Pengaruh Pemberian Rejimen Antiretroviral Yang Mengandung Zidovudine Atau Tenofovir Terhadap Kadar Lipid Pada Orang Dengan Hiv Aids (Odha)

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV/AIDS, dan Terapi Anti Retroviral
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dapat diartikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan
tubuh akibat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). AIDS merupakan
tahap akhir dari infeksi HIV. 1,2
Virus penyebab AIDS diidentifikasi oleh Lue Montagnier pada tahun 1983
yang pada waktu itu diberi nama Lymphadenopathy virus (LAV), sedangkan
Robert Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada 1984 yang dinamakan
HTLV-III. Namun, tes untuk memeriksa antibodi terhadap HIV dengan cara
ELISA baru tersedia pada tahun 1985.2
Sejak ditemukannya virus HIV telah dilakukan berbagai upaya untuk
menghambat atau menyembuhkan penyakit ini. Berbagai terapi baru AIDS
dapat segera diaplikasikan pada pasien, mengingat sifat penyakit ini yang
memiliki morbiditas dan mortalitas tinggi. Misalnya penggunaan zidovudine
yang diketahui memiliki efek antiretroviral, hanya dalam waktu 2 tahun telah
diizinkan oleh Food and Drug Adminstration (FDA) untuk dipakai secara klinis

pada tahun 1987. Setelah itu ditemukan obat golongan Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor (NRTI) yang mampu memperbaiki masa hidup
penderita AIDS, namun belum mampu mengeradikasi virus secara total.
Setelah digunakannya obat golongan Protease Inhibitor (PI) dikombinasi
dengan NRTI yang dikenal sebagai Highly Active Antiretroviral Therapy
(HAART) maka penyakit AIDS tidak lagi fatal selama pengobatan dilakukan
secara jangka panjang dan teratur.1,2,4
Kajian terhadap obat antiretroviral terbaru telah menghasilkan data
mengenai efek samping antiretroviral baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Efek samping obat masih dapat ditoleransi selama dipantau dengan
baik, karena apabila obat dihentikan akan lebih berbahaya. Beberapa obat ARV
memiliki efek jangka panjang yang belum diketahui pada saat peluncuran obat.
1,2,4

7
Universitas Sumatera Utara

8

2.1.1 Epidemiologi

Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA di
beberapa provinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur
sehingga provinsi tersebut tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi
terkonsentrasi. Tanah papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas. Dengan
total populasi 240 juta, kita memiliki prevalensi HIV 0,24 persen dengan
estimasi ODHA 186.000 pada tahun 2009 dengan HIV positip. 1,2
Dari Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia sampai
dengan September 2011 tercatat jumlah ODHA yang mendapatkan terapi ARV
sebanyak 22.843 dari 33 provinsi dan 300 kab/kota, dengan rasio laki-laki dan
perempuan 3 : 1, dan persentase tertinggi pada kelompok usia 20-29 tahun.1
Data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara (2013), dari tahun 2003 s/d
akhir maret 2013 terdapat 6.824 kasus HIV terdiri dari 4.920 laki-laki dan
1.748 perempuan. 3
2.1.2 Siklus Hidup HIV16
HIV memulai siklus hidupnya ketika berikatan dengan reseptor CD4 dan
satu atau dua ko-reseptor pada permukaan CD4+ limfosit T. Virus kemudian
bersatu dengan sel host. Setelah menyatu, virus melepaskan RNA ke sel host.
Enzim HIV dinamakan reverse transcriptase mengubah HIV-RNA untaian
tunggal (single-stranded RNA) menjadi HIV-DNA untaian ganda (doublestranded DNA).
Bentuk baru dari HIV-DNA berintegrasi ke dalam genom sel host. Genom

sel host untaian ganda membentuk kompleks dengan sel host disertai
terpadunya berbagai protein virus yang berhasil ditranspor ke dalam inti.
HIV-DNA yang terintegrasi disebut provirus. Provirus dapat tetap inaktif
dalam beberapa tahun, menghasilkan beberapa kopi HIV.
Ketika sel host menerima sinyal untuk aktif, provirus menggunakan enzim
host bernama RNA polimerase untuk menghasilkan kopi dari genom HIV,
juga untaian yang lebih pendek dari RNA yang disebut messenger RNA
(mRNA). mRNA digunakan sebagai blueprint untuk menghasilkan rantai
panjang dari protein HIV.

Universitas Sumatera Utara

9

Enzim HIV yang disebut protease memotong rantai panjang protein HIV
menjadi protein-protein yang lebih kecil. Ketika protein HIV yang lebih kecil
bersatu dengan kopi dari gen HIV RNA, partikel virus baru terbentuk.
Virus yang baru terbentuk dikeluarkan dari sel host. Selama pengeluaran,
virus baru mencuri bagian dari lapisan luar amplop sel. Amplop ini, yang
bertugas untuk melapisi, mengandung kombinasi protein/gula disebut

glikoprotein HIV. Glikoprotein HIV penting bagi virus untuk mengikat CD4
dan ko-reseptor. Kopi baru dari HIV kemudian sudah dapat pindah dan
menginfeksi sel lainnya (Gambar 2.1).16

Gambar 2.1. Siklus hidup HIV 16

2.1.3 Kriteria Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah
seseorang terinfeksi HIV sangat penting, karena pada infeksi HIV gejala
klinisnya dapat baru terlihat setelah bertahun-tahun lamanya (Tabel 2.1)

Universitas Sumatera Utara

10

Tabel. 2.1 Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV1
Keadaan Umum
 Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar
 Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral >37,5 oC) yang lebih
dari satu bulan

 Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan
 Limfadenopati meluas
Kulit
 Papular Pruritic Eruptions (PPE) dan kulit kering yang luas merupakan dugaan
kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts),
folikulitis dan psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait
dengan HIV
Infeksi
Infeksi Jamur
 Kandidosis oral *
 Dermatitis seboroik
 Kandidosis vagina kambuhan
Infeksi viral
 Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari satu
dermatom)
 Herpes genital (kambuhan)
 Moluskum kontagiosum
 Kondiloma
Gangguan
 Batuk lebih dari satu bulan

Pernapasan
 Sesak napas
 TB
 Pneumonia kambuhan
 Sinusitis kronis atau berulang
Gejala neurologis
 Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan
tidak jelas penyebabnya)
 Kejang demam
 Menurunnya fungsi kognitif
*Keadaan tersebut merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV

Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan
diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dibagi menjadi pemeriksaan
serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap antibodi yaitu Rapid test,
Western Blot, Enzyme linked immuno sorbent assay (ELISA) 3 metode,
Polymerase Chain Reactions (PCR) dan pemeriksaan untuk mendeteksi
keberadaan virus HIV yaitu isolasi dan biakan virus, deteksi antigen dan
deteksi materi genetik dalam darah pasien. Pemeriksaan yang lebih mudah
dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibodi HIV.

Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan
nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan
selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Setelah
dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien menjalani serangkaian pemeriksaan

Universitas Sumatera Utara

11

yang meliputi penilaian stadium klinis (tabel 2.2), imunologis (jumlah CD4)
dan pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi.
Tabel.2.2 Penilaian Stadium Klinis 1
Stadium 1

Stadium 2
perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)
usitis, tonsillitis, otitis media, faringitis)

Papular pruritic eruption)


Stadium 3
berat badan bersifat berat yang tidak diketahui penyebabnya (lebih dari
10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)
a

infeksi tulang atau sendi, bakteraemia, penyakit inflamasi panggul yang berat)
omatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis
9
/l) dan/atau
9
trombositopeni kronis (abacavir + lamivudine
Indinavir,lopinavir, tipranavir>atazanavir
Darunavir, fosamprenavir, saquinavir
Ritonavir full dose > boosting dose
Efavirenz > etravirine
Efavirenz > rilpivirine
Efavirenz > nevirapine
Efavirenz > maraviroc
PI > raltegravir
Efavirenz > raltegravir


DF disoproxil fumarate, NRTI nucleoside reverse transcriptase inhibitor, NNRTI:
non nucleoside reverse transcriptase inhibitor, PI protease inhibitor

Patogenesa. Patogenesa dislipidemia dan resistensi insulin pada pasien
HIV/AIDS yang mendapat terapi antiretroviral sangat kompleks (gambar).
Golongan Proteinase Inhibitor menyebabkan dislipidemia sampai saat ini
masih belum dipahami seluruhnya, kemungkinan bersifat multifaktorial yaitu
faktor hepatik, adiposa dan abnormalitas enzim endothelial.18,20 Proteinase
Inhibitor mempengaruhi berbagai jalur metabolik, termasuk sterol regulator
regulatory enhancer binding protein type-1 (SREBP-1), GLUT-4 dan

Universitas Sumatera Utara

23

proteasome dengan efek samping terhadap pertumbuhan adiposit, signaling
insulin dan sintesa kolesterol hepatosit.
Sementara golongan NRTI berhubungan dengan toksisitas mitokondrial,
asidemia laktat dan lipoatrophy, dimana lipoatrophy menyebabkan defisiensi

leptin yang mempercepat resistensi insulin. Mengapa hanya beberapa individu
yang mengalami resistensi insulin menjadi diabetes tidak diketahui, meskipun
diabetes tipe 2 pada populasi umum berhubungan dengan berkurangnya
sekresi dan sensitivitas insulin.25
Mekanisme lain yang dapat dijelaskan adalah berdasarkan kemiripan
struktural antara regio katalitik dari HIV-1 protease dengan 2 protein
homologous yang terlibat dalam metabolisme lemak yaitu cytoplasmic
retinoic acid-binding protein type 1 (CRABP-1) dan low density lipoprotein
receptor-related protein (LRP). Serta kemungkinan melibatkan faktor genetik,
dimana diketahui hipertrigliseridemia dan beberapa polymorphism ditemukan
pada gen apo C-III (Gambar 2.3).22,26,27
Gambar 2.3. Patogenesa dislipidemia dan resistensi insulin pada pasien
HIV/AIDS yang mendapat obat antiretroviral.25

Terapi. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral pada orang dewasa merekomendasikan agar ODHA dewasa
menjalani pemeriksaan dan terapi sesuai panduan NCEP/ATP III, dengan

Universitas Sumatera Utara


24

perhatian khusus terhadap interaksi obat potensial dengan obat ARV dan
mengkontrol

status

virologis

infeksi

HIV.

Penatalaksanaan

dengan

menggunakan pedoman dari Infectious Diseases Society of America (IDSA)
dan The Adult AIDS Clinical Trial Group Cardiovascular Disease Focus
Group (AACTG) juga direkomendasikan. Berdasarkan AACTG, evaluasi
kadar lipid sebaiknya dilakukan sebelum pemberian obat antiretroviral dan
diulang 3-6 bulan kemudian setiap tahun atau jika diketahui adanya gangguan
atau diperlukan tindakan intervensi. Jika saat baseline kadar trigliseridemia
>200mg/dl, maka dianjurkan untuk cek ulang kadar lipid lebih cepat (misal
dalam 1-2 bulan setelah memulai terapi ARV) (Gambar 2.4). 28
Gambar 2.4. Pendekatan umum terhadap dislipidemia dan resiko
kardiovaskular pada ODHA yang mendapat terapi antiretroviral. 28

Modifikasi gaya hidup. Terapi diet, peningkatan aktifitas fisik, serta
penurunan berat badan direkomendasi pada semua pasien dengan dislipidemia.
Pedoman diet dari NCEP untuk menurunkan kadar kolesterol termasuk

Universitas Sumatera Utara

25

penurunan berat badan, aktifitas fisik, penurunan intake alkohol, dan
menghentikan rokok. Namun hal tersebut tidak adekuat untuk mengkoreksi
perubahan metabolisme yang terjadi karena banyak pasien tidak patuh untuk
menuruti perubahan gaya hidup tersebut sehingga dibutuhkan intervensi.
Begitu juga dengan penghentian merokok dan minum alkohol untuk
mengurangi resiko penyakit kardiovaskular pada pasien dislipidemia.20,29-32
Switching rejimen antiretroviral. Pada ODHA dengan dislipidemia yang
berat, pemberian obat penurun kadar lipid single atau kombinasi mungkin
tidak cukup untuk mencapai kriteria sesuai NCEP. Sementara obat penurun
lipid meningkatkan jumlah obat yang harus diminum, biaya dan toksisitas.
Pada kebanyakan kasus seperti itu, switching ≥1 obat ARV merupakan pilihan
yang baik, namun tetap harus diingat bahwa dislipidemia disebabkan oleh
multipel faktor seperti kombinasi obat, polimorfisme metabolisme obat atau
predisposisi genetik terhadap hiperlipidemia. Switching obat ARV mungkin
merupakan pilihan terbaik pada pasien yang mengalami hiperlipidemia setelah
mendapat rejimen ARV dan pertukaran rejimen tesebut tidak mempengaruhi
supresi virologis. 28,31,32
Obat penurun lipid. Pemberian obat antikolesterol dibutuhkan jika
perubahan diet, aktifitas fisik dan pertukaran (switching) terapi tidak efektif
atau tidak tersedia. Terapi dislipidemia pada ODHA yang menerima obat
antiretroviral merupakan masalah tersendiri, karena potensi terjadinya
interaksi obat, toksisitas, intoleransi dan penurunan kepatuhan pasien terhadap
multipel rejimen obat. Menurut The Adult AIDS Clinical Trial Group
Cardiovascular Disease Focus Group (AACTG), pemberian pravastatin atau
atorvastatin direkomendasikan sebagai pilihan pertama antikolesterol jika
terjadi peningkatan LDL dan gemfibrozil atau fenofibrate jika kadar
trigliseridemia >500mg/dl. 28
Statin merupakan terapi lini pertama bagi pasien dengan peningkatan
kolesterol total dan LDL kolesterol, namun hasil terapi sangat bervariasi
karena potensi relatif dari masing-masing individu atau perbedaan genetik dari
enzim CYP3A4 dan CYP3A5. Pada pasien HIV, harus diperhatikan
kombinasi ARV golongan PI dengan statin, oleh karena kedua obat tersebut

Universitas Sumatera Utara

26

dimetabolisme melalui enzim CYP3A4. Khususnya simvastatin dan lovastatin
dikontraindikasikan dengan PI, sementara statin lainnya dapat digunakan
secara selektif atau dosisnya diturunkan.18,23 Bagi pasien yang tidak toleran
dengan statin, ezetimibe dapat digunakan sebagai monoterapi dan telah
terbukti bermanfaat menurunkan LDL kolesterol 10-12%.
Fibrate diindikasikan untuk hipertrigliseridemia dan sebaiknya diberikan
pada pasien dengan kadar trigliserid yang tinggi. Fibrat direkomendasikan
pada pasien dengan riwayat familial hyperlipidemia dan aterogenesis serta
kadar trigliserid >500mg/dL karena resiko terjadi pankreatitis akut. Pada
pasien non HIV/AIDS, fibrate menurunkan kadar trigliserid

30-50% dan

meningkatkan HDL kolesterol 6-15%. Pada studi ACTG 5087 pemberian
fenofibrat versus pravastatin pada ODHA, hanya 1% vs 5% yang mencapai
tujuan terapi setelah 12 minggu. Hal ini menandakan sulitnya mencapai tujuan
terapi dislipidemia pada ODHA. Kombinasi gemfibrozil dengan statin
sebaiknya dihindari karena resiko terjadinya rhabdomyolysis yang lebih
besar.18,22,33,34
Niacin merupakan pilihan alternatif untuk mengurangi kadar trigliserid
pada ODHA. Niacin efektif menurunkan LDL kolesterol dan trigliserid dan
meningkatkan HDL kolesterol. Efek samping niacin termasuk sakit kepala,
flushing, pruritus dan nausea. Dari studi pada ODHA pemberian niacin
2000mg setiap malam selama 44 minggu terbukti aman, ditoleransi dengan
baik dan efektif, dengan transient glikemia dan resistensi insulin.33
Omega-3 fatty acid (fish oils) diketahui telah menurunkan kadar
trigliserid pada ODHA baik secara tunggal, maupun dikombinasi dengan
fenofibrate. Kadar trigliserid puasa menurun 25% pada minggu ke-4 pada
pasien yang mendapat ≥3 jenis ARV dan kadar trigliserid awal >450mg/dL.
Keuntungan dari fish oil termasuk biaya yang murah, tolerabilitas yang baik
dan rendahnya interaksi antar obat.18,24

Universitas Sumatera Utara