Dominasi Dan Dinamika Etnis Melayu Dalam Pemilihan Kepala Desa Kwala Gunung Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang
Demokrasi merupakan sebuah kondisi yang dianggap paling ideal dari
sebuah negara yang dicita-citakan oleh banyak kalangan, tetapi upaya menuju
demokrasi yang ideal merupakan sebuah proses yang tidak mudah. Proses
menuju demokrasi inilah yang disebut sebagai demokratisasi. Demokratisasi
biasanya diawali dengan kebebasan (liberalisasi). Dalam tahap ini media massa
diberi

kelonggaran

sehingga

tidak

menghadapi

ancaman


pembredelan,

masyarakat cukup leluasa melakukan partisipasi sosial melalui organisasi dan
wahana lain, serta mulai berkembang penghargaan terhadap keragaman antar
kesukuan (pluralisme).1
Selain lembaga-lembaga negara, terdapat pula lembaga politik lain seperti
partai politik. Partai politik adalah organsasi yang terdiri atas sekelompok orang
yang mewakili tujuan sama dan dibentuk untuk memperjuangkan tujuan melalui
kekuasaan politik. Partai politik terlibat dalam persaingan untuk memegang
kekuasaan politik. Pada dasarnya, politik berkenaan dengan kehidupan publik,
yaitu kehidupan yang berkaitan dengan orang kebanyakan atau rakyat.
Masyarakat madani (civil society) merupakan wujud masyarakat yang memiliki
keteraturan hidup dalam suasana perikehidupan yang mandiri, berkeadilan sosial,
                                                            
1

Ahmad Nadir. 2005. Pilkada Lansung dan Masa Depan Demokrasi,Averroes Perss, Malang. Hal.
12.

1

 

Universitas Sumatera Utara

dan sejahtera. Masyarakat madani mencerminkan sifat kemampuan dan kemajuan
dalam pemerintahan.
Demokratisasi politik di ranah lokal dalam waktu sepuluh tahun ini telah
membuat persaingan memperebutkan kekuasaan politik menjadi semakin kuat.
Mobilisasi jaringan kekerabatan, etnis dan keagamaan kemudian diciptakan untuk
memenangkan persaingan politik tersebut. Setiap pemilihan baik itu gubernur,
bupati maupun kepala desa mempertimbangkan keterwakilan etnis dan agama,
sehingga power sharing antara kumpulan etnis dominan selalu mewarnai dalam
setiap proses pemilihan kepemimpinan politik.2
Desentralisasi kemudian dianggap menjadi salah satu solusi dalam
menyelesaikan permasalahan yang ada di daerah. Tujuan utama desentralisasi
adalah mengurangi beban pemerintah pusat dalam menangani urusan domestik
sehingga terfokus untuk merespon berbagai kecenderungan global dan
berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang lebih strategis.
Desentralisasi juga bertujuan agar pemerintah daerah mengalami proses
pemberdayaan yang signifikan dan bertanggung jawab dengan tidak lagi berada

dibawah dominasi pemerintah pusat. Pemerintah pusat hanya berperan melakukan
supervisi, memantau, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah.3
Sebagai koreksi terhadap kegagalan sistem sentralisasi dan uniformisasi
pemerintah pusat dengan keluarnya kebijakan desentralisasi untuk otonomi daerah
yang dalam visi otonomi daerah yakni dibidang politik, ekonomi, sosial budaya.
                                                            
2

Bagir Manan. 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,FH UII Press, Yogyakarta. Hal.25.
Donni Edwin dkk. 2005. Pilkada Langsung Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance,
Pusat Kajian Politik, Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta.Hal.6.

3

2
 

Universitas Sumatera Utara

Untuk bidang politik, karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan

desentralisasi dan demokratisasi, maka harus dipahami sebagai sebuah proses
untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala daerah yang dipilih secara demokratis,
memungkinkan

penyelenggaraan

pemerintahan

yang

responsif

terhadap

kepentingan masyarakat dan memelihara suatu mekanisme pengambilan
keputusan yang taat pada azas pertanggung jawaban publik.4
Pertimbangan-pertimbangan unsur suku sebagai hal yang dipertimbangkan
di daerah yang masyarakatnya cukup majemuk dan sering dilanda oleh dinamika
sosial, fenomena politik identitas dan keterwakilan politik yang berasas pada etnis
dan agama dalam proses politik. Lahirnya gerakan reformasi pada tahun 1998,

membawa dampak yang sangat luas dalam tata kehidupan dan penyelenggaraan
pemerintahan yang ada. Pada masa Orde Baru, penyelenggaraan pemerintahan
berjalan hanya semata-mata mengikuti kehendak penguasa dengan menjadikan
birokrasi kekuasaan di pusat-pusat pemerintahan sebagai ujung tombak utama
dengan mengabaikan berbagai potensi yang ada pada masing-masing daerah.
Dampak langsung dari penyelenggaraan pemerintahan tersebut adalah
semakin seragam potensi dan kepentingan daerah yang ada. Diberlakukannya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka
berakhirlah penyelenggaraan pemerintahan desa yang didasarkan pada Undangundang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang

                                                            
4

Ryaas Rasyid. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Jakarta: LIPI Press. Hal.8-9.

3
 

Universitas Sumatera Utara


tersebut

tidak

sesuai

lagi

dengan

jiwa UUD

1945, khususnya yang

menyangkut hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa, sehingga perlu diganti.
Adapun landasan pemikiran dari undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi dan
pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan rumusan tersebut, Undang-undang
Nomor 22 tahun 1999 mengisyaratkan dan menghendaki bahwa pemerintahan
desa (berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1979) diganti dengan

pemerintahan desa berdasarkan adat istiadat dan asal usul daerah yang bersifat
istimewa, namun demikian penyelenggaraan pemerintahan desa tersebut tetap
merupakan subsistem dari penyelenggaaraan pemerintahan, sehingga kepada
desa diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan rumah
tangga masyarakatnya.5
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa yang
menyebutkan perlunya menetapkan permendagri tentang Pemilihan Kepala Desa.
Permendagri No. 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa ini ditunggutunggu pemerintah daerah untuk dapat mengisi kekosongan posisi Kepala Desa
sekaligus

dalam rangka implementasi

Undang-Undang

Desa.

Terbitnya

Permendagri tentang Pemilihan Kepala Desa ini akan menjadi dasar hukum

pemerintah daerah kabupaten/kota untuk dapat melakukan Pemilihan Kepala Desa
di daerahnya secara berbarengan ataupun bergelombang mulai di tahun 2015.
                                                            
5

Abe, A. 2001. Perencanaan Daerah Memperkuat Prakarsa Rakyat dalam Otonomi Daerah.
Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama. Hal. 77.

4
 

Universitas Sumatera Utara

Syarat-syarat untuk dapat mengimplementasikan Undang-Undang Desa di tahun
2015 menjadi agak kurang lengkap dan menjadi dasar alasan pemerintah daerah
kabupaten/kota untuk tidak dapat melakukan implementasi UU Desa di tahun
2015 jika tidak ada kepala desa definitif.6
Dalam suatu negara yang demokratis, fenomena etnis dalam politik tidak
hilang, dan biasanya larut dalam berbagai lembaga politik yang ada. Jika ada
perlakuan yang tidak adil, hak-hak sosial dan politik terabaikan serta kepentingan

kelompok tidak dapat diakomodasi, maka pemimpin-pemimpin kelompok tersebut
berjuang untuk memperoleh hak dan sumber daya yang adil, dan pada waktu yang
sama etnis dan etnisitas akan muncul sebagai instrumen untuk mencapai tujuan
sosial, ekonomi dan politiknya, oleh karena itu mobilisasi dan strategi elit etnis
selalu berdasarkan pada interaksi antara kedua faktor, yaitu reaksi emosional dan
merupakan hasil dari kalkulasi politik strategis.
Sebuah kelompok etnik pertama kali diidentifikasi melalui hubungan
darah. Apakah seseorang tergabung dalam suatu kelompok etnik tertentu ataukah
tidak tergantung apakah orang itu memiliki hubungan darah dengan kelompok
etnik itu atau tidak. Meskipun seseorang mengadopsi semua nilai-nilai dan tradisi
suatu etnik tertentu tetapi jika ia tidak memiliki hubungan darah dengan anggota
kelompok etnik itu, maka ia tidak bisa digolongkan anggota kelompok etnis
tersebut. Pada saat anggota kelompok etnik melakukan migrasi, sering terjadi
keadaan yang membuat mereka merubah akar budaya etniknya karena
                                                            
6

http://www.kemendagri.go.id/produk-hukum/category/peraturan-menteri diakses pada tanggal 1
juli 2015 pukul 16.45 wib.


5
 

Universitas Sumatera Utara

mengadopsi nilai-nilai baru. Demikian juga dengan bahasa, banyak anak-anak
dari anggota kelompok etnik tertentu yang merantau tidak bisa lagi berbahasa
etniknya. Akan tetapi mereka tetap menganggap diri mereka sebagai anggota etnik
yang sama dengan orangtuanya dan mereka juga tetap diakui oleh kelompok
etnikya. Oleh karena itu keanggotaan seseorang pada suatu etnik terjadi begitu
saja apa adanya, dan tidak bisa dirubah. Tidak bisa seorang etnis Sunda meminta
dirubah menjadi etnis Bugis, atau sebaliknya. Meskipun orang bisa saja memilih
untuk mengadopsi nilai-nilai, entah dari etniknya sendiri, dari etnis lain, ataupun
dari gabungan keduanya.
Merujuk kepada Barker bahwa etnisitas, ras dan kebangsaan merupakan
identitas yang paling menetap dimasyarakat barat modern. Seterusnya dikatakan
bahwa etnisitas merupakan suatu konsep budaya yang berintikan penganutan
norma, nilai, keyakinan, simbol, dan praktik budaya bersama. Etnisitas merupakan
suatu konsep relasional yang terkait dengan kategori-kategori identifikasi diri dan
askripsi sosial. Etnisitas lebih tepat dipahami sebagai proses penciptaan batasbatas yang disusun dan dipertahankan dalam kondisi-kondisi sosio historis

tertentu antara satu etnis dengan etnis lainnya.7
Politik identitas etnis dan etnisitas pada dasarnya bisa dikategorikan
sebagai gerakan identitas etnis sebagai suatu bentuk solidaritas kaum pinggiran
(periphery) yang muncul sebagai reaksi terhadap adanya diskriminasi dan
                                                            
7

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20313856-T%2031752-Representasi%20asia-full%20text.pdf
(Penulis Bernama Dini Inaya, Penulis adalah Mahasiswa Pasca sarjana Universitas Indonesia
Jurusan Ilmu Politik yang menulis Tesis tentang Strategi Komunikasi Politik) diunduh pada
tanggal 1 Juli 2015, Pukul 13.42 Wib.

6
 

Universitas Sumatera Utara

kesenjangan, serta muncul sebagai kesadaran politik untuk melawan kelompok
dominan yang memiliki hak istimewa dalam bidang ekonomi dan politik. Politik
identitas etnis dan etnisitas merupakan realitas kolektif yang dikonstruksi
berlawanan dengan kumpulan lain. Pendekatan yang lebih cenderung pada
instrumentalis melihat bahwa kebutuhan akan defenisi identitas etnis dalam
politik adalah bersifat material atau untuk mendapatkan kekuasaan.8
Hal yang terpenting dari pemikiran instrumentalisme ini adalah untuk
mengetahui mengapa orang memilih ciri-ciri etnis untuk mengorganisir
persaingan dan konflik sosial, ekonomi dan politik. Apa yang utama dan menjadi
obyek analisisnya adalah kenyataan konflik, etnisitas dan identitas etnis hanya
sebagai satu variabel perilaku politik (political behavioral), oleh karena itu dalam
upaya untuk memahami munculnya politik identitas etnis yang ada di Desa Kwala
Gunung ada hal yang sangat menarik terkait pemilihan kepala desa di Desa Kwala
Gunung tersebut dimana etnis dominan dalam pemilihan kepala di Desa Kwala
Gunung kalah lebih dari satu dekade terakhir ini.9
Pemilihan kepala desa (pilkades) di Desa Kwala Gunung yang
dilaksanakan pada tanggal 26 Mei 2015 berjalan tanpa mengalami hambatan.
Semua proses dari awal dibukanya tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) dari
lima dusun yang ada hingga pencatatan hasil akhir pilihan masyarakat terhadap
kepala desa tidak didapati penyelewangan. Adapun yang tidak luput dari perhatian
adalah yang menjadi pemenang pemilihan kepala desa (pilkades) di Desa Kwala
                                                            
8

Achmad Habib. 2004. Konflik Antaretnik di Pedesaan. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara
hal.70.
9
Alo Liliweri. 2008. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, Jakarta : LkiS. Hal 89.

7
 

Universitas Sumatera Utara

Gunung adalah Jum’ah Haidiryah yang mempunyai latar belakang suku yang
berbeda dengan etnis yang dominan di daerah tersebut. Desa Kwala Gunung
merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batu
Bara, Sumatera Utara. Desa tersebut memiliki jumlah penduduk 2179 jiwa dimana
terdiri dari jumlah penduduk laki-laki 1.158 jiwa dan penduduk perempuan 1.018
jiwa. Penduduk yang berjumlah 2179 jiwa di Desa Kwala Gunung ini terdiri dari
67% penduduknya bersuku Jawa, 26% suku Melayu, 5% suku Batak dan 2% suku
yang lainnya.
Jum’ah Haidiryah merupakan kepala desa incumbent pada pemilihan
kepala desa di Desa Kwala Gunung. Terpilihnya Jum’ah Haidiryah pada 26 Mei
2015 yang lalu adalah periode ketiganya memimpin Desa Kwala Gunung yaitu
periode 2004-2009 dan Periode 2009-2015, namun sebelum berakhirnya periode
2009-2015, Jum’ah Haidiryah sempat mengundurkan diri pada tahun 2014 karena
Jum’ah Haidiryah mengikuti Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 kemudian sempat
digantikan oleh Jumiran, sekretaris Desa Kwala Gunung sebagai pelaksana tugas
(Plt). Pada Pemilihan kepala desa 26 Mei 2015 yang lalu Jum’ah Haidiryah
(Melayu) bertarung dengan Jumali (Jawa) dan Rudi Hartono (Jawa). Jumlah
Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Desa Kwala Gunung adalah 1.326 jiwa dimana
yang menggunakan hak pilihnya 1.054 orang. Dari 1.054 orang tersebut yang
menggunakan hak pilihnya terdiri dari 62% suku Jawa, 24% suku Melayu, 6%
suku Batak dan 8% suku lainnya. Jum’ah Haidiryah menang dengan 406 suara
disusul oleh Jumali 387 suara dan Rudi Hartono 227 suara, dimana 34 orang tidak

8
 

Universitas Sumatera Utara

menggunakan hak pilihnya pada pemilihan kepala desa tersebut. Berdasarkan latar
belakang diatas dan dengan alasan terpilihnya Jum’ah Haidiryah yang bersuku
Melayu mengalahkan calon lain bersuku Jawa yang merupakan suku dominan di
Desa Kwala Gunung ini yang akhirnya membuat peneliti tertarik meneliti tentang
“Dominasi dan Dinamika Etnis Melayu dalam Pemilihan Kepala Desa Kwala
Gunung Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batu Bara”.

I.2. Perumusan Masalah
Banyak penelitian yang meneliti tentang kejadian-kejadian di sebuah
wilayah yang dikuasai seorang kepala daerah yang juga berasal dari etnis
mayoritas tersebut. Isu etnis atau kesukuan merupakan isu yang sering kita dengar
ketika akan berlangsung pemilihan kepala daerah baik itu gubernur,
bupati/walikota dan kepala desa. Terjadi hal yang menarik di pemilihan kepala
desa di Desa Kwala Gunung, Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batu Bara,
Sumatera Utara ini. Pada tanggal 26 Mei 2015 yang lalu dilaksanakan pemilihan
kepala desa di desa tersebut. Pada saaat pemungutan suara calon yang berasal dari
etnis minoritas (Melayu) berhasil mengalahkan calon kepala desa yang berasal
dari etnis mayoritas (Jawa).
Menurut data yang berasal dari Desa Kwala Gunung, desa tersebut
memiliki jumlah penduduk 2179 jiwa. Dari 2179 penduduk di Desa Kwala
Gunung 67% penduduknya bersuku Jawa, 26% suku Melayu, 5% suku Batak dan
2% suku yang lainnya. Pada pemilihan yang lalu ada tiga calon kepala desa yaitu

9
 

Universitas Sumatera Utara

Jumali (Jawa), Rudi Hartono (Jawa) dan Jum’ah Haidiryah (Melayu) ditengah
dominasi etnis Jawa di Desa Kwala Gunung Jum’ah Haidiryah berhasil
memenangkan pemilihan calon kepala desa di Desa Kwala Gunung. Hal ini sangat
menarik bagi peneliti ketika isu-isu mengenai etnisitas tidak terlalu dominan di
Desa Kwala Gunung dalam pemilihan kepala desa yang lalu.
Penelitian ini akan mencari jawaban terhadap pertanyaan, “Mengapa
calon dari etnis Melayu dapat memenangi Pemilihan Kepala Desa Kwala
Gunung Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batu Bara yang didominasi
Etnis Jawa ?”

I.3. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti
tentang dinamika kemenangan etnis Melayu dalam Pemilihan Kepala Desa Kwala
Gunung yang didominasi Etnis Jawa adalah:
a. Mengetahui dominasi kemenangan etnis Melayu pada pemilihan
kepala desa di Desa Kwala Gunung.
b. Untuk mengetahui dan memahami proses dan bentuk dari strategi yang
digunakan calon terpilih Jum’ah Haidiryah yang beretnis Melayu
dalam menghadapi pemilihan kepala desa KwalaGunung yang
didominasi etnis Jawa.

10
 

Universitas Sumatera Utara

I.4. Pembatasan Masalah
Dalam upaya memfokuskan permasalahan dalam penelitian ini, akan lebih
baik jika dibuat pembatasan masalah:
1. Penelitian ini hanya mengkaji tentang dinamika pemilihan kepala desa
di Desa Kwala Gunung, Kecamatan Lima puluh, Kabupaten Batu
Bara.
2. Penelitian ini hanya mengkaji tentang dominasi kemenangan etnis
Melayu dalam pemilihan kepala desa di Desa Kwala Gunung yang
didominasi mayoritas etnis Jawa.

I.5. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, secara teoritis
maupun secara praktis.
a) Secara teoritis.
-

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam
menganalisis sebuah pemilihan di desa yang tidak dominan dengan isu
etnis.

-

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi
masyarakat yang peduli dengan pemilihan presiden atau kepala daerah
yang isu-isu mengenai masyarakat dominan (etnis) tidak sedominan
isu program atau visi dan misi calon serta kapasistas dan
kapabilitasnya.

11
 

Universitas Sumatera Utara

b) Secara praktis.
-

Penelitian ini akan memberikan informasi tentang pemilihan kepala
desa di Desa Kwala Gunung berlangsung sangat demokratis.

c) Secara teoritis, penelitian ini juga akan memberikan informasi tentang
strategi calon terpilih Jum’ah Haidiryah dalam mengatasi isu-isu etnis
minoritas ditengah etnis mayoritas dalam pemilihan kepala desa di
Desa Kwala Gunung.

I.6. Kerangka Teori dan Konsep
Dalam penelitian ini, diperlukan pisau analisis yaitu kerangka teori, untuk
dapat memahami secara mendalam apa yang akan diteliti oleh peneliti. Peneliti
menggunakan teori yang ada dan sesuai dengan apa yang akan diteliti agar
peneliti dapat menggunakan beberapa kerangka konseptual sebagai landasan
berpikir dan menganalisis fenomena yang terjadi di Desa Kwala Gunung dimana
dalam pemilihan kepala desa di Desa Kwala Gunung. Dominasi calon beretnis
Melayu yang merupakan etnis minoritas mampu mengalahkan calon kepala desa
beretnis Jawa yang mayoritas. Konsep dan teori yang akan digunakan, diantaranya
adalah sebagai berikut:

I.6.1. Konsep Etnisitas
Berkaitan dengan konsep etnisitas, T.K. Oommen mengidentifikasi
setidaknya lima perbedaan cara pandang dimana kelompok etnis dan etnisitas

12
 

Universitas Sumatera Utara

terkonseptualisasi, yaitu: Pertama, kelompok etnis dikonseptualisasi sebagai
sesuatu yang kecil. Kelompok etnis tersebut berbagi kebudayaan yang sama
dengan kebudayaan nenek moyangnya yang dijadikan sebagai pijakan. Namun,
dalam dunia sekarang, masyarakat dan kelompok tidak dibatasi oleh garis
keturunan dan kekeluargaan. Kedua, kelompok etnis dilihat sebagai kelompok
yang memiliki wewenang untuk mendefinisikan dirinya sendiri. Menurut
Oommen,

kewarganegaraan,

kebangsaan,

dan

etnisitas

berguna

untuk

mendamaikan persaingan identitas faktor subjektif yang dipilih oleh anggota
mereka dari sejarah masa lalu atau kondisi saat ini. Corak kultural yang dipilih
membantu dalam penciptaan dan pemeliharaan ikatan sosio-kultural dalam
hubungannya dengan kelompok etnis yang saling berinteraksi. Ketiga, kelompok
etnis dipandang sebagai kelompok kepentingan yang berkompetisi untuk
mendapatkan keuntungan dari negara kesejahteraan. Kelompok ras, agama, dan
bahasa termasuk dalam definisi tersebut yang melihat etnisitas sebagai sumber
yang digunakan oleh kelompok imigran yang terpinggirkan. Keempat, etnisitas
dianggap sebagai instrumen pencari identitas oleh orang-orang dengan latar
belakang ras dan kebudayaan yang beragam di masyarakat. Kelima, etnisitas
dikonseptualisasikan sebagai alat yang digunakan orang untuk mencari kesatuan
psikologis yang seringkali didasarkan pada kesamaan umum, yakni kesamaan
darah, baik secara nyata maupun fiktif. Selain konsep tentang etnisitas di atas,
sumber lain mengatakan bahwa etnisitas adalah pembagian kelompok berdasar

13
 

Universitas Sumatera Utara

ciri-ciri yang sama dalam hal budaya dan genetis serta bertindak berdasarkan
pattern yang sama.10
Teori identitas sosial menurut T.K. Oommen memiliki tiga asumsi utama:
1. Setiap individu akan berusaha mempertahankan konsep dirinya yang
positif.
2. Konsep diri tersebut lahir dari identifikasi terhadap kelompok sosial
yang lebih besar.
3. Upaya individu dalam mempertahankan konsep dirinya yang yang
positif itu cenderung dilakukan melalui cara membanding-bandingkan
kelompoknya dengan kelompok lain.11
Proses perbandingan sosial ini umumnya didorong oleh motif persaingan
antar kelompok, yang tidak jarang akan berujung pada konflik sosial ketika
variabel-variabel struktural seperti distribusi kekuasaan yang tidak adil, hierarki
sosial yang terlalu timpang, persaingan memperebutkan sumber daya dan
pengaruh, dan upaya mempertahankan harga diri kelompok itu tereskalasi dalam
hubungan antar kelompok. Kondisi ini memungkinkan masing-masing kelompok
sosial akan mempersepsi kelompok lain (outgroup) sebagai pesaing, ancaman,
jahat, buruk, sementara dalam dalam waktu yang bersamaan akan muncul
kecenderungan yang sebaliknya, yaitu melihat kelompok (ingroup) sendiri
sebagai yang lebih baik dan unggul.
                                                            
10

T.K. Oommen. 2009. Kewarganegaraan, Kebangsaan, dan Etnisitas: Mendamaikan Persaingan
Identitas, Bantul: Kreasi Wacana. Hal. 55-56.

11

Ibid., T.K. Oommen.,Hal. 57.

14
 

Universitas Sumatera Utara

Pembahasan mengenai teori identitas sosial tentu tidak bisa dipisahkan
dengan teori kategorisasi diri (self-categorization theory). realitas sosial
merupakan tempat berkembangnya nilai-nilai yang menjadi acuan bagi identitas
kelompok, dan dalam perkembangannya kemudian melahirkan batas-batas
antarkelompok. Identitas sosial yang mewujud dalam interaksi sosial dengan
demikian merupakan penjelamaan dari kegiatan memilih, menyerap, sekaligus
mempertahankan nilai-nilai tersebut, sehingga dalam konteks ini bisa dibaca
bahwa pada dasarnya setiap kelompok akan membawa dan memperjuangkan
kepentingannya masing-masing dalam interaksi sosial. Hal ini juga bisa dipahami
bahwa kecenderungan sebuah kelompok sosial untuk menyerap nilai-nilai tertentu
ketimbang yang lainnya merupakan cara kelompok tersebut dalam membuat batas
pembeda antara dirinya dengan kelompok-kelompok lain. Proses yang
mewakilinya disebut sebagai kategorisasi diri. Bagi individu yang menjadi bagian
dari kelompok sosial tersebut selanjutnya akan menempatkan nilai-nilai yang
berkembang dalam kelompoknya itu.12
Ingroup sebagai rujukan dalam berperilaku dan menjadi bagian dari
identitas sosialnya, sementara di saat yang bersamaan dia akan bersikap
sebaliknya untuk kelompok lain, yaitu cenderung merendahkan nilai-nilai yang
berkembang dan dianut oleh kelompok lain. Secara khusus mengenai ingroup
dan

outgroup

tersebut,

ia

mencoba

menjelaskannya

dengan

melihat

kecenderungan-kecenderungan sosial besertapotensi-potensi konflik yang bisa
                                                            
12

http://didin.lecture.ub.ac.id/tag/etnisitas/ (Penulis Bernama Didin Widyartono yang merupakan
Pemerhati dan penggiat masalah etnisitas ) diunduh pada tamggal 1 agustus 2015, Pukul 13.45
Wib.

15
 

Universitas Sumatera Utara

saja muncul di dalamnya. Fenomena ini kemudian akan mengarahkan individu
untuk membagi dunia sosial ke dalam dua kategori yang secara tegas berbeda,
yaitu “dunia ke-kita-an” (weness) dan “dunia yang lain” atau “dunia mereka”
(otherness).
Kita adalah ingroup sementara mereka adalah outgroup. Kecenderungan
untuk memuja kelompok sendiri beserta nilai-nilai yang berkembang di dalamnya
selanjutnya akan memicu lahirnya fenomena bias-bias kelompok sendiri (ingroup
biases). Ingroup biases ini merupakan kondisi yang mengarahkan individu untuk
semakin menunjukkan ciri, kategori, dan sifat kelompoknya sendiri dalam rangka
mendapatkan rasa aman dan kedekatan emosional dengan sesama anggota
kelompok, sekaligus menjadi sumber bagi setiap rasa kesatuan (sense of unity),
yang selanjutnya akan berujung pada lahirnya kebanggaan dan loyalitas terhadap
kelompoknya sendiri.13
Sementara di lain sisi, outgroup merupakan kategori sosial atau kategori
kelompok di mana individu tidak merasa menjadi bagian dari kategori sosial
tersebut sehingga akan menimbulkan perasaan tidak suka, menghindar,
membandingkan, berkompetisi, bahkan bisa memicu lahirnya konflik dengan
kelompok lain. Dasar dari kohesivitas dalam ingroup adalah adanya persamaan,
baik persamaan dalam hal ras, agama, kepercayaan, kelompok sosial, pekerjaan,
jenis kelamin, dan sebagainya, dan disaat yang bersamaan ia juga diteguhkan oleh
                                                            
13

Afthonul Afif. 2012. Identitas Tionghoa Muslim Indonesia, Depok, Jawa Barat Penerbit Kepik.
Hal. 17-18.

16
 

Universitas Sumatera Utara

persepsi terhadap outgroup yang berbeda dengan ingroup. Penelitian tentang
kategorisasi sosial dan ingroup preference membuktikan bahwa rasa suka dan
penilaian positif terhadap ingroup terjadi karena para subjek mengetahui adanya
kesamaan dalam identitas kelompok mereka, sementara outgroup terbentuk dari
proses identifikasi terhadap perbedaan-perbedaan dalam berbagai manifestasinya
(ras, agama, kelas sosial, pekerjaan, dsb). Outgroup merupakan kelompok sosial
yang sama sekali berbeda dengan ingroup.
Ingroup-outgroup yang pada titik tertentu merupakan sumber bagi konflikkonflik sosial, terdapat fakta lain yang lebih berkesan positif dari proses
kategorisasi itu, yaitu individu menjadi mampu menempatkan dirinya dalam relasi
sosial melalui cara-cara yang lebih terukur dan terkontrol. Kesadaran bahwa
individu menempati posisi sosial tertentu di hadapan individu-individu dari
kelompok lain juga membuat individu tahu seperti apa memanfaatkan nilai-nilai
yang dia anut secara tepat sehingga rasa keberbedaan sebagai sumber identitas
sosial itu tetap terjamin. Proses ini menggambarkan bentuk internalisasi nilai-nilai
itu berlangsung di level individu. Nilai-nilai itu selanjutnya akan mempengaruhi
konsep diri individu terbentuk. Jumlah total dari nilai-nilai yang telah
diinternalisasikan ke dalam konsep diri individu yang mana hal itu kemudian
menjadi kondisi pembeda ketika individu berhadapan dengan individu-individu
lain disebut sebagai “identitas sosial” individu.14

                                                            
14

Ibid., Afthonul Afif.,Hal.56.

17
 

Universitas Sumatera Utara

Identitas sosial akan selalu berhubungan dengan pengetahuan individu
tentang peran dan signifikansi nilai-nilai yang diperoleh dari keanggotaannya
dalam kelompok sosial tertentu. Identitas sosial mengacu pada asumsi-asumsi
mengenai sifat-sifat individu dan sifat masyarakat dan interaksi yang terjalin
antara keduanya. Pada masyarakat yang hirarkis terstruktur kategori-kategori
sosial yang merupakan penggolongan orang menurut negara, ras, kelas, pekerjaan,
jenis kelamin, etnis, agama, dan lain-lain. Pada masing-masing kategori-kategori
sosial melekat suatu kekuatan (power), status, martabat (prestige) yang pada
akhirnya memunculkan suatu struktur yang menentukan kekuatan dan status
hubungan antar individu dan antar kelompok. Sementara di dalam diri individu
berlangsung proses kognitif, afektif, dan konatif yang dijadikan pertimbangan
individu untuk mengerti dan berperilaku.
Teori etnisitas digunakan untuk menganalisis cara etnis Melayu yang
minoritas dapat mengalahkan etnis Jawa yang dominan di pemilihan kepala desa
di Desa Kwala Gunung, Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batu Bara. Teori
etnisitas kemudian menjadi pedoman untuk menganalisis perilaku politik etnis
yang ada di Desa Kwala Gunung serta sebagai kesatuan psikologis yang
didasarkan pada kesatuan umum yang berkaitan dengan budaya. Teori etnisitas
digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian ini dan digunakan dalam
pendalaman depth interview atau wawancara mendalam. Dalam penelitian
kualitatif deskriptif analisis pedoman teori etnisitas sangat penting dan diperlukan
dalam setiap permasalahan yang terjadi.

18
 

Universitas Sumatera Utara

I.6.2. Otonomi Desa
Pada wacana kontemporer, desentralisasi sebagai sebuah konsep bisa
diterapkan dengan berbagai cara dan dalam beragam keadaan Desentralisasi
melibatkan banyak proses dan institusi literatur terkini juga memperlihatkan
bahwa desentralisasi telah menjadi topik yang interdisiplin, tidak hanya
dimonopoli oleh ilmuwan politik dan publik administrasi sebagai kontributor
utama terhadap literatur tentang desentralisasi yang begitu luas, tetapi juga
digunakan oleh para pengacara, sosiolog, antropolog, dan para akademisi
dalam teori dan desain organisasi dan juga perencanaan pembangunan.
Konsekuensinya adalah desentralisasi sekarang memiliki makna yang berbeda
untuk setiap disiplin ilmu.15
Berdasarkan perspektif administratif, diantara justifikasi yang paling
banyak

dikutip

adalah

bahwa

desentralisasi

memiliki

potensi

untuk

menghasilkan efektivitas dan efisiensi yang lebih besar dalam urusan-urusan
administratif lokal, khususnya pemberian layanan publik. Hal ini disebabkan
karena pemerintah lokal memiliki pengetahuan yang lebih baik dan sensitifitas
yang lebih kuat terhadap berbagai kebutuhan dan keinginan masyarakat lokal
daripada pemerintah pusat, yang berimplikasi kepada proyek-proyek dan
desain program yang lebih efektif.16 Ditambah lagi, desentralisasi juga
memungkinkan pemberian layanan yang lebih murah karena pemerintah lokal
                                                            
15

Rasyid, M. Ryaas., Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002, Hal.12.

16

Ibid., D. Riant Nugroho.,Hal.78.

19
 

Universitas Sumatera Utara

dapat memangkas prosedur yang panjang dan kompleks dari perencanaan yang
terpusat desentralisasi memiliki potensi untuk mengembangkan pembangunan
ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Bryan C Smith menyatakan bahwa
“decentralization can have significant repercussions for resource mobilization
and alocation, and ultimately macroeconomic stability, service delivery, and
equity.” Hal ini dimungkinkan melalui “… market models of local decisionmaking… as a means of expanding the scope of consumer choice between
public goods. Residential choice [also] contributes to the realization of
individual values and collective welfare”.17
Desa, atau udik, menurut definisi "universal", adalah sebuah aglomerasi
permukiman di area perdesaan. Di Indonesia, istilah desa adalah pembagian
wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh
Kepala Desa. Sebuah desa merupakan kumpulan dari beberapa unit
pemukiman kecil yang disebut kampung (Banten, Jawa Barat) atau dusun
(Yogyakarta) atau banjar (Bali) atau jorong (Sumatera Barat). Kepala Desa
dapat disebut dengan nama lain misalnya Kepala Kampung atau Petinggi di
Kalimantan Timur, Klèbun di Madura, Pambakal di Kalimantan Selatan, dan
Kuwu di Cirebon, Hukum Tua di Sulawesi Utara.
Menurut etimologi, kata desa berasal dari bahasa Sansekerta, desa yang
berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Menurut perspektif
                                                            
17

D. Riant Nugroho, Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi Kajian dan Kritik Atas
Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Jakarta: PT. Alex Media Komputindo, 2002, Hal.21.

20
 

Universitas Sumatera Utara

geografis, desa atau village diartikan sebagai “a groups of houses or shops in a
country area, smaller than a town”. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri
berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat yang diakui dalam Pemerintahan
Nasional dan berada di daerah kabupaten. Desa menurut H.A.W. Widjaja
dalam bukunya yang berjudul “Otonomi Desa” menyatakan bahwa “Desa
adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli
berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam
mengenai pemerintahan desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli,
demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”.18
Otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan
merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban
menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa,
desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum
perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di
muka pengadilan. Pelaksanaan dari keluarnya Undang-Undang Nomor

22

Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan dikeluarkannya UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
memberikan

landasan kuat bagi desa dalam mewujudkan “Development

                                                            
18

H.A.W. Widjaja. 2003. Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan

Utuh.Jakarta;Raja Grafindo Persada. Hal. 34

21
 

Universitas Sumatera Utara

Community” dimana desa tidak lagi sebagai level administrasi atau bawahan
daerah tetapi sebaliknya sebagai “Independent Community” yaitu desa dan
masyarakatnya berhak berbicara atas kepentingan masyarakat sendiri.
Desa diberi kewenangan untuk mengatur desanya secara mandiri
termasuk bidang sosial, politik danekonomi. Kemandirian ini diharapkan akan
dapat meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan sosial
dan politik. Desa memiliki otonomi yang berbeda dengan otonomi yang
dimiliki oleh daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota.
Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat
istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari pemerintah. Desa
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asalusul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan
nasional dan berada di daerah kabupaten.
Landasan pemikiran yang perlu dikembangkan saat ini adalah
keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan pemberdayaan
masyarakat. Pengakuan otonomi di desa dijelaskan sebagai berikut:
a. Otonomi desa diklasifikasikan, diakui, dipenuhi, dipercaya dan
dilindungi oleh pemerintah, sehingga ketergantungan masyarakat
desa kepada “kemurahan hati” pemerintah dapat semakin berkurang.

22
 

Universitas Sumatera Utara

b. Posisi dan peran pemerintahan desa dipulihkan, dikembalikan
seperti

sedia

kala

atau

dikembangkan

sehingga

mampu

mengantisipasi masa depan.19
Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada
pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan
desa tersebut. Urusan pemerintahan berdasarkan asal-usul desa, urusan yang
menjadi

wewenang

pemerintahan

kabupaten

atau

kota

diserahkan

pengaturannya kepada desa. Harus selalu diingat bahwa tiada hak tanpa
kewajiban, tiada kewenangan tanpa tanggung jawab dan tiada kebebasan tanpa
batas. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan
dalam penyelenggaraan otonomi desa harus tetap menjunjung nilai-nilai
tanggung jawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
menekankan bahwa desa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa dan
negara Indonesia.20 Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan otonomi desa
menuntut tanggung jawab untuk memelihara integritas, persatuan dan kesatuan
bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggung jawab

                                                            
19
20

Rahardjo Adisasmita. 2006. Membangun Desa Partisipatif. Makassar:Graha Ilmu. Hal 80.
Opcit, Abe, A, Hal.35.

23
 

Universitas Sumatera Utara

untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor
peraturan perundang-undangan yang berlaku.21
Teori otonomi desa digunakan untuk menganalisis sistem dan
mekanisme pemilihan kepala desa di Desa Kwala Gunung, Kecamatan Lima
Puluh, Kabupaten Batu Bara. Teori ini juga digunakan untuk menjelaskan
kesatuan masyarakat hukum desa dalam pemerintahannya yang berkaitan
dengan keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan
pemberdayaan masyarakat desa. Teori otonomi digunakan untuk memperkuat
analisis yang ada dalam penelitian ini yang berkaitan dengan etnisitas. Hal-hal
yang berkaitan dengan sistem pemilihan kepala desa, mekanisme pemilihan
dan tata cara pemilihan sebagai pendukung depth interview dalam penelitian
ini. Penelitian kualitatif dengan depth interview tentunya harus mendalam
tidak hanya data primer kesukuan tetapi juga data pendukung untuk menjawab
kenapa suku minoritas di Desa Kwala Gunung bisa memenangkan pemilihan
kepala desa.

I.6.3. Teori Strategi
Strategi menurut Timur Mahardika merupakan jalan untuk mencapai
tujuan, maka mengembangkan suatu strategi membutuhkan paling tidak suatu
pengetahuan yang menyeluruh, kritis dan objektif mengenai kekuatan penghalang
perubahan dan sekaligus peta seluruh kekuatan yang ada, termasuk analisis
                                                            
21
Syaukani, Afan Gaffar dan Ryaas Rasyid.,2009. Otonomi Daerahdalam Negara Kesatuan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal.67.

24
 

Universitas Sumatera Utara

dengan kejujuran kekuatan internal yang dimiliki dan suatu tata susunan langkahlangkah yang akan diambil sehubungan tujuan yang ingin dicapai dikaitkan
dengan kenyataan-kenyataan yang ada, sehingga didapat strategi yang baik, dalam
hal ini tidak ditentukan oleh suatu kecerdasan individual, melainkan oleh hasil
kerjasama, terutama bisa memperoleh data yang akurat.22
Strategi merupakan suatu jalan mencapai tujuan, maka dengan adanya
strategi komunikasi politik merupakan sesuatu hal yang bertujuan untuk
pencitraan politik dengan merawat ketokohan dan memantapkan kelembagaan
artinya dengan ketokohan seorang politisi dan kemantapan lembaga politiknya
dalam masyrarakat, akan memiliki pengaruh tersendiri dan komunikasi politik.
Selain itu juga diperlukan kemampuan dan dukungan lembaga dalam penyusunan
pesan politik, menetapkan metode dan memilih media yang tepat.23
Sementara dalam kamus Longman Dictionary of Contemporary English,
arti dari strategi adalah strategy is a particular plan for winning success in
particular activity, as in war, a game, a competition, or for personal advantage.
Jadi, strategi merupakan perencanaan dalam mensukseskan tujuan dalam segala
aktifitas. Baik dalam mensukseskan peperangan, kompetisi maupun yang lainnya.
Perencanaan strategi dimaknai rancangan yang bersifat sistemik dilingkungan
sebuah organisasi, sedangkan manajemen strategi mempunyai definisi yang
berbeda-beda. Rangkaian kegiatan pengambilan keputusan yang bersifat mendasar
dan menyeluruh, disertai penetapan cara melaksanakannya, yang dibuat oleh
                                                            
22

Timur Mahardika,2006, Strategi membuka jalan perubahan, Bantul Pondok Pustaka, Hal,58.
Anwar Arifin,2006, Pencitraan dalam politik (Strategi pemenangan pemilu dalam presfektif
Komunikasi Politik), Jakarta : Pustaka Indonesia, Hal.33.
23

25
 

Universitas Sumatera Utara

manajemen puncak dan diimplementasikan oleh seluruh jajaran di dalam suatu
organisasi untuk mencapai tujuannya.
Dilihat dari pengertian diatas dapat dijelaskan secara rinci, yaitu :
Pertama, manajemen strategi adalah proses pengambilan keputusan. Kedua,
keputusan yang diambil merupakan keputusan yang menyeluruh dan mendasar.
Ketiga, pembuatan keputusan harus dilakukan oleh pucuk pimpinan sebagai
penanggung jawab utama dalam keberhasilan dan kegagalan dalan sebuah
organisasi. Keempat, pengimplementasian keputusan tersebut sebagai strategi
organisasi untuk mencapai tujuan yang dilakukan oleh seluruh jajaran organisasi.
Kelima, keputusan tersebut harus diimplementasikan oleh seluruh jajaran
organisasi dalam bentuk pelaksanaan pekerjaan yang terarah, sedangkan menurut
Michael Allison dan Jude Kaye, strategi adalah proses sistemik yang disepakati
organisasi dan membangun keterlibatan diantara stakeholder utama-tentang
prioritas yang hakiki bagi misinya dan tanggap terhadap lingkungan operasi.24
Strategi

politik

adalah

sebuah

rencana

yang

sistematik

dan

mengimplementasikannya dalam mencapai tujuan memenangkan dalam bidang
politik. Strategi politik inilah yang digunakan partai politik untuk memenangkan
dalam setiap momentum perebutan kekuasaan, sedangkan strategi yang berkaitan
dengan pembangunan sosial adalah sebuah rencana yang sistematik dan dapat
mengimplementasikan inklusi sosial dalam rangka memenangkan pemilu. Teori
strategi digunakan untuk menganalisis strategi yang digunakan calon yang berasal
                                                            
24

Hadari Nawawi. 2005.Manajemen Strategi Organisasi non Profit Bidang Pemerintahan dengan
Ilustrasi di Bidang Pendidikan, Yogyakarta: Gadjah Mada Press, Hal.148.

26
 

Universitas Sumatera Utara

dari etnis Melayu Jum’ah Haidiryah pada pemilihan kepala desa di Desa Kwala
Gunung, Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batu Bara. Teori ini berkaitan
dengan bentuk strategi yang menyangkut citra, ketokohan, program dan terkait
langkah-langkah yang akan diambil dalam kampanye sehingga memperoleh
strategi yang baik.
Penelitian ini terkait dengan strategi yang digunakan oleh calon yang
berasal dari etnis Melayu Jum’ah Haidiryah dalam pemilihan kepala desa di Desa
Kwala Gunung. Posisi strategi dalam penelitian ini memiliki posisi yang sentral
karena terkait maslaah cara memenangkan pemilihan. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif tentunya pertanyaan strategi dalam wawancara mendalam
sangat penting dalam penelitian ini.

1.7. Kerangka Penelitian

Pemilihan
Kepala desa
kuala gunung

Etnisitas

Dasar analisis mengenai
pemahaman etnisistas di
Indonesia

Otonomi Desa

Dasar analisis proses dan
bentuk otonomi desa
dalam sebuah pemilihan

Strategi Ketokohan

Dasar analisis cara dan
pengaruh
ketokohan/patronase

27
 

Universitas Sumatera Utara

1.8. Indikator penelitian
Indikator yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Teori
Etnisitas dan Teori Strategi mengenai pencapaian tujuan, analisis, dan bentuk
dinamika yang terjadi di pemilihan kepala Desa Kwala Gunung yang dimenangi
oleh etnis minoritas (Melayu) mengalahkan etnis mayoritas (Jawa). Indikator –
indikator tersebut akan diuraikan dalam bentuk wawancara mendalam sebagai
instrumen pengambilan data.

I.9. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu pengkajian dalam menjawab serta
mempelajari peraturan yang terdapat dalam suatu penelitian. Ditinjau dari sudut
filsafat, metodologi penelitian merupakan epistimologi penelitian, yaitu yang
menyangkut bagaimana kita mengadakan penelitian.25 Metode yang digunakan
pada penelitian ini adalah:

1.9.1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan jenis penelitian
kualitatif. Situasi atau fenomena yang terjadi dalam pemilihan kepala desa di Desa
Kwala Gunung, Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara
yang didominasi etnis Melayu dalam pemilihan Kepala Desa yang penduduknya
                                                            
25

Prof. Dr. Husni Usman, M.Pd., M.T dan Purmono Setiady Akbar, M.Pd. 2009. Metodologi
PenelitianSosial, Jakarta: Bumi Aksara. hal.41. 

28
 

Universitas Sumatera Utara

merupakan mayoritas etnis Jawa. Metode penelitian ini dimaksudkan sebuah
proses pemecahan suatu masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau
menerangkan keadaan sebuah objek maupun subjek penelitian seseorang, lembaga
maupun masarakat pada saat sekarang dengan berdasarkan fakta-fakta yang
tampak seperti apa adanya.26
Peneliti akan mendeskripsikan fenomena yang terjadi, proses dan
dinamika yang terjadi di Desa Kwala Gunung yang akan di dianalisis berdasarkan
fakta-fakta yang ditemukan oleh peneliti.

I.9.2. Teknik Pengumpulan Data
Peneliti akan mengumpulkan data dan informasi dengan mengandalkan
data primer dan juga data sekunder.
a. Data primer, merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan.
Dalam hal ini, data primer yang diperoleh adalah dengan melakukan
depth

interview

(wawancara

mendalam)

dengan

mengajukan

pertanyaan-pertanyaan secara langsung dan terbuka kepada informan
atau pihak yang berhubungan dengan masalah penelitian. Peneliti akan
melakukan wawancara dan observasi langsung terhadap orang-orang
terkait Pemilihan Kepala Desa di Desa Kwala Gunung. Adapun
informan yang akan diwawancarai, diantaranya Jum’ah Haidiryah
sebagai Kepala Desa terpilih yang merupakan suku Melayu, Abdul
                                                            
26

Hadari Nawawi. 1995. Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gajahmada
University Press. hal.63.

29
 

Universitas Sumatera Utara

Latif yang merupakan tokoh masyarakat suku Melayu yang juga
mantan kepala desa di Desa Kwala Gunung dan Bapak Syahmidun
sebagai tokoh masyarakat suku Jawa di Desa Kwala Gunung.
b. Data sekunder, merupakan data yang diperoleh baik yang belum diolah
maupun yang telah diolah. Dalam hal ini, data sekunder diperoleh dari
buku-buku, majalah, jurnal dan internet yang masih memiliki relevansi
dengan penelitian yang dilakukan.

I.9.3. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan secara induktif sebagai
salah satu ciri dari penelitian tersebut. Peneliti kualitatif akan mencoba memahami
fenomena atau gejala yang dilihatnya seperti apa adanya. Analisis induktif
dimulai dengan melakukan serangkaian observasi khusus, yang kemudian akan
memunculkan tema-tema atau kategori-kategori, serta pola-pola hubungan
diantara tema atau kategori yang telah dibuatnya. Analisis induktif ini digunakan
juga karena proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan gandarealitas penelitian kualitatif

bersifat jamak/ganda seperti apa temuan yang

terdapat dalam data.

I.10. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan rencana penelitian yang akan dilakukan oleh
peneliti terdiri dari 4 (empat) bagian besar, dan kemudian dispesifikasi lagi untuk

30
 

Universitas Sumatera Utara

mempermudah proses penelitian dalam hal penulisan agar sesuai dengan suatu
karya ilmiah. Adapun sistematika penulisan tersebut, antara lain:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab yang pertama terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori
dan konsepsional, metode penelitian dan juga sistematika penulisan.
BAB II : PROFIL, KOMPOSISI DAN EKSISTENSI ANTAR SUKU
Bab yang kedua, akan mendeskripsikan tentang Profil Suku, Komposisi
suku dan eksistensi antar suku di Desa Kwala Gunung, Kecamatan Lima Puluh,
Kabupaten Batu Bara.
BAB III : HUBUNGAN ANTAR SUKU DAN ANALISIS
Bab yang ketiga akan mendeskripsikan bagimana hubungan antar suku di
Desa Kwla Gunung dan Analisis Pemilihan Kepala Desa di Desa Kwala Gunung.
BAB IV : PENUTUP
Bab yang terakhir ini, berisi tentang penutup dari hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh peneliti. Hasil dari kesimpulan kemudian dilanjutkan dengan
implikasi teori terhadap hasil penelitian yang mudah-mudahan dapat memberikan
manfaat bagi bagi semua pihak, termasuk lembaga-lembaga yang terkait secara
umum dan juga bermanfaat bagi mahasiswa yang sedang melakukan studi
pemerhati desa dan etnisitas yang ada di Indonesia.

31
 

Universitas Sumatera Utara