Peran Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana yang Terkait Dengan Multi Level Marketing
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia bisnis di Indonesia saat ini berkembang dengan pesat. Bidang
usahaatau jenis bisnis mencakup bidang yang luas, baik barang maupun jasa. Salah
satuvariasi
bisnis
yang
sedang
berkembang
adalah
bisnis
Multi
Level
Marketing(selanjutnya disebut MLM). Meskipun belum mencapai puncak kejayaan
seperti di negara-negara lain, paling tidak MLM sudah berjalan di Indonesia. Artinya
adalah bahwa ada orang-orang Indonesia yang ‘welcome’ terhadap bisnis MLM.
MLM adalah sistem penjualan berkelompok melalui keanggotaan yang berbentuk tim
pemasaran secara bertingkat. Sistem MLM ini lebih mengutamakan kebersamaan
dalam mencapai tingkat omset penjualan perusahaan. Seorang anggota yang dapat
memimpin timnya dalam memasarkan produk perusahaan akan diberikan komisi atau
bonus sesuai dengan sistem yang berlaku pada masing-masing perusahaan MLM
tersebut. 1
MLM termasuk kepada penjualan langsung (direct selling) dimana penjualan
langsung adalah metode penjualan barang dan/atau jasa tertentu melalui jaringan
pemasaran yang dikembangkan oleh mitra usaha yang bekerja atas dasar komisi
1
Muhammad Fachrur Rozi, Budaya Industri Pemasaran Jaringan di Indonesia, (Yogyakarta:
Netbooks Press, 2003), hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
dan/atau bonus berdasarkan hasil penjualan kepada konsumen di luar lokasi eceran
tetap. 2 Penjualan langsung terdiri dari 2 (dua) sistem, yaitu :
1. Single Level Marketing (Pemasaran Satu Tingkat), maksudnya adalah metode
pemasaran barang dan/atau jasa dari sistem penjualan langsung melalui
program pemasaran berbentuk satu tingkat dimana, mitra usaha mendapatkan
komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang dan/atau
jasa yang dilakukannya sendiri; dan
2. Multi Level Marketing (Pemasaran Multi Tingkat), maksudnya adalah metode
pemasaran barang dan/atau jasa dari sistem penjualan langsung melalui
program pemasaran berbentuk lebih dari satu tingkat, dimana mitra usaha
mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan
barang dan/atau jasa yang dilakukannya sendiri dan anggota jaringan di dalam
kelompoknya. 3
Menurut Robert T. Kiyosaki, bisnis MLM berpotensi melahirkan orang yang
ultra kaya. Kalau menurut majalah Forbes, ultra-kaya adalah orang-orang yang
berpenghasilan lebih dari 1 juta US Dollar per bulan. Misalnya 1 USD adalah Rp.
8.500,- maka sebulan orang tersebut berpenghasilan Rp. 8,5 miliar. Dan bisnis ini
dapat melahirkan sekitar 20% dari 500 jutawan di Amerika, dari 100 (seratus)
2
Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 32/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Usaha Perdagangan Dengan Sistem Penjualan Langsung.
3
Lihat : Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.
73/MPP/Kep/3/2000 tentang Ketentuan Kegiatan Usaha Penjualan Berjenjang, yang menyatakan
bahwa : “Penjualan berjenjang adalah suatu cara atau metode penjualan secara berjenjang kepada
konsumen melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh perorangan atau badan usaha yang
memperkenalkan barang dan/atau jasa tertentu kepada sejumlah perorangan atau badan usaha lainnya
secara berturut-turut yang bekerja berdasarkan komisi atau iuran keanggotaan yang wajar”.
Universitas Sumatera Utara
perusahaan terbesar di Amerika, 37 persennya berjalan di bidang MLM. Menurut
John Naitsbitt, dalam buku Mega Trend yang diterbitkan tahun 2000, menyatakan
bahwa : “Dalam pasaran Asia tahun 1990-2000, hanya ada tiga jenis bisnis yang
berkuasa, yaitu telekomunikasi, komputer, dan produksi obat-obatan yang berasaskan
MLM. Di Malaysia, 35 persen jutawannya merupakan jutawan MLM. Diperkirakan
akan ada peningkatan besar-besaran pada abad ke-21. Hanya saja bisnis ini bisa
dijalankan sebagai bisnis sampingan dulu dengan memanfaatkan waktu luang. Inilah
keistimewaan bisnis ini. Jadi, kalau sebagai pekerja atau memiliki bisnis
konvensional, bisa saja untuk sementara waktu bisnis MLM dapat dijadikan sebagai
bisnis sampingan. 4
Network Marketing atau lebih dikenal dengan Multi Level Marketing adalah
bisnis yang pernah booming di Indonesia. Sampai saat ini, member di Indonesia
mencapai lebih dari 5 juta orang. Prinsip yang digunakan oleh network marketing
adalah membantu orang lain untuk sukses guna meraih kesuksesan yang lebih lagi. 5
Di Indonesia terdapat lebih dari 100 (seratus) perusahaan yang berkecimpung
dalam industri bisnis MLM. Pertumbuhannya pada tahun 2011 yang lalu diperkirakan
mencapai 20%. Menurut Helmi Attamimi, Ketua Asosiasi Penjualan Langsung
Indonesia (APLI) menyatakan bahwa “Permohonan Surat Izin Usaha Penjualan
Langsung (izin khusus penyelenggaraan usaha MLM) di BKPM selalu ada”. 6
4
Mohd. Rozani Pawan Chek, Mind Therapy for MLM : Sukses Merangkai Gurita Bisnis
Paling Luas dan Menguntungkan, Cet. I, (Jakarta : Hikmah, 2007), hal. 4.
5
Bong Chandra, Unlimited Wealth : Habis dibaca Dalam 10 Menit, Cet. Ke-VIII, (Jakarta :
Gramedia, 2011), hal. 69.
6
Website Detik Finance, ”Bisnis MLM Asing Makin Deras Masuk RI”,
http://finance.detik.com/read/2011/04/21/181934/1623112/4/bisnis-mlm-asing-makin, diakses tanggal
10 Januari 2012.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1986, di Indonesia terdapat perusahaan pertama yang memasarkan
produknya dengan cara MLM, yaitu PT. Nusantara Sun Chlorella, yang dikenal
dengan nama CNI. Kemudian diikuti pula oleh Amway masuk ke Indonesia, dan
perusahaan-perusahaan lain seperti Sunrider, Daxen, Sophie Martin, Herbalife, dan
lain sebagainya. Sayangnya perjalanan panjang perusahaan MLM di Indonesia
menjadi terseok-seok, akibat ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab
mendirikan perusahaan yang memakai sistem money game. 7
Praktek bisnis yang dijalankan berkedok MLM ini biasanya perusahaan
menjalankan sistem money game. Perusahaan money game yang berkedok MLM
bukanlah termasuk MLM. Sebagai contoh, pada tahun 1996, perusahaan BMA
(Banyumas Mulia Abadi) adalah bisnis yang paling jelas-jelas menipu masyarakat.
Dimana seseorang belanja 1 paket kaos dan jean senilai Rp. 1,5 juta maka 21 hari
kemudian dijanjikan bonus sebesar Rp. 2,5 juta sehingga orang tertarik bukan pada
paket produknya melainkan pada janji bonusnya. Contoh selanjutnya adalah PT.
Permata Nusantara, yang didirikan pada tahun yang sama, New Era 21 pada tahun
1999, CKSS (Citra Keluarga Sejahtera Sentosa pada tahun 1999, PT. MLM (Mekar
Langsung Mandiri) pada tahun 1999, PT. Media Laksana Mandiri pada tahun 1999,
PT. Inter Jasa Perkasa pada tahun 1999, dan Higam Net (Hidup Gembira Awet Muda
Network) pada tahun 1999. Konsep yang dipakai perusahaan seperti tersebut
sebelumnya adalah produk dijual setinggi langit namun yang menjadi nilai jual
7
Frans M. Royan, Getting Rich As A Marketer, (Jakarta : Gramedia, 2008), hal. 87.
Universitas Sumatera Utara
(selling point) adalah pengembalian modal (return of investment) hingga minimal 1,5
– 2 x lipat dari modal awal bergabung. 8
Perkembangan kriminalitas yang berkaitan dengan bidang ekonomi khususnya
di bidang penyelenggaran usaha MLM yang memanfaatkan produk-produk
layanannya baik pemanfaatan teknologi maupun informasi dalam transaksi bisinisnya
telah mengalami perkembangan yang cukup mengkhawatirkan. 9 Hal ini ditandai
dengan pelaku kejahatan bukan saja orang-perseorangan yang dapat diminta
pertanggungjawaban atas kesalahan 10 berupa tindak pidana yang dilakukan,
melainkan juga telah berkembang kepada suatu kejahatan yang berdimensi ekonomi
dengan melibatkan jaringan yang terorganisir dalam melakukan modus operandi
kejahatan.
8
“Beberapa
Jenis
Kasus
Bisnis
Money
Game”,
http://bravo9682.wordpress.com/2008/08/07/beberapa-jenis-kasus-bisnis-money-game/., diakses pada
5 November 2011.
9
Lihat : Agus Raharjo, Cyber Crime Pemahaman Dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 1, yang menyatakan bahwa : ”Teknologi
informasi oleh negara-negara yang tergabung dalam kelompok G-8 dipandang sebagai hal yang amat
vital dalam pertumbuhan ekonomi dunia ke delapan, perluasan kesempatan belajar serta perolehan
informasi masyarakat di dunia. Salah satu pasal dari Deklarasi Okinawa tentang masyarakat informasi
global menyatakan kegagalan negara-negara berkembang dalam mengikuti akselerasi teknologi
informasi akan membuat mereka tidak mempunyai kesempatan berpartisipasi penuh di dalam
masyarakat informasi dan masyarakat ekonomi dunia”.
10
Sudarto, Hukum Pidana I, Badan Penyediaan Bahan-bahan Kuliah FH UNDIP, (Semarang,
1987/1988), hal. 85, yang mengatakan bahwa : ”Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang
itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi
meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan
(an objective vreach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk
penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk
pemindanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai
kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan kata lain, orang tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut”.
Bandingkan dengan : Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung : Mandar
Maju, 2000), hal. 67, yang menyatakan bahwa : ”Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya dapat
persyaratan yakni, ada suatu tindakan (commission atau ommission) oleh si pelaku, yang memenuhi
rumusan-rumusan delik dalam undang-undang, dan tindakan itu bersifat “melawan hukum” atau
unlawful serta Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan”.
Universitas Sumatera Utara
Bisnis MLM merupakan bisnis yang bergerak di sektor perdaganganbarang
dan/atau jasa yang menggunakan sistem MLM sebagai strategi bisnisnya.Adapun
sistem MLM itu sendiri adalah metode yang digunakan sebuah indukperusahaan
dalam memasarkan produknya kepada konsumen melalui suatujaringan orang-orang
bisnis yang independen. 11Perkembangan Industri bisnis MLM di Indonesia memberi
dampak positifbagi kemajuan perekonomian nasional. Masyarakat Indonesia yang
memperolehsumber penghidupan melalui industri ini sekurang-kurangnya berjumlah
4,5 jutajiwa dan masih akan bertambah lagi. Prestasi ini sayangnya sering kali
kurangmendapat apresiasi yang positif di masyarakat. Kurangnya apresiasi
tersebutdisebabkan karena maraknya praktek ilegal yang telah merugikan banyak
orangdengan
mengatasnamakan
MLM
sebagai
kedok
usahanya,
sehingga
mencorengnama baik dari industri MLM itu sendiri. 12
Praktek ilegal dengan mengatasnamakan MLM sebagai kedok usahanya dapat
dilihat dalam penanganan kasus di Polresta Medan berdasarkan Laporan Polisi No.
LP/1673/VI/2011/SU/Resta Medan dan Laporan Polisi No. LP/1268/V/201/SU/Resta
Medan, dapat dideskripsikan sebagai berikut :
“Bahwa korban merasa ditipu dan digelapkan haknya berupa reward dan
bonus dari PT Latanza, menurut korban pelaku penipuan dan penggelapan
adalah direktur utama dan direktur marketting merangkap pimpinan cabang
medan. Produk yang diperdagangkan pt latanza adalah alat kesehatan yang ber
merk “neopiko” dengan harga @ Rp.1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu
rupiah) dan bila masuk dalam jaringan multilevel diberikan “id” dan “passw”
untuk dapat mengakses ke situs perusahaan www.latanza-intl.net. Sistem
multi level marketing yang dijalankan adalah dengan menyediakan brosur
11
David Roller, Menjadi Kaya dengan Multi-Level Marketing, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1995), hal. 3.
12
Edy Zaqeus (editor), “Jalan Panjang Menuju UU Anti Piramid Telah Dimulai”, INFO
APLI Edisi XIV (Nov, 2002), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
yang berisi penawaran menarik, pada brosur tertera marketting plan
perusahaan yaitu apabila member mencari atau mendapatkan member lain
untuk menjadi anggota maka berhak mendapatkan bonus sponsor sebesar
Rp.100.000,- bonus pasangan Rp.100.000,- bonus royalti sebesar 25% dari
setiap member baru yang didapatkan, serta bonus atas reward dengan level
600 kiri dan kanan sebesar Rp.150.000.000,- Korban sudah mencapai level yg
tertera dalam brosur namun sampai pada saat ini tidak mendapatkan reward
sesuai yang dijanjikan dan korban mengetahui ada beberapa orang lainnya
yang menjadi korban dari kegiatan ini”.
Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Saksi yang dilakukan Penyidik
Polresta Medan terhadap Wakil Ketua Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia
(APLI) dikemukakan bahwa PT. TVI Express dan PT. Latanza Global
Interlink bukan merupakan anggota dari APLI, syarat untuk menjadi anggota
APLI harus memiliki Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) yang
diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atas
rekomendasi dari Deperindag. Mengetahui bahwa PT TVI Express berdiri
sejak tahun 2010 dengan modus operandi mirip dengan MLM namun bukan
merupakan MLM karena kegiatan PT. TVI Express ada unsur rekrutmen dan
kegiatan rekrutmen tersebut menghasilkan uang sedangkan kegiatan tersebut
merupakan suatu perbuatan yg dilarang sesuai dengan Permendag RI Nomor
32/M-DAG/PER/8/2008 tentang Perizinan Penjualan Langsung, Pasal 1 angka
12 yang berbunyi sebagai berikut : “Jaringan pemasaran terlarang adalah
kegiatan usaha dengan nama atau istilah apapun dimana keikutsertaan mitra
usaha berdasarkan pertimbangan adanya peluang untuk memperoleh imbalan
yang berasal atau didapatkan terutama dari hasil partisipasi orang lain yang
bergabung kemudian atau sesudah bergabungnya mitra usaha tersebut, bukan
dari hasil kegian penjualan barang atau jasa. Oleh karenanya menurut wakil
ketua APLI kegiatan PT. TVI Express dan PT. Latanza merupakan usaha
money game yang berkedok MLM”.
Adapun ciri-ciri usaha money game yakni: Pertama, menjanjikan untung
besar dalam waktu singkat. Kedua, penekanan utama pada perekrutan, bukan
pada penjualan. Ketiga, bonus dibayarkan apabila ada perekrutan. Keempat,
bila ada barang hanya sebagai kedok, kualitas barang tidak sebanding dengan
harga barang tersebut. Kelima, ada dua indikasi usaha, akan ambruk yaitu bila
menunda pembayaran bonus dan menaikkan biaya pendaftaran”.
Masyarakat yang menjadi korban akibat dari praktek-praktek ilegal
tersebutdiperkirakan sudah mencapai puluhan ribu jiwa dengan total kerugian
Universitas Sumatera Utara
mencapaipuluhan triliun rupiah. 13Para korban maupun masyarakat yang hanya
mengetahuiberita-berita terungkapnya kasus penipuan berkedok MLM melalui media
massaumumnya
tidak
mengetahui
perbedaan
antara
bisnis
MLM
dengan
bisnisberkedok MLM.
Bisnis berkedok MLM di Indonesia hingga saat ini belum secara tegasdilarang
dalam suatu Undang-Undang yang khusus, sehingga penanggulangannyatidak
berjalan dengan efektif. Penanggulangannya hanya sebatas memidanakanpara pelaku
apabila korban mengadukannya ke pihak yang berwenang, samasekali belum
menyentuh
sisi
preventifnya.
Disamping
itu,
sosialisasi
pemerintahdalam
mengedukasi masyarakat tentang seluk-beluk dan bahaya bisnis berkedokMLM juga
sangat minim. Kedua hal inilah yang terus menjadi pemicu maraknyapraktek bisnis
berkedok MLM di Indonesia. 14Maraknya bisnis berkedok MLM juga telah
berpengaruh buruk bagi citraindustri bisnis MLM murni. Ada beberapausaha MLM
yang diakui keabsahannya. Beberapa usaha MLM yang dikenal baikseperti CNI,
Amway, Oriflame, Sophie Martin, Prime & First New, Herbalife, dan lain-lain
diyakini
sebagai
bisnis
selamabertahun-tahun
yang
legal
karena
usahanya
telah
berlangsung
dan produk-produknya pun memang sangat diterima
dimasyarakat, namun demikian, nama baik yang telah dibangun dengan
bersusahpayah selama bertahun-tahun tersebut dapat saja menurun dalam waktu
13
“Beberapa
Jenis
Kasus
Money
Game”,
http://bravo9682.wordpress.com/2008/08/07/beberapa-jenis-kasus-money-game, diakses tanggal 27
Juni 2014.
14
Edy Zaqeus (editor), “Mengapa Orang ‘Mau Jadi Korban’ Money Game atau Skema
Piramid?”, INFO APLI Edisi XXXIV (Okt-Des, 2006), hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
singkatakibat ulah praktek-praktek ilegal yang mengatasnamakan MLM sebagai
kedokusahanya. 15
Maraknya
praktek
bisnis
berkedok
MLM
di
Indonesia
harus
segeraditanggulangi dengan upaya-upaya yang lebih konkrit yakni penegakan hukum
pidana yang dilakukan oleh Polri secara terintegrasi. Hal ini didasarkan pertimbangan
bahwa Modus operandi kejahatan praktek bisnis berkedok MLM mempunyai sifat
spesifik dibandingkan dengan kejahatan konvensional baik yang dilakukan oleh orang
perseorangan ataupun melibatkan pihak-pihak yang terkait sebagai organization
crime. Pencegahan tindak pidana ini dapat dilakukan dengan pendekatan sistem
termasuk sebagai sub-sistem adalah peranan Polri dalam pemberantasan kejahatan
praktek bisnis berkedok MLM dengan tujuan yakni dapat dipidananya perbuatan
pelaku (de strafbaarheid van het feit atau het verboden zijr van het feit) dengan
menggunakan perangkat hukum yang diatur KUHP, 16 artinya bahwa penggunaan
KUHP merupakan penjabaran dari asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana
15
“Akan Jenuhkah Bisnis MLM?”, http://bravo9682.wordpress.com/category/mlm/page/3/,
diakses pada 14 April 2012.
16
Mulyanto dalam Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Pustaka,
2004), hal. 87, yang menyatakan bahwa : “KUHP adalah merupakan suatu kodifikasi hukum pidana
yang tidak semua tindak pidana dimasukkan dalam kodifikasi tersebut. Tetapi hal ini tidak mungkin
karena selalu timbul perbuatan-perbuatan yang karena perkembangan masyarakat yang tadinya bukan
merupakan tindak pidana lalu menjadi tindak pidana. Sebagaimana diketahui dalam KUHP terdapat
suatu bagian yang memuat aturan umum yaitu buku kesatu, yang memuat asas-asas hukum pidana
pada umumnya dan defenisi-defenisinya yang berlaku bagi seluruh bidang hukum pidana positif, baik
yang dimuat dalam KUHP maupun yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Aturan
penutup dari buku kesatu KUHP (Pasal 103) menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I
sampai dengan Bab VIII dari buku kesatu juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuanketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang yang
bersangkutan ditentukan lain. Jadi semua tindak pidana di luar KUHP harus tunduk pada aturan-aturan
umum yang dimuat dalam buku kesatu KUHP itu, kecuali apabila secara khusus diatur oleh peraturan
perundang-undangan itu sendiri. Peraturan perundang-undangan yang memuat tindak pidana di luar
KUHP itu, berbeda dengan KUHP. Sebab pada umumnya selain mengatur tentang segi-segi hukum
pidana materiil (perumusan tindak pidana, macam-macam pidana dan lain-lain), juga mengatur secara
khusus tentang segi-segi hukum pidana formal, yaitu bagaimana cara melaksanakan hukum pidana
materiil itu, misalnya pengusutan, penuntutan, mengadili perkara dan lain-lain”.
Universitas Sumatera Utara
yakni “nullum delictum, nulla poena, sine pravia lege poenali”. Penggunaan KUHP
dalam meminta pertanggungjawaban pelaku adalah mengkonstrusikan Pasal 378
Jo.Pasal 372 Jo.Pasal 55 KUHP tentang Penipuan, Penggelapan dan Turut Serta.
Penanggulangan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM secara represif
dengan menggunakan kerangka KUHP merupakan tindakan pemberantasan dan
sekaligus penumpasan terhadap kejahatan oleh aparat penegak hukum dalam sistem
peradilan pidana (crimal justice system). Penegakan hukum penanggulangan
kejahatan melalui tindakan represif dimulai dari tindakan pihak kepolisian yang
menempatkan Polri sebagai penyidik merupakan salah satu suatu proses dari
penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana, hal tersebut telah
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) bahwa penyidikan yang dilakukan oleh pihak penyidik kepolisian adalah
merupakan : “Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut tata cara yang
telah diatur dalam undang-undang untuk itu perbuatan berupa mencari dan
mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana
yang terjadi guna menemukan tersangkanya”. Dalam rangka menjerat pelaku
kejahatan praktek bisnis berkedok MLM mengharuskan terlebih dahulu penyidik
dapat membuktikan adanya unsur kesalahan, pembuktian yang menyatakan bersalah
atau tidaknya seseorang tidak dapat dipisahkan dari perbuatan pidana yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukannya, kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum (schuld is de
veranttwoordelijkheid rechtens). 17
Kebijakan penanggulangan kejahatan tetap dilakukan secara integral yang
berarti segala usaha yang bersifat rasional dilakukan untuk menanggulangi kejahatan
harus merupakan satu kesatuan secara terpadu dengan menggunakan sanksi pidana. 18
Berkaitan dengan sistem pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan maka prinsip
utama yang berlaku adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku yang
mempunyai tiga tanda, yakni 19:
1. “Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan
(toerekeningsvatbaarheid van de daderi).
2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat
berupa kesengajaan atau kealpaan.
3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertangungjawaban bagi si
pembuat atas perbuatannya itu”.
Penegakan hukum secara represif menempatkan Polri 20 sebagai sub-sistem
dari sistem peradilan pidana dalam penanganan kejahatan praktek bisnis berkedok
MLM pada hakekatnya merupakan tujuan dari penyelenggaraan sistem peradilan
17
Azas yang termuat dalam hukum pidana materil yaitu bahwa pidana hanya diberikan
kepada orang yang bersalah (azas “culpibiltas” tidak ada pidana tanpa kesalahan). Lihat : Sheldon
Glueck, Principles of a Rational Code. Dalam buku : Stanley E. Grupp, Theories of Punishment,
Prison and the Public, 1971. P:287-288. Sebagaimana dikutip : Yesmil Anwar & Adang, Pembaruan
Hukum Pidana, (Jakarta : Grasindo, 2008), hal. 37-38.
18
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dan Pembangunan, (Bandung: Pusat
Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan Bekerjasama dengan Alumni, 2002), hal. 13 dan
74.
19
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi di Indonesia, (Bandung: Utomo, 2004), hal. 34.
20
Lihat : Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
menyangkut tentang peran Polri adalah beberapa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia,
yakni : Pertama, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, menegakkan hukum.
Ketiga, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.
Universitas Sumatera Utara
pidana seperti diamanatkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana21
adalah untuk mencari kebenaran materiil (substantial truth) dan melindungi Hak-hak
Asasi Manusia (protection of human rights). Tujuan ini merupakan tujuan besar dan
utama dari proses Sistem Peradilan Pidana. Penyelenggaraan kegiatan mencari
kebenaran materiil meskipun bermuara di dalam pemeriksaan sidang Pengadilan,
hendaknya proses kegiatan ini dimulai dari pemeriksaan di tingkat penyidikan oleh
sub sistem kepolisian, sebab sub kepolisian ini merupakan pintu gerbang yang dapat
menentukan suatu dugaan terjadinya tindak pidana itu dapat dipertanggungjawabkan
atau tidaknya bagi pelaku yang diperiksa dapat di identifikasikan.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka perlu untuk dilakukan penelitian
dengan judul : “PERAN POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA
YANG
TERKAIT
DENGAN
MULTI
LEVEL
MARKETING”.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan
(problem) yang dapat dirumuskan untuk dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana penentuan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM dalam
kegiatan penyelenggara penjualan langsung Indonesia?
21
Pasal 285 UU No. 8 Tahun 1981 selengkapnya berbunyi Undang-undang ini disebut Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Universitas Sumatera Utara
2. Bagaimana sistem pertanggungjawaban pelaku kejahatan praktek bisnis
berkedok MLM?
3. Bagaimana peran Polri dalam penyidikankejahatan praktek bisnis berkedok
MLM pada kegiatan penyelenggara penjualan langsung Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Berangkat dari rumusan permasalahan yang akan dikaji, maka yang menjadi
tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui penentuan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM dalam
kegiatan penyelenggara penjualan langsung Indonesia.
2. Untuk mengetahui sistem pertanggungjawaban pelaku kejahatan praktek
bisnis berkedok MLM.
3. Untuk mengetahui peran Polri dalam penyidikan kejahatan praktek bisnis
berkedok MLM pada kegiatan penyelenggara penjualan langsung Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini nantinya akan dapat memberikan manfaat kepada
Penyidik Polri, Akademisi, Praktisi Hukum dan Masyarakat serta dapat memperkaya
literatur di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara. Ada 2 (dua) manfaat yang
terdapat dalam penelitian ini, yaitu :
1. Secara Teoritis
Universitas Sumatera Utara
a. Sebagai bahan masukan untuk penelitian lebih lanjut terhadap peran
Polri dalam menangani tindak pidana praktek bisnis berkedok
MLM;dan
b. Memperkaya literatur di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara;
2. Secara Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum khususnya
Penyidik Polri untuk menangani dan menjerat pelaku tindak pidana
praktek bisnis berkedok MLM;
b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat ingin menginvestasikan
uangnya kepada bisnis MLM agar terhindar dari tipu muslihat
pengusaha pebisnis berkedok MLM;
c. Sebagai bahan masukan bagi Praktisi Hukum dalam menangani
perkara terkait bisnis berkedok MLM yang dapat merugikan
masyarakat.
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan hasil penelitian yang telah dilakukan,
penelitian yang berjudul “PERAN POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA YANG TERKAIT DENGAN MULTI LEVEL MARKETING” khususnya
di Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister
Ilmu Hukum, belum pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian ini merupakan
hal yang baru dan asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional,
objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan
Universitas Sumatera Utara
kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya
membangun terkait dengan topik dan permasalahan dlam penelitian ini.
Namun, ada juga beberapa penelitian yang membahas permasalahan yang
berbeda, yaitu : “ANALISIS YURIDIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI
INDONESIA DALAM MENANGGULANGI PRAKTEK BISNIS BERKEDOK
MULTI LEVEL MARKETING”, ditulis oleh Susfani Kesuma Maharani. Penelitian
ini membahas mengenai 22 :
1. Legalitas bisnis MLM di Indonesia serta kaitannya terhadap bisnis
berkedok MLM; dan
2. Penegakan hukum pidana di Indonesia dalam menanggulangi praktek
bisnis berkedok MLM.
Terhadap penelitian tersebut di atas merupakan penelitian yang dibuat dalam
bentuk skripsi, dan mengenai permasalahan yang diangkat juga berbeda dengan
penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah, apabila ada ditemukan plagiat ataupun duplikasi dari penelitian lain di
kemudian hari. Selanjutnya, penelitian ini juga dapat disebut asli sesuai dengan asasasas keilmuan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
22
Website
Resmi
Perpustakaan
USU,
“USU
Institutional
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/31737., diakses pada 5 November 2013.
Repository”,
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Pencapaian kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan pembangunan nasional
harus di dukung oleh perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan, oleh
karenanya pembangunan di bidang hukum yang berorientasi pada pembentukan
peraturan perundang-undangan sebagai sarana perwujudan proses penegakan hukum
harus ditempatkan sebagai sarana perioritas dan penunjang pembangunan nasional
tersebut, salah satu prosesnya adalah menempatkan kriminalisasi kejahatan penipuan
dengan menggunakan alat transaksi perbankan dalam menjalankan aksi kejahatan.
Kriminalisasi 23 ini harus didasarkan pada perangkat peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan tindak pidana penipuan dan penggunaan sarana
transaksi perbankan. Perkembangan kriminalitas yang berkaitan dengan bidang
ekonomi dewasa ini telah mengalami perkembangan yang cukup mengkhawatirkan,
oleh karena itu setidak-tidaknya ada dua unsur kualitas dari hukum yang harus
dipenuhi supaya sistem kriminalisasi kejahatan ekonomi berfungsi yakni: Pertama,
stabilitas (stability) dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan
23
Muladi, Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berkualitas Indonesia, (Semarang: Makalah
dalam rangka HUT FH UNDIP, tanggal 11 Januari 1988), hal. 22-23, yang menyatakan bahwa :
”Syarat kriminalisasi pada umumnya meliputi adanya korban, kriminalisasi bukan semata-mata
ditujukan untuk pembalasan, harus berdasarkan asas ratio principle; dan adanya kesepakatan social
(public support). Kriminalisasi termasuk salah satu masalah pokok dalam hukum pidana. Menganalisis
syarat kriminal tidak mungkin lepas dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dan kebijakan
sosial. Berkaitan dengan itu terdapat syarat kriminalisasi yang harus didahului oleh pertimbanganpertimbangan : Pertama, penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional. Kedua, penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan
mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan
pengayoman masyarakat. Ketiga, perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi harus
merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki karena perbuatan mendatangkan kerugian bagi
masyarakat. Keempat, penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil
(cost and benefit principle)”.
Universitas Sumatera Utara
mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kedua, meramalkan
(predictability) yang berfungsi untuk meramalkan akibat dari suatu langkah-langkah
yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagaian rakyatnya untuk pertama
kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial dan
tradisional. 24 Kriminalisasi kejahatan ini di bidang ekonomi ini lazim dikategorikan
sebagai white collar crime. 25
Peran Polri sebagai penyidik pada criminal justice systemterhadap kejahatan
praktek bisnis berkedok MLM pada hakikatnya merupakan fungsionalisasi hukum
pidana, 26 artinya fungsionalisasi memegang peranan penting dalam suatu penegakan
hukum, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa fungsionalisasi hukum pidana dapat
berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum
pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretitasi hukum pidana, yang
24
Leonard dalam Bismar Nasution, Pengkajian Ulang Hukum Sebagai Landasan
Pembangunan Ekonomi, (Medan: Pidato diucapkan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam
Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara di Hadapan Rapat Terbuka
Senat Universitas Sumatera Utara di Gelanggang Mahasiswa USU, Sabtu 17 April 2004), hal. 12,
selanjutnya dikatakan bahwa diantara kedua unsur itu penting pula diperhatikan aspek keadilan
(fairness) seperti perlakuan sama dan standar pola tingkah laku pemerintah yang diperlukan untuk
menjaga mekanisme pasar dan menjegah birokrasi yang berlebihan.
25
Suherland dalam Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering Untuk Memberantas
Kejahatan Di Bidang Kehutanan, (Medan: Disampaikan Pada Seminar, Pemberantasan Kejahatan
Hutan Melalui Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diselenggarakan
atas kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan Pusat
Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tanggal 6 Mei 2004), yang menyatakan bahwa :
Konsep white collar crime adalah suatu “crime committed by a person respectability and high school
status in the course of his occupation”.
26
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal, Makalah disampaikan pada Seminar
Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991, hal. 2, bahwa Salah satu upaya
menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum termasuk hukum pidana merupakan
bidang kebijakan penegakan hukum yang bertujuan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat.
Upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan
masyarakat (social wefare). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal
adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
hakikatnya sama dengan penegakan hukum. 27 Fungsionalisasi hukum pidana dapat
diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi
atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan
operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan
penegakan hukum. Dalam fungsionalisasi ini terdapat tiga tahapan kebijakan yaitu
tahap kebijakan formulatif sebagai suatu tahap perumusan hukum pidana oleh pihak
pembuat perundang-undangan. tahap kebijakan aplikatif sebagai tahap penerapan
hukum pidana oleh penegak hukum, tahap kebijakan administratif, yaitu merupakan
tahap pelaksanaan oleh aparat eksekusi hukum. 28
Hakekat fungsi kepolisian dalam suatu negara yang berdasar hukum seperti
Indonesia maka Polri adalah aparatur penegak hukum sesuai Pasal 2 UU No. 2 tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang berbunyi: “Fungsi
kepolisian adalah salah satu fungsi pemerinatahan negara di bidang pemeliharaan
keamanan
dan
ketertiban
masyarakat,
penegakan
hukum,
perlindungan,
penganyoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.
Hakekat dari fungsi kepolisian terlihat bahwa Polri mempunyai 3 (tiga) fungsi
utama yaitu, preemtif, preventif dan represif. Dimana yang dimaksud pre-emtif
adalah mencari dan menemukan akar permasalahan yang ada di masyarakat yang
bersifat lintas sektoral (etnis, sosial, budaya, politik), preventif adalah tindakan
pencegahan yang berorientasi kepada hasil akhir berupa kegiatan deteksi dini (early
warning) sebagai landasan pengambilan kebijakan langkah antisipasi, sedangkan
27
Barda Nawawi Arief, Teori-teori Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 157.
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 30
28
Universitas Sumatera Utara
represif adalah suatu bentuk kegiatan penegakan hukum. Dalam hal fungsi represif
penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat Polri terhadap pelaku kejahatan.
Masalah pokok daripada penegakan hukum pada umumnya dan penegakan
hukum kejahatan praktek bisnis berkedok MLM untuk mengukur profesionalisme
penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau
negatifnya
terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum dikatakan Soerjono Soekanto terdiri dari 29 :
1. “Faktor hukumnya sendiri yang dalam hal ini dibatasi pada UndangUndang saja.
2. Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan masyarakat”.
Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolok ukur daripada
efektivitas penegakan hukum yang terpadu. hubungan kerja sama tersebut di atas
akan dapat mendekatkan pendirian masing-masing instansi penegak hukum dan akan
memberikan citra positif untuk semua pihak khususnya sinkronisasi antara sub-sub
sistem yang satu terhadap sub sistem peradilan pidana lainnya, sebab keberhasilan
satu pihak dalam penyelenggaraan peradilan pidana mempunyai arti keberhasilan
semua pihak.
29
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Untuk menjawab seluruh permasalahan pada rumusan masalah di atas
digunakanlah teori pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana dalam
bahasa asing disebut sebagai “toereken-baarheid”, “criminal responsibility”,
“criminal liability”, pertanggungjawaban pidana disini untuk menentukan apakah
seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap
tindakan yang dilakukannya itu. 30
Pertanggungjawaban atau yang dikenal dengan konsep “liability” dalam segi
falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke-20, Roscoe Pound, menyatakan bahwa:
“I … Use simple word ‘liability’ for the situation whereby one may exact legally and
other is legally subjeced to the exaction”. 31 Pertanggungjawaban pidana diartikan
Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan
diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan, menurutnya juga bahwa
pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah
hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun
kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.
Dikaitkan dengan penelitian ini, maka untuk menjawab rumusan masalah
pada permasalahan tetang penentuan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM dalam
kegiatan penyelenggara penjualan langsung di Indonesia adalah bagi pelaku bisnis
berkedok MLM harus bertanggungjawab terhadap perbuatannya yang telah
merugikan orang lain. Akan tetapi, harus dibuktikan terdahulu apakah perbuatan
30
SR. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Cet-IV, (Jakarta :
Alumni Ahaem-Peteheam, 1996), hal. 245.
31
Roscoe Pound, Introduction to The Philosophy of Law, dalam Romli Atmasasmita,
Perbandingan Hukum Pidana, Op.cit., hal. 65.
Universitas Sumatera Utara
pelaku bisnis tersebut menyebabkan orang lain merugi. Kerugian dalam bentuk
apakah dalam bentuk materil atau immateril.
Dalam konsep KUHP tahun 1982 – 1983, pada Pasal 27 menyatakan bahwa :
“Pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada
tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara objektif kepada pembuat yang
memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena
perbuatannya”. 32
Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk
pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh, menyatakan bahwa :
“Orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan
merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana”. Asas yang tidak tertulis
mengatakan “Tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan”, merupakan dasar dari pada
dipidananya si pembuat/pelaku. 33
Oleh karena itu, untuk mengetahui seseorang pelaku bisnis berkedok MLM
bersalah atau tidak maka harus diuji unsur kesalahannya. Apakah terpenuhi unsur
pasal yang dipersangkakan atau tidak. Dalam kaitannya dengan praktek bisnis
berkedok MLM, maka ketentuan hukum yang dapat dipersangkakan kepada pelaku
kejahatan tersebut adalah Pasal 372 Jo. 379 KUHP yaitu Penipuan dan atau
Penggelapan.
32
Djoko Prakoso, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, (Yogjakarta :
Liberty, 1987), hal. 75.
33
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu
melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut dicela. Dengan demikian,
menurut seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu 34 :
1. “Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata
lain, harus ada unsur melawan hukum, jadi harus ada unsur objektif; dan
2. Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan
atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, jadi ada unsur subjektif”.
Perbuatan yang bertentangan dengan hukum dalam kaitannya dengan praktek
bisnis berkedok MLM adalah apakah seorang pelaku bisnis berkedok MLM tersebut
telah memenuhi unsur pasal yang persangkakan kepadanya atau tidak. Sebagai
contoh: Sebuah MLM yang memberikan janji-janji palsu kepada nasabah-nasabahnya
akan keuntungan yang menggiurkan, maka terhadap pelaku bisnis berkedok MLM
tersebut dapat dipersangkakan telah melanggar ketentuan Pasal 378 KUHP yaitu
Penipuan. Selanjutnya apabila perbuatannya sudah dapat dikualifisir merupakan
perbuatan melawan hukum, maka unsur kesalahan selanjutnya yang harus dibuktikan
adalah adanya unsur kesalahan kepada pelaku praktek bisnis berkedok MLM tersebut.
Berkaitan dengan sistem pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan maka
prinsip utama yang berlaku adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku yang
mempunyai tiga tanda, yakni 35:
1. “Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan
(toerekeningsvatbaarheid van de daderi).
34
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta :
Pradnya Paramita, 1997), hal. 31.
35
Dwidja Priyatno, Op.cit., hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu
dapat berupa kesengajaan atau kealpaan.
3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertangungjawaban bagi
si pembuat atas perbuatannya itu”.
Telah
dimaklumi
bahwa
perbuatan
pidana
memiliki
konsekuensi
pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana, maka setidaknya ada 2 (dua) alasan
mengenai hakikat kejahatan, yaitu 36 :
1. “Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang
tidak senonoh yang dilakukan manusia lainnya;
2. Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan
pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat”.
Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan diyakini mewakili
pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah
kemudian berbagai perbuatan pidana dapat dilihat sebagai perbuatan yang tidak
muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia hanya
saja perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat.
Di dalam hal kemampuan bertanggung jawab bila dilihat dari keadaan bathin
orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan
bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya
kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah
sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal,
36
Andi Matalatta, “Santunan Bagi Korban” dalam JE. Sahetapy (Ed.), Victimology Sebuah
Bunga Rampai, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987), hal. 41-42.
Universitas Sumatera Utara
sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang
dianggap baik oleh masyarakat. 37
Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka ukuranukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk diadakan
pertanggungjawaban, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 4
KUHP, yang menyatakan bahwa :
“1. Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau
karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum.
2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya
karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim
boleh memerintahkan menepatkan di rumah sakit gila selama-lamanya
satu tahun untuk diperiksa.
3. Yang ditemukannya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah
Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri”.
Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara terperinci
ditegaskan oleh Pasal 44 KUHP. Hanya ditemukan beberapa pandangan para sarjana,
misalnya Van Hammel yang mengatakan bahwa 38 :
“Orang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidak-tidaknya 3
(tiga) syarat, yaitu :
1. Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam
kejahatan;
2. Dapat menginsafi bahwa perbuatannya dipandang tidak patut dalam
pergaulan masyarakat;
3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan
tadi”.
37
I Gusti Bagus Sutrisna, “Peranan Keterangan Ahli Dalam Perkara Pidana (Tinjauan
Terhadap Pasal 44 KUHP)”, dalam Andi Hamzah (Ed.), Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Acara
Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), hal. 78.
38
I Gusti Bagus Sutrisna, dalam Andi Hamzah, Op.cit., hal. 79.
Universitas Sumatera Utara
Sementara itu, secara lebih tegas, Simmons mengatakan bahwa mampu
bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan
sesuai dengan keinsafan itu menentukan kehendaknya. 39 Adapun menurut Sutrisna,
untuk adanya kemampuan bertanggungjawab maka harus ada 2 (dua) unsur, yaitu 40 :
“1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan
buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang
baik dan buruknya perbuatan tadi”.
Dengan kata lain, bahwa kemampuan bertanggungjawab berkaitan dengan 2
(dua) faktor terpenting, yaitu :
1.
Faktor akal untuk membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan
yang dilarang atau melanggar hukum; dan
2.
Faktor perasaan atau kehendak yang menentukan kehendaknya dengan
menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran.
Menurut Jonkers, ketidakmampuan bertanggungjawab dengan alasan masih
muda usia tidak bisa didasarkan pada Pasal 44 KUHP, yang disebutkan tidak mampu
bertanggungjawab adalah alasan penghapusan pidana yang umum yang dapat
disalurkan dari alasan-alasan khusus seperti tersebut dalam Pasal 44, 48, 49, 50 dan
51. Jadi, bagi Jonkers, orang yang tidak mampu bertanggungjawab itu bukan saja
39
40
Ibid.
Loc.cit., hal. 83.
Universitas Sumatera Utara
karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau karena gangguan penyakit, tetapi juga
karena umurnya masih muda, terkena hipnotis dan sebagainya. 41
2. Kerangka Konsep
Guna menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan
dalam penelitian ini, maka berikut akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah tersebut,
sebagai berikut:
1. Multi Level Marketing (MLM) merupakan bisnis yang bergerak di sektor
perdagangan barang dan/atau jasa sebagai strategi bisnisnya. Adapun sistem
MLM itu sendiri adalah metode yang digunakan sebuah induk perusahaan
dalam memasarkan produknya kepada konsumen melalui suatu jaringan
orang-orang bisnis yang independen. 42
2. Praktek bisnis berkedok MLM dapat dilihat dari cara maupun modus
operandinya,yaitu 43:
a.
b.
c.
d.
e.
“Menjanjikan untung besar dalam waktu singkat;
Penekanan utama pada perekrutan, bukan pada penjualan;
Bonus dibayarkan apabila ada perekrutan;
Bila ada barang hanya sebagai kedok, kualitas barang tidak sebanding
dengan harga barang tersebut;.
Ada dua indikasi usaha, akan ambruk yaitu bila menunda pembayaran
bonus dan menaikkan biaya pendaftaran”.
41
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian
Dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), hal. 83.
42
David Roller, Op.cit., hal. 3.
43
Berita Acara Pemeriksaan Saksi Wakil Ketua Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia
(APLI), Verheyen Koenraad Martin I.M.J, dalam Laporan Polisi No. LP/1268/V/201/SU/Resta Medan.
Universitas Sumatera Utara
3. Penanggulangan adalah upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal
yang lebih menitiberatkan pada sifat represif (penindakan / pemberantasan /
penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-penal lebih
menitiberatkan sifat preventif (pencegahan / penangkalan / pengendalian)
sebelum kejahatan terjadi. 44 Penanggulangan terkait dengan fungsi kepolisian
terlihat bahwa Polri mempunyai 3 (tiga) fungsi utama, yaitu : preemtif,
preventif dan represif. Dimana yang dimaksud pre-emtif adalah mencari dan
menemukan akar permasalahan yang ada di masyarakat yang bersifat lintas
sektoral (etnis, sosial, budaya, politik), preventif adalah tindakan pencegahan
yang berorientasi kepada hasil akhir berupa kegiatan deteksi dini (early
warning) sebagai landasan pengambilan kebijakan langkah antisipasi,
sedangkan represif adalah suatu bentuk kegiatan penegakan hukum. Dalam
hal fungsi represif penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat Polri
terhadap pelaku kejahatan. Secara garis besar kebijakan kriminal dapat
ditempuh melalui 2 (dua) cara, yaitu 45 :
a. “Upaya Penal, merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang lebih
menitikberatkan pada upaya-upaya yang sifatnya represive
(penindasan/pemberantasan/penumpasan)
dengan
menggunakan
sarana penal (hukum penal);
b. Upaya Non-Penal, merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang
lebih menitikberatkan pada upaya-upaya yang sifatnya preventif
(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan tersebut
terjadi. Sasaran utama dari kejahatan ini adalah menangani faktorfaktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan”.
44
Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
Makalah disampaikan pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991, hal.
2.
45
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
4. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 46
5. Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang untuk melakukan penyidikan. 47
6. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan
diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut,
selanjutnya beliau menyatakan menurut wujudnya atau sifatnya, tindak pidana
itu adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dan juga merugikan
masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan
terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi
suatu tindak pidana, apabila perbuatan itu 4
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia bisnis di Indonesia saat ini berkembang dengan pesat. Bidang
usahaatau jenis bisnis mencakup bidang yang luas, baik barang maupun jasa. Salah
satuvariasi
bisnis
yang
sedang
berkembang
adalah
bisnis
Multi
Level
Marketing(selanjutnya disebut MLM). Meskipun belum mencapai puncak kejayaan
seperti di negara-negara lain, paling tidak MLM sudah berjalan di Indonesia. Artinya
adalah bahwa ada orang-orang Indonesia yang ‘welcome’ terhadap bisnis MLM.
MLM adalah sistem penjualan berkelompok melalui keanggotaan yang berbentuk tim
pemasaran secara bertingkat. Sistem MLM ini lebih mengutamakan kebersamaan
dalam mencapai tingkat omset penjualan perusahaan. Seorang anggota yang dapat
memimpin timnya dalam memasarkan produk perusahaan akan diberikan komisi atau
bonus sesuai dengan sistem yang berlaku pada masing-masing perusahaan MLM
tersebut. 1
MLM termasuk kepada penjualan langsung (direct selling) dimana penjualan
langsung adalah metode penjualan barang dan/atau jasa tertentu melalui jaringan
pemasaran yang dikembangkan oleh mitra usaha yang bekerja atas dasar komisi
1
Muhammad Fachrur Rozi, Budaya Industri Pemasaran Jaringan di Indonesia, (Yogyakarta:
Netbooks Press, 2003), hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
dan/atau bonus berdasarkan hasil penjualan kepada konsumen di luar lokasi eceran
tetap. 2 Penjualan langsung terdiri dari 2 (dua) sistem, yaitu :
1. Single Level Marketing (Pemasaran Satu Tingkat), maksudnya adalah metode
pemasaran barang dan/atau jasa dari sistem penjualan langsung melalui
program pemasaran berbentuk satu tingkat dimana, mitra usaha mendapatkan
komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang dan/atau
jasa yang dilakukannya sendiri; dan
2. Multi Level Marketing (Pemasaran Multi Tingkat), maksudnya adalah metode
pemasaran barang dan/atau jasa dari sistem penjualan langsung melalui
program pemasaran berbentuk lebih dari satu tingkat, dimana mitra usaha
mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan
barang dan/atau jasa yang dilakukannya sendiri dan anggota jaringan di dalam
kelompoknya. 3
Menurut Robert T. Kiyosaki, bisnis MLM berpotensi melahirkan orang yang
ultra kaya. Kalau menurut majalah Forbes, ultra-kaya adalah orang-orang yang
berpenghasilan lebih dari 1 juta US Dollar per bulan. Misalnya 1 USD adalah Rp.
8.500,- maka sebulan orang tersebut berpenghasilan Rp. 8,5 miliar. Dan bisnis ini
dapat melahirkan sekitar 20% dari 500 jutawan di Amerika, dari 100 (seratus)
2
Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 32/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Usaha Perdagangan Dengan Sistem Penjualan Langsung.
3
Lihat : Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.
73/MPP/Kep/3/2000 tentang Ketentuan Kegiatan Usaha Penjualan Berjenjang, yang menyatakan
bahwa : “Penjualan berjenjang adalah suatu cara atau metode penjualan secara berjenjang kepada
konsumen melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh perorangan atau badan usaha yang
memperkenalkan barang dan/atau jasa tertentu kepada sejumlah perorangan atau badan usaha lainnya
secara berturut-turut yang bekerja berdasarkan komisi atau iuran keanggotaan yang wajar”.
Universitas Sumatera Utara
perusahaan terbesar di Amerika, 37 persennya berjalan di bidang MLM. Menurut
John Naitsbitt, dalam buku Mega Trend yang diterbitkan tahun 2000, menyatakan
bahwa : “Dalam pasaran Asia tahun 1990-2000, hanya ada tiga jenis bisnis yang
berkuasa, yaitu telekomunikasi, komputer, dan produksi obat-obatan yang berasaskan
MLM. Di Malaysia, 35 persen jutawannya merupakan jutawan MLM. Diperkirakan
akan ada peningkatan besar-besaran pada abad ke-21. Hanya saja bisnis ini bisa
dijalankan sebagai bisnis sampingan dulu dengan memanfaatkan waktu luang. Inilah
keistimewaan bisnis ini. Jadi, kalau sebagai pekerja atau memiliki bisnis
konvensional, bisa saja untuk sementara waktu bisnis MLM dapat dijadikan sebagai
bisnis sampingan. 4
Network Marketing atau lebih dikenal dengan Multi Level Marketing adalah
bisnis yang pernah booming di Indonesia. Sampai saat ini, member di Indonesia
mencapai lebih dari 5 juta orang. Prinsip yang digunakan oleh network marketing
adalah membantu orang lain untuk sukses guna meraih kesuksesan yang lebih lagi. 5
Di Indonesia terdapat lebih dari 100 (seratus) perusahaan yang berkecimpung
dalam industri bisnis MLM. Pertumbuhannya pada tahun 2011 yang lalu diperkirakan
mencapai 20%. Menurut Helmi Attamimi, Ketua Asosiasi Penjualan Langsung
Indonesia (APLI) menyatakan bahwa “Permohonan Surat Izin Usaha Penjualan
Langsung (izin khusus penyelenggaraan usaha MLM) di BKPM selalu ada”. 6
4
Mohd. Rozani Pawan Chek, Mind Therapy for MLM : Sukses Merangkai Gurita Bisnis
Paling Luas dan Menguntungkan, Cet. I, (Jakarta : Hikmah, 2007), hal. 4.
5
Bong Chandra, Unlimited Wealth : Habis dibaca Dalam 10 Menit, Cet. Ke-VIII, (Jakarta :
Gramedia, 2011), hal. 69.
6
Website Detik Finance, ”Bisnis MLM Asing Makin Deras Masuk RI”,
http://finance.detik.com/read/2011/04/21/181934/1623112/4/bisnis-mlm-asing-makin, diakses tanggal
10 Januari 2012.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1986, di Indonesia terdapat perusahaan pertama yang memasarkan
produknya dengan cara MLM, yaitu PT. Nusantara Sun Chlorella, yang dikenal
dengan nama CNI. Kemudian diikuti pula oleh Amway masuk ke Indonesia, dan
perusahaan-perusahaan lain seperti Sunrider, Daxen, Sophie Martin, Herbalife, dan
lain sebagainya. Sayangnya perjalanan panjang perusahaan MLM di Indonesia
menjadi terseok-seok, akibat ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab
mendirikan perusahaan yang memakai sistem money game. 7
Praktek bisnis yang dijalankan berkedok MLM ini biasanya perusahaan
menjalankan sistem money game. Perusahaan money game yang berkedok MLM
bukanlah termasuk MLM. Sebagai contoh, pada tahun 1996, perusahaan BMA
(Banyumas Mulia Abadi) adalah bisnis yang paling jelas-jelas menipu masyarakat.
Dimana seseorang belanja 1 paket kaos dan jean senilai Rp. 1,5 juta maka 21 hari
kemudian dijanjikan bonus sebesar Rp. 2,5 juta sehingga orang tertarik bukan pada
paket produknya melainkan pada janji bonusnya. Contoh selanjutnya adalah PT.
Permata Nusantara, yang didirikan pada tahun yang sama, New Era 21 pada tahun
1999, CKSS (Citra Keluarga Sejahtera Sentosa pada tahun 1999, PT. MLM (Mekar
Langsung Mandiri) pada tahun 1999, PT. Media Laksana Mandiri pada tahun 1999,
PT. Inter Jasa Perkasa pada tahun 1999, dan Higam Net (Hidup Gembira Awet Muda
Network) pada tahun 1999. Konsep yang dipakai perusahaan seperti tersebut
sebelumnya adalah produk dijual setinggi langit namun yang menjadi nilai jual
7
Frans M. Royan, Getting Rich As A Marketer, (Jakarta : Gramedia, 2008), hal. 87.
Universitas Sumatera Utara
(selling point) adalah pengembalian modal (return of investment) hingga minimal 1,5
– 2 x lipat dari modal awal bergabung. 8
Perkembangan kriminalitas yang berkaitan dengan bidang ekonomi khususnya
di bidang penyelenggaran usaha MLM yang memanfaatkan produk-produk
layanannya baik pemanfaatan teknologi maupun informasi dalam transaksi bisinisnya
telah mengalami perkembangan yang cukup mengkhawatirkan. 9 Hal ini ditandai
dengan pelaku kejahatan bukan saja orang-perseorangan yang dapat diminta
pertanggungjawaban atas kesalahan 10 berupa tindak pidana yang dilakukan,
melainkan juga telah berkembang kepada suatu kejahatan yang berdimensi ekonomi
dengan melibatkan jaringan yang terorganisir dalam melakukan modus operandi
kejahatan.
8
“Beberapa
Jenis
Kasus
Bisnis
Money
Game”,
http://bravo9682.wordpress.com/2008/08/07/beberapa-jenis-kasus-bisnis-money-game/., diakses pada
5 November 2011.
9
Lihat : Agus Raharjo, Cyber Crime Pemahaman Dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 1, yang menyatakan bahwa : ”Teknologi
informasi oleh negara-negara yang tergabung dalam kelompok G-8 dipandang sebagai hal yang amat
vital dalam pertumbuhan ekonomi dunia ke delapan, perluasan kesempatan belajar serta perolehan
informasi masyarakat di dunia. Salah satu pasal dari Deklarasi Okinawa tentang masyarakat informasi
global menyatakan kegagalan negara-negara berkembang dalam mengikuti akselerasi teknologi
informasi akan membuat mereka tidak mempunyai kesempatan berpartisipasi penuh di dalam
masyarakat informasi dan masyarakat ekonomi dunia”.
10
Sudarto, Hukum Pidana I, Badan Penyediaan Bahan-bahan Kuliah FH UNDIP, (Semarang,
1987/1988), hal. 85, yang mengatakan bahwa : ”Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang
itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi
meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan
(an objective vreach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk
penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk
pemindanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai
kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan kata lain, orang tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut”.
Bandingkan dengan : Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung : Mandar
Maju, 2000), hal. 67, yang menyatakan bahwa : ”Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya dapat
persyaratan yakni, ada suatu tindakan (commission atau ommission) oleh si pelaku, yang memenuhi
rumusan-rumusan delik dalam undang-undang, dan tindakan itu bersifat “melawan hukum” atau
unlawful serta Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan”.
Universitas Sumatera Utara
Bisnis MLM merupakan bisnis yang bergerak di sektor perdaganganbarang
dan/atau jasa yang menggunakan sistem MLM sebagai strategi bisnisnya.Adapun
sistem MLM itu sendiri adalah metode yang digunakan sebuah indukperusahaan
dalam memasarkan produknya kepada konsumen melalui suatujaringan orang-orang
bisnis yang independen. 11Perkembangan Industri bisnis MLM di Indonesia memberi
dampak positifbagi kemajuan perekonomian nasional. Masyarakat Indonesia yang
memperolehsumber penghidupan melalui industri ini sekurang-kurangnya berjumlah
4,5 jutajiwa dan masih akan bertambah lagi. Prestasi ini sayangnya sering kali
kurangmendapat apresiasi yang positif di masyarakat. Kurangnya apresiasi
tersebutdisebabkan karena maraknya praktek ilegal yang telah merugikan banyak
orangdengan
mengatasnamakan
MLM
sebagai
kedok
usahanya,
sehingga
mencorengnama baik dari industri MLM itu sendiri. 12
Praktek ilegal dengan mengatasnamakan MLM sebagai kedok usahanya dapat
dilihat dalam penanganan kasus di Polresta Medan berdasarkan Laporan Polisi No.
LP/1673/VI/2011/SU/Resta Medan dan Laporan Polisi No. LP/1268/V/201/SU/Resta
Medan, dapat dideskripsikan sebagai berikut :
“Bahwa korban merasa ditipu dan digelapkan haknya berupa reward dan
bonus dari PT Latanza, menurut korban pelaku penipuan dan penggelapan
adalah direktur utama dan direktur marketting merangkap pimpinan cabang
medan. Produk yang diperdagangkan pt latanza adalah alat kesehatan yang ber
merk “neopiko” dengan harga @ Rp.1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu
rupiah) dan bila masuk dalam jaringan multilevel diberikan “id” dan “passw”
untuk dapat mengakses ke situs perusahaan www.latanza-intl.net. Sistem
multi level marketing yang dijalankan adalah dengan menyediakan brosur
11
David Roller, Menjadi Kaya dengan Multi-Level Marketing, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1995), hal. 3.
12
Edy Zaqeus (editor), “Jalan Panjang Menuju UU Anti Piramid Telah Dimulai”, INFO
APLI Edisi XIV (Nov, 2002), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
yang berisi penawaran menarik, pada brosur tertera marketting plan
perusahaan yaitu apabila member mencari atau mendapatkan member lain
untuk menjadi anggota maka berhak mendapatkan bonus sponsor sebesar
Rp.100.000,- bonus pasangan Rp.100.000,- bonus royalti sebesar 25% dari
setiap member baru yang didapatkan, serta bonus atas reward dengan level
600 kiri dan kanan sebesar Rp.150.000.000,- Korban sudah mencapai level yg
tertera dalam brosur namun sampai pada saat ini tidak mendapatkan reward
sesuai yang dijanjikan dan korban mengetahui ada beberapa orang lainnya
yang menjadi korban dari kegiatan ini”.
Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Saksi yang dilakukan Penyidik
Polresta Medan terhadap Wakil Ketua Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia
(APLI) dikemukakan bahwa PT. TVI Express dan PT. Latanza Global
Interlink bukan merupakan anggota dari APLI, syarat untuk menjadi anggota
APLI harus memiliki Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) yang
diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atas
rekomendasi dari Deperindag. Mengetahui bahwa PT TVI Express berdiri
sejak tahun 2010 dengan modus operandi mirip dengan MLM namun bukan
merupakan MLM karena kegiatan PT. TVI Express ada unsur rekrutmen dan
kegiatan rekrutmen tersebut menghasilkan uang sedangkan kegiatan tersebut
merupakan suatu perbuatan yg dilarang sesuai dengan Permendag RI Nomor
32/M-DAG/PER/8/2008 tentang Perizinan Penjualan Langsung, Pasal 1 angka
12 yang berbunyi sebagai berikut : “Jaringan pemasaran terlarang adalah
kegiatan usaha dengan nama atau istilah apapun dimana keikutsertaan mitra
usaha berdasarkan pertimbangan adanya peluang untuk memperoleh imbalan
yang berasal atau didapatkan terutama dari hasil partisipasi orang lain yang
bergabung kemudian atau sesudah bergabungnya mitra usaha tersebut, bukan
dari hasil kegian penjualan barang atau jasa. Oleh karenanya menurut wakil
ketua APLI kegiatan PT. TVI Express dan PT. Latanza merupakan usaha
money game yang berkedok MLM”.
Adapun ciri-ciri usaha money game yakni: Pertama, menjanjikan untung
besar dalam waktu singkat. Kedua, penekanan utama pada perekrutan, bukan
pada penjualan. Ketiga, bonus dibayarkan apabila ada perekrutan. Keempat,
bila ada barang hanya sebagai kedok, kualitas barang tidak sebanding dengan
harga barang tersebut. Kelima, ada dua indikasi usaha, akan ambruk yaitu bila
menunda pembayaran bonus dan menaikkan biaya pendaftaran”.
Masyarakat yang menjadi korban akibat dari praktek-praktek ilegal
tersebutdiperkirakan sudah mencapai puluhan ribu jiwa dengan total kerugian
Universitas Sumatera Utara
mencapaipuluhan triliun rupiah. 13Para korban maupun masyarakat yang hanya
mengetahuiberita-berita terungkapnya kasus penipuan berkedok MLM melalui media
massaumumnya
tidak
mengetahui
perbedaan
antara
bisnis
MLM
dengan
bisnisberkedok MLM.
Bisnis berkedok MLM di Indonesia hingga saat ini belum secara tegasdilarang
dalam suatu Undang-Undang yang khusus, sehingga penanggulangannyatidak
berjalan dengan efektif. Penanggulangannya hanya sebatas memidanakanpara pelaku
apabila korban mengadukannya ke pihak yang berwenang, samasekali belum
menyentuh
sisi
preventifnya.
Disamping
itu,
sosialisasi
pemerintahdalam
mengedukasi masyarakat tentang seluk-beluk dan bahaya bisnis berkedokMLM juga
sangat minim. Kedua hal inilah yang terus menjadi pemicu maraknyapraktek bisnis
berkedok MLM di Indonesia. 14Maraknya bisnis berkedok MLM juga telah
berpengaruh buruk bagi citraindustri bisnis MLM murni. Ada beberapausaha MLM
yang diakui keabsahannya. Beberapa usaha MLM yang dikenal baikseperti CNI,
Amway, Oriflame, Sophie Martin, Prime & First New, Herbalife, dan lain-lain
diyakini
sebagai
bisnis
selamabertahun-tahun
yang
legal
karena
usahanya
telah
berlangsung
dan produk-produknya pun memang sangat diterima
dimasyarakat, namun demikian, nama baik yang telah dibangun dengan
bersusahpayah selama bertahun-tahun tersebut dapat saja menurun dalam waktu
13
“Beberapa
Jenis
Kasus
Money
Game”,
http://bravo9682.wordpress.com/2008/08/07/beberapa-jenis-kasus-money-game, diakses tanggal 27
Juni 2014.
14
Edy Zaqeus (editor), “Mengapa Orang ‘Mau Jadi Korban’ Money Game atau Skema
Piramid?”, INFO APLI Edisi XXXIV (Okt-Des, 2006), hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
singkatakibat ulah praktek-praktek ilegal yang mengatasnamakan MLM sebagai
kedokusahanya. 15
Maraknya
praktek
bisnis
berkedok
MLM
di
Indonesia
harus
segeraditanggulangi dengan upaya-upaya yang lebih konkrit yakni penegakan hukum
pidana yang dilakukan oleh Polri secara terintegrasi. Hal ini didasarkan pertimbangan
bahwa Modus operandi kejahatan praktek bisnis berkedok MLM mempunyai sifat
spesifik dibandingkan dengan kejahatan konvensional baik yang dilakukan oleh orang
perseorangan ataupun melibatkan pihak-pihak yang terkait sebagai organization
crime. Pencegahan tindak pidana ini dapat dilakukan dengan pendekatan sistem
termasuk sebagai sub-sistem adalah peranan Polri dalam pemberantasan kejahatan
praktek bisnis berkedok MLM dengan tujuan yakni dapat dipidananya perbuatan
pelaku (de strafbaarheid van het feit atau het verboden zijr van het feit) dengan
menggunakan perangkat hukum yang diatur KUHP, 16 artinya bahwa penggunaan
KUHP merupakan penjabaran dari asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana
15
“Akan Jenuhkah Bisnis MLM?”, http://bravo9682.wordpress.com/category/mlm/page/3/,
diakses pada 14 April 2012.
16
Mulyanto dalam Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Pustaka,
2004), hal. 87, yang menyatakan bahwa : “KUHP adalah merupakan suatu kodifikasi hukum pidana
yang tidak semua tindak pidana dimasukkan dalam kodifikasi tersebut. Tetapi hal ini tidak mungkin
karena selalu timbul perbuatan-perbuatan yang karena perkembangan masyarakat yang tadinya bukan
merupakan tindak pidana lalu menjadi tindak pidana. Sebagaimana diketahui dalam KUHP terdapat
suatu bagian yang memuat aturan umum yaitu buku kesatu, yang memuat asas-asas hukum pidana
pada umumnya dan defenisi-defenisinya yang berlaku bagi seluruh bidang hukum pidana positif, baik
yang dimuat dalam KUHP maupun yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Aturan
penutup dari buku kesatu KUHP (Pasal 103) menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I
sampai dengan Bab VIII dari buku kesatu juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuanketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang yang
bersangkutan ditentukan lain. Jadi semua tindak pidana di luar KUHP harus tunduk pada aturan-aturan
umum yang dimuat dalam buku kesatu KUHP itu, kecuali apabila secara khusus diatur oleh peraturan
perundang-undangan itu sendiri. Peraturan perundang-undangan yang memuat tindak pidana di luar
KUHP itu, berbeda dengan KUHP. Sebab pada umumnya selain mengatur tentang segi-segi hukum
pidana materiil (perumusan tindak pidana, macam-macam pidana dan lain-lain), juga mengatur secara
khusus tentang segi-segi hukum pidana formal, yaitu bagaimana cara melaksanakan hukum pidana
materiil itu, misalnya pengusutan, penuntutan, mengadili perkara dan lain-lain”.
Universitas Sumatera Utara
yakni “nullum delictum, nulla poena, sine pravia lege poenali”. Penggunaan KUHP
dalam meminta pertanggungjawaban pelaku adalah mengkonstrusikan Pasal 378
Jo.Pasal 372 Jo.Pasal 55 KUHP tentang Penipuan, Penggelapan dan Turut Serta.
Penanggulangan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM secara represif
dengan menggunakan kerangka KUHP merupakan tindakan pemberantasan dan
sekaligus penumpasan terhadap kejahatan oleh aparat penegak hukum dalam sistem
peradilan pidana (crimal justice system). Penegakan hukum penanggulangan
kejahatan melalui tindakan represif dimulai dari tindakan pihak kepolisian yang
menempatkan Polri sebagai penyidik merupakan salah satu suatu proses dari
penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana, hal tersebut telah
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) bahwa penyidikan yang dilakukan oleh pihak penyidik kepolisian adalah
merupakan : “Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut tata cara yang
telah diatur dalam undang-undang untuk itu perbuatan berupa mencari dan
mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana
yang terjadi guna menemukan tersangkanya”. Dalam rangka menjerat pelaku
kejahatan praktek bisnis berkedok MLM mengharuskan terlebih dahulu penyidik
dapat membuktikan adanya unsur kesalahan, pembuktian yang menyatakan bersalah
atau tidaknya seseorang tidak dapat dipisahkan dari perbuatan pidana yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukannya, kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum (schuld is de
veranttwoordelijkheid rechtens). 17
Kebijakan penanggulangan kejahatan tetap dilakukan secara integral yang
berarti segala usaha yang bersifat rasional dilakukan untuk menanggulangi kejahatan
harus merupakan satu kesatuan secara terpadu dengan menggunakan sanksi pidana. 18
Berkaitan dengan sistem pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan maka prinsip
utama yang berlaku adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku yang
mempunyai tiga tanda, yakni 19:
1. “Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan
(toerekeningsvatbaarheid van de daderi).
2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat
berupa kesengajaan atau kealpaan.
3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertangungjawaban bagi si
pembuat atas perbuatannya itu”.
Penegakan hukum secara represif menempatkan Polri 20 sebagai sub-sistem
dari sistem peradilan pidana dalam penanganan kejahatan praktek bisnis berkedok
MLM pada hakekatnya merupakan tujuan dari penyelenggaraan sistem peradilan
17
Azas yang termuat dalam hukum pidana materil yaitu bahwa pidana hanya diberikan
kepada orang yang bersalah (azas “culpibiltas” tidak ada pidana tanpa kesalahan). Lihat : Sheldon
Glueck, Principles of a Rational Code. Dalam buku : Stanley E. Grupp, Theories of Punishment,
Prison and the Public, 1971. P:287-288. Sebagaimana dikutip : Yesmil Anwar & Adang, Pembaruan
Hukum Pidana, (Jakarta : Grasindo, 2008), hal. 37-38.
18
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dan Pembangunan, (Bandung: Pusat
Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan Bekerjasama dengan Alumni, 2002), hal. 13 dan
74.
19
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi di Indonesia, (Bandung: Utomo, 2004), hal. 34.
20
Lihat : Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
menyangkut tentang peran Polri adalah beberapa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia,
yakni : Pertama, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, menegakkan hukum.
Ketiga, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.
Universitas Sumatera Utara
pidana seperti diamanatkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana21
adalah untuk mencari kebenaran materiil (substantial truth) dan melindungi Hak-hak
Asasi Manusia (protection of human rights). Tujuan ini merupakan tujuan besar dan
utama dari proses Sistem Peradilan Pidana. Penyelenggaraan kegiatan mencari
kebenaran materiil meskipun bermuara di dalam pemeriksaan sidang Pengadilan,
hendaknya proses kegiatan ini dimulai dari pemeriksaan di tingkat penyidikan oleh
sub sistem kepolisian, sebab sub kepolisian ini merupakan pintu gerbang yang dapat
menentukan suatu dugaan terjadinya tindak pidana itu dapat dipertanggungjawabkan
atau tidaknya bagi pelaku yang diperiksa dapat di identifikasikan.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka perlu untuk dilakukan penelitian
dengan judul : “PERAN POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA
YANG
TERKAIT
DENGAN
MULTI
LEVEL
MARKETING”.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan
(problem) yang dapat dirumuskan untuk dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana penentuan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM dalam
kegiatan penyelenggara penjualan langsung Indonesia?
21
Pasal 285 UU No. 8 Tahun 1981 selengkapnya berbunyi Undang-undang ini disebut Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Universitas Sumatera Utara
2. Bagaimana sistem pertanggungjawaban pelaku kejahatan praktek bisnis
berkedok MLM?
3. Bagaimana peran Polri dalam penyidikankejahatan praktek bisnis berkedok
MLM pada kegiatan penyelenggara penjualan langsung Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Berangkat dari rumusan permasalahan yang akan dikaji, maka yang menjadi
tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui penentuan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM dalam
kegiatan penyelenggara penjualan langsung Indonesia.
2. Untuk mengetahui sistem pertanggungjawaban pelaku kejahatan praktek
bisnis berkedok MLM.
3. Untuk mengetahui peran Polri dalam penyidikan kejahatan praktek bisnis
berkedok MLM pada kegiatan penyelenggara penjualan langsung Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini nantinya akan dapat memberikan manfaat kepada
Penyidik Polri, Akademisi, Praktisi Hukum dan Masyarakat serta dapat memperkaya
literatur di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara. Ada 2 (dua) manfaat yang
terdapat dalam penelitian ini, yaitu :
1. Secara Teoritis
Universitas Sumatera Utara
a. Sebagai bahan masukan untuk penelitian lebih lanjut terhadap peran
Polri dalam menangani tindak pidana praktek bisnis berkedok
MLM;dan
b. Memperkaya literatur di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara;
2. Secara Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum khususnya
Penyidik Polri untuk menangani dan menjerat pelaku tindak pidana
praktek bisnis berkedok MLM;
b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat ingin menginvestasikan
uangnya kepada bisnis MLM agar terhindar dari tipu muslihat
pengusaha pebisnis berkedok MLM;
c. Sebagai bahan masukan bagi Praktisi Hukum dalam menangani
perkara terkait bisnis berkedok MLM yang dapat merugikan
masyarakat.
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan hasil penelitian yang telah dilakukan,
penelitian yang berjudul “PERAN POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA YANG TERKAIT DENGAN MULTI LEVEL MARKETING” khususnya
di Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister
Ilmu Hukum, belum pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian ini merupakan
hal yang baru dan asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional,
objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan
Universitas Sumatera Utara
kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya
membangun terkait dengan topik dan permasalahan dlam penelitian ini.
Namun, ada juga beberapa penelitian yang membahas permasalahan yang
berbeda, yaitu : “ANALISIS YURIDIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI
INDONESIA DALAM MENANGGULANGI PRAKTEK BISNIS BERKEDOK
MULTI LEVEL MARKETING”, ditulis oleh Susfani Kesuma Maharani. Penelitian
ini membahas mengenai 22 :
1. Legalitas bisnis MLM di Indonesia serta kaitannya terhadap bisnis
berkedok MLM; dan
2. Penegakan hukum pidana di Indonesia dalam menanggulangi praktek
bisnis berkedok MLM.
Terhadap penelitian tersebut di atas merupakan penelitian yang dibuat dalam
bentuk skripsi, dan mengenai permasalahan yang diangkat juga berbeda dengan
penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah, apabila ada ditemukan plagiat ataupun duplikasi dari penelitian lain di
kemudian hari. Selanjutnya, penelitian ini juga dapat disebut asli sesuai dengan asasasas keilmuan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
22
Website
Resmi
Perpustakaan
USU,
“USU
Institutional
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/31737., diakses pada 5 November 2013.
Repository”,
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Pencapaian kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan pembangunan nasional
harus di dukung oleh perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan, oleh
karenanya pembangunan di bidang hukum yang berorientasi pada pembentukan
peraturan perundang-undangan sebagai sarana perwujudan proses penegakan hukum
harus ditempatkan sebagai sarana perioritas dan penunjang pembangunan nasional
tersebut, salah satu prosesnya adalah menempatkan kriminalisasi kejahatan penipuan
dengan menggunakan alat transaksi perbankan dalam menjalankan aksi kejahatan.
Kriminalisasi 23 ini harus didasarkan pada perangkat peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan tindak pidana penipuan dan penggunaan sarana
transaksi perbankan. Perkembangan kriminalitas yang berkaitan dengan bidang
ekonomi dewasa ini telah mengalami perkembangan yang cukup mengkhawatirkan,
oleh karena itu setidak-tidaknya ada dua unsur kualitas dari hukum yang harus
dipenuhi supaya sistem kriminalisasi kejahatan ekonomi berfungsi yakni: Pertama,
stabilitas (stability) dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan
23
Muladi, Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berkualitas Indonesia, (Semarang: Makalah
dalam rangka HUT FH UNDIP, tanggal 11 Januari 1988), hal. 22-23, yang menyatakan bahwa :
”Syarat kriminalisasi pada umumnya meliputi adanya korban, kriminalisasi bukan semata-mata
ditujukan untuk pembalasan, harus berdasarkan asas ratio principle; dan adanya kesepakatan social
(public support). Kriminalisasi termasuk salah satu masalah pokok dalam hukum pidana. Menganalisis
syarat kriminal tidak mungkin lepas dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dan kebijakan
sosial. Berkaitan dengan itu terdapat syarat kriminalisasi yang harus didahului oleh pertimbanganpertimbangan : Pertama, penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional. Kedua, penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan
mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan
pengayoman masyarakat. Ketiga, perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi harus
merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki karena perbuatan mendatangkan kerugian bagi
masyarakat. Keempat, penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil
(cost and benefit principle)”.
Universitas Sumatera Utara
mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kedua, meramalkan
(predictability) yang berfungsi untuk meramalkan akibat dari suatu langkah-langkah
yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagaian rakyatnya untuk pertama
kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial dan
tradisional. 24 Kriminalisasi kejahatan ini di bidang ekonomi ini lazim dikategorikan
sebagai white collar crime. 25
Peran Polri sebagai penyidik pada criminal justice systemterhadap kejahatan
praktek bisnis berkedok MLM pada hakikatnya merupakan fungsionalisasi hukum
pidana, 26 artinya fungsionalisasi memegang peranan penting dalam suatu penegakan
hukum, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa fungsionalisasi hukum pidana dapat
berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum
pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretitasi hukum pidana, yang
24
Leonard dalam Bismar Nasution, Pengkajian Ulang Hukum Sebagai Landasan
Pembangunan Ekonomi, (Medan: Pidato diucapkan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam
Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara di Hadapan Rapat Terbuka
Senat Universitas Sumatera Utara di Gelanggang Mahasiswa USU, Sabtu 17 April 2004), hal. 12,
selanjutnya dikatakan bahwa diantara kedua unsur itu penting pula diperhatikan aspek keadilan
(fairness) seperti perlakuan sama dan standar pola tingkah laku pemerintah yang diperlukan untuk
menjaga mekanisme pasar dan menjegah birokrasi yang berlebihan.
25
Suherland dalam Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering Untuk Memberantas
Kejahatan Di Bidang Kehutanan, (Medan: Disampaikan Pada Seminar, Pemberantasan Kejahatan
Hutan Melalui Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diselenggarakan
atas kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan Pusat
Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tanggal 6 Mei 2004), yang menyatakan bahwa :
Konsep white collar crime adalah suatu “crime committed by a person respectability and high school
status in the course of his occupation”.
26
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal, Makalah disampaikan pada Seminar
Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991, hal. 2, bahwa Salah satu upaya
menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum termasuk hukum pidana merupakan
bidang kebijakan penegakan hukum yang bertujuan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat.
Upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan
masyarakat (social wefare). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal
adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
hakikatnya sama dengan penegakan hukum. 27 Fungsionalisasi hukum pidana dapat
diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi
atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan
operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan
penegakan hukum. Dalam fungsionalisasi ini terdapat tiga tahapan kebijakan yaitu
tahap kebijakan formulatif sebagai suatu tahap perumusan hukum pidana oleh pihak
pembuat perundang-undangan. tahap kebijakan aplikatif sebagai tahap penerapan
hukum pidana oleh penegak hukum, tahap kebijakan administratif, yaitu merupakan
tahap pelaksanaan oleh aparat eksekusi hukum. 28
Hakekat fungsi kepolisian dalam suatu negara yang berdasar hukum seperti
Indonesia maka Polri adalah aparatur penegak hukum sesuai Pasal 2 UU No. 2 tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang berbunyi: “Fungsi
kepolisian adalah salah satu fungsi pemerinatahan negara di bidang pemeliharaan
keamanan
dan
ketertiban
masyarakat,
penegakan
hukum,
perlindungan,
penganyoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.
Hakekat dari fungsi kepolisian terlihat bahwa Polri mempunyai 3 (tiga) fungsi
utama yaitu, preemtif, preventif dan represif. Dimana yang dimaksud pre-emtif
adalah mencari dan menemukan akar permasalahan yang ada di masyarakat yang
bersifat lintas sektoral (etnis, sosial, budaya, politik), preventif adalah tindakan
pencegahan yang berorientasi kepada hasil akhir berupa kegiatan deteksi dini (early
warning) sebagai landasan pengambilan kebijakan langkah antisipasi, sedangkan
27
Barda Nawawi Arief, Teori-teori Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 157.
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 30
28
Universitas Sumatera Utara
represif adalah suatu bentuk kegiatan penegakan hukum. Dalam hal fungsi represif
penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat Polri terhadap pelaku kejahatan.
Masalah pokok daripada penegakan hukum pada umumnya dan penegakan
hukum kejahatan praktek bisnis berkedok MLM untuk mengukur profesionalisme
penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau
negatifnya
terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum dikatakan Soerjono Soekanto terdiri dari 29 :
1. “Faktor hukumnya sendiri yang dalam hal ini dibatasi pada UndangUndang saja.
2. Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan masyarakat”.
Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolok ukur daripada
efektivitas penegakan hukum yang terpadu. hubungan kerja sama tersebut di atas
akan dapat mendekatkan pendirian masing-masing instansi penegak hukum dan akan
memberikan citra positif untuk semua pihak khususnya sinkronisasi antara sub-sub
sistem yang satu terhadap sub sistem peradilan pidana lainnya, sebab keberhasilan
satu pihak dalam penyelenggaraan peradilan pidana mempunyai arti keberhasilan
semua pihak.
29
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Untuk menjawab seluruh permasalahan pada rumusan masalah di atas
digunakanlah teori pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana dalam
bahasa asing disebut sebagai “toereken-baarheid”, “criminal responsibility”,
“criminal liability”, pertanggungjawaban pidana disini untuk menentukan apakah
seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap
tindakan yang dilakukannya itu. 30
Pertanggungjawaban atau yang dikenal dengan konsep “liability” dalam segi
falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke-20, Roscoe Pound, menyatakan bahwa:
“I … Use simple word ‘liability’ for the situation whereby one may exact legally and
other is legally subjeced to the exaction”. 31 Pertanggungjawaban pidana diartikan
Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan
diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan, menurutnya juga bahwa
pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah
hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun
kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.
Dikaitkan dengan penelitian ini, maka untuk menjawab rumusan masalah
pada permasalahan tetang penentuan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM dalam
kegiatan penyelenggara penjualan langsung di Indonesia adalah bagi pelaku bisnis
berkedok MLM harus bertanggungjawab terhadap perbuatannya yang telah
merugikan orang lain. Akan tetapi, harus dibuktikan terdahulu apakah perbuatan
30
SR. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Cet-IV, (Jakarta :
Alumni Ahaem-Peteheam, 1996), hal. 245.
31
Roscoe Pound, Introduction to The Philosophy of Law, dalam Romli Atmasasmita,
Perbandingan Hukum Pidana, Op.cit., hal. 65.
Universitas Sumatera Utara
pelaku bisnis tersebut menyebabkan orang lain merugi. Kerugian dalam bentuk
apakah dalam bentuk materil atau immateril.
Dalam konsep KUHP tahun 1982 – 1983, pada Pasal 27 menyatakan bahwa :
“Pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada
tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara objektif kepada pembuat yang
memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena
perbuatannya”. 32
Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk
pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh, menyatakan bahwa :
“Orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan
merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana”. Asas yang tidak tertulis
mengatakan “Tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan”, merupakan dasar dari pada
dipidananya si pembuat/pelaku. 33
Oleh karena itu, untuk mengetahui seseorang pelaku bisnis berkedok MLM
bersalah atau tidak maka harus diuji unsur kesalahannya. Apakah terpenuhi unsur
pasal yang dipersangkakan atau tidak. Dalam kaitannya dengan praktek bisnis
berkedok MLM, maka ketentuan hukum yang dapat dipersangkakan kepada pelaku
kejahatan tersebut adalah Pasal 372 Jo. 379 KUHP yaitu Penipuan dan atau
Penggelapan.
32
Djoko Prakoso, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, (Yogjakarta :
Liberty, 1987), hal. 75.
33
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu
melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut dicela. Dengan demikian,
menurut seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu 34 :
1. “Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata
lain, harus ada unsur melawan hukum, jadi harus ada unsur objektif; dan
2. Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan
atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, jadi ada unsur subjektif”.
Perbuatan yang bertentangan dengan hukum dalam kaitannya dengan praktek
bisnis berkedok MLM adalah apakah seorang pelaku bisnis berkedok MLM tersebut
telah memenuhi unsur pasal yang persangkakan kepadanya atau tidak. Sebagai
contoh: Sebuah MLM yang memberikan janji-janji palsu kepada nasabah-nasabahnya
akan keuntungan yang menggiurkan, maka terhadap pelaku bisnis berkedok MLM
tersebut dapat dipersangkakan telah melanggar ketentuan Pasal 378 KUHP yaitu
Penipuan. Selanjutnya apabila perbuatannya sudah dapat dikualifisir merupakan
perbuatan melawan hukum, maka unsur kesalahan selanjutnya yang harus dibuktikan
adalah adanya unsur kesalahan kepada pelaku praktek bisnis berkedok MLM tersebut.
Berkaitan dengan sistem pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan maka
prinsip utama yang berlaku adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku yang
mempunyai tiga tanda, yakni 35:
1. “Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan
(toerekeningsvatbaarheid van de daderi).
34
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta :
Pradnya Paramita, 1997), hal. 31.
35
Dwidja Priyatno, Op.cit., hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu
dapat berupa kesengajaan atau kealpaan.
3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertangungjawaban bagi
si pembuat atas perbuatannya itu”.
Telah
dimaklumi
bahwa
perbuatan
pidana
memiliki
konsekuensi
pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana, maka setidaknya ada 2 (dua) alasan
mengenai hakikat kejahatan, yaitu 36 :
1. “Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang
tidak senonoh yang dilakukan manusia lainnya;
2. Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan
pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat”.
Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan diyakini mewakili
pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah
kemudian berbagai perbuatan pidana dapat dilihat sebagai perbuatan yang tidak
muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia hanya
saja perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat.
Di dalam hal kemampuan bertanggung jawab bila dilihat dari keadaan bathin
orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan
bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya
kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah
sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal,
36
Andi Matalatta, “Santunan Bagi Korban” dalam JE. Sahetapy (Ed.), Victimology Sebuah
Bunga Rampai, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987), hal. 41-42.
Universitas Sumatera Utara
sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang
dianggap baik oleh masyarakat. 37
Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka ukuranukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk diadakan
pertanggungjawaban, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 4
KUHP, yang menyatakan bahwa :
“1. Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau
karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum.
2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya
karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim
boleh memerintahkan menepatkan di rumah sakit gila selama-lamanya
satu tahun untuk diperiksa.
3. Yang ditemukannya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah
Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri”.
Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara terperinci
ditegaskan oleh Pasal 44 KUHP. Hanya ditemukan beberapa pandangan para sarjana,
misalnya Van Hammel yang mengatakan bahwa 38 :
“Orang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidak-tidaknya 3
(tiga) syarat, yaitu :
1. Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam
kejahatan;
2. Dapat menginsafi bahwa perbuatannya dipandang tidak patut dalam
pergaulan masyarakat;
3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan
tadi”.
37
I Gusti Bagus Sutrisna, “Peranan Keterangan Ahli Dalam Perkara Pidana (Tinjauan
Terhadap Pasal 44 KUHP)”, dalam Andi Hamzah (Ed.), Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Acara
Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), hal. 78.
38
I Gusti Bagus Sutrisna, dalam Andi Hamzah, Op.cit., hal. 79.
Universitas Sumatera Utara
Sementara itu, secara lebih tegas, Simmons mengatakan bahwa mampu
bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan
sesuai dengan keinsafan itu menentukan kehendaknya. 39 Adapun menurut Sutrisna,
untuk adanya kemampuan bertanggungjawab maka harus ada 2 (dua) unsur, yaitu 40 :
“1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan
buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang
baik dan buruknya perbuatan tadi”.
Dengan kata lain, bahwa kemampuan bertanggungjawab berkaitan dengan 2
(dua) faktor terpenting, yaitu :
1.
Faktor akal untuk membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan
yang dilarang atau melanggar hukum; dan
2.
Faktor perasaan atau kehendak yang menentukan kehendaknya dengan
menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran.
Menurut Jonkers, ketidakmampuan bertanggungjawab dengan alasan masih
muda usia tidak bisa didasarkan pada Pasal 44 KUHP, yang disebutkan tidak mampu
bertanggungjawab adalah alasan penghapusan pidana yang umum yang dapat
disalurkan dari alasan-alasan khusus seperti tersebut dalam Pasal 44, 48, 49, 50 dan
51. Jadi, bagi Jonkers, orang yang tidak mampu bertanggungjawab itu bukan saja
39
40
Ibid.
Loc.cit., hal. 83.
Universitas Sumatera Utara
karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau karena gangguan penyakit, tetapi juga
karena umurnya masih muda, terkena hipnotis dan sebagainya. 41
2. Kerangka Konsep
Guna menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan
dalam penelitian ini, maka berikut akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah tersebut,
sebagai berikut:
1. Multi Level Marketing (MLM) merupakan bisnis yang bergerak di sektor
perdagangan barang dan/atau jasa sebagai strategi bisnisnya. Adapun sistem
MLM itu sendiri adalah metode yang digunakan sebuah induk perusahaan
dalam memasarkan produknya kepada konsumen melalui suatu jaringan
orang-orang bisnis yang independen. 42
2. Praktek bisnis berkedok MLM dapat dilihat dari cara maupun modus
operandinya,yaitu 43:
a.
b.
c.
d.
e.
“Menjanjikan untung besar dalam waktu singkat;
Penekanan utama pada perekrutan, bukan pada penjualan;
Bonus dibayarkan apabila ada perekrutan;
Bila ada barang hanya sebagai kedok, kualitas barang tidak sebanding
dengan harga barang tersebut;.
Ada dua indikasi usaha, akan ambruk yaitu bila menunda pembayaran
bonus dan menaikkan biaya pendaftaran”.
41
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian
Dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), hal. 83.
42
David Roller, Op.cit., hal. 3.
43
Berita Acara Pemeriksaan Saksi Wakil Ketua Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia
(APLI), Verheyen Koenraad Martin I.M.J, dalam Laporan Polisi No. LP/1268/V/201/SU/Resta Medan.
Universitas Sumatera Utara
3. Penanggulangan adalah upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal
yang lebih menitiberatkan pada sifat represif (penindakan / pemberantasan /
penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-penal lebih
menitiberatkan sifat preventif (pencegahan / penangkalan / pengendalian)
sebelum kejahatan terjadi. 44 Penanggulangan terkait dengan fungsi kepolisian
terlihat bahwa Polri mempunyai 3 (tiga) fungsi utama, yaitu : preemtif,
preventif dan represif. Dimana yang dimaksud pre-emtif adalah mencari dan
menemukan akar permasalahan yang ada di masyarakat yang bersifat lintas
sektoral (etnis, sosial, budaya, politik), preventif adalah tindakan pencegahan
yang berorientasi kepada hasil akhir berupa kegiatan deteksi dini (early
warning) sebagai landasan pengambilan kebijakan langkah antisipasi,
sedangkan represif adalah suatu bentuk kegiatan penegakan hukum. Dalam
hal fungsi represif penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat Polri
terhadap pelaku kejahatan. Secara garis besar kebijakan kriminal dapat
ditempuh melalui 2 (dua) cara, yaitu 45 :
a. “Upaya Penal, merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang lebih
menitikberatkan pada upaya-upaya yang sifatnya represive
(penindasan/pemberantasan/penumpasan)
dengan
menggunakan
sarana penal (hukum penal);
b. Upaya Non-Penal, merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang
lebih menitikberatkan pada upaya-upaya yang sifatnya preventif
(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan tersebut
terjadi. Sasaran utama dari kejahatan ini adalah menangani faktorfaktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan”.
44
Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
Makalah disampaikan pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991, hal.
2.
45
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
4. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 46
5. Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang untuk melakukan penyidikan. 47
6. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan
diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut,
selanjutnya beliau menyatakan menurut wujudnya atau sifatnya, tindak pidana
itu adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dan juga merugikan
masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan
terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi
suatu tindak pidana, apabila perbuatan itu 4