Geografi Dialek Bahasa Batak Toba di Kabupaten Humbang Hasundutan

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1Konsep

Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal - hal lain (Alwi,dkk 2003: 558).

2.1.1 Dialek

Dialek adalah varian suatu bahasa yang berfungsi sebagai bahasa setempat. Dialek yang merupakan bahasa setempat itu bersifat turun-temurun. Dialek ini terjadi karena adanya isolasi alami dalam jangka waktu yang lama sehingga mereka yang asli tidak mengalami perubahan. Kemungkinan pula pada saat kedatangan orang lain ke sana mereka akan mempergunakan bahasa atau dialek itu sebagai bahasa pengantar (Bintarto dalam Bangun, 1984:9).

Dialek adalah sebagai sistem kebahasaan yang dipergunakan oleh satu masyarakat untuk membedakannya dari masyarakat lain yang bertetangga yang mempergunakan sistem yang berlainan walaupun erat hubungannya (Weijnen dalam Ayatrohaedi, 1983:1).

2.1.2 Geografi Dialek

Geografi dialek merupakan suatu bidang kajian dalam dialektologi yang mempelajari hubungan antarragam bahasa dan merupakan suatu bidang ilmu yang


(2)

mewadahi penelitian ragam-ragam bahasa dengan menggunakan dialektometri sebagai ukuran secara statistik untuk mengetahui seberapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat di tempat-tempat penelitian bahasa atau dialek berlangsung dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat yang diteliti.

Dubois dkk. (dalam Ayatrohaedi 1983: 29) mengatakan geografi dialek adalah cabang dialektologi yang bertujuan mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam-ragam bahasa dengan bertumpu kepada satuan ruang atau tempat terwujudnya ragam-ragam tersebut. Geografi dialek menyajikan hal-hal yang bertalian dengan pemakaian anasir bahasa yang diteliti pada saat penelitian dilakukan sehingga dapat dibuktikan (Jaberg dalam Ayatrohaedi, 1983:28).

2.1.3 Korespondensi dan Variasi

Korespondensi merupakan perubahan bunyi yang terjadi di antara dialek - dialek atau subdialek-subdialek secara teratur yang mengakibatkan terjadinya perbedaan dialek atau subdialek. Dari aspek linguistik, korespondensi terjadi dengan persyaratan lingkungan linguistik tertentu dan dari aspek geografi, korespondensi terjadi pada daerah pengamatan yang sama (Mahsun, 1995:29).

Variasi merupakan perubahan bunyi yang terjadi secara tidak teratur. Dari segi linguistik, variasi terjadi bukan karena persyaratan lingkungan linguistik tertentu dan dari segi geografi, variasi terjadi jika daerah sebaran geografisnya tidak sama.


(3)

2.1.4 Variasi Fonetik

Variasi ini berada di bidang fonologi dan biasanya si pemakai dialek atau bahasa yang bersangkutan tidak menyadari adanya variasi tersebut (Ayatrohaedi, 1983:3). Perbedaan fonetik dapat terjadi pada vokal ataupun pada konsonan. Sebagai contoh m∂rsakit ‘sakit’ di Kecamatan Parlilitan dengan kata marsahit ‘sakit’ di Kecamatan Pakkat dan Kecamatan Dolok Sanggul, kata b∂rŋin ‘malam’ di Kecamatan Parlilitan dengan borŋin ‘malam’ di Kecamatan Pakkat dan Kecamatan Dolok Sanggul, dan cucci ‘cuci’ di Kecamatan Pakkat dan Parlilitan dengan kata sussi ‘cuci’ di Kecamatan Dolok Sanggul

2.1.5 Variasi Leksikon

Suatu perbedaan disebut sebagai perbedaan dalam bidang leksikon, jika leksem-leksem yang digunakan untuk merealisasikan suatu makna yang sama tidak berasal dari satu etimon prabahasa. Semua perbedaan leksikon selalu berupa variasi (Mahsun, 1995:54). Sebagai contoh, kata abu ‘abu’ di Kecamatan Parlilitan, kata orbuk ‘abu’ di Kecamatan Pakkat dan Kecamatan Dolok Sanggul dan kata mbotoŋ ‘berat’ di Kecamatan Parlilitan, dokdok ‘berat’ di Kecamatan Pakkat, dan kata borat ‘berat’ di Kecamatan Dolok Sanggul.

2.1.6 Isoglos, Heteroglos, atau Watas Kata

Isoglos atau garis watas kata adalah garis yang memisahkan dua lingkungan dialek atau bahasa berdasarkan wujud atau sistem kedua lingkungan itu yang berbeda yang dinyatakan dalam peta peta bahasa (Dubois dkk. dalam


(4)

Ayatrohaedi, 1983:5). Garis watas kata ini kadang disebut juga sebagai heteroglos (Kurath dalam Ayatrohaedi, 1983:5). Isoglos juga memunyai arti, yaitu garis yang menghubungkan kata-kata atau bentuk-bentuk yang sama (Keraf, 1991:158).

2.1.7 Peta Bahasa

Gambaran umum mengenai sejumlah dialek akan tampak jelas jika semua gejala kebahasaan yang ditampilkan dari bahasa yang terkumpul selama penelitian dipetakan. Dalam peta bahasa tergambar pernyataan yang lebih umum tentang perbedaan dialek yang penting dari satu bahasa dengan daerah yang lain. Oleh karena itu, kedudukan dan peran peta bahasa dalam kajian geografi dialek mutlak diperlukan (Ayatrohaedi, 1983:31).

Peta peragaan merupakan peta yang berisi tabulasi data lapangan supaya data-data tergambar dalam perspektif yang bersifat geografis. Pengisian data lapangan pada peta peragaan dapat dilakukan dengan sistem:

1. Sistem langsung, yaitu dilakukan dengan memindahkan unsur-unsur kebahasaan yang memiliki perbedaan ke atas peta. Sistem ini dapat efektif bila unsur yang berbeda dimungkinkan dapat ditulis langsung pada daerah pengamatan,

2. Sistem lambang, yaitu dilakukan dengan mengganti unsur-unsur yang berbeda dengan menggunakan lambang tertentu yang ditulis di sebelah kanan daerah pengamatan yang menggunakan bentuk (untuk perbedaan fonologi, leksikon, morfologi, dan sintaksis) atau makna (untuk perbedaann semantik) yang dilambangkan,


(5)

3. Sistem petak, yaitu daerah pengamatan yang menggunakan bentuk atau makna tertentu yang dibedakan dengan daerah-daerah pengamatan yang menggunakan bentuk atau makna yang lain dipersatukan oleh sebuah garis, sehingga keseluruhan peta terlihat terpetak-petak menurut daerah-daerah pengamatan yang menggunakan unsur kebahasaan yang serupa (Mahsun, 1995:59-60).

2.2 Landasan Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Dialektologi Struktural, yaitu menganalisis perbedaan atau variasi isolek berdasarkan strukturnya, misalnya struktur bunyi dan juga perbedaan leksikon. Dalam teori ini dijelaskan bahwa dialek adalah kumpulan idiolek yang ditandai ciri-ciri yang khas dalam tata bunyi, kata-kata, ungkapan-ungkapan, dan lain-lain (Keraf dalam Bangun, 1984:9). Cabang ilmu linguistik yang khusus mengkaji dialek disebut dialektologi. Dalam praktiknya, studi dialektologi berkenaan dengan wilayah-wilayah atau daerah yang menjadi sorotannya untuk meneliti suatu dialek untuk berbagai tujuan. Wilayah atau daerah yang menjadi tempat penelitian variasi bahasa tersebut tentu berbeda satu sama lainnya, baik dari segi kontur wilayah, keadaan alam (lingkungan), mata pencaharian, agama, sampai adat-istiadat tersendiri.

Variasi leksikal dan variasi fonemis pada dialek bahasa Batak Toba di Kabupaten Humbang Hasundutan akan dianalisis berdasarkan teori dialektologi struktural. Dalam dialektologi struktural tidak mengelompokkan variasi-variasi


(6)

menurut apakah bentuk itu memiliki kesamaan secara fonetis atau tidak. Oleh karena itu, teori struktural ini membandingkan bentuk-bentuk individual tanpa melihat persamaan atau perbedaan, tetapi melihat bagian-bagian konstituen sistemnya.

Sistem fonemik pada suatu ragam bahasa dikaji berdasarkan suatu prinsip yang terkenal, yaitu penyebaran bunyi yang saling melengkapi, keserupaan bunyi, dan kewujudan pasangan-pasangan minimal bagi ragam yang dikaji.

Dialektologi struktural merupakan salah satu upaya untuk menerapkan dialektologi dalam membandingkan varietas bahasa (Chambers, 1990:54).

Petugas lapangan harus tahu tentang ragam bahasa yang memunyai sistem-sistem tersendiri, dan tidak harus bergantung semata-mata pada transkripsi fonetik. Peneliti hendaknya meninjau perbedaan fonemik dengan bertanya kepada informan apakah ada pasangan-pasangan kata yang mempunyai bunyi yang sama atau berirama.

Perbedaan unsur kebahasaan yang diteliti, yaitu dari bidang leksikon dan fonemis. Dikatakan perbedaan dalam bidang leksikon, jika leksem-leksem yang digunakan untuk merealisasikan suatu makna yang sama tidak berasal dari suatu etimon prabahasa (Mahsun, 1995:54). Contohnya, pada bahasa Batak Toba terdapat dua kata untuk merealisasikan kata ‘bakar’, yaitu tutuŋ dan idalaŋ.

Dikatakan perbedaan dalam bidang fonemis, jika variasi kata berada di bidang fonologi. Adanya perubahan bunyi yang berupa korespondensi dan variasi


(7)

mengisyaratkan adanya perbedaan fonologi yang berupa korespondensi dan variasi. Perbedaan fonetik dapat terjadi pada vokal maupun pada konsonan. Contohnya, ihur ‘ekor’ di Kecamatan Parlilitan dengan ekur ‘ekor’ di Kecamatan Pakkat dan Kecamatan Dolok Sanggul.

Sama halnya dengan perbedaan unsur kebahasaan dalam bahasa Batak Toba, variasi perbedaan bahasa atau dialek juga penting. Teori yang dipaparkan di atas menunjukkan seperti apa perbandingan antarvariasi dialek di Kabupaten Humbang Hasundutan.

2.3 Tinjauan Pustaka

Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pemetaan kebahasaan dapat disampaikan sebagai berikut:

Bangun, dkk (1982) dengan penelitian yang berjudul “Geografi Dialek Bahasa Batak Toba”, dalam penelitian tersebut peneliti menyatakan bahwa bahasa Batak Toba terdiri atas lima dialek yaitu dialek Silindung, dialek Humbang, dialek Toba, dialek Samosir, dan dialek Sibolga. Ciri yang digunakan sebagai pembeda adalah perbedaan fonologis, perbedaan morfologis, dan perbedaan semantis.

Widayati (1997) dalam tesisnya yang berjudul “Geografi Dialek Bahasa Melayu di Wilayah Timur Asahan”, mengkaji bidang fonologi dan leksikal. Deskripsi leksikal menunjukkan adanya beberapa perbedaan dengan bahasa Melayu Umum dan dalam bahasa Melayu Asahan terdapat dua dialek, yaitu dialek Batubara dan dialek Tanjung Balai.


(8)

Khairiyah (1999) dalam skripsinya yang berjudul “Geografi Dialek Bahasa Melayu di Kecamatan Tanjung Pura”, terdapat variasi yang disebabkan oleh faktor geografis, faktor mobilitas penduduk, dan faktor sosiologis. Variasi fonologi dapat dilihat kesejajarannya dengan variasi leksikal yang secara bersama membedakan kelompok-kelompok titik pengamatan hasil perhitungan dialektometri. Berdasarkan uraian dan perhitungan dialektometri, bahasa Melayu di Kecamatan Tanjung Pura memiliki perbedaan wicara, yaitu perbedaan wicara Melayu Dataran Tinggi dan perbedaan wicara Melayu Pesisir.

Kaban (2000) dalam skripsinya yang berjudul “Geografi Bahasa Batak Karo di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo”, membahas variasi-variasi pada bidang leksikon dan fonologi. Dengan perhitungan dialektometri diketahui ada dua subdialek yang berbeda, yaitu subdialek Surbakti dan subdialek Tigapancur.

Nasution (2001) dalam skripsinya yang berjudul ”Geografi Dialek Bahasa Mandailing di Kecamatan Lembah Melintang”, membahas tentang variasi di bidang leksikon dan fonologi. Variasi fonologi dapat dilihat kesejajarannya dengan variasi leksikon yang secara bersama membedakan kelompok-kelompok titik pengamatan hasil penghitungan dialektometri.

Sembiring (2009) dalam disertasinya yang berjudul ”Variasi Dialek Bahasa Karo di Kabupaten Karo, Deli Serdang” meneliti tiga kabupaten. Sebagai hasilnya dapat ditemukan bahwa pada ketiga kabupaten tersebut sudah ada tiga dialek bahasa Karo, yaitu dialek Karo Singalor Lau yang daerah pakainya di Kecamatan Juhar dan Lau Baleng, dialek Karo Julu yang daerah pakainya di Kecamatan Tiga


(9)

Panah dan Merek dengan subdialeknya di Kecamatan Kuta Buluh dan Payung, dan dialek Karo Jahe yang daerah pakainya di Kabupaten Langkat serta daerah subdialeknya di Kabupaten Deli Serdang.

Toha (2013) dalam tesisnya yang berjudul “Isolek-Isolek di Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh : Kajian Dialektologi” meneliti isolek Tamiang menggunakan kajian dialektologi. Hasil penghitungan dialektometri pada 400 kosakata pada tataran leksikal menunjukkan dalam isolek Tamiang terdapat dua dialek; Hilir dan Hulu. Hasil analisis secara sinkronis memperlihatkan isolek Tamiang memiliki 18 konsonan dan 9 vokal. Hasil analisis diakronis menunjukkan bahwa dialek Hilir masih memelihara unsur relik, sehingga dapat dikatakan dialek Hilir sebagai daerah relik, sedangkan dialek Hulu merupakan daerah inovasi.

Yonelda (2013) dalam skripsinya yang berjudul ”Geografi Dialek Bahasa Batak Toba di Kabupaten Samosir”, membahas tentang variasi leksikal di Kabupaten Samosir dan terdapat 79 variasi leksikal dari 100 kosakata yang digunakan di tiga kecamatan di kabupaten Samosir.


(1)

Ayatrohaedi, 1983:5). Garis watas kata ini kadang disebut juga sebagai heteroglos (Kurath dalam Ayatrohaedi, 1983:5). Isoglos juga memunyai arti, yaitu garis yang menghubungkan kata-kata atau bentuk-bentuk yang sama (Keraf, 1991:158).

2.1.7 Peta Bahasa

Gambaran umum mengenai sejumlah dialek akan tampak jelas jika semua gejala kebahasaan yang ditampilkan dari bahasa yang terkumpul selama penelitian dipetakan. Dalam peta bahasa tergambar pernyataan yang lebih umum tentang perbedaan dialek yang penting dari satu bahasa dengan daerah yang lain. Oleh karena itu, kedudukan dan peran peta bahasa dalam kajian geografi dialek mutlak diperlukan (Ayatrohaedi, 1983:31).

Peta peragaan merupakan peta yang berisi tabulasi data lapangan supaya data-data tergambar dalam perspektif yang bersifat geografis. Pengisian data lapangan pada peta peragaan dapat dilakukan dengan sistem:

1. Sistem langsung, yaitu dilakukan dengan memindahkan unsur-unsur kebahasaan yang memiliki perbedaan ke atas peta. Sistem ini dapat efektif bila unsur yang berbeda dimungkinkan dapat ditulis langsung pada daerah pengamatan,

2. Sistem lambang, yaitu dilakukan dengan mengganti unsur-unsur yang berbeda dengan menggunakan lambang tertentu yang ditulis di sebelah kanan daerah pengamatan yang menggunakan bentuk (untuk perbedaan fonologi, leksikon, morfologi, dan sintaksis) atau makna (untuk perbedaann semantik) yang dilambangkan,


(2)

3. Sistem petak, yaitu daerah pengamatan yang menggunakan bentuk atau makna tertentu yang dibedakan dengan daerah-daerah pengamatan yang menggunakan bentuk atau makna yang lain dipersatukan oleh sebuah garis, sehingga keseluruhan peta terlihat terpetak-petak menurut daerah-daerah pengamatan yang menggunakan unsur kebahasaan yang serupa (Mahsun, 1995:59-60).

2.2 Landasan Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Dialektologi Struktural, yaitu menganalisis perbedaan atau variasi isolek berdasarkan strukturnya, misalnya struktur bunyi dan juga perbedaan leksikon. Dalam teori ini dijelaskan bahwa dialek adalah kumpulan idiolek yang ditandai ciri-ciri yang khas dalam tata bunyi, kata-kata, ungkapan-ungkapan, dan lain-lain (Keraf dalam Bangun, 1984:9). Cabang ilmu linguistik yang khusus mengkaji dialek disebut dialektologi. Dalam praktiknya, studi dialektologi berkenaan dengan wilayah-wilayah atau daerah yang menjadi sorotannya untuk meneliti suatu dialek untuk berbagai tujuan. Wilayah atau daerah yang menjadi tempat penelitian variasi bahasa tersebut tentu berbeda satu sama lainnya, baik dari segi kontur wilayah, keadaan alam (lingkungan), mata pencaharian, agama, sampai adat-istiadat tersendiri.

Variasi leksikal dan variasi fonemis pada dialek bahasa Batak Toba di Kabupaten Humbang Hasundutan akan dianalisis berdasarkan teori dialektologi


(3)

menurut apakah bentuk itu memiliki kesamaan secara fonetis atau tidak. Oleh karena itu, teori struktural ini membandingkan bentuk-bentuk individual tanpa melihat persamaan atau perbedaan, tetapi melihat bagian-bagian konstituen sistemnya.

Sistem fonemik pada suatu ragam bahasa dikaji berdasarkan suatu prinsip yang terkenal, yaitu penyebaran bunyi yang saling melengkapi, keserupaan bunyi, dan kewujudan pasangan-pasangan minimal bagi ragam yang dikaji.

Dialektologi struktural merupakan salah satu upaya untuk menerapkan dialektologi dalam membandingkan varietas bahasa (Chambers, 1990:54).

Petugas lapangan harus tahu tentang ragam bahasa yang memunyai sistem-sistem tersendiri, dan tidak harus bergantung semata-mata pada transkripsi fonetik. Peneliti hendaknya meninjau perbedaan fonemik dengan bertanya kepada informan apakah ada pasangan-pasangan kata yang mempunyai bunyi yang sama atau berirama.

Perbedaan unsur kebahasaan yang diteliti, yaitu dari bidang leksikon dan fonemis. Dikatakan perbedaan dalam bidang leksikon, jika leksem-leksem yang digunakan untuk merealisasikan suatu makna yang sama tidak berasal dari suatu etimon prabahasa (Mahsun, 1995:54). Contohnya, pada bahasa Batak Toba terdapat dua kata untuk merealisasikan kata ‘bakar’, yaitu tutuŋ dan idalaŋ.

Dikatakan perbedaan dalam bidang fonemis, jika variasi kata berada di bidang fonologi. Adanya perubahan bunyi yang berupa korespondensi dan variasi


(4)

mengisyaratkan adanya perbedaan fonologi yang berupa korespondensi dan variasi. Perbedaan fonetik dapat terjadi pada vokal maupun pada konsonan. Contohnya, ihur ‘ekor’ di Kecamatan Parlilitan dengan ekur ‘ekor’ di Kecamatan Pakkat dan Kecamatan Dolok Sanggul.

Sama halnya dengan perbedaan unsur kebahasaan dalam bahasa Batak Toba, variasi perbedaan bahasa atau dialek juga penting. Teori yang dipaparkan di atas menunjukkan seperti apa perbandingan antarvariasi dialek di Kabupaten Humbang Hasundutan.

2.3 Tinjauan Pustaka

Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pemetaan kebahasaan dapat disampaikan sebagai berikut:

Bangun, dkk (1982) dengan penelitian yang berjudul “Geografi Dialek Bahasa Batak Toba”, dalam penelitian tersebut peneliti menyatakan bahwa bahasa Batak Toba terdiri atas lima dialek yaitu dialek Silindung, dialek Humbang, dialek Toba, dialek Samosir, dan dialek Sibolga. Ciri yang digunakan sebagai pembeda adalah perbedaan fonologis, perbedaan morfologis, dan perbedaan semantis.

Widayati (1997) dalam tesisnya yang berjudul “Geografi Dialek Bahasa Melayu di Wilayah Timur Asahan”, mengkaji bidang fonologi dan leksikal. Deskripsi leksikal menunjukkan adanya beberapa perbedaan dengan bahasa Melayu Umum dan dalam bahasa Melayu Asahan terdapat dua dialek, yaitu dialek Batubara dan dialek Tanjung Balai.


(5)

Khairiyah (1999) dalam skripsinya yang berjudul “Geografi Dialek Bahasa Melayu di Kecamatan Tanjung Pura”, terdapat variasi yang disebabkan oleh faktor geografis, faktor mobilitas penduduk, dan faktor sosiologis. Variasi fonologi dapat dilihat kesejajarannya dengan variasi leksikal yang secara bersama membedakan kelompok-kelompok titik pengamatan hasil perhitungan dialektometri. Berdasarkan uraian dan perhitungan dialektometri, bahasa Melayu di Kecamatan Tanjung Pura memiliki perbedaan wicara, yaitu perbedaan wicara Melayu Dataran Tinggi dan perbedaan wicara Melayu Pesisir.

Kaban (2000) dalam skripsinya yang berjudul “Geografi Bahasa Batak Karo di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo”, membahas variasi-variasi pada bidang leksikon dan fonologi. Dengan perhitungan dialektometri diketahui ada dua subdialek yang berbeda, yaitu subdialek Surbakti dan subdialek Tigapancur.

Nasution (2001) dalam skripsinya yang berjudul ”Geografi Dialek Bahasa Mandailing di Kecamatan Lembah Melintang”, membahas tentang variasi di bidang leksikon dan fonologi. Variasi fonologi dapat dilihat kesejajarannya dengan variasi leksikon yang secara bersama membedakan kelompok-kelompok titik pengamatan hasil penghitungan dialektometri.

Sembiring (2009) dalam disertasinya yang berjudul ”Variasi Dialek Bahasa Karo di Kabupaten Karo, Deli Serdang” meneliti tiga kabupaten. Sebagai hasilnya dapat ditemukan bahwa pada ketiga kabupaten tersebut sudah ada tiga dialek bahasa Karo, yaitu dialek Karo Singalor Lau yang daerah pakainya di Kecamatan Juhar dan Lau Baleng, dialek Karo Julu yang daerah pakainya di Kecamatan Tiga


(6)

Panah dan Merek dengan subdialeknya di Kecamatan Kuta Buluh dan Payung, dan dialek Karo Jahe yang daerah pakainya di Kabupaten Langkat serta daerah subdialeknya di Kabupaten Deli Serdang.

Toha (2013) dalam tesisnya yang berjudul “Isolek-Isolek di Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh : Kajian Dialektologi” meneliti isolek Tamiang menggunakan kajian dialektologi. Hasil penghitungan dialektometri pada 400 kosakata pada tataran leksikal menunjukkan dalam isolek Tamiang terdapat dua dialek; Hilir dan Hulu. Hasil analisis secara sinkronis memperlihatkan isolek Tamiang memiliki 18 konsonan dan 9 vokal. Hasil analisis diakronis menunjukkan bahwa dialek Hilir masih memelihara unsur relik, sehingga dapat dikatakan dialek Hilir sebagai daerah relik, sedangkan dialek Hulu merupakan daerah inovasi.

Yonelda (2013) dalam skripsinya yang berjudul ”Geografi Dialek Bahasa Batak Toba di Kabupaten Samosir”, membahas tentang variasi leksikal di Kabupaten Samosir dan terdapat 79 variasi leksikal dari 100 kosakata yang digunakan di tiga kecamatan di kabupaten Samosir.