Pertanggungjawaban Pidana Dokter Yang Melakukan Malpraktek ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 365K/PID/2012 )

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Ameln, Fred, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta, 1991

Astuti, Endang Kusumah, Hubungan Hukum Antara Dokter dan Pasien Dalam Upaya

Pelayanan Medis, Semarang, 2003

Azrul, Azwar, Kriteria Malpraktek Dalam Profesi Kesehatan, Makalah Kongres Nasional IV PERHUKI, Surabaya, 1996

Fuady, Munir, Sumpah Hippocrates Aspek Hukum Malpraktik Dokter, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005

Guwandi, J, Pengantar Ilmu Hukum dan Bio-etika, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2009

---, Hukum Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2004

---, Sekitar Gugatan Malpraktik Medik, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010

Hanafiah, Yusuf & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1999

Haryani, Safitri, Sengketa Medik: Alternatif Penyelesaian Perselisihan antara Dokter dengan

Pasien, Diadit Media, Jakarta, 2005

Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, UMM Press, Malang, 2007

Isfandyarie, Anny, Malpraktek dan Resiko Medik: Dalam Kajian Hukum Pidana, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005

Kerbala, Husein, Segi-segi dan Yuridis Informen Consent, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993

Komala, Veronica, Hukum dan Etika Dalam Praktik Dokter, Sinar Harapan, Jakarta, 1989 ---, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Teraupetik: Persetujuan Dalam

Hubungan Dokter dan Pasien, Suatu Tinjauan Yuridis, Citra Aditya Bakti, Bandung,

2002

Koeswadji, Hermien Hadiati, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University Press, Surabaya, 1984


(2)

---, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Asas-asas dan

Permasalahan Dalam Implementasinya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

---, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University Press, Surabaya, 1984

Marpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh: Pemberantasan dan

Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, 2000

Muhammad, Kartono, Hak Pasien untuk Mengetahui Cara Penyembuhan Dalam Rumah Sakit, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990

Moelyatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987

Remmelink, Jan, Hukum Pidana, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003

Saleh, Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta

Soekanto, Soerjono, Kontrak Terapeutik antara Pasien dengan Tenaga Medis, Media Hospital (Februari, 1987)

---, Aspek Hukum Kesehatan, Indonesia-Hill-Co, Jakarta, 1989 Soewono, Hendrojono, Malpraktek Dokter, Srikandi, Surabaya, 2007

Syahrizal, Danda, Senja Nilasari, Undang-undang Praktik Kedokteran dan Aplikasinya, Dunia Cerdas, Jakarta

Supriadi, Wila Chandrawila, Hukum Kedokteran, CV. Mandar Maju, Bandung, 2002 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sodarto, Semarang, 1990


(3)

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN DOKTER DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 365K/PID/2012 A. Pertanggujawaban Pidana

Pertatanggungjawaban pidana baru dapat dimintakan pada pelaku dari suatu tindak pidana apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:46

Sudarto menyatakan bahwa kesalahan terdiri dari atas beberapa unsur, yaitu; 1. Kesalahan

Dipidanannya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Meskipun perbuatan seseorang pelaku memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana, untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah.

Asas Tiada pemidanaan tanpa kesalahan yang menyatakan bahwa seseorang tidak mungkin dijatuhkan pidana tanpa sebelumnya dapat dibuktikan adanya kesalahan. Asas ini tidak tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Indonesia atau dalam peraturan lain, namun berlakunya asas ini sekarang tidak diragukan, akan bertentangan dengan rasa keadilan apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah.

47

46

Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sodarto, Semarang, 1990, hal. 85 47

Ibid, hal. 91

a.Adanya kemampuan bertanggung jawab pada sipembuat (Schuldfahigkeit atau


(4)

b. Hubungan batin antara sipembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culva), ini disebut bentuk-bentuk kesalahan.

c. Tidak adanya alasan yang menghapuskan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf. Bentuk-bentuk kesalahan terdiri dari :

a. Kesengajaan

Dalam Memorie van Toelichting (MVT) Menteri kehakiman sewaktu mengajukan Criminiel Wetboek tahun 1881 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia tahun 1915), dijelaskan: “sengaja” diartikan: dengan sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu. Jadi dapat dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu. Misalnya seorang ibu, yang sengaja tidak memberi susu kepada anaknya, menghendaki dan sadar akan perbuatannya tersebut.48

Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian sengaja, yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan.49

48

Ibid,hal.102

49

Moelyatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta,1987, hal.171-176

Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Sebagai contoh, A mengarahkan pistol kepada B dan A menembak mati B, A adalah sengaja apabila A benar-benar menghendaki kematian B. Menurut toeri pengetahuan atau pembayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih


(5)

dahulu telah dibuat. Teori ini menitik beratkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan si pembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat.

Dari kedua tersebut di atas Moelyatno lebih cenderung kepada teori pengetahuan atau teori bayangan, dengan alasan: Karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab untuk menghendaki sesuatu, orang lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan tentang sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui seseorang belum tentu saja dikehendaki olehnya. Lagi pula kehendak merupakan arah, makksud atau tujuan, hal mana berhubungan dengan motif (alasan pendorong untuk berbuat) dan tujuan perbuatannya. Konsekwensinya ialah bahwa ia menentukan sesuatu perbuatan yang dikehendaki oleh terdakwa, maka (1) harus dibuktikan bahwa pebuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan tujuan hendak dicapai; (2) antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin terdakwa.

Dalam perkembangannya kemudia, secara teoritis bentuk kesalahan berupa kesengajaan itu dibedakan menjadi tiga corak, yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan dengan sadar kepastian dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan.

b. Kealpaan

Yang dimaksud dengan kealpaan atau kelalaian adalah seseorang tidak bermaksud melanggar larangan undang-undang, tapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. Jadi dalam kealpaan terdakwa kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaak yang dilarang.


(6)

Mengenai kealpaan ini, Moelyatno mengutif dari Smidt yang merupakan keterangan resmi dari pihak pembentuk WVS sebagai berikut: 50

Moelyatno berkesimpulan bahwa kesengajaan adalah yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi dasarnya sama, yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, adanya kemampuan bertanggungjawab dan tidak adanya alasan pemaaf, tetapi bentuknya lain. Dalam kesengajaan sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu yang obyektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.

Pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar berbahaya terhadap keadaan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehingga wetharus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati, yang teledor. Dengan pendek, yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukanlah menentang larangan tersebut, dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kesalahannya, kekeliruannya dalam bati sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan hal yang dilarang, ialah bahwa ia kurang mengindahkan larangan itu.

51

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung jawab. Yang berhubungan dengan itu ialah Pasal 44: “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit tidak dipidana”. Dari Pasal 44, Moelyato menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:

2. Kemapuan Bertanggung Jawab

52

50

Ibid, hal. 198

51

Ibid, hal. 201

52


(7)

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Memorie van Toelichting (Memori penjelasan KUHP) secara negatif menyebutkan

mengenai pengertian kemampuan bertanggung jawab, antara lain: Tidak ada kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat:

a. Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang

b. Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang demikian rupa, sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya. 53

Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan merupakan alasan yang menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum pidana) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP ialah Pasal 44 (tidak mampu bertanggung jawab), Pasal 49 ayat 2 )noorweer exces), Pasal 51 ayat 2 (dengan itikad baik melakukan perintah jabatan yang sah).

3. Tidak ada alasan pemaaf

54

53

Sudarto, Op.Cit, hal.94 54

Ibid, hal.139


(8)

1. Kronologi

Siska Makatey alias Juliana Fransiska Makatey pada tanggal 9 April 2010 hendak melahirkan dibawa ke Puskesmas Bahu, karena kekurangan alat pada tanggal 10 April dirujuk ke Rumah Sakit Kandao Malalayang, Manado untuk menjalani proses persalinan. Pada pukul 22.00 WITA Siska Makate dipindahkan dari ruangan persalinan ke Ruang operasi Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R.D. Kandouw untuk dilakukan operasi cito sescio

sesaria oleh dr Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa

II), dr. Hendy Siagian(Terdakwa III) dan Anita Lengkong. Dalam operasi tersebut dr Hendry Simanjuntak bertindak sebagai asisten operator I dan dr Hendi Siagian sebagai asisten operator II. dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian bertugan untuk membantu dan memperjelas lapangan operasi yang di lakukan dr Dewa Ayu Sasiary Prawani sebagai pelaksana operasi/operator operasi. Sebelum operasi dilaksanakan dr. Hendy Siagian menyerahkan surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi pada Siska Makate untuk ditandatangani. Penanda tanganan ini disaksikan oleh dr Dewa Ayu Sasiary Prawani dari jarak kurang lebih 7 meter. Berdasakan persetujuan tersebut dr Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian melakukan operasi terhadap Siska Makatey

dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani mengiris dinding perut lapis demi lapis sampai pada rahim korban kemudia bayi yang berada di dalam rahim korban diangkat dan setelah bayi diangkat dari dalam rahim korban, rahim korban dijahit sapai tidak terdapat pendarahan lagi dan dibersikan dari bekuan darah, selanjutnya dinding perut milik korban dijahit. Sebelum operasi cito sescio sesaria dilakukandr Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian tidak pernah menyampaikan pada pihak keluarga korban tentang


(9)

kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban dan tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rotgen dada dan pemeriksaan penunjang lainnya sedangkan tekanan darah pada saat sebelum korban dianestesi sedikit tinggi yaitu 160/70.

Setelah selesai operasi dilakukan dr Dewa Ayu Sasiary Prawani melapor pada Najoan Nan Waraouw sebagai konsultan jaga bagian kebidanan dan Penyakit Kandungan bahwa nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x permenit dan saat itu Najoan Nan Waraouw menanyakan apakah sudah dilakukan pemeriksaan jantung/EKG terhadap diri korban selanjutnya dijawab oleh dr Dewa Ayu Sasiary Prawani tentang hasil pemeriksaan adalah

Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) dan Najoan Nan Waraouw mengatakan

bahwa denyut nadi 180 (seratus delapan puluh) x permenit bukan Ventrikel Tachy Kardi (denut jantung sangat cepat) tetapi Fibrilasi (kelainan irama jantung). Berdasarkan keterangan dr Erwin Didion Kristanto, SH,Sp.F bahwa pada saat masuk RSU Prof. Dr. R.G. Kandauw keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat.

Para Terdakwa sebagai dokter dalam melaksanakan operasi cito sescio sesaria terhadap korban Siska Makatey, lalai dalam menangani korban pada saat masih hidup dan saat pelaksanaan operasi sehingga terhadap diri korban terjadi emboli udara yang masuk kedalam bilik kanan jantung yang menghambat dara masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagaglan fungsi jantung.

Akibat dari perbuatan terdakwa, korban Siska Makatey meninggal dunia dan berdasarkan Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R.D. Kandauw yang ditanda tangani oleh dr. Johannis F. Mallo menyatakan bahwa:


(10)

2. Lama kematian si korban tidak apat ditentukan, oleh karena proses perubahan pada tubuh korban setelah kematian (Thanatologi) sebagian besar penilaian, terhambat dengan adanya pengawetan jenazah. Sesuai dengan besarnya rahim dapat dinyatakan korban meninggal dalam hari pertama setelah melahirkan.

3. Tanda kekerasan yang ditemukan pada pemeriksaan tubuh korban:

a. Pada pasal satu angka romawi ayat empar (a) adalah kekerasan tumpul sesuai dengan tanda jejas sungkup alat bantu pernapasan

b. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (b) dan pasal dua angka romawi ayat tiga adalah kekerasan tajam sesuai dengan tindakan medik dalam operasi persalinan

c. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (c) adalah kekerasan tajam sesuai dengan tanda perawatan medis sewaktu korban hidup

d. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (d) adalah kekerasan tajam sesuai tanda perawatan pengawetan jenazah

e. Udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh darah baik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi kompilasi dari persalinan itu sendiri

f. Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Jaksa Penuntut Umum, berdasarkan surat dakwaan Nomor. Reg.Perk: PDM-12/M.ndo/Ep.2/01/2011 tertanggal 9 Maret 2011 mendakwa dr. Dewa Ayu Sasiary


(11)

Prawani(Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II), dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III), dengan susunan dakwaan sebagai berikut;

Kesatu:

Primer: Perbutan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 359 KUHP Jis Pasal 361 KUHP, Pasal 55 ayat (1) Ke- 1 KUHP;

Subsidair: Perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 359 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP

Kedua: Perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Jo Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP;

Ketiga:

Primer : Perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP

Subsidair: Perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Jaksa Penuntut umum dengan surat tuntutan No.Reg. Per:PDM-43/M.ndo/Ep.1/09/2010 tanggal 9 Agustus 2011, meminta agar Majelis Hakim dapat memutuskan sebagai berikut;

a. Menyatakan dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian, terbukti secara sh dan meyakinkan, telah bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 359 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;


(12)

b. Menjatuhkan hukuman terhadap dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dr. Hendy Siagian, dengan pidana penjara 10 (sepuluh) bulan

4. Pertimbangan Hakim

Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Manado adalah sebagai berikut; 1. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PUU/-V/2007 terhadap uji materiil

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tanggal 19 Juni 2007, menurut majelis hakim dakwaan alternatif kedua yang diajukan oleh Jaksa penuntut Umum bahwa para terdakwa melanggar Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran sudah bukan merupakan tindak pidana sehingga dengan demikian para terdakwa harus dibebasakan pula dari dakwaan alternatif kedua.

2. Oleh karena para terdakwa dibebaskan dari dakwaan alternatif kedua maka Majelis Hakim mempertimbangkan dakwaan alternatif ketiga primer perbutan para terdakwa sebagaimana diancam pidana dalam Pasal 263 ayat 1 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

3. Karena unsur membuat surat palsu atau memalsukan surat tidak terpenuhi menurut hukum maka unsur lainnya tidak perlu dibuktikan lagi dan para terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan alternatif ketiga primer yaitu melanggar Pasal 263 ayat (1) Jo Pasal 55 ayar (1)ke-1 KUHP

4. Selanjutnya majelis hakim akan mempertimbangkan dakwaan alternatif ketiga subsidair sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP

5. Sebagaimana telah dipertimbangkan di atas dalam dakwaan alternatif ketiga primer, Menurut Majelis Hakim surat persetujuan khusus, surat persetujuan pembedahan dan


(13)

anestesi tertanggal 10 April tersebut tidak dapat dikatakan palsu dan harus dinyatakan tidak terbukti telah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan alternatif ketiga subsidair yaitu melanggar Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan para terdakwa dibebaskan dari dakwaan alternatif ketiga subsidair

6. Berdasarkan keseluruhan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka menurut Majelis Hakim para terdakwa harus dibebaskan dari semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum yaitu; dakwaan kesatu primair melanggar Pasal 359 KUHP Jis Pasal 361 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dakwaan kedua Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dakwaan ketiga primair Pasal 263 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP, subsidair Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

7. Dikarenakan para terdakwa dinyatakan dibebaskan dan semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum, maka nama baik terdakwa haruslah dipulihkan dalam kedudukan, kemampuan, harkat serta martabatnya.

4. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Manado

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Manado pada sidang hari Kamis 22 September, melalui Putusan Nomor 90/PID.B/2011/PN. MDO memutuskan sebagi berikut:

1. Menyatakan dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan Kesatu Primer dan subsidair, dakwaan kedua dan dakwaan ketiga primer subsidair;

2. Membebaskan terdakwa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian oleh karena itu dari semua dakwaan (Vrijspraak);


(14)

3. Memulihkan hak para Terdakwa dalam kemampuan, kedudukandan harkat serta martabanya.

5. Putusan Mahkamah Agung

Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Kasasi Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Manado, dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/PID.B/2011/PN.MDO Tanggal 22 September 2011, mengadili sendiri:

1. Menyatakan para terdakwa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (terdakwa II), dan dr. Hendy Siagian (terdakwa III) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain.

2. Menjatuhkan pidana para terdakwa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (terdakwaI), dr. Hendry Simanjuntak (terdakwa II), dan dr. Hendy Siagian (terdakwa III) dengan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan.

Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya menilai bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Manado telah salah menerapkan hukum karena seharusnta Majelis hakim dapat mempertimbangkan unsur subyektif maupun unsur obyektif berdasarkan alat-alat bukti yang sah yaitu keterangan saksi-saksi, bukti surat, petunjuk serta keterangan terdakwa, diperoleh fakta bahwa:

1. Berdasarkan keterangan saksi dr. Hermanus Jakobus Lalenoh, SpAn bahwa jawaban kosul terhadap surat konsul yang dikirim oleh bahagian kebidanan kepada bagian anestasi tersebut menyatakan bahwa pada prinsipnya kami setuju untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi resiko tinggi, oleh karena itu adalah operasi darurat maka mohon dijelaskan kepada keluarga resoko yang bisa terjadi usai operasi.


(15)

2. Berdasarkan keterangan dari saksi Prof.Dr. Najoan Nan Warouw SpOG bahwa terdakwa I mengatakan operasi terhadap pasien/korban telah selesai dilakukan dan pada saat operasi dilakukan yaitu sejak sayatan didnding perut pertama sudah mengeluarkan darah hitam, selama operasi dilaksanakan kecepatan nadi tinggi yaitu 160 (seratus enam puluh)x permenit,saturasi oksigen hanya berkisar 85 % sampai dengan 87 %, setelah operasi selesai dilakukan kecepatan nadi pasien/korban adalah 180 (seratus delapan puluh) x permenit dan setelah selesai operasi baru dilakukan pemeriksaan EKG/periksa jantung yang dilakukan oleh bagian penyakit dalam dan saksi menanyakan apak sudah dilakukan pemeriksanan jantung karena saksi berpikir keadaan ini penyebabnya dari jantung serta jawaban terdawa I sementara dilakukan pemeriksaan dan hasilnya sudah ada yaitu bahwa pada penderita terjadi Ventrikel Tachy Kardi (denyut nadi yang cepat) tetapi saksi menyatakan bahwa itu bukan Ventrikel Tachy Kardi, jika denyut nadi sudah diatas 160 x permenit tetapi Fibrilasi yaitu pertanda bahwa pada jantung terjadi kegagalan yang akut dan pasti pasien akan meninggal. Sejak Terdakwa I mengawasi korban pada pukul 09.00 WITA sampai dengan pukul 18.000 WITA tindakan yang dilakukan oleh terdakwa I hanya pemeriksaan tambahan dengan USG dan sebagai tindakan medis yang telah dilakukan tidak dimasukkan kedalam rekaman medis dan terdakwa i sebagai ketua residen yang bertanggung jawab saat itu tidak mengikuti seluruh tindakan medis beserta rekam medis termasuk terdakwa I tidak mengetahui tentang pemasangan infus yang telah dilakukan terhadap korban.

Berdasarkan keterangan-keterangan saksi dan saksi ahli, Mahkamah Agung memberi pertimbangan sebagai berikut:


(16)

1. Judex Facti salah menerapkan hukum, karena tidak mempertimbangkan dengan benar hal-hal yang relevan secara yuridis, yaitu berdasarkan hasil rekaman medis No. 041969 yang telah dibacakan oleh saksi ahli dr. Erwin Gidio Kristanto, SH,SpF, bahwa pada saat korban masuk Rumah Sakit Umum Prof.Dr. R.D. Kandou, keadaam umum korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat

2. Para terdakwa sebelum melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban dilakukan, para terdakwa tanpa menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan yang dapat terjadi terhadap diri korban

3. Perbuatan para terdakwa melakukan operasi terhadap korban Siska Makatey yang kemudian terkadi emboli udara yang masuk kedalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk keparu-paru kemudian terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalab fungsi jantung

4. Perbuatan para terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan meninggalnya korban Siska Makatey sesuai surat keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R.D. Kandou.

B. Analisis Kasus 1. Kesalahan

dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendri Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian secara bersama-sama turut serta melakukan perbuatan yang mengakibatkan meninggalnya Makatey (korban). Pasal 55 ayat 1 KUHP. Keturut sertaan para pelaku telah memenuhi syarat-syarat yang diperlukan agar penyertaan tersebut dapat dikatakan ikut serta:55

55

Loebby Logman, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Universitas Tarumanegara, Jakarta, 1995, hal. 67


(17)

Dalam turut serta melakukan, para peserta menyadari akan dilakukannya tindak pidana. Mereka sadar bahwa mereka bersama-sama melakukan tindak pidana. Kesadaran tersebut tidak perlu harus jauh sebelum dilakukannya tindak pidana tersebut

2. kerjasama dalam tindak pidana harus secara fisik

Semua peserta dalam turut serta melakukan harus sama-sama secara fisik melaksanakan tindak pidana tersebut. Hoge Raad berpendapat bahwa tidak perlu semua peserta dalam turut serta melakukan harus memenuhi semua unsur tindak pidana yang dilakukan. Hal yang terpenting menurut Hoge Raad adalah dipenuhinya syarat-syarat bentuk penyertaan turut serta melakukan.

Perbuatandr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendri Simanjuntak dan dr. Hendy Siagiansecara bersama sama telah memenuhi unsur-unsur Pasal 359 KUHP; Barangsiapa karena salahnya (kealpaannya) menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-selama-lamanya satu tahun”.

Kesalahan yang dilakukan dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendri Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian telah melakukan kealpaan yang menyebabkan korban meninggal dalam melakukan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban yang bernama Siska Makatey, dalam kesalahan tersebut maka dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi Cito Secsio Sesaria tersebut dilakukan terhadap diri korban dan para terdakwa sebagai dokter yang melakukan operasi

Cito Secsio Sesaria ini, dalam kasus ini terdapat kesalahan-kesalahan seperti tidak

melakukannya pemeriksaan jantung, foto rontgen, dada dan pemeriksaan penunjang lainnya, sedangkan tekanan darah pada saat sebelum melakukan pembiusan, sedikit tinggi yaitu


(18)

menunjukkan angka 160/70 (seratus enam puluh per tujuh puluh) dan pada waktu kurang lebih pukul 20:10 WITA, hal tersebut telah disampaikan oleh saksi dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp. An. pada prinsipnya bagian anestesi melalui jawaban konsul kepada bagian kebidanan bahwa pada prinsipnya disetujui untuk dilaksanakannya pembedahan dengan anestesi resiko tinggi, oleh karena itu mohon dijelaskan kepada keluarga segala kemungkinan bisa terjadi, tetapi pemeriksaan jantung terhadap korban dilaksanakan setelah pelaksanaan operasi selesai dilakukan kemudian pemeriksaan jantung tersebut dilakukan setelah dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani melaporkan kepada saksi Najoan Nan Waraouw sebagai konsultan jaga kebidanan dan penyakit kandungan bahwa nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x per detik dan pada saat itu saksi Najoan Nan Waraouw menanyakan kepada dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani jika telah dilakukan pemeriksaan jantung/EKG (Elektri Kardio Graf atau Rekam Jantung) terhadap diri korban, selanjutnya dijawab oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani tentang hasil pemeriksaan adalah Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) dan saksi Najoan Nan Waraouw mengatakan bahwa denyut nadi 180 (seratus delapan puluh) x bukan Ventrikel

Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) tetapi Fibrilasi (kelainan irama jantung.

dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani melakukan pembiusan terhadap korban Siska Makatey, belum mengetahui bahwa korban Siska Makatey tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan pemeriksaan penunjang lainnya, dan selain itu juga dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani belum menyampaikan kepada keluarga korban bahwa tentang kemungkinan-kemungkinan ini bisa menyebabkan kematian, bedasarkan hasil rekam medis No. 041969 yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin Gidion Kristanto , SH.Sp.F. bahwa pada saat korban masuk RSU ( Rumah Sakit Umum) Prof. R.D.


(19)

Kandou Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat.

dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendri Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian telah lalai dalam menangani korban pada saat masih hidup dan saat pelaksanaan operasi sehingga terhadap diri korban terjadi emboli udara yang masuk kedalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.

Para terdakwa lalai untuk melakukan suatu tindakan atau untuk tidak melakukan suatu tindakan tertentu terhadap pasien dan kondisi yang tertentu. Para terdakwa telah melakukan penyimpangan kewajiban, para terdakwa telah menimbulkan kerugian dengan tindakan kedokteran yang telah dilakukan terdakwa terhadap korban, Para terdakwa telah menimbulkan suatu hubungan sebab akibat yang nyata, yaitu terdapatnya tindakan kedokteran dari para terdakwa dengan suatu keadaan korban yang dikatakan darurat sejak tidak terdapat kemajuan persalinan pada pukul 18.30 WITA tetapi yang seharusnya sejak korban datang dengan surat rujukan dari Puskesmas dan masuk ke ruang Instalasi Rawat Darurat Obstetrik keadaan korban sudah dapat dikatakan darurat, kemudian sejak diketahuinya ketuban dari korban yang telah pecah sejak di Puskesmas, rekam medis yang tidak dibuat sepenuhnya dalam setiap tindakan medik yang dilakukan, pemasangan infus dengan jenis obat yang tidak deketahui oleh para terdakwa sampai dengan dikeluarkannya resep dokter secara berulang kali hingga ditolak oleh pihak apotik, tidak terdapat koordinasi yang baik dalam tim melakukan tindakan medik.

Akibat perbuatan dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendri Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian mengakibatkan korban meninggal dunia berdasarkan Surat Keterangan


(20)

Rumah Sakit Umum Prof.Dr.R.D.kandou Manado No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010 dan di tandatangani oleh dr. Johannis F. Mallo, SH.SpF.DFM yang menyatakan bahwa:

-Korban telah diawetkan dengan larutan formalin, melalui nadi besar paha kanan;

- Lama kematian si korban tidak dapat ditentukan, oleh karena proses perubahan pada tubuh korban setelah kematian (Thanatologi) sebagai dasar penilaian, terhambat dengan adanya pengawetan jenazah.

- Sesuai dengan besarnya rahim dapat menyatakan korban meninggal dalam hari pertama setelah melahirkan;

- Tanda kekerasan yang temukan pada pemeriksaan korban :

- Udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian cairan atau infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu sendiri.

- Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga mengakibatkan kegagalan fungsi jantung. Pasal 52 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai hak untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang:

a. Diagnosa dan tata cara tindakan medik; b. Tujuan tindakkan medis yang dilakukan; c. Alternatif tindakan laain dan resikonya;


(21)

e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan, setelah itu dilakukan kepada pasien barulah si pasien diminta persetujuannya untuk dilakukan tindakan medik.56

Surat persetujuan tindakan medis sebagaimana diatur dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tidak pernah dimintakan para terdakwa pada korban maupun keluarganya. Surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi untuk ditanda tangani korban berbeda dengan tanda tangan korban yang ada di Kartu Tanda Para terdakwa sama sekali tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk dari tindakan medik yang akan dilaksanakan. Para terdakwa lalai untuk melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rotgen dada dan pemeriksaan penunjang lainnya sebelum operasi cito secsio sesaria dilakukan. Pemeriksaan jantung korban dilaksanakan setelah operasi selesai dilakukan, itupun dilakukan setelah dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani melapor kepada Najoan Nan Waraou sebagai konsultas jaga kebidanan dan penyakit kandungan, hasil pemerikasaan nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x permenit dan saat itu saksi Najoan Nan Waraou menanyakan kepada dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani kika dilakukan pemriksaan jantung/EKG terhadap diri korban, selanjutnya di jawab oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani tentang hasil pemeriksaan adalah Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) dan saksi Najoan Nan Waraou menyatakan bahwa denyut nadi 180 (seratus delapan puluh) x per menit bukan Ventrikel

Tachy Kardi tetapi fibrilasi (kelainan irama jantung) dan saksi Najoan Nan Waraou

mengatakan bahwa kondisi pasien/korban jelek dan pasti meninggal. Karena terjadi kegagalan yang akut disebabkan karena emboli (penyumbatan pembuluh darah oleh suatu bahan seperti darah, air ketuban, udara, lemak, trombus dan komponen-komponen lainnya) .

56


(22)

penduduk dan Kartu Askes. Ternyata dari hasil Pemeriksaan Laboratorium Kriminal, surat persetujuan tindakan medik tersebut merupakan tanda tangan karangan (palsu).

Perbuatandr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendri Simanjuntak dan dr. Hendy Siagiansecara bersama sama telah memenuhi unsur-unsur Pasal 359 KUHP; Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun”.

2. Kemampuan bertanggungjawab

dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani,dr. Hendri Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian mampu bertanggung jawab, karena para terdakwa tidak termasuk dalam keadaan jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP. Para terdakwa mampu untuk membede-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk dan mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyapan tentang baik dan buruknya perbuatan.

3. Tidak ada Alasan Pemaaf

Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa seseorang tidak boleh dicela menurut hukum, dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggung jawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi di sini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pemaaf yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah;

1. Pasal 44 KUHP

(1) Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan, maka tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berybah akal tidak boleh dihukum

(2) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akan maka hakim boleh


(23)

memerintahkan menempatkan dia dirumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa

(3) Yang ditentukan dalam ayat yang diats ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.

R. Soesilo memberi penjelsan terhadap Pasal 44 KUHP ini, sebagi berikut:57

Untuk adanya melapaui batas pembelaan darurat ini harus ada syarat-syarat sebagai berikut:

Yang dimaksud akal disini adalah kekuatan pikiran, daya pikir, kecerdasan. Siapa yang dianganggap sebagai kurang sempurna akalnya itu misalnya idioot, imbicil, buta-tuli dan bisu mulai lahir. Orang-orang semacam ini sebenarnya tidak sakit, akan tetapi karena cacat-cacatnya mulai lahir, sehingga pikirannya tetap sebagai anak-anak. Sakit berobah akalnya, misalnya; sakit gila, manie, hysterrie, epilepsie, malancholie dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya. Orang yang terganggu pikirannya karena mabuk minum-minuman keras pada umumnya tidak dipandang masuk golongan orang tersebut sebelumnya, kecuali jika dapat dibuktikan, bahwa mabuknya itu demikian rupa, sehingga ingatannya hilang sama sekali. 2. Pasal 49 ayat 2 (Noorweer Exces)

“ Tidak dipidana sesorang yang malapaui batas pembelaan yang diperlukan, jika perbuatan itu merupakan akibat langsung dari suatu kegoncangan jiwa yang hebat yang disebabkan oleh serangan itu”

58

57

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-KomentarnyaLengkap

Pasal demi Pasal, Politia, Bogor, 1980, hal.51-51

58

Sudardo, Op.Cit, hal 151

1. Kelapauan batas pembelaan yang diperlukan

2. Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat (suatu perasaan hati yang panas


(24)

3. Kegoncangan jiwa yang hebat itu disbabkan karena adanya serangan dengan kata lain, antara gegoncangan jiwa tersebut dan serangan harus ada hubungan kausal.

Yang mengakibatkan kegoncangan jiwa yang hebat itu harus penyerangan itu dan bukan, misalnya karena sifat mudah tersinggung. Yang perlu diperhatikan bahwa serangan itu dapat menimbulkan akibat kegoncangan jiwa yang hebat bagi orang biasa pada umumnya. Jadi yang dimaksud Noorweer Exces adalah cara pembelaan diri yang melampaui batas keperluan pembelaan, sedangkan apa yang dimaksud dengan melampaui batas keperluan pembelaan itu. Pembelaan merupakan Noorweer apabila pembelaan itu, kecuali ditujukan kepada pembelaan badan, kehormatan, harta benda harus bersifat:

1. Perlu: dikatakan perlu apabila tidak ada jalan yang mungkin untuk menghindari serangan itu

2. Keharusan: yang dimaksud keharusan adalah harus ada yang diancam dan kepentingan hukum yang dilanggar karena pembelaan.

Seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan berdasarkan perintah yang tidak sah tidak dihukum, apabila orang tersebut memenudi syarat-syarat: Jika perintah yang tidak sah itu, dikiranya perintah yang sah atau secara patut ia mengira bahwa perintah itu adalah san dan perintah itu harus terletak pada lingkungan kekuasaan yang diperintah.

3. Pasal 51 ayat 2 Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah

“ Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebasakan dari hukum, kecuali jika pegawai yang dibawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu seakan-akan diberika kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang dibawah perintah tadi”.


(25)

Suatu perintah jabatan yang tidak sah menghapuskan dapat dipidananya seseorang. Perbuatan orang ini tetap bersifat melawan hukum, akan tetapi perbuatannya tidak dipidana, apabila memenuhi syarat-syarat:

1. Jika ia mengira dengan itidak baik bahwa perintah itu sah

2. Perintah itu terletak dalam lingkup wewenang dari orang yang diperintah.

Dalam Kasus dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendri Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian sebagai pelaku secara bersama-sama melakukan tindakan medik operasi Caesar yang mengakibatkan Siska Makatey meninggal dunia. Pada diri pelaku tidak terdapat alasan pemaaf atau alasan yang menghapuskan kesalahan .


(26)

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bedasarkan hasil dari pembahasan, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut :

1. Undang-Undang No.29 tahun 2004 tentang malpraktik telah banyak menjadi korban dalam malpraktek ini, seperti korban yang bernama Siska Makatey dalam operasi Cito Secsio Sesaria harus meninggal karena akibat kelalaian dokter yang menyebabkan korban tersebut meninggal, dan dalam kejadian itu juga dr.Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian telah melakukan tindakan malpraktek, dalam kejadian tersebut ketiga dokter tersebut melakukan tindak pidana melakukan kelalaian yang menyebabkan seseorang meninggal, dalam kejadian tersebut dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani tidak memiliki Surat Ijin Praktik (SIP) seharusnya dalam melakukan tindakan medis seperti operasi seorang dokter harus mempunyai Surat Ijin Praktik (SIP) dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani telah melanggar kode etik kedokteran yang dimana telah melakukan tindakan operasi Cito Secsio Sesaria tanpa adanya Surat Ijin Praktek (SIP). Masalah pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada Rumah Sakit yang menanggung akibat dari tindakan dari dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani dan dokter-dokter lainnya, dan begitu pula dengan dr.Dewa Ayu Sasiary Prawani yang menanggung akibat darp perbuatannya telah menghilangkan nyawa seseorang dalam melakukan tindakan medis yang menyebabkan pasien tersebut meninggal, dan dr.Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr, Hendy Siagian telah menerima hukuman dari Mahkamah Agung adalah hukuman penjara selama 10 bulan penjara akibat perbuatannya telah melalaikan pasien dalam tindakan medis tersebut dalam operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban Siska Makatey dan telah


(27)

melakukan tindakan medis tanpa adanya Surat Ijin Praktek (SIP) dan sudah melanggar kode etik kedokteran.

2 Dalam pertimbangan hukum dalam menjatuhkan terhadap dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian dalam kasus malpraktek dalam melakukan tindakan medis yang mengakibatkan korban Siska Makatey meninggal duniadan akibat dari kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang mati, diancam dengan pidana paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun kejadian tersebut banyak orang tidak yakin dengan dokter yang telah melakukan malpraktek mereka tidak yakin dengan dokter tersebut. Dengan ini banyak sekali ketakutan akan masyarakat akan kasus malpraktek yang dialami oleh orang yang sakit tersebut dan banyak keluarga yang takut dengan kehilangan anggota keluarganya akibat kejadian tersebut dan mereka semakin takut dengan dokter yang telah melakukan tindakan malpraktek.

3. Dalam kasus malpraktek ini, banyak sekali yang dirugikan seperti anggota keluarga, Rumah Sakit yang bersangkutan, anggota keluarag dokter yang menjadi terdakwa dalam kasus malpraktek, dan orang-orang yang melakukan pengobatan dengan dokter tersebut, dengan kasus tersebut maka seorang dokter akan menanggung pidana yang akan dijatuhkan kepadanya dan sanksi-sanksi dari kode etik kedokteran yang membuatnya semakin berat karena telah melakukan tindakan kelalaian (kealpaan) yang menyebabkan orang mati dan tidak adanya Surat Ijin Praktek (SIP) dengan itu.

Dengan kasus malpraktek yang dilakukan oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian melanggar Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004


(28)

tentang Praktek Kedokteran , melanggar kode etik kedokteran, dan melakukan pemalsuan tanda tangan korban Siska Makatey.

B. Saran

Bedasarkan kesimpulan diatas, dapat menyarankan hal-hal sebagai berikut :

1.Pencegahan dari kejadian yang menimpa keluarga korban Siska Makatey perlu adanya komunikasi antara dokter dengan pasien ataupun dokter dengan keluarga pasien tentang apa tindakan-tindakan dokter yang selanjutnya demi kesembuhan pasien tersebut dan adanya pula pendekatan antara dokter dengan pasien yang akan merawat paseinnya

2. Dengan kejadian ini dokter harus mempunyai Surat Ijin praktek (SIP) untuk melakuka tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter yang bersangkutan dan melakukan tindakan-tindakan lain seperti tindakan operasi dan lain sebagainya, dengan mempunyai Surat Ijin Praktek (SIP) , jika tidak mempunyai Surat Ijin Praktek (SIP) maka hak untuk melakukan tindakan medis terhadap seorang pasien tidak berhak dalam mengurus pasien atau melakukan tindakan-tindakan seperti operasi dan lain sebagainya.

Kejadian malpraktek ini seharusnya cepat dilaporkan kepada pihak yang berwajib karena seharusnya membantu dalam memberantas kasus malpraktek jangan kasus ini semakin kemana- mana dan supaya tidak ada lagi anggota keluarganya tidak menjadi korban kasus malpraktek ini.

Dalam kasus ini pasien harus tahu apa yang dilakukan oleh dokter yang sedang mengobati pasien tersebut dan dokter tersebut dapat dipercaya oleh pasien atau keluarga pasien dalam melakukan pengobatan terhadap pasien.

Jika menimbulkan kecurigaan dalam diri pasien baik dari kondisi atau pun dari kesehatannya terus-menerus menurun maka beritahukan kepada dokter yang merawat pasien tersebut.


(29)

BAB II

SYARAT-SYARAT MALPRAKTIK MEDIS YANG DILAKUKAN DOKTER A. Hubungan Pasien Dengan Dokter

Hubungan antara pasien dan dokter merupakan hubungan kepercayaan, kepercayaan merupakan salah satu dasar pasien berhubungan dengan dokter, yakni dokter tersebut dapat dan mampu membantu menyembuhkan penyakitnya. Pada umumnya seseorang tidak akan datang kepada dokter yang ia tidak percaya akan kemampuan dokter yang mengobatinya. Hal ini disebabkan pasien sendiri sebagai orang awam terhadap ilmu kedokteran yang tidak mengetahui penyakit yang dideritanya, sehingga ia sangat membutuhkan orang yang dapat dipercaya akan mampu menyembuhkan penyakitnya. Kepercayaan pasien inilah yang mengakibatkan kedudukan dokter lebih tinggi daripada kedudukan pasien, disamping faktor keawaman pasien terhadap profesi dokter dan faktor adanya sikap solidaritas antar teman sejawat, serta adanya sikap isolatif terhadap profesi lain.14

Dengan berkembangannya ilmu pengetahuan kesehatan dan perkembangan masyarakat, maka hubungan yang bersifat timpang atau tidak seimbangini secara perlahan-lahan mengalami perubahan. Perubahan ini terjadi karena: 15

1. Kepercayaan tidak lagi pada dokter secara pribadi, akan tetapi kepada kemampuan ilmu kedokteran;

2. Adanya kecendrungan untuk menyatakan bahwa kesehatan itu bukan lagi merupakan keadaan tanpa penyakit, akan tetapi berarti kesejahteraan fisik, mental, dan sosial.

3. Semakin banyaknya peraturan yang memberikan perlindungan hukum kepada pasien. Dengan demikian terlihat hubungan doter dengan pasien tidak hanya bersifat medis semata, tetapi juga bersifat sosial-yuridis dan ekonomis.

14

Husein Kerbala, Segi-Segi dan Yuridis Informen Consent, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1993, hal. 37

15

Soerjono Soekanto, Kontrak Terapeutik antara Pasien dengan Tenaga Medis, Media Hospital (Februari, 1987) Hlm. 31


(30)

Beberapa ahli yang telah melakukan penelitian tentang hubungan antara dokter dan pasien, baik dibidang medis, sosiologis maupun antropologis sebagaimana dikutti oleh Veronica Komalawati menyatakan sebagai berikut:16

d. Kisc dan Reeder, meneliti seberapa jauh pasien dapat memegang kendali hubungan dan menilai penampilan kerja suatu mutu pelayanan medis yang diberikan dokter kepada pasiennya. Dalam penelitian ini ditemukan adanya beberapa faktor yang dapat mempengaruhi peran pasien dalam hubungan pelayanan medis, antara lain jenis praktik dokter (praktik indevidual atau praktik bersaa), atau sebagai dokter dalam suatu lembaga a. Russel, menyatakan bahwa hubungan antara dokter dan pasien lebih merupakan hubungan kekuasaan, yaitu hubungan antara pihak yang memiliki wewenang (dokter) sebagai pihak yang aktif, dengan pasien yang menjalankan peran kebergantungan sebagai pihak yang pasif dan lemah

b. Freidson, Freeborn dan Darsky, menyebutkan bahwa hubungan antara dokter dan pasien merupakan pelaksanaan kekuasaan medis oleh dokter terhadap pasien

c. Schwarz dan Kart, mengungkapkan adanya pengaruh jenis praktik dokter terhadap perimbangan kekuasaan antara pasien dengan dokter dalam hubungan pelayanan kesehatan. Dalam praktik dokter umum, kendali ada pada pasien karena kedatangannya sangat diharapkan oleh dokter tersebut, sedangkan pada praktik dokter spesialis, kendali ada pada dokter umum sebagai pihak yang merujuk pasiennya untuk berkonsultasi pada dokter spesialis yang dipilihnya. Hal ini berarti bahwa hubungan pasien dengan dokter umum lebih seimbang daripada hubungan pasien dengan dokter spesialis.

16

VeronicaKomalawati, Hukum dan Ettika Dalam Praktik Dokter, Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hal. 43-45


(31)

kedokteran. Masing-masing kedudukan tersebut merupakan variabel yang diperlukan yang dapat memberikan dampak terhadap mutu pelayanan medis yang diterimanya.

e. Szasz dan Hollender, mengemukakan tiga jenis prototip hubungan antara dokter dan pasiennya, yaitu hubungan antar orang tua dan anak, antara orang tua dan remaja, dan prototip hubungan antara orang dewasa.

Veronica Komalawati mengutip pendapat Thiroux mengatakan bahwa ada tiga pandangan yang seharusnya antara dokter dan pasien, yaitu:17

3. Reciprocal atau collegial, pasien dan keluarganya adalah anggota inti dalam kelompok, sedangkan dokter, juru rawat dan profisional kesehatan lainnya bekerja sama untuk melakukan yang terbaik bagi pasien dan keluarganya. Dalam pandangan ini, kemampuan profosional dokter dilihat sesuai dengan ilmu dan keterampilannya, dalam hal ini terutama 1. Paternalisme, dokter harus berperan sebagai orang tua terhadap pasien atau keluarganya. Hal ini disebabkan karena dokter mempunyai pengetahuan yang superior tentang pengobatan, sedangkan pasien tidak memiliki pengetahuan demikian sehingga harus mempercayai dokter dan tidak boleh campur tangan dalam pengobatan yang dianjurkannya. Dalam pandangan ini segala dan setiap keputusan tentang perawatan dan pengobatan pasien termasuk informasi yang diberikan harus seluruhnya berada dalam tangan dokter dan asisten profesional.

2. Indevidualisme, pasien mempunyai hak mutlak atas tubuh dan nyawanya sendiri. Dalam pandangan ini segala dan setiap keputusan tentang perawatan dan pengobatan pasien, termasuk mengenai pemberian informasi kesehatannya berada dalam tangan pasien karena sepenuhnya pasien yang mempunyai hak atas dirinya sendiri.

17

Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 47-48


(32)

mengenai hak pasien untuk mendapatkan informasi tentang setiap prosudur yang harus didasarkan persetujuan setelah diberi informasi secukupnya. Oleh karena itu, keputusan yang diambil mengenai perawatan dan pengobatan harus bersifat reciprocal (menyangkut memberi dan menerima)dan collegial (menyangkut suatu pendekatan kelompok atau tim yang setiap anggotanya mempunyai masukan yang sama).

Hubungan antar dokter dan pasien terdapat 2 (dua) pola hubungan, yakni: pola hubungan vertikal yang paternalistik dan pola hubungan horizontal yang kontraktual. Dalam hubungan vertikal, kedudukan antara dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan tidak sederajat dengan pasien sebagai pengguna/penerima jasa pelayanan kesehatan, sedangkan dalam pola hubungan horizontal yang kontraktual, kedudukan antara penerima jasa pelayanan kesehatan dan pemberi jasa pelayanan kesehatan mempunyai kedudukan sederajat.

Dalam hubungannya dengan hal ini Soejono Soekanto, mengemukakan pendapatnya yang mengatakan bahwa: hubungan antara dokter dan pasien pada dasarnya merupakan hubungan hukum keperdataan, dimana pasien datang kepada dokter untuk disembuhkan penyakitnya dan dokter berjanji akan berusaha mengobati atau menyembuhkan penyakit pasien tersebut. Hubungan keperdataan merupakan hubungan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berada dalam kedudukan yang sederajat.18

Hubungan dokter dengan pasiennya disebut dengan transaksi terapeutik atau kontrak

terapeutik yaitu suatu transaksi untuk mencari dan menerapkan terapi yang paling tepat untuk

menyembuhkan penyakit pasien. Sebagai suatu kontrak atau perikatan maka transaksi

terapeutik itu umumnya bersifat inspanningsverbintenis yaitu suat perikatan

18


(33)

dimanaprestasinya berupa suatu usaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh, tanpa tidak mendasarkan pada hasil sebagai prestasinya. 19

Pada dasarnya hubungan dokter dan pasiendalamtransaksi terapeutik itu bertumpu pada dua macam hak asasi, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi.20

Transaksi terapeutikyang dilakukukan antara dokter dan pasien bertujuan untuk; Antara dokter dan pasien tim hak dan kewajiban secara timpal balik, apabila hak dan kewajiban ini tidak dipenuhi oleh salah satu pihak yang sudah saling bersepakat untuk mengadakan transaksi, maka wajarlah apabila pihak yang lain terutama yang merasa dirugikan menggugat.

21

Tindakan medik yang dilakukan dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan pasien harus secara nyata ditujukan untuk memperbaiki keadaan pasien, atau agar kesehatan pasien lebih baik lagi dari sebelumnya, maka penggunaan metode giagnostik atau terapeutik yang lebih menyakitkan seharusnya dihindari. Pemberian bantuan atau pertolongan untuk meringankan penderitaan ini merupakan bagian dari suatu tugas pemberi pelayanan medik yang didasarkan pada ketelitian dan sikap hati-hati.

1. Menyembuhkan dan mencegah penyakit

Pemberi pelayanan medik berkewajiban untuk memberikan bantuan medik yang dibatasi oleh kriterium memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dan dapat mencegah atau menghentikan proses penyakit yang bersangkutan. Tujuan bertindak untuk menyembuhkan menjadi rasa percaya diri sendiri yang dimiliki manusia menjadi optimal. 2. Meringankan penderitaan

19

Husein Kerbala, , Segi-Segi Etis dan Yuridis Informed Consent, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hal. 37-38

20

Hermein Hadiati Koeswadji, Hukum Dan Masalah Medik, Airlangga University Press, Surabaya,1984, hal. 69

21


(34)

3. Mendampingi Pasien

Kegiatan mendampingu pasien ini seharusnya sama besarnya dengan kegiatan untuk menyembuhkan pasien. Di dalam dunia kedokteran tidak ada alasan yang menyatakan bahwa kegiatan yang didasaarkan keahlian secara teknis merupakan kewajiban yang lebih penting daripada kegiatan untuk mengurangi penderitaan dan kegiatan untuk mendapingi pasien.

Transaksi terapeutik didasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu ;22

Secara yuridis yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah kewenangan seseorang untuk mengkatkan diri, karena tidak dilarang oleh undang-undang. 1. Sepakat mereka mengikat diri

Secara yuridis, yang dimaksud adanya kesepakatan adalah tidak adanya kekhilapan, atau paksaan, atau penipuan. Sepakat itu dilihat dari rumusan aslinya yang berbunyi persetijuan (toestemming) dari mereka yang mengikat dirinya. Berarti di dalam suatu perjanjian minimal harus ada dua subyek hukum yang dapat menyatakan kehendak untuk mengikat diri. Sepakat itu terjadi jika pernyataan kehendak kedua belah pihak itu bersesuaian, dalam ari kehendak pihak yang satu mengisi kehendak pihak lainnnya secara bertimbal balik. Adanya cara menyatakan persesuaian kehendak itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara tegas maupun diam-diam. Oleh karena itu sebenanya yang dimaksud dengan sepakat adalah persesuaian pernyataan kehendak. Dengan demikian didasarkan asas konsensualisme, maka untuk terjadinya perjanjian disaratkan adanya persesuaian kehendak dari kedua belah pihak.

2. Kecakapan untuk membuat perikatan

22


(35)

Hal ini didasarkan Pasal 1329 dan 1330 KUHPerdata. Menurut Pasal 1329 KUHPerdata bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUHPerdata menyatakan bahwa orang-orang yang dinyatakan tidak cakap yaitu oranng yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang dibuatny perjanjian tertentu. Didasarkan kedua pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kecakapan bertindak merupakan kewenangan yang umum untuk mengikatkan diri, sedangkan kewenangan bertindak merupakan kewenangan yang khusus. Dengan Kata lain ketidak wenangan hanya menghalangi seseorang untuk melakukan tindakan hukum tertentu, dan orang yang dinyatakan tidak berwenang adalah orang yang secara umum cakap untuk bertindak. Berarti orang yang tidak cakap untuk bertindak adalah orang yang mempunyai wewenang hukum, karena orang yang mempunyai wenang hukum adalah orang yang pada umumnya cakap untuk bertindak tetapi pada peristiwa tertentu tidak dapat melaksanakan tindakkan hukum dan tidak wenang menutup perjanjian tertentu secara sah. Didalam transaksi terapiutik, pihak penerima pelayanan medik terdiri dari orang dewasa yang cakap untuk bertindak, orang dewasa yang tidak cakap bertindak memerlukan persetujuan dari pengampunya, anak dibawah umum tetapi telah dianggap dewasa atau matang, dan anak dibawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tua atau walinya.

3. Suatu hal tertentu

Pasal 1333 ayat 1 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Pasal 1333 ayat 2 menyebutkan bahwa tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asalkan


(36)

jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Di samping itu Pasal 1337 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketentuan umum. Bila dihubungkan dengan transaksi terapeutik, maka urusan yang dimaksud adalah sesuai yang perlu ditangani, yaitu berupa upaya penyembuhan. Upaya penyembuhan tersebut hanya dapat dijelaskan karena dalam pelaksanaannya diperlukan kerja sama yang didasarkan sikap saling percaya antara dokter dan pasien. Jika dokter tidak dapat menentukan dan menjelaskan, atau memberikan informasi mengenai upaya medik yang akan dilakukannya maka berarti syarat ini tidak terpenuhi.

4. Suatu sebab yang halal

Suatu sebab yang halal dalam undang-undang tidak dijelaskan secara tegas. Akan tetapi hal ini dapat ditafsirkan secara contrario menurut ketentuan Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUHPerdata. Pasal 1335 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu, tidak mempunyai kekuatan. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa dapat terjadi tiga macam perjanjian, yaitu perjanjian dengan suatu sebab yang halal, perjanjian tanpa sebab, dan perjanjian dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang. Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu sebab adalah dilarang, apabila dilarang oleh Undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan yang baik atau ketertiban umum.

Dengan demikian yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang, kesusilaan atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, sedangkan yang dimaksud dengan sebab adalah tujuannya. Bila dihubungkan dengan transaksi terapeutik, maka tindakan pengguguran kandungan dengan


(37)

alasan apapun merupakan perjanjian dengan sebab terlarang, sedangkan pengobatan melalui pembedahan terhadap penderita penyakit terminal dengan tujuan penelitian tarapeutik merupakan perjanjian dengan sebab yang palsu.

Kesepakatan untuk melakukan transaksi terapeutik antara dokter dan pasien baru dapat dilakukan apabila sebelumnya ada persetujuan tindakan medik dari si pasien. Persetujuan medik atau Informed Consentyang diberikan setelah pasien yang bersangkutan diberi informasi. Informed Consent pada hakekatnya adalah persetujuan atas dasar informasi, merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri didalam praktek doketer. Informasi yang harus diberikan dokter adalah informasi yang selengkap-lengkapnya yaitu informasi yang adekuat tertang perlunya tindakan midik yang bersangkutan dan resiko yang dapat ditimbulkannya.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 585/1989 mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan pelasanaan Informed Consent, berisi antara lain:

1. Kewajiban tenaga kesehatan memberikan informasi baik diminta maupun tidak diminta, diberikan secara edukuat tentang perlunya tindakan medik dan resiko yang dapat ditimbulkannya, diberikan secara lisan dan cara penyampaian informasi harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi pasien.

2. Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan medik yang akan dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik, informasi cukup diberikan secara lisan, informasi harus diberikan secara jujur dan benar kecuali dokter menilai akan merugikan pasien dan informasi tersebut dengan persetujuan pasien akan diberikan kepada keluarga pasien.


(38)

3. Pemberian informasi adalah dokter yang bersangkutan, dalam hal berhalangan dapat diberikan oleh dokter lain dengan sepengetahuan dan tanggungjawab dari dokter yang bersangkutan, dibedakan antara tindakan operasi dan bukan operasi. Untuk tindakan operasi harus dokter yang memberikan informasi, untuk bukan tindakan operasi sebaiknya oleh dokter yang bersangkutan, tetapi dapat juga oleh perawat/paramedik.

4. Jika perluasan operasi dapat diprediksi, maka informasi harus diberikan sebelumnya, dalah hal ini tidak dapat diprediksi sebelumnya, maka demi menyelamatkan jiwa pasien dapat dilaksanakan tindakan medik dan setelah dilaksankan tindakan, dokter yang bersangkutan harus memberitahukan kepada pasien atau keluarganya.

5. Yang berhak memberi persetujuan, adalah mereka yang dalam keadaan sadar dan sehat mental, telah berumur 21 tahun/ telah menikah, bagi mereka yang telah berusia 21 tahun tetapi berada dibawah pengampuan maka persetuan diberikan oleh wali/pengampu, bagi mereka yang dibawah umur (belum berusia 21 tahun) diberikan oleh orang tua/wali/ keluarga yang terdekat atau induk semang.

6. Bagi pasien yang dalam keadaan tidak sadar/pengsan dan tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medik memerlukan tindakan segera,tidak diperlukan persetujuan.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, dalam :

Pasal 45: (1) Setiap tindakan kedokteran yang akan dilakukan oleh dokter terhadap pasien harus mendapat persetujuan

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.

(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:

a. diagnosa dan tata cara tindakan medik; b. tujuan tindakan medik yang dilakukan; c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.


(39)

(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan

(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberi persetujuan

Pasal 52: Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai hak:

a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 3

b. meminta pendapat dokter lain.

Pemberian informasi ini merupakan pekerjaan/tugas dokter yang cukup sulit karena dalam pemberian informasi itu dokter harus menghadapi berbagai macam pasien dengan kepribadian, sifat dan sikap yang berbeda. Sementara tujuan dari penyampaian informasi itu harus tercapai, dalam arti pasien dapat memahami pokok-pokok dari informaasi. Diantara faktor-faktor subyektif pasien yang turut mempengaruhi dalam proses penyampaian informasi adalah:23

Menghadapi pasien yang persepsi negatif terhadap dokter dan alat-alat kesehatan dimana dokter digambarkan sebagai sosok yang menakutkan dan selalu memegang jarum suntik, maka selengkap apapun informasi dari tindakan invasif dan operatif yang akan diambil a. Tingkat pendidikan

Bagi pasien yang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas akan menanyakan perihal penyakitnya sampai kepada hal yang terkecil. Keingintauan pasien seperti ini sangat besar sekali terhadap keadaan kesehatan, penyakit serta tindakan-tindakan medis yang akan diterapkan oleh dokter. Sebaliknya bagi pasien yang berpendidikan rendah dan kurang dapat memahami penjelasan dan informasi medis dokter akan selalu menerima dan menyetujui tindakan apapun yang akan dilakukan dokter.

b. Persepsi pasien terhadap dokter dan alat-alat kedokteran.

23 Kartono Muhammad, Hak Pasien Untuk Mengetahui Cara Penyembuhan Dalam Rumah Sakit, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990, hal 5


(40)

oleh dokter maka pasien ini tidak akan pernah menyetujuinya. Sedangkan pasien yang mempunyai persepsi positif terhadap dokter dan alat-alat kesehatan akan memilik sikap wajar dalam meminta informasi serta menyetujui/tidak menyetujui tindakan medis yang akan diambil oleh dokter.

c. Persepsi pasien terhadap penyakit

Bagi pasien yang mempunyai persepsi/ anggapan bahwa penyakit yang dideritanya ini cepat atau lambat akan membawa kepada kematian, cenderung akan menyetujui tindakan-tindakan invasif dan operatif yang mempunyai resiko besar sekalipun seperti pembedahan. Informasi dari dokter kepada pasien ini akan penyakit dan terapi ringan yang dapat dilaksanakan, tidak akan hanya mempengaruhi sikap pasien untuk memutuskan tindakan operatif yang radikal tersebut. Sementara bagi pasien yang selalu memandang penyakitnya itu dengan sebelah mata dan meremehkan paadahal menuurut penilaian dokter, penyakit itu sudah pada stadium parah, tidak akan pernah menyetujui tindakan operatif maupun tindakan invasif lainnya seperti pembedahan.

Fungsi infomasi bagi pasien adalah sebagai dasar atau landasan bagi persetujuan (consent) yang akan ia berikan kepada dokter.Sehingga apabila informasi yang diberikan dokter itu kurang memadai atau dokter tidak memberikan informasi sama sekali, maka pasien tidak akan mempunyai landasan yang cukup untuk memutuskan memberi atau tidak memberi persetujuan kepada dokter. Informasi bagi pasien juga berfungsi sebagai perlindungan atas hak pasien untuk menentukan diri sendiri. Dalam arti bahwa pasien berhak penuh untuk diterapkannya suatu tindakan medis atau tidak.


(41)

Azrul Azwar mengemukakan ada lima hal yang pentingnya infomed consent bagi dokter, kelima hal tersebut adalah:24

Keberhasilan meningkatkan mutu pelayanan di sini adalah sebagai akibat dari lancqarnya tindakan kedokteran, berkurangnya akibat sampingan dan kompilasi serta sepatnya proses 1. Dapat membatu kelancaran tindakan kedokteran

Dengan menyampaikan informasi kepada pasien mengenai penyakit, terapi, keuntungan, resiko dan lain-lain. Dari tindakan medis yang akan dilakukan maka terjalin baik antara dokter dan pasien. Sementara pasienpun akan menentukan hal yang terbaik dengan landasan informasi dokter tadi, sehingga tindakan-tindakan medis pun akan lancar dijalankani oleh kedua belah pihak karena keduanya telah memahami kegunaan semua tindakan medis itu.

2. Dapat menguangi timbulnya akibat sampingan dan komplikasi.

Dengan penyampaian informasi yang baik akan memberikan dampak yang baik dalam komunikasi dokter pasien terutama dalam menetapkan terapi. Seumpamanya dokter belum menyuntik pasien dengan panisilin, bertanya apakah pasien alergi terhadap panisilin ? Bila pasien memang alergi maka akibat/resiko yang besar terjadi anafilaktik shock dapat dihindari.

3. Dapat mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan penyakit

Sama halnya dengan kelancaran tindakan, maka sebagian akibat adanya pengetahuan dan pemahaman yang cukup dari pasien terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan, maka proses pemulihan dan penyembuhan penyakit akan lebih cepat.

4. Dapat meningkatkan mutu pelayanan

24

Azrul Azwar, Latar Belakang Pentingnya Informed Consent bagi Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991, hal. 6-7


(42)

pemulihan dan penyembuhan penyakit. Keadaan seperti ini jelas akan menguntungkan pihak dokter.

5. Dapat melindungi dokter dari kemungkinan tuntutan hukum.

Perlindungan yang dimaksud adalah apabila di satu pihak, tindakan dokter yang dilakukan memang tidak menimbulkan masalah apa pun, dam di lain pihak, kalaupun kebetulan sampai menimbulkan masalah, misalnya akibat sampingan dan atau komplikasi, sama sekali tak ada hubungannya dengan kelalaian dan ataupun kesalaha tindakan. Timbulnya masalah tersebut semata-mata hanya karena berlakunya prinsip ketidakpastian hasil dari setiap tindakan kedokteran/medis. Dengan perkataan lain, semua tindakan kedokteran yang dilakukan memang telah sesuai dengan standar pelayanan profesi.

Fred Amen mengutip pendapat Leenen, mengatakan bahwa informasi seorang dokter kepada pasien berupa penjelasan perihal:25

25

Fred Ameln, Op. Cit, hal. 45

1. Diagnosa adalah hasil pemeriksaan dokter terhadap pasien tentang kemungkinan jenis penyakit yang diderita pasien.

2. Terapi, dengan kemungkinan alternatif terapi ialah cara pengobatan atau terapi yang terbaik dan menguntungkan bagi penyembuhan penyakit pasien. Dan cara pengobatan ini adalah beberapa alternatif dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing

3. Tentang cara kerja dan pengalaman dokter ialah cara kerja dari terapi yang akan diterapkan, apakah harus melalui pembedahan, pembiusan total dan lainnya; dan pengaaman terapi yang akan dilaksanakan itu, apakah menurut pengalaman terapi itu lebih besar kemungkinan berhasilnya atau gagalnya informasi ini juga penting bagi pasien dalam menentukan putusannya.


(43)

4. Resiko-resiko ialah resiko langsung maupun resiko sampingan dari terapi yang dipilih. Menjelasakan risiko ini merupakan hal yang sulit karena jangan sampai pemberian informasi tentang risiko itu justru menakutkan pasien.

5. Kemungkinan perasaan sakit ataupun perasaan lain. Jika menimbulkan perasaan sakit maka perlu diberitahu seberapa besar sakitnya dan untuk berapa lama sakitny akan berlangsung berdasarkan pengalaman. Sedang perasaan lain, misalnya sertelah disuntik, maka pasien akan merasa mual-mual, pening atau akan meninggi suhu badannya atau akan merasa gatal-gatal, dan lain-lain.

6. Keuntungan terapi, tetang hal ini tidak boleh disampaikan secara berlebihan yang dapat menimbulkan harapan berlebihan pula. Penyampaian keuntungan yang berlebihan apabila sampai yang berbentuk janji-janji muluk dapat merugikan dokter bila ternyata janji-janji itu tidak terbukti kebenarannya.

7. Prognose

Dokter dan pasien yang melakukan komunikasi dengan baik akan menguntungkan kedua belah pihak, salah satu hal yang penting dalam komunikasi tersebut adalah empati, yakni: Kemampuan kognitif seorang dokter dalam mengerti kebutuhan pasien, menunjukkan efektivitas/sensitivitas dokter terhadap perasaan pasien dan kemampun perilaku dokter dalam memperhatikan/menyampaikan empatinya kepada pasien.Namun ada beberapa pasien yang tidak perlu mendapat informasi secara langsung antara lain:

1. Pasien yang diberi pengobatan dengan placebo yaitu merupakan senyawa farmakologi tidak aktif yang digunakan sebagai obat untuk pembanding atau sugest.


(44)

2. Pasien akan dirugikan jika mendengar informasi tersebut, misalnya karena kondisinya tidak memungkinkan untuk mendengan informasi yang dikhawtirkan dapat membahayakan kesehatannya

3. Pasin yang sakit jiwa dengan tingkat gangguan yang sudah tidak memungkinkan untuk berkomunikasi

4. Pasien yang belum dewasa.26

26

Darda Syahrizal, Senja Nilasari, Undang-Undang Praktik Kedokteran dan Aplikasinya, Dunia Cerdas, Jakarta, hal. 85

Hak dak kewajiban dokter dan pasien dengan sendirinya akan berakhir jika hubungan antara dokter dan pasien berakhir. J. Gunardi berpendapat bahwa hubungan pasien dan dokter jika:

1. Sembuhnya pasien dari keadaan sakitnya dan sang dokter menganggap tidak diperlukan lagi adanya pengobatan, sehingga tidak ada manfaatnya lagi untuk pasien meneruskan pengobatannya. Penyembuhan dianggap bahwa keadaan pasien tidak memerlukan lagi pelayanan medik. Hal ini berarti bahwa penyembuhan keseluruhan hanya dapat diperoleh melalui perawatan yang tepat, penerusan peminuman obat yang diresepkan, atau memang sudah sembuh benar. Penentuan apakah pasien sudah sembuh benar sehingga tidak memerlukan pengobatan lagi karena tidak ada manfaatnya bagi si pasien tergantung pada dokternya. Hal ini dapat dilakukan sesudah dilakukan penelitian lagi dan mengadakan evaluasi terhadap catatan mediknya, dan pasien itu sendiri mengadakan evaluasi terhadap dirinya sendiri bersama orang-orang yang mengkhawatirkan kondisinya. Mengakhiri secara prematur dari pemberian pelayanan pengobatan sementara pasien masih memerlukannya bisa mengakibatkan tuduhan terhadap penelantaran.


(45)

2. Dokter mengundurkan diri

Seorang dokter boleh mengundurkan diri dari hubungan antara dokter dan pasien asalkan: a. Pasien menyetujui pengunduran diri tersebut

b. Kepada pasien tersebut diberikan waktu cukup dan pemberitahuan, sehingga ia bisa memperoleh pengobatan dari dokter lain

c. Jika dokter itu merekomendasikan kepada dokter lain yang sama kompetensinya untuk menggantikan dokter semula itu dengan persetujuan pasiennya.

3. Pengakhiran oleh pasien

Seorang pasien bebas untuk mengakhiri pengobatannya dengan dokternya. Apabila diakhiri, maka sang dokter berkewajiban untuk memberikan nasehatr mengenai apakah masih diperlukan pengobatan lanjutan dan memberikan kepada penggantinya informasi yang cukup, sehingga pengobatannya dapat diteruskan oleh penggantinya. Apabila pasien memakai dokter lain, maka dapat dianggap bahwa dokter yang pertama itu telah diakhiri hubungannya, kecuali ada diperjanjikan bahwa mereka akan mengobati bersama atau dokter kedua hanya dipanggil untuk konsultasi tujuan khusus

4. Meninggalnya sang pasien

5. Meninggalnya atau tidak mampunya menjalani lagi profesinya dari sang dokter

6. Sudah selesainya kewajiban dokter seperti yang telah ditentukan dalam kontrak. Pelayanan pengobatan yang diminta pasien sudah dilaksanakan oleh dokternya. Contoh mengenai hal ini misalnya dalam kasus-kasus rujukan kepada seorang spesialis untuk memeriksa organ atau sistem untuk mendeteksi apakah adanya penyakit dan penerapan prosedur medik Yang tepat. Kecuali ditentukan lain, maka konsultasi klinis beakhir pada setiap akhir kunjungan dari pasien.


(46)

7. Di dalam khasus gawat darurat, apabila dokter yang mengobati atau dokter pilihan pasien sudah datang, atau terdapat penghentian keadaan gawat darurat tersebut.

8. Lewatnya jangka waktu, apabila kontar medik itu telah ditentukan untuk jangka waktu tertentu. Persetujuan kedua belah pihak antara dokter dan pasiennya bahwa hubungan dokter dan pasien itu sudah diakhiri.27

Etika atau ethics atau ethic berasal dari bahasa Yunani “ethikos” yang berarti moral, dan ethos yang berarti tabiat, karakter, atau kelakuan. Ethic juga menunjuk pada nilai-nilai atau aturan perilaku dalam suatu kelompok manusia atau manusia perorangan, seperti misalnya dalam arti Unethical behavior. Ethics merupakan cabang dari filsafat di mana manusia berusaha untuk mengevaluasi dan memutuskan melalui sarana tertentu tindakan-tindakan moral atau teori-teori umum tentang tingkah laku.

B. Kode Etik Kedokteran

28

Etika dapat diartikan sebagai kesepakatan/konsensus bersama antara pendapat para ahli bidang tertentu dalam menentukan hal-hal yang berhubungan dengan ukuran/tolo ukur/standar profesional. Dalam arti yang demikian itu etika sangat erat hubungannya dengan (1) perilaku yang berisikan hak dan kewajiban berdasarkan moral, dan (2) perilaku yang sesuai dengan dan/atau mendukung standar profesi.29

Etika profesi dokter berfungsi sebagai pedoman perilaku bagi para pengemban profesi medik dalam kedudukannya di lingkup dunia medik. Etika kedokteran sudah sewajarnya

Etika sangat erat hubungannya dengan perilaku yang berisikan hak dan kewajiban berdasarkan perasaan moral dan perilaku yang sesuai dengan atau untuk mendukung standar profesi.

27

J. Gunardi, Op. Cit. hal. 24 28

Hermein Hadiati Koeswadji, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Asas-Asas

dan Permasalahan Dalam Implementasinya, PT. Citra Aditia Bakti, Bandung, 1996, hal. 22

29


(47)

dilandasi atas norma-norma etik yang mengatur hubungan manusia umumnya, dan memiliki asas-asasnya dalam falsafah masyarakat yang diterima dan dikembangkan terus, khususnya di Indonesia, ass itu adalah Pancasila yang sama-sama kita akui sebagai landasan Idiil dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan struktural.30

Pelanggaran terhadap buti-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelakgaran etik dan sekaligus pelanggaran hukum. Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran hukum, sebabaliknya pelanggran hukum tidak selalu merupakan pelanggaran etik kedokteran. Berikut diajukan beberapa contoh:

Kode Etik Kedokteran Indonesia dituangkan dalam Keputusan menteri Kesehatan Nomor 434/1983, dan pada tahun 2002 oleh Pengurus Besar IDI melakukan revisi dan menetapkan perubahan berdasarkan Hasil Mukernas Etik Kedokteran Indonesia III Tahun 2001. Surat keputusan tersebut menyatakan berlakunya Kode Etik Kedokteran bagi semua pengemban profesi medik yang melaksanakan profesinya di Indonesia. Adapun mengenai materi Kode Etik Kedokteran Indonesia dapat dipisahkan antara Mukadimah dan Batang Tubuh yang berisikan ketentuan pasal-pasal yang mengatur tentang hak dan kewajiban dokter secara umum, Kewajiban dokter terhadap pasien, kewajiban dokter terhadap teman sejawat dan kewajiban dokter terhadap dirinya sendiri.

31

2. Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya a. Pelanggran etik murni

1. Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari keluarga sejawat dokter dan dokter gigi

30

Heru Budianto (Ed), Panduan Praktis Etika Profesi Dokter, (Jakarta, Sagung Seto, 2009). Hlm.16 31

Endang Kusumah Astuti, Hubungan Hukum Antara Dokter dan Pasien Dalam Upaya Pelayanan


(48)

3. Memuji diri sendiri di depan pasien

4. Tidak mengikuti pendidikan kedokteran yang berkesinambungan 5. Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri

b. Pelanggaran etikolegal

1. Pelayanan dokter dibawah standar 2. Menerbitkan surat keterangan palsu

3. Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter 4. Abortus Provokatus

C.Hak dan Kewajiban Dokter

Kewajiban dokter dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia dikelompokkan atas empat kelompok, Yakni;

A. Kewajiban umum

1. Seorang dokter hendaknya senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi 2. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya seorang dokter jangan dipengaruhi oleh

pertimbangan keuntungan pribadi

3. Perbutan berikut dipandang bertentangan dengan etika: a. Sesuatu perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri

b. Ikut serta dalam memberikan pertolongan kedokteran dalam segala bentuk, tanpa kebesaran profesi

c. Menerima uang selain dari imbalan yang layak sesuai dengan jasanya, meskipun dengan pengetahuan pasien

4. Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan mahluk insani, baik jasmani maupun mental, hanya diberikan untuk kepentingan pasien.


(49)

B. Kewajiban Dokter terhadap pasien

1. Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup mahluk insani

2. Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas terhadap pasien dan mempergunakan segala sumber keilmuannya. Apabila ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaana atau pengobatan, maka wakiblah ia berkonsultasi dengan dokter lain yang mempunyai keahlian dalam penyakit yang bersangkutan. Pasien hendaklah diberi kesempatan supaya senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadah

3. Seorang dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, karena kepercayaa yang telah diberikan kepadanya, bahkan juga setelah pasien meninggal

4. Seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusian, kecuai bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu untuk memberikannya.

C. Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat

1. Saeorang dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagai ia sendiri ingin diperhatikan 2. Seorang dokter tidak boleh merebut dari teman sejawatnya

3. Seorang dokter harus menjunjung tinggi asas Declaration of Geneva yang telah diterima oleh Ikatan Dokter Indonesia.

D. Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri

1. Seorang dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik

2. Seorang dokter hendaklah senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dn tetap setia kepada cita-sitanya yang luhur.


(50)

1. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan.

Kelompok ini, kepentingan masyarakat meninjol dan bukan hanya kepentingan pasien saja. Karena itu dalam melakukan kewajiban disini seorang dokter harus memperhitungkan faktor kepentingan masyarakat, misalnya:

a. Pada sarana tempat ia bekerja (misalnya Rumah Sakit, klinik, Puskesmas), setiap dokter harus berhati-hati dalam mendistribusikan obat-obatan yang persediannya hanya sedikit

b. Dalam menentukan diopnamenya seorang pasien, dokter harus memperhitungkan jumlah tempat tidur yang ada di rumah sakit dan keadaan sakit pasien

c. Memperhitungkan untuk tidak menulis suatu resep untuk obat yang tidak begitu perlu d. Mempertimbangkan

Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran , dokter dan dokter gigi menyatakan bahwa melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak;

a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional

b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional

c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari paasien atau keluarganya; dan d. Menerima imbalan jasa.

Di samping mengatur hak dokter dalam melaksanakan praktik, Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 mengatur juga tentang kewajiban dokter dalam melaksanakan praktik dalam Pasal 51: Dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban:

a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosudur operasional serta kebutuhan medis pasien

b. Merujuk pasienke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan


(1)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan Karunia-nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini . Shalawat beserta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW , kepada keluarganya , para sahabatnya , sehingga kepada umatnya hingga akhir zaman , amin

Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara . Judul yang diajukan ini adalah Pertanggungjawaban Pidana Dokter Yang Melakukan Malpraktek ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 365K/PID/2012 ) .

Tak lupa juga dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak Fakultas Hukum dan pihak - pihak lain yang telah berperan membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H,Mhum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H,M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H MH, DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Dr. OK Saidin, S.H M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(2)

6. Ibu Liza Erwina, S.H, M.Hum., selaku Sekretari Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

7. Bapak Prof Dr. Madiasa Ablisar S.H, M.S selaku Dosen Pembimbing Akademik atas bimbingannya selama ini

8. Ibu Nurmalawaty, S.H, M.Hum Selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan koreksi dalam penulisan skripsi ini

9. Bapak Alwan, S.H, M.Hum Selaku dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan koreksi dalam penulisan skripsi ini

10. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum USU telah mebimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

11. Orang tua Prof. Dr. Madiasa Ablisar dan Mama Dra. Syarifah MS yang telah membesarkan, membimbing, dan selalu mendoakan anaknya sampai tahap ini.

12. Adik Aqib Asyraf Ablisar yang telah memberikan semangat dalam mengerjakan skripsi ini semoga kita bisamembanggakan orang tua kita.

13. Kepada anak anak Grup D 2012 seperti Andreas, Bona, Arief, Thia, Erin, Kiky, Iput, Kevin, Clinton, dan nama nama lain yang tidak bisa di sebutkan satu persatu.


(3)

16. Kepada kawan kawan kantin lain seperti Pak Juanda, Pak Fikrie, Pak Hadyan Cholidin, dan Pak Juangga telah memberikan semangat dalam mengerjakan skripsi ini.

17. Teman-teman Grup D 2012 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dalam memberikan semaganat dan dukungan sejak awal sampai sekarang ini.

18. Seluruh teman-teman IMADANA (Ikatan Mahasiswa Departemen Hukum Pidana) yang telah memberikan semangat dan motivasi semoga dapat menjadi orang-orang yang berguna.

Akhir kata saya ucapkan terima kasih kepada pihak yang membantu penulis. Semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian. Semoga ilmu ini yang penulis dapatkan dapat bermanfaat bagi penulis untuk sekarang dan masa yang akan datang

Medan, Maret 2016 Penulis


(4)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Daftar Isi Abstrak

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 7

D. Keaslian Penulisan 8

E. Tujuan Kepustakaan 1. Pengertian Pertanggungjawaban pidana 8

2. Pengertian Malpraktik 11

F. Metode Penulisan 13

G. Sistematika Penulisan 15

BAB II Ketentuan / Pengaturan Terhadap Malpraktek Dokter di Indonesia A. Hubungan Dokter dengan Pasien 17

B. Kode Etik Kedokteran 34

C. Hak dan Kewajiban Dokter 36

D. Standar Profesi 41

E. Syarat – syarat Malpraktek 47

BABIII PERTANGGUNGJAWABAN DOKTER DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 365K/Pid/2012 A. Pertanggungjawaban Pidana 52


(5)

4. Pertimbangan hukum 61

5. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Manado 62

6. Putusan Hakim Mahkamah Agung 62

C. Analisis Kasus 65

Bab IV : Penutup A. Kesimpulan 75 B. Saran


(6)

ABSTRAK

Nurmalawaty*) Alwan**) Ariq Ablisar***)

Malpraktek adalah tindakan professional yang tidak benar atau kegagalan untuk menerapkan keterampilan professional yang tepat oleh professional kesehatan seperti dokter, ahli terapi fisik atau rumah sakit. Malpraktek mengharuskan pasien membuktikan adanya cedera dan bahwa hal itu adalah hasil dari kelalaian oleh professional kesehatan Menurut M. Jusuf Hanafiah & Amir Amri adalah “kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud dengan kelalaian disini adalah sikap kurang hati – hati yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukan dengan wajar , tapi sebaiknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati hati akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medis (standar profesi dan standar prosedur operasional).Permasalahan yang dibahas mengenai malpraktek ini adalah beberapa beberapa dokter di Indonesia ini sudah melakukan malpraktek yaitu tindakan professional yang tidak dibenarkan di dunia kedokteran dimana malpraktek tersebut adalah hasil kelalaiam yang menimbulkan cedera ataupun bisa menimbulkan kematian. Dalam kasus terebut yang dilakukan oleh dr. Ayu Sasiary Prawani tersebut pasien sedang melakukan tindakan operasi Caesar pasien tersebut dikasih suntik berupa suntik formalin di paha kanannya dan lama kelamaan dapat menimbulkan kematian.Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan metode penelitian normatifyang dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) dan dapat data-data primer seperti putusan Mahkamah Agung ataupun Undang-undang pengumpulan informasi data-data sekunder seperti dari internet , majalah , literatur , dan artikel yang mengenai malpraktek.


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Pengurus Yayasan Yang Melakukan Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tanpa Izin (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Ri Nomor 275 K/ Pid.Sus/ 2012 Tentang Yayasan Uisu)

9 114 121

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Perkawinan Poligami Tanpa Persetujuan Istri Yang Sah (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 330K/Pid/2012)

2 54 126

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA OLEH RUMAH SAKIT TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN MALPRAKTEK.

0 3 61

Pertanggungjawaban Pidana Dokter Yang Melakukan Malpraktek ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 365K PID 2012 )

0 9 8

Pertanggungjawaban Pidana Dokter Yang Melakukan Malpraktek ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 365K PID 2012 )

0 0 1

Pertanggungjawaban Pidana Dokter Yang Melakukan Malpraktek ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 365K PID 2012 )

0 3 16

Pertanggungjawaban Pidana Dokter Yang Melakukan Malpraktek ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 365K PID 2012 )

0 2 35

Pertanggungjawaban Pidana Dokter Yang Melakukan Malpraktek ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 365K PID 2012 )

0 1 2