
Namun, konsep pembangunan ini juga tidak kedap kritik. Di antara yang
terkemuka adalah Escobar (1995), Ferguson (1995), dan Abrahamsen (2000). Dalam
karyanya yang terkenal di Lesotho, Ferguson (1995) melihat bahwa proyek
‘structural adjustment program’ pada dasarnya bersifat anti-politik dan justru
melemahkan kekuatan-kekuatan sosial yang ada dan memperkuat rezim politik yang
represif. Ferguson menceritakan sebagai berikut,
“…tbe “development in Lesotho is not a machine for eliminating poverty
that is incidentally involved with the state bureaucracy; it is a machine for
reinforcing and expanding the exercise of bureaucratic state power, which
is incidentally takes “poverty” as its point of entry –launching intervention
tbat may have no effect on the poverty but does in fact have other concrete
effects…”
(Ferguson, 1995: 302-303).
Analisis Ferguson menampilkan ‘sisi lain’ dari model structural adjustment
program tersebut: munculnya oligarki yang dimotori oleh negara. Ferguson melihat
bahwa kerangka pembangunan di Lesotho yang dikampanyekan oleh CIDA
(Canadian International Development Agency), setelah mereka menyatakan bahwa
proyek mereka Thaba-Tseka mengalami kegagalan, menghancurkan tatanan sosial
yang ada di Lesotho dengan ‘anti-politics machine’. Kritik ini menghujam pada
strategi pembangunan yang ditawarkan oleh Bank Dunia dan institusi pembangunan
internasional lain yang berbasis pada ‘structural adjustment program’.
Oleh sebab itu, mengacu pada beberapa kritik ini, pada tahun 1990an Bank
Dunia mulai mengubah strategi mereka dengan melibatkan ‘modal sosial’ sebagai
variabel yang tak terpisahkan dari pembangunan (Harris, 2002; Li, 2007; Carroll,
2010). Dengan melibatkan modal sosial, Bank Dunia memperkenalkan model
pembangunan yang bersifat desentralistik dan memperhatikan partisipasi melalui
mekanisme-mekanisme penjaringan aspirasi dalam perencanaan pembangunan
(Harris, 2002: 9). Namun, sebagaimana kritik-kritik yang mengemuka, ‘modal sosial’
yang dibangun hanya sekadar ‘bungkus’ dari model perencanaan yang masih sangat
teknokratis dan mengutamakan pasar (Hadiz, 2004; Hadiz, 2010; Carroll, 2010).
Dari pemaparan di atas, kita dapat memahami bahwa pada dasarnya,
diskursus tentang ‘pembangunan’ yang ada di negara-negara dunia ketiga tak lepas
dari diskursus yang diciptakan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional yang
ingin mempertahankan hegemoni neoliberalisme dalam ekonomi politik internasional.
Dengan
demikian,
‘governmentality’,
jika
menggunakan
pembangunan
argument
adalah
cara
Foucault
(1991)
negara-negara
maju
tentang
untuk
menormalisasi diskursus neoliberalisme dan meng-govern negara-negara dunia
ketiga. Inilah yang disebut oleh Cox (2004) sebagai ‘empire’.
Pertanyaannya,
bagaimana
diskursus-diskursus
tentang
pembangunan
tersebut mempengaruhi pembuatan kebijakan luar negeri? Cox (2004) berargumen,
ekonomi politik internasional memberi fondasi pada politik internasional untuk
memahami power. Dalam konteks negara dunia ketiga, Hatta (1958) telah
menyatakan bahwa posisi sebuah negara (Indonesia) akan ditentukan oleh sumber
daya apa yang ia miliki. Jika dipahami dalam konteks pembangunan, kita akan
sampai pada argument bahwa diskursus tentang pembangunan yang ada di suatu
negara berpengaruh terhadap konstruksi ‘kepentingan nasional’ yang ingin dicapai
dalam politik luar negeri. Pada titik inilah analisis tentang politik luar negeri RI
menjadi
relevan
untuk
memetakan
keterkaitan
antara
diskursus
tentang
pembangunan dan politik luar negeri.
C. Indonesia Pasca-Kolonial dan Lahirnya ‘Politik Bebas Aktif’
Analisis mengenai politik luar negeri RI dapat dibagi menjadi tiga babak
utama: Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Pada tanggal 2 September 1947,
Wakil Presiden Muhammad Hatta menyampaikan sebuah pidato di, hadapan Badan
Pekerja KNIP. Pidato yang kemudian diberi judul “Mendajung di Antara Dua
Karang” tersebut menjadi sebuah pidato yang bersejarah karena memuat pendirian
pemerintah RI dalam menyikapi pertarungan politik internasional. Pidato tersebut
disampaikan dalam konteks posisi Indonesia menyikapi perjanjian Renville yang
baru saja dibatalkan (Hatta, 1947).
Pidato tersebut mengambil latar perjanjian Renville yang baru saja dibatalkan
oleh pemerintah Amir Sjarifuddin. Menurut Hatta, pembatalan Renville yang terjadi
karena pergolakan di dalam negeri dan kecenderungan untuk memihak pada politik
anti-imperialisme Sovyet membuat Indonesia berada di bawah tarikan dua kekuatan
besar: ‘kapitalisme’, yang dipandu oleh paham lassez-faire dan persaingan bebas,
serta ‘sosialisme’ yang memiliki ‘materialisme sejarah’ sebagai cara untuk mengatur
manusia (Hatta, 1947: 484). Oleh sebab itulah, menurut Hatta, dengan potensi yang
menyeret Indonesia masuk pada percaturan politik internasional tersebut, Indonesia
harus memiliki posisi tawar.sendiri dengan ‘politik luar negeri bebas aktif’. Dengan
politik bebas aktif, Indonesia akan dapat melaksanakan pembangunan (Hatta, 1947;
Hatta, 1953: Hatta, 452; 1958: 489).
Dalam pidatonya, Hatta menyatakan pendirian politik luar negeri Indonesia
sebagai berikut,
Pemerintah berpendapat bahwa pendirian jang harus kita ambil ialah supaja
kita djangan mendjadi objek dalam pertarungan politik internasional,
melainkan kita harus tetap mendjadi subjek jang berhak menentukan sikap
kita sendiri, berhak memperdjoangkan tudjuan kita sendiri, jaitu Indonesia
Merdeka seluruhnja.
(Hatta, 1947: 9)
Haluan politik luar negeri Indonesia ditegaskan oleh Hatta: ‘percaya kepada
diri sendiri dan berjuang atas kesanggupan sendiri’. Hatta melihat bahwa pertarungan
politik internasional saat itu didominasi oleh dua kekuatan ‘raksasa’: Amerika
Serikat dan Uni Sovyet. Menyikapi pertarungan tersebut, Hatta menyatakan bahwa
Indonesia mendasarkan sikapnya pada kepentingan nasional yang menentukan sikap
dan posisi Indonesia di kancah global. Kepentingan nasional tersebut mengacu pada
‘politik ke dalam’ yang berisi strategi-strategi pembangunan pemerintah (Hatta,
1947).
Apa yang bisa diambil dari pembacaan Hatta tersebut? Pidato ‘mendajung di
antara dua karang’ menampilkan dua diskursus utama dalam haluan politik luar
negeri Indonesia: Pertama, haluan politik luar negeri Indonesia bertumpu pada
‘kepentingan nasional’ yang menentukan posisi dan sikap politik Indonesia. Kedua,
‘kepentingan nasional’ tersebut sangat berkaitan dengan diskursus tentang
‘pembangunan’ yang dijalankan oleh pemerintah di dalam negeri.
Pidato Hatta tersebut menyiratkan diskursus tentang pembangunan pascakolonial yang mengharuskan Indonesia untuk mencari dana pembangunan. Pencarian
dana pembangunan yang terhambat oleh adanya agresi dan konfrontasi militer
dengan Belanda membuat Indonesia harus memikirkan jalan; apakah harus berpihak
pada dua kekuatan atau harus bersikap independen; sehingga bisa lebih ‘lincah’
dalam bergerak. Pendirian tersebut diperjelas oleh Hatta dalam tulisannya yang lain
di tahun 1953,
“Indonesia cannot possibly reconcile herself to being tied to the economies
of a few nations, all the more so because certain articles of export such as
rubber are subject to much fluctuation in price. Only by adhering to a
peaceful yet independent policy can Indonesia ade quately safeguard its
economic interests”
(Hatta, 1953: 450)
Dari sana, terlihat bahwa haluan politik luar negeri yang diambil oleh
Indonesia sangat terkait oleh kebutuhan penting Indonesia, yaitu ekspor kayu.
Menurut Hatta, kondisi ekonomi Indonesia saat itu masih sangat lemah dan sangat
bergantung dengan ekspor. Oleh sebab itu, perdagangan dengan semua negara harus
dilakukan untuk menopang ekonomi nasional, juga menyukseskan agenda-agenda
pembangunan yang ada (Hatta., 1953: 450-451)..
Pada titik ini, kita bisa melihat bahwa politik luar negeri ‘bebas-aktif’ lahir
dari sebuah konteks pembangunan pasca-kolonial yang mengharuskan Indonesia
mencari strategi untuk mendapatkan dana pembangunan. Indonesia tidak menyatakan
memihak karena akan merugikan basis produksi Indonesia dalam perdagangan
internasional. Pada titik ini, pembangunan pasca-kolonial menjadi latar ekonomipolitik atas politik luar negeri Indonesia.
Pernyataan Hatta tersebut juga menjadi entry-point untuk memahami kiprah
Indonesia dalam menggalang negara-negara koloni untuk melawan penjajahan.
Dengan politik luar negeri bebas-aktif, Indonesia menggelar Konferensi Asia Afrika
(KAA) di Bandung, Aliansi NEFO (New Emerging Forces), dan aksi-aksi antikolonialisme. Diskursus utama yang mengemuka dalam aktivitas tersebut adalah
diskursus anti-kolonialisme dan penggalangan solidaritas negara-negara baru yang
secara geografis memiliki potensi perdagangan dengan Indonesia. Beberapa langkah
ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu kekuatan negara dunia ketiga di level
internasional.
Namun, kebijakan luar negeri ‘bebas-aktif’ ini lambat laun mulai merapatkan
Indonesia pada kekuatan-kekuatan Timur, terutama setelah tahun 1959. Kampanye
Indonesia untuk menolak keikutsertaan Malaysia di Dewan Keamanan PBB serta
kampanye pembebasan Irian Barat mendekatkan Indonesia dengan Sovyet.
Kedekatan tersebut diejawantahkan melalui bantuan dana pembangunan dan
dukungan politik (Derkach, 1965). Keluarnya Indonesia dari PBB dan kampanye
pembebasan Irian Barat merupakan cara Indonesia dalam membangun posisi di
negara-negara pascakolonial lain, yang juga tak lepas dari tarikan-tarikan kekuatan
politik yang memiliki sumber daya. Pada titik inilah kita akan memahami bahwa
konstruksi politik luar negeri Indonesia di era Orde Lama akan sangat terkait dengan
diskursus tentang pembangunan di level domestik dan internasional.
Akan tetapi, kekacauan politik pasca-30 September 1965 telah menyebabkan
Indonesia mulai disibukkan oleh isu-isu domestik. Melemahnya Sukarno dan
menguatnya kekuatan militer yang didukung oleh gerakan massa membuat situasi
politik berubah 180 derajat. Jenderal Soeharto, yang menjadi ‘bintang’ pada krisis
politik tersebut, mengambil alih kekuasaan pada tanggal 11 Maret 1966.
D. Utang dan Pembangunan: Politik Luar Negeri Indonesia era Orde Baru
Akan tetapi, pada tahun 1966, terjadi perubahan politik yang cukup drastic di
Indonesia: perpindahan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto. Ditopang oleh kekuatan
militer dan diuntungkan oleh efek politik pasca-G30S, Soeharto memegang tampuk
kekuasaan dan sejak 1968 menjadi Presiden RI. Sejak saat itu, Soeharto
menampilkan politik luar negeri yang berbeda 180 derajat dari Orde Lama. Soeharto
menormalisasi hubungan Indonesia-Malaysia, kembali masuk ke PBB, turut
mendirikan ASEAN, hingga menjalin hubungan yang lebih baik dengan negaranegara Barat (Sukma, 1995).
Pada konteks ini, Soeharto masih menjalankan politik bebas-aktif dengan
aktif dalam forum-forum internasional, terutama di tingkat regional. Namun, politik
luar negeri RI pada waktu itu lebih cenderung didesain untuk mendapatkan utang
luar negeri yang digunakan untuk membiayai pembangunan. IMF dan Bank Dunia
(IBRD) membiayai pembangunan tersebut. Sebagai kompensasi kebijakannya,
Soeharto mengesahkan UU Penanaman Modal Asing pada tahun 1967 yang menjadi
payung investasi asing dan diplomasi untuk mendapatkan utang (Robison, 1986).
Pengesahan UU tersebut juga diikuti oleh pelaksanaan Indonesia Investment
Conference di Jenewa yang disponsori oleh Time, Inc. dan menghadirkan para
pebisnis Barat yang ingin berinvestasi di Indonesia (Time, 1967). Konferensi
tersebut dihadiri oleh Adam Malik (Menteri Luar Negeri) dan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX.
Di awal masa pemerintahan Orde Baru, ‘utang’ menjadi diskursus utama
yang menggeret politik luar negeri. Konsekuensi dari ‘utang’ adalah strategi
pembangunan. Negara-negara donor yang difasilitasi oleh Amerika Serikat dan
lembaga-lembaga keuangan internasional tentu saja memiliki prasyarat-prasyarat
tertentu agar pinjaman dicairkan. Untuk menopang utang agar bisa memenuhi
kriteria pembangunan yang diinginkan oleh negara donor, Indonesia membentuk
IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) yang berisi negara-negara yang
memberikan resep kebijakan bersama-sama dengan IMF dan IBRD (Bank Dunia)
(Robison, 1986).4 Negara-negara donor yang tergabung dalam IGGI tersebut secara
rutin memberikan masukan kepada Indonesia mengenai strategi pembangunan apa
yang perlu dilaksanakan. Salah satunya, Soeharto yang ditopang oleh para teknokrat
dan ekonom-ekonom liberal yang percaya pada teori-teori modernisasi menerapkan
kebijakan yang berbasis pada perencanaan lima tahunan. Model perencanaan
pembangunan tersebut terinspirasi dari teori WW Rostow dan dibangun secara
teknokratis (Robison, 1986).
4
IGGI dibubarkan pada tahun 1992 dan digantikan oleh CGI (Consultative Group on Indonesia). Jika
IGGI bersifat preskriptif dan memberikan resep-resep kebijakan, CGI lebih bersifat konsultatif. Lihat
Sukma (1995).
Pada tahun 1974, kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka datang ke
Indonesia untuk melihat investasi yang sedang berjalan. Namun, kedatangan perdana
menteri Jepang tersebut segera mendapatkan protes dari mahasiswa yang menolak
investasi asing dan utang luar negeri. Pemerintah merespons dengan keras; terjadilah
peristiwa kerusuhan 15 Januari 1974 (Malari) di Jakarta.
Peristiwa Malari ini mencerminkan adanya resistensi terhadap kebijakan luar
negeri RI yang berbasis pada ‘utang’. Selain itu, fenomena ini memperlihatkan
diskursus
tentang
pembangunan
dimana
kebijakan
pembangunan
yang
‘developmentalistik’ diramu dengan otoritarianisme yang merepresi kekuatankekuatan sosial lain. Dengan mengedepankan investasi dan menjaga proyek tersebut
dengan kekuatan militer, Indonesia mendapatkan keuntungan dengan adanya oil
boom dan dana segar yang didapatkan oleh pemerintah melalui utang luar negeri dan
investasi.5 Diplomasi utang menampakkan hasil yang cukup signifikan pada awal
Orde Baru. Feith (1981) menyebut hal ini dengan ‘rezim developmentalis represif’.
Orde Baru meneruskan politik luar negeri bebas-aktif dengan aktif di forumforum ASEAN dan mendorong gerakan non-blok. Hal ini menyebabkan Indonesia
banyak tampil di forum-forum tingkat regional. Namun, di sisi lain, Indonesia juga
melakukak kebijakan anti-Sovyet dengan memutus semua bentuk hubungan
diplomatik dengan Sovyet dan China sejak 1967 (Sukma, 1995). Sehingga, pada titik
ini, kita sudah bisa membaca diskursus tentang pembangunan yang dianut oleh Orde
Baru, dengan mengedepankan utang luar negeri, kebijakan yang developmentalis,
dan militer yang represif terhadap kekuatan sosial lain. Kebijakan luar negeri RI
yang berbasis pada ‘diplomasi utang’ pada dasarnya adalah manifestasi dari
diskursus pembangunan yang menitikberatkan pada utang luar negeri dan
pembukaan investasi asing sebagai cara untuk mendapatkan dana segar dan
membiayai pembangunan yang telah diresepkan oleh IMF dan Bank Dunia.
Pada awal dekade 1990-an, Uni Sovyet jatuh dan Perang Dingin usai. Kondisi
ini mengubah prioritas politik luar negeri AS yang tidak lagi menggelontorkan
banyak uang ke Indonesia. Pada tahun 1992, IGGI yang mendampingi Indonesia
5
Salah satu investasi asing yang mula-mula dibuka adalah konsesi tambang emas di Papua yang
dikelola oleh Freeport, perusahaan tambang asal Amerika Serikat. Setelah itu, dibukalah investasiinvestasi asing, terutama di wilayah finansial dan pertambangan, yang diuntungkan oleh UU Nomor 1
tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
untuk membuat kebijakan pembangunan dibubarkan dan digantikan oleh CGI yang
lebih bersifat konsultatif (Sukma, 1995). Seiring dengan kebijakan luar negeri AS
yang berubah, Indonesia mulai memperkuat hubungan kerjasamanya melalui negaranegara Gerakan Non-Blok ketika terpilih memimpin Gerakan Non-Blok pada tahun
1995. Sementara itu, di level domestik, Indonesia mulai mengikuti perubahan
diskursus yang dibawa oleh Bank Dunia dengan serangkaian kebijakan deregulasi
dan liberalisasi (Hadiz dan Robison, 2004). Surutnya penerimaan dari minyak
membuat para investor Indonesia beralih ke sektor keuangan; liberalisasi finansial
berlangsung sejak dekade 1980an. Pertanyaannya, uangnya berasal dari mana? Lagilagi, jawabannya sama: dari utang. Dari sinilah tumbuh oligarki yang sudah lahir
sejak Indonesia membuka pintu investasi asing (Hadiz dan Robison, 2004: 74).
Namun, kebijakan liberalisasi tersebut tidak bisa bertahan ketika Indonesia
mengalami krisis keuangan di tahun 1997-1998. Ketika Rupiah ambruk,
perekonomian Indonesia tak mampu bertahan dari badai krisis dan akhirnya
membangkitkan kekuatan-kekuatan sosial yang telah lama direpresi oleh Orde Baru.
Kebijakan luar negeri Indonesia pada saat itu didesain untuk menstabilisasi
perekonomian dengan memperbaharui nota kesepahaman (Letter of Intent) dengan
IMF (Hadiz dan Robison, 2004). Namun, mota kesepahaman baru tersebut tak
mampu mengatasi krisis dan justru semakin memperhebat gerakan massa. Soeharto
jatuh pada tanggal 21 Mei 1998.
E. Neoliberalisme dan Politik Luar Negeri RI Pasca-Orde Baru
Setelah Soeharto jatuh, tampuk kepemimpinan Indonesia beralih pada
Habibie, seorang teknolog yang bergabung dengan pemerintahan Soeharto sejak
1990. Habibie melanjutkan nota kesepahaman yang telah dibangun dengan IMF
untuk menstabilisasi perekonomian Indonesia. Upaya Habibie dilanjutkan oleh
Abdurrahman Wahid dan Megawati yang melanjutkan pinjaman dengan IMF dan
membangun kerangka kebijakan pembangunan berbasis ‘structural adjustment
program’ dengan dukungan dana dari beberapa lembaga donor: IMF, Bank Dunia,
USAID, dll. (Hadiz, 2004; Hadiz & Robison, 2004).
Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh peerintah RI pasca-Orde Baru
tersebut mencerminkan apa yang disebut sebagai ‘post-Washington Consensus’
(Carroll, 2010; Carroll, 2012). Kebijakan pembangunan yang mula-mula diambil
adalah desentralisasi, yang digalakkan oleh Bank Dunia dan USAID. Desentralisasi
menandai upaya untuk memasukkan ‘modal sosial’ dalam proses perencanaan
pembangunan (Hadiz, 2004: 701-702; Li, 2007). Skema desentralisasi di Indonesia
mentransfer kewenangan hingga pada tingkatan pemerintah daerah dan pemerintah
desa, sehingga mengurangi otoritas pemerintah pusat dalam pembuatan kebijakan
publik (Hadiz, 2004). Sehingga, konsekuensinya, aktivitas-aktivitas lembaga donor
tidak lagi hanya berada di wilayah pusat, tetapi juga sampai ke daerah. Salah satu
bentuk kebijakan yang lahir dari desentralisasi tersebut adalah Program
Pembangunan Kecamatan yang dibiayai oleh Bank Dunia (kini menjadi PNPMMandiri Perdesaan). (Li, 2007).
Dengan demikian, kita bisa membaca ada semacam pergeseran dalam strategi
pembangunan yang diusung oleh negara-negara donor dalam mengampanyekan
pembangunan di Indonesia. Lantas, bagaimana dengan politik luar negeri yang
diambil oleh Wahid dan Megawati? Salah satu kebijakan yang diambil oleh presiden
Abdurrahman Wahid adalah memperbaiki citra Indonesia yang baru saja jatuh akibat
berbagai kasus yang menerpa: Timor Timur, Aceh, Papua, dan Maluku (Smith, 2000).
Aktivitas Abdurrahman Wahid yang sering bepergian –disebut pula sebagai “Foreign
Policy President” dapat dibaca sebagai sebuah langkah untuk mengembalikan citra
Indonesia yang terlanjur negatif, juga dalam konteks menopang pembangunan politik
Indonesia yang sedang bergerak menuju transisi demokrasi (Smith, 2000: 506-508).
Namun, pemerintahan Abdurrahman Wahid hanya bertahan selama hampir
dua tahun. Setelah serangkaian maneuver politik, MPR-RI meng-impeach Presiden
Abdurrahman Wahid dalam sebuah sidang istimewa. Terpilih sebagai pengganti
Abdurrahman Wahid adalah Megawati Sukarnoputri, putri dari mantan Presiden RI,
Sukarno. Kendati merupakan putri dari seorang mantan Presiden RI yang mengambil
langkah revolusioner dan tegas melawan negara-negara Barat, kebijakan-kebijakan
Megawati ternyata berbeda dengan ayahnya. Megawati segera mengambil langkah
normalisasi utang serta memperpanjang pinjaman dengan IMF dan Bank Dunia
(Anwar, 2003). Sama seperti Soeharto, ia lebih banyak berurusan dengan
pembangunan di level domestik dan lebih banyak mempercayakan urusan luar negeri
dengan Menteri Luar Negeri, Hassan Wirajudha.6
Mengapa kebijakan luar negeri Megawati tidak jauh berbeda dengan Soeharto?
Dalam perspektif ekonomi politik pembangunan, jawabannya bisa kita temukan:
kebutuhan untuk membiayai pembangunan yang dananya berasal dari pinjaman.
Pada tahun 2001-2003, Megawati banyak menandatangani Letter of Intent yang
berisi persetujuan untuk menanamkan pola-pola Washington Consensus dalam
kebijakan publik di Indonesia dan mencairkan pinjaman untuk melaksanakannya
(Umar, 2012).7
Menariknya, pada masa Megawati, Indonesia aktif dalam forum-forum di
tingkat regional (ASEAN). Indonesia menjadi tuan rumah Bali Concord III yang
kemudian menjadi ‘batu pertama’ dari ASEAN Community yang digadanggadangkan akan efektif terlaksana di dekade 2020an. Namun, karena Megawati lebih
banyak mempercayakan kebijakan pada Menteri, ASEAN masih menjadi agenda dari
Kementerian Luar Negeri dan belum menjadi agenda utama pemerintah. Politik Luar
Negeri Indonesia justru lebih banyak disibukkan oleh agenda kebijakan Global War
on Terror Amerika Serikat yang menyeret Indonesia karena ada pengeboman di Bali
tahun 2002.
Sikap Indonesia yang lebih banyak disibukkan oleh Global War on Terror ini
menarik untuk dicermati. Mengapa Indonesia lebih memprioritaskan pemberantasan
terorisme daripada ASEAN? Jika dianalisis dari kebijakan pembangunan Indonesia,
terlihat bahwa pemberantasan terorisme punya implikasi pada hubungan kerjasama
antara Indonesia dan Amerika Serikat/Australia, yang bisa berakibat pada pemutusan
kerjasama ekonomi yang berakibat negatif terhadap kepentingan nasional Indonesia.
Politik liberalisasi yang dikampanyekan oleh IMF dan Bank Dunia kemudian
diteruskan oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Di paruh pertama pemerintahannya,
Hassan Wirajudha adalah seorang diplomat karier yang cukup senior di jajaran Departemen Luar
Negeri. Wirajudha kemudian banyak meneruskan kebijakan-kebijakan yang lebih bersifat birokrat,
seperti ASEAN (Bali Concord III tahun 2003) atau pertemuan-pertemuan bilateral. Lihat Anwar
(2003),
7
Salah satu kebijakan yang diambil oleh Megawati adalah privatisasi BUMN. Di antara kasus yang
terkenal dalam kebijakan privatisasi tersebut adalah privatisasi Indosat yang sahamnya dibeli oleh
SingTel, perusahaan telekomunikasi Singapura. Kebijakan privatisasi dan liberalisasi dalam bentuk
rangkaian UU tersebut dapat dibaca sebagai manifestasi kebijakan Washington Consensus di
Indonesia.
66
Yudhoyono banyak terlibat dalam mengurusi hal-hal domestik, seperti rekonstruksi
Aceh pasca-Tsunami atau gempa di Yogyakarta. Kerangka kebijakan pembangunan
yang ditawarkan oleh Yudhoyono mengikuti model kebijakan ‘socio-institutional
neoliberalism’ (Carroll, 2010). Yudhoyono yang mewarisi konteks kebijakan
Washington Consensus dari Megawati meneruskannya dalam bentuk Good
Governance dan mendesentralisasikannya ke level daerah, sehingga membuat
pembangunan tidak lagi bertumpu hanya pada negara, tetapi juga dikelola secara
desentralistik dengan menggunakan good governance sebagai pilar utama (Carroll,
2012).
Dengan berkembangnya diskursus baru tentang pembangunan, yaitu
kerangka Post-Washington Consensus, terjadi pergeseran-pergeseran dalam konteks
politik luar negeri Indonesia. Pergeseran tersebut dapat dipetakan ke dalam dua
kategori.
Pertama,
kebijakan
pembangunan
yang
bersifat
desentralistik
menyebabkan ekspansi kekuatan politik internasional tidak lagi masuk via ‘negara’,
melainkan bisa masuk langsung pada masyarakat. Inilah yang dikritik oleh Carroll
(2012) sebagai ‘trojan horse’ yang bisa menikam dari dalam. Kedua, politik luar
negeri tidak lagi bersifat ‘statist’ atau mengandalkan negara. Semua aparatus negara
bahkan kekuatan sosial kini bisa menjadi ‘diplomat’ karena interaksi yang intens
dengan dunia luar menjadikan setiap hubungan luar negeri tidak hanya menjadi
domain ‘negara’, tetapi juga melibatkan aktor-aktor yang lain.
Sehingga, dengan konfigurasi semacam ini, bagaimana posisi politik luar
negeri Indonesia? Yudhoyono kemudian mengajukan konsep ‘zero enemy and
million friends’ sebagai haluan baru politik luar negeri Indonesia. Konsep ini
meniscayakan Indonesia untuk bekerjasama dengan semua kekuatan untuk, “(1)
promote justice and order in the international arena, (2) better investment policy for
economic development, (3) democracy and consolidation in regional integration, (4)
protecting Indonesian nationals particularly migrant workers, (5) maintaining
national unity,dan (6)
striving for amore effective foreign policy mechanism.”
(Puspitasari, 2010).
Konsep ini meniscayakan Indonesia untuk memilih
‘multilateralisme’
sebagai
haluan
dalam
setiap
perundingan
internasional.
Belakangan, Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa merumuskan konsep baru:
dynamic equilibrium yang melihat politik luar negeri sebagai ‘keseimbangan
dinamis’ dan Indonesia mesti membangun hubungan persahabatan yang lebih kuat
dengan sesama negara ‘global south’ (Umar, 2011).
Bagaimana kita membaca kerangka politik luar negeri Indonesia ini dalam
konteks ekonomi politik pembangunan? Kebijakan pembangunan Indonesia di dalam
negeri telah didesain dengan menginternalisasi apa yang disebut sebagai ‘socioinstitutional
neoliberalism/post-washington
consensus’
yang
menempatkan
neoliberalisme sebagai sebuah cara untuk membangun masyarakat. Dengan demikian,
pada level domestik, ‘negara’ sudah tidak lagi menjadi aktor utama yang memenuhi
kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu, peran ‘negara’ diredefinisi dengan konsep
‘zero enemy and million friends’.
Karena pembangunan yang didesain dengan model ‘post-Washington
Consensus’ membutuhkan stimulus modal di level domestik, peran negara kini
adalah membuka pintu seluas-luasnya kepada modal asing untuk masuk ke dalam
negeri dan berinvestasi. Era perdagangan bebas dengan Cina (ACFTA) kemudian
semakin menambah semarak politik pembangunan di Indonesia, yang tidak hanya
berada di bawah tarikan lembaga-lembaga keuangan internasional, tetapi juga Cina.
Upaya untuk menghadapi hegemoni Cina ini bukannya tidak diperhatikan oleh
Indonesia; pada titik inilah kita bisa menjelaskan konsep ‘dynamic equilibrium’ dari
Marty Natalegawa yang ia ejawantahkan dalam politik luar negeri berbasis ASEAN
(Umar, 2011).
Dari pemaparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa politik luar negeri di
Indonesia pasca-Orde Baru tak lepas dari konsolidasi neoliberalisme yang
bertransformasi di Indonesia. Diskursus tentang pembangunan yang diwarisi dari
Orde Baru dan dikembangkan oleh ekonom-ekonom dari Bank Dunia atau lembaga
donor kini diinternalisasi menjadi strategi pembangunan dan mempengaruhi
kebijakan luar negeri Indonesia. Politik luar negeri menjadi semacam instrument
untuk
menjaga
eksistensi
dari
hegemoni
neoliberalisme
dalam
kebijakan
pembangunan Indonesia.
F. Kesimpulan
Robert W. Cox pernah berkata, “Production creates the material basis for all
forms of social existence.” (Cox, 2004). Argumen yang akar epistemologisnya dapat
ditarik dari penganut pendekatan Marxis dan Gramscian ini mengarahkan kita pada
sebuah proposisi utama, bahwa semua bentuk hubungan sosial akan ditentukan oleh
basis material yang bersumber pada proses produksi. Dengan meletakkan ‘produksi’
sebagai basis utama dari pembangunan, dalam konteks paper ini, kita bisa
mengatakan bahwa politik luar negeri akan ditentukan oleh pertarungan wacana
ekonomi-politik tentang pembangunan yang terjadi pada sebuah negara.
Paper ini berkesimpulan bahwa kebijakan-kebijakan luar negeri sejak era
kemerdekaan hingga pasca-Orde Baru pada dasarnya diambil berdasarkan kebutuhan
untuk membangun bangsa dan memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ketika Orde
Lama, ‘politik bebas-aktif’ dirumuskan agar Indonesia mampu bergerak secara lebih
luwes dalam memperdagangkan komoditas ekspornya. Sebab, seperti analisis Hatta
(1953), kebutuhan ekonomi dalam negeri sangat bergantung pada ekspor komoditas
domestik yang membutuhkan hubungan kerjasama luar negeri. Hubungan itu
dipertahankan dalam politik anti-kolonialisme Sukarno yang bertujuan untuk
mengonsolidasikan kekuatan negara-negara dunia ketiga dalam menghadapi
imperialisme.
Di masa Orde Baru, paradigma pembangunan berubah menjadi modernisasi
yang mengimplikasikan dibukanya investasi asing dan perekonomian pada modal
asing. Kebijakan ini disebut sebagai ‘developmentalisme’ yang ditopang oleh
kekuatan represif militer (Feith, 1981). Munculnya ‘developmentalisme’ Orde Baru
direspons oleh politik luar negeri dengan mencari ‘utang’ yang bisa digunakan
sebagai talangan pembangunan. Konsekuensinya, dengan adanya utang yang
diberikan oleh negara-negara donor tersebut, Indonesia harus memenuhi persyaratan
kebijakan yang harus dilakukan sebagai kompensasi cairnya pinjaman. Sehingga,
kebijakan luar negeri Orde Baru pada prinsipnya merupakan kebijakan yang dekat
dengan negara-negara Barat
Jatuhnya Orde Baru mengubah kembali diskursus pembangunan di Indonesia.
Akan tetapi, perubahannya tidak berbeda jauh dengan Orde Baru, sebab diskursus
tentang pembangunan di era ini didominasi oleh pandangan mengenai good
governance yang dibawa oleh proponen neoliberalisme. Di era ini, berkembang
wacana tentang ‘governing through the social’ yang memungkinkan kekuatan asing
masuk dan menginternalisasi diskursusnya pada level yang sangat lokal –bahkan
sampai pada level desa— tanpa harus melalui perantara negara (Carroll, 2010; Harris,
2002). Konsekuensi dari fenomena ini adalah biasnya peran negara dan membuat
politik luar negeri menjadi tidak lagi berfungsi sebagai ‘filter’ dalam mengurusi
hubungan luar negeri. Oleh sebab itu, terjadi pula perubahan diskursus politik luar
negeri Indonesia menjadi lebih bersifat fasilitatif terhadap neoliberalisme yang
berkembang di Indonesia. Politik luar negeri menjadi instrument untuk menarik
investasi asing masuk ke Indonesia dan memberikan pencitraan positif bagi
Indonesia di masyarakat internasional.
Dari pemaparan di atas, paper ini berkesimpulan bahwa pembuatan
keputusan politik luar negeri di Indonesia selalu memiliki basis material yang
bersumber dari kebutuhan sebuah negara untuk survive. Paper ini membuktikan
bahwa pembangunan –sebagai sebuah langkah real negara untuk menghidupi dirinya
dalam bertahan hidup dalam realitas politik internasional—memiliki pengaruh
terhadap pengambilan keputusan politik luar negeri. Oleh sebab itu, penting untuk
melihat politik luar negeri –terutama di dunia ketiga— tidak sekadar dari level
rational choice, bureaucratic polity, dan governmental politics yang disarankan oleh
penganut pendekatan ‘problem solver’ (Korany, 1984), tetapi juga dari sudut
pandang ekonomi politik yang memperlihatkan basis material dari kebijakan tersebut.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa ‘politik luar negeri’ Indonesia sejak
1966 berada di bawah ‘hegemoni’ dari kapitalisme yang mengambil banyak wajah
(developmentalisme, neoliberalisme, dll.). Hal ini merupakan konsekuensi dari
paradigma pembangunan yang sangat menekankan pada self-regulating market dan
‘negara’ sebagai penjaga keefektifan mekanisme pasar. Paradigma politik luar negeri
‘bebas-aktif’, pada praktiknya, tidak lagi menjadi pilihan kebijakan. Hal ini perlu
menjadi agenda kebijakan yang perlu dipikirkan lagi secara lebih kritis, agar
Indonesia mampu menempatkan posisinya secara tepat dalam pentas politik
internasional. [*]
DAFTAR PUSTAKA
Abrahamsen, R. (2000). Disciplining Democracy: Development Discourse and Good
Governance in Africa. London: Zed Books.
Anwar, D.F. & Crouch, H. (2003). “Indonesia: Foreign Policy and Domestic
Politics”. Trends in Southeast Asia Vol. 9.
Agussalim, D. (2011). “New Trends in Indonesian’s Foreign Policy Orientation and
Practices: From Regional To Global-Oriented”. Nagoya Graduate School of
International Development Blog. Accessed from http://www2.gsid.nagoyau.ac.jp/blog/anda/files/2011/08/56-dafri-agussalim_trends-in-indonesiasforeign-policy.pdf
Carroll, T. (2010). Delusion of Development: The World Bank and The PostWashington Consensus in Southeast Asia. New York: Palgrave.
Carroll, T. (2012). Neoliberal Development Policy in Asia Beyond The PostWashington Consensus. Jakarta: TIFA and INFID.
Cox, R.W. (2004). “Beyond Empire and Terror: Critical Reflections on the Political
Economy of World Order”. New Political Economy Vol. 9 (3): 307-323.
Cox, R.W. & Schehter, M.G. (2002). The Political Economy of a Plural World:
Critical Reflections on Power, Morals and Civilization. London: Routledge.
Derkach, Nadia. “The Soviet Policy towards Indonesia in the West Irian and the
Malaysian Disputes” Asian Survey, Vol. 5, (11), pp. 566-571
Escobar, A. (1995). Encountering Development: The Making and Unmaking of The
Third World. New Jersey: Princeton University Press.
Feith, H. (1981). “Rezim-rezim Developmentalis Represif di Asia: Kekuatan Lama,
Kerawanan Baru”, Prisma, 11 Vol. 11, pp. 69-84.
Ferguson, J. (1995). Anti-Politics Machine: Development, Depoliticization, and
Bureaucratic Power in Lesotho. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Foucault, M. (1991). “Governmentality” in Sukma, A. and Gupta, A. (eds). The
Anthropology of the State. Oxford, Malden, and Victoria: Blackwell.
Hadiz, V.R. (2004). “Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of
Neo-Institustional Perspective”. Development and Change, Vol. 3 (4) :697-718
Hadiz, V.R. (2006). “Corruption and Neo-liberal Reform: Markets and Predatory
Power in Indonesia and Southeast Asia” in Robison, R. (ed). The Neoliberal
Revolution: Forging the Market State. New York: Palgrave.
Hakim, L.N. (2011). “Governance and New Mode of Governing: Indonesia as a
Metaphor” Jurnal Sosial Politik. Vol. 15 (2): 111-123.
Harris, J. (2002). Depoliticizing Development: The World Bank and Social Capital.
New Delhi: Left World Books.
Hatta, M. (1947). “Mendajung di Antara Dua Karang” Pidato disampaikan dalam
Rapat BPKNP, Yogyakarta, Indonesia.
Hatta, M. (1953). “Indonesia’s Foreign Policy”. Foreign Affairs, Vol. 31 (3), pp.
441-452.
Hatta, M. (1958). “Indonesia’s Between Power Blocs”. Foreign Affairs, Vol. 36 (3),
pp. 480-490.
Kegley, C.W. & Wittkopf, E.R. (2006). World Politics: Trends and Transformation
Belmont: Thomson-Wadsworth.
Korany, B. (1984). “Foreign Policy in the Third World: An Introduction”
International Political Science Review, Vol. 5 (1), pp. 7-20.
Li, T.M. (2007). The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan
di Indonesia. Penterjemah Hery Santoso dan Pujo Semedi. Depok: Marjin Kiri.
Novotny, D. (2004). “Indonesia’s Foreign Policy: In Quest for the Balance of
Threats”. Presented to the 15th Biennial Conference of the Asian Studies
Association of Australia, Canberra, AU.
Puspitasari, I. (2010). “Indonesia’s New Foreign Policy: Thousand Friends Zero
Enemy” IDSA Issue Brief, November.
Robison, R (1986). Indonesia: The Rise of Capital. Singapore: Equinox.
Robison, R. (2006). “Neo-liberalism and the Market State: What is the Ideal Shell?”
in Robison, R. (ed). The Neoliberal Revolution: Forging the Market State. New
York: Palgrave.
Robison, R. & Hadiz, V.R. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of
Oligarchy in an Age of Markets. London: RoutledgeCurzon.
Sukma, R. (1995). “The Evolution of Indonesia's Foreign Policy: An Indonesian
View” Asian Survey, Vol. 35 (3) pp. 304-315.
Smith, A.L. (2000). “Indonesia's Foreign Policy under Abdurrahman Wahid: Radical
or Status Quo State?” Contemporary Southeast Asia, Vol. 22 (3), pp. 498-526
Smith, A.L. (2003). “Indonesia in 2002: Megawati's Way” Southeast Asian Affairs,
pp. 97-116.
Time Magazine. (1967). “Investment: Indonesia Waits”. Archive, 10 November 1967.
Umar, A.R.M. (2011). “A Critical Reading of Natalegawa Doctrine”. The Jakarta
Post, 7 January.
Umar, A.R.M. (2012). “Ekonomi Politik Perminyakan Indonesia: Analisis Kebijakan
Liberalisasi Sektor Hulu Migas Indonesia Pasca-1998” Jurnal Sosial Politik.
Vol. 16 (1): 45-61.
Weinstein, F.B. (1971). “The Indonesian Elite's View of the World and The Foreign
Policy of Development”. Paper presented at the annual meeting of the
Association for Asian Studies, Washington, D. C, US.