Tinjaan Klaim Proyek Konstruksi Pada Sen

Tinjaan Klaim Proyek Konstruksi Pada Sengketa
Di Pengadilan Negeri

Naufal Abdurrahman1, Ayomi Dita Rarasati2
1. Program Studi Teknik Sipil, Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas
Indonesia, Depok, 1624, Indonesia.
2. Program Studi Teknik Sipil, Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas
Indonesia, Depok, 1624, Indonesia.

E-mail : naufal_bisa90@yahoo.com

Abstrak

Perkembangan kemajuan proyek di Indonesia berkembang semakin pesat. Dalam
penyelenggaraan proyek, seluruh aktivitas yang berlangsung di dalamnya tidak terlepas dari
kontrak. Oleh karena itu, kita harus benar-benar mengerti dan memahami isi kontrak tersebut
agar tidak terjadi kesalahpahaman. Hal-hal yang tidak memenuhi kewajiban dan hak salah
satu pihak sebagaimana yang tercantum dalam kontrak dapat menyebabkan timbulnya klaim.
Berdasarkan 10 Putusan Pengadilan Negeri yang didapat, penyebab utama klaim adalah
wanprestasi serta faktor alam dan administrasi. Klaim dapat diselesaikan melalui Pengadilan
Negeri dan Arbitrase. Banyak perusahaan yang lebih memilih menyelesaikan klaim melalui

Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) karena sifat persidangannya yang tertutup
diibandingkan melalui Pengadilan Negeri yang bersifat terbuka. Namun biaya yang harus
dikeluarkan melalui BANI berkisar antara Rp 200.000.000,00 – Rp 850.000.000,00, berbeda
jauh dengan Pengadilan Negeri yang berkisar Rp 350.000,00 – Rp 600.000,00. Klaim yang
diputuskan melalui Arbitrase dapat dibatalkan melalui Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal
70 UU No. 30/1999, yaitu adanya dokumen palsu atau dinyatakan palsu, adanya dokumen
yang bersifat menentukan disembunyikan, dan adanya tipu muslihat. Selain dari tiga hal di
atas, maka alasan apapun tidak dapat dijadikan untuk membatalkan putusan BANI.

Claim Construction Project Analysis In District Court Case
Abstract
The progress of the project in Indonesia is growing more rapidly. In the operation of the
project, all the activity that takes place in it can not be separated from the contract, therefore,
we must thoroughly understand and comprehend the contents of the contract in order to avoid
misunderstandings. Things that do not fulfill one of the obligations and rights of the parties as
specified in the contract may lead to a claim. Based on the 10 District Court obtained, the
main cause of the claim is in default as well and force major and administration. Claims can
be settled by the District Court and Arbitration. Many companies prefer to resolve claims
through the Indonesian National Arbitration Board (BANI) due to the closed trial than using
District Court because it is open trial. But the costs to be incurred through BANI ranges

between Rp 200.000.000,00 - Rp 850.000.000,00, far with the District Court that ranges from
Rp 350.000,00 - Rp. 600.000,00. Claims are decided through arbitration can be canceled by
the District Court based to Article 70 of Law No. 30/1999, which is the existence of false
documents or false otherwise, the decisive document is hidden, and the ruse. Apart from the
three above, then any reason can not be used to overturn the decision of BANI.

Key Words : Contract, Claim, Construction, Arbitration

Pendahuluan
Dalam penyelenggaraan proyek, seluruh aktivitas yang berlangsung di dalamnya tidak
terlepas dari kontrak, yaitu bentuk perikatan mengenai kegiatan jasa konstruksi (Yasin,
2006). Oleh karena itu, kita harus benar-benar mengerti dan memahami isi kontrak tersebut
agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam pelaksanaan proyek kontrak konstruksi.
Klaim bukanlah hal yang tabu ataupun sebuah hal tuntutan. Klaim merupakan sebuah
permintaan, dimana kita meminta hak kita yang telah hilang berdasarkan kesepakatan antara
dua atau lebih pihak yang menyetujui perjanjian tersebut. Oleh karena itu, perlu kita
mengetahui apa saja penyebab terjadinya klaim, dan bagaimana cara menyelesaikan klaim
tersebut.
Berdasarkan hal diatas, penulis ingin mengangkat masalah seputar penyelesaian klaim di
Pengadilan Negeri, baik dari hal apa saja penyebab klaim, proses penyelesaian klaim yang

ditempuh, maupun dasar pengajuan ke Pengadilan Negeri untuk kasus di bidang proyek
konstruksi.

Tinjauan Pustaka
Ada beberapa definisi klaim konstruksi sebagai berikut :
a.

Akuntansi Konstruksi dalam Pengerjaan-Komite Standar Akuntansi Pemerintah, 2004
Jumlah yang diminta kontraktor kepada pemberi kerja sebagai pengganti biaya-biaya
yang tidak termasuk dalam nilai kontrak.

b.

H. N. Yasin, 2006
Klaim bukanlah hal tabu, klaim diartikan sebagai tuntutan, suatu permintaan

c.

Edward & Fisk (1997)
Klaim adalah permasalahan yang dapat menimbulkan terjadinya perselisihan dan

permohonan tambahan uang, waktu pelaksanaan, atau perubahan metode pekerjaan.

Penyebab utama klaim dapat dikategorikan dalam 3 hal, yaitu (Yasin, 2004) :
a.

Dari pengguna jasa terhadap penyedia jasa, seperti pengurangan nilai kontrak,
percepatan waktu penyelesaian pekerjaan, dan kompensasi atas kelalaian penyedia jasa.

b.

Dari penyedia jasa terhadap pengguna jasa, seperti tambahan waktu pelaksanaan
pekerjaan, tambahan kompensasi, dan tambahan konsesi atas pengurangan spesifikasi
teknis atau bahan.

c.

Dari sub penyedia jasa atau pemasok bahan terhadap penyedia jasa utama.

Berikut pasal-pasal yang digunakan terkait dalam penelitian skripsi :
a.


Pasal 71 UU no 30/1999
Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran
putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.

b.

Pasal 1 angka 4 UU no 30/1999
Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal pemohon.

c.

Pasal 70 UU No. 30/1999
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan
apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

 Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;


 Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
disembunyikan oleh pihak lawan; atau

 Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa.
d.

Pasal 31 ayat (1) UU RI No. 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan Lambaga
Negara serta Lagu Kebangsaan
“(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang
melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta
Indonesia atau perseorangan Warga Negara Indonesia”

e.

Pasal 62 ayat (4) UU No. 30/1999
Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari Putusan
Arbitrase.


f.

Pasal 4 ayat (2) UU No. 30/1999
Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam suatu
dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.

g.

Pasal 1946 KUHPerdata

Lewat waktu ialah suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan
untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan
terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang.
h.

Pasal 3 ayat (1) UU No. 30/1999
Arbitrase adalah cara penyelesaian satu perkara perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang
bersengketa.


i.

Pasal 1 Butir 7 Peraturan Presiden No. 54/2010
Yang dimaksud kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut kontrak
adalah perjanjian tertulis antara PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana
Swakelola.

j.

Pasal 13 ayat (1) UU No. 30/1999
Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter
atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan
Negeri menunjuk arbiter atau Majelis Arbitrase.

k.

Pasal 72 ayat (4) UU No. 30/1999
Atas Putusan Pengadilan Negeri (Permohonan Pembatalan Putusan Arbitrase) dapat
diajukan banding ke Mahkamah Agung Republik Indonesia


Metode Penellitian
Data yang digunakan merupakan data sekunder, yaitu ptuusan Pengadilan Negeri sebanyak
10 kasus proyek konstruksi. Metode penelitian yang digunakan pada skripsi ini adalah
metode yuridis normatif, yaitu penelitian hukum dalam pengertian meneliti kaidah-kaidah
dan norma-norma, dimana penelitian yuridis normatif biasanya hanya merupakan studi
dokumentasi dengan mempergunakan sumber-sumber data sekunder seperti peraturan
perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, teori hukum, dan pendapat para ahli
(Mertokusumo, 2002). Berikut langkah penulis dalam mengolah dan menganalisis data :
a.

Meresume sumber-sumber putusan yang diperoleh.

b.

Mengidentifikasi penyebab klaim dari tiap putusan.

c.

Mengidentifikasi cara penyelesaian klaim yang di tempuh dari tiap putusan.


d.

Mengidentifikasi dasar pengajuan ke Pengadilan Negeri.

e.

Membuat matriks tiap putusan.

f.

Menganalisis data berdasarkan matriks yang telah dibuat.

g.

Menarik kesimpulan dan memberikan saran.

Hasil dan Pembahasan
Berikut kasus berdasarkan 10 putusan Pengadilan Negeri :
1. Kasus Pekerjaan Pemancangan di Lampung
Pemohon


: PT Manunggal Engineering

Melawan
Termohon I

: PT Terapan Nilai Osilasi Indonesia

Termohon II

: Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

2. Kasus Proyek Pembuatan Runway dan Fasilitas Penunjang di Bandar Udara Internasional
Lombok
Pemohon

: PT Angkasa Pura I

Melawan
Termohon I

: Badan Arbitase Nasional Indonesia

Termohon II

: PT Hutama Karya

3. Kasus PLTU Jawa Barat
Pemohon

: PT Truba Jaya Engineering

Melawan
Termohon I

: Badan Arbitrase Nasional Indonesia

Termohon II

: PT Adhi Karya

4. Kasus Tender Pembangunan Dermaga
Pemoohon

: PT Hutama Karya

Melawan
Termohon I

: Badan Arbitase Nasional Indonesia

Termohon II

: PT Krakatau Bandar Samudra

5. Kasus Pembangunan Pusat Perbelanaan PTC
Pemohon I

: PT Asia Pacific Coating

Pemohon II

: Kohar

Melawan
Termohon I

: PT Nusantara Jaya Konstruksi

Termohon II

: Herianto Tan

6. Kasus Cirebon Superblock Mall

Pemohon

: PT Karya Bersama Takarob

Melawan
Termoohon I

: Badan Arbitrase Nasional Indonesia

Termohon II

: PT Adhi Karya

7. Kasus Proyek Jalan Tol
Pemohon

: Dipl. Ing. John Wiraman (Direktur Utama CV Jaya Wahana Lestari)

Melawan
Termohon I

: PT Waskita Karya

Termohon II

: Badan Arbitrase Nasional Indonesia

8. Kasus Wanprestasi Manunggal Engineering
Pemohon

: PT Manunggal Engineering

Melawan
Termohon I

: Badan Arbirase Nasional Indonesia

Termohon II

: PT Multi Adverindo

Termohon III

: PT Geostructure Dinamics

9. Kasus Pembangunan Komplek Griya Kemayoran
Pemohon

: PT Tunas Diptapersada

Melawan
Termohon I

: PT Hutama Karya

Termohon II

: PT Hutama Binamaint Join Operation

Termohon III

: Tuan M. Husseyn Umar, SH

Termoohon IV

: Tuan Ir. H. R. Sidjabat

10. Kasus Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Jalan BTS, Jabar-Tegal-Slawi
Pemohon I

: Ir. Krido Lucky Widyantoro, M.M

Pemohon II

: Ir. Eddy Soetarno, M.T

Pemohon III

: Ir. Herman Soeroyo, M.T

Pemohon IV

: Soemarjono, S.T., M.T

Pemohon V

: Ir. Noertjahjo Widodo, M.T

Melawan
Termohon

: PT Bumirejo dan PT Brantas Abipraya, Join Operation

Berdasarkan kasus diatas didapat hal-hal berikut :

Penyebab utama klaim :
1. Wanprestasi
Kasus wanprestrasi dalam skripsi ini terdapat pada kasus 1, 5, 6, 7, 8, dan 9. Pada
kasus 1 wanprestasi terjadi karena PT Manunggal Engineering tidak mampu
melaksanakan

tugas

sesuai

kontrak

Pekerjaan

Pemancangan

No.

046/Lampungext/Pilling Works/CLD/07-08-YY tertanggal 17 Juli 2008, sehingga
dialihkan ke PT Truba Alam Manunggal Engineering. Oleh karena itu, PT Terapan
Osiliasi Indonesia menuntut mereka ke BANI. Dilain pihak berbeda dengan kasus 5,
yaitu kasus Pembangunan Pusat Perbelanjaan PTC dimana Kohar ditunjuk oleh PT
Asia Pacific Coating (PT APC) untuk mencari kontraktor pemborong utntuk
melaksanakan pembangunan tersebut, lalu ditunjuklah PT Nusantara Jasya Konstruksi
(PT NJK) melalui Direkturnya Herianto Tan untuk melakukan pemborongan yang
meliputi pekerjaan pendahuluan, struktur, finishing, mekanikal, dan elektrikal dengan
borongan senilai Rp 34.850.000.000,00 berdasarkan SPK No. 0101-PTC/SPK/XII2003. Pekerjaan mampu dilakukan oleh pemborong, yaitu PT NJK dengan bukti
berita acara prestasi fisik yang telah mencapai 100%, namun banyak terjadi defect
kerja yang dilakukan oleh pemborong sehingga menimbulkan kerugian diantaranya
banyak kios yang batal dibeli maupun disewa.

Pada kasus 6 yaitu Proyek Pembangunan Cirebon Superblock Mall yang berlokasi di
Jl. Cipto Mangunkusumo senilai Rp 77.850.000.000,00 lump sum termasuk PPn
terhitung dari 14 Februari 2011 sampai dengan 11 Desember 2011 antara PT Karya
Bersama Takarob sebangai pengguna jasa dengan PT Adhi Kartya sebagai penyedia
jasa. Bahwa terjadi ketidakcakapan kerja yang dilakukan oleh PT Adhi Karya (PT
AK) yang ditandai dengan kualitas pekerjaan yang tidak baik, ditambah lagi dengan
pengunduran PT AK dalam proyek tersebut. Dilain pihak, PT AK menuntut PT Karya
Bersama Takarob (PT KBT) kepada BANI karena menurut PT AK, PT KBT lah yang
melakukan cidera janji yaitu keterlambatan pembayaran termin. Pada kasus 7 yaitu
Proyek Jalan Tol Semarang – Solo tahap I ruas Semarang Bawen Seksi III Penggaron
– Beji antara Direktur Utama CV Jaya Wahana Lestari dengan PT Waskita KaryaDIY II. Dimana Direktur CV Jaya Wahan Lestari (CV JWL) merasa keberatan atas
putusan BANI No. 498/XXI/ARB-BANI/2012 tanggal 3 September 2013 karena CV
JWL dinyatakan cidera janji terhadap PT Waskita Karya-DIY II (PT WK) dan

dituntut untuk mengembalikan uang yang merupakan hak dari PT WK sebesar Rp
742.544.300,00. Awalnya PT WK sebagai kontraktor menerima pekerjaan dari PT
Trans Marga Jateng sebagai owner, kemudian PT WK memberikan tanggun jawab
pekerjaan yang telah diterima dari PT Trans Marga Jateng kepada CV JWL
berdasarkan Surat Perjanjian Pemborongan Pekerjaan No. 14/SPP/WK.D-II/2012
tanggal 14 Maret 2012. Namun, karena CV JWL tidak mampu melaksanakannya
dengan baik, maka PT WK menuntutnya di BANI.

Pada kasus 8 tejadi sengketa wanprestasi antara PT Manunggal Engineering dengan
PT Multi Adverindo dan PT Geostructure Dinamics. Sehingga PT Multi Adverindo
dan PT Geostructure Dinamics menuntutnya di BANI yang kemudian pada intinya
BANI mengeluarkan putusan untuk menghukum PT Manunggal Engieering
membayar ganti rugi sebesar Rp 13.197.546.400,00. Untuk kasus 9, yaitu kasus
Proyek Pembangunan Komplek Griya Kemayoran antara PT Tunas Diptapersada
sebagai pengguna jasa dan PT Hutama Karya sebagai penyedia jasa serta PT Hutama
Binamaint Join Operation sebagai penyedia jasa yang berlokasi di Jl. Industri No. 911, Jakarta Pusat sesuai dengan SPK No. 004/TDP/SPK/PMBG/1/96 tentang
pemborongan. Tanpa alasan dan dasar hukum yang sah, PT Hutama Karya dan PT
Hutama Binamaint Join Operation mengajukan permohonan penyelesaian sengketa
melalui BANI karena adanya upaya cidera janji yang dilakukan oleh PT Tunas
Diptapersada yang pada intinya BANI menghukum untuk memerintahkan PT Tunas
Diptapersada membayar ganti rugi sebesar Rp 26.353.364.455,00.

2. Faktor Alam dan Administrasi
Kasus force major yang terjadi terdapat pada kasus 2, 4, dan 10. Pada kasus 2, yaitu
kasus Proyek Pembuatan Runway dan Fasilitas Penunjang di Bandar Udara
Internasional Lombok, faktor alam yang mempengaruhi terjadinya klaim adalah
terdapat hujan yang menggenangi lokasi, lalu untuk pengamanan pekerjaan utama
dilakukan Cross Drain dan Dewatering. Meskipun hal ini tidak terdapat dalam
hitungan BQ seusai dengan kesepakatan, namun hal ini mutlak harus dilakukan oleh
PT Hutama Karya. PT Angkasa Pura I tetap bersikukuh bahwa PT Hutama Karya
telah melakukan Cross drain dan Dewatering tanpa ijin dari PT Angkasa Pura I. Di
lain pihak, PT Hutama Karya mengkaim bahwa tanggapan dari PT Angkasa Pura I

sangat lambat, dan apabila PT Hutama Karya menunggu ijin dari PT Angkasa Pura I
untuk melaksanakannya tentu itu akan memakan waktu ekstra dan list pekerjaan
masih banyak yang harus dilakukan.
Pada kasus 4 yaitu Tender Pemabangungan dermaga antara PT Hutama Karya sebagai
penyedia jasa dengan PT Krakatau Bandar Samudra sebagai pengguna jasa berupa
pekerjaan pengerukan karang keras dan kompak dalam lapisan tanah yang berlokasi
di Dermaga Pelabuhan Cigading, Banter dengan sistem kontrak Lump sum fixed price.
Permasalahan berawal dari timbulnya lapisan tanah keras kurang dari 17 meter,
padahal berdasarkan hasil uji sebelumnya menyatakan bahwa tanah keras hanya
berada pada kedalaman diatas 17 meter. PT Hutama Karya merasa sangat tidak adil
kepada pihak Arbitrase karena berpendapat sistem pembayaran Fixed Lump Sum
Price, maka pekerjaan tanah dengan SPT > 50 menjadi resiko dan tanggung jawab
sepenuhnya PT Hutama Karya. PT Hutama Karya berpendapat bahwa Fixed Lump
Sum Price berarti nilai kontrak bersifat tetap sepanjang gambar dan spesifikasi tidak
berubah.

Yang terakhir adalah kasus 10, yaitu Kasus Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Jalan
BTS, Jabar, Tegal, Slawi antara Ir. Krido Lucky Widyantoro, M.M., Ir. Eddy Soetano,
M.T., Ir. Herman Suroyo, M.T., Sumarjono, S.T., M.T., dan Ir. Noertjahjo Widodo,
M.T., yang kemudian disebut sebagai Para Pemohon sebagai pengguna jasa dengan
PT Bumirejo dan PT Brantas Abipraya, Joint Operation yang kemudian disebut
dengan BBJO sebagai penyedia jasa untuk pekerjaan Brebes-Tegal By Pass dengan
nilai kontrak Rp. Rp. 190.360.238.851,22 termasuk PPn. Awal mulanya timbul klaim
adalah tidak adanya kesepakatan antara 2 belah pihak, yaitu adanya justifikasi teknik
yang

diajukan

BBJO

mengenai

perubahan

nilai

kontrak

menjadi

Rp

205.920.819.000,00 dan mengubah lama pekerjaan dari 720 hari kalender menjadi
920 hari kalender. Namun proyek telah berjalan sebagian dan masalah justifikasi tidak
juga selesai, sehingga BBJO menuntut Para Pemohon dalam BANI yang putusannya
menghukum Para Pemohon untuk membayar kerugian sebesar Rp 26.871.672.000,00
kepada pemohon untuk klaim akibat idle alat, idle tenaga kerja, sewa lahan base
camp, alat pendukung yang sudah tersedia, uang jaminan, dan bunga pinjaman.

Cara Penyelesaian Klaim

Cara untuk menyelesaikan proses klaim pada dasarnya ada 6 yaitu melalui melaui badan
peradilan, melalui arbitrase, mediasi, negosiasi, engineering judgement, dan mini trial.
Namun yang akan dibahas pada skripsi ini adalah proses penyelesaian melalui badan
peradilan dan arbitrase. Pada dasarnya banyak perusahaan yang mengutamakan cara
penyelesaian klaim melalui badan arbitrase yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
dibandingkan mengutamakan penyelesaian melaui badan peradilan yaitu Pengadilan Negeri.
Kelebihan Arbitrase (Suyud, 2000) :




Bebas dan otonom menentukan aturan dan intuisi arbitrase
Menghindari ketidakpastian akibat perbedaan sistem hukum dengan Negara tempat
sengekta diperiksa, maupun keputusan sepihak dari hakim yang menguntungkan salah



satu pihak



Persidangan tertutup, dan memberi perlindungan terhadap data yang rahasia



Waktu prosedur lebih efisien

Pertimbangan hukum bersifat win-win solution

Namun dibalik itu semua, tentu ada kekurangan dari menggunakan Majelis Arbitrase, berikut
kekurangan dari penggunaan Majelis Arbitrase (Suyud, 2000) :




Honor relatif mahal



mekanisme arbitrase secara efektif



Tidak memiliki juru sita sendiri, sehingga menghambat penerapan prosedur dan

Putusan arbitrase tidak memiliki daya paksa yang efektif
Eksekusi putusan arbitrase cenderung mudah diinterprestasi oleh pihak kalah melalui
lembaga peradilan



Sedangkan berikut kekurangan menggunakan Majelis Peradilan (Suyud, 2000) :



Penyelesaian sengketa lambat



Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah







Peradilan tidak tanggap

Kemampuan para hakim bersifat generalis
Dilain sisi adapun kelebihan menggunakan Majelis Peradilan :
Biaya relatif lebih murah dibandingkan dengan menggunakan arbitrase
Proses yang terjadi bersifat transparan
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber, Pengadilan Negeri dari mulai

pendaftaran hingga menjatuhkan putusan paling cepat tiga bulan. Itupun termasuk kasus yang
ringan. Sedangkan untuk BANI mulai dari pendaftaran kasus hingga menjatuhkan putusan

paling cepat satu bulan. Tentu ini merupakan pertimbangan utama bagi para pihak yang
bersengketa karena dapat menghemat waktu dalam mengatasi pemeriksaan terkait sengketa
yang terjadi, karena selisih perbedaan waktu yang digunakan mulai dari pendaftaran hingga
putusan dijatuhkan bisa mencapai dua bulan. Selain itu, yang menjadi pertimbangan utama
dalam pemilihan menggunakan Majelis Arbitrase adalah persidangan yang tertutup, dan
memberi perlindungan terhadap data yang rahasia. Dengan adanya persidangan yang tertutup,
para pihak yang terkait sengketa tidak perlu khawatir informasi seputar sengketa yang terjadi
akan bocor keluar dan muncul di media massa. Dengan begitu nama baik dari perusahaan
tersebut akan tetap terjaga di mata umum.
Di balik itu semua, biaya penyelesaian melalui Majelis Arbitrase sangatlah tinggi. Harga
untuk membayar biaya perkara pada BANI bisa mencapai Rp 900.000.000,00. Bila
dibandingkan dengan melalui Majelis Peradilan yang tidak mencapai Rp 1.000.000,00 untuk
kasus nonbanding. Selisih biaya yang dikeluarkan sangat besar, karena Majelis Arbiter adalah
majelis swasta, berbeda dengan Majelis Peradilan yang merupakan majelis negeri yang
dibayar oleh Negara. Belum lagi apabila menggunakan BANI, biaya akan semakin besar jika
menggunakan banyak arbiter. Untuk mendapatkan nilai pasti, penulis memaparkan biaya
Pengadilan Negeri dari kasus 4.2.1 – 4.2.10 yang ditunjukkan pada tabel 5.1 diluar dari biaya
pengacara.

Tabel 4.1 Biaya Penyelesaian Perkara Melalui Pengadilan Negeri
Kasus

Biaya (Rp)

4.2.1

500.000

4.2.2

581.000

4.2.3

416.000

4.2.4

514.000

4.2.5

562.000

4.2.6

516.000

4.2.7

500.000

4.2.8

341.000

4.2.9

500.000

4.2.10

342.000

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan range biaya yang harus dikeluarkan melalui Pengadilan
Negeri adalah sebesar Rp 342.000,00 – Rp 581.000,00. Sedangkan untuk biaya menggunakan
jasa BANI ditunjukkan pada Tabel 5.2.

Tabel 4.2 Biaya Penyelesaian Perkara Melalui BANI
Kasus

Biaya (Rp)

4.2.1

296.861.000

4.2.2

Tidak disebutkan

4.2.3

198.188.750

4.2.4

Tidak disebutkan

4.2.5

Tidak melalui proses BANI

4.2.6

330.163.500

4.2.7

Tidak disebutkan

4.2.8

298.331.000

4.2.9

251.607.850

4.2.10

839.687.000

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan range untuk biaya jasa BANI sebesar Rp
198.861.000,00 – Rp 839.687.000,00. Biaya menggunakan BANI relatif mahal, hal ini
tergantung dari berapa banyak arbiter yang ditunjuk untuk menyelesaikan kasus tersebut,
serta gelar atau pengalaman dari arbiter terssebut. Semakin banyak arbiter yang ditunjuk
maka semakin besar pula biaya yang harus dikeluaran, begitu pula semakin tingginya
pendidikan dan pengalaman arbiter tersebut maka biaya pun semakin mahal. Seperti halnya
pada kasus 4.2.10 dimana ditunjuk 3 majelis arbiter sehingga biaya yang harus dikeluarkan
sebesar Rp. 839.687.000.

Pengajuan Penyelesaian Di Pengadilan Negeri
Pengajuan ini pada dasarnya dikarenakan tidak puas dengan putusan BANI sebelumnya.
Ketidakpuasan yang dimaksud adalah putusan dianggap mengandung salah satu unsur
maupun seluruh unsur dari pasal 70 No. 30/199, berikut bunyi Pasal 70 No. 30/1999 :
“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan
apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
-

Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu

-

Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
disembunyikan oleh pihak lawan, atau

-

Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa”

Dokumen Yang Bersifat Menentukan Disembunyikan Oleh Pihak Lawan
Untuk kasus dokumen yang bersifat menentukan disembunyikan oleh pihak lawan terdapat
pada kasus 2 yaitu Kasus Proyek Pembuatan Run Way dan Fasilitas Penunjang di Bandar
Udara Internasional Lombok, PT Angkasa Pura I mengajukan permohonan pembatalan
putusan BANI karena ditemukannya dokumen antara PT Hutama Karya dengan PT
Metropolitan Aulia Mix yang mana PT Metropolitan Aulia Mix ini bertindak sebagai
subkontraktor dari PT Hutama Karya untuk pengerjaan aspal bandara. Bahwa kontrak ini
terjalin tanpa sepengetahuan PT Angksa Pura I, dan bisa saja masih banyak lagi kontrak
perjanjian seperti ini antara PT Hutama Karya dengan subkontraktor lain agar PT Hutama
Karya memperoleh keuntungan yang lebih. Namun dilain pihak PT Angkasa Pura I malah
lebih menekankan kepada eskalasi PT Hutama Karya yang mengada-ada tanpa adanya bukti
yang ditunjukkan dan dibandingkan dengan bukti adanya dokumen yang disembunyikan oleh
PT Hutama Karya. Namun setelah dihitung volume pekerjaan yang dilakukan oleh PT
Metropolitan Aulia MIX hanya sebagian kecil dari total pekerjaan PT Hutama Karya. Oleh
karena itu, pernyataan tentang adanya dokumen yang bersifat menentukan yang
disembunyikan oleh PT Hutama Karya tidak dapat dibenarkan. Selain itu, tentang eskalasi
harga yang dilakukan PT Hutama karya tidak dapat dipertimbangkan karena tidak memiliki
bukti yang kuat.

Selanjutnya, pada kasus 7, yaitu kasus Proyek Jalan Tol antara direktur Utama CV Jaya
Wahan Lestari melawan PT Waskita Karya-DIY II untuk pengerjaan Jalan Tol SemarangSolo, Tahap I ruas Semarang Bawen Seksi III Penggaron-Beji, dimana Direktur Utama CV
Jaya Wahana Lestari mengatakan adanya dokumen yang disembunyikan oleh PT Waskita
Karya-DIY II atara PT Firma Karya selaku perusahaan perencana dengan PT Trans Marga
Jateng selaku pemilik poyek. Awalnya PT waskita Karya terikat kerja dengan PT Trans
Marga Jateng, lalu PT Waskita Karya mengalihkan dan/atau memberikan tanggung jwab
pekerjaan kepada Direktur CV Jaya Wahana Lestari berdasarkan Surat Perjanjian
Pemborongan Pekerjaan No. 14/SPP/WK.D-II/2012, yang mana SPPP tersebut cacat hukum.
Oleh karena itu, Direktur Utama CV Jaya Wahana Lestari ingin membatalkan putusan BANI
atas SPPP yang digunakan tidak dapat dijadikan sebagai dasar perjanjian. Di lain pihak, SPPP
tersebut telah diungkapkan dalam pemeriksaan BANI sebelumnya. Kasus ini merupakan
suatu pembatalan yang sangat tidak jelas, yang mana dasar pembatalan putusan BANI ini
berdasarkann adanya dokumen yag disembunyukan, yaitu dokumen antara PT Waskita Karya
dengan PT Firma Karya dan PT Trans Marga Jateng.Namun di lain sisi, Direktur Utama CV
Jaya Wahana Lestari menitikberatkan tentang SPPP yang cacat hukum namun tidak dapat
dibuktikan secara jelas. Terlebih lagi pengajuan tentang SPPP yang cacat hukum sudah
diajukan sebelumnya pada persidangan BANI sehingga Pengadilan Negeri tidak berhak untuk
mengadili alasan BANI sebelumnya. Oleh karena itu, Pengadilan Negeri menolak untuk
mengabulkan permohonan pembatalan putusan BANI.

Adanya Tipu Muslihat
Sedangkan untuk terdapat tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak pada kasus 1
yaitu kasus Pekerjaan Pemancangan di Lampung antara PT Manunggal Engineering sebagai
penyedia jasa dengan PT Terapan Nilai Osilasi Indonesia sebagai pengguna jasa berdasarkan
SPK No 046/Lampungext/Pilling Works/CLD/07-08-YY. Adapun bentuk tipu muslihat yang
dilakukan oleh PT Terapan Nilai Osilasi Indnesia adalah adanya pernyataan dari PT Terapan
Nilai Osilasi Indonesia mengenai kewajiban PT Manunggal Engineering untuk pembayaran
Pilling Works sebesar Rp 2.547.980.453,00. Namun, perubahan kontrak yang disepakati
berdasarkan 7 Mei 2009 hanya membahas kewajiban PT Manunggal Engineering untuk
membayar Piling Material sebesar Rp 7.642.587.645,00.

Pada kasus 3, yaitu kasus PLTU Jawa Barat antara PT Truba Jaya Engineering sebagai
pengguna jasa dengan PT Adhi Karya sebagai penyedia jasa. Dasar pembatalan yang

digunakan oleh PT Truba Jaya Engineering adalah adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh
PT Adhi Karya, dimana PT Adhi Karya menuntut atas biaya keterlambatan sebesar Rp
21.715.905.090,00. Namun, tidak ada satu pasal perjanjian yang mengatur ganti rugi atas
keterlambatan, meskipun keterlambatan tersebut diakibatkan oleh PT Adhi Karya. Di lain
pihak, BANI menyatakan bahwa pengajuan tuntutan merupakan hak dari PT Adhi Karya
yang dijamin oleh hukum untuk mendapatkan kembali apa yang dilanggar oleh PT Truba
Jaya Engineering. Selain itu, alasan pembatalan putusan BANI yang diajukan oleh PT Truba
Jaya Engineering telah diperiksa sebelumnya pada proses pemeriksaan BANI. Oleh karena
itu, Pengadilan Negeri tidak berhak untuk menanggapii maupun mempertanyakan putusan
BANI, hal ini sesuai dengan Pasal 62 ayat (4) No. 30/1999 yang berbunyi sebagai berikut :
“Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan
Arbitrase”. Berdasarkan pasal ini, maka alasan BANI tidak dapat diperiksa dan alasan
pembatalan putusan BANI oleh PT Truba Jaya Engineering tidak dapat diterima.
Selanjutnya, pada kasus 6, yaitu Proyek Cirebon Superblock Mall antara PT Karya Bersama
Takarob sebagai pengguna jasa dengan PT Adhi Karya sebagai penyedia jasa yang mana
lokasi proyek ini berada di Jl Cipto Mangunkusumo. Pembatalan putusan BANI berawal dari
adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh PT Adhi Karya, yaitu dengan menunjukkan adanya
tagihan pada termin ke VII sebesar Rp 7.458.434.820,00 mengandung cacat administrasi
karena tidak ditandatangani dan disetujui oleh PT Karya Bersama Takarob. Tidak
ditandatanganinya administrasi perihal tagihan termin tersebut karena adanya perbedaan
penilaian volume pekerjaan, dimana penilaian antara PT Karya Bersama Takarob dengan PT
Adhi Karya tidak sama. Berdasarkan hal tersebut sudah jelas adanya tipu muslihat dan
penggunaan dokumen yang tidak sah yang dilakukan oleh PT Adhi Karya yang memengaruhi
BANI dalam menjatuhkan putusan. Namun di lain pihak, PT Karya Bersama Takarob hanya
karena tidak puas atas putusan BANI yang diterima dan disebabkan karena PT Karya
Bersama Takarob tidak mampu mempertimbangkan termasuk dalam golongan tipu muslihat
atau penggunaan dokumen yang tidak sah sehingga menjadi tidak jelas. Oleh karena itu,
Pengadilan Negeri memutuskan alasan yang digunakan oleh PT Karya Bersama Takarob
menjadi kabur dan tidak dapat diterima.
Pada kasus 8, yaitu terjadinya wanprestasi antara PT Manunggal Engineering dengan PT
Multi

Adverindo

dan

PT

Geostructure

Dinamics.

PT

Manunggal

Engineering

mengungkapkan adanya pemberian surat kuasa oleh PT Multi Adverindo dan PT
Geostructurla Dinamics memberikan surat kuasa hukum selaku pemohon dalam persidangan

BANI sebelumnya. Adapun surat kuasa yang digunakan tidak bersifat khusus yang dapat
mewakili persidangan dan tidak menyebutkan secara legkap subjek dan objek perkara. Selain
itu, pengangkatan Arbiter ke-3 tidak sah menurut PT Manunggal Engineering karena
pengangkatan arbiter ke-3 merupakan kesepakatan bersama. Namun BANI menunjuk arbiter
ke-3 atas kehendak sendiri tanpa adanya kesepakatan dari PT Manunggal Engineering, PT
Multi Adverindo, dan PT Geostructrual Dinamics. Dalil yang digunakan oleh PT Manunggal
Engineering tidak berdasar hukum dan mengada-ada karena dalil tersebut seharusnya
diajukan dalam proses pemeriksaan arbitrase, bukan dalam Pengadilan Negeri. Oleh karena
itu, Pengadilan Negeri memutuskan untuk menolak permohonan PT Mangunggal
Engineering.
Kasus 10 yaitu Kasus Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Jalan BTS, Jabar, Tegal, Slawi
antara Ir. Krido Lucky Widyantoro, M.M., Ir. Eddy Soetano, M.T., Ir. Herman Suroyo, M.T.,
Sumarjono, S.T., M.T., dan Ir. Noertjahjo Widodo, M.T., yang kemudian disebut sebagai
Para Pemohon sebagai pengguna jasa dengan PT Bumirejo dan PT Brantas Abipraya, Joint
Operation yang kemudian disebut dengan BBJO. BBJO yang pada awalnya adalah Pemohon
dalam BANI yang kemudian permohonannya dikabulkan sebagian berupa mendapat ganti
rugi sebesar Rp 26.871.672.000,00 dalam putusan BANI No. 516/V/ARB-BANI/2013
tanggal 28 Januari 2014. Para Pemohon kemudian menyatakan pembatalan kepada
Pengadilan Negeri Tegal karena adanya unsur tipu muslihat berupa suspensi dari Bank Dunia
yang disembunyikan oleh BBJO. Selain itu, Para Pemohon menyatakan Majelis Arbiter cacat
hukum karena penunjukan arbiter oleh Para Pemohon terlambat dan adanya arbiter sepihak
tanpa melalui penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, alasan-alasan
yang diajukan oleh Para Pemohon sudah diperiksa sebelumnya dalam proses pemeriksaan
BANI, sehingga Pengadilan Negeri Tegal tidak memiliki wewenang berdasarkan Pasal 62
ayat (4) UU No. 30/1999. Kewenangan Pengadilan Negeri sebatas pembatalan putusan
BANI, bukan memeriksa alasan putusan BANI sepanjang memenuhi unsur Pasal 70 UU No.
30/1999. Adapun alasan yang diajukan harus dibuktikan dengan putusan pengadilan,
sehingga pengadilan menyatakan alasan-alasan tersebut dapat atau tidak dijadikan sebagai
pertimbangan pembatalan putusan. Di lain sisi, BBJO menyatakan bahwa surat dari Bank
Dunia merujuk kepada Para Pemohon karena Bank Dunia bekerja sama dengan Pemerintah
Republik Indonesia. Oleh karena itu, tidak mungkin surat tersebut untuk BBJO, melainkan
untuk Para Pemohon. Menanggapi tanggapan dari Para Pemohon dan BBJO, Pengadilan
Negeri Tegal memutuskan untuk menolak permohonan dari Para Pemohon dan
menghukumnya untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 342.000,00. Tidak puas dengan

putusan Pengadilan Negeri Tegal, Para Pemohon mengajukan banding ke Mahkamah Agung
yang pada intinya Pengadilan Negeri Tegal tidak menilai dan mempertimbangkan unsur tipu
muslihat yang telah diungkapkan sebelumnya karena kehilangan kewenangan. Namun karena
alasan banding Para Pemohon tidak memiliki bukti yang kuat, maka Mahkamah Agung
menolak permohonan banding Para Pemohon dan menghukum Para Pemohon membayar Rp
500.000,00.

Selain dari tiga unsur di atas, maka apapun alasan yang digunakan tidak dapat dijadikan
sebagai dasar pembatalan BANI. Apa pun pertimbangannya, tentu pengajuan pembatalan
selain tiga unsur di atas merupakan hal yang sia-sia karena tidak mungkin dapat
dimenangkan. Terlebih lagi putusan BANI tidak dapat dibatalkan, tidak dapat diubah isinya
berupa tuntutan balik, baik menuntut dari pihak perseorangan maupun dari sebuah badan.
Sebagai contoh pada kasus 4, yaitu Tender Pembangunan Dermaga antara PT Hutama Karya
sebagai penyedia jasa dengan PT Krakatau Bandar Samudra sebagai pengguna jasa, dimana
proyek ini berlokasi di Dermaga Pelabuhan Cigading, Banter. PT Hutama Karya menolak
putusan BANI, yang mana BANI menjatuhkan putusan menghukum PT Hutama Karya
membayar seluruh biaya administrasi.

Pada intinya PT Hutama Karya tidak puas karena BANI menganggap sistem pembayaran
Fixed Lump Sum Price menjadi seluruh tanggung jawab dari PT Hutama Karya serta tidak
mempertimbangkan notulen rapat dimana terdapat kesepekatan pada tanggal 28 Juli 2009
yang menyetujui bahwa tanah dengan SPT > 50 bukan tanggung jawab kontraktor (PT
Hutama Karya). Kondisi tersebut menghilangkan kewajiban PT Krakatu Bandar Samudra
untuk bertanggung jawab terhadap pekerjaan tanah (karang) keras yang telah dilakukan oleh
PT Hutama Karya karena sebelumnya pada tanggal 27 Agustus 2010 PT Krakatau Bandar
Samudra berkeinginan untuk volume pekerjaan karang keras hanya diperhituungkan sebesar
denda 5% dari nilai kontrak. Pada kasus ini, jelas terlihat bahwa alasan yang digunakan oleh
PT Hutama Karya tidak ada satupun yang mewakili unsur dari Pasal 70 No. 30.1999. Hal
yang dilakukan oleh PT Hutama Karya merupakan hal sia-sia karena pihak lawan langsung
membalas pernyataan dari PT Hutama Karya dengan alasan tidak ada satupun alasan yang
dikemukakan mengandung unsur dari Pasal 70 No. 30/1999, dan itupun sudah cukup untuk
Pengadilan Negeri membatalkan permohonan dari PT Hutama Karya walaupun pihak dari PT
Hutama Karya menggunakan alasan dengan berbagai pasal.

Selain itu, pembatalan putusan BANI atas Pasal 70 No. 30/1999, tidak mungkin ada bukti
yang diajukan adalah hal yang sama, namun melanggar dua unsur sekaligus, yang mana
terjadi pada kasus 9 yaitu Proyek Pembangunan Komplek Griya Kemayoran antara PT Tunas
Diptapersada sebaga pengguna jasa dengan PT Hutama Karya dan PT Hutama Binamaint
Join Operation sebagai penyedia jasa. Perjanjian atar pihak terkait terikat dalam SPK No.
004/TDP/SPK/PMBG/1/96 yang mnegatur tentang pemborongan. Dalam pelaksanaannya PT
Hutama Karya dan PT Hutama Binamaint Join Operation mengalami keterlambatan dan
membuat SPK baru No. HK-BM/1040/SP.B-GK/34 tanpa sepengetahuan dan ditandatangani
PT Tunas Diptapersada dan SPK tersebut diajadikan sebagai dasar klaim pada persidangan
BANI. PT Tunas Diptapersada menyatakan bahwa SPK tersebut cacat hukum. Oleh karena
itu dokumen yang diajukan dalam persidangan merupakan dokumen palsu. Di lain sisi, PT
Tunas Diptapersada mengatakan bahwa dokumen tersebut disembunyikan oleh PT Hutama
Karya dan PT Hutama Binamaint Join Operation. Berdasarkan pernyataan PT Tunas
Diptapersada, sungguh jelas tidak masuk akal karena bangaimana mungkin dokumen yang
diajukan palsu dan kemudian dokumen tersebut disembunyikan selama proses pemeriksaan.
Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar.

Penutup
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan sebagai
berikut :
a.

Penyebab utama klaim yang terjadi adalah karena 2 hal yatu wanprestasi, dan faktor
alam dan administrasi.

b.

Pemilihan untuk penyelesaian sengketa dapat melalui BANI dan Pengadilan Negeri
dengan pertimbangan bila penyelesaian sengketa melalui BANI jauh lebih singkat yaitu
selama 1 bulan, namun biaya yang dikeluarkan mahal yaitu berkisar antara Rp.
200.000.000 – Rp. 850.000.000, sedangkan melalui Pengadilan Negeri membutuhkan
waktu paling cepat tiga bulan untuk kasus ringan dan biaya yang dikeluarkan jauh lebih
murah yaitu berkisar Rp. 350.000 – Rp. 600.000

c.

Pada dasarnya pengajuan di Pengadilan Negeri berdasarkan putusan yang didapat
adalah untuk menyelesaikan sengketa, adapun sengketa yang di maksud adalah
pembatalan putusan BANI berdasarkan Pasal 70 No. 30/1999.

Adapun saran penulis sebagai berikut :

a. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk penyelesaian klaim melalui mediasi dan
negosi.
b. Mengunakan data primair seperti benuk kontrak yang digunakan sehingga dapat
mengkaji lebih dalam.

Daftar Referensi
Barrie, D.S., and Paulson, B. C. (1992). Professional Construction Management. New York :
Mc. Graw-Hill.
Chaterine Tay, Swee Kian and Tang, See Chim. (2004). Contract Law : Marshall Cavendish
International.
Chow Kok Fong. (2006). Construction Contract Dictionary : Sweet and Maxwell Asia.
Edward R., Fisk, P.E. (1997). Construction Project Administration. New Jersey : Fifth
Edition, Prentice Hall.
Ervianto, wolfram. (2009). Manajemen Proyek Konstruksi.
Garner, Bryan A. (2004). Black;s Law Dictionary : Thomson West.
Lukman ali et al. (1994). Kamus Besar Bahasa Indonesia : Balai Pustaka.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan Mahkamah Agung. Diakses pada tanggal 4
November 2015.
http://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/mahkamahagung/direktori/perdata-khusus.
Malak, A., Asem, M.U., El-Saadi, M. M.H., Abouzed, M.G. (2002). Journal of Construction
Engineering and Management.
Margono, Suyud. Alternative Dispute Resolution And Arbitrase – Proses Pelembagaan dan
Aspek Hukum. Indonesia : Ghalia.
Mertokusumo, Sudikno. (2002). Penemuan Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberti.
PP No. 24 tahun 2005. Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan, Standar Akutansi
Pemerintah, p.1,p.4.
UU No. 30 tahun 1999. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Yasin, Ir. H. Nazarkhan. (2004). Mengenal Klaim Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa
Konstruksi. Indonesia : Gramedia Pustaka Utama.
Yasin, Ir. H. Nazarkhan. (2006). Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia. Indonesia :
Gramedia Pustaka Utama.

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65