EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBERIKAN PENJELASAN SEDERHANA DAN MENYIMPULKAN PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM
MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBERIKAN PENJELASAN
SEDERHANA DAN MENYIMPULKAN PADA MATERI
LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT

Oleh
FRANSISKA OLIVIA DEWANTI

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Kimia
Jurusan Pendidikan Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2013


Fransiska Olivia Dewanti

ABSTRAK
EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM
MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBERIKAN PENJELASAN
SEDERHANA DAN MENYIMPULKAN PADA MATERI
LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT

Oleh
FRANSISKA OLIVIA DEWANTI

Proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan ketepatan guru
dalam memilih serta menerapkan model pembelajaran. Ketepatan memilih dan
menerapkan model pembelajaran sangat mempengaruhi keterampilan memberikan
penjelasan sederhana dan menyimpulkan. Model yang dapat diterapkan untuk
meningkatkan keterampilan memberikan penjelasan sederhana dan menyimpulkan
adalah model pembelajaran problem solving. Tujuan penelitian ini adalah
mendeskripsikan efektivitas model pembelajaran problem solving dalam meningkatkan keterampilan memberikan penjelasan sederhana dan menyimpulkan pada
materi larutan elektrolit dan non elektrolit.


Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan Non Equivalent
Control Group Design. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive
sampling. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMA Fransiskus
Bandar Lampung kelas X4 dan X5 semester Genap Tahun Ajaran 2012-2013.

Fransiska Olivia Dewanti

Efektivitas model pembelajaran problem solving diukur berdasarkan perbedaan
n-Gain yang signifikan antara kelas kontrol dan eksperimen. Hasil penelitian
menunjukkan nilai rata-rata n-Gain keterampilan memberikan penjelasan
sederhana untuk kelas kontrol dan eksperimen masing-masing 0,47 dan 0,75;
sedangkan rata-rata n-Gain keterampilan menyimpulkan untuk kelas kontrol dan
eksperimen masing-masing 0,54 dan 0,66. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran problem solving efektif dalam meningkatkan keterampilan memberikan
penjelasan sederhana dan menyimpulkan.

Kata kunci: pembelajaran Problem Solving, keterampilan memberikan penjelasan
sederhana dan menyimpulkan.

Judul S*ripsi


EFEKTryITAS MODEL PEMBELAJARAN
PROB L EM S OLWNG DALAM MEMNGKATKAIY
IGTERAMPILAN MEMBERIKAN PENJELASA T
SETIERSANA DAt[ nanrvnnmul,xax pAD;MATERI LARUTAI\I ELEKTKOLIT
DAI\[ NON ELEKTROLIT

-

Nama Mahasiswa

&atrsisfts C[it'ia $ennrantt

No. Pokok Mahasiswa

09130230M

Program Studi

Pendidik*n Kimia


Jurusan

Pendidikan MIPA

Fakultas

..,i.;:!l-.....r

i'

, :.,:l

K?.Eryry$r=a,Squ

Fadiawati, M.Si.
199111 2 001

2. KetrnJuruqar Pendidikan MIPA


/r-:/t
r) I I

t%l

Dr. Caswita,IVI.Si.
NIP t967l0M 199303 I 004

PER}TYATAAII

Dengan ini Saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pemah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan

tinggi, dan sepanjang pengetahuan Saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pemah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar iusaka.

Apabila temyatakelak di kemudian hari terbulci ada ketidakbenaran dalam
pernyataan Saya di atas, maka Saya akan bertanggungiawab sepenuhnya.


NPM 0913023084

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hakekat ilmu kimia adalah sebagai produk, proses dan juga sikap. Produk ilmu
kimia adalah pengetahuan yang berupa fakta, teori, prinsip,dan hukum. Proses
ilmu kimia berupa kerja ilmiah yang ditekankan pada pengamatan langsung oleh
peserta didik agar dapat melihat dan mengamati sendiri keadaan alam sekitar.
Sedangkan sikap ilmu kimia berupa rasa ingin tahu yang tinggi.

Kerja ilmiah dilakukan melalui tahapan mengobservasi, menyusun hipotesis,
melakukan eksperimen, menyusun data dan menarik kesimpulan. Proses pembelajaran kimia diarahkan untuk mencari tahu, sehingga peserta didik dapat menemukan sendiri pemahaman dan konsepnya. Namun tidak semua proses pembelajaran kimia dapat disampaikan kepada siswa dalam bentuk pengamatan langsung
karena konsep-konsep dalam kimia banyak yang bersifat abstrak. Hal ini dapat
dilihat dari ruang lingkup kajian ilmu kimia yang mempelajari tentang struktur,
susunan, sifat, dan perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan
materi.


Pembelajaran kimia memiliki tujuan dan fungsi tertentu, diantaranya adalah untuk
memupuk sikap ilmiah yang mencakup sikap kritis terhadap pernyataan ilmiah,
yaitu tidak mudah percaya tanpa adanya dukungan hasil observasi, memahami

2

konsep-konsep kimia dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam
kehidupan sehari-hari (BSNP, 2006). Untuk dapat mencapai tujuan dan fungsi
tersebut maka diperlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi, salah satunya adalah
keterampilan berpikir kritis.

Keterampilan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial untuk
kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan lainnya. Menurut Ennis(dalam Costa 1985) keterampilan berpikir kritis dibagi
menjadi 5 kelompok, yaitu : keterampilan memberikan penjelasan sederhana,
membangun keterampilan dasar, menyimpulkan, memberikan penjelasan lanjut,
mengatur strategi dan taktik. Menurut Halpern(1996), berpikir kritis adalah
memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan.
Proses tersebut dilalui setelah menentukan tujuan, mempertimbangkan, dan
mengacu langsung kepada sasaran. Namun, hingga saat ini kecakapan berpikir

belum dilakukan secara terprogram oleh para guru di sekolah. Hal ini diperkuat
dengan hasil penelitian Bassham et al. (2008) menyatakan bahwa kebanyakan
sekolah cederung menekankan kemampuan tingkat rendah dalam pembelajaran.
Siswa menyerap informasi secara pasif dan kemudian mengingatnya pada saat
mengikuti tes. Dengan pembelajaran seperti ini siswa tidak memperoleh
pengalaman untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis khususnya
keterampilan memberikan penjelasan sederhana dan menyimpulkan, padahal
keterampilan ini sangat diperlukan ketika akan memecahkan suatu masalah.

Pembelajaran kimia di sekolah cenderung hanya menghadirkan konsep, hukum,
dan teori secara verbal saja tanpa memberikan pengalaman bagaimana proses

3

ditemukannya, sehingga membuat siswa tidak terbiasa mengembangkan sikap
ilmiahnya. Aktivitas siswa hanya mendengarkan penjelasan guru dan mencatat
hal-hal yang dianggap penting saja. Dalam proses pembelajaran siswa hanya
menghafal sejumlah konsep yang diberikan guru tanpa dilibatkan langsung dalam
penemuan konsepnya. Hal ini diperkuat dengan observasi yang telah dilakukan
terhadap guru mata pelajaran kimia maupun sejumlah siswa di SMA Fransiskus

Bandar Lampung, yang dalam proses pembelajarannya masih didominasi dengan
ceramah. Guru bertindak lebih aktif daripada siswa, dan siswa cenderung hanya
menerima apa yang diberikan oleh guru saja. Seharusnya siswa diarahkan untuk
dapat mengembangkan potensi dirinya secara maksimal, agar dalam proses
pembelajaran siswa mampu lebih aktif dari pada guru. Menurut Roestiyah (2008)
kenyataan di lapangan siswa cenderung hanya bertindak sesuai dengan yang diinstruksikan oleh guru tanpa berusaha sendiri untuk memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan untuk mencapai tujuan belajarnya. Oleh karena itu perlu adanya
suatu perubahan strategi pembelajaran dari yang berpusat pada guru menjadi
berpusat pada siswa.

Salah satu cara untuk mengubah strategi pembelajaran agar siswa dapat lebih aktif
daripada guru adalah dengan menerapkan model pembelajaran yang berbeda
dengan biasanya. Model pembelajaran yang digunakan tentunya harus sesuai
dengan materi yang akan dipelajari. Salah satu model pembelajaran yang dapat
digunakan untuk meningkatkan keaktifan siswa adalah model pembelajaran
problem solving. Model problem solving memberikan kesempatan kepada siswa
untuk dapat berperan aktif dalam proses pembelajaran dan mampu meningkatkan
kemampuan berpikir kritis siswa khususnya keterampilan memberikan penjelasan

4


sederhana dan menyimpulkan. Didukung dari hasil penelitian Redhana (2008)
menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model problem solving
memberikan kesempatan kepada siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir
siswa. Hasil penelitian lainnya Liliasari (2009), menunjukkan bahwa model
problem solving akan membuat siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran serta
mampu meningkatkan kompetensi siswa.

Model problem solving diharapkan dapat menjadi salah satu model pembelajaran
yang dapat memperbaiki proses pembelajaran serta mampu meningkatkan hasil
belajar siswa khususnya pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit, akan
dilakukan penelitian dengan judul : Efektivitas Model Pembelajaran Problem
Solving Dalam Meningkatkan Keterampilan Memberikan Penjelasan
Sederhana dan Menyimpulkan Pada Materi Larutan Elektrolit dan Non
Elektrolit.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini :
1.


Bagaimana efektivitas model pembelajaran problem solving dalam meningkatkan keterampilan memberikan penjelasan sederhana pada materi larutan
elektrolit dan non elektrolit?

2.

Bagaimana efektivitas model pembelajaran problem solving dalam meningkatkan keterampilan menyimpulkan pada materi larutan elektrolit dan non
elektrolit?

5

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk :
1.

Mendeskripsikan efektivitas model pembelajaran problem solving dalam
meningkatkan keterampilan memberikan penjelasan sederhana pada materi
larutan elektrolit dan non elektrolit.

2.

Mendeskripsikan efektivitas model pembelajaran problem solving dalam
meningkatkan keterampilan menyimpulkan pada materi larutan elektrolit dan
non elektrolit.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yaitu :
1. Bagi Siswa
Memudahkan siswa dalam belajar, menarik minat belajar dan membangkitkan
perhatian siswa pada topik pelajaran serta menjadikan pembelajaran sebagai
sebuah aktivitas menyenangkan.
2. Bagi Guru
Sebagai bahan alternatif model pembelajaran pada mata pelajaran kimia
khususnya materi larutan elektrolit dan nonelektrolit serta menambah wawasan
guru terhadap pentingnya melatih keterampilan berpikir kritis siswa.
3. Bagi Sekolah
Menjadi informasi dan sumbangan pemikiran dalam upaya meningkatkan mutu
pembelajaran kimia di sekolah.

6

E. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk menghindari penafsiran yang berbeda-beda terhadap istilah yang
digunakan, maka perlu dikembangkan beberapa istilah sebagai berikut:
1. Model problem solving yang digunakan pada penelitian ini adalah model
problem solving menurut Depdiknas (2008) dengan langkah-langkah sebagai
berikut: ada masalah yang diberikan, mencari data atau keterangan yang dapat
diguna-kan untuk menyelesaikan masalah, menetapkan hipotesis, menguji
kebenaran hipotesis, dan menarik kesimpulan.
2. Keterampilan memberikan penjelasan sederhana yang diteliti adalah :
(1) memfokuskan pertanyaan yang berfokus pada sub indikator merumuskan
kriteria untuk mempertimbangkan kemungkinan jawaban; (2) menganalisis
argumen yang berfokus pada sub indikator mengidentifikasi dan menangani
ketidaktepatan; (3) bertanya dan menjawab pertanyaan yang berfokus pada
sub indikator apa yang membuat perbedaan.
3. Keterampilan menyimpulkan yang diteliti adalah (1) menginduksi dan
mempertimbangkan hasil induksi yang berfokus pada sub indikator
mengemukakan kesimpulan; (2) membuat dan menentukan hasil
pertimbangan yang berfokus pada sub indikator menerapkan konsep yang
dapat diterima.
4. Model pembelajaran dikatakan efektif meningkatkan keterampilan
memberikan penjelasan sederhana dan menyimpulkan apabila secara statistik
menunjukkan perbedaan n-Gain yang signifikan antara kelas eksperimen
dengan kelas kontrol.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembelajaran Konstruktivisme

Menurut Von Glaserfeld dalam Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu (2001)
menyatakan bahwa: “Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil
konstruksi (bentukan) kita sendiri”.
Suparno (Trianto, 2010) mengungkapkan prinsip-prinsip dasar pandangan
konstruktivis adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa, baik secara personal maupun
secara sosial
2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya
dengan keaktifan siswa menalar, siswa aktif mengkonstruksi terusmenerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah dan
3. Guru berperan sebagai fasilitator menyediakan sarana dan situasi agar
proses konstruksi pengetahuan siswa berjalan mulus.
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, yaitu
bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.
Konstruktivisme juga menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh
adalah hasil konstruksi sendiri, maka sangat kecil kemungkinan adanya transfer
pengetahuan dari seseorang kepada yang lain. Filsafat ini berkembang dari kerja

8

Piaget, Vygotsky, teori-teori dalam proses informasi, dan teori psikologi kognitif
yang lain, seperti teori Bruner (Nur dalam Trianto, 2010).

1.

Teori perkembangan kognitif Jean Piaget

Menurut Piaget (Dahar,1989), dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila ia berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan anak
merupakan suatu proses sosial. Anak tidak berinteraksi dengan lingkungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari kelompok sosial.
Akibatnya lingkungan sosialnya berada diantara anak dengan lingkungan fisiknya.
Interaksi anak dengan orang lain memainkan peranan penting dalam mengembangkan pandangannya terhadap alam. Melalui pertukaran ide-ide dengan orang
lain, seorang anak yang tadinya memiliki pandangan subyektif terhadap sesuatu
yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi obyektif. Aktivitas mental
anak terorganisasi dalam suatu struktur kegiatan mental yang disebut skema atau
pola tingkah laku.

Dalam perkembangan intelektual ada tiga hal penting yang menjadi perhatian
Piaget yaitu struktur, isi dan fungsi.
a. Struktur, memandang ada hubungan fungsional antara tindakan fisik,
tindakan mental dan perkembangan logis anak-anak. Tindakan menuju
pada operasi-operasi dan operasi-operasi menuju pada perkembangan
struktur-struktur.
b. Isi, merupakan pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon
yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang
dihadapinya.
c. Fungsi, adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan
intelektual.
Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan pada organisme kemampuan untuk

9

mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem-sistem yang
teratur dan berhubungan, sedangkan adaptasi, terhadap lingkungan dilakukan
melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.

Piaget (Dahar, 1989) mengemukakan bahwa dalam proses asimilasi seseorang
menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah yang dihadapinya dalam lingkungannya sedangkan dalam proses akomodasi
seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang ada dalam mengadakan
respons terhadap tantangan lingkungannya. Dalam menghadapi rangsangan atau
pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru
dengan skema yang telah dimiliki. Pengalaman yang baru bisa jadi sama sekali
tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan
mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang
cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu.

Menurut Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan
akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan
adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidakseimbangan (disequilibrium). Akibat ketidakseimbangan itu maka terjadilah akomodasi dan struktur
kognitif yang ada akan mengalami perubahan atau munculnya struktur yang baru.
Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan
ketidakseimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi
bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih
tinggi daripada sebelumnya.

10

2.

Teori penemuan Jerome Bruner

Bruner (Trianto,2010) menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi
hasil yang paling baik. Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar
melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prisip-prinsip agar mereka memperoleh pengalaman dan melalui eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan prisip-prinsip itu sendiri.

3.

Teori pembelajaran sosial Vygotsky

Vigotsky berpendapat bahwa siswa membentuk pengetahauan sebagai hasil dari
pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Vigotsky berkeyakinan bahwa
perkembangan tergantung baik pada faktor biologis yang menentukan fungsifungsi elementer memori, atensi, persepsi, dan stimulasi respons, faktor sangat
penting bagi perkembangan fungsi mental lebih tinggi untuk pengembangan
konsep, penalaran logis, dan pengambilan keputusan (Trianto, 2010). Teori
Vigotsky lebih menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran. Vigostsky
(Suparno, 1997) mengungkapkan bahwa penemuan dalam belajar lebih mudah
diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang.

B. Model Problem Solving
Model problem solving adalah suatu proses mental dan intelektual dalam
menemukan suatu masalah dan memecahkannya berdasarkan data dan informasi
yang akurat, sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat dan cermat. Problem
solving memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif dalam

11

mempelajari, mencari, dan menemukan sendiri informasi untuk diolah menjadi
konsep, prinsip, teori, atau kesimpulan. Dengan kata lain, problem solving
menuntut kemampuan memproses informasi untuk membuat keputusan tertentu
(Hidayati, 2006).

Model problem solving adalah model pembelajaran yang menuntut siswa belajar
untuk memecahkan masalah baik secara individu maupun kelompok. Oleh karena
itu, dalam pembelajaran siswa harus aktif agar dapat memecahkan masalah yang
diberikan oleh guru. Problem solving adalah suatu langkah pembelajaran yang
dilaksanakan dengan cara siswa mencari kebenaran pengetahuan dan informasi
tentang konsep, hukum, prinsip, kaidah, mengadakan percobaan, bertanya secara
tepat serta mencari jawaban masalah berdasarkan pemahaman konsep, prinsip dan
kaidah yang telah dipelajari. Orientasi pembelajaran problem solving adalah
investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.

Problem solving bukan perbuatan yang sederhana, akan tetapi lebih kompleks
daripada yang diduga. Problem solving memerlukan keterampilan berpikir yang
banyak ragamnya termasuk mengamati, melaporkan, mendeskripsi, menganalisis,
mengklasifikasi, menafsirkan, mengkritik, meramalkan, menarik kesimpulan, dan
membuat generalisasi berdasarkan informasi yang dikumpulkan dan diolah.
Untuk memecahkan masalah kita harus melokasi informasi, menampilkannya dari
ingatan lalu dan memprosesnya untuk mencari hubungan, pola, atau pilihan baru.
Proses problem solving yang dikemukakan oleh Karl Albrecht, digolongkan
dalam 2 fase : (1) fase perluasan atau ekspansi yang pada pokoknya bersifat
divergen dan (2) fase penyelesaian yang bersifat konvergen.

12

Langkah-langkah model problem solving (Depdiknas, 2008) yaitu meliputi :
1. Ada masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh
dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya.
2. Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan
masalah tersebut. Misalnya, dengan jalan membaca buku-buku, meneliti,
bertanya dan lain-lain.
3. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban
ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh, pada langkah
kedua di atas.
4. Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam langkah ini siswa
harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin bahwa
jawaban tersebut itu betul-betul cocok. Apakah sesuai dengan jawaban
sementara atau sama sekali tidak sesuai. Untuk menguji kebenaran
jawaban ini tentu saja diperlukan kegiatan lainnya seperti demonstrasi,
tugas, diskusi, dan lain-lain.
5. Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada kesimpulan
terakhir tentang jawaban dari masalah

C. Keterampilan Berpikir Kritis
Keterampilan adalah kecakapan untuk melaksanakan tugas, dimana keterampilan
tidak hanya meliputi gerakan motorik tetapi juga melibatkan fungsi mental yang
bersifat kognitif, yaitu tindakan mental dalam usaha memperoleh pengetahuan.
Proses berpikir berhubungan dengan pola perilaku dan membutuhkan keterlibatan
aktif pemikir. Berpikir membuat seseorang dapat mengolah informasi yang
diterima dan mengembangkannya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Arifin (2003) menyatakan bahwa berpikir merupakan proses mental yang dapat
menghasilkan pengetahuan. Berpikir juga merupakan kemampuan jiwa taraf
tinggi yang dapat dicapai dan dimiliki oleh manusia. Adanya kemampuan berpikir pada manusia merupakan pembeda yang khas antara manusia dengan binatang. Melalui berpikir, manusia dapat mencapai kemajuan yang luar biasa dan
selalu berkembang dalam peradaban dan kebudayaan.

13

Presseisen (Costa, 1985) mengatakan bahwa berpikir dianggap sebagai suatu
proses kognitif, proses mental untuk memperoleh pengetahuan. Walaupun
demikian, aspek kognitif berkaitan dengan cara bagaimana mengenal sesuatu
seperti persepsi, penalaran, dan intuisi. Kemampuan berpikir menitikberatkan
pada penalaran sebagai fokus utama dalam aspek kognitif. Costa (Liliasari, 2008)
membagi keterampilan berpikir menjadi dua, yaitu keterampilan berpikir dasar
dan keterampilan berpikir kompleks atau tingkat tinggi. Berpikir kompleks atau
tingkat tinggi dapat dikategorikan menjadi empat kelompok, yaitu pemecahan
masalah, pembuatan keputusan, berpikir kritis, dan berpikir kreatif.

Salah satu kemampuan berpikir yang dapat digunakan untuk membentuk sistem
konseptual IPA adalah berpikir kritis. Berpikir kritis sangat diperlukan oleh
setiap individu untuk menyikapi permasalahan kehidupan yang dihadapi. Berpikir
kritis membuat seseorang dapat mengatur, menyesuaikan, mengubah atau
memperbaiki pikirannya sehingga dia dapat bertindak lebih cepat. Seseorang
dikatakan berpikir kritis, apabila ia mencoba membuat berbagai pertimbangan
ilmiah untuk menentukan pilihan terbaik dengan menggunakan berbagai kriteria.
Berpikir kritis berbeda dengan berpikir biasa. Berpikir biasa tidak mempunyai
standar dan sederhana, sedangkan berpikir kritis lebih komplek dan berdasarkan
standar objektif, kegunaan atau kemantapan.

Presseisen (Costa, 1985) mengatakan bahwa berpikir kritis diartikan sebagai
keterampilan berpikir yang menggunakan proses berpikir dasar untuk menganalisis argumen dan memunculkan wawasan terhadap tiap-tiap makna dan interpretasi, mengembangkan pola penalaran kohesif dan logis, memahami asumsi

14

yang mendasari tiap-tiap posisi, memberikan model presentasi yang dapat
dipercaya, ringkas dan meyakinkan.

Ennis (1989) menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan suatu proses berpikir
secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan, sebagai
apa yang harus dipercaya atau dilakukan. Siswa tidak dapat mengembangkan
berpikir kritis dengan baik tanpa ditantang untuk berlatih menggunakannya dalam
konteks berbagai bidang studi yang dipelajarinya. Berpikir kritis dalam ilmu
kimia tidak dapat dilakukan dengan cara mengingat dan menghafal konsep, tetapi
mengintegrasikan dan mengaplikasikan konsep-konsep yang telah dimiliki.

Terdapat enam komponen berpikir kritis menurut Ennis (1985) seperti yang
tertera pada tabel 2.1.
Tabel 1. Unsur-unsur keterampilan berpikir kritis
No
Unsur
1 Focus

Keterangan
Memfokuskan pemikiran, menggambarkan poin-poin utama,
isu, pertanyaan, atau permasalahan. Hal-hal pokok dituangkan
di dalam argumen dan pada akhirnya didapat kesimpulan dari
suatu isu, pertanyaan, atau permasalahan tersebut.
2 Reasoning Ketika suatu argumen dibentuk, maka harus disertai dengan
alasan (reasoning). Alasan dari argumen yang diajukan harus
dapat mendukung kesimpulan dan pada akhirnya alasan
tersebut dapat diterima sebelum membuat keputusan akhir.
3 Inference
Ketika alasan yang telah dikemukakan benar, apakah hal
tersebut dapat diterima dan dapat mendukung kesimpulan
4 Situation
Ketika proses berpikir terjadi, hal tersebut dipengaruhi oleh
situasi atau keadaan baik (keadaan lingkungan, fisik, maupun
sosial).
5 Clarity
Ketika mengungkapkan suatu pikiran atau pendapat,
diperlukan kejelasan untuk membuat orang lain memahami
apa yang diungkapkan
6 Overview Suatu proses untuk meninjau kembali apa yang telah kita
temukan, putuskan, pertimbangkan, pelajari, dan simpulkan.
(Ennis dalam Costa, 1985)

15

Moore dan Parker (Liliasari, 2008) menyatakan bahwa berpikir kritis memiliki
beberapa karakteristik, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Menentukan informasi mana yang tepat atau tidak tepat.
Membedakan klaim yang rasional dan emosional.
Memisahkan fakta dari pendapat.
Menyadari apakah bukti itu terbatas atau luas.
Menunjukkan tipuan dan kekurangan dalam suatu argumentasi orang lain.
Menunjukkan analisis data atau informasi.
Menyadari kesalahan logika dalam suatu argumen.
Menggambarkan hubungan antara sumber-sumber data yang terpisah dan
informasi.
9. Memperhatikan informasi yang bertentangan, tidak memadai atau
bermaknaganda.
10. Membangun argumen yang meyakinkan.
11. Memilih data penunjang yang paling kuat.
12. Menghindari kesimpulan yang berlebihan.
13. Mengidentifikasi celah-celah dalam bukti dan menyarankan pengumpulan
informasi tambahan.
14. Menyadari ketidakjelasan.
15. Mengusulkan pilihan lain dan mempertimbangkannya dalam
pengambilan keputusan.
16. Mempertimbangkan semua pemangku kepentingan atau sebagiannya
dalam pengambilan keputusan.
17. Menyatakan argumen dan kontek untuk apa argumen itu.
18. Menggunakan bukti secara benar.
19. Menyusun argumen secara logis dan kohesif.
20. Menghindari unsur-unsur luar dalam penyusunan argumen.
21. Menunjukkan bukti untuk mendukung argumen yang meyakinkan.
Menurut Ennis (1989) terdapat 12 indikator keterampilan berpikir kritis yang
dikelompokkan dalam lima kelompok keterampilan berpikir. Kelima kelompok
keterampilan tersebut adalah: memberikan penjelasan sederhana (elementary
clarification), membangun keterampilan dasar (basic support), menyimpulkan
(interfence), membuat penjelasan lebih lanjut (advance clarification), serta
strategi dan taktik (strategy and tactics). Kedua belas indikator tersebut adalah :
1.
2.
3.
4.
5.

Memfokuskan pertanyaan.
Menganalisis argumen.
Bertanya dan menjawab pertanyaan.
Mempertimbangkan kredibilitas sumber.
Mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi.

16

6. Membuat deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi.
7. Membuat induksi dan mempertimbangkan hasil induksi.
8. Membuat dan mempertimbangkan hasil keputusan.
9. Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi.
10. Mengidentifikasi asumsi.
11. Memutuskan suatu tindakan.
12. Berinteraksi dengan orang lain.
Tabel 2. Keterampilan berpikir kritis menurut Ennis
No
1

Kelompok
Memberikan
penjelasan
sederhana

Indikator
Memfokuskan
pertanyaan

Menganalisis
argumen

Bertanya dan
menjawab
pertanyaan
Membangun
keterampilan
dasar

Mempertimbangkan apakah sumber
dapat dipercaya
atau tidak

Mengobservasi
dan mempertimbangkan
laporan

Sub Indikator
a. Mengidentifikasi atau merumuskan
pertanyaan
b. Mengidentifikasi atau merumuskan
kriteria untuk mempertimbangkan
kemungkinan jawaban
c. Menjaga kondisi berpikir
a. Mengidentifikasi kesimpulan
b. Mengidentifikasi kalimat-kalimat
pertanyaan
c. Mengidentifikasi kalimat-kalimat
bukan bukan pertanyaan
d. Mengidentifikasi dan menangani
ketidaktepatan
e. Melihat struktur dari suatu argumen
f. Membuat ringkasan
a. Menyebutkan contoh
b. Mengapa? Apa ide utamamu?
Apa yang anda maksud..?
Apa yang membuat perbedaan....?
a. Mempertimbangkan keahlian
b. Mempertimbangkan kemenarikan
konflik
c. Mempertimbangkan kesesuaian
sumber
d. Mempertimbangkan reputasi
e. Mempertimbangkan penggunaan
prosedur yang tepat
f. Mempertimbangkan resiko untuk
reputasi
g. Kemampuan untuk memberikan
alasan
h. Kebiasaan berhati-hati
a. Melibatkan sedikit dugaan
b. Menggunakan waktu yang singkat
antara observasi dan laporan
c. Melaporkan hasil observasi

17

No

Kelompok

Indikator
observasi

Sub Indikator
Merekam hasil observasi
Menggunakan bukti-bukti
Menggunakan akses yang baik
Menggunakan teknologi
Mempertanggungjawaban hasil
observasi
MenyimpulMendeduksi dan a. Siklus logika-Euler
3
kan
memperb. Mengkondisikan logika
timbangkan
c. Menyatakan tafsiran
hasil deduksi
Menginduksi
a. Mengemukakan hal yang umum
dan memperb. Mengemukakan kesimpulan dan
timbangkan
hipotesis
hasil induksi
Membuat dan
a. Membuat dan menentukan hasil
menentukan
pertimbangan sesuai latar belakang
hasil
fakta-fakta
pertimbangan
b. Membuat dan menentukan hasil
pertimbangan berdasarkan akibat
c. Menerapkan konsep yang dapat
diterima
d. Membuat dan menentukan hasil
pertimbangan keseimbangan masalah.
Memberikan Mendefinisikan a. Membuat bentuk definisi(sinonim,
4
penjelasan
istilah dan
klasifikasi, rentang ekivalen, rasional,
lanjut
Mempertimcontoh, bukan contoh)
bangkan suatu
b. Strategi membuat definisi
definisi
c. Membuat isi definisi
Mengidentifia. Penjelasan bukan pernyataan
kasi asumsi
b. Mengkonstruksi argumen
Mengatur
Menentukan
a. Mengungkap masalah
5
strategi dan
suatu tindakan
b. Memilih kriteria untuk
taktik
mempertimbangkan solusi yang
mungkin
c. Merumuskan solusi alternatif
d. Menentukan tindakan sementara
e. Mengulang kembali
f. Mengamati penerapannya
Berinteraksi
a. Menggunakan argumen
dengan orang
b. Menggunakan strategi logika
lain
c. Menggunakan strategi retorika
d. Menunjukkan posisi, orasi, atau
tulisan
(Ennis dalam Costa, 1985)
d.
e.
f.
g.
h.

18

Pada penelitian ini, indikator yang dikembangkan adalah :
No
1

2

Kelompok
Memberikan
penjelasan
sederhana

Menyimpulkan

Indikator
Memfokuskan
pertanyaan
Menganalisis
argumen
Menginduksi dan
mempertimbangkan
hasil induksi
Membuat dan
menentukan hasil
pertimbangan

Sub Indikator
merumuskan kriteria untuk
mempertimbangkan kemungkinan
jawaban
Mengidentifikasi dan menangani
ketidaktepatan
mengemukakan kesimpulan

Menerapkan konsep yang dapat
diterima

D. Analisis Konsep
Herron et al. (Fadiawati, 2011) berpendapat bahwa belum ada definisi tentang
konsep yang diterima atau disepakati oleh para ahli, biasanya konsep disamakan
dengan ide. Markle dan Tieman (Fadiawati, 2011) mendefinisikan konsep
sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh ada. Mungkin tidak ada satupun definisi
yang dapat mengungkapkan arti dari konsep. Untuk itu diperlukan suatu analisis
konsep yang memungkinkan kita dapat mendefinisikan konsep dan menghubungkan dengan konsep-konsep lain yang berhubungan.

Herron et al. (1977) mengemukakan bahwa analisis konsep merupakan suatu
prosedur yang dikembangkan untuk menolong guru dalam merencanakan urutanurutan pengajaran bagi pencapaian konsep. Prosedur ini telah digunakan secara
luas oleh Markle, Tieman serta Klausemer. Analisis konsep dilakukan melalui
tujuh langkah, yaitu menentukan nama atau label konsep, definisi konsep, jenis
konsep, atribut kritis, atribut variabel, posisi konsep, contoh, dan non contoh.

19

20

21

22

E. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan tinjauan pustaka yang dikemukakan sebelumnya bahwa pada tahap
pertama model pembelajaran problem solving yaitu mengorientasikan siswa pada
masalah. Adapun pada ini guru mengajukan fenomena-fenomena alam yang
sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, kemudian siswa diminta untuk dapat
menemukan masalah dari fenomena alam tersebut. Tahap kedua yakni mencari
data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Pada
tahap ini siswa diminta untuk mencari data dan informasi sebanyak-banyaknya
dari buku paket, maupun browsing internet mengenai masalah yang dihadapi,
sehingga data tersebut dapat membantu siswa dalam memecahkan masalah. Tahap
ketiga yakni menetapkan jawaban sementara dari permasalahan yang diberikan.
Pada tahap ini siswa akan dilatih untuk dapat merumuskan jawaban sementara
dari permasalahan yang telah dirumuskan pada tahap sebelumnya, sehingga diharapkan siswa dapat merumuskan kriteria untuk mempertimbangkan
kemungkinan jawaban.

Tahap keempat yakni menguji kebenaran jawaban. Pada tahap ini siswa melakukan eksperimen untuk memecahkan masalah berdasarkan fakta dalam eksperimen
tersebut. Dengan eksperimen, siswa dapat memberikan alasan terhadap jawaban
yang dibuat, sehingga diharapkan siswa dapat merumuskan kriteria untuk
mempertimbangkan kemungkinan jawaban. Tahap kelima yakni menarik
kesimpulan. Adapun pada tahap ini siswa diminta untuk dapat membuat
kesimpulan berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan. Setelah Siswa
mendapatkan kesimpulan dari permasalahan, diharapkan siswa dapat mengkomu-

23

nikasikan hasilnya dengan yang lain dan memberikan penjelasan sederhana dari
data yang didapatkan. Dan pada akhirnya berdasarkan uraian langkah-langkah di
atas, diharapkan model pembelajaran problem solving dapat meningkatkan
keterampilan memberikan penjelasan sederhana dan menyimpulkan.

F. Anggapan Dasar
Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah :
1.

Siswa kelas X4 dan X5 semester genap SMA Fransiskus Bandar Lampung
tahun pelajaran 2012/2013 yang menjadi sampel penelitian mempunyai
pengetahuan awal yang sama.

2.

Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi peningkatan keterampilan
memberikan penjelasan sederhana dan menyimpulkan, materi larutan
elektrolit dan non elektrolit siswa kelas X semester genap SMA Fransiskus
Bandar Lampung TP.2012/2013 pada kedua kelas diusahakan sekecil
mungkin sehingga dapat diabaikan.

3.

Perbedaan n-Gain keterampilan memberikan penjelasan sederhana dan
menyimpulkan kelas kontrol dan eksperimen semata-mata terjadi karena
perbedaan perlakuan dalam proses pembelajaran.

G. Hipotesis Umum

Sebagai pemandu dalam melakukan analisis maka perlu disusun hipotesis umum
dengan perumusan sebagai berikut: Model problem solving pada materi larutan
elektrolit dan non elektrolit efektif dalam meningkatkan memberikan penjelasan
sederhana dan menyimpulkan.

ANALISI KONSEP LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT

Label
Konsep
(1)
Larutan

Larutan
elektrolit

Definisi Konsep
(2)
Campuran homogen
yang terdiri dari dua
zat atau lebih, dimana
salah satunya
bertindak sebagai zat
terlarut sedangkan
yang lainnya sebagai
zat pelarut dan
mempunyai sifat
dapat menghantarkan
listrik (elektrolit) atau
tidak dapat
menghantarkan listrik
(non elektrolit).
Larutan yang dapat
menghantarkan listrik,
ditandai dengan
timbulnya gelembung
gas serta nyala lampu
pada elektrolittester
yang dapat bersifat
elektrolit kuat atau
elektrolit lemah

Jenis
Konsep
(3)

Atribut
Kritis
Variabel
(4)
(5)
Sifat
Larutan
elektrolit
menghanLarutan
tarkan
non
listrik
elektrolit

Konsep
Konkrit

Jumlah ion
Kerapatan
ion
Konsep
Konkrit

Posisi Konsep
Superordinat Koordinat
Subordinat
(6)
(7)
(8)
Campuran
Suspense
Larutan
elektrolit
Koloid
Larutan non
elektrolit
Larutan
asam basa
Larutan
garam
Larutan
penyangga

Larutan

Larutan
non
elektrolit

Larutan
elektrolit
kuat
Larutan
elektrolit
lemah

Contoh
(9)

Non Contoh
(10)

Larutan garam

Susu
Air dan
pasir

Larutan NaCl
Larutan HCl
Larutan H2SO4

Air
Larutan
Gula

19

1
Larutan
elektrolit
kuat

2
Larutan yang
dapat
menghantarkan
listrik ditandai
dengan
timbulnya
gelembung gas
dan nyala lampu
yang terang pada
elektrolittester

Larutan
elektrolit
lemah

Larutan yang
dapat
menghantarkan
listrik ditandai
dengan
timbulnya
gelembung gas
dan nyala lampu
yang redup atau
hanyatimbul
gelembung gas
pada
elektrolittester

3
Konsep
Konkrit

Konsep
Konkrit

4
Larutan
elektrolit
kuat

5
Konsentrasi
larutan
Jumlah ion
Kerapatan
ion

6
Larutan
elektrolit

7
Larutan
elektrolit
lemah

Larutan
elektrolit
lemah

Konsentrasi
larutan
Jumlah ion
Kerapatan
ion
Derajat
ionisasi ( α )

Larutan
elektrolit

Larutan
elektrolit
kuat

8

9
Larutan NaCl
Larutan HCl

10
Urea
Larutan
gula

Larutan
CH3COOH

Alkohol

20

1
Larutan
non
elektrolit

2
3
Larutan yang
Konsep
tidak dapat
Konkrit
menghantarkan
listrik, ditandai
dengan lampu
tidak menyala
dan tidak adanya
gelembung gas
pada
elektrolittester.

4
Larutan non
elektrolit

5

6
Larutan

7
Larutan
elektrolit

8

9
Urea
Larutan gula
Alkohol

10
Larutan
HCl
Larutan
NaCl

21

24

III. METODELOGI PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian kita dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang kita tentukan (Margono, 2010). Populasi dalam penelitian ini
adalah semua siswa kelas X SMA Fransiskus Bandar Lampung tahun pelajaran
2012/2013 yang berjumlah 180 siswa. Siswa tersebut merupakan satu kesatuan
populasi, karena adanya kesamaan sebagai berikut:
a. Siswa-siswa tersebut berada dalam semester yang sama, yaitu semester genap.
b. Dalam pelaksanaan pembelajarannya, siswa-siswa tersebut diajar dengan
kurikulum yang sama (KTSP), dan jumlah jam belajar yang sama (tiga jam
pelajaran dalam setiap minggu).

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi, sebagai contoh yang diambil dengan menggunakan cara tertentu (Margono, 2010). Jadi sampel penelitian adalah bagian dari
populasi yang memiliki karakteristik yang sama dengan populasi. Pengambilan
sampel dilakukan secara purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel
yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti
sendiri berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi. Adapun pertimbangan yang

25

digunakan adalah kemampuan awal yang tidak jauh berbeda antara kedua kelas
sampel. Setelah diperoleh dua kelas sampel maka ditentukan kelas eksperimen
dan kelas kontrol. Berdasarkan teknik tersebut maka ditentukan X4 sebagai kelas
eksperimen yang menggunakan model problem solving dan X5 sebagai kelas
kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional.

B. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data hasil
tes sebelum penerapan pembelajaran (pretes) dan hasil tes setelah penerapan
pembelajaran (postes) siswa. Adapun sumber data dibagi menjadi dua kelompok
yaitu:
1. Seluruh siswa kelas eksperimen
2. Seluruh siswa kelas kontrol

C. Metode dan Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen, dengan desain Nonequivalen Control Group Design. Di bawah ini adalah langkah-langkah yang
menunjukkan suatu urutan kegiatan penelitian :
Tabel .3 Desain penelitian
Kelas
Kelas eksperimen
Kelas kontrol

Pretes
O1
O1

Perlakuan
X
-

Postes
O2
O2

O1 adalah pretes yang dilakukan sebelum diberikan perlakuan, O2 adalah postes
yang dilakukan setelah diberikan perlakuan dan X adalah perlakuan model
problem solving.

26

D. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas yaitu pembelajaran menggunakan
model problem solving dan konvensional, serta variabel terikat yaitu keterampilan
memberikan penjelasan sederhana dan menyimpulkan.

E. Instrumen Penelitian dan Validitasnya
Instrumen adalah alat yang berfungsi untuk mempermudah pelaksanaan sesuatu.
Instrumen pengumpulan data merupakan alat yang digunakan oleh pengumpul
data untuk melaksanakan tugasnya mengumpulkan data (Arikunto, 2003). Dalam
penelitian ini, instrumen yang digunakan berupa silabus, RPP, LKS, analisis
konsep, serta soal pretes dan postes yang masing-masing terdiri dari 5 soal essay.
Dalam pelaksanaannya, kelas eksperimen dan kelas kontrol diberikan soal pretes
yang sama. Agar data yang diperoleh dapat dipercaya, maka instrumen yang
digunakan harus valid. Dengan kata lain suatu instrumen dikatakan valid apabila
mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkap data dari variabel
yang diteliti secara tepat. Untuk itu perlu dilakukan pengujian terhadap instrumen
yang akan digunakan.

Pengujian instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah vailditas isi.
Adapun pengujian validitas isi dilakukan dengan cara judgment. Oleh karena
dalam melakukan judgment diperlukan ketelitian dan keahlian penilai, maka
peneliti meminta ahli untuk melakukannya. Adapun validitas isi dilakukan oleh
dosen pembimbing Dra.Chansyanah Diawati M.Si. dan Dr. Noor Fadiawati, M.Si.
dengan menelaah kisi-kisi terutama kesesuaian antara tujuan penelitian, tujuan

27

pengukuran, indikator, dan butir-butir pertanyaan. Bila antara unsur-unsur itu
terdapat kesesuaian, maka dapat dinilai bahwa instrumen dianggap valid untuk
digunakan dalam mengumpulkan data sesuai kepentingan penelitian yang
bersangkutan.

F. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Fransiskus Bandar Lampung. Secara garis
besar tahap-tahap penelitian dikelompokkan menjadi lima langkah yaitu memilih
masalah yang akan dikaji, studi literatur, penyusunan instrumen, implementasi
model problem solving serta konvensional dan terakhir adalah analisis data dan
kesimpulan. Adapun langkah-langkah penelitian tersebut ditunjukkan pada alur
penelitian, seperti ditunjukkan pada alur berikut:
Analisis konsep-konsep pada materi
larutan elektrolit dan nonelektrolit

Rencana pembelajaran problem
solving
Pembuatan kisi-kisi butir soal
Butir soal tes

Rencana pembelajaran
konvensional
Pembuatan kisi-kisi butir soal
Butir soal tes

Validasi instrumen

Validasi instrumen

Kelas kontrol

Kelas eksperimen

Pretes

Pretes

Pembelajaran konvensional

Problem Solving

Postes

Postes
Analisis data
Kesimpulan

Gambar 1. Alur Penelitian

28

Penelitian diawali dengan melaksanakan pretes pada kelas eksperimen dan kelas
kontrol. Adapun tujuan pelaksanaan pretes sebelum pembelajaran dilakukan
adalah untuk mengetahui keterampilan memberikan penjelasan sederhana dan
menyimpulkan siswa pada kedua kelas tersebut. Selanjutnya pada kelas kontrol
pembelajaran dilakukan dengan cara konvensional sedangkan pada kelas eksperimen pembelajaran dilakukan dengan menggunakan model problem solving.

Pada kelas eksperimen diberikan media LKS yang berbasis problem solving.
Selanjutnya setelah pembelajaran berlangsung dilakukan postes pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Adapun tujuan dilakukan postes adalah untuk
mengetahui perbedaan hasil dari kelas eksperimen dan kelas kontrol.

G. Hipotesis Statistik
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik, hipotesis
dirumuskan dalam bentuk pasangan hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (H1)
1. Keterampilan memberikan penjelasan sederhana
H0 : µ 1x µ 2x
Rata-rata n-Gain keterampilan memberikan penjelasan sederhana pada
materi larutan elektrolit dan non elektrolit dengan pembelajaran model

29

problem solving lebih tinggi daripada rata-rata keterampilan memberikan penjelasan sederhana dengan pembelajaran konvensional SMA
Fransiskus Bandar Lampung.
2. Keterampilan menyimpulkan
H0 : µ 1y< µ 2y
Rata-rata n-Gain keterampilan menyimpulkan pada materi larutan
elektrolit dan non elektrolit dengan model pembelajaran problem
solving lebih rendah daripada rata-rata keterampilan menyimpulkan
dengan pembelajaran konvensional SMA Fransiskus Bandar Lampung.
H1 : µ 1y> µ 2y
Rata-rata n-Gain keterampilan menyimpulkan pada materi larutan
elektrolit dan non elektrolit dengan model pembelajaran problem
solving lebih tinggi daripada rata-rata keterampilan menyimpulkan
dengan pembelajaran konvensional SMA Fransiskus Bandar Lampung.

Keterangan:
µ 1 : Rata-rata n-Gain (x,y) pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit
pada kelas yang diterapkan pembelajaran problem solving.
µ 2 : Rata-rata n-Gain (x,y) pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit
pada kelas yang diterapkan pembelajaran konvensional.
x: keterampilan memberikan penjelasan sederhana.
y : keterampilan menyimpulkan.

30

H. Analisis Data dan Pengujian Hipotesis
1. Analisis data
Tujuan analisis adalah untuk memberikan makna atau arti untuk menarik suatu
kesimpulan yang berkaitan dengan masalah, tujuan, dan hipotesis yang telah
dirumuskan sebelumnya. Hal-hal yang diperlukan dalam menganalisis data
setelah melakukan pretes dan postes pada siswa SMA Fransiskus adalah :
a. Penentuan nilai
Nilai siswa dapat dirumuskan sebagai berikut:
Nilai siswa = jumlah skor jawaban yang diperoleh

x 100 …………..(1)

jumlah skor maksimal
Dari data yang diperoleh kemudian dicari gain ternormalisasinya, dan
selanjutnya dianalisis menggunakan uji homogenitas dua varians.

b. Perhitungan gain ternormalisasi
Untuk mengetahui efektivitas keterampilan memberikan penjelasan sederhana
dan menyimpulkan maka dilakukan analisis skor gain ternormalisasi.
Perhitungan gain ternormalisasi bertujuan untuk mengetahui peningkatan nilai
pretes dan postes dari kedua kelas. Besarnya peningkatan dihitung dengan
rumus n-Gain, yaitu :
................... (2)
Tabel 5. Klasifikasi gain ( g )
Besarnya g
g > 0.7
0,3 < g ≤ 0,7
g ≤ 0,3

Interpretasi
Tinggi
Sedang
Rendah

31

Data gain ternormalisasi yang diperoleh diuji normalitas dan homogenitasnya
kemudian digunakan sebagai dasar dalam menguji hipotesis penelitian.

2. Pengujian Hipotesis
a. Uji normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah dua kelompok sampel
berasal dari populasi berdistribusi normal atau tidak. Rumusan untuk uji
normalitas adalah menggunakan uji Chi-Kuadrat : (Sudjana, 2005)
2

( fi

fh )2

fi : frekuensi pengamatan

fh

fh : frekuensi yang diharapkan
dengan krieria uji : terima H0 jika

2

hitung

2

tabel

dengan taraf nyata 5%

b. Uji homogenitas dua varians
Uji homogenitas dua varians digunakan untuk mengetahui apakah dua
kelompok sampel mempunyai varians yang homogen atau tidak. Karena
pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan rumusan statistik uji
kesamaan dua rata-rata uji satu pihak, yakni uji pihak kanan, maka untuk uji
statistik ini, diperlukan pengu-jian homogenitas kedua varians kelas sampel.
Untuk uji homogenitas dua varians ini, rumusan hipotesisnya adalah :
H0 : σ12 = σ22 Data n-Gain kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki varians
yang homogen.
H1 : σ12 ≠ σ22 Data n-Gain kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki varians
yang tidak homogen.

32

Sedangkan untuk uji homogenitas kedua varians kelas sampel, digunakan uji
kesamaan dua varians, dengan rumusan statistik :
…………………….(3)
Kriteria uji :
Pada tingkat kesalahan 5%, tolak

hanya jika F ≥ F 1/2α (υ1,υ2) dan terima H0

jika F < F 1/2α (υ1,υ2).

c. Uji perbedaan dua rata-rata
Uji perbedaan dua rata-rata digunakan untuk menentukan seberapa efektif perlakuan terhadap sampel dengan melihat gain ternormalisasi keterampilan memberikan penjelasan sederhana dan menyimpulkan siswa pada materi larutan
elektrolit dan non elektrolit yang lebih tinggi antara pembelajaran dengan
model problem solving dengan pembelajaran konvensional siswa Fransiskus
Bandar Lampung. Jika data yang diperoleh terdistribusi normal dan homogen,
maka pengujian menggunakan uji statistik parametrik, yaitu menggunakan uji-t
(Sudjana, 2002):
t hitung

X1 X 2
1 1
s
n1 n2

........................(4)

dan

s2

(n1 1) s12 (n2 1) s 22
n1 n2 2

Keterangan :
thitung
= Kesamaan dua rata-rata
X1
= Gain rata-rata kelas eksperimen

X2
2

s

= Gain rata-rata kelas kontrol
= Varians

......…………(5)

33

n1
n2

s12

= Jumlah siswa kelas eksperimen
= Jumlah siswa kelas kontrol
= Varians kelas eksperimen

s 22

= Varians kelas kontrol

Dengan kriteria pengujian: terima H0 jika t< t1-α dengan derajat kebebasan
d(k) = n1 + n2 – 2 dan tolak H0 untuk harga t lainnya. Dengan menentukan taraf
signifikan α = 5% peluang (1- α ).

47

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
1.

Model pembelajaran Problem Solving pada materi larutan elektrolit dan non
elektrolit efektif dalam meningkatkan keterampilan memberikan penjelasan
sederhana.

2.

Model pembelajaran Problem Solving pada materi larutan elektrolit dan non
elektrolit efektif dalam meningkatkan keterampilan menyimpulkan.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, disarankan bahwa :
1. Pembelajaran model problem solving dapat dipertimbangkan dalam pembelajaran kimia, terutama pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit karena
terbukti efektif dalam meningkatkan keterampilan memberikan penjelasan
sederhana dan menyimpulkan.
2. Dalam pembelajaran model problem solving agar berjalan lebih efektif sebaiknya memperhatikan alokasi waktu, karena dalam pelaksanaannya pembelajaran dengan menggunakan metode ini membutuhkan waktu yang lebih lama disetiap langkah-langkah pembelajarannya.

48

LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, A. 2003. Memahami Paradigma Baru Pendidikan Dalam Undang-Undang
Sisdiknas. Jakarta: Departemen Agama RI.
Arikunto, S. 1997. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta;
Rineka Cipta.
Arikunto, S. 2003. Dasar – dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta; Bumi Aksara.
Bassham, G et.al. 2008. Critical Thiking : A Student’s Introduction. New York:
McGraw-Hill Companies,Inc.
Costa, A. L. 1985. Developing Minds A Resource Book for Teaching Thinking.
Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development.
Dahar, R.W. 1989. Teori–Teori Belajar. Jakarta; Erlangga.
Depdiknas. 2003. Pedoman khusus pengembangan silabus dan penilaian
kurikulum 2004. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Depdiknas. 2008. Rambu – Rambu Pengakuan Pengalaman Kerja dan Hasil
Belajar. Jakarta; Depdiknas.
Ennis, R.H. 1985. Goals for A Critical Thiking Curriculum. Costa, A.L.

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENGKOMUNIKASIKAN PADA MATERI POKOK LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON-ELEKTROLIT SERTA REDOKS

1 22 43

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NONELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI DAN MEMPREDIKSI

0 6 45

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN PREDIKSI DAN INFERENSI PADA MATERI POKOK LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON-ELEKTROLIT SERTA REDOKS

2 45 50

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI POKOK LARUTAN NON ELEKTROLIT DAN ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENYIMPULKAN

0 6 42

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DISERTAI MEDIA ANIMASI PADA MATERI LARUTAN NON-ELEKTROLIT DAN ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENYIMPULKAN DAN PENGUASAAN KONSEP

1 28 56

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PREDICT-OBSERVE-EXPLAN PADA MATERI LARUTAN NON-ELEKTROLIT DAN ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGKOMUNIKASIKAN DAN MENYIMPULKAN SISWA KELAS X

1 21 40

EFEKTIVITAS MODEL PROBLEM SOLVING PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENGKOMUNIKASIKAN

1 17 48

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN DASAR DAN MEMBERIKAN PENJELASAN LANJUT PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT

0 3 43

EFEKTIVITAS MODEL PLGI PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT NON-ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGKOMUNIKASIKAN DAN MENYIMPULKAN

1 14 49

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON-ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR ORISINIL

6 28 47