PENJELASAN TAFSIR AHKAM AYAT AYAT PEMBUN

PENJELASAN TAFSIR AHKAM
AYAT-AYAT PEMBUNUHAN DAN PENCURIAN

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah Tafsir Ahkam
Dosen Pembimbing : Dr. Mafri Amir, M. Ag.

Disusun Oleh :
Faisal Hilmi
1110034000144
Abdul Bari Nasruddin
111003400034

JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
1

I. PENDAHULUAN
Al-Qur‟an menyebut dirinya sebagai hudan li al-nas, petunjuk bagi umat

manusia. Akan tetapi petunjuk al-Qur‟an tersebut tidaklah dapat ditangkap maknanya
bila tanpa adanya penafsiran. Itulah sebabnya sejak al-Qur‟an diwahyukan hingga
dewasa ini gerakan penafsiran yang dilakukan oleh para ulama tak henti-hentinya. Hal
ini terbukti dengan banyaknya karya-karya para ulama yang dipersembahkan guna
menyingkap dan menguak rahasia-rahasia yangterkandung di dalamnya dengan
menggunakan metode dan sudut pandang yang berlainan.
Sejarah penafsiran al-Qur‟an adalah sejarah Islam itu sendiri. Artinya
perjalanan sejarah tafsir al-Qur‟an sudah sama tuanya dengan sejarah perjalanan Islam
sebagai agama, sehingga antara keduanya menjadi identik tak terpisah.
Makalah ini akan coba mendiskusikan mengenai tafsir ahkam, yaitu suatu
jenis tafsir yang bercorak fiqh atau bercorak hukum. Dalam hal ini ayat-ayat
pembunuhan dan pencurian. Dalam makalah ini kemi lebih cenderung menggunakan
menggunakan metode ijmali (gradual).
Kami tidak banyak menjelaskan produk teknis hukum fikih mengenai
pembunuhan dan pencurian. Kami lebih banyak mengulas tafsir mengenai ayat-ayat
pembunuhan dan pencurian pada aspek prosesnya hingga menjadi produk hukum
Islam. Ayat pembunuhan yang meliputi Al-baqoroh ayat 178, An-Nisa ayat 92, AlMaidah ayat 32&95 dan ayat puncurian meliputi Al-Maidah ayat 38-39.
Hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan, adalah sebagai balasan
dan pertanggungjawaban, atas kejahatan yang telah ia lakukan. Maka setiap pelaku
kejahatan harus dijatuhkan hukuman yang setimpal. Hukum dapat dilegitimisi harus

mempunyai tujuan agar dapat memberikan jera kepada pelaku kejahatan dan tindakan
preventif.
Para ahli hukum Islam sering menggunakan istilah janayat atau jinayah untuk
kejahatan. Janayat adalah suatu kata dalam bahasa Arab yang berarti setiap kelakuan
buruk yang dilakukan oleh seseorang. Kata ini adalah suatu invinitife yang digunakan
sebagai kata benda dan berasal dari yang berarti “Seseorang telah melakukan
perbuatan jahat pada orang lain.” Kata janayat sering digunakan dalam arti ini, tetapi
dalam istilah hukum berkonotasi suatu perbuatan buruk yang dilarang oleh hukum.1
Sebagai istilah dalam hukum Islam, janayat adalah sinonim dengan kejahatan.2

Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al Ji a’I al-Islami (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1992), h. 73.
dalam Musaw Akbar, Tindak Pidana Pembunuhan dan Ancaman Hukum Hanya dalam Konsep Hukum
Jinayah dan Hukum Pidana di Indonesia (Jakarta : Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2006), h. 17.
2
Musaw Akbar, Tindak Pidana Pembunuhan dan Ancaman Hukum Hanya dalam Konsep
Hukum Jinayah dan Hukum Pidana di Indonesia (Jakarta : Program Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 17.
1


2

II. PEMBAHASAN
A. Ayat-Ayat Pembunuhan
1. Al-Baqoroh ayat 178
Dalam Al-Qur‟an dijelaskan bahwa kejahatan pembunuhan3 dikenakan hukum
Qishah, yaitu pembalasan dri apa yang telah dilakukan oleh seseorang pelaku
kejahatan. Hal ini merujuk Qur‟an surat Al-Baqoroh ayat 178 :

             
              
            
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang
mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar
(diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang

sangat pedih. (Al-Baqoroh : 178).4

a. Asbabun Nuzul
Surat ini dijelaskan dari Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Sa‟id ibnuz-Zubair,
dia berkata, “Pada masa jahiliah, penduduk dua perkampungan Arab pernah
berperang karena sesuatu yang sepele. Dan di antara mereka banyak yang mati dan
terluka. Namun ketika mereka membunuh budak-budak dan para wanita, mereka tidak
mempermasalahkannya hingga mereka masuk Islam. Ketika itu salah satu
perkampungan mempunyai persenjataan dn harta yang lebih banyak dibanding
dengan kampung lainnya sehingga mereka bertindak sewenang-wenang terhadap yang
lain. Mereka bersumpah bahwa apabila budak mereka terbunuh, mereka akan
3

Dalam kitab Al-Mughni Al-Muhtaj disebutkan bahwa pembunuhan adalah aktifitas
menghilangkan nyawa. Sedangkan dalam kitab Takmilah Fatih Qadir disebutkan abahwa pembunuhan
adalah pekerjaan seorang hamba Allah yang melenyapkan kehidupan. Lihat Ahmad Sarwat, (Ebook)
Kajian Tafsir Ayat Ahkam, h. 69.
4

Surat AL-Baqoroh diturunkan di Madinah, 286 ayat. Kecuali ayat 281 diturunkan di Mina, di

kala nabi menyelesaikan haji wada.

3

menganggap impas jika mereka telah membunuh orang merdeka dari pihak
pembunuh. Maka turunlah firman Allah pada mereka yang menyatakan bahwa orang
merdeka dihukum dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan
wanita.”5
b. Munasabah Surat
Surat sebelumnya menerangkan dasar-dasar pokok pembicaraan al-Qur‟an. 2.
Surat ini merinci sebagian dari persoalan-persoalan pokok yang diterangkan dalam
surat yang telah lalu.
Surat ini secara garis besar terbagi dua : 1. Ayat pertama hingga ayat Al-Birr
(175). Di dalam bagian ini Tuhan menerangkan masalah-masalah yang berpautan
dengan tauhid. 2. Dari ayat al-Birr (175) hingga akhir surat (286) menerangkan
beberapa hukum syar‟i.6
c. Tafsir Ayat
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa firman Allah “Telah
diwajibkan atas kamu Qishas. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan perempuan dengan perempuan.” Menurut riwayat Abu Malik, ayat ini

dinasakh oleh firman Allah, “Jiwa dengan jiwa”. Allah menetapkan bahwa qishash
bagi orang-orang merdeka karena tindakan sengaja adalah harus sama diantara
keduanya baik hal yang menyangkut laki-laki, wanita, fisik, maupun nonfisik. Allah
pun menetapkan hal yang sama terhadap hamba sahaya dalam perkara yang disengaja,
baik kesamaan yang menyangkut fisik maupun nonfisik, jenis kelamin laki-laki atau
perempuan.7
Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan bahwa ayat di atas menjelaskan tentang
kewajiban hukum qishah. 8 Muhammad rasyid Ridha dalam tafsirnya Tafsir al-Qur‟an
al-hakim menjelaskann bahwa tujuan dari Qishah yaitu keadilan dan keserupaan dan
menghilangkan penindasan yang dilakuakan oleh orang-orang yang kuat terhadap
orang-orang yang lemah. Kemudian jika dari pihak keluarga korban memaafkan

5

Jalaluddin As-Suyuthi, Asbab an-Nuzul : Sebab turunya ayat Al-Qur’a (Depok: Gema
Insani, 2009), cet. ke-2, h. 67.
6
. Lihat Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Al Bayan: Tafsir penjelas Al-Qur’a ul
Karim (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2002), Jilid 1, h. 9.
7

Muhammad Nasib Ar-‘ifa I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir ( Depok: Gema Insani, 1999), h.
279.
8
Ibnu Jarir ath-Thabari, Ja i’a al-Baya fi Ta’wil al-Qur’a (Beirut : Dar al-Kitab al-Ilmiyyah,
1999), jilid II, h. 107 dalam Musaw Akbar, Tindak Pidana Pembunuhan dan Ancaman Hukum Hanya
dalam Konsep Hukum Jinayah dan Hukum Pidana di Indonesia (Jakarta : Program Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 18.

4

pelaku pembunuhan, maka disertai pemaafan tersebut, kepada pelaku pembunuh
dengan kewajiban membayar diyat.9
Dalam menafsirkan ayat di atas, ulama berbeda pandangan, menurut jumhur,
yaitu: Malikiyyah, Syafi‟iyyah, dan Hambaliah, bahwasannya seorang merdeka tidak
dihukum qishash jika ia telah membunuh hamba sahaya dan begitu pula seorang
muslim tidak diqishas jika telah membunuh kafir dzimmi. Berbeda dengan pendapat
tersebut, jika seseorang meredeka terbunuh seorang hamba sahaya, maka muslim tadi
harus diqishas, begitu pula jika seorang muslim membunuh kafir dzsimmi maka
muslim tersebut harus diqishas pula.10


2. An-Nisa ayat 92
Al-Quran menjelaskan bahwa pembunuhan yang tidak disengaja itu tidak
wajib diqishas. namun wajib membayar kafarat berdasarkan Qur‟an surat An-Nisa
ayat 92 :

              
               
            
              
      
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain),
kecuali karena tersalah (Tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang
mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya
yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah[. jika ia (si
terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan
kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’a al-Hakim (Beirut : Dar al-Kitab al-Ilmiyah, t.th),
jilid I, h. 167 dalam Musaw Akbar, Tindak Pidana Pembunuhan dan Ancaman Hukum Hanya dalam
Konsep Hukum Jinayah dan Hukum Pidana di Indonesia (Jakarta : Program Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 19.
10
Muhammad Ali ash-Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam (Beirut : Dar al-Qu a al-karim, t. th),
Juz I, h. 123.
9

5

keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh)
berpuasa dua bulan berturut-turut untu k penerimaan Taubat dari pada Allah.
dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-nisa : 92).

a. Asbab an-Nuzul
Dikemukakan oleh Ibn Jarir yang bersumber dari Ikrimah, Ikrimah berkata:
“Harits bin Yazid dari Bani „Amir bin Luay pernah menyiksa Ayyasy bin Abi Rabi‟ah
bersama Abu Jahal, kemudian Harits berangkat untuk hijrah kepada Nabi saw dan
bertemu dengan Ayyasy di kampong al-Harah, maka segera Ayyasy menghunus
pedang dan membunuhnya, dikira ia masih kafir. Kemudian Ayyasy segera
menghadap Nabi saw. dan menceritakan peristiwa itu.11 Maka turunlah ayat, “Dan

tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja)”.
Mereka yang berpendapat dengan menyebut riwayat: Bisyr bin Mu‟adz
menceritakan kepada kami, ia berkata: Yazid menceritakan kepada kami, ia berkata:
Sa‟id menceritkan kepada kami dari Qatadah tentang ayat, “Dan tidak layak bagi
seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah
(tidak sengaja)”. Ia berkata, “tidak pantas bagi seorang mukmin untuk melakukan hal
itu, apalagi dengan apa yang telah didatangkan Allah kepadanya, dari janji yang telah
dijanjikan Allah kepadanya.”12 Ada yang berpendapat bahwa ayat ini diturunkan
kepada Ayyasy bin Abi Rabi‟ah Al Makhzumi, orang telah membunuh seorang lakilaki yang telah masuk Islam, akan tetapi Ayyasy tidak mengetahui tentang keislaman
laki-laki tersebut. Al-Mutsanna menceritakan kepadaku, ia berkata: Abu Hudzaifah
menceritakan kepada kami, ia berkata: Syibil menceritakan kepada kami dari Ibn Abi
Najih, dari Mujahid, seperti itu kecuali ia menambahkan dalam kisahnya: Laki-laki itu
telah menjadi pengikut Nabi Saw, sedangkan Ayyasy mengira laki-laki itu masih
menjadi kafir sebagaimana dahulu, karena Ayyasy hijrah ke Madinah dan menjadi
seorang mukmin disana. Kumdian Abu Jahal datang bersama saudara ibu Ayyasy,
Saudara ibunya lalu berkata, “Ibumu telah bersumpah untuk memutuskan hubungan
dan haknya kepadamu kecuali kamu kembali kepadnya” Mujahid menambahkan:
Saudara ibunya lalu menawan teman-teman Ayyasy dan mengikat mereka.13
b. Munasabah Ayat


Jalaludin As-Suyuti, Riwayat Turunnya Ayat-ayat Suci Al-Qur’a , Penj. M. Abdul Mujieb
(Surabaya: Mutiara Ilmu. 1986) h.174. Lihat Juga K.H. Q. Shaleh dkk, Asbabun Nuzul (Bandung: CV
Diponogoro. 2007) h.156.
11

A
Ath-Thabarī
13
A
Ath-Thabarī
12

u Ja fa Muha
ad
Jaka ta: Pustaka Azza
u Ja fa Muha
ad
Jaka ta: Pustaka Azza

i Ja i Ath-Thabari (Tahqiq Ahmad Abdurraziq Al Bakri dkk), Tafsir
.
, olu e , h. 460.
i Ja i Ath-Thabari (Tahqiq Ahmad Abdurraziq Al Bakri dkk), Tafsir
.
, olu e , h. 463-464.

6

Surat Ali Imron disudahi dengan perintah bertakwa dan surat ini dimulai
dengan perintah yang sama. Di dalam surat yang telah lalu diterangkan kisah
peperangan Uhud dengan sempurna, dailanjutkan dalam surat ini. Dalam surat yang
lalu diterangkan peperangan yang terjadi sesudah uhud, yaitu Hamra-il Asad, yang
diisyaratkan pula dalam surat ini.14
c. Tafsir Ayat
Menurut Rasyid Ridho adalah wajib melaksanakan hukum qishash kepada
pelaku, walaupun orang yang meredeka telah membunuh seseorang hamba sahaya.
Kemudian, barangsiapa yang melepaskan hak qishasnya atas apa yang telah
ditetapkan untuknya dari hak qishas yaitu pemaafan kepada pelaku. Maka melepaskan
hak qishaanya adalah penebus dosa korban. Allah akan menghapus dosa-dosanya dan
memaafkannya sebagaimana ia memaafkan saudaranya.15
Imam al-Shāfi‟ī berkata, Allah Swt. berfirman
…       
Dalam ayat ini Allah menjelaskan kasus orang mukmin dan kafir Dzimmi
yang terbunuh secara tidak sengaja. Ahli waris masing-masing berhak menerima
tebusan (diyat) dan pemerdekaan hamba sahaya. Ini menunjukkan bahwa kedua
korban itu berada di negeri Islam yang terlarang, bukan negeri musuh yang bebas.
Allah juga menjelaskan hukuman bagi pelaku pembunuhan.16
Kata  pada posisi nashabsebagai maf‟ul lah (objek penderita) bisa
manshubnya ini karena sebagai haal (menerangkan kondisi) yang pikirannya yaitu,
tidak layak membunuhnya dalam kondisi apapun kecuali dalam kondisi salah. Bisa
juga kata ini sebagai sifat untuk mashdar yang mahdzuf yaitu illā qatlan khatha‟an
(kecuali pembunuhan yang tidak disengaja) bentuk-bentuk bersalah banyak sekali
yang intinya adalah tidak disengaja. Al khata‟ adalah isim dari akhtha‟ khatha‟an
yaitu apabila tidak disengaja.17

Lihat Lihat Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Al Bayan: Tafsir penjelas Al-Qur’a ul
Karim (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2002), Jilid 1, h. 173.
15
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’a al-Hakim (Beirut : Dar al-Kitab al-Ilmiyah, t.th),
jilid I, h. 329 dalam Musaw Akbar, Tindak Pidana Pembunuhan dan Ancaman Hukum Hanya dalam
Konsep Hukum Jinayah dan Hukum Pidana di Indonesia (Jakarta : Program Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 22.
16
Syaikh Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir Imam al-Shāfi’ī (Jakarta: al-Mahira. 2008), jilid II,
h.183
17
Imam Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, Tahqiq Sayyid Ibrahim (Jakarta: Pustaka Azzam.
2009), Jilid 3, h.29.
14

7

Abu Ja‟far berkata: Maksud ayat di atas adalah tidak pantas bagi seorang
mukmin untuk melakukan perbuatan itu, dalam kondisi bagaimanapun. Allah sama
sekali tidak pernah membolehkan pembunuhan itu.18
Hukuman bagi orang mukmin yang membunuh orang kafir adalah memerdekakan
hamba sahaya. demikian ayat
     
Jika dia (si pembunuh) dari kaum yang memusuhi kalian, tidak lain
mengandung pengertian dalam kaum yang memusuhi kalian. begitulah ayat yang
diturunkan. Setiap muslim yang membunuh termasuk orang yang memusuhi kaum
muslimin, karena kaum muslim Arab yang membunuh juga termasuk kaum yang
memusuhi kaum muslimin, begitulah halnya kaum muslim non-Arab.19

3. Al-Maidah ayat 32

               
           
           
 
Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan Karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan Karena membuat kerusakan dimuka bumi,
Maka seakan-akan dia Telah membunuh manusia seluruhnya. dan barangsiapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya Telah datang
kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan
yang jelas, Kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh
melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi (Al-Maidah : 32).20

A u Ja fa Muha
ad i Ja i Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabarī Tah i Ah ad Abdurraziq
Al Bakri dkk (Jakarta: Pustaka Azzam. 2008), volume 7, h.460.
19
Syaikh Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir Imam al-Shāfi’ī (Jakarta: al-Mahira. 2008), jilid II,
h. 184.
20
Surat Al-Maidah dinamakan juga ayat Safariyyah. Diturunkan di Madinah, 120 ayat.
18

8

a. Munasabah Surat
1

Surat An-Nisa membicarakan beberapa akad. Akad yang tegas ialah akad
pernikahan, mahar, kontrak perjanjian dan aka daman. Adapun akad yang
diterangkan secara tidak tegas, ialah akad wasiat, amanah, pemberian kuasa
dan persewaan.

2

Surat An-Nisa tidak secara tegas mengharamkan arak, sedang surat Al-Maidah
ini dengan tegas-tegas mengharamkannya. Jadi surat ini menyempurnakan
surat yang telah lalu.

3

Kebanyakan kandungan Al-Maidah mendebat orang-orang Yahudi dan
Nasrani dengan membicarakan tentang ihwal kaum musyrikin dan munafik.
Hal ini berulangkali disebut dalam surat An-Nisa, lebih-lebih di bagian
akhirnya.21
b. Tafsir Ayat

Asy-Syanqithi menafsiri ayat ini dengan menjelaskan bahwa Allah
mewajibkan Bani Israil, barangsiapa membunuh seseorang/jiwa bukan karena orang
itu membunuh orang lain atau bukan karena berbuat kerusakan di muka bumi, maka
seolah-olah ia telah membunuh seluruh umat manusia. Di sini tidak disinggung
mengenai hukum bagi yang membunuh karena orang itu membunuh orang lain atau
karena berbuat kerusakan di muka bumi, akan tetapi Allah SWT menjelaskannya
dalam ayat lain. Dimana Dia menjelaskan bahwa membunuh orang yang telah
membunuh orang lain itu dibolehkan yaitu dalam firman Allah, “Dan kami telah
tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurar) bahwasannya jiwa dibalas
dengan jiwa.”22
Amru Khalid, dalam bukunya Khowatir Qur‟aniyah menjelaskan bahwa ayat
tersebut adalah komentar atas kisah pembunuhan kepada Bani Israil. Lanjut Amru
Khalid menjelaskan bahwa Al-Qur‟anul Karim menggambarkan kepada kita
dahsyatnya kejahatan pembunuhan dalam kisah Adam as. Oleh karena itu, ayat-ayat
setelahnya menjelaskan tentang hukum-hukum yang tegas (keras) untuk
menghentikan terjadinya kerusakan. Di dalamnya juga berisis penjelasan mengenai
batasan hukuman bagi tindak pelaku pembunuhan, pencurian, dan perusakan di muka
bumi.

Lihat Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Al Bayan: Tafsir penjelas Al-Qur’a ul
Karim (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2002), Jilid 1, h. 243.
22
Asy-Sya ithi, Tafsi Adh a ul aya : Tafsi Al-Qu a de ga Al-Qu a Jaka ta: Pustaka
Azzam, 2007), h. 77.
21

9

Tindakan kriminal itu bukan membahayakan diri bagi pelakunya saja,
melainkan juga membahayakan semua lapisan masyarakat karena ada hak orang
banyak yang mesti dijaga dan dipelihara.23

3. Al-Maidah ayat 95

              
              
               
        
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan,
ketika kamu sedang ihram. barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan
sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang
dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di
antara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka'bah atau (dendanya)
membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa
seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat
buruk dari perbuatannya. Allah Telah memaafkan apa yang Telah lalu. dan
barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya.
Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa. (Al-Maidah :
95)24

a.Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul ayat ini tidak terdapat, seperti yang dijelaskan Jalaluddin AsSuyuthi dalam karyanya Asbab an-Nuzul. Surat Al-Maidah yang terdapat keterangan
penyebab turunyya dalah ayat 2, 3, 4, 6, 11, 15, 18, 33, 38, dan 41.25
b. Tafsir Ayat

A
: Al-I tisho ,
23

u Khalid, Kho ati Qu a iyah: Ku i
, h.
-132.

e aha i tujua su at-surat Al-Qu a

Jaka ta

25

Dijelaskan Jalaluddin As-Suyuthi, Asbab an-Nuzul : Sebab turunya ayat Al-Qur’a (Depok:
Gema Insani, 2009), cet. ke-2, h. 212-228.

10

Syaikh Asy-Syanqithi, dalam karya tafsirnya Tafsir Adhwa‟ul Bayan
menjelaskan ayat ini bahwa telah kami kemukakan argumentasi dari Abu Hanifah RA
dengan keumuman ayat ini sebagai dalil hukuman mati bagi orang Islam yang
membunuh non-muslim (dzimmi), dan substansi ayat di dalamnya mengisyaratkan
bahwa orang kafir tidak termasuk dalam keumuman ayat, sebagaimana pendapat
jumhur ulama. Yaitu “Barangsiapa melepaskan hak qishasnya maka melepaskan hak
itu menjadi penebus dosa baginya.”
Selain itu berdasarkan pendapat yang mengatakan: Sesungguhnya makna
“maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya.” Bahwa bersedekah
dengan (luka) akibat jinayah merupakan kafarat bagi pelaku kriminalitas bukan
korbannya. Maka tidak ada halangan pula untuk memberikan argumentasi tersebut
dengan dalil ayat ini, kaerena Allah SWT tidak menyebutkan bahwa orang kafir bisa
bersedekah, sebab orang kafir tidak dapat bersedakah karena kekafirannya, dan semua
yang bathil dan tidak berfaidah tidak Allah sebutkan dalm konteks penetepan
(hukum), padahal pendapat ini lemah dalam hal makna ayat.
Mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan sesudah mereka mengatakan,
bahwa maknanya adlah kafarat bagi yang bersedekah, dan pendapat ini adalah yang
paling moderat. Karena kata ganti di dalamnya kembali kepda subjek yang
disebutkan, dan itu bagi orang yang beriman secara mutlak, tidak bagi orang kafir.26
Musaw Akbar dalam tesisnya Tindak Pidana Pembunuhan dan Ancaman
Hukum Hanya dalam Konsep Hukum Jinayah dan Hukum Pidana di Indonesia
mengutip Mahmud bin Umar bin Muhammad az-Zarkasy bahwa ayat 178 surah alBaqoroh27 telah dihapus (mansukh) dengan ayat 45 surat al-Maidah28. Hal ini berdasar
dari Sa‟id bin Musayyab, asy-Sya‟biy dan an-Nakha‟iy, Qatadah, dan ats-Tsauri dan
ia dari mazhab Abu Hanifah dan pengikutnya.29
Anggota badan yang terdapat di bagian kepala manusia: mata, hidung, dan
gigi merupakan bagian-bagaian agaknya sengaja dipilih karena biasanya dalam jupaya
membunuh—terutama masa lampau—seseorang mengarahkan pedangnya pada
bagian leher seseorang. Ketika itu tidak jarang mata, hidung dan gigi merupakan
sasaran yang terkena pukulan atau tebasan pedang.
Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Misbah, menjelaskan bahwa surat AlMaidah ayat 45 menekankan bahwa ketetapan hukum di atas ditetapkan kepada
Asy-Syanqithi, Tafsir Adhwa’ul aya : Tafsir Al-Qur’a de ga Al-Qur’a (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007), h. 149-150.
26

              
            

27

28

29

Musaw Akbar, Tindak Pidana Pembunuhan dan Ancaman Hukum Hanya dalam Konsep
Hukum Jinayah dan Hukum Pidana di Indonesia (Jakarta : Program Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 20.

11

mereka, yakni Bani Israil di dalam kitab Taurat. Penekanan ini disamping bertujuan,
membuktikan betapa mereka melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam
kitab suci mereka, juga untuk menekankan bahwa prinsip-prinsip yang ditetapkan
oleh Al-Qur‟an ini pada hakikatnya serupa dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan
Allah terhadap umat-umat yang lalu, dan dengan demikian diharapkan ketentuan
hukum tersebut dapat diterima dan dilaksanakan oleh semua umat termasuk umat
Islam.30
Ayat ini hanya berbicara tentang tindak kriminal yang disengaja, tidak
berbentuk keliru / tidak disengaja. Hal ini karena konteks kecaman terhadap Bani
Israil adalah konteks perbuatan yang disengaja.31
Ayat 95 surat Al-Maidah ini menurut Amru Khalid adalah memberikan
penegasan terhadap makna yangsa sama:

            
           
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya Allah akan menguji kamu
dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan
tombakmu supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia
tidak dapat melihat-Nya. barang siapa yang melanggar batas sesudah itu,
Maka baginya azab yang pedih.

Terdapat korelasi yang jelas antara awal dan akhir surat. Jika dilihat lebih
fokus, keduanya menjelaskan tentang hukum-hukum binatang buruan. 32
Asy-Syanqithi dalam Tafsir Adhwal‟ul Bayan menjelaskan ayat tersebut dapat
dipahami dari segi mafhum mukhlafahnya, sesungguhnya mereka apabila telah
melepas ihram, mereka boleh membunuh binatang buruan. Pengertian ini dijelaskan
dalam firman Allah SWT, “Dan apabila kamu telah selesai melaksanakan haji maka
berburulah”, yakni apabila kalian berkehendak sebagaimana telah dijelaskan pada
permulaan ahyat ini.
Lanjut Asy-Syanqithi menjelaskann bahwa ulama sepakat melarang berburu
binatang darat bagi orang yang berihram untuk haji dan umrah. Ijma‟ ini terjadi dalam
hal binatang liat yang dapat/halal dimakan. Seperti kambing hutan, kijang dan
30

M. Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah (Tangerang Selatan : Lentera Hati, 2001), volume III, h.

31

M. Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah (Tangerang Selatan : Lentera Hati, 2001), volume III, h.

100.
100.
Amru Khalid, Khowatir Qur’a iyah: Ku i
: Al-I tisho ,
, h.
.
32

e aha i tujua surat-surat Al-Qur’a (Jakarta

12

sebagainya, dan diharamkan apabila da yang mengisyaratkan untuk memburunya atau
menunjukkannya.33

B. Ayat-Ayat Pencurian

            
               
 
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana(38). Maka
barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan
kejahatan itu dan memperbaiki diri, Maka Sesungguhnya Allah menerima
taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang(39).
(Al-Maidah : 38-39).

1. Asbabun Nuzul
Imam Ahmad dan lain-lainnya telah mengetengahkan melalui Abdullah ibn
„Amr, bahwa pada masa Rasulullah saw pernah ada seorang wanita melakukan
pencurian, lalu tangan kanannya dipotong. Kemudian wanita itu bertanya, “Wahai
Rasulullah masih adakah pintu taubat bagiku?”34 lalu turunlah ayat Al-Maidah ayat
39.
2. Pengertian Mencuri
Mencuri secara bahasa berarti mengambil sesuatu yang bukan milknya secara
sembunyi-sembunyi. Secara Istilah adalah mengambil harta yang terlarang bagi pihak
lain dan pengambilan secara paksa atau kekerasan dari pemiliknya tanpa keraguan
sedikitpun dan dengan cara sembunyi-sembunyi.35 Menurut Muhammad Abu
Shahbah, pengambilah oleh seseorang mukalaf yang balig dan berakal terhadap harta
Asy-Syanqithi, Tafsir Adhwa’ul aya : Tafsir Al-Qur’a de ga Al-Qur’a (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007), h. 195-196.
33

Al-I a Muha
ad Uts a A dullah al-Mirgani (Penerj.Bahrun Abu Bakar), Taujut
Tafsir (Mahkota Tafsir) (Bandung: Sinar Baru Algensindo. 2009), jilid 1, h.866. Lihat Juga K.H. Q. Shaleh
dkk, Asbabun Nuzul (Bandung: CV Diponogoro. 2007) h.192
35
Abu Malik Kamal bin As-Shayyid Salim (Penerj. Khairul Amru Harap), Shahih Fikih Sunnah
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), Cet. 1, h. 145.
34

13

milik orang lain dengan diam-diam, apabila barang tersebut mencapai nishab (batas
minimal) dari tempat simpanannya, tanpa ada shubhat dalam barang yang diambil
tersebut.36
3. Penjelasan Ayat dan hukum mencuri
Para Nahwu berbeda pendapat mengenai khabar dari   di dahulukan
ataukah kata  (potonglah)? Sibawaih berpendapat dengan pendapat pertama,
dan ia mengatakan bahwa perkiraannya yaitu, fī mā faraḍa „alaikum (diantara yang
diwajibkan atas kamu), atau fī mā yutlā as-sāriq wa as-sāriqah (diantara yang
dibacakan kepadamu adalah perkara laki-laki dan perempuan pencuri) yakni tentang
hukum keduanya.37
Imam al-Shāfi‟ī berkata, Allah berfirman, “laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanyai”. Ada yang menyangka
bahwa para tahanan dan pedagang yang mencuri dapat hidup bebas tanpa hukuman.
Padahal anda tidak memiliki dalil satupun juga, baik dari al-Qur‟an Sunnah, maupun
ijma‟. Sehingga anda menghilangkan hukuman tersebut atas mereka dan
mengkhususkan meraka dalam hal ini bukan yang lain.38
Lanjut Imam al-Shāfi‟ī bahwa Aku mendapat hukuman Allah atas pria dan
wanita adalah sama Allah berfirman:
         
Perempuan yang berzina dan laki-laki yanvg berzina, Maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera (QS. An-Nūr: 2).

Kaum muslimin tidak berbeda pendapat tentang hukuman mati (qisas) bagi
perempuan yang membunuh. Imam al-Shāfi‟ī menjelaskan vahwa laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanyai Rasulullah Saw
membuat ketentuan bahwa hukum potong tangan diberlakukan pada kasus pencurian
minimal bernilai seperempat dinar dan barang yang dicuri berada dalam suatu
tempat yang aman”
Ar-Rabi‟ mengabarkan kepada kami, dia berkata “Imam al-Shāfi‟ī
mengabarkan kepada kami Allah berfirman :
36

Ahmad Wardi Muslich, Hukuman Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 82.
Imam Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, Tahqiq Sayyid Ibrahim (Jakarta: Pustaka Azzam.
2009), Jilid 3, h. 372.
38
Syaikh Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir Imam al-Shāfi’ī (Jakarta: al-Mahira. 2008), jilid II,
h. 340.
37

14

         
Imam Syafi‟I melanjutkan bahwa sebagian orang berpendapat bahwa siapa saja yang
sudah terbukti mencuri, maka tangannya dipotong berdasarkan hukum Allah, tidak
perlu lagi memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam hadis. Aku katan kepada
sebagian orang, bahwa mereka berpendapat demikian, karena mereka memahami ayat
secara tekstual saja. Apa argument mereka?”
Begitulah, seperti yang ku katakan, dalam as-Sunnah terdapat keterangan
bahwa hukum potong tangan baru dapat diterapkan bagi pencuri, jika barang yang
dicurinya bernilai seperempat dinar atau lebih.
Sufyan mengabarkan kepada kami dari Ibn Shihab, dari Umarah binti
Abdurrahman, dari Aishāh r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda:

ِ ‫الْ َقطْع ِِ رب ِع ِد ََ ٍر فَص‬
‫اع ًدا‬
َ
ُُ ُ
“Hukuman potong tangan dilaksanakan jika barang yang dicuri bernilai
seperempat dinar atau lebih” (HR al-Bukharī-Muslim dan Ashhābus Sunan)
Malik telah mengabarkan kepada kami dari Nafi‟ dari Ibn Umar r.a bahwa
Rasulullah saw memotong tangan pencuri yang telah mencuri perisai senilai tiga
dirham. (HR. al-Bukharī-Muslim Ashhābus Sunan, dan lainnya)
Imam Syafi‟I menjelaskan bahwa dua hadits diatas tidak bertentangan, karena
tiga dirham pada zaman Nabi sama dengan seperempat dirham dinar. Demikian pula
masa setelah Rasulullah saw Umar r.a mewajibkan pembayaran diyat sebesar dua
belas ribu dirham bagi pemilik perak dan seribu dinar bagi pemilik emas.”
Tidak ada seorang pun yang dapat menghindar dari perintah Rasulullah saw,
begitu juga dengan hukum muslimin harus mengikuti beliau. Tidak ada alasan bagi
siapa saja untuk menolak, baik mereka yang menentang pendaat kita dengan hadis
shahih maupun mereka yang tidak berpedoman pada hadis, hanya berpedoman pada
al-Qur‟an secara tekstual”39
4. Hukum mencuri
Mencuri termasuk dalam kategori dosa besar, kalangan ulama fiqih sepakat
mengaramkannya hal ini diterapkan dalam al-Qur‟an, Sunnah dan „Ijma umat.
5. Unsur-unsur Mencuri

39

Syaikh Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir Imam al-Shāfi’ī (Jakarta: al-Mahira. 2008), jilid II,
h. 340-342.

15

a. Pengambilan secara diam-diam
b. Barang diambil berupa harta
c. Harta tersebut milik orang lain
d. Adanya niat yang melawan hukum
C. Hikmah Hukum (Hikmah Tasyri’)
Pertama , menjaga nyawa atau jaminan hidup. Menjaga jiwa seseorang dari

dibunuh termasuklah menjaga anggota tubuh badan seseorang dari cidera. Siapa yang
membunuh manusia atau mencederai anggota tubuh badan mereka itu dengan sengaja
wajib dijatuhkan hukuman qishas atau diyat.40
Kedua , menjaga harta benda. Memelihara harta benda manusia dari pencurian

dengan menjatuhkan hukuman potong tangan pada pelaku pencuri. Termasuk
pensyarat utama pembangunan nuansa keharmonisan dan keamanan, serta
pembangunan lingkungan yang aman dan tentram bagi penjagaan harta dan
perlindungan. Sehingga merupakan kebijaksanaan dan kasih saying Allah sendiri
ketika Dia memberlakukan hukuman kepada setiap pencuri yang merusak kehidupan
manusia dan menggangu keterpeliharaan harta mereka dengan menetapkan hukuman
potong tangan bagi pencuri.

III. KESIMPULAN
Dari uraian-uraian di atas dapatlah dipahami bahwa, al-Qur‟an sebagai sumber
hukum akan selalu menarik perhatian para ulama untuk menafsirkannya dengan
pendekatan fiqhiyah. Dengan pendekatan seperti ini akan lahir status dari suatu
persoalan, apakah wajib, sunah, haram, makruh atau mubah (boleh).
Al-Qur‟an memberi panduan pada umat manusia agar dapat hidup aman,
tentram dan damai. Serta hak-hak yang dimiliki oleh seorang manusia benar-benar
didapatkan. Qur‟an memberi hukuman yang tagas pada kriminalitas pembunuhan
dengan qishash dan mencuri dengan potong tangan bila mencapai batasan tertentu.
Hal ini sekali lagi dilakukan karena Islam menjamin hak hidup dan kepemilikan harta
umat manusia. Tidak terbatas pada kaum muslimin saja.
40

"Dan di dalam hukum qisas itu ada jaminan hidup bagi kamu, wahai orang-orang yang
berakal fikiran supaya kamu bertaqwa." (Surah Al-Baqarah : 179)

16

DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Musaw, Tindak Pidana Pembunuhan dan Ancaman Hukum Hanya dalam
Konsep Hukum Jinayah dan Hukum Pidana di Indonesia, 2006, Jakarta :

Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Al-Farran, Ahmad Musthafa, Tafsir Imam al-Shāfi‟ī, Jilid II, 2008, Jakarta: AlMahira.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Muhammad, Al Bayan: Tafsir penjelas Al-Qur‟anul Karim,
Jilid I, 2002, Semarang : Pustaka Rizki Putra.
Khalid, Amru, Khowatir Qur‟aniyah: Kunci memahami tujuan surat-surat Al-Qur‟an,
2004, Jakarta : Al-I‟tishom.
Al-Mirgani, Al-Imam Muhammad „Utsman Abdullah (Penerj.Bahrun Abu Bakar),
Taujut Tafsir (Mahkota Tafsir), jilid I, 2009, Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Muslich, Ahmad Wardi, Hukuman Pidana Islam, 2005, Jakarta: Sinar Grafika.
Ar-Rifa‟I, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir , 1999, Depok: Gema
Insani.
Salim, Abu Malik Kamal bin As-Shayyid (Penerj. Khairul Amru Harap), Shahih Fikih
Sunnah, 2007, Jakarta: Pustaka Azzam.

Sarwat, Ahmad, (Ebook) Kajian Tafsir Ayat Ahkam.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Tafsir Ayat al-Ahkam, juz I, t. th., Beirut : Dar alQur‟an al-Karim.
As-Suyuti, Jalaludin, Riwayat Turunnya Ayat-ayat Suci Al-Qur‟an (Penrj. M. Abdul
Mujieb), 1986, Surabaya: Mutiara Ilmu.
Asy-Syaukani, Imam, Tafsir Fathul Qadir, Tahqiq Sayyid Ibrahim, 2009, Jakarta:
Pustaka Azzam.
Asy-Syanqithi, Tafsir Adhwa‟ul bayan : Tafsir Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an, 2007,
Jakarta: Pustaka Azzam.
Syihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Volume III, 2001, Tangerang Selatan : Lentera
Hati.
Ath-Thabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir (Tahqiq Ahmad Abdurraziq Al Bakri
dkk,), Tafsir Ath-Thabar i, 2008, Jakarta: Pustaka Azzam.

17

Dokumen yang terkait

PENERAPAN PASAL 28 AYAT (1) UNDANG – UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN MENGENAI KERUSAKAN DAN GANGGUAN FUNGSI JALAN (STUDI DI POLRES MALANG KOTA)

0 23 25

TAFSIR MEDIA MASSA TERHADAP DEMOKRASI POLITIK DI INDONESIA Studi atas pemberitaan Kampanye Pemilihan Presiden Langsung Putaran Pertama Pada Kompas, Republika dan Koran Tempo

0 21 2

ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DALAM ADEGAN FILM MENURUT PASAL 351 AYAT (1) KUHP ( Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 913 K/PID/2012)

0 25 11

i PELAKSANAAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 4 AYAT 2 ATAS BAGI HASIL TABUNGAN PADA PT. BANK SYARIAH MANDIRI CABANG JEMBER

0 22 15

POLITIK HUKUM PASAL 7 AYAT 2 UU NOMOR 39

0 5 10

TAFSIR TEMATIK AYAT POLITIK

3 6 14

ENGARUH KEMAMPUAN MEMAHAMI SOAL AKUNTANSI DAN PERSEPSI SISWA TENTANG METODE MENGAJAR GURU TERHADAP HASIL BELAJAR AKUNTANSI SUB POKOK BAHASAN AYAT JURNAL PENYESUAIAN SISWA KELAS X JURUSAN AKUNTANSI SMK NEGERI 1 METRO TAHUN PELAJARAN 2012/2013

0 19 98

PENGARUH KEMAMPUAN MEMAHAMI SOAL AKUNTANSI DAN PERSEPSI SISWA TENTANG METODE MENGAJAR GURU TERHADAP HASIL BELAJAR AKUNTANSI SUB POKOK BAHASAN AYAT JURNAL PENYESUAIAN SISWA KELAS X JURUSAN AKUNTANSI SMK NEGERI 1 METRO TAHUN PELAJARAN 2012/2013

0 19 70

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBERIKAN PENJELASAN SEDERHANA DAN MENYIMPULKAN PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT

0 10 48

PENGEMBANGAN APLIKASI PENCARIAN PENULISAN AYAT AL QURAN PADA LATEX DENGAN SISTEM BERBASIS WEB

3 16 41