Pertanggungjawaban Pidana Dokter (Studi Putusan Makamah Agaung Nomor 365 K Pid 2012)

(1)

BAB II

PENGATURAN MALPRAKTEK DOKTER DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

A. Malpratek medis dan Jenis-Jenis Malpraktek medis

Malpraktek medis merupakan perbuatan dokter atau dokter gigi yang buruk dalam melakukan pelayanan medik, tidak memenuhi persyaratan-persyaratan atau standar-standar yang telah ditetapkan seperti dalam kode etik kedokteran, standar profesi, standar pelayanan medik maupun dalam standar operasional prosedur.91

Malpraktek medis menurut J.Guwandi meliputi tindakan-tindakan92:

1. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan.

2. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melakukan kewajiban. 3. Melanggar suatu ketentuan menurut perundang-undangan.

J. guwandi memberikan pengertian bahwa malpraktek dalam arti luas antara tindakan yang dilakukan93;

1. Dengan sengaja (dolus, vorstatz, intentional) yang dilarang oleh perundang-undangan

2. Tidak dengan sengaja(negligence, culpa) atau karena kelalaian

Perbedaaan antara malpraktek murni dengan kelalain akan lebih jelas jika dilihat dari motif perbuatannya, malpraktek murni dilakukan dengan sadar dan tujuan

91

Syahrul Machmud.Op.Cit.Hal.263 92

J. guwandi.Op. Cit. Hal.24 93


(2)

dari tindakan memang sudah terarah pada akibat yang hendak ditimbulkan atau tidak peduli terhadap akibatnya, walaupun ia mengatahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakannya adalah bertentangan dengan hukum yang berlaku, sedangkan kelalaian tindakannya tidak mempunyai motif atau tujuan untuk menimbulkan akibat. Timbulnya akibat disebabkan kelalaian yang sebenarnya terjadi diluar kehendaknya.Kelalain yang di hukum dalam malpraktek adalah kelalaian berat.Dengan demikian didalam malprkatek medis terkandung unsur kesalahan yang tidak berbeda dengan pengertian kesalahan dalam hukum pidana, yaitu kesengajan atau kelalaian.94

Pengertian diatas maka hakekat profesi menurut D Veronica komalasari adalah panggilan untuk hidup mengabadikan diri pada kemanusian yang didasarkan pada pendidikan yang harus dilaksanakan dengan kesungguhan niat dan tanggung jawab penuh, berapa ciri profesi antara lain:95

1. Merupakan suatu pekerjaan yang berkedudukan tinggi dari para ahli yang terampil dalam menerapkan pengetahuan secara sistimatis.

2. Mempunyai kompetensi secara ekslusif terhadap pengetahuan dan keterampilan tertentu.

3. Didasarkan pada pendidikan yang intensif dan disiplin tertentu.

4. Mempunyai tanggungjawab untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya, serta mempertahankan kehormatan.

5. Mempunyai etik tersendiri sebagai pedoman untuk menilai pekerjaannya. 6. Cenderung mengabaikan pengendalian dari masyarakat atau individu

7. Pelaksanaannya dipengaruhi oleh masyarakat, kelompok kepentingan tertentu dan organisasi professional lainnya, terutama dari segi pengakuan.

94

Syahrul Machmud.Op.Cit.Hal.266 95

D Veronika komalasari, hukum dan etika dalam praktek kedokteran, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.1989.Hal.19-20


(3)

Menurut Guwandi hubungan kepercayaan dokter dan pasien adalah Ketika pasien percaya bahwa dokter mmpunyai ilmu pengetahuan, mampu dan terampil, bertindak dengan hati-hati dan teliti dan dokter akan melakukan pekerjaannya berdasarkan standar profesi medik yang telah ditentukan 96.

Sementara itu Parson sebagaimana dikutip oleh D Veronika komalasari mengemukakan beberapa ciri khusus profesi sebagai berikut .97

1. Disinterestedness artinya tidak mengacu pada pamrih, nilai ini harus dijadikan patokan normatif bagi pengemban profesi.

2. Rasionalitas artinya melakukan usaha mencari yang terbaik dengan berpedoman pada pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan sacara ilmiah. Perujudan system pekerjaan profesi dilaksanakan berbasis rasionalitas yang merupakan salah satu ciri yang dominan dari ilmu.

3. Spesifitas funsional artinya para profesional mempunyai kewibawaan (otoritas) didalam masyarakat dengan strutur sosiologikal yang khas yang bertumpu pada kompetensi tekhnikal yang superior yang hanya dimiliki oleh pengemban profesi yang bersangkutan saja. Oleh karena itu, seorang professional dianggap sebagai orang yang memiliki otoritas hanya dalam bidangnya.

4. Universsalitas artinya dasar pengambilan keputusan bukan pada siapanya ataupun keuntungan pribadi yang dapat diperoleh pengambilan keputusan, tetapi berdasarkan kepada apa yang menjadi masalahnya

Seorang dokter atau dokter gigi adalah seorang profesional dalam bidang pengobatan atau kedokteran, karena mereka bekerja berdasarkan keahlian dan keterampilan yang diperoleh dari pendidikan yang berjenjang, mandiri dan bertanggungjawab atas pelayanan kesehatan yang dilakukakan. Dokter atau dokter gigi bekerja berdasarkan ketentuan pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 tahun

96

J.Guwandi, misdiagnosis atau malpraktek, Jurnal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia,2003

97


(4)

2009 tentang Hukum Kesehatan yaitu kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan dan standar prosedur operasional.98

Tidak memenuhi Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) bisa dikenakan sanksi pidana dan sanksi administrasi, didalam KODEKI ada empat (4) kewajiban yang harus di penuhi oleh dokter yaitu kewajiban umum, kewajiban dokter atau dokter gigi terhadap pasien, kewajiban dokter atau dokter gigi terhadap teman sejawat, dan kewajiban terhadap diri sendiri99. KODEKI dibuat berdasarkan etika kedokteran yang apabila dilanggar akan mengakibatkan suatu perbuatan dokter atau dokter gigi yang merugikan pasien, asas-asas dari etika itu sendiri adalah tidak merugikan (non maleficenc), membawa kebaikan (benevicence), menjaga kerahasian (confidencsialitas), otonomi pasien (informed consent), berkata benar (veracity), berlaku adil (justice), menghormati (privacy.)100

Standar profesi adalah batasan kemampuan ( knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalisme pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi 101. Kemampuan minimal yang dimaksud diatas adalah kamampuan rata-rata dari keilmuan dokter atau dokter gigi.Maka dokter dapat dipersalahkan apabila dia tahu bahwa penyakit pasien diluar batas kemampuannya

98

Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 24 ayat 1 99

Kode Etik Kedokteran Indonesia Tahun 2002 100

Syahrul machmud.Op.Cit. 101


(5)

dan dia tidak merujuk kepada dokter specialis yang kompeten terhadap penyakit pasien.

Menurut Oemar Seno Adji standar profesi medis dibagi tiga (3) yaitu 102: 1. Dokter rata-rata ( gemiddeld, durchschnitt, moyen,average) yaitu tidak bisa

dikatakan sama keadaan antara dokter specialis dan dokter umum, dokter puskesmas dan dokter rumah sakit modern. Yang jadi ukuran ialah seorang dokter yang punya kemampuan rata-rata, sehingga tidak dapat diharapkan dari seorang dokter atau dokter gigi, bahwa ia harus memenuhi norma-norma tertinggi ataupun ia dibawah ukuran rata-rata tersebut, maka dokter atau dokter gigi diharapkan berbuat menurut ketelitian dan kecermatan. 2. Kategori atau keadaan yang sama yaitu adalah keadaan yang tidak bisa

disamakan antara dokter atau dokter gigi, dimana jika terjadi suatu kasus malpraktek maka antara dokter atau dokter gigi specialis dimintakan syarat yang lebih berat dari pada dokter umum.

3. Azas proporsionalitas-susidaritas yaitu keseimbangan antara perbuatan medis dan tujuan yang hendak dicapai.

Apabila dokter atau dokter gigi telah sesuai dengan standar profesi dan standar operasional, maka dokter atau dokter gigi tersebut berhak mendapatkan perlindungan hukum103.D Veronika komalawati memberi batasan tetang standar profesi yaitu pedoman yang harus digunakan untuk petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Berkenaan dengan pelayanan medik yang terutama dititik beratkan pada proses tindakan medik104.

Wila Candrawila supriadi dengan mengutip pendapat Van Der Mijn mengemukakan dalam melaksanakan profesinya, seorang tenaga kesehatan harus berpegang pada tiga ukuran umum yaitu kewenangan, kemampuan rata-rata, dan

102

Oemar Seno Adji. Etika Professional Dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter.Erlangga.1991. Jakarta. Hal.159

103

Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Penjelasan Pasal 50. 104


(6)

ketelitian umum105. Danny Wiradharma meyebutkan manfaat diadakannya standar profesi medis adalah adanya indikasi medis atau petunjuk menurut kedokteran, kearah tujuan pengobatan atau perawatan yang konkrit, dilakukan sesuai dengan standar medis menurut ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran saat ini, tindakan tersebut harus dilakukan secara teliti dan hati-hati tanpa kelalaian, yang tolok ukurnya adalah dengan membandingkan apa yang dilakukan oleh dokter tersebut dengan dokter lain dari bidang keahlian yang sama berhadapan dengan kasus seperti itu dengan situasi kondisi yang sama.106

Standar Pelayana Medis mencakup, standar ketenangan, standar prosedur, standar sarana dan standar hasil yang diharapkan. Standar pelayanan medis ini terbagi menjadi dua (2) bagian yaitu:memuat tentang standar penyakit dengan dua belas (12) specialisasi kasus-kasus yang penting terdiri dari bagian bedah, bagian ortopedi, jiwa, kardiologi, kulit dan kelamin, obstetric dan ginekologi, paru, panyakit dalam,penyakit anak, saraf mata,THT dan standar pelayanan penunjang dengan tiga (3) specialisasi masing-masingnya anestessi, patologi, anatomi, forensic, klinik dan radiologi.107

Standar pelayanan medik adalah suatu pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktek kedokteran.yang dimaksud dengan sarana pelayanan adalah, tingkatkan pelayanan yang standar tenaga dan peralatan nya sesuai dengan kemampuan yang diberikan. Standar pelayanan ini sebagai mana perintah undang-undang praktek kedokteran seharunya di atur melalui

105

Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung,2001.Hal52 106

Danny Wiradharma,Op.Cit..Hal.80 107


(7)

keputusan menteri kesehatan, namun sayang hingga kini kepmen tersebut belum pernah ada.108

Standar dalam pelayanan kesehatan dirumah sakit, bagian-bagian tersebut diatas dapat selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi di bidang kesehatan.Dengan demikian standar pelayanan medis tersebut dapat di ubah, diganti dan disesuaikan dengan perkembangan dan situasi serta kondisi yang bersangkutan.109

Standar operasional prosedur adalah, suatu prangkat instruksi atau langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Standar operasional prosedur memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan consensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.110

D Veronika komalawati menyebutkan bahwa standar operasional prosedur sebagai prosedur yang diuraikan oleh pemberi pelayanan kesehatan dari setiap specialisasi yang dalam aplikasinya disesuaikan dengan fasilitas dan sumber daya yang ada.Standar operasional prosedur ini merupakan acuan atau perlengkap bagi rumah sakit karena dapat mengikuti kondisi rumah sakit dimana prosedur tersebut di

108

Syahrul Machmud. Op. Cit ,Hal 249 109

Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum Dan Sanksi Bagi Dokter, buku 1,2006,Hal 207 110


(8)

tetapkan.Standar operasional prosedur yang dimaksud dapat berupa tindakan yang meliputi 111:

a. Anamnesia yaitu kegiatan Tanya jawab dokter dan dokter gigi kepada pasien mengenai penyakit atau keluhan yang dirasakan pasien.

b. Physic diagnosis yaitu berupa pemeriksaan jasmani pasien.

c. Pemeriksaaan tambahan bila di pandang perlu, berupa pemeriksan laboratorium. Rontgen, dan sebagainya.

Jenis-Jenis Malpraktek menurut syahrul machmud adalah malpraktek etik dan yuridis112. Malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran, sedangkan etika kedokteran yang dituangkan dalam kode etik kedokteran Indonesia ( KODEKI) merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter.

Kemajuan tekhnologi kedokteran yang sebenarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyaman bagi pasien dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih cepat, ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan seperti penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran yang merupakan malpraktek etik adalah:113

a) Dibidang diagnostic

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara teliti.Namun karena laboratorium memberika janji untuk memberikan hadiah kepada

111

D Veronika komalasari, Op. Cit. Hal 178 112

Syahrul Machmud, Op. Cit. Hal 272-278 113


(9)

dokter yang mengirim pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut.

b) Dibidang terapi

Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan yang akan di peroleh dokter bila mau mengggunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberika terapi kepada pasien, orientasi berdasarkan janji-janji pabrik obat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga merupakan malpraktek etik.

Malpraktek Yuridis terbagi menjadi malpraktek administrasi, malpraktek perdata, dan malpraktek pidana. Administrative Malpractice jika dokter melanggar hukum tata usaha Negara.dikatagorikanadministrave malpraltice:114

a. Menjalankan praktek kedokteran tanpa lisensi atau izin

b. Melakukan tindakan medik yang tidak sesuai lisensi yang dimiliki c. Melakukan praktek kedokteran dengan menggunakan izin yang sudah

tidak berlaku.

d. Tidak membuat rekam medik

Civil malpractice jika dokter tidak melaksanakan kewajibannya, yaitu memberikan prestasinya sebagimana yang telah disepakati:115

a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan. b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi

terlambat.

c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna

d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

Pada civil malpractice, tanggung gugat bersifat individual atau korporasi. Selain itu dapat dialihkan kepada pihak lain berdasarkan principle of vicarious liability.Dengan prinsip ini, maka rumah sakit dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan dokternya dalam rangka melaksanakan kewajiban rumah sakit.Dasar hukum civil malpractice adalah transaksi

114

Ibid. Hal 274 115


(10)

dokter dengan pasien, yaitu hubungan hukum dokter dan pasien, dimana dokter bersedia memberika pelayanan medis kepada pasien dan pasien bersedia membayar honor kepada dokter tersebut.Pasien yang merasa dirugikan berhak menggugat ganti rugi kepada dokter yang tidak melaksanakan kewajiban kontraknya dengan melaksanakan kesalahan professional.

Malpraktek pidana (criminal malpraktek) ada tiga (3) bentuk yaitu116:

1. kesengajaan adalah aborsi tanpa indikasi medik, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan kepada seseorang yang dalam keadaan emergensi meskipun dia tahu tidak ada dokter lain yang menolongnya, menerbitkan surat keterangan dokter yang benar, membuat visum et revertum

yang tidak benar, memberikan keterangan yang tidak benar disidang pengadilan dalam kapasitasnya sebagai ahli

2. kecerobohan seperti melakukan tindakan medik yang tidak lege artis, melakukan tindakan medik tanpa informed consent.

3. Kealpaan seperti, kurang hati-hati sehingga meningalkan gunting dalam perut pasien, kurang hati-hati menyebabkan pasien luka-luka, kurang hati-hati sehingga menyebabkan pasien meninggal dunia.

Tindakan medik dokter muncul masalah yang kemudian terkait dengan hukum pidana.Masalah tersebut adalah kelalaian oleh dokter dalam melaksanakan tindakan medik. Untuk menentukan kelalaian, Sofyan Dahlan mengemukakan dengan cara membuktikan unsur 4D nyaDuty yaitu adanya kewajiban yang timbul dari hubungan terapetis

a. Dereclition of Duty yaitu tidak melaksanakan kewajiban yang seharusnya dilaksanakan

b. Damage yaitu timbulnya kerugian atau kecideraan

c. Direc Causation yaitu adanya hubungan langsung antara kecideraan atau kerugian itu dengan kegagalan malaksanakan kewajiban.

Perbuatan-perbuatan tersebut harus memenuhi perumusan delik pidana yaitu

pertama, perbuatan tersebut baik positif maupun negatif merupakan tercela (Actus Reus).Kedua, dilakukan dengan sikap batin yang salah yaitu berupa kesengajaan

116


(11)

(Intensional), kecerobohan (Recklessness) atau kealpaan (Negligence), sehingga tanggungjawab selalu bersifat individual dan personal, tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau rumah sakit.

B. Resiko Medik

Resiko medis adalah suatu keadaan yang tidak dikehendaki baik oleh pasien maupun oleh dokter atau dokter gigi sendiri, setelah dokter atau dokter gigi berusaha semaksimal mungkin dengan telah memenuhi standar profesi, standar pelayanan medis dan standar operasional prosedur namun kecelakaan tetap terjadi juga.Resiko atau kecelakaan medis ini mengandung unsur yang tidak dapat dipersalahkan (verwijtbaarheid), tidak dapat di cegah (vermijtbaarheid) dan terjadinya tidak dapat diduga (verzinbaarheid).117

Risiko tindakan medis dapat terjadi dalam setiap rangkaian proses pengobatan, seperti pada penegakan diagnosa, saat dilakukan operasi, penentuan obat dan dosisnya, pasca operasi dan lain sebagainya. Risiko medik juga dapat terjadi di semua tempat dilakukannya pengobatan: di rumah sakit, klinik, praktik dokter, apotik, di rumah pasien, di tempat umum (pada kegiatan immunisasi, misalnya), dan lain-lain.Bentuk risiko medik bermacam-macam, seperti: kesalahan medik (medical error, preventable medical error); kecelakaan medik (medical accident; medical misadventure

atau medical mishap); kelalain medik (medical negligence); adverse event;

adverse incident dan lain sebagainya.Daldiyono menggunakan istilah "Risiko dari aspek upaya pengobatan" yang artinya: "hasil yang tidak memuaskan, tidak diharapkan, yang sebagian tidak dapat diprediksi dalam proses pertolongan kepada orang sakit"118.

117

Syahrul Machmud, .Op.Cit.Hal.278. 118

Daldiyono, Pasien Pintar dan Dokter Bijak, Buku Wajib Bagi Pasien dan Dokter, Jakarta: Penerbit PT Buana Ilmu Populer, 2007


(12)

Resiko yang tak dapat diperiksi dalam tindakan dokter antar lain: 1. Resiko pengobatan inheren atau melekat

Setiap tindakan medis yang dilakukan oleh dokter, baik yang bersifat diagnostik amaupuntheurepatik akan selalu mengandung resiko yang melakat pada tindakannya itu ( Risk Of Treatment)119. Apabila dokter tersebut melakukannya dengan hati-hati, seizin pasien dan berdasarkan standar profesi medik, tetapi resiko tetap terjadi maka dokter itu tidak dapat dipersalahkan.120terhadap suatu akibat negative yang mungkin timbul dari suatu tindakan medis yang tidak dapat diduga sebelumnya misalnya: suatu

anafilatikshok pada pemberian anestesi atau obat lain suatu injeksi yang menimbulkan reaksi yang berlebihan dari tubuh pasien itu sendiri121. Dokter tidak dapat dipersalahkan karena hubungan dokter dan pasien adalah kontrak

treupatik, suatu perjanjian berusaha ( inspaningsverbintenis ). 2. Resiko komplikasi yang timbul dalam tubuh pasien

Timbulnya komplikasi dalam tubuh pasien yang tidak bisa diketahui atau diduga sebelumnya tidak dapat dipersalahkan kepada

119

J. guwandi.Hukum Medik ( Medical Law).fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 104

120

Achadiat, Chrisdiono M, Melindungi Pasien dan Dokter, Widya Medika,Jakarta. 1996 121


(13)

dokternya122.Misalkan timbulnya pulmonoly emboli air ketuban dan pasien meninggal setelah menjalani operasi cesar setelah dirawat beberapa hari.123 3. Resiko dari alergikatau hipersensitivitas

Resiko alergik adalah resiko berlebihan dari tubuh seseorang karena alergi yang timbulnya secara tiba-tiba yang tidak dapat diprediksi lebih dahulu.Jika alergik ini menimbulkan anafilatik shok maka dokternya tidak dapat dipersalahkan124.

Kecelakaan medik dalam tindakan kedokteran juga sering terjadi, seorang dokter atau ahli bedah tidak selalu berhasil dalam setiap tindakannya dan tidak selalu bertanggungjawab terhadap setiap kejadian yang mungkin terjadi dalam pemberian terapi kecuali tidak berhati-hati secara wajar dalam menerapkan ilmu kepandaian yang setara dengan sesama teman sejawatnya.125

Kekeliruan penilaian klinis (Non _Negligent Clinical Error Of Judgment) seorang dokter yang telah mengikuti standar medis tidak dapat dipertanggungjawabkan karena kelalaian nya, jika keputusan yang diambilnya keliru126. Lord Dening menyatakan tentang kesalahan penilaian klinis yaitu apabila seorang dokter dianggap bertanggungjawab terjadi sesuatu atau tidak berhasil menyembuhkan, maka hal ini akan merugikan masyarakat itu sendiri, kesalahan

122

Pujiyono.,Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2007.Hal. 95 123

J. Guwandi, OpCit. Hal. 107. 124

Ibid.Hal. 106. 125

Pujiyono.Op-Cit. Hal. 95 – 96. 126Loc Cit


(14)

dalam pertimbangan (error of jugement) bukanlah kelalaian mungkin pertimbangan telah keliru tetapi ia dan dokter lainpun tidak akan mungkin selalu benar127

Resiko yang sudah diketahui (Volenti Non Vit Iniura/Asumption Of Risk ) seorang dokter telah menjelaskan secara lengkap tentang resiko yang akan terjadi akibat tindakan yang akan dilakukan kepada keluarga pasien atau pasien itu sendiri dan secara sukarela bersedia menanggung128. Misalnya pencakokan ginjal dari donor hidup, dengan resiko tinggi terdapat pada penerima maupun pendonor ginjal itu, jika resiko yang telah dikelaskan terjadi maka dokter tidak dapat dipersalahkan, atau pasien yang meminta pulang paksa.129

Musibah medik, yang dapat terjadi pada berbagai fase atau tingkatan yaitu, saat memilih dokter, kesimpulan atau diagnosis dokter yang kurang tepat, obat yang tidak tepat, risiko efek samping obat, risiko pemeriksaan penunjang atau pemeriksaan utuk diagnosis, risiko operasi, risiko bius/ anastesi, risiko proses pembedahan130.. Untuk itulah dibutuhkan Persetujuan Tindakan Kedokteran (informed consent) seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) Nomor 290/MEN.KES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Pengertian ini yang dapat dipertangggungjawabkan adalah upaya atau usaha maksimal dokter atau dokter gigi dalam upayanya melakukan pelayanan medis, jadi bukan terletak pada hasilnya.Dokter telah berusaha semaksimalkan mungkin

127

J. Guwandi. Op-Cit. Hal. 108. 128

Pujiyono, Lo Cit 129

Chrisdiono M. Achadiat, Op-Cit, Hal. 70 130


(15)

melakukan pelayanan medis dengan memenuhi persyaratan standar yang telah ditetapkan, namun juga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti misalkan meninggalnya pasien atau gagal dalam upaya penyembuhan sakit pasien atau tidak sepenuhnya bisa sembuh dari penyakit semula, maka untuk kasus semacam ini dokter atau dokter gigi dilepaskan dari tuntutan hukum. Dokter atau dokter gigi harus berupaya semaksimal mungkin dengan segenap ilmu, kepandaian, keterampilan serta pengalaman yang dimilikinya disertai sikap hati-hati dan teliti menyembuhkan pasiennya.

C. Pengaturan Malpraktek Dalam Hukum Positif Indonesia

Kasus medical praktek, khususnya yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi, maka terhadap dokter tersebut dikenakan tuntutan pidana berdasarkan beberapa peraturan perundangan-undangan yang berlaku (hukum positif). Baik pada perundang-undangan yang bersifat umum (lex generalis) yaitu kitab undang hukum pidana (KUHP), maupun yang terdapat pada perundang-undangan bersifat khusus (lex specialis) seperti dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.

1. Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP)

Beberapa pasal yang tercantum dalam KUHPyang dapat dikenakan dalam kasus malpraktek, yaitu yang berkaitan dengan kesengajaan dan pelanggaran. Pasal-pasal yang berkaitan dengan kesengajaan seperti misalnya, kejahatan terhadap pemalsuan surat, kejahatan terhadap kesusilaan, membiarkan orang yang seharunya


(16)

ditolong, pelanggaran terhadap rahasia dokter, melakukan atau membantu melakukan abortus,euthanasia dan kejahatan terhadap tubuh dan nyawa.

Dapat dikatagorikan termasuk dalam unsur kesengajaan adalah pasal :Pasal 267,pasal 294 ayat 2, pasal 304, pasal 322, pasal 299, pasal 344, pasal 345, pasal 346, pasal 347, pasal 348 dan pasal 349. Bahwa yang dimaksud dengan sengaja adalah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh Undang-undang.131

Pasal-pasal yang dapat dikategorikan termasuk unsur kealpaan atau kelalaian adalah: pasal 260, pasal 359, dan pasal 361. Simons, menerangkan kealpaan ini sebagai, umumnya kealpaan itu terjadi terdiri dari dua bagian, yaitu tak berhati-hati melakukan sesuatu perbuatan, disamping dapat menduga akibat perbuatan itu.Perbuatan, dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin juga terjadi kealpaan, jika yang membuat itu telah mengetahui. Bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang.132

1.2. Pasal Dalam Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Yang Termasuk Dalam Unsur Kesengajaan Tindakan Dokter

a. Pasal 267 KUHP

1. Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau tidak nya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

131

Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Sinar Grafika.1991 Jakarta. Hal1

132


(17)

2. Jika keterangan yang diberikan dengan maksud untuk memasukan seseorang kedalam rumah sakit jiwa atau menahannya disitu. Dijatuhkan pidana penjara paling lama 8 tahun 6 bulan

3. Dipidana dengan pidana penjara yang sama, barang siapa yang dengan sengaja memakai surat palsu untuk seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.

Pertanggungjawaban pidana: Kesengajaan Unsur unsur Tindak Pidana

1) Memberikan Keterangan Palsu tentang suatu penyakit, kelemahan atau cacat.

Isi surat keterangan palsu terdiri dari 6 alternatif yaitu:133 a. Tentang adanya penyakit

b. Tentang tidak adanya penyakit c. Tentang adanya kelemahan d. Tentang tidak adanya kelemahan e. Tentang adanya cacat

f. Tentang tidak adanya cacat

2) Memasukan seseorang kedalam rumah sakit jiwa atau menahannya 3) Memakai surat palsu untuk seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran. Ada 3 (tiga) pengertian yang terkandung didalam seseorang memberikan surat keterangan, yang terdiri dari:134.

1. keterangan tersebut diberikan secara tertulis

2. yang membuat surat dan bertanggungjawab terhadap surat itu adalah dokter (tidak berlaku bila yang menandatangani bukan dokter)

133

Syahrul Machmud. Op. Cit. Hal 331-332 134


(18)

3. surat tersebut dipergunakan dan diserahkan kepada seseorang yang telah memintanya.

b. Pasal 294 Ayat 2 (Dua) KUHP

diancaman dengan pidana yang sama

1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatannya adalah bawahannya, atau orang yang dengan penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya.

2. Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan Negara, tempat pendidikan, rumah piatu,, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga social, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukan kedalamnya.

Pertanggungjawaban pidana: Kesengajaan Unsur Tindak Pidana

1) Dilakukan oleh pejabat yang karena jabatan nya adalah bawahan nya Dalam pasal juga telah di jelaskan dalam ayat 2 butir 2 .Defenisi pencabulan berasal dari kata dasar cabul yaitu kotor keji sifatnya tidak sesuai dengan adap sopan santun, tidak asusila, berzina, melakukan tindak pidana asusila, mencabuli, menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan, film cabul, film porno keji dan kotor tidak senonoh melanggar asusila, kesopanan.135Sedangkan menurut R.Sugandhi adalah perbuatan yang melanggar asusila atau perbuatan keji yang

135

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Kamus besar bahasa Indonesia.Balai pustaka. 1998. Jakarta Hal 142.


(19)

berhubungan dengan nafsu kelamin136.Defenisi R.Sugandhi lebih menitik beratkan pada perbuatan yang dilakukan oleh orang berdasarkan nafsu kelaminnya, dimana langsung atau tidak langsung merupakan perbuatan yang melangar susila dan dapat dipidana.

Khusus untuk dokter yang disangkakan melakukan malpraktek, maka unsur dari 294 adalah tentang perbuatan cabul dengan pasiennya.Karena dapat saja terjadi seseorang dokter yang sedang memeriksa pasiennya diruangan tertutup, terangsang dan melakukan perbuatan cabul seperti mencium, meraba-raba atau bahkan menyetubuhi.

c. Pasal 304 KUHP

“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan orang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karenanya persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan, dan pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara 2 tahun 8 bulan atau pidan denda paling banyak Rp4.500”.

Pertanggungjawaban pidana: Kesengajaan Unsur tindak pidana

1) Membiarkan orang dalam keadaan sengsara

Membiarkan dalam pidana termasuk dalam delik ommisi murni yaitu membiarkan sesuatu yang diperintahkan undang-undang.

136

R. Sugandhi. Kitab undang-undang hukum pidana dan penjelasannya.Usaha Nasional. 1998. Surabaya. Hal.305


(20)

2) Menurut hukum yang berlaku baginya atau karenanya persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan, dan pemeliharaan kepada orang itu

Dokter membiarkan pasien terlantar, yang mana karena persetujuan merupakan tanggungjawab dokter untuk memberi perawatan.

d. Pasal 322 KUHP

1. Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpan karena jabatan atau pencaharian nya, baik yang sekarang maupun yang dahulu diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling bayak RP 9000.

2. Jika kejahatan dilakukan terhadap seseorang tertentu maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang.

Pertanggungjawaban pidana: Kesengajaan Unsur tindak pidana

1) Membuka Rahasia yang Wajib Disimpan Karena Jabatan atau Pencaharian nya Kewajiban menyimpan rahasia dokter ini berlaku walaupun pasien telah meninggal dunia.Rahasia dalam kasus malpraktek dokter adalah rekam medis, riwayat yang diderita oleh pasien selama mendapat perawatan dengan seorang dokter.

2) Kejahatan dilakukan terhadap seseorang tertentu

Maksud dari penjelasan ini bisa di artikan terhadap pasien jika dalam kasus malpraktek.


(21)

Pasal ini merupakan delik aduan artinya suatu delik atau tindak pidana baru dapat dituntut jika adanya pengaduan dari seseorang yang merasa dirugikan akibat perbuatan orang lain.

e. Pasal 299 KUHP

1. Barang siapa dengan sengaja mengobati wanita atau menyuruh supaya diobati dengan diberitahu atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 45.000

2. Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.

3. Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencaharian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencaharian itu. Pertanggungjawaban pidana: Kesengajaan

Unsur Tindak Pidana

1) Mengobati wanita atau menyuruh supaya diobati dengan diberitahu atau ditimbulkan harapan.

Mengobati termasuk dalam upaya kesehatan, yang dimaksud upaya kesehatan adalah “setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat


(22)

kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit”137

, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan atau masyarakat

2) Bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan

Menggugurkan kehamilan seorang wanita di dalam KUHP dikategorikan dalam luka berat, adapun kriteria tersebut adalah sebagai berikut :138

a) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.

b) Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian.

c) Kehilangan salah satu pancaindera. d) Mendapat cacat berat.

e) Menderita sakit lumpuh.

f) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih. g) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

3) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan,

4) atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat pidananya dapat ditambah sepertiga

5) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencaharian ,maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencaharian itu.

137

Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 1butir 11 138


(23)

Hak seorang dokter, yaitu;139

a) Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional

b) Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar operasional

c) Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya

d) Menerima imbalan jasa f. Pasal 347 KUHP

1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan mati wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.

Pertanggungjawaban Pidana: Kesengajaan Unsur Tindak Pidana yaitu:

1) Menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya Dengan sengaja seorang dokter melakukan tindakan tanpa persetujuan dari pasien,sedangkan undang-undang mengatur setiap dokter harus mendapatkan ijin dari pasien nya setiap tindakan yang dilakukan nya, yaitu.140

139

Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Kedokteran Pasal 50 140


(24)

1. setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan. 2. persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan setelah pasien

mendapatkan penjelasan secara lengkap

3. penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 sekurang-kurangnya mencakup

a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis b. tujuan tindakan medis yang dilakukan c. alternative tindakan lain dan resikonya d. resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan

4. persetujuan sebagaimna diayat 2 dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan

5. setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan perstujuan

6. ketentuan mengenai tata cara mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat 1,2,3,4,5 diatur dengan peraturan menteri. Jika perbuatan itu mengakibatkan mati wanita.


(25)

Konsep mati ada tiga yaitu: 1. Berhenti Darah Mengalir

Konsep ini bertolak dari kreteria mati berupa berhentinya jantung, organ yang memompa darah mengalir keseluruh tubuh.Dari hasil ini dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru141.

2. Pemisahan Tubuh dan Jiwa

Manusia sebagai kesatuan tubuh dan jiwa atau kesatuan materi dan bentuk.Jiwa atau bentuk jiwa yang menjiwai tubuh atau materi, sehingga tersusunlah mahluk yang unik yang disebut manusia.Kematian berlangsung jika dua unsur ini dipisahkan, kematian bearti terputusnya kesatuan tubuh dan jiwa142.

3. Kematian Otak

Kriteria ini adalah tidak sanggup menerima rangsangan dari luar dan tidak ada reaksi atau rangsangan, tidak ada gerak spontan atau pernafasan, tidak ada reflex dan situasi ini diteguhkan oleh elektroensefalogram (EEG).

Dasar untuk menetapkan bahwa otak tidak berfungsi lagi adalah.143

a) Pasien tidak berfungsi lagi bereaksi ( unreceptive and unresponsive) terhadap stimulus ( sentuhan dan rangsangan) dari luar, termasuk stimulus yang sangat menyakitkan.

141

Amri Amir.Bunga rampai hukum kesehatan. Widya Medika. Jakarta 1997. Hal.66-67 142

Amri amir.Op. Cit hal. 58-59 143


(26)

b) Tidak adanya tanda-tanda pernafasan spontan, paling sedikit selama satu jam.

c) Tidak ada reflex, dan elektroensefalogram (EEG) nya datar.

Kematian seluruh otak (batang otak, cortex, dan neo cortexs) bearti kematian manusia, karena tanpa organ ini bagi manusia tidak mungkin mempertahankan integritasi biologinya dan karena itu juga integrasi soialnya.Jika wanita yang mengalami tindakan dari pasal ini mengakibatkan salah satu konsep kematian di atas terpenuhi maka wanita tersebut dapat dikatakan mati.

Dasar untuk menetapkan bahwa otak tidak berfungsi lagi adalah144 a) Pasien tidak berfungsi lagi bereaksi ( unreceptive and unresponsive)

terhadap stimulus ( sentuhan dan rangsangan) dari luar, termasuk stimulus yang sangat menyakitkan.

b) Tidak adanya tanda-tanda pernafasan spontan, paling sedikit selama satu jam.

c) Tidak ada reflex, dan elektroensefalogram (EEG) nya datar.

Kematian seluruh otak (batang otak, Cortex, dan Neo Cortexs) bearti kematian manusia, karena tanpa organ ini bagi manusia tidak mungkin mempertahankan integritasi biologinya dan karena itu juga integrasi sosialnya.Satu konsep kematian di atas terpenuhi maka wanita tersebut dapat dikatakan mati.

144


(27)

g. Pasal 348 KUHP

1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan.

2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.

Pertanggungjawaban pidana: Kesengajaan Unsur Tindak Pidana

1) Menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya Pasal diatas berkaitan dengan upaya abortus criminalis atau upaya pengguguran kandungan tanpa adanya indikasi medis (abortus medicialis).145Maksud dengan persetujuan disini bisa di kategorikan bahwa wanita tersebut masuk dalam orang yang membantu melakukan tindak pidana. Tindak pidana malpraktek untuk menentukan peran pembantu pelaku malpraktek bisa dilihat dari segi peran dalam penanganan pelayanan kesehatan, mempunyai peran sebagai pembantu dalam pelayanan kesehatan, maka bisa diklarifikasikan sebagai pembantu pelaku malpraktek. Sebaliknya jika tidak ada peran sama sekali dalam tindakan medis, tidak bisa diklarifikasikan sebagai pembantu tindakan malpraktek146

Pelaku maupun pembantu malpraktek harus dilakukan oleh tenaga medis yang istilah resminya menurut ketentuan disebut tenaga kesehatan.Tenaga kesehatan

145

Syahrul Mahmud. Op. cit hal.368 146

Mudakir iskandariah.Tuntutan Pidana Dan Perdata Malpraktek.Permata Aksara.2011 Jakarta.Hal. 37.


(28)

adalah setiap orang yang mengabadikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.147

Wanita yang memberikan persetujuan terhadap pengguguran kehamilan kepada dokter , bisa dijerat dengan pasal pidana 346 KUHP yaitu seorang wanita dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu,diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

h. Pasal 349 KUHP

“Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346,347,348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal tersebut dapat ditambah sepertiganya dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan”.

Pertanggungjawaban pidana: Kesengajaan Unsur Tindak Pidana

1) Melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346,347,348

Kejahatan yang di terangkan dalam pasal yang di sebutkan dalam pasal ini adalah tentang kejahatan aborsi atau menggugurkan kandungan seorang wanita.Ditambah sepertiganya dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.

147


(29)

Maksud di tambah sepertiga adalah, pidana pokok yang telah ditentukan dalam pasal 346.347, 348 di tambah sepertiga dari pidana pokok yang telah ditentukan itu.

1) Membantu melakukan (medeplegen)

Perbuatan seseorang yang membantu dapat disebut memenuhi unsur yang besifat subyektif yaitu apabila perbuatan telah dilakukan, benar-benar dengan sengaja dalam arti bahasa membantu tersebut memang mengetahui bahwa perbuatannya itu dapat mempermudah atau dapat mendukung dilakukannya suatu kejahatan oleh orang lain itu memang ia kehendaki.148

Antara beberapa peserta itu harus ada kesadaran, bahwa mereka bekerja sama- sama. Maksud kesadaran itu timbul adalah, pada umumnya apabila beberapa peserta itu, sebelum melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang, terlebih dahulu melakukan perundingan atau pemufakatan untuk melakukan sesuatu delik.Jika mereka dengan sadar bekerja bersama pada waktu mereka melakukan perbuatan yang dilarang itu.149 i. Pasal344 KUHP

“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”.

148

Lamintang.Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru. Bandung. 1984. Hal. 620. 149

Satochid kartanegara.Hukum pidana bagian ke dua.Balai Lektur Mahasiswa.Jakarta. Hal.11-12


(30)

Pertanggungjawaban pidana: Kesengajaan Unsur Tindak Pidana

1). Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati

Barang siapa disini seorang dokter yang melakukan tindakan euthanasia terhadap pasien nya. Menurut kode etik kedokteran Indonesia (KODEKI) kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti150:

1. berpindahnya kealam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah dibibir.

2. Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberikannya obat penenang

3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien dan keluarganya.

j. Pasal 345 KUHP

“Barang siapa dengan sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.”

150


(31)

Pertanggungjawaban pidana: Kesengajaan Unsur Tindak Pidana

Barang siapa disini adalah seorang dokter dan pasien,karena dalam pasal ini di sebutkan menolongnya dalam perbuatan itu, bearti sipasien sudah mempunyai niat untuk melakukan, dokter hanya menolong memberikan jalan melaksanakan euthanasia. Disini dokter bisa dikatakan sebagai pelaku pembantu, cirri-ciri pembantu kejahatan.151

1) mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan

2) mereka yang sengaja member kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Katagori sebagai pembantu pelaku termasuk:

1) membantu tindakan, yang berperan sebagai pembantu tentu andilnya dalam pelaksanaaan tidak setinggi peran utama pelaku tindakan, dengan kata lain pembantu pelaku, peran sebatas sebagai pembantu pelaku tindak pidana. 2) Orang yang dengan sengaja

a) memberi kesempatan

b) memberi sarana prasarana baik moril maupun materiil c) memberi keterangan atau informasi

d) orang yang mengetahui tindakan pidana pada fase awal akan tetapi tidak ada usaha untuk pencegahan

151


(32)

e) melakukan daya upaya dengan janji-janji yang megarah untuk tercapainya suatu tindakan.

Untuk menentukan peran pembantu pelaku malpraktek bisa dilihat dari segi peran dalam penanganan pelayanan kesehatan, kalau ternyata mempunyai peran sebagai pembantu dalam pelayanan kesehatan atau tindakan medis, maka bisa diklasifikasikan sebagai pembantu malpraktek.

Pasal ini berkaitan dengan pertolongan bunuh diri atau dalam istilah kedokteran euthanasia.Euthanasia ini berkaitan dengan profesi dokter, karena sakit pasien yang tak mungkin lagi sembuh, atau sakit yang terus menerus, atau terlalu berat beban biaya pengobatan dirumah sakit sehingga baik pasien itu sendiri atau atas permintaan keluarganya sendiri minta disuntik mati saja.Hal semacam ini dalam system hukum Indonesia masih masuk katagori terlarang atau tidak dibenarkan. 2. unsur-unsur tindak pidana malpraktek dalam kitab undang-undang hukum pidana kelalaian

2. Pasal Dalam KUHP Yang Termasuk Dalam Unsur Kealpaan atau Kelalaian Tindakan Dokter.

a. Pasal 359 KUHP

“Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau kurungan paling lama 1 tahun.” Pertanggungjawaban pidana: Kelalaian

kelalaian disini termasuk kedalam kelalain berat ( culpa lata ), yaitu dari perbuatan yang terjadi di pasal ini memnuhi unsur nya, bertentangan dengan hukum,


(33)

akibat dapat dibayangkan, akibatnya dapat dihindarkan, perbuatannya dapat dipersalahkan.

Unsur Tindak Pidana yaitu:

1. Karena Kealpaannya Menyebabkan Orang Lain Mati, Konsep mati ada tiga yaitu:

a) Berhenti Darah Mengalir

Konsep ini bertolak dari kreteria mati berupa berhentinya jantung, organ yang memompa darah mengalir keseluruh tubuh.Dari hasil ini dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru152.

b) Pemisahan Tubuh dan Jiwa

Manusia sebagai kesatuan tubuh dan jiwa atau kesatuan materi dan bentuk.Jiwa atau bentuk jiwa yang menjiwai tubuh atau materi, sehingga tersusunlah mahluk yang unik yang disebut manusia.Kematian berlangsung jika dua unsur ini dipisahkan, kematian bearti terputusnya kesatuan tubuh dan jiwa153.

c) Kematian Otak

Kriteria ini adalah tidak sanggup menerima rangsangan dari luar dan tidak ada reaksi atau rangsangan, tidak ada gerak spontan atau pernafasan, tidak ada reflex dan situasi ini diteguhkan oleh elektroensefalogram (EEG).

152

Amri Amir.Bunga rampai hukum kesehatan. Widya Medika. Jakarta 1997. Hal.66-67 153


(34)

Dasar untuk menetapkan bahwa otak tidak berfungsi lagi adalah.154

a) Pasien tidak berfungsi lagi bereaksi ( unreceptive and unresponsive) terhadap stimulus ( sentuhan dan rangsangan) dari luar, termasuk stimulus yang sangat menyakitkan.

b) Tidak adanya tanda-tanda pernafasan spontan, paling sedikit selama satu jam. c) Tidak ada reflex, dan elektroensefalogram (EEG) nya datar.

Kematian seluruh otak (batang otak, cortex, dan neo cortexs) bearti kematian manusia, karena tanpa organ ini bagi manusia tidak mungkin mempertahankan integritasi biologinya dan karena itu juga integrasi soialnya.Jika wanita yang mengalami tindakan dari pasal ini mengakibatkan salah satu konsep kematian di atas terpenuhi maka wanita tersebut dapat dikatakan mati.

Dasar untuk menetapkan bahwa otak tidak berfungsi lagi adalah155

a) Pasien tidak berfungsi lagi bereaksi ( unreceptive and unresponsive) terhadap stimulus ( sentuhan dan rangsangan) dari luar, termasuk stimulus yang sangat menyakitkan.

b) Tidak adanya tanda-tanda pernafasan spontan, paling sedikit selama satu jam. c) Tidak ada reflex, dan elektroensefalogram (EEG) nya datar.

Kematian seluruh otak (batang otak, Cortex, dan Neo Cortexs) bearti kematian manusia, karena tanpa organ ini bagi manusia tidak mungkin mempertahankan

154

Kartono Muhammad. Op.Cit. Hal. 11 155


(35)

integritasi biologinya dan karena itu juga integrasi sosialnya.Satu konsep kematian di atas terpenuhi maka wanita tersebut dapat dikatakan mati.

b. Pasal 360 KUHP

1) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapatkan luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau kurungan paling lama I tahun

2) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling tinggi Rp.300

Pertanggungjawaban pidana: Kelalaian

kelalaian disini termasuk kedalam kelalain berat ( culpa lata ), yaitu dari perbuatan yang terjadi di pasal ini memnuhi unsur nya, bertentangan dengan hukum, akibat dapat dibayangkan, akibatnya dapat dihindarkan, perbuatannya dapat dipersalahkan.

Unsur Tindak Pidana

1. Barang siapa menyebabkan orang lain mendapatkan luka-luka berat ( ayat 1) Bahwa, KUHP telah memiliki kriteria-kriteria sebagai apa yang dimaksud dengan “Luka Berat”, sebagaimana terdapat pada ketentuan pasal 90 KUHP, adapun kriteria tersebut adalah sebagai berikut :


(36)

“Luka berat berarti:

a) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.

b) Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian.

c) Kehilangan salah satu pancaindera. d) Mendapat cacat berat.

e) Menderita sakit lumpuh.

f) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih. g) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Jika tindakan dokter mengakibatkan salah satu dari kriteria luka berat maka ia bisa dikenakan pasal ini, begitu juga rumah sakit, jika dokter tersebut melakukannya kelalain nya dirumah sakit tersebut.

2.Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Dilihat dari substansinya, maka undang-undang ini mengatur masalah kesehatan hanya secara umum saja.Undang-undang ini sesungguhnya merupakan undang-undang yang bersifat administratif.Hanya saja terhadap hukum administrasi ini diberikan sanksi pidana selain sanksi administrasi.

Perlakuan administrasi berbeda dengan sanksi pidana, karena sanksi pidana harus melalui proses pradilan sejak dari penyidik, penuntut umum, pemeriksaan di persidangan pengadilan negeri. Sedangkan sanksi administrasi tidak memerlukan


(37)

proses pradilan, cukup pejabat yang berwenanng memberi sanksi saja dapat menjatuhkan sanksi administratif.

Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan memuat 12 Pasal yang mengatur mengenai ketentuan pidana yaitu Pasal 190 sampai dengan Pasal 201. Dilihat dari subjeknya ada tindak pidana yang subjeknya khusus untuk subjek tertentu dan ada yang subjeknya setiap orang.Tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh subjek tertentu/khusus diatur dalam 190 yaitu tindak pidana hanya dapat dilakukan khusus oleh Pimpinan fasilitas kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan.Tindak pidana yang bisa dilakukan oleh setiap orang diatur dalam Pasal 191 sampai dengan Pasal 200.setiap orang adalah orang perseorangan dan korporasi. Tindak pidana dalam UU Kesehatan,ditinjau dari rumusannya dapat dibagi dua yaitu tindak pidana formil dan tindak pidana materiil. Tindak pidana formil dirumuskan sebagai wujud perbuatan yang tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu. Tindak pidana materiil dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu,tanpa merumuskan wujud dari perbuatan itu.156

a. Pasal 190 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan

1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan /atau tenaga kesehatan yang melakukan praktek atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan petolongan pertama terhadap pasien

156

Wirjono Prodjodikoro, Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,2003 Bandung,Hal 36


(38)

yang dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada pasal 32 ayat 2 dan pasal 85 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000

2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud ayat I mangakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dengan denda paling banyak 1.000.000.000.

Pertanggungjawaban Pidana: Kesengajaan Unsur Tindak Pidana

a.Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan /atau tenaga kesehatan yang melakukan praktek atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan tidak memberikan pertolongan dalam keadaan darurat.

Pimpina fasilitas kesehatan disini adalah pengurus rumah sakit, dan tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabadikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan157.

Keadaan darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut158. Sedangkan yang dimaksud dalam pasal 32 ayat 2 (dua) adalah:

157Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 1 butir 6 158


(39)

“Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan atau meminta uang muka”.

Pasal 85 ayat 2 (dua) adalah:

“Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana sebagaiman dimaksud pada ayat 1 dilarang menolak pasien dan atau meminta uang muka terlebih dahulu”

Dalam pasal ini bisa dilihat bahwa dalam kasus malpraktek medik tidak hanya tenaga medis atau dokter atau dokter gigi saja yang dikenakan pidana,tetapi juga terhadap rumah sakit pemerintah atau swasta yang dalam hal ini di dalam hukum di sebut korporasi. Badan hukum atau korporasi dalam hal ini rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena badan hukum telah di beri pembebanan hak dan kewajiban oleh Negara adalah hal ini diwakilkan oleh departemen hukum dan hak asasi manusia.Jika hak dan tanggung jawab tersebut tidak dijalankan maka dapat dikenai sanksi.

b. Pasal 193 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaiman dimaksud dalam pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000.”

Pertanggungjawaban Pidana: Kesengajaan Unsur Tindak Pidana


(40)

2) Tujuan mengubah identitas seseorang sebagaiman dimaksud dalam pasal 69 .

1. Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

2. Bedah plastik dan rekontruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak ditunjukkan untuk mengubah identitas 3. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik dan rekonstruksi

sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 ditetapkan dengan peraturan pemerintah

c. Pasal 194 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dengan denda paling banyak Rp.1.000.000.000.”

Pertanggungjawaban Pidana: Kesengajaan Unsur Tindak Pidana

1. Melakukan aborsi

Pada pasal ini hukuman penjara dan denda nya lebih besar dari ketentuan undang-undang yang mengatur aborsi dalam kitab undang-undang hukum pidana, karena sudah ada undang-undang yang baru mengaturnya,maka jika terjadi tindakan aborsi pasal ini yang dikenakan, karena asas hukum lex specialias derogate generalis


(41)

Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat di kecualikan berdasarkan:

a) Indiksi kedaruratan medis yang dideteksi sejak dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan atau janin yang menderita penyakit genetik berat dan atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat di perbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan atau

b) Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan

c) Tindakan sebagaiman dimaksud pada ayat 2 hanya dapat dilakukan setelah melalui konselling dan atau penasehatan pra tindakan dan akhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

d) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaaan, sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan ayat 3 diatur dengan peraturan pemerintah

Jika aborsi dilakukan karena hal-hal seperti yang dijelaskan pasal 75 ayat 2 ini, maka aborsi tidak bisa dikenakan pidana terhadap tenaga kesehatan maupun wanitanya selaku pasien.

d. Pasal 200 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan

1) dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 190 ayat 1, pasal 191 , pasal 192, pasal 196, pasal 197, pasal 198, pasal 199 dan pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap


(42)

pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan pada korporasi berupa pidana denda dengan pembertan 3 kali dari pada denda sebagaimana yang dimaksud pada pasal 190 ayat 1, psal 191 , pasal 192, pasal 196, pasal 197, pasal 198, pasal 199 dan pasal 200.

2) Selain pidana denda sebagaiman dimaksud pada ayat 1 korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa

a. pencabutan izin usaha dan atau b. pencabutan status badan hukum.

3. Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek kedokteran

Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004tentang Praktik Kedokteran ini banyak mengatur tentang masalah hukum administrasi.Masalah administrasi undang-undang ini mengatur tentang sanksi pidana bagi dokter dan dokter gigi yang melakukan kesalahan praktek kedokterannya.Juga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan, dan dokter dan dokter gigi.Serta bertujuan untuk, pertama memberikan perlindungan kepada pasien, Kedua, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi dan ketiga memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.159

UU nomor 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran memuat 6 Pasal yang mengatur mengenai ketentuan pidana yaitu Pasal 75 sampai dengan Pasal 80. Dilihat dari subjeknya ada tindak pidana yang subjeknya khusus untuk subjek tertentu dan

159


(43)

ada yang subjeknya setiap orang.Tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh subjek tertentu/khusus diatur dalam pasal 75, pasal 76, pasal 79 yaitu tindak pidana hanya dapat dilakukan khusus oleh dokter atau dokter gigi.Tindak pidana yang bisa dilakukan oleh setiap orang diatur dalam Pasal 80.Yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah orang perseorangan dan korporasi. Tindak pidana dalam UU praktek kedokteran,ditinjau dari rumusannya hanya terdapat Tindak pidana formil dirumuskan sebagai wujud perbuatan yang tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu.

Pasal 75

1. Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 2. Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja

melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

3. Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalamPasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana


(44)

penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 76

Setiap dokter, atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalamPasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 79

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:

a) dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1)

b) dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1)

c) dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.

Pasal 80

1. Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).


(45)

2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin.

Ketentuan pidana pada undang-undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang praktik kedokteran ini telah di ajukan judicial review ke mahkamah konstitusi oleh beberapa orang yang telah dirugikan secara konstitusional yaitu terbatasnya ruang gerak para profesi dokter atau dokter gigi pemohon untuk melakukan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, timbul rasa cemas dalam melakukan profesi dengan adanya pasal 75, pasal 76, dan pasal 79 dalam undang-undang ini. Persidangan itu mengabulkan sebagian permintaan termohon sebagian,dengan nomor putusan MK-NO – 4 – PUU – V – 2007.

Identitas pemohon yang mengajukan judicial review ke mahkamah kontitusi terdiri dari enam (6) dokter dan satu (1) pasien yaitu:

1.dr. Any Isfandyarie Sarwono.Sp.An.SH, profesi dokter 2. dr. Pranawa. Sp.Pd, profesi dokter

3. Prof.Dr.RM Padmo Santjojo, profesi dokter 4.dr. Bambang Tantuko, profesi dokter

5. dr.Chamin, profesi dokter

6.dr. Rama Tjandra.Sp.Og, profesi dokter


(46)

Permohonan di ajukan kemahkamah konstitusi tanggal 5 februari 2007

Pemohon 1-7 merasa dirugikan secara konstitusional muncul ras cemas dan ketidak tenangan didalam menjalankan profesinya sejak diberlakukannya undang-undang no 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran.Yang dicantumkan dalam 75, 76 dan 79 dalam undang-undang ini terdapat ancaman pidana penjara dan denda yang cukup berat bagi pemohon 1-6. Sedangkan pemohon merasa dirugikan materi dan finansial haknya untuk memperoleh layanan kesehatan secara otonom berdasarkan pilihan dan kebutuhannya, akibat berlaku pasal 37 ayat 2. Meminta kepada mahkamah konstitusi untuk menyatakan muatan materi pasal 37 ayat 2, pasal 75 ayat 1, pasal 76 dan pasal 79 huruf a, pasal 79 huruf c undang-undang nomor 29 tahun 2009 tentang praktik kedokteran bertentangan dengan undang-undang dasar 1945, dan menyatakan materi muatan pasal 37 ayat 2, pasal 75 ayat 1, pasal 76 dan pasal 79 huruf a, pasal 79 huruf c undang-undang nomor 29 tahun 2009 tentang praktik kedokteran tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Putusan mahkamah konstitusi Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian;

Menyatakan Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau” serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata “atau huruf e” Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Menyatakan Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau” serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata “atau huruf e” Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Menolak permohonan para Pemohon untuk selebihnya; Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya

Alasan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para termohon adalah Mahkamah berpendapat bahwa ancaman pidana berupa pidana penjara dan pidana kurungan adalah tidak tepat dan tidak proporsional karena pemberian sanksi pidana harus memperhatikan perspektif hukum pidana yang humanistis dan


(47)

terkait erat dengan kode etik. Dengan demikian, menurut Mahkamah: (i) ancaman pidana tidak boleh dipakai untuk mencapai suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penderitaan dan kerugian yang lebih sedikit, (ii) ancaman pidana tidak boleh digunakan apabila hasil sampingan

(side effect) yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan dikriminalisasi, (iii) ancaman pidana harus rasional, (iv) ancaman pidana harus menjaga keserasian antara ketertiban, sesuai dengan hukum, dan kompetensi (order, legitimation, and competence), dan (v) ancaman pidana harus menjaga kesetaraan antara perlindungan masyarakat, kejujuran, keadilan prosedural dan substantif (social defence, fairness, procedural and substantive justice).

Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 UU Praktik Kedokteran, serta ancaman pidana kurungan paling lama satu tahun, yang diatur Pasal 79 huruf a UU Praktik Kedokteran telah menimbulkan perasaan tidak aman dan ketakutan sebagai akibat tidak proporsionalnya antara pelanggaran yang dilakukan dengan ancaman pidana yang diatur dalam undang-undang a quo. Hal demikian tidak sesuai dengan maksud Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Sebaliknya, bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan juga dirugikan.Padahal, pelayanan kesehatan merupakan hak asasi manusia menurut Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dengan demikian, ancaman pemidanaan berupa pidana penjara dan pidana kurungan yang terdapat dalam Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 UU Praktik Kedokteran tidak sesuai dengan filsafat hukum pidana sebagaimana telah diuraikan di atas, sehingga tidak sejalan pula dengan maksud Pasal 28G Ayat (1) UUD1945. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon, sepanjang mengenai ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 UU Praktik Kedokteran, cukup beralasan


(1)

pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan pada korporasi berupa pidana denda dengan pembertan 3 kali dari pada denda sebagaimana yang dimaksud pada pasal 190 ayat 1, psal 191 , pasal 192, pasal 196, pasal 197, pasal 198, pasal 199 dan pasal 200.

2) Selain pidana denda sebagaiman dimaksud pada ayat 1 korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa

a. pencabutan izin usaha dan atau b. pencabutan status badan hukum.

3. Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek kedokteran

Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004tentang Praktik Kedokteran ini banyak mengatur tentang masalah hukum administrasi.Masalah administrasi undang-undang ini mengatur tentang sanksi pidana bagi dokter dan dokter gigi yang melakukan kesalahan praktek kedokterannya.Juga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan, dan dokter dan dokter gigi.Serta bertujuan untuk, pertama memberikan perlindungan kepada pasien, Kedua, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi dan ketiga memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.159

UU nomor 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran memuat 6 Pasal yang mengatur mengenai ketentuan pidana yaitu Pasal 75 sampai dengan Pasal 80. Dilihat dari subjeknya ada tindak pidana yang subjeknya khusus untuk subjek tertentu dan


(2)

ada yang subjeknya setiap orang.Tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh subjek tertentu/khusus diatur dalam pasal 75, pasal 76, pasal 79 yaitu tindak pidana hanya dapat dilakukan khusus oleh dokter atau dokter gigi.Tindak pidana yang bisa dilakukan oleh setiap orang diatur dalam Pasal 80.Yang dimaksud dengan “setiap

orang” adalah orang perseorangan dan korporasi. Tindak pidana dalam UU praktek

kedokteran,ditinjau dari rumusannya hanya terdapat Tindak pidana formil dirumuskan sebagai wujud perbuatan yang tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu.

Pasal 75

1. Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 2. Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja

melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

3. Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalamPasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana


(3)

penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 76

Setiap dokter, atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalamPasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 79

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:

a) dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1)

b) dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1)

c) dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.

Pasal 80

1. Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00


(4)

2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin.

Ketentuan pidana pada undang-undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang praktik kedokteran ini telah di ajukan judicial review ke mahkamah konstitusi oleh beberapa orang yang telah dirugikan secara konstitusional yaitu terbatasnya ruang gerak para profesi dokter atau dokter gigi pemohon untuk melakukan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, timbul rasa cemas dalam melakukan profesi dengan adanya pasal 75, pasal 76, dan pasal 79 dalam undang-undang ini. Persidangan itu mengabulkan sebagian permintaan termohon sebagian,dengan nomor putusan MK-NO – 4 – PUU – V – 2007.

Identitas pemohon yang mengajukan judicial review ke mahkamah kontitusi terdiri dari enam (6) dokter dan satu (1) pasien yaitu:

1.dr. Any Isfandyarie Sarwono.Sp.An.SH, profesi dokter 2. dr. Pranawa. Sp.Pd, profesi dokter

3. Prof.Dr.RM Padmo Santjojo, profesi dokter 4.dr. Bambang Tantuko, profesi dokter

5. dr.Chamin, profesi dokter

6.dr. Rama Tjandra.Sp.Og, profesi dokter


(5)

Permohonan di ajukan kemahkamah konstitusi tanggal 5 februari 2007

Pemohon 1-7 merasa dirugikan secara konstitusional muncul ras cemas dan ketidak tenangan didalam menjalankan profesinya sejak diberlakukannya undang-undang no 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran.Yang dicantumkan dalam 75, 76 dan 79 dalam undang-undang ini terdapat ancaman pidana penjara dan denda yang cukup berat bagi pemohon 1-6. Sedangkan pemohon merasa dirugikan materi dan finansial haknya untuk memperoleh layanan kesehatan secara otonom berdasarkan pilihan dan kebutuhannya, akibat berlaku pasal 37 ayat 2. Meminta kepada mahkamah konstitusi untuk menyatakan muatan materi pasal 37 ayat 2, pasal 75 ayat 1, pasal 76 dan pasal 79 huruf a, pasal 79 huruf c undang-undang nomor 29 tahun 2009 tentang praktik kedokteran bertentangan dengan undang-undang dasar 1945, dan menyatakan materi muatan pasal 37 ayat 2, pasal 75 ayat 1, pasal 76 dan pasal 79 huruf a, pasal 79 huruf c undang-undang nomor 29 tahun 2009 tentang praktik kedokteran tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Putusan mahkamah konstitusi Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian;

Menyatakan Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata

“penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata

“kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau” serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata “atau huruf e” Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Menyatakan Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata

“penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata

“kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau” serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata “atau huruf e” Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Menolak permohonan para Pemohon untuk selebihnya; Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya

Alasan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para termohon adalah Mahkamah berpendapat bahwa ancaman pidana berupa pidana penjara


(6)

terkait erat dengan kode etik. Dengan demikian, menurut Mahkamah: (i) ancaman pidana tidak boleh dipakai untuk mencapai suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penderitaan dan kerugian yang lebih sedikit, (ii) ancaman pidana tidak boleh digunakan apabila hasil sampingan (side effect) yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan dikriminalisasi, (iii) ancaman pidana harus rasional, (iv) ancaman pidana harus menjaga keserasian antara ketertiban, sesuai dengan hukum, dan kompetensi (order, legitimation, and competence), dan (v) ancaman pidana harus menjaga kesetaraan antara perlindungan masyarakat, kejujuran, keadilan prosedural dan substantif (social defence, fairness, procedural and substantive justice).

Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 UU Praktik Kedokteran, serta ancaman pidana kurungan paling lama satu tahun, yang diatur Pasal 79 huruf a UU Praktik Kedokteran telah menimbulkan perasaan tidak aman dan ketakutan sebagai akibat tidak proporsionalnya antara pelanggaran yang dilakukan dengan ancaman pidana yang diatur dalam undang-undang a quo. Hal demikian tidak sesuai dengan maksud

Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Sebaliknya, bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan juga dirugikan.Padahal, pelayanan kesehatan merupakan hak asasi manusia menurut Pasal

28H Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dengan demikian, ancaman pemidanaan berupa pidana penjara dan pidana kurungan yang terdapat dalam Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 UU Praktik Kedokteran tidak sesuai dengan filsafat hukum pidana sebagaimana telah diuraikan di atas, sehingga tidak sejalan pula dengan maksud Pasal 28G Ayat (1) UUD1945. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon, sepanjang mengenai ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 UU Praktik Kedokteran, cukup beralasan