Tinjauan Yuridis Prinsip Non Refoulment Terhadap Penolakan Pengungsi Etnis Rohingya Oleh Australia Dan Thailand Menurut Hukum Internasional

BAB II
KEBIJAKAN PENANGANAN PENGUNGSI OLEH AUSTRALIA DAN THAILAND

A. Sejarah Pengungsi Internasional dan Organisasi Internasional Yang Menangani
Pengungsi
1. Sejarah Pengungsi Internasional
Hukum pengungsi internasional mulai tumbuh pada era tahun 1920-an. Hal ini
ditandai dengan populernya istilah refugee dan non refugee. Pada perkembangannya
kemudian baru dikenal tokoh-tokoh seperti Liisa Malkki, Nicholas Xenos, dan Michael
Dillon. Kontribusi mereka yang besar berupa pembuatan deskripsi dan simbolisasi atas
terminologi refugee. Pada awalnya hanyalah negara yang menentukan sekaligus mengakui
refugee atau bukan pada seseorang atau sekelompok orang atau organisasi internasional.
Namun, jika kita perhatikan lebih jauh kebelakang lagi, sejarah pengungsi bahkan sudah
dikenal jauh sebelumnya, yakni terusirnya Nabi Adam dan Hawa dari surga. Kemudian
pengungsian nabi Muhammad SAW beserta para sahabat ke Madina. Dalam agama Hindu
juga dikenal cerita tentang seorang tokoh yang bernama Ramayana yang juga dianggap
sebagai pengungsi yang hidup dalam pengasingan (exile) yang ditinggalkan dalam hutan
selama 14 tahun.
Pada abad ke 17, dalam sejarah Amerika, perpindahan penduduk dari Inggris ke
Amerika dan menempati daerah yang dikenal dengan nama “New England”, juga merupakan
pengungsi. Perang Balkan (1912-1913) menimbulkan gelombang pengungsian kebagian

tenggara Eropa. Arus pengungsi ini terus berlanjut sampai dengan Perang Dunia I. Pengungsi
dari Rusia sebanyak 1,5 juta orang sebagai akibat dari Revolusi Rusia pada tahun 1921.

24
Universitas Sumatera Utara

25

 

Mereka mengungsi ke negara-negara lain di Eropa. Pengungsi Yahudi Jerman di
tahun 1933 sebagai akibat dari bangkitnya faham Nazi di Jerman.35
Pada abad ke 20 terjadi arus pengungsi yang berasal dari Indo Cina, seperti pengungsi
Vietnam, Laos, Kamboja yang banyak mencari perlindungan ke Amerika pada waktu rezim
komunis mengambil kekuasaan di negara-negara itu juga penduduk Kuba yang mengungsi ke
Amerika pada waktu revolusi tahun 1959 yang membawa Fidel Castro memegang tampuk
kekuasaan. Pengungsi Arab, palestina sebagai akibat diakuinya keberadaan negara Israel
tahun 1949. Tahun 1971 tidak kurang 10 juta pengungsi dari Bangladesh ke India yang
terjadi setelah meningkatnya ketegangan antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur (sekarang
Bangladesh). Pada waktu terjadi perang saudara yang memisahkan El Salvador dan

Guatemala tahun 1980-an, terdapat sebanyak 97 persen rakyat kedua negara mengajukan
permohonan suaka (asylum) ke Amerika Serikat.36
Lebih lanjut, sejarah periodesasi pengungsi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pada Era Liga Bangsa-Bangsa
Perang Dunia I (1914-1918) diawali dengan perang Balkan (1912-1913) dan
menimbulkan pergolakan-pergolakan di negara-negara yang terlibat perang tersebut, terutama
Kekaisaran Rusia. Sejumlah besar pengungsi (diperkirakan 1-12 juta orang) meninggalkan
wilayah Rusia menuju ke berbagai negara yang ada di Eropa atau Asia. Sayangnya pengungsi
Rusia tidak mendapatkan perlindungan, kaena tidak memiliki dokumen perjalanan. Hingga
kemudian, mereka diberikan sebuah dokumen perjalanan yang diambil dari nama Dr. Frijtjof
Nansen. Dokumen itu diberi nama Nansen Pass Port dan badan yang menangani pengungsi
Rusia ini bernama Ofiice of the High Commisioner for Russian Refugees. 37

                                                            
35

Ibid, hlm. 56
Ibid.
37
Achmad Romsan, Op. Cit, hlm. 62

36

Universitas Sumatera Utara

26

 

Pada tahun 1931 dibentuk sebuah badan yang mandiri dibawah kewenangan Liga
Bangsa-Bangsa yang bernama the International Nansen Office for Refugee. Badan ini
kemudian dihapuskan tahun 1938-an. pada saat yang bersamaan badan yang menangani
pengungsi dari Jerman, High Commisioner for Refugees Coming from Germany juga
dibubarkan. Dalam tahun 1938 itu juga Liga Bangsa-Bangsa membentuk High Commisioner
for Refugees dengan kantor yang berpusat di London yang merupakan gabungan dari The
International Nansen Office for Refugees dan High Commisioner for Refugees Coming from
Germany. Namun peran High Commisioner for Refugees sangat terbatas, sehingga tahun
1946 badan ini berakhir.
Seperti disebutkan diatas bahwa tahun 1938 Liga Bangsa-Bangsa juga membentuk
Intergovernmental Commite on Refugee. Komisi ini dibentuk setelah adanya kongres yang
membicarkan masalah pengungsi dari Jerman dan Austria. Kerja Komisi ini diperpanjang

untuk menangani masalah segala jenis pengungsi sebagai akibat Perang Dunia II. Namun
pada tahun 1947 Intergovernmental Commite on Refugee diganti dengan International
Refugee Organization (IRO).38 Para pengungsi yang termasuk dalam IRO ini adalah mereka
korban dari Nazi, Fasis, keturunan Yahudi, orang asing atau mereka yang tidak memiliki
warga negara atau mereka yang menjadi korban Perang Dunia II.

                                                            
38

Ibid, hlm. 65

Universitas Sumatera Utara

27

 

Bagan 2.1. Perkembangan Hukum Pengungsi Era LBB
Tahun 1926
Ditetapkan definsi pengungsi berdasarkan pengungsi Rusia dan Armenia

Tahun 1928
Instrumen pengungsi Rusia dan Pengungsi Armenia diadopsi untuk penanganan
Pengungsi Turki, Asiria, dan Asiro Chaldean
Tahun 1933
Lahir Convention Relating to the International Status of Refugees
Sebelum 1938
Lahir konvensi pengungsi yang berasal dari Jerman
Tahun 1938
Lahir The Intergovernmental Committee on Refugees (IGCR)
Tahun 1947
Konvensi IGCR diganti dengan IRO

(Sumber: Wagiman, Hukum Pengungsi Internasional, sinar Grafika, Jakarta, hlm.88)

2. Pada Era Perserikatan Bangsa-Bangsa
Pengaturan pengungsi di Era Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terakomidir baik
dalam Konvensi maupun Protokol. Dasar pijakan penyusunan Konvensi maupun Protokol
tersebut ialah Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia dengan penegasan pada prinsip “Manusia harus menikmati hak-hak dan kebebasan
fundamental tanpa diskriminasi”. Disamping itu, diupayakan penyatuan perjanjian-perjanjian

internasional sebelumnya mengenai status pengungsi. Di luar upaya penyatuan dari
instrumen-instrumen hukum internasional yang telah ada dilakukan pula ‘perluasan ruang
lingkup’ dan ‘perlindungan’ dalam format perjanjian baru.39

                                                            
39

Koesparmono Irsan, 2007, Pengungsi Internal dan Hukum Hak Asasi Manusia, Jakarta, hlm. 91.

Universitas Sumatera Utara

28

 

Pengaturan internasional untuk pengungsi pasca berdiri PBB terdapat dalam Statute of
the office of the United Nations High Commissioner for Refugees (yang selanjutnya disebut
statuta UNHCR). Setelah itu perlindungan dan pengaturan pengungsi diakomodir dalam
Convention on the Status of Refugees (selanjutnya disebut dengan Konvensi 1951). Untuk
melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada pada Konvensi 1951 pada tahun 1967

disepakati sebuah protokol yakni Protocol Relating to the Status of Refugees yang mulai
diberlakukan tanggal 4 Oktober 1967. Sebagai instrumen pendukung terdapat Declaration on
Territorial Asylum yang disepakati tahun 1967. Pada tataran regional terdapat beberapa
perjanjian atau konvensi terkait dengan pengungsi yang lahir sebelum instrumen-instrumen
hukum di atas, diantaranya Havana Convention on Asylum, Montevideo Convention on
Territorial Asylum and Diplomatic Asylum, dan Cartagena Declaration on Refugees.
Dan sebagai penutup dalam buku Briefing Papers for Students, The role of the United
Nations in the twenty-first century dimuat 10 kelompok pengungsi terbesar. Kelompokkelompok pengungsi dimaksud seperti terlihat sebagai berikut:
Tabel 2.1: 10 Kelompok Pengungsi Terbesar di Dunia
No.

Negara Asal

Negara Tujuan

Jumlah

1

Afganistan


Irak/Pakistan/India

2.648.000

2

Irak

Iran/Syiria/Saudi Arabia/Eropah Barat

631.000

Yugoslavia/Jerman/Croatia/Swedia/Switzerland

597.000

Bosnia dan
3
Herzegovina

4

Somalia

Ethiopia/Kenya/Yaman/Djibouti

525.000

5

Burundi

Tanzania/Republik Congo/Rwanda/Zambia

517.000

6

Liberia


Guinea/Cote d'Ivoive/Ghana/Sierra Leone

487.000

7

Sudan

Uganda/Republik
351.000
Congo/Athiopia/Kenya/Republik Afrika Tengah

Universitas Sumatera Utara

29

 

8


Croatia

Yugoslavia/Bosnia dan Herzegovina

342.000

9

Sierra Leone

Guinea/Liberia/Gambia

328.000

10

Vietnam

Cina/Prancis/Swedia/Switzerland

317.000

(Sumber: United Nations, Briefing Papers for Students “We the Peoples” sebagaimana
dimuat dalam www.un.org/en/)

Dari tabel diatas, terlihat bahwa negara asal pengungsi adalah negara-negara dimana
sedang terjadi pertikaian bersenjata (armed conflict), yang mayoritas terjadi dikawasan benua
Afrika, sedikit di Asia dan Eropa.
Selain itu, apabila terjadi sengketa terkait dengan pengungsi, hukum internasional telah
menyediakan mekanisme untuk menangani sengketa antar negara tersebut, yang dapat
dimohonkan melalui International Court of Justice, yang syarat utamanya adalah negara
pemohon harus terlebih dahulu menjadi negara pihak pada Konvensi 1951.40

2. Organisasi Internasional Yang Menangani Pengungsi
a. United Nations High Commisioner for Refugees (UNHCR)
UNHCR merupakan suatu subsidiary organ dari Majelis Umum PBB dengan tugas
pokok bertanggung jawab terhadap perlindungan pengungsi serta mencari jalan keluar
terhadap persoalan-persoalan penanganan pengungsi di berbagai negara. Organisasi ini juga
merupakan organisasi non politis sehingga kenetralitasannya terjaga. Organisasi ini didirikan
tanggal 14 Desember 1950 dan mulai bekerja satu tahun kemudian tepatnya tanggal 1 Januari
1951. Pada sejarahnya organisasi ini pengganti dari International Refugee Organization
(IRO) yang relatif singkat bertahan, yakni mulai tahun 1947 sampai 1952, perbedaan
signifikan antara IRO dan UNHCR yakni IRO hanya memberikan perlindungan terhadap
                                                            
40

Wagiman, Op cit, hlm. 91

Universitas Sumatera Utara

30

 

pengungsi dan orng-orang terlantar (displaced person) yang menjadi korban Perang Dunia II,
sedangkan UNHCR ruang lingkup kewenangannya mencakup baik terhadap pengungsi yang
ada sebelumnya (akibat Perang Dunia II), maupun terhadap pengungsi yang baru muncul.
Sejak didirikannya organisasi ini berfungsi memberikan perlindungan pada pengungsi dan
bekerjasama dengan pemerintah-pemerintah di dunia untuk mencari solusi jangka panjang
atas masalah-masalah yang dihadapi para pengungsi.
Dimana selain itu tugas utama UNHCR adalah memberi bantuan kemanusiaan,
termasuk makanan, penampungan, bantuan medis, dan yang paling utama memberi
perlindungan internasional dan mencari solusi permanen untuk masalah pengungsi dengan
membantu pemerintah untuk memfasilitasi pemulangan sukarela pengungsi tersebut atau
asimilasi mereka dalam komunitas nasional baru.41
Awal pembentukan organisasi ini adalah untuk tiga tahun yakni terhitung mulai
tanggal 1 Januari 1951 kemudian masa kerja diperpanjang sampai 31 Desember 1953, dan
berlanjut sampai saat ini. Hal ini dikarenakan lembaga ini dianggap mempunyai kapabilitas
dalam menangani pengungsi. Hingga didirkan UNHCR telah membantu sekitar kurang lebih
5 juta orang dengan memberi bantuan kemanusiaan, termasuk makanan, penampungan,
bantuan medis dan lembaga ini pernah mendapat hadiah Nobel Perdamaian (1954 dan
1981).42
Dalam membiayai kegiatan kemanusiaan, UNHCR mendapat bantuan dana dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa, individu pemerintah dan juga sumber-sumber lain. Jumlah dana
yang dibutuhkan untuk satu tahun ditetapkan oleh Komisi Eksekutif atas rekomendasi Komisi
Agung, yang juga tiap tahun berbeda-beda tergantung kebutuhan pada saat itu. Namun
beberapa program khusus yang mendapat bantuan misalnya dalam tahun 1950-an UNHCR
menerima bantuan dari yayasan Ford (Ford Foundation) sebesar 3 juta US$ untuk
                                                            
41
42

Sutiarnoto, Loc cit.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

31

 

melaksanakan proyek dibidang ekonomi untuk para pengungsi di Austria, Jerman, Prancis,
dan Trieste. Bantuan perumahan untuk para pengungsi di Amerika Latin, Kanada, dan
Australia.43
Fungsi-fungsi utama UNHCR dibagi dalam 3 fungsi besar yakni perlindungan
internasional, penyelesaian jangka panjang, dan bantuan internasional.44 Lebih daripada itu,
juga dikenal beberapa sarana dan kegiatan tambahan yang dilakukan UNHCR, yaitu
Kemitraan, Koordinasi, Pendayagunaan, Pembangunan, Tindakan pencegahan, Keselamatan,
dan Jasa-jasa baik.45
Dalam upaya pemecahan masalah terhadap perlindungan bagi pengungsi, ada tiga
pemecahan yang dapat diberikan yaitu:46
1. Dikembalikan ke negara asal
Misalnya pengungsi dari El Salvador, Mozambique, Kamboja, Afganistan, dan
Eritria. Bantuan dan repatriasi sukarela tergantung pada fungsi perlindungan dan bantuan
materil UNHCR. Materi bantuan berisi pertolongan bagi pengungsi, kapan saja, untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan yang praktis dialami pada saat kembali dan pada saat
kedatangannya di negara asal;
2. Dimukimkan di negara pemberi suaka pertama
Misalnya pengungsi Burundi di Tanzania, pengungsi Ruanda di Uganda dan
pengungsi Filipina di provinsi Sabah, Malaysia. Tujuan integrasi diantara pemberi suaka
adalah untuk membantu pengungsi agar mereka menjadi mandiri di negara suaka pertama.
Hal ini dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan memberikan mereka kemahiran
atau membantu mereka mendapatkan keterampilan melalui sekolah-sekolah keterampilan
atau pekerjaan berdagang.
                                                            
43

Achmad Romsan, Op cit, hlm. 73
UNHCR, Gambaran Umum Tentang Fungsi-Fungsi UNHCR, UNHCR, hlm. 17
45
Ibid, hlm. 20
46
Achmad Romsan, Loc cit

44

Universitas Sumatera Utara

32

 

3. Dimukimkan di negara ketiga
Misalnya orang-orang yang datang dari negara-negara di Asia Tenggara dimukimkan
di negara lain terutama di Australia, Eropa dan Amerika Utara. Bantuan UNHCR dilapangan
adalah mengupayakan pemukiman ke negara ketiga melalui kerjasama dengan pemerintah
negara pemukim dengan Organisasi Migrasi Internasional (IOM) dan badan-badan sukarela
yang menaruh perhatian. Tugas utama UNHCR adalah mengadakan perjanjian dengan
pemerintah negara penerima untuk menyediakan pemukiman yang cocok dan layak bagi para
pengungsi. UNHCR juga mendorong pemerintahan negara-negara tersebut untuk
melonggarkan kriteria penerimaan pengungsi dan menetapkan prosedur keimigrasian khusus
bagi para pengungsi.
Selain perlindungan internasional, UNCHR juga diberikan kewenangan untuk:47
a. Mempromosikan perbuatan dan peratifikasian konvensi-konvensi internasional
tentang perlindungan dan mengawasi aplikasinya serta mengusulkan amandemennya;
b. Mempromosikan melalui perjanjian-perjanjian khusus dengan pemerintah setiap
ketentuan yang diperkirakan dapat memperbaiki keadaan pengungsi dan mengurangi
jumlah pengungsi yang membutuhkan perlindungan;
c. Membantu usaha-usaha pemerintah dan swasta untuk mempromosikan repatriasi
sukarela atau pengasimilasian di komunitas negara baru;
d. Mempromosikan penerimaan pengungsi;
e. Mempercepat perolehan izin bagi pengungsi untuk mentransfer aset mereka terutama
untuk kebutuhan pemukiman kembali (resettlement);
f. Memperoleh informasi dari pemerintah tentang jumlah dan keadaan pengungsi di
wilayah mereka;

                                                            
47

Achmad Romsan, Op cit, hlm.169

Universitas Sumatera Utara

33

 

g. Menjalin hubungan dengan pemerintah-pemerintah dan organisasi-organisasi swasta
untuk menangani pengungsi;
h. Mengadakan hubungan baik dengan organisasi-organisasi swasta untuk mengatasi
pengungsi;

b. International Organization for Migration (IOM)
IOM adalah lembaga internasional yang mempunyai tuga dan fungsi untuk mengurusi
orang-orang yang bermigrasi dari satu negara ke negara lain dengan alasan keamanan dan
non politik. 48
Organisasi ini didirikan tahun 1951 atas inisiatif Belgia dan Amerika. IOM terbentuk
sebagai manifestasi hasil Konfrensi Internasional tentang Migrasi yang diadakan di Brusels.
Badan ini semula diberi nama Provisional Intergoverenmental Committee for the Movements
of Migrant from Europe (PICMME), kemudian berubah nama menjadi Intergoverenmental
Committee for European Migration (ICEM). Selama ICEM berdiri beberapa kasus yang telah
ditangani lembaga tersebut, antara lain mengatur proses migrasi 405.000 pengungsi lintas
batas, pengungsi internal, dan economic migrants dari negara-negara di Eropa pada tahun
1950. Tahun 1956 sampai tahun 1957 ICEM berhasil memindahkan 180.000 pengungsi lintas
batas Hungaria yang melarikan diri ke Australia dan Yugoslavia. Kemudian tahun1989
ICEMS’s Council berubah nama lagi menjadi Intergoverenmental Committee for Migration
(ICM) dengan skala kerja yang lebih luas tidak hanya mencakup Eropa saja. Hingga pada
tahun 1989 ICM berubah menjadi International Organization for Migration dan disingkat
menjadi IOM.
Struktur organisasi ini meliputi Office of the Director General yang mewakili
Director General, Deputy Director General, dan Working Group on Gender Issue. Office of
                                                            
48
Iskandar Hasan, Nina Naramurti, 2013, Kerjasama Kepolisian & Penegakan Hukum Internasional,
PT. Reka, Jakarta, hlm.30

Universitas Sumatera Utara

34

 

the Director General dipilih oleh suatu dewan dengan masa kerja lima tahun. Badan ini
meliputi Executive Officer yang memiliki otoritas untuk mengelola organisasi dan
mengadakan kegiatan sesuai mandat untuk memformulasi kebijakan-kebijakan organisasi
serta menyusun program pengembangan sesuai dengan prioritas serta strategi organisasi.
Dibawah Office of the Director General adalah seluruh tenaga administrasi dan staf petugas
lapangan yang melaksanakan kegiatan-kegiatan IOM di markas-markas.49
Sampai dengan 2001 keanggotaan negara-negara dari International Organization for
Migration berjumlah 91 negara. Serta dengan observer sebanyak 36 negara. Mandat utama
IOM secara internasional yaitu membantu pemerintah-pemerintah berbagai negara di dunia
dalam mengembangkan dan mererapkan kebijakan, perundang-undangan dan mekanisme
administratif migrasi. Bantuan tersebut diberikan baik baik melalui pemberian bantuan teknis
dan pelatihan bagi pejabat pemerintah dan juga pemberian bantuan bagi para migran terutama
migran gelap.
Tahun 1993 IOM menandatangani Mozambican Peace Agreement dan membantu
memulangkan lebih dari 500.0000 pengungsi internal. Pada tahun 1996 IOM membantu
190.000 pengungsi lintas batas asal Bosnia ke negara-negara Eropa untuk selanjutnya
dikembalikan ke negaranya. Tahun 1999 IOM mengorganisir program evakuasi kemanusiaan
lebih dari 80.000 pengungsi asal Kosovo dari bekas negara Yugoslavia ke 30 negara di dunia.
Jika digambarkan tugas dan mandat pokok IOM adalah sebagai berikut:50

                                                            
49
50

Wagiman, Op cit, hlm. 191
Ibid, hlm. 195

Universitas Sumatera Utara

35

 

Bagan 2. 2. Tugas dan Mandat IOM
International Organization for
Migration (IOM)
An Intergoverenmental Organization set up out side
The United Nations
Responsibility is to promote the orderly migration of person including
refugees, in need international migration services, and promote social and
economic development

(Sumber: Wagiman, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika, hlm. 195)
c. International Committee of the Red Cross (ICRC)
Organisasi ini dibentuk pada tanggal 24 Juni 1859 di Kota Solferino Italia Utara.
Dalam sejarahnya pasukan Prancis dan Italia sedang bertempur melawan pasukan Austria.
Seorang pemuda Swiss, Henry Dunant bertemu Napoleon III. Kemudian Henry Dunant
menyaksikan petugas medis militer yang bertugas di medan pertempuran sangat kurang untuk
merawat 40.000 pasukan yang terluka. Ia kemudian mencatatkan pengalamannya itu dalam
buku ‘Kenangan dari Solferino’ yang mendapat perhatian Eropa saat itu.51
Tahun 1963 empat orang warga Jenewa bergabung dengan Henry Dunant untuk
mengembangkan gagasan tersebut. Mereka bersama-sama membentuk International
Committee of the Red Cross (ICRC). Ia mempublikasikan dua gagasan. Pertama, membentuk
organisasi sukarelawan yang akan disiapkan di masa damai untuk menolong para prajurit
yang cedera di medan pertempuran. Organisasi tersebut sekarang lebih dikenal dengan nama
Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah Internasional. Gagasan kedua,
mengadakan perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cedera di medan perang.
Gagasan tersebut kemudian direalisasikan dengan dilaksanakannya Konferensi Internasional

                                                            
51

Ibid, hlm. 196

Universitas Sumatera Utara

36

 

pada tahun 1864 yang kemudian menyetujui Konvensi untuk Perbaikan Kondisi Prajurit yang
Cedera di Medan Perang.52
ICRC menjalankan tugas kemanusiaan dengan tugas pokok membantu meringankan
korban konflik di berbagai negara. ICRC merupakan organisasi non pemerintah yang mandiri
dan semua anggotanya adalah warga negara swiss. Dalam menyelenggarakan kegiatannya
dapat berdasarkan atas permintaan dari suatu negara atau berdasarkan prakarsanya sendiri.
Struktur ICRC terdiri atas Komite Dewan Pimpinan, dan berbagai Direktorat Dewan ICRC
yang merupakan instansi tertinggi dalam struktur organisasi. Anggota ICRC berjumlah 25
orang. Mereka dipilih berdasarkan pengalamannya dalam urusan internasional serta
keterlibatannya dalam bidang kemanusiaan. Salah satu dari mereka menjadi Presiden yang
bertugas selama empat tahun dengan kemungkinan dapat diperpanjang untuk kedua kalinya.
Komite mengadakan pertemuan minimal sepuluh kali dalam setahun untuk menentukan
kebijakan institusi dan prinsip pelaksanaan kegiatannya. 53

B. Sumber Hukum Internasional Yang Mengatur Mengenai Pengungsi
Beberapa sumber hukum internasional yang mengatur mengenai pengungsi yaitu:
1. Konvensi Tentang Status Pengungsi Tahun 1951 (The 1951 Convention Relating
to the Status of Refugees)
Konvensi ini disahkan pada tanggal 28 juli 1951 pada United Nations Conference of
Plenipotentaries on the Status of Refuges and Stateless Persons yang dilaksankan di Jenewa,
dan dikuatkan dengan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No.429 (V)
tanggal 14 Desember 1950. Konvensi ini sendiri mulai berlaku pada tanggal 22 April 1954
sesuai dengan ketentuan Pasal 34 Konvensi.

                                                            
52
53

Ibid, hlm. 197
Ibid 

Universitas Sumatera Utara

37

 

Secara garis besar, konvensi terdiri dari 46 Pasal dan 7 bab. Konvensi ini merupakan
perjanjian internasional yang bersifat multilateral yang memuat tentang prinsip-prinsip
internasional yang penting. Misalnya Pasal 33 tentang prinsip non refoulment. Beberapa hak
dasar yang harus dimiliki oleh seorang pengungsi dirinci secara jelas, misalnya hak untuk
menetap, dan hak-hak lainya seperti yang diatur dalam Pasal 4 tentang kebebasan
mempraktekkan agama dan pendidikan agama bagi anak-anak pengungsi, kemudian Pasal 3
hak untuk mendapat perlakuan yang sama yakni perlakuan sebaik mungkin sebagaimana
yang diberikan kepada warga negara mereka. Selanjutnya pada Pasal 10 hak tentang
kelangsungan tempat tinggal yakni hak untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak, Pasal
13 hak untuk memiliki benda bergerak dan tidak bergerak, Pasal 14 hak atas karya seni dan
karya industri, Pasal 15 hak untuk berserikat, Pasal 16 hak untuk mendapatkan keadilan,
Pasal 19 hak untuk menjalankan profesi liberal, Pasal 22 hak atas pendidikan, Pasal 24 hak
atas kondisi kerja yang layak dan jaminan sosial, dan Pasal 26 hak kebebasan berpindah
tempat Dan yang paling penting terkait dengan kewajiban yakni mereka yang mengungsi di
suatu daerah atau negara berkewajiban untuk tunduk serta dalam ketentuan hukum yang
berlaku di daerah atau negara tersebut seperti yang dimuat dalam Pasal 2 Konvensi.
Mencermati beberapa hak tersebut diatas, maka yang tidak boleh direservasi adalah
ketentuan Pasal 4. Pasal-Pasal lain yang tidak boleh dilakukan reservasi, dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 42 Konvensi 1951, yaitu:
1. Definisi istilah pengungsi (Pasal 1);
2. Non diskriminasi (Pasal 3);
3. Kebebasan beragama (Pasal 4);
4. Akses ke pengadilan (Pasal 6 ayat (1));
5. Non refoulment (Pasal 33);
6. Klausula akhir (Pasal 36-46).

Universitas Sumatera Utara

38

 

Selanjutnya dalam konvensi ini juga diatur mengenai ketentuan dimana seseorang
tidak dapat diberikan status sebagai pengungsi lagi. Ada dua keadaan yang dibenarkan yakni
‘the exclusions clauses’ dan ‘the cessasion clauses’. The exclusions clauses yakni mereka
yang telah memenuhi kriteria sebagai pengungsi namun mereka tidak membutuhkan atau
tidak berhak mendapatkan perlindungan. Mereka yang termasuk dalam kategori ini yaitu:54
a. Orang-orang yang telah menerima perlindungan atau bantuan dari badan-badan
atau lembaga-lembaga lain Perserikatan Bnagsa-Bngsa selain dari UNHCR;
b. Orang-orang yang telah menikmati hak dan kewajiban yang sama seperti warga
negara di negara dimana dia tinggal;
c. Orang-orang yang telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan
perang, kejahatan terhadap perdamaian;
d. Orang-orang yang telah melakukan peanggaran yang serius terhadap hukum
negara-negara common law sebelum mengajukan permohonan ke negara lain
untuk mendapat suaka;
e. Ataupun orang-orang yang telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sedangkan the cessasion clauses adalah seseorang yang tidak lagi dianggap sebagai
pengungsi apabila, misalnya telah terjadi perubahan politik yang sangat mendasar di negara
asalnya, dan memungkinkan mereka untuk membuat pemukiman baru di negara itu. Contoh
penerapan cessasion clauses ini adalah untuk pengungsi dari Polandia, Cekoslovakia, dan
Hongaria. 55
2. Protokol Tentang Status Pengungsi 1951 (Protocol Relating to the Status of
Refugees)
                                                            
54
55

Achmad Romsan, Op cit, hlm. 41
Ibid, hlm. 42

Universitas Sumatera Utara

39

 

Protokol tentang status pengungsi ini dimaksudkan untuk mengatasi persoalan
pengungsi yang terjadi setelah Perang Dunia II, terutama pengungsi yang timbul karena
konflik politik di Afrika tahun 1950-an dan 1960-an. Kelompok pengungsi baru ini jelas tidak
termasuk dalam pengertian pengungsi menurut Konvensi tahun 1951 yang lebih menekankan
pada kejadian sebelum 1951 tepatnya pada saat perang dunia. Karena itu, dirasakan perlu
untuk membuat Konvensi 1951 dapat diterapkan untuk semua situasi pengungsi. Untuk itulah
maka Konvensi tahun 1951 yang memberikan batasan waktu (dateline) dan wilayah
(geographical limitation) untuk pengungsi yang terjadi di Eropa atau dimana saja sebelum 1
Januari 1951 diganti. Protokol ini lebih memiliki karakter universal. Protokol ini sendiri
hanya terdiri dari 11 Pasal. Protokol ini juga merupakan independent instrument, yang artinya
Negara boleh ikut serta pada Protokol ini tanpa harus menjadi Peserta pada konvensi 1951.
Dengan adanya Protokol tahun 1967 ini jumlah negara yang ikut serta atau
meratifikasi meningkat dibandingkan dengan Konvensi 1951 yang hanya diratifikasi oleh
enam negara saja sampai dengan tahun 1954. Beberapa Pasal yang diatur dalam Protokol ini
misalnya mengenai kerjasama Instansi Nasional dengan PBB (Pasal 2), mengenai
penyelesaian perselisihan (Pasal 4), dan sebagainya.
3. Konvensi tentang Orang-Orang yang Tidak Memiliki Warga Negara Tahun 1954
(The Convention Relating to the Status of Stateless Person 1954)
Konvensi ini disahkan pada tanggal 28 September 1954 melalui Resolusi Dewan
Sosial dan Ekonomi Nomor 526 (XVII) tanggal 26 April 1954 dan mulai diberlakukan
tanggal 6 Juni 1960. Konvensi ini merumuskan mengenai standar perlakuan yang harus
dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang tidak memiliki warga negara. Perlakuan
yang diberikan adalah sama dengan mereka yang termasuk dalam kelompok pengungsi.
Dasar pertimbangan disahkannya konvensi ini adalah orang-orang yang tidak
memiliki warga negara itu adalah manusia yang memiliki dan harus menikmati hak-haknya

Universitas Sumatera Utara

40

 

sebagai manusia. Dalam kasus ini yang kebanyakan tidak memiliki kewarganegaraan adalah
pengungsi itu sendiri. Berdasarkan hal itulah maka perlu untuk mengaturnya dalam sebuah
persetujuan internasional sehingga status orang-orang yang tidak berkewarganegaraan ini
dapat diperbaiki.56
Konvensi ini terdiri dari 42 Pasal yang termuat dalam 6 Bab. Beberapa Pasal yang
perlu diketahui misalnya Pasal 1 yang memberikan rumusan mengenai “stateless person”,
kewajiban umum yang harus dipatuhi oleh mereka (Pasal 2), hak asasi yang melekat kepada
dirinya sebagai manusia, seperti hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif (Pasal 3),
hak untuk menjalankan agama dan pendidikan agama kepada anak-anak mereka (Pasal 4),
hak kelangsungan untuk tempat tinggal (Pasal 10), hak untuk memiliki benda bergerak dan
tidak bergerak (Pasal 13), termasuk hak atas karya seni dan hak milik industri (Pasal 14), hak
untuk berserikat (Pasal 15), hak untuk mendapatkan pekerjaan dan hidup yang layak (Pasal
17-19). Hak dibidang kesejahteraan (Pasal 20-24), misalnya perumahan, pendidikan umum,
kebebasan untuk bergerak. Negara peserta Konvensi ini juga diharuskan menerbitkan kartu
identitas terhadap orang-orang yang tidak memiliki warga negara yang ada di negaranya, juga
termasuk dokumen perjalanan. Konvensi ini juga mengatur tentang para pelaut (seamen)
yang tidak memiliki warga negara.
Konvensi ini hanya berlaku terhadap orang-orang yang pada saat itu belum menerima
bantuan perlindungan dari lembaga-lembaga atau badan PBB lainnya. Selain itu, konvensi ini
juga tidak berlaku terhadap orang-orang yang telah diakui sebagai warga oleh sebuah badan
yang berwenang dalam negara itu, sehingga orang itu memiliki hak-hak dan kewajiban yang
sama dengan warga negara di negara itu.57

                                                            
56
57

Pembukaan Konvensi Tentang Status Orang-Orang yang Tidak Memiliki Warga Negara 1954
Achmad Romsan, Op cit, hlm. 92

Universitas Sumatera Utara

41

 

4. Konvensi Tentang Pengurangan Terhadap Jumlah Orang-Orang yang Tidak
memiliki Kewarganegaraan Tahun 1961 (The Convention on the Reduction of
Statlessness 1961)
Konvensi ini disahkan pada tanggal 30 Agustus 1961 melalui Resolusi Majelis Umum
PBB No.896 (IX) tanggal 4 Desember 1954. Konvensi ini terdiri dari 21 Pasal. Secara garis
besar mengatur tentang pengurangan terhadap jumlah orang yang tidak memiliki warga
negara di dalam wilayah Negara Pihak dengan memberikan status kewarganegaraan terhadap
anak-anak mereka yang lahir di negara itu. Pemberian status kewarganegaraan itu merupakan
suatu kewajiban yang diberikan oleh Konvensi ini dengan memperhatikan ketentuan yang
berlaku di negara itu.
Suatu hal yang patut diketahui adalah terhadap anak-anak yang lahir dari orang-orang
yang tidak memiliki status warga negara di atas sebuah kapal laut, pesawat udara dianggap
lahir di dalam wilayah negara bendera dimana pesawat atau kapal itu didaftarkan (Pasal 3).
Konvensi ini juga mengatur tentang hilangnya status kewarganegaraan dari orang-orang yang
tidak memiliki warga negara melalui perkawinan, berakhirnya perkawinan atau karena
mendapatkan status kewarganegaraan lain seperti yang dimuat dalam Pasal 5.
5. Konvensi Jenewa Tentang Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Pada Waktu
Terjadi Perang Tahun 1949 (The Fourth Geneva Convention Relative to the
Protection of Civillian Persons in Time of War 1949)
Konvensi ini disahkan tanggal 12 Agustus 1949 mengatur tentang perlidungan
terhadap penduduk sipil pada watu terjadi perang. Satu hal yang patutu diketahui berkaitan
dengan pengungsi dalam konvensi ini yaitu dalam Pasal 44 disebutkan bahwa negara yang

Universitas Sumatera Utara

42

 

bertikai itu tidak boleh memperlakukan para pengungsi yang tidak mendapatkan
perlindungan dari satu negara seperti musuh dari negara mana ia bermusuhan.58
Perlindungan terhadap para pengungsi dan orang-orang yang tidak memiliki warga
negara dan tidak mendapat perlindungan dari salah satu negara pada waktu terjadi pertikaian
bersenjata juga diatur dalam Protocols Additional to the Geneva Conventions of 12 August
1949 (Protokol tambahan terhadap Konvensi Jenewa tahun 1949). Protokol ini juga sering
disebut The Protocol Additional of 1977 (Protokol tanbahan tahun 1977) tepatnya dalam
Pasal 73.59

6. Deklarasi PBB Tentang Suaka Teritorial Tahun 1967 (The United Nations
Declaration on Teritorial Asylum 1967)
Deklarasi ini disahkan pada tanggal 14 Desember 1967 melalui Resolusi 2312 (XXII)
dan hanya terdiri dari empat pasal saja. Tujuan deklarasi ini adalah untuk memelihara
perdamaian dan keamanan internasional, mengembangkan hubungan persahabatan antar
bangsa-bangsa dan untuk menyelesaikan masalah-masalah internasional dalam bidang
ekonomi, sosial, budaya ataupun yang bersifat kemanusiaan dan didalam mengembangkan
dan menghormati hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk semua orang tanpa
didasarkan pada perbedaan ras, seks, bahasa ataupun agama.
Oleh karena itu, berkaitan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dimana
dalam Pasal 14 dan Pasal 13 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan
perlindungan di negara lain kaena adanya persekusi dan juga merupakan hak setiap orang
untuk kembali dan pergi meninggalkan negaranya, maka disahkanlah Deklarasi Suaka
Teritorial ini. Deklarasi ini sangat penting mengingat di antara para pengungsi itu mungkin
saja terdapat orang-orang yang mencari suaka (asylum seekers).60
                                                            
58

Ibid, hlm. 93
Ibid, hlm. 94
60
Ibid, hlm. 95

59

Universitas Sumatera Utara

43

 

7. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
(Convention of Elimination of Rasial Discrimination)
Konvensi ini disahkan oleh PBB berdasarkan Resolusi Majelis Umum 2106 A (XX)
21 Desember 1965, dan konvensi ini mulai berlaku tanggal 4 Januari 1969. Dalam konvensi
ini istilah ‘Diskriminasi Ras’ seperti yang termuat dalam Pasal 1 konvensi ini yakni diartikan
dengan segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau kebangsaan atau suku
bangsa, yang mempunyai maksud atau dampak meniadakan atau merusak pengakuan,
pencapaian atau pelaksanaan atas dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya atau bidang kehidupan masyarakat lainnya.
Hak-hak sipil konvensi ini yang relevan dengan kondisi pengungsi dimuat dalam
Pasal 5 D yakni:
a. Hak untuk bebas berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah negara yang
bersangkutan.
b. Hak untuk meninggalkan suatu negara, termasuk negaranya sendiri, serta kembali ke
negaranya sendiri.
c. Hak untuk memiliki kewarganegaraan.
Sedangkan hak ekonomi, sosial dan budaya yang relevan diatur dalam 5 yakni:
a. Hak untuk bekerja
b. Hak untuk memilih pekerjaan secara bebas
c. Hak untuk mendapatkan kondisi kerja yang adil dan nyaman
d. Hak untuk memperoleh pekerjaan dari pengagguran
e. Hak untuk nendapat upah yang layak sesuai pekerjaannya
f. Hak untuk memperoleh gaji yang adil dan menguntungkan.

Universitas Sumatera Utara

44

 

8. Konvensi Hak-Hak Anak 1990 (Convention the Rights of the Child)
Konvensi ini diterima oleh Majelis Umum PBB pada 20 November 1989 dan mulai
berlaku 2 September 1990. Dalam konvensi ini Pasal yang menyangkut tentang pengungsi
dimuat dalam Pasal 22 ayat 1 yang pada intinya “Negara peserta harus mengambil langkah
yang layak untuk menjamin bahwa anak yang tengah mengusahakan status pengungsi, atau
yang dianggap sebagai pengungsi sesuai dengan hukum dan prosedur internasional yang
berlaku, baik didampingi atau tidak didampingi orang tuanya, akan memperoleh perlindungan
atau bantuan kemanusiaan yang layak untuk menikmati hak-hak yang berlaku dalam
konvensi ini, dalam instrumen Hak Asasi Manusia atau Humaniter lainnya dimana negara
tersebut menjadi peserta.

C. Kebijakan Penanganan Pengungsi oleh Australia dan Thailand
1. Kebijakan Penanganan Pengungsi Oleh Australia
Proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan Australia dalam menangani pengungsi
mengalami proses yang sangat panjang dan naik turun. Kebijakan penanganan pencari suaka
mendapat perhatian ketika jabatan Perdana Menteri dipegang oleh John Howard. Demi
mencegah masuknya kapal-kapal tidak sah ke wilayah perairan Australia dan mencegah
pencari suaka (serta penyelundup) yang berupaya masuk ke Australia, pada tahun 2001,
Howard membuat kebijakan yang disebut Operasi Relex. Operasi Relex ini sendiri ialah
strategi perlindungan perbatasan Australia di laut lepas dengan melakukan pencegatan,
penahanan, dan pencegahan kapal yang membawa orang-orang yang hendak masuk ke
Australia tanpa visa.61 Kemudian juga sempat diberlakukan beberapa kebijakan lain untuk
menghalau datangnya pengungsi, yakni Pasific Solution, Pengolahan lepas pantai, dan
pemberian visa proteksi sementara bagi pengungsi.
                                                            
61
“Pelanggaran Australia Terhadap Perairan Indonesia: Apakah Indonesia Sudah Cukup Peduli?”,
sebagaimana dimuat dalam http://www.fkpmaritim.org/pelanggaran-australia-terhadap-perairan-indonesiaapakah-indonesia-sudah-cukup-peduli/, yang diakses pada tanggal 20 Maret 2016, pukul 21.33 wib.

Universitas Sumatera Utara

45

 

Selanjutnya, pada periode kepemimpinan Kevin Rudd, kebijakan penanganan pencari
suaka beralih pada tindak pengamanan perbatasan yang dirancang untuk mengganggu kerja
penyelundup manusia. Pada periode ini, angka kedatangan pencari suaka terus naik. Akibat
menangani pencari suaka ini, Australia menghabiskan dana yang cukup besar. Besarnya
anggaran yang dikeluarkan untuk kebijakan penanganan pencari suaka telah menyita
perhatian para pemimpin dan calon pemimpin Australia. Di masa ini juga pemerintah
Australia telah mengeluarkan kebijakan kontroversial dalam menangani pencari suaka, yakni
mengirim pencari suaka yang datang ke Australia melalui laut ke Negara terdekat, dalam hal
ini adalah Papua New Guinea dan Kepulauan Nauru di Pasifik. Kebijakan ini ditujukan untuk
mengatasi banyaknya pencari suaka di Australia. Untuk perannya dalam rencana suaka
tersebut Papua New Guinea akan menerima bantuan dana dalam jumlah besar.62
Kemudian pada tahun 2010-2012 dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Jullia
Gilliard, Australia sempat menerapkan beberapa kebijakan terkait pengungsi dan pencari
suaka, Beberapa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Australia terkait permasalahan
Irregular Maritime Arrivals antara lain The Pacific Solution, Mandatory Detention,
pemberlakuan Bridging Visa, pengembalian pencari suaka ke negara asal, serta Malaysia
Solution. Keseluruhan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Australia pada masa
kepemimpinan Julia Gillard tersebut cenderung bersifat punitive atau menghukum pencari
suaka yang datang dengan perahu dan tidak membawa dokumen resmi ke Australia.
Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan pemerintah Australia di atas merupakan produk
kebijakan yang mendapat pengaruh dari suatu proses politik. Dengan kata lain, kebijakan
tersebut mendapat pengaruh dari input politik yang ada di suatu negara. Kelompok-kelompok
yang mempengaruhi kebijakan tersebut selanjutnya disebut sebagai policy influencer, yang
                                                            
62
“Rencana Australia soal Penari Suaka Dikecam”, sebagaimana dimuat
http://www.voaindonesia.com/content/rencana-australia-soal-pencari-suaka-dikecam/1707191.html,
diakses pada tanggal 20 Maret 2016, pukul 21.33 wib.

dalam
yang

Universitas Sumatera Utara

46

 

terdiri dari 1) Bureaucratic influencer63, 2) Partisan influencer,64 3) Interest influencer,65
serta 4) Mass influencer.66
Dalam hal menangani permasalahan imigrasi, pemerintah Australia memiliki
Department of Immigration and Citizenship (DIAC) yang bertanggung jawab terhadap
penjagaan perbatasan Australia dari setiap kedatangan imigran asing. Departemen ini yang
menentukan formulasi kebijakan imigrasi Australia, termasuk wewenang dalam menentukan
legalitas imigran yang masuk ke Australia. Dalam menghadapi permasalahan kedatangan
arus pencari suaka yang menggunakan perahu, Perdana Menteri dan Menteri Imigrasi
Australia membentuk Expert Panel on Asylum Seeker yang berfungsi sebagai penyedia
laporan terkait kebijakan yang dapat diambil pemerintah.67
Tujuan dari dibentuknya Expert Panel tersebut adalah untuk menyediakan saran dan
rekomendasi terhadap kebijakan yang dapat diambil pemerintah dalam membendung migrasi
pencari suaka yang menggunakan perahu dengan membangun prinsip ‘no advantage’.
Dengan adanya prinsip no advantage tersebut, maka pemerintah Australia berusaha
memberikan pesan kepada para pencari suaka, dengan substansi kebijakan yang dibuat, untuk
tidak mencoba memperoleh perlindungan tanpa mekanisme yang telah disediakan,
dikarenakan hal tersebut merupakan hal yang sia-sia. Rekomendasi yang diberikan
Expert Panel tersebut disusun dalam sebuah kerangka besar yang berisi saran-saran teknis
terhadap pelaksanaan kebijakan. Kerangka tersebut dibagi menjadi 22 rekomendasi yang
didasarkan pada; 1) Prinsip-prinsip kebijakan, 2) Penambahan program kemanusiaan di
                                                            
63
Merujuk kepada berbagai individu serta organisasi dalam lembaga eksekutif yang membantu para
pengambil keputusan dalam menyusun serta melaksanakan kebijakan.
64
Pandangan partai-partai yang ada di parlemen Australlia dalam menilai permasalahan Irregular
Maritime Arrivals.
65
Sekelompok orang yang bergabung bersama melalui serangkaian kepentingan yang sama, yang
belum cukup luas untuk bisa menjadi dasar bagi aktifitas kelompok partai, namun sangat dibutuhkan untuk
menyerahkan sumbersumber untuk mendapat dukungan dari policy influencer atau pengambil keputusan yang
lain.
66
Pengaruh media untuk membentuk opini publik. 
67
 Muhammad Rifqi Herdianzah. Loc cit.
 

Universitas Sumatera Utara

47

 

Australia, 3) Regional capacity building, 4) Kerjasama bilateral dengan Indonesia, 5)
Kerjasama dengan Malaysia dalam isu pencari suaka, 6) Perjanjian dengan negara asal
pencari suaka, 7) Perijinan legislatif dalam hal transfer pencari suaka ke negara lain, 8)
Pembentukan rencana pemrosesan klaim para pencari suaka di Nauru, 9) Pembentukan
rencana pemrosesan klaim para pencari suaka di Papua Nugini, 10) Perjanjian Australia
dengan Malaysia, 11) Pengetatan akses jangka pendek terhadap Special Humanitarian
Program, 12) Pengetatan akses jangka panjang terhadap Special Humanitarian Program, 13)
Koordinasi dengan negara penampung lain, 14) Memperluas excision policy ke semua
wilayah Australia, 15) Meninjau kembali proses refugee status determination (RSD), 16)
Strategi penghapusan dan pengembalian, 17) Disruption strategies, 18) Operasi anti
penyelundupan manusia, 19) Mengirim perahu kembali ke laut, 20) Aktifitas pencarian dan
penyelamatan, 21) Keterkaitan antara program onshore dan offshore Australia, 22)
Melakukan penelitian lanjutan. Dari 22 rekomendasi di atas, setidaknya beberapa
rekomendasi telah diadopsi oleh pemerintah Australia. Kebijakan pemerintah yang sesuai
dengan rekomendasi tersebut antara lain: memperkenalkan Regional Processing Act yang
mengamandemen Migration Act dimana mengijinkan Menteri terkait untuk mendeklarasikan
negara ketiga sebagai Regional Processing Country dengan persetujuan legislatif,
penandatanganan secara resmi terhadap Memorandum of Understanding (MoU) terkait
kegiatan transfer dan pemrosesan orang di Nauru dan Papua Nugini, penarikan secara
sukarela maupun secara terpaksa terhadap 500 pencari suaka yang telah tersaring sebagai
orang-orang yang tidak mempunyai klaim perlindungan dari Australia, Pulau Christmas, dan
Nauru, pengenaan pembatasan bridging visas untuk orang-orang yang datang dengan
menggunakan perahu terhitung sejak 13 Agustus 2012 dan orang-orang yang telah ditahan di
Australia dan sedang dalam proses transfer ke Nauru atau Papua Nugini.68
                                                            
68

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

48

 

Kemudian terakhir pada masa kepemimpinan Perdana Menteri Tonny Abbott saat ini,
penanganan dan perumusan kebijakan terkait perlindungan pengungsi cenderung mengalami
kemunduran. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya penolakan terhadap pengungsi dan
pencari suaka serta ketakutan Australia akan tindak pidana perdagangan orang yang mungkin
terjadi, dan cenderung hanya memikirkan aspek nasionalnya saja, tanpa memperhatikan
aspek kemanusiaan yang ada.
Selain itu, Australia juga sempat mengubah kebijakan pencari suaka sehingga pencari
suaka yang tiba di daratan utama negara itu dengan perahu dapat dikirim ke Pulau Nauru di
Pasifik atau Papua New Guinea, seperti kebijakan pacific solution sebelumnya untuk
pemrosesan imigrasi. Dimana, pemerintah Australia mempunyai kewenangan mengirim
pengungsi ke pusat detensi di Nauru dan apabila mereka mendarat di wilayah-wilayah
kepulauan terpencil seperti Christmas Island. Kebijakan ini berlaku sejak pertengahan 2013.69
Di dalam negeri, kebijakan ini telah mendapat kecaman luas, karena menganggap Australia
melanggar hak asasi manusia. Kelompok pejuang hak asasi manusia mengecam dam
menuduh Australia gagal memenuhi persyaratan konvensi pengungsi. Dengan perubahan ini
maka para pencari suaka yang mendarat di wilayah utama tidak lagi mempunyai keuntungan
untuk tetap berada di Australia selama urusan keimigrasian mereka diproses oleh pihak
berwenang.
Pemerintahan Tony Abbott juga melakukan berbagai operasi, salah satunya adalah
Operation Sovereign Borders (OSB) untuk menghalau para pencari suaka yang datang dari
laut untuk dikembalikan ke Negara terdekat atau Negara asal keberangkatan terakhir mereka.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Australia dalam menangani pencari suaka ini
juga diduga melanggar hak asasi manusia karena para pencari suaka yang seharusnya
mendapatkan perlindungan menjadi semakin tidak jelas nasibnya dengan kebijakan yang ada.
                                                            
69
“Australia
Ubah
Kebijakan
Pencari
Suaka”,
sebagaimana
dimuat
dalam
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2013/05/130516_australia_suaka_kebijakan.shtml, yang diakses pada
tanggal 20 Maret 2016, pukul 21.35 wib.

Universitas Sumatera Utara

49

 

Operation Sovereign Borders (OSB) adalah operasi penjagaan keamanan perbatasan
yang dipimpin oleh militer, serta didukung dan dibantu oleh berbagai lembaga pemerintah
federal. Diluncurkan pada 18 September 2013 pemerintahan koalisi membentuk militer
sebagai respon untuk memerangi penyelundupan manusia dan melindungi perbatasan
Australia dan mencegah orang-orang yang membahayakan nyawa mereka dilautan dan
menjaga integritas program migrasi Australia. Dalam OSB telah dibentuk Gugus Tugas
Lembaga Bersama atau Joint Agency Task Force (JATF) untuk memastikan upaya seluruh
pemerintah untuk memerangi penyelundupan manusia dan melindungi perbatasan Australia.70
Dengan adanya kebijakan ini bagi orang-orang yang melakukan perjalanan ke
Australia secara ilegal dengan perahu akan dicegat dan dikeluarkan dari perairan Australia
atau dikirim ke negara lain untuk diproses di luar Australia. Orang-orang tersebut tidak akan
pernah dapat memilih untuk di proses dan dimukimkan kembali di Australia. Kebijakan ini
berlaku untuk semua orang (keluarga, anak-anak, anak-anak tanpa pendamping, orang
berpendidikan atau orang mempunyai keterampilan) tanpa pengecualian. Bagi orang-orang
yang datang dengan menggunakan perahu secara ilegal, baik dari manapun datang lewat laut
secara ilegal, maka orang-orang ini akan dikembalikan ke negara tempat mereka bertolak atau
akan dipindahkan ke tempat pusat pemprosesan yang barada di luar Australia yaitu negara
Papua Nugini atau di Nauru, pemindahan ini akan dilakukan dalam waktu 48 jam. 71
Dalam UU Imigrasi Australia berlaku suatu proses dalam penanganan pencari suaka
sebelum statusnya ditetapkan sebagai pengungsi, yakni proses penelitian seorang pencari
suaka (Asylum Seeker) untuk berhak tidaknya mendapat suaka dilakukan di dalam negeri
Australia, artinya seorang pencari suaka harus terlebih dahulu memasuki teritorial Australia
untuk kemudian menjalani proses penelitian. Hal inilah yang kemudian menyebabkan ribuan
                                                            
70

Ardianti. “Kebijakan Australia Dalam Menangani Imigran Ilegal Dibawah Kepemimpinan Perdana
Mentri Tonny Abbott Tahun 2013”. Jurnal Jom Fisip: Jurusan Ilmu Hubungan Internasional-Prodi Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Volume 2, No. 2, Oktober 2015, hlm. 9
71
Ibid, hlm.10

Universitas Sumatera Utara

50

 

manusia perahu (boat people) pencari suaka berupaya memasuki territorial Australia untuk
bisa menjalani proses suaka di wilayah Australia.
Namun berdasarkan kebijakan t

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Pengusiran Pencari Suaka Di Australia Menurut Hukum Internasional

6 65 86

ASPEK KEDUDUKAN HUKUM ETNIS ROHINGYA MENURUT HUKUM PENGUNGSI INTERNASIONAL (Studi Perlindungan Hukum Etnis Rohingya di Indonesia).

2 6 15

Tinjauan Yuridis Prinsip Non Refoulment Terhadap Penolakan Pengungsi Etnis Rohingya Oleh Australia Dan Thailand Menurut Hukum Internasional

0 0 16

Tinjauan Yuridis Prinsip Non Refoulment Terhadap Penolakan Pengungsi Etnis Rohingya Oleh Australia Dan Thailand Menurut Hukum Internasional

0 0 1

Tinjauan Yuridis Prinsip Non Refoulment Terhadap Penolakan Pengungsi Etnis Rohingya Oleh Australia Dan Thailand Menurut Hukum Internasional

0 0 23

Tinjauan Yuridis Prinsip Non Refoulment Terhadap Penolakan Pengungsi Etnis Rohingya Oleh Australia Dan Thailand Menurut Hukum Internasional

0 1 8

Tinjauan Yuridis Prinsip Non Refoulment Terhadap Penolakan Pengungsi Etnis Rohingya Oleh Australia Dan Thailand Menurut Hukum Internasional

1 1 8

Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Pengusiran Pencari Suaka Di Australia Menurut Hukum Internasional

0 0 9

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI PENGUNGSI 2.1 Pengertian Pengungsi 2.1.1 Sejarah Lahirnya Hukum Pengungsi Internasional - PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA Repository - UNAIR REPOSITORY

0 1 35

BAB III PENANGANANAN PENGUNGSI ROHINGYA OLEH PEMERINTAH INDONESIA 3.1Kedatangan Pengungsi Rohingya di Indonesia - PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 24