Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Asfiksia Neonatorum Pada Ibu yang Mengalami Ketuban Pecah Dini Di Rumah Sakit Umum Dr. Pringadi Medan Tahun 2010 -2012

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kelahiran dan kematian merupakan suatu siklus kehidupan yang silih
berganti, dimana kelahiran bayi adalah suatu kejadian yang membahagiakan, akan
tetapi lain halnya dengan kematian yang merupakan suatu kejadian yang sangat
memprihatinkan, yang dikenal dengan fenomena 2/3. Fenomena itu terdiri dari : 2/3
kematian bayi (berusia 0-1 tahun) terjadi pada umur kurang dari satu bulan
(Neonatal), 2/3 kematian neonatal terjadi kurang dari seminggu (neonatal dini), dan
2/3 kematian pada masa neonatal dini terjadi pada hari pertama kelahiran (Kokom.K,
2003). Penurunan angka kematian perinatal berlangsung lebih lamban, sebabnya
ialah karena kesehatan serta keselamatan janin dalam uterus sangat tergantung dari
keadaan dan kesempurnaan bekerjanya sistem dalam tubuh ibu yang mempunyai
fungsi untuk menumbuhkan hasil konsepsi ari mudigah menjadi janin cukup bulan
(Prawirohardjo, 2008.hal.10).
Menurut World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa setiap
tahunnya dari 120 juta bayi yang lahir didunia secara global , empat juta diantaranya
(3,3%) bayi lahir mati (stillbirth) dan empat juta lainnya meninggal dalam usia 30
hari (neonatal lanjut). Kira-kira Sebanyak 3,6 juta (3%) dari 120 juta bayi lahir
tersebut mengalami asphyxia neonatorum dan hampir satu juta (27,78%) bayi ini

meninggal. Sebanyak 98% dari kematian bayi terjadi di Negara-negara berkembang
(Kosim, MS, 2005)
Kematian bayi di Indonesia masih tergolong tinggi, Menurut data Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 angka kematian bayi

Universitas Sumatera Utara

sebesar 34 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi ini sebanyak
47% meninggal pada masa neonatal. Adapun kematian bayi baru lahir di Indonesia
disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah asfiksia yaitu sebesar 27%
(Depkes. RI, 2008:145)
Angka kematian bayi di Indonesia berbeda-beda di setiap provinsi. Di Jawa
Timur angka kematian bayi mencapai 33 per 1.000 kelahiran hidup yang sebagian
besar disebabkan oleh asfiksia sebesar 28% (Badan Pusat Statistik, 2008 dalam. Di
provinsi sumatera utara kematian bayi sangat tinggi yaitu mencapa > 49 per 1.000
kelahiran hidup (Profil Kesehatan Indonesia, 2008).
Insiden asfiksia neonatorum di negara berkembang lebih tinggi dari pada di
negara maju. Berdasarkan klasifikasi asfiksia di negara berkembang lebih kurang 4
juta bayi baru lahir menderita asfiksia sedang dan berat, dari jumlah tersebut 20%
diantaranya meninggal. Di Indonesia angka kejadian asfiksia kurang lebih 40 per

1.000 kelahiran hidup. Secara keseluruhan 110 neonatus meninggal setiap tahun
karena asfiksia (Cunningham, leveno, bloom, et al, 2005).
Kematian bayi baru lahir masih tinggi hal ini mungkin erat kaitannya dengan
komplikasi obstetric dan status kesehatan ibu yang rendah selama kehamilan dan
persalinan, sebab kematian neonatal utama pada asphyxia neonatorum sebanyak 2,7
% setelah BBLR sebanyak 29 % (Depkes RI, 2005).
Asfiksia neonatorum ini sebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan
hipoksia ini berhubungan dengan faktor –faktor yang timbul dalam kehamilan,
persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat asfiksia akan bertambah buruk
apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna.
Asfiksia neonatorum dan sepsis neonatorum diperberat jika ibu hamil
mengalami ketuban pecah dini (Sunarto,dkk.2008). Ketuban pecah dini mempengaru

Universitas Sumatera Utara

hi terjadinya asfiksia neonatorum akibat terjadinya prolapsus funiculli yaitu tali pusat
tertekan diantara kepala bayi dan panggul sehingga terjadi kompresi yang
menyebabkan ancaman penghentian pefusi fetoplasenta. Infeksi, atonia uteri,
perdarahan post partum, asfiksia dan Intra Uterine Fetal Dead (IUFD) merupakan
ancaman apabila ketuban pecah dini tidak segera ditangani (Depkes RI,

2003.hal.108).
Insidensi ketuban pecah dini mendekati 10% dari semua persalinan. Pada
kehamilan kurang dari 37 minggu sebanyak 2-4%, sedangkan pada kehamilan Aterm
8-10%, maka sebahagian besar ketuban pecah dini terjadi pada kehamilan Aterm
(Rukiyah dan yulianti, 2010.hal 232) .
Di Rumah Sakit Umum Swadana Sumedang angka morbiditas ibu dengan
ketuban pecah dini mengalami peningkatan pada tiap tahunnya. Insidensi ketuban
pecah dini berkisar 4,5% sampai dengan 7,6% dari seluruh kehamilan (Setiana, A.
2009). Ketuban pecah dini menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar dan
ruangan dalam rahim sehingga memudahkan terjadinya infeksi, hal ini tentu akan
meningkatkan kejadian infeksi maternal dan infeksi neonatal yang akan berujung
menjadi asfiksia neonatorum (Manuaba, 2007.hal.230).
Pada saat masuk rumah sakit, 75% dari ibu yang mengalami ketuban pecah
dini (KPD) sudah berada dalam persalinan, 5% bayi dilahirkan karna penyulit lain,
dan 10% lainnya dilahirkan setelah mulai persalinan spontan dalam 48 jam. Hanya
pada 7% pelahiran dapat ditunda 48 jam atau lebih setelah ketuban pecah
(“penanganan menunggu”). Periode dari ruptur membran prematur hingga pelahiran
(masa laten) berbanding terbalik dengan usia gestasi sesaat membran pecah. Karna
itu, semakin dini premature rupture of the membrane (PROM) terjadi, semakin lama
interval masa laten sampai mulai persalinan (Yudha dan Subekti, 2009.hal. 469).


Universitas Sumatera Utara

Fase laten pada KPD merupakan lamanya waktu sejak ketuban pecah sampai
terjadi proses persalinan. Semakin panjang fase laten, semakin besar kemungkinan
terjadinya infeksi yang berasal dari traktus urogenital bawah (Manuaba, 2007 hal
118). Semakin panjangnya fase laten juga akan mengakibatkan terjadinya hipoksia
hingga fetal distress dan berlanjut menjadi asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir
(Manuaba, 2011). KPD yang memanjang adalah KPD yang terjadi lebih 12 jam
sebelum waktunya melahirkan, yang mempunyai peranan penting terhadap
timbulnya infeksi yang akan berujung menjadi asfiksia neonatorum (Rukiyah dan
Yulianti, 2010.hal.230).
Untuk pengelolaan KPD masih merupakan masalah yang kontroversial dalam
kebidanan. KPD dengan usia kehamilan cukup bulan akan berhadapan dengan dua
masalah, yaitu segera mengakhiri persalinan dengan menaikkan proporsi seksio
sesarea dalam proses persalianan yang akan menaikkan terjadinya infeksi.
Sedangkan KPD yang kehamilan kurang bulan kehamillannya akan segera diakhiri
harus dapat dipastikan bahwa bayi yang akan lahir akan mampu mengatasi masalahmasalah yang akan terjadi pada kehidupan di luar rahim (Mochtar, 1998). Pada
penelitian ini akan diselidiki faktor- faktor yang mempengaruhi kejadian afiksia neo
natorum yang nantinya ditentukan dengan nilai APGAR pada ibu yang mengalami

ketuban pecah dini.
Nilai Apgar adalah salah satu cara untuk menilai kondisi post natal. Patokan
klinis untuk menilai keadaan bayi baru lahir 1, 5, dan 10 menit yang meliputi
beberapa aspek penilaian yaitu frekuensi jantung, usaha bernafas, tonus otot, refleks
dan warna kulit (Mochtar, 2011).
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya asfiksia neonatorum pada ibu yang mengalami

Universitas Sumatera Utara

ketuban pecah dini di Rumah Sakit Umum dr. Pringadi medan periode januari 2010desember 2012
B.

Perumusan Masalah
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Asfiksia Neonatorum Pada
Ibu Yang Mengalami Ketuban Pecah Dini Di Rumah Sakit Umum Dr. Pringadi
Medan Periode Januari 2010-Desember 2012

C.


Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor

yang mempengaruhi terjadinya asfiksia

neonatorum pada ibu yang mengalami ketuban pecah dini di Rumah Sakit
Umum dr. Pringadi Medan Tahun januari 2010-desember 2012
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi frekuensi kejadian asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir
dari ibu dengan ketuban pecah dini di RSU dr. Pringadi Medan
b. Mengidentifikasi frekuensi kejadian usia kehamilan pada ibu yang
mengalami ketuban pecah dini terhadap asfiksia neonatorum di RSU dr.
Pirngadi Medan.
c. Mengidentifikasi frekuensi kejadian lamanya ketuban pecah dini terhadap
asfiksia neonatorum di RSU dr.Pringadi Medan.
d. Mengidentifikasi frekuensi jenis persalinan pada ibu yang mengalami
ketuban pecah dini terhadap asfiksia neonatorum di RSU dr.Pirngadi Medan.

Universitas Sumatera Utara


D.

Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti Selanjutnya
Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis tentang ketuban pecah
dini dan asfiksia sekaligus dapat mengaplikasikan teori yang sudah di dapat
di bangku kuliah khususnya metodologi penelitian.
2. Manfaat bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan bukti empirik bahwa terdapat
hubungan antara lamanya ketuban pecah dini dengan komplikasi terhadap
bayi baru lahir yang mungkin terjadi, sehingga hasil penelitian diharapkan
bisa digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam penanganan penderita
ketuban pecah dini secara tepat, untuk mencegah dan meminimalkan
komplikasi ketuban pecah ini terhadap ibu dan neonatus. Selain itu dapat
diketahui waktu untuk timbulnya komplikasi ketuban pecah dini terhadap
bayi.
3. Manfaat bagi wanita hamil
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terhadap wanita
hamil untuk mengenali faktor risiko dan tanda-tanda dini terjadinya ketuban

pecah dini dan segera mencari penanganan yang tepat dan sesegera mungkin
terjadi bagi janinnya pada ketuban pecah dini dengan fase laten yang lama.

Universitas Sumatera Utara