Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Indo

Kompasiana, 24 November 2014

Arif Rohman
School of Humanities and Social Sciences
Charles Sturt University

Cite:
Rohman, Arif. (2014). Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Indonesia: Hambatan,
Tantangan dan Peluang. Kompasiana, 24 November 2014.

Pendahuluan
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa tujuan pembentukan
Negara
Indonesia
adalah
untuk
melindungi
segenap
tumpah
darah
Indonesia,memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial. Sebagai perwujudan dari cita-cita luhur tersebut maka
pembangunan kesejahteraan sosial diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan
dan kemampuan para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dalam
menyelesaikan masalahnya secara bersama-sama, agar peningkatan taraf kesejahteraan
masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat 1, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009
tentang Kesejahteraan Sosial, dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang
Penanganan Fakir Miskin, mengamanatkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar
adalah tanggung jawab negara. Negara bertanggung jawab untuk mengatur dan
memastikan bahwa hak untuk hidup sejahtera bagi seluruh lapisan masyarakat dipenuhi,
khususnya mereka yang hidup tidak layak secara kemanusiaan, seperti : (1) Kemiskinan;
(2) Keterlantaran, (3) Kecacatan, (4) Keterpencilan, (5) Ketunaan sosial dan
penyimpangan perilaku, (6) Korban bencana, dan (vii) Korban tindak kekerasan,
eksploitasi dan diskriminasi.
Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi Deklarasi Millennium
Development Goals (MDG’s), menjadikan MDG’s sebagai orientasi pembangunan dan
mengadopsi tujuan serta target sasarannya ke dalam rencana pembangunan nasional
1


Kompasiana, 24 November 2014

sehingga Kementerian Sosial dalam menjalankan kebijakan dan program pembangunan
kesejahteraan sosial tidak hanya memiliki keberpihakan pada orang miskin (pro poor)
dan keberpihakan pada keadilan (pro justice), namun juga berorientasi pada pencapaian
MDG’s.
Mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014
yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010, terutama dalam
mendukung dan mencapai Prioritas Pembangunan Nasional, maka upaya-upaya dalam :
(1) Penanggulangan kemiskinan; (2) Pengelolaan bencana, serta (3) Daerah tertinggal,
terdepan, terluar dan pasca konflik, menjadi bagian tugas Kementerian Sosial.
Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian Sosial RI memiliki visi ‘Terwujudnya
Kesejahteraan Sosial Masyarakat’. Guna mewujudkan visi tersebut, Kementerian Sosial
menetapkan tiga misi yang akan dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan
yaitu : (1) Meningkatkan aksesibilitas masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan dasar
melalui rehabilitasi sosial, perlindungan dan jaminan sosial serta pemberdayaan sosial
dan penanggulangan kemiskinan; (2) Meningkatkan profesionalisme sumber daya
manusia kesejahteraan sosial dalam penyelenggraan kesejahteraan sosial; dan (3)
Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan kesejahteraan
sosial.


Keberhasilan dan Capaian
Kementerian Sosial RI selama ini sudah berbuat banyak terhadap upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sebagai contohnya, pada tahun 2013 Kementerian
Sosial RI sudah berhasil melakukan capaian sebagai berikut :
1. Meningkatnya kesejahteraan sosial fakir miskin
Pada tahun 2013, Kementerian Sosial berhasil meningkatkan kemampuan 127.430 KK
fakir miskin dalam pemenuhan kebutuhan dasar, dan membantu 2.400.000 KSM
(Keluarga Sangat Miskin) dalam mengakses fasilitas pelayanan dasar.
2. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial
Pada tahun 2013, Kementerian Sosial berhasil meningkatkan partisipasi 4.722 LKS
(Lembaga Kesejahteraan Sosial) dan 6.843 TKS (Tenaga Kesejahteraan Sosial) dalam
menyelenggarakan usaha kesejahteraan social.
3. Meningkatnya pelayanan, perlindungan dan rehabilitasi sosial menuju kemandirian
Pada tahun 2013, Kementerian Sosial berhasil membantu meningkatkan kemampuan
dasar 6.535 penerima manfaat dalam melakukan aktifitas sehari-hari, dan membantu
278.314 penerima manfaat dalam memenuhi kebutuhan dasar.
4. Meningkatnya kemampuan masyarakat dalam mengurangi resiko bencana
2


Kompasiana, 24 November 2014

Pada tahun 2013, Kementerian Sosial sudah berhasil meningkatkan kemampuan
kesiagaan 90 KSB (Kampung Siaga Bencana) dan 440 desa dalam menangani
bencana. Kementerian Sosial juga telah melindungi 140.931 orang dalam pemenuhan
kebutuhan dasarnya poada situasi darurat, disamping telah memulangkan 11.000
pekerja migrant bermasalah dalam rangka melindungi hak dasar mereka.
5. Meningkatnya kualitas penyelenggara kesejahteraan sosial
Pada tahun 2013, Kementerian Sosial telah berhasil memverifikasi 12.667 PMKS,
meningkatkan persentase akreditasi LKS sebanyak 75%, disamping persentaseSDM
Kesejahteraan Sosial yang tersertifikasi kompetensi penyelenggaraan Kesejahteraan
sosial sebanyak 100% dari target yang telah ditetapkan.
6. Meningkatnya pengawasan internal bidang kesejahteraan sosial yang transparan dan
akuntabel
Pada tahun 2013, opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan
Kementerian Sosial adalah WTP (Wajar Tanpa Pengecualian).
7. Meningkatnya efisiensi, efektifitas manajemen kesejahteraan sosial
Pada tahun 2013, Kementerian Sosial berhasil manaikkan persentase penilaian usulan
road map reformasi birokrasi sebesar 85%.


Isu Strategis dan Analisis Situasi
Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, Kementerian Sosial perlu
memperhatikan isu-isu strategis yang ada saat sekarang. Isu-isu strategis tersebut
diantaranya mencakup :
1. Sejak diberlakukannya otonomi daerah melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
yang kemudian digantikan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, telah menyebabkan perubahan yang mendasar dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahan, khususnya di bidang pembangunan kesejahteraan
sosial. Otonomi daerah memang memudahkan daerah untuk lebih memahami dan
mengatasi masalah sosialnya dan memberikan keleluasaan untuk mengembangkan
kemampuan dalam menyusun skala prioritas pembangunan kesejahteraan sosial
sesuai dengan permasalahan-permasalahan sosial yang ada. Tetapi di sisi lain,
peralihan titik berat otonomi di tingkat kabupaten dan kota mengakibatkan
pergeseran bobot penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan sosial yang selama
ini dilaksanakan oleh Kementerian Sosial :
a. Dari pendekatan bidang (sectoral approach) ke wilayah (regional approach)
b. Dari sistem pelayanan langsung (direct services) ke pelayanan tidak
langsung(indirect services).
3


Kompasiana, 24 November 2014

2. Pemerintah Indonesia saat ini menghadapi beban ganda dalam pembangunan
kesejahteraan sosial. Belum tuntasnya permasalahan sosial yang sifatnya klasik atau
konvensional seperti kemiskinan dan keterlantaran, muncul pula permasalahan sosial
baru seperti perdagangan manusia (human trafficking), ataupun anak yang
berhadapan dengan hukum (children in conflict with the law). Kesemuanya itu
membutuhkan upaya perlindungan sosial dan pelayanan sosial yang sifatnya segera
dan tepat sasaran. Tercatat, jumlah penduduk miskin saat ini yaitu 2,5 juta RTSM,
diiringi dengan keterlantaran 7.191.551 orang, kecacatan 2.126.785 orang,
keterpencilan 213.080 KK, ketunaan dan penyimpangan perilaku 3.872.287 orang,
korban bencana 1.416.744 orang, serta korban tindak kekerasan, eksploitasi dan
diskriminasi sebanyak 889.987 orang (Pusat data dan Informasi Kesejahteraan Sosial,
2012).
3. Perubahan paradigma pembangunan kesejahteraan sosial dari :
Perspektif rehabilitasi (rehabilitation-based) ke perlindungan (rights-based)
Berbasis institusi atau kelembagaan (institutional-based) ke keluarga atau
masyarakat (family/community-based)
Pendekatan layanan yang sifatnya sepotong-sepotong (fragmented-project) ke
pendekatan layanan yang sifatnya utuh atau integral (holistic-sustainable).

4. Kecenderungan pembangunan kesejahteraan sosial yang masih menempatkan
masyarakat sebagai objek, bukan sebagai subjek pembangunan; mengakibatkan
kesempatan masyarakat untuk mengemukakan pendapat dan memilih dalam rangka
penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan sosial menjadi sangat terbatas. Peran
aktif masyarakat dalam pembangunan kesejahteraan sosial, yang meliputi
pengabdian masyarakat (to serve), pelaksanaan advokasi (to advocate), dan
pelaksanaan pengawasan sosial (to watch), masih kurang, dan bahkan cenderung
menurun. Berbagai masalah kesejahteraan sosial yang timbul dewasa ini, tidak perlu
terjadi bila peran aktif masyarakat yang telah meningkat di masa lampau, dapat
dipertahankan.
5. Upaya pemerataan, dan keterjangkauan pelayanan kesejahteraan sosial dan yang
efisien dan bermutu masih belum optimal. Perhatian pada masyarakat miskin, rentan
dan berisiko tinggi serta penanganan masalah pengungsi khususnya anak akibat
bencana masih belum memadai. Demikian juga halnya pelayanan dan perlindungan
sosial di daerah terpencil dan tertinggal, daerah perbatasan, serta daerah
pengembangan masih perlu ditingkatkan. Kondisi ini juga antara lain disebabkan
karena jumlah, kualitas, dan pemerataan tenaga sosial yang masih belum memadai.
4

Kompasiana, 24 November 2014


6. Peran Kementerian Sosial RI yang masih terbatas, terutama dalam menciptakan
model fasilitator dan pendayagunaan tenaga sosial. Kurang dilibatkannya para
pekerja sosial professional di dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial di lini
depan (front-line) mengakibatkan kurangnya kesempatan profesi pekerjaan sosial
dalam menunjukkan kapasitasnya sebagai profesi pembeda dalam pembangunan
kesejahteraan sosial yang ada.
7. Standar dan pedoman pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial dirasakan
masih kurang memadai, baik jumlah maupun kualitasnya. Penelitian dan
pengembangan yang terkait dengan pembangunan kesejahteraan sosial juga belum
optimal, termasuk pemanfaatan hasil-hasil penelitian. Pengembangan sumberdaya
kesejahteraan sosial juga masih belum merata dan belum sesuai dengan kebutuhan
yang ada saat ini.

Implikasi Masa Mendatang
Kementerian Sosial RI sebagai salah satu lembaga negara yang mengemban amanat
rakyat, dituntut untuk lebih profesionalime, transparan dan akuntabel dalam
penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan sosial. Hal ini membawa implikasi pada
perubahan-perubahan yang dapat dipertimbangkan untuk dilakukan oleh Kementerian
Sosial di masa mendatang.

Pertama, Kementerian Sosial harus lebih tegas dan konsisten dalam menjalankan tugas
pokok dan fungsinya dengan mempertimbangkan asas otonomi daerah, sehingga
kemungkinan untuk mengambil apa yang bukan menjadi tugas pokok dan fungsinya
dapat dihindari. Artinya, Kementerian Sosial tidak melakukan pelayanan yang sifatnya
teknis dan langsung. Jika tidak, maka energi Kementerian Sosial akan habis dan justru
mengabaikan tugas pokok dan fungsinya sendiri yang meliputi : (1) Perumusan,
penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang sosial; (2) Pengelolaan barang
milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Sosial; (3)
Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Sosial; (4) Pelaksanaan
bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Sosial di daerah;
dan (5) Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional.
Kedua, Kementerian Sosial harus lebih serius, professional, dan percaya diri dalam hal
pengumpulan data, pengolahan data, dan publikasi data penyandang masalah
kesejahteraan sosial. Hendaknya publikasi data dapat didistribusikan ke semua mitra,
5

Kompasiana, 24 November 2014

baik itu lembaga pemerintah, lembaga non-pemerintah, maupun lembaga PBB. Hal ini
dikarenakan, banyaknya keluhan-keluhan mengenai kesulitan dalam mendapatkan data

tentang permasalahan di bidang kesejahteraan sosial, sementara saat ini adalah era
keterbukaan informasi. Publikasi online juga bisa menjadi alternatif dalam penyebaran
data dan informasi kesejahteraan sosial. Hal ini juga berlaku untuk buku-buku pedoman
dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial dan termasuk didalamnya peraturan
perundang-undangan sosial, agar isu kesejahteraan sosial menjadi arus
utama (mainstreaming) di dalam pembangunan di daerah. Hal ini dikarenakan
perubahan yang sangat cepat di daerah yang diakibatkan karena mutasi, dimana
terkadang dokumen-dokumen dan buku-buku pedoman kesejahteraan sosial yang
dibutuhkan hilang atau terbawa pejabat yang lama. Diharapkan nanti ada keseragaman
pemahaman bahwa pembangunan kesejahteraan sosial bukanlah kegiatan
menghabiskan uang pemerintah daerah saja (charity), namun lebih merupakan investasi
manusia (human investment) untuk masa mendatang yang sifatnya strategis. Perlu
dipikirkan bagaimana mendistribusikan buku-buku tersebut bisa sampai ke tingkat
propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, bahkan sampai tingkat desa di Indonesia.
Ketiga, cepatnya perkembangan isu dalam penyelenggaraan pembangunan
kesejahteraan sosial mau tidak mau menuntut kebutuhan akan pekerja sosial
professional di waktu mendatang. Kementerian Sosial perlu melakukan pengembangan
kapasitas pegawainya secara massive, baik melalui pendidikan dan pelatihan internal
maupun yang melibatkan pihak luar. Kementerian Sosial juga perlu melakukan
penempatan staff, sesuai dengan latar belakang keilmuannya dilakukan (the right man

in the right place), karena ini menyangkut efisiensi sebuah organisasi. Sebagai
contohnya, menempatkan seorang staff dengan latar belakang pekerjaan sosial sebagai
staf keuangan atau administrasi bukanlah hal yang tepat. Mungkin staf tersebut lama
kelamaan akan mahir, namun hal tersebut membutuhkan waktu yang relatif lama,
sedangkan Kementerian Sosial selalu dituntut untuk bekerja secara efektif, efisien dan
professional, sehingga pegawai dengan latar belakang administrasi, akuntansi atau
ekonomi yang lebih tepat untuk posisi itu.
Keempat, Kementerian Sosial RI seringkali berhasil dalam melaksanakan programnya,
tetapi kemudian ditinggalkan begitu saja atau diganti dengan konsep lain yang merusak
konsep awal (tidak ada keberlanjutan). Sebagai contohnya, pengembangan Karang
Taruna pada tahun 1960 di setiap pelosok kampung dan desa di Indonesia dengan
animo yang sangat luar biasa. Tapi entah kenapa, Kementerian Sosial kemudian seolaholah meninggalkan begitu saja dan tidak peduli. Sebagai akibatnya, banyak Karang
Taruna yang mati, sementara wadah ini penting sekali dalam mewadahi kreatifitas para
pemuda dengan kegiatan yang bermanfaat (olah raga, pengajian, keterampilan, seni,
dsb), disamping dapat memperkuat pendidikan karakter kebangsaan. Kelompok Usaha
6

Kompasiana, 24 November 2014

Bersama (KUBE) juga nasibnya tidak jauh berbeda dengan Karang Taruna.
Pendampingan yang kurang professional, monitoring dan evaluasi yang tidak berjalan
sebagaimana mestinya, korupsi di tingkat lokal, mengakibatkan capaian keberhasilan
program yang selama ini sudah baik, menjadi turun drastis. KUBE yang mulai
dilaksanakan dulu pada tahun 1983-an, dimana sangat kuat dalam pendampingannya
(proses persiapan serta sosialisasi yang memakan hampir setahun), tiba-tiba berubah
menjadi program instan. Belum lagi ditambah dengan munculnya KUBE aspiratif yang
konsepnya tidak jelas. Dikhawatirkan, hal ini juga akan terjadi dengan program Taruna
Siaga Bencana (Tagana) yang saat ini dinilai sangat berhasil dan mendapat simpati serta
dukungan penuh dari masyarakat. Tagana saat ini sudah berumur 10 tahun, sejak
dibentuk pada tanggal 24 Maret 2004.
Kelima, berpijak pada isu otonomi daerah, dan masih minimnya sumber daya manusia di
daerah, maka Kementerian Sosial RI perlu segera mengambil tindakan. Peran lembaga
pendidikan dan pelatihan kesejahteraan social perlu lebih diintensifkan. Diharapkan para
pendamping sosial ke depan dapat menerapkan prinsip dan nilai-nilai professional
pekerjaan sosial di lapangan (misalnya prinsip anti-diskriminasi, pengakuan akan harkat
dan martabat manusia, penerima manfaat program memiliki kesempatan yang sama,
dan penghargaan atas keragaman atau keunikan tiap-tiap individu).
Keenam, Kementerian Sosial RI harus mampu menjadikan panti-panti sosial dibawahnya
sebagai pusat percontohan (centre of excellence), sehingga panti-panti yang dimiliki
pemerintah daerah yang sedang tumbuh dapat melihat dan belajar darinya.
Kementerian Sosial RI juga bisa melakukan capacity building dengan menitipkan para
pekerja sosial yang dimilikinya ke panti-panti swasta atau panti-panti milik pemerintah
daerah yang masih membutuhkan tenaga pekerjaan sosial (seperti yang sudah
dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan mengirimkan guru-guru
bantu atas permintaan daerah). Kementerian Sosial sebenarnya sudah mengarah ke
sana dengan mengirimkan Satuan Bhakti Pekerjaaan Sosial (Sakti Peksos) ke daerahdaerah yang panti-panti anaknya masih membutuhkan tenaga pekerja sosial. Mungkin
ini perlu ditindaklanjuti dan ditingkatkan, misalnya dalam pengembangan masyarakat,
seperti pekerja sosial kecamatan (PSK) jika dibutuhkan oleh daerah. Namun demikian,
tentu saja ide ini harus dimatangkan terlebih dahulu, dan mungkin perlu di selaraskan
dengan keberadaan fasilitator PKH di masing-masing daerah.
Ketujuh, Kementerian Sosial perlu menginventarisir kembali semua nota
kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) yang sudah dilakukan dengan
lembaga-lembaga internasional. Harus ada kontribusi yang kongkrit dari lembagalembaga internasional yang ada, disamping kontribusi mereka di masyarakat, misalnya
dalam bentuk asistensi teknis (technical assistance) untuk para pekerja sosial yang ada
7

Kompasiana, 24 November 2014

di panti-panti, penerbitan dokumen-dokumen, buku-buku, laporan-laporan penelitian
termasuk mungkin translasi ke bahasa Inggris bila diperlukan. Ini penting sekali dalam
menunjukkan hasil kerja nyata kita di mata dunia internasional. Kritik yang ada selama
ini adalah lembaga pemerintah melakukan banyak tapi laporan sedikit, sedangkan
lembaga non-pemerintah melakukan sedikit tetapi kemasan laporannya seringkali
membuat kita terkagum-kagum. Diharapkan laporan kegiatan kita bisa menjadi bestpractice bagi kegiatan-kegiatan di negara lain yang memiliki karakteristik permasalahan
sosial yang serupa. Dukungan lain yang belum digarap dengan baik yaitu dengan
kalangan dunia usaha. Sama dengan mitra internasional, mereka dapat membantu
dalam penyelenggaraan pelatihan, workshop atau kegiatan lainnya yang dirasa penting.
Kedelapan, Kementerian Sosial RI hendaknya di masa mendatang memberikan
penyuluhan ke daerah-daerah bahwa meskipun otonomi daerah, namun visi dan misi
dinas atau instansi sosial di daerah harus tetap merujuk pada visi dan misi Kementerian
Sosial RI. Program-program Kementerian Sosial RI yang sifatnya penumbuhan nilai-nilai
luhur dan kearifan lokal (local wisdom) seperti, gotong royong, kesetiakawanan sosial,
kepahlawanan, toleransi agama dan lainnya, hendaknya jangan bersifat ceremonial saja.
Mungkin bisa diarahkan kepada hal-hal yang bersifat nyata dan menunjukkan rasa
kepedulian kita terhadap sesame, seperti penggalangan dana, perbaikan rumah kumuh,
dsb. Setiap program ataupun kebijakan yang ditetapkan harus didukung oleh penelitian
yang dilakukan sebelumnya (research-based), sehingga program atau kebijakan tersebut
tidak asal-asalan dan bisa dipertanggungjawabkan. Ingat pada pepatah ‘Failing to plan
is planning to fail’ (gagal merencanakan berarti merencanakan kegagalan). Kegiatan
monitoring dan evaluasi hendaknya juga benar-benar dilakukan dan tidak bersifat
formalitas saja, sehingga hasilnya benar-benar dapat menunjang perbaikan program
yang sedang berjalan atau program-program di masa mendatang.
Demikian, semoga artikel ini bermanfaat bagi para pengambil kebijakan di Kementerian
Sosial.

Lampiran :
Millennium Development Goals (MDGs) atau dalam “Tujuan Pembangunan Milenium”,
adalah sebuah paradigma pembangunan global yang dideklarasikan Konferensi Tingkat
Tinggi Milenium oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New
York pada bulan September 2000. Pemerintah Indonesia turut menghadiri Pertemuan
Puncak Milenium di New York tersebut dan menandatangani Deklarasi Milenium
itu.Semua negara yang hadir dalam pertemuan tersebut berkomitmen untuk
8

Kompasiana, 24 November 2014

mengintegrasikan MDGs sebagai bagian dari program pembangunan nasional dalam
upaya menangani penyelesaian terkait dengan isu-isu yang sangat mendasar tentang
pemenuhan hak asasi dan kebebasan manusia, perdamaian, keamanan, dan
pembangunan.
Deklarasi ini merupakan kesepakatan anggota PBB mengenai sebuah paket arah
pembangunan global yang dirumuskan dalam beberapa tujuan yaitu:
1. Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan
2. Mencapai Pendidikan Dasar untuk semua
3. Mendorong Kesetaraan Gender, dan Pemberdayaan Perempuan
4. Menurunkan Angka Kematian Anak
5. Meningkatkan Kesehatan Ibu
6. Memerangi HIV/AIDs, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya
7. Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup
8. Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan.

9