Pengaruh tenofovir terhadap kejadian mikroalbuminuria pada orang dengan HIV AIDS (ODHA) yang mendapat terapi antiretroviral (ARV)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dapat diartikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya kekebalan tubuh
akibat infeksi dari Human Immunodeficiency Virus (HIV). Adapun AIDS
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.1,2 Kasus pertama AIDS di dunia pertama
kali dilaporkan tahun 1981 dan virus penyebab AIDS diidentifikasi pada tahun
1983 oleh Lue Montagnier yang pada waktu itu diberi nama Lymphadenopathy
virus (LAV), sedangkan Robert Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada
1984 yang dinamakan HTLV-III. Tes untuk memeriksa antibodi terhadap HIV
dengan cara Elisa baru tersedia tahun 1985. Di Indonesia, kasus HIV pertama kali
dilaporkan tahun 1987.2
Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah Orang
Dengan HIV dan AIDS (ODHA) pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi
tertular HIV yaitu para pekerja seks dan pengguna NAPZA suntikan, kemudian
diikuti dengan peningkatan pada kelompok lelaki yang berhubungan seks dengan
lelaki dan perempuan beresiko rendah. Saat ini dengan prevalensi rerata sebesar
0,4% sebagian besar wilayah di Indonesia termasuk dalam kategori daerah dengan
tingkat epidemi HIV terkonsentrasi. Sementara itu, Tanah Papua sudah memasuki

tingkat epidemi meluas dengan prevalensi HIV sebesar 2,3%.3,4
Hasil perkiraan tahun 2012, di Indonesia terdapat 591.823 orang dengan
HIV positif dan tersebar di seluruh provinsi. Dari Laporan Bulanan Perawatan
HIV dan AIDS di Indonesia sampai dengan November 2014 tercatat jumlah
ODHA yang mendapatkan terapi Anti retroviral (ARV) sebanyak 49.217 orang
dari 34 provinsi dan 300 kabupaten/kota.3 United Nations Programme on
HIV/AIDS (UNAIDS) melaporkan bahwa akhir tahun 2011 sekitar ± 34 juta (31.435.9 juta) individu menderita HIV dengan ± 2.2 juta (2.2 - 2.8 juta) kasus baru
serta ± 1.7 juta (1.5-1.9 juta) kematian yang disebabkan AIDS di seluruh dunia.4
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

1
Universitas Sumatera Utara

Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI 2014, sejak pertama kali
dilaporkan pada tahun 1987, terdapat 150.296 kasus HIV dan 55.799 kasus AIDS
dengan 9.796 kematian.5
AIDS yang disebabkan oleh infeksi HIV ditandai dengan kerusakan fungsi
imun yang progresif. Intervensi yang dapat mencegah kerusakan tersebut,
berpotensi untuk menghambat progres penyakit dan meningkatkan kualitas hidup
penderita. Salah satu intervensi yang digunakan hingga saat ini adalah pemberian

ARV.6 Penemuan obat ARV pada tahun 1996 sangat berarti dalam hal
menurunkan angka kematian dan kesakitan serta meningkatkan kualitas hidup
ODHA.

Terapi

kombinasi

ARV

merupakan

landasan

utama

dalam

penatalaksanaan infeksi HIV.1 Pemberian terapi ARV direkomendasikan terhadap
semua individu dengan kadar Cluster of Differentiation 4 (CD4) < 350 sel/mm3

tanpa memandang stadium klinis. Pada individu dengan stadium klinis 1 dan 2
harus dilakukan pemeriksaan kadar CD4 untuk menentukan kapan memulai terapi
ARV. Penderita dengan stadium 3 dan 4, terapi ARV diberikan tanpa memandang
berapapun kadar CD4. Secara dramatis terapi ARV menurunkan angka kematian
dan kesakitan, meningkatkan kwalitas hidup ODHA sehingga saat ini HIV dan
AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak lagi
dianggap sebagai penyakit yang menakutkan.7,8
Tenofovir

disoproxil

fumarate

(TDF)

suatu

nucleoside

reverse


transcriptase inhibitor (NRTI) yang telah disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) pada tahun 2001 untuk pengobatan infeksi hepatitis B dan
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Tenofovir secara ekstensif di ekskresikan
melalui filtrasi glomerulus di ginjal, 20-30% secara aktif dibawa ke dalam sel
tubulus proksimal ginjal oleh organic anion transporter 1 (OAT-1). Pemberiaan
protease inhibitor dan tenofovir dapat meningkatkan kadar tenofovir diplasma 2030%.9,10
Tenofovir secara luas telah digunakan dalam regimen pengobatan HIV-1
sebagai antiretroviral naïve pada pasien dewasa. Obat yang memiliki struktur yang
sama dengan tenofovir yaitu adefovir dan cidofovir sudah tidak digunakan lagi
untuk pengobatan infeksi HIV-1 karena tingginya insiden toksisitas ginjal.
Sedangkan tenofovir, pada studi data keamanan post marketing yang meliputi
2
Universitas Sumatera Utara

455.392 inividu per tahun dengan paparan tenofovir didapatkan efek serius pada
ginjal hanya 0,5% pasien dan peningkatan kreatinin serum pada 2,2%.10,11,12
Adapun nefrotoksisitas yang diinduksi oleh obat telah dilaporkan pada sekitar
15% pasien yang mendapat pengobatan tenofovir selama 2-9 tahun.13
Peningkatan


ekskresi

mikroalbuminuria, merupakan

albumin
faktor

melalui

urin

meskipun

sebagai

resiko independen untuk

penyakit


kardiovaskular dan penyakit ginjal kronik, dengan tingkat mortalitas yang tinggi
baik pada populasi umum maupun pada individu dengan HIV. Kejadian penyakit
ginjal pada pasien HIV dapat merupakan konsekuensi dari toksisitas obat, infeksi
oportunistik dan komorbiditas seperti hipertensi arterial sistemik, diabetes
mellitus dan koinfeksi hepatitis C. Tenofovir telah dimasukkan sebagai lini
pertama terapi antiretroviral yang saat ini direkomendasikan oleh World Health
Organzation (WHO) dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, karena itu
penyakit ginjal pada pasien HIV mungkin akan meningkat dalam tahun-tahun
mendatang. Studi era setelah Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART)
menunjukkan prevalensi mikroalbuminuria pada pasien HIV antara 8, 7 - 11%.14,
15, 16

Chaves dkk (2014) mengevaluasi kerusakan ginjal dan gagal ginjal pada
pasien HIV yang mendapat pengobatan dengan ARV kronik dan korelasi dengan
mikroalbuminuria sebagai marker, dengan mempertimbangkan faktor resiko yaitu
obat-obat antiretroviral dan komorbiditas. Pada penelitian mereka tidak terlihat
adanya

korelasi


yang

bermakna

antara

pemberian

Tenofovir

dengan

mikroalbuminuria (p=0,4).14
Scherzer dkk (2012) menilai hubungan kumulatif dan lama paparan
tenofovir terhadap outcome fungsi ginjal pada 10.841 pasien HIV. Pada penelitian
ini didapatkan median follow up 3, 9 tahun telah terjadi proteinuria dan pada 5, 5
tahun terjadi penyakit ginjal kronis. Dari 3400 pasein dengan proteinuria, 3078
mengalami penurunan fungsi ginjal yang cepat dan 533 mengalami gagal ginjal
kronik. Setiap tahun paparan tenofovir dihubungkan dengan 34% resiko
proteinuria (95% CI 25-45%, p < 0, 0001), 11% resiko penurunan fungsi ginjal

yang cepat (3-18%, p = 0, 0033) dan 33% resiko gagal ginjal kronik (18-51%,

3
Universitas Sumatera Utara

p