Peran Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana yang Terkait Dengan Multi Level Marketing Chapter III V
BAB III
SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU KEJAHATAN PRAKTEK
BISNIS BERKEDOK MLM
Pertanggungjawaban pidana, berdasarkan Pasal 59 KUHP, menyatakan
bahwa: “Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap
pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka
pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur
melakukan pelanggaran tidak dipidana”.
Seperti diketahui subjek hukum ada 2 (Dua), yaitu : manusia atau
perseorangan (natuurlijke personen) dan badan hukum (rechtpersonen). Sebagaimana
layaknya subjek hukum, badan hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan
hukum seperti halnya orang, akan tetapi perbuatan hukum itu hanya terbatas pada
bidang hukum harta kekayaan. Mengingat wujudnya adalah badan atau lembaga,
maka dalam mekanisme pelaksanaannya badan hukum bertindak dengan perantara
pengurus-pengurusnya. 111
Terkait dengan praktek bisnis berkedok MLM, terdapat 2 (Dua) subjek hukum
juga sebagia pelaku kejahatan tersebut, yaitu : perseorangan dan badan hukum. Beban
tugas mengurus (zorgplicht) suatu “kesatuan orang” atau korporasi harus berada pada
pengurusnya. Korporasi bukan subjek tindak pidana. Dengan begitu, maka apabila
pengurus tidak memenuhi kewajiban yang merupakan beban “kesatuan orang” atau
korporasi itu, maka mereka yang bertanggungjawab menurut hukum pidana. Di
111
Hukum
Online,
“Metamorfosis
Badan
Hukum
Indonesia”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17818/metamorfosis-badan-hukum-indonesia., diakses
tanggal 03 Mei 2014.
Universitas Sumatera Utara
dalam praktek, ajaran pertama ini masih menimbulkan permasalahan. Pertanyaan
yang timbul adalah, bagaimana kalau ketentuan pidana yang bersangkutan memang
telah memberikan kewajiban kepada seseorang pemilik perusahaan atau pengusaha,
sedangkan pemilik atau pengusahanya adalah suatu korporasi, akan tetapi ketentuan
pidana
tersebut
tidak
menyatakan
bahwa
penguruslah
yang
harus
bertanggungjawab. 112
Timbul pertanyaan berikutnya yaitu siapakah yang dianggap sebagai
pelakutindak pidana itu, untuk mengatasi hal tersebut muncullah ajaran kedua yang
menyatakan bahwa “korporasi dapat diakuis sebagai pelaku (dader), tetapi
pertanggungjawaban
pidananya
(penuntutan
dan
pemidanaan)
berada
pada
pengurus”. Oleh karena itu, Pasal 59 KUHP harus ditafsirkan menurut ajaran kedua
tersebut, yaitu bahwa korporasi dapat melakukan tindak pidana, hanya saja
pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada pengurus. Yang dapat dihapus
pidananya hanyalah pengurus yang dapat membuktikan dirinya tidak terlibat,
sedangkan pengurus lain dapat dipidana. Namun belum tentu pengurus ini adalah
pelaku menurut hukum pidana. Apabila ketentuan pidana yang bersangkutan
memberikan kewajiban kepada pengusaha yang berupa korporasi, maka korporasi
inilah yang menurut hukum pidana harus dianggap sebagai pelaku. 113
112
Mardjono Reksodiputro, “Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya :
Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia”, Makalah disampaikan di Auditorium PTIK pada
Upacara Dies Natalis PTIK Ke-47 dan Wisuda Sarjana Ilmu Kepolisian Angkatan XXIX Soekamo
Djojonegoro, pada tanggal 17 Juni 1993, hal. 4.
113
Menurut Remelink (hal. 100), “Perubahan dengan maksud untuk memungkinkan
Korporasi dipandang sebagai pelaku dimulai pada hukum pidana fiskal, karena adanya “kewajiban
yang dibebankan oleh hukum fiskal kepada pemilik, penyewa atau yang menyewakan … yang sering
kali berbentuk korporasi”. Uraian perubahan ini juga dijabarkan dalam Schaffmeister, Keijzer,
Universitas Sumatera Utara
A.
Sistem Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Kejahatan
Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini
menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Sistem
pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang akan datang
menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah satu asas
fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai pasangan asas legalitas.
Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang kaku dan bersifat absolut. Oleh
karena itu, memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas
strict
liability, 114vicarious
liability, 115erfolgshaftung, 116
kesesatan
atau
Sutorius, Hukum Pidana, Editor Penerjemah JE. Sahetapy, Konsorsium Ilmu Hukum, (Yogyakarta :
Liberty, 1995), hal. 272-283 dan 423-434, dalam Ibid.
114
Konsep strict liability atau tanggung jawab mutlak ini berbeda dengan sistem tanggung
jawab pidana umum yang mengharuskan adanya kesengajaan atau kealpaan. Dalam sistem tanggung
jawab pidana mutlak hanya dibutuhkan pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa. Artinya, dalam
melakukan perbuatan tersebut, apabila si terdakwa mengetahui atau menyadari tentang potensi
kerugian bagi pihak lain, maka kedaan ini cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana. Jadi,
tidak diperlukan adanya unsur sengaja atau alpa dari terdakwa, namun semata-mata perbuatan yang
telah mengakibatkan pencemaran. Sumber : Frances Russell dan Christine Locke, English Law and
Language, (Prentice Hall, 1995).
115
Vicarious Liability atau pertanggungjawaban pidana pengganti adalah pertanggungjawaban
menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (the legal responsibility
of one person for the wrongful acts of another). Secara singkat vicarious liability sering diartikan
sebagai “perttanggungjawaban pengganti”. Pertanggungjwaban pengganti itu dirumuskan dalam Pasal
35 ayat (3) Konsep yang berbunyi : “Dalam hal tertentu, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan
atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu undang-undang”.
Sumber : Roeslan Saleh, Suatu Reorienasi Dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), hal.
32, dalam Johny Krisnan, “Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Pembaharuan
Hukum Pidana Nasional”, Program Magister Ilmu Hukum, (Semarang : Tesis, Universitas
Diponegoro, 2008), hal. 79.
116
Pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan terutama dibatasi pada perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja (dolus). Dapat dipidananya delik culpa hanya bersifat perkecualian apabila
ditentukan secara tegas oleh undangundang. Sedangkan pertanggungjawaban terhadap akibat-akibat
tertentu dari suatu tindak pidana yang oleh undang-undang diperberat ancaman pidananya, hanya
dikenakan kepada terdakwa apabila ia sepatutnya sudah dapat menduga kemungkinan terjadinya akibat
itu atau apabila sekurangkurangnya ada kealpaan. Jadi Konsep tidak menganut asas Erfolgshaftung
atau asas menanggung akibat secara murni, tetapi tetap berorientasi pada asas kesalahan. Untuk lebih
jelasnya akan dikutipkan pasal 36 berikut ini: 1) Seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan jika
orang tersebut melakukan tindak pidana dengan sengaja atau karena kealpaan; 2) Perbuatan yang dapat
dipidana adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, kecuali peraturan perundang-undangan
menentukan secara tegas bahwa suatu tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan dapat dipidana;
Universitas Sumatera Utara
error, 117rechterlijk pardon, 118culpa in causa 119 dan pertanggungjawaban pidana
yang berhubungan dengan masalah subjek tindak pidana. Maka dari itu ada pula
ketentuan tentang subjek berupa korporasi. Semua asas itu belum diatur dalam
KUHP (Wetboek van Strafrecht).
Lain halnya dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan,
khususnya pada Pasal 9, menyatakan bahwa : “Pelaku Usaha Distribusi dilarang
menerapkan sistem skema piramida dalam mendistribusikan Barang”. Definisi hukum
“Pelaku Usaha”, berdasarkan Pasal 1 angka 14, menyatakan bahwa Pelaku Usaha
adalah : “Setiap orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang
berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan
kegiatan usaha di bidang Perdagangan”.
3) Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap akibat tertentu dari suatu tindak pidana
yang oleh undang-undang diperberat ancaman pidananya, jika sepatutnya sudah dapat menduga
kemungkinan terjadinya akibat tersebut atau sekurang-kurangnya ada kealpaan. Sumber : Johny
Krisnan, Ibid., hal. 79.
117
Dalam hal ada kesesatan atau error, baik error facti maupun error iurisi, konsep
berpendirian bahwa pada prinsipnya si pelaku tidak dapat dipertanggungjawabkan dan oleh karena itu
tidak dipidana. Namun demikian, apabila kesesatannya itu patut dicelakan/dipersalahkan kepadanya,
maka si pelaku tetap dapat dipidana. Ketentuan konsep yang demikian ini dirumuskan dalam Pasal 40
ayat (1) dan hal ini berlainan dengan doktrin tradisional yang menyatakan bahwa error facti non noced
(kesesatan mengenai peristiwanya tidak mendatangkan pemidanaan) dan error iuris nocet (kesesatan
mengenai hukumnya tidak menghapuskan pemidanaan). Sumber : Ibid., hal. 79.
118
Pada prinsipnya seseorang sudah dapat dipidana apabila telah terbukti melakukan tindak
pidana dan bersalah namun dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu konsep memberi kewenangan
kepada hakim untuk memberi maaf atau pengampunan kepada si pelaku tanpa menjatuhkan pidana
atau tindakan apapun. Ketentuan mengenai Rechterlijk Pardon ini dirumuskan dalam Pasal 52 ayat (2)
Konsep yaitu sebagai bagian dari “pedoman pemidanaan”. Sumber : Ibid., hal. 80.
119
Kewenangan hakim untuk memberi maaf (rechterlijk pardon) dengan tidak menjatuhkan
sanksi pidana atau tindakan apapun, diimbangi pula dengan adanya asas culpa in causa atau asas actio
libera in causa, yang member kewenangan kepada hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan si
pelaku tindak pidana walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dipersalahkan atau
dicela atas terjadinya keadaan yang menjadi alasn penghapus pidana tersebut. Jadi di sini kewenangan
hakim untuk memaafkan atau tidak memidana diimbangi dengan kewenangan untuk tetapmemidana
sekalipun ada alasan penghapus pidana. Sumber : Ibid., hal. 80-81.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena Pasal 1 angka 14 menyatakan bahwa Pelaku Usaha itu adalah
perseorangan atau badan hukum, maka berdasarkan Pasal 105 Undang-Undang No. 7
Tahun 2014, menyatakan bahwa : “Pelaku Usaha Distribusi yang menerapkan sistem
skema piramida dalam mendistribusikan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (Sepuluh Miliar Rupiah”, subjek hukum yang
dapat dihukum adalah perseorangan dan badan hukum.
Korporasi (badan hukum) dapat menjadi pelaku tindak pidana dan sekaligus
bertanggungjawab atas tindakan tersebut. 120 Dengan demikian, pelaku kejahatan yang
memakai kedok perusahaan berbadan hukum ataupun bukan badan hukum dapat
dijatuhkan pidana kepadanya. 121 Hal ini berkaitan dengan azas siapa yang berbuat
dialah yang bertanggungjawab, yang dapat dilihat pada 122 :
-
Pasal 2 KUHP, menyatakan bahwa :
120
Mardjono Reksodiputro, Ibid., hal. 5. Menyatakan bahwa : “Di Belanda, perkeculian
korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana diterapkan dalam tahun 1950 melalui Undang-Undang
Delik Ekonomi (Wet op de Economische Delicten), yang kemudian diambilalih dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia pada tahun 1955 (Undang-Undang No. 7 Drt/1955 tentang Tindak
Pidana Ekonomi). Sejak 13 Mei 1955 ini, maka khusus untuk tindak pidana ekonomi, telah dijadikan
subjek hukum pidana yang dapat dituntut dan dipidana, yaitu : badan hukum, perseorangan,
perserikatan yang lainnya atau yayasan (Pasal 15. Dalam tahun 1976 Belanda melangkah lebih jauh
lagi dan merubah sama sekali Pasal 51 mereka, sehingga pasal yang baru menyatakan dengan tegas
bahwa dalam hukum pidana umum (KUHP) Belanda tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia
(natuurlijke personen) dan badan hukum (rechtpersonen)”.
121
Terkait
dengan
pertanggungjawaban
pidana,
menurut
Roscoe
Pound,
“Pertanggungjawaban pidana adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan
diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan, menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban
yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula
masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat”. Lihat : Roscoe Pound,
Pengantar Filsafat Hukum, (Jakarta : Bhatara, 1975), hal. 76.
122
Ada ketentuan-ketentuan dalam KUHP yang dapat disimpulkan memiliki arti “siapa yang
berbuat dia yang bertanggungjawab”. Beberapa ketentuan tersebut dapat dilihat pada Pasal 2 sampai
Pasal 5 KUHP. Sumber : Hukum Online, “Ilman Hadi : Prinsip Tanggung Jawab Pidana”,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fee9b5e8c4d6/prinsip-tanggung-jawab-pidana., diakses
tanggal 03 Mei 2014.
Universitas Sumatera Utara
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi
setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia”.
-
Pasal 3 KUHP, menyatakan bahwa :
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam
kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.
-
Pasal 4 KUHP, menyatakan bahwa :
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi
setiap orang yang melakukan di luar Indonesia :
1. Salah satu kejahatan berdasarkan Pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan 131;
2. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan
oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan
merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia;
3. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia,
atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula
pemalsuan calon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat
atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat
tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah asli dan tidak palsu;
4. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai
dengan 446 tentang pembajakan laut dan Pasal 447 tentang penyerahan
kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan Pasal 479 huruf j. tentang
penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, Pasal 479 huruf l, m, n
dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil”.
-
Pasal 5 KUHP, menyatakan bahwa :
1. Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi
warga negara yang di luar Indonesia melakukan :
1) Salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan
Pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451;
2) Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan,
sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan
dilakukan diancam dengan pidana.
Universitas Sumatera Utara
2. Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan
juga jika tertuduh menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa hukuman pidana diterapkan bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana
di wilayah Indonesia atau setiap orang di luar Indonesia yang merugikan kepentingan
Indonesia sebagaimana disebut di atas. Dengan demikian, orang yang melakukan
perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya
pertanggungjawaban pidana. 123
Oleh karena itu, untuk mengetahui seseorang pelaku bisnis berkedok MLM
bersalah atau tidak maka harus diuji unsur kesalahannya. Apakah terpenuhi unsur
pasal yang dipersangkakan atau tidak. Dalam kaitannya dengan praktek bisnis
berkedok MLM, maka ketentuan hukum yang dapat dipersangkakan kepada pelaku
kejahatan tersebut adalah Pasal 372 Jo. 378 KUHP yaitu Penipuan dan atau
Penggelapan ataupun Pasal 105 Jo. Pasal 9 Undang-Undang No. 7 Tahun 2014
tentang Perdagangan.
Dengan demikian, menurut Roeslan Saleh, seorang pelaku kejahatan jika akan
dipidana harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu ternyata melawan hukum
dan pelaku tersebut mampu bertanggungjawab. Untuk adanya kesalahan yang
mengakibatkan pidananya seorang pelaku kejahatan (dipertanggungjawabkan), maka
pelaku harus 124 :
1. “Melakukan perbuatan pidana;
123
Djoko Prakoso, Op.cit., hal. 75.
Ibid.
124
Universitas Sumatera Utara
2. Mampu bertanggungjawab;
3. Dengan sengaja atau alpa;
4. Tidak ada alasan pemaaf”.
Dalam tindak pidana penipuan dan/atau penggelapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 372 Jo. 378 KUHP, yang dapat dipertanggungjawabkan adalah setiap
orang yaitu orang perseorangan atau badan hukum. Dalam tindak pidana penipuan
dan/atau penggelapan tersebut, seseorang/korporasi telah dapat dipidana apabila telah
terbukti melakukan perbuatan tindak pidana penipuan dan/atau penggelapan yang
sesuai dengan rumusan tindak pidana dalam KUHP, akan tetapi harus dapat
dibuktikan terlebih dahulu bahwa pelaku mampu bertanggungjawab.
B.
Kualifisir Pelaku Kejahatan Praktek Bisnis Berkedok MLM
Di Amerika untuk mengkualifisir pelaku kejahatan praktek bisnis berkedok
MLM dapat dilihat kepada 93 FTC. 618 Tahun 1978. Adapun hal-hal yang perlu
dibuktikan, antara lain 125 :
1. “Tidak memberi komisi berdasarkan perekrutan;
2. Penjualan produk adalah pra-syarat untuk menerima bonus kinerja;
3. Membeli kembali (garansi) persediaan produk distributor yang berlebihan;
4. Mensyaratkan komisi atau bonus akan diberikan apabila distributor dapat
membuktikan bahwa produk sungguh-sungguh telah dijual ke konsumen”.
125
Andrias Harefa, Op.cit., hal. 113-114.
Universitas Sumatera Utara
Pada peraturan di Indonesia mengenai praktek bisnis berkedok MLM, dapat
mengacu kepada Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Pasal 9
menyatakan bahwa : “Pelaku Usaha Distribusi dilarang menerapkan sistem skema
piramida dalam mendistribusikan Barang”. Penyidik dapat menggunakan ketentuan
ini untuk menjerat pelaku bisnis berkedok MLM. Adapun unsur-unsur di dalam Pasal
9 tersebut, sebagai berikut :
1. Pelaku Usaha Distribusi;
2. Dilarang menerapkan sistem skema piramida;
3. Mendistribusikan Barang.
Mengenai definisi Pelaku Usaha dapat dilihat pada Pasal 1 angka 14, yang
menyatakan bahwa : “Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan warga negara
Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang melakukan kegiatan usaha di bidang Perdagangan”. Selanjutnya
untuk definisi Distribusi dapat dilihat pada Pasal 1 angka 11, yang menyatakan bahwa
: “Distribusi adalah kegiatan penyaluran Barang secara langsung atau tidak langsung
kepada konsumen”. Oleh karena itu, Pelaku Usaha Distribusi adalah setiap orang
(inpersoon) ataupun badan hukum (legal entity) yang melakukan usaha perdagangan
melakukan penyaluran barang secara langsung atau tidak langsung.
Unsur selanjutnya adalah “Dilarang menerapkan sistem skema piramida”,
skema piramida telah dijelaskan di dalam Penjelasan Pasal 9, yang menyatakan
bahwa :
Universitas Sumatera Utara
“Yang dimaksud dengan “skema piramida” adalah istilah/nama kegiatan
usaha yang bukan dari hasil kegiatan penjualan Barang. Kegiatan usaha itu
memanfaatkan peluang keikutsertaan mitra usaha untuk memperoleh imbalan
atau pendapatan terutama dari biaya partisipasi orang lain yang bergabung
kemudian atau setelah bergabungnya mitra usaha tersebut”.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 9 Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan, dapat ditarik unsur-unsur sebagai berikut :
5. Kegiatan usaha;
6. Kegiatan usaha yang bukan dari hasil kegiatan penjualan barang;
7. Kegiatan usaha yang memanfaatkan peluang keikutsertaan mitra usaha;
8. Untuk memperoleh imbalan atau pendapatan;
9. Terutama dari biaya partisipasi orang lain yang bergabung kemudian atau
setelah bergabungnya mitra usaha tersebut.
Unsur selanjutnya dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 adalah
unsur “mendistribusikan barang”, yang artinya menyalurkan barang atau jasa secara
langsung atau tidak langsung kepada konsumen. Definisi Barang menurut Pasal 1
angka 5 menyatakan bahwa : “Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun
tidak berwujud, baik bergerak maupun tidakbergerak, baik dapat dihabiskan maupun
tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha”.
Dilihat dari Penjelasan Pasal 9 Undang-Undang No. 7 Tahun 2014, maka
definisi skema piramida yang dilarang adalah sama dengan 93 FTC. 618 Tahun 1978.
Unsur yang harus dibuktikan terlebih dahulu untuk mengungkap bisnis berkedok
Universitas Sumatera Utara
MLM adalah mengenai barangnya atau produk yang dijualnya. Apakah bermanfaat
atau tidak, berkualitas atau tidak, apakah seimbang harga dengan kualitasnya.
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut
harus
dibuktikan
barulah
disidik
mengenai
pendapatan perusahaan tersebut. Apakah dari perekrutan atau dari penjualan produk,
apabila dari perekrutan dan partisipasi orang lain, maka perusahaan berkedok MLM
tersebut dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Penyidik (dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia) harus membuktikan
apakah suatu praktek bisnis MLM tersebut memberikan komisi berdasarkan
perekrutan. Apabila dapat dibuktikan bahwa komisi didapat berdasarkan perekrutan,
maka unsur pertama telah terpenuhi. Selanjutnya, Penyidik juga dapat membuktikan
apakah praktek bisnis tersebut terdapat produk yang dijual, bagaimana produknya
laku di pasaran, apakah merupakan suatu kebutuhan dikarenakan kualitas dan mutu
barangnya baik. Setelah dibuktikan tentang produknya, lalu Penyidik dapat
membuktikan aliran bonus yang didapat oleh distributor apakah hasil penjualan
ataukah hasil perekrutan anggota.
Mengenai pembelian kembali barang-barang/produk-produk yang menumpuk.
Apakah perusahaan bisnis MLM tersebut ada kebijakan untuk membeli kembali
produk-produk yang tidak laku terjual di pasaran. Kualifikasi praktek bisnis berkedok
MLM selanjutnya adalah bahwa Penyidik perlu membuktikan apakah produk telah
benar-benar sampai ke tangan konsumen dan digunakan sebagaimana mestinya
selayaknya sebuah kebutuhan. Apabila telah benar sampai ke tangan konsumen, maka
Universitas Sumatera Utara
distributor yang memasarkan produknya tersebut layak untuk mendapatkan
komisi/bonus.
Berbeda halnya dengan praktek bisnis yang benar-benar mengandung unsur
penipuan. Nasabah direkrut hanyalah untuk mengumpulkan uang dan memberikan
bonus kepada nasabah yang merekrutnya. Dengan kata lain, apabila Penyidik dapat
membuktikan keempat unsur-unsur tersebut di atas, maka orang atau badan hukum
yang dipersangkakan tidak dapat dikualifisir merupakan praktek bisnis berkedok
MLM, namun sebaliknya apabila Penyidik tidak menemukan bukti permulaan yang
cukup untuk memenuhi keempat unsur-unsur yang dipersyaratkan, maka orang atau
badan hukum yang dipersangkakan tadi dapat dikualifisir telah melakukan praktek
bisnis berkedok MLM. Hal ini dalam kaitannya dengan pemenuhan unsur Pasal 372
Jo. 378 KUHP.
C.
Sistem Pertanggungjawaban Pelaku Kejahatan Praktek Bisnis Berkedok
MLM
Sistem pertanggungjawaban pelaku kejahatan praktek bisnis berkedok MLM
sama dengan pertanggungjawaban pelaku kejahatan biasa, yaitu tiada pidana tanpa
kesalahan. Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan
dari
pembicaraan
mengenai
perbuatan
pidana.
Orang
tidak
mungkin
dipertanggungjawabkanuntuk dipidana, apabila ia tidak melakukan tindak pidana.
Para ahli sering menggambarkan bahwa dalam menjatuhkan pidana unsur “tindak
pidana” dan “pertanggungjawaban pidana” harus dipenuhi. Gambaran itu dapat
dilihat dalam bentuk skema berikut :
Universitas Sumatera Utara
Tindak
Pidana
+
Pertanggung
- jawaban
=
Pidana
Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang sentral
dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan objektif yang
diikuti oleh unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur pertanggungjawaban
pidana merupakan unsur subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggungjawab
dan adanya kesalahan (kesengajaan dan kealpaan).
Terkait dengan contoh kasus yang diangkat dalam penelitian ini yaitu Laporan
Polisi yang terdapat di Polresta Medan, yaitu :
1. Laporan Polisi No. LP/1673/VI/2011/SU/Resta Medan
Pelapor
:
Zainurah, perempuan, 47 tahun, Islam, Indonesia,
Ibu Rumah Tangga, Jalan A. Rivai No. 17 Medan;
Waktu Kejadian
: 12 Maret 2011;
Tempat Kejadian
: Kantor TVI Express Jalan Kapten Muslim Gg. Jawa;
Terlapor
: 1. Rustia Ningsih alias Uwo alias Ibu Pepaya alias
Ibu Muis;
2. Fredrik Sipahutar;
3. Mitcui Pardede;
Kerugian
: Rp. 205.600.000,(Dua Ratus Lima Juta Enam Ratus Ribu Rupiah);
Tindak Pidana
: Pasal 378 dan/atau 372 KUHP (Penipuan dan/atau
Penggelapan)
Barang Bukti
: 2 (Dua) lembar brosur TVI Express
Universitas Sumatera Utara
2. Laporan Polisi No. LP/1268/V/2011/SU/Resta Medan
Pelapor
:
Mhd. Nurbakti Firdausy, laki-laki, 43 tahun, Islam,
Indonesia, PNS, Jalan Tritura No. 10-A, Kel.
Harjosari II, Kec. Medan Amplas, Kota Medan;
Waktu Kejadian
: Februari 2010;
Tempat Kejadian
: Kantor PT. Latanza Internasional, Jalan Sunggal No.
1-C, Kota Medan
Terlapor
: 1. Hanafi Yoniansyah;
2. Esra Syahbandi;
3. Mitcui Pardede;
Kerugian
: Rp. 150.000.000,(Seratus Lima Puluh Juta Rupiah);
Tindak Pidana
: Pasal 378 dan/atau 372 KUHP (Penipuan dan/atau
Penggelapan)
Barang Bukti
: 1 (Satu) lembar printout PT. Latanza Internasional
1 (Satu) lembar Brosur PT. Latanza Internasional
Selanjutnya berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Saksi, oleh Penyidik
Polresta Medan, AIPTU. Benedictus Doloksaribu, SH, terhadap Wakil Ketua
Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) an. Verheyen Koenrad Martin, IMJ,
didapat keterangan sebagai berikut :
1. “Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) berdiri sejak tahun 1984,
APLI merupakan asosiasi yang menjadi wadah dari perusahaan-perusahaan
yang bergerak di bidang penjualan langsung atau Multi Level Marketing
(MLM) dan Single Level Marketing (SLM), misi APLI adalah untuk
memastikan lingkungan usaha menjadi kondusif memperhatikan kebutuhan
anggota dan sebagai mitra bicara dengan pemerintah dan instansi terkait;
2. Bahwa PT. TVI Express dan PT. Latanza Global Interlink bukan merupakan
anggota dari APLI;
Universitas Sumatera Utara
3. Syarat untuk menjadi anggota APLI harus memiliki Surat Izin Usaha
Penjualan Langsung (SIUPL) yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) atas rekomendasi dari Depperindag;
4. Mengetahui bahwa PT. TVI Express berdiri sejak tahun 2010 dengan modus
operandi mirip dengan MLM namun bukan merupakan MLM karena kegiatan
PT. TVI Express ada unsur rekruitmen dan kegiatan rekruitmen tersebut
menghasilkan uang sedangkan kegiatan tersebut merupakan suatu perbuatan
yg dilarang sesuai dengan Permendag RI Nomor 32/M-DAG/PER/8/2008
tentang Perizinan Penjualan Langsung, Pasal 1 angka 12 yang berbunyi
sebagai berikut :
“Jaringan pemasaran terlarang adalah kegiatan usaha dengan nama
atau istilah apapun dimana keikutsertaan mitra usaha berdasarkan
pertimbangan adanya peluang untuk memperoleh imbalan yang
berasal atau didapatkan terutama dari hasil partisipasi orang lain yang
bergabung kemudian atau sesudah bergabungnya mitra usaha tersebut,
bukan dari hasil kegian penjualan barang atau jasa”.
5. Menurut yang bersangkutan, kegiatan PT. TVI Express dan PT. Latanza
merupakan usaha money game yang berkedok MLM;
6. Ciri-ciri usaha money game, antara lain :
a. Menjanjikan untung besar dalam waktu singkat;
b. Penekanan utama pada perekrutan, bukan pada penjualan;
c. Bonus dibayarkan apabila ada perekrutan;
d. Bila ada barang hanya sebagai kedok, kualitas barang tidak sebanding
dengan harga barang tersebut;
e. Ada dua indikasi usaha, akan ambruk yaitu bila menunda pembayaran
bonus dan menaikkan biaya pendaftaran.
7. Perbedaan MLM dengan money game adalah sebagai berikut :
a. Biaya untuk MLM relatif tidak mahal, sesuai dengan starter kit
sedangkan biaya money game mahal dan biasanya disertai dnegan
pembelian produk murah yang harganya tinggi;
b. Bonus untuk MLM terjadi karena produk yang terjual, produk terjual
karena manfaat dari produk sehingga terjadi pembelian kembali, pay
out pada distributor maksimal 40% dari nilai penjualan sedangkan
bonus untuk money game terjadi karena partisipasi orang baru, ada
keharusan membeli produk di awal bergabung dalam jumlah relatif
besar sebagai syarat bergabung, pay out tidak dibatasi dan sangat
berpotensi over paid;
Universitas Sumatera Utara
c. Untuk MLM ada produk yang dijual, kualitas produk dapat
dipertanggungjawabkan ada buy back guarantee bagi distributor yang
berhenti dan sisa barang boleh dikembalikan, sedangkan untuk money
game tidak ada produk yang dijual/fiktif, kalaupun ada produk hanya
sebagai kedok dan kualitasnya dipertanyakan terhadap harganya tidak
ada buyback guarantee.
8. Secara garis besar PT. TVI Express dan PT. Latanza Global Interlink
merupakan kegiatan money game yang berkedok MLM, karena penekanannya
pada proses rekruitmen apabila proses rekruitmen dihentikan maka tentunya
perusahaan akan bangkrut”.
Dapat dilihat dari hasil pemeriksaan di atas oleh Penyidik terhadap perwakilan
dari APLI dan juga telah dibahas sebelumnya bahwa perusahaan berkedok MLM
hanyalah mengutamakan perekrutan orang (downline), sedangkan untuk perusahaan
yang benar-benar MLM, lebih menekankan pada penjualan produknya. Setelah,
Penyidik membuat terang dan jelas, dan mendapatkan keterangan terkait dengan
perusahaan MLM dan perusahaan berkedok MLM, maka Penyidik langsung dapat
melakukan pemenuhan unsur-unsur pasal yang dipersangkakan kepada Terlapor yaitu
“Tindak Pidana Penipuan dan/atau Penggelapan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal
372 Jo. 378 KUHP. Karena pada saat laporan polisi tersebut dibuat, Undang-Undang
No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan belum diundangkan, oleh karena itu, untuk
menjerat pelaku tindak pidana tersebut, hanyalah dapat dipersangkakan dengan
menggunakan KUHP.
Sistem pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan praktek bisnis
berkedok MLM adalah crime liability (pertanggungjawaban hukum pidana). Azas
yang digunakan adalah “siapa yang berbuat dialah yang bertanggungjawab”. Lalu
sistem pembuktiannya menggunakan sistem negatif (negatief wetterlijk) yaitu
Universitas Sumatera Utara
seseorang dapat dinyatakan bersalah apabila didasarkan pada minimal 2 (Dua) alat
bukti yang sah dan hakim memperoleh keyakinan atas hal tersebut.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
PERAN POLRI DALAM PENYIDIKAN KEJAHATAN PRAKTEK BISNIS
BERKEDOK MLM PADA KEGIATAN PENYELENGGARAAN
PENJUALAN LANGSUNG DI INDONESIA
Kepolisian adalah suatu institusi yang memiliki ciri universal yang dapat
ditelusuri dari sejarah lahirnya polisi baik sebagai fungsi maupun organ. Pada
awalnya polisi lahir bersama masyarakat untuk menjaga sistem kepatuhan
(konformitas) anggota masyarakat terhadap kesepakatan antar warga masyarakat itu
sendiri terhadap kemungkinan adanya tabrakan kepentingan, penyimpangan perilaku
dan perilaku kriminal dari masyarakat. Ketika masyarakat bersepakat untuk hidup di
dalam suatu negara, pada saat itulah polisi dibentuk sebagai lembaga formal yang
disepakati untuk bertindak sebagai pelindung dan penjaga ketertiban dan keamanan
masyarakat atau yang disebut sebagai fungsi “Sicherheitspolitizei”. Kehadiran polisi
sebagai organisasi sipil yang dipersenjatai agar dapat memberikan efek pematuhan
(enforcing effect). 126
Fungsi Kepolisian yang tercantum dalam undang-undang tidak terlepas dari
fungsi hukum dimana di dalam dasar dari adanya undang-undang tersebut yaitu
tujuan pokok dari hukum yang dapat direduksi hal, yaitu 127 :
1. “Ketertiban
Ketertiban adalah tujuan utama dari hukum. Ketertiban merupakan syarat
utama untuk suatu masyarat yang ingin teratur. Pembangunan hanya dapat
dilakukan di dalam masyarakat yang teratur. Disamping ketertiban adalah
126
Bibit Samad Rianto, Pemikiran Menuju Polri yang Profesional, Mandiri, Berwibawa, dan
dicintai Rakyat, (Jakarta : PTIK Press dan Restu Agung, 2006), hal. 36.
127
B. Simanjuntak, Hukum Acara Pidana dan Tindak Pidana, (Bandung : Tarsito, 1982), hal.
11-13.
Universitas Sumatera Utara
tercapainya keadilan. Keadilan tidak mungkin ada tanpa ketertiban. Untuk
mencapai ketertiban perlu terciptanya kepastian dalam pergaulan.
2. Alat Pembaharuan Masyarakat
Dengan menciptakan undang-undang maka dapat diciptakan pembaharuan
sikap dan cara berfikir. Justru hakekat daripada pembangunan adalah
pembaharuan sikap hidup. Tanpa sikap dan cara berfikir yang berubah
maka pengenalan lembaga modern dalam kehidupan tak akan berhasil.
Usaha berubah cara berifikir dalam jual beli yang sifatnya riel ke arah
berfikir yang konsensual diciptakanlah undang-undang pokok agraria.
Menghentikan cara berfikir magis di Kalimantan seperti “mengayu”
dilarang melalui KUHP. Melarang perbudakan di Amerika (masalah hak
sipil negoro) diciptakan Undang-Undang New Deal”.
Melihat daripada fungsi hukum diatas maka bila ada hukum, undang-undang
yang tidak menciptakan ketertiban berarti undang-undang itu kehilangan fungsinya.
Hukum demikian harus ditiadakan, dihapus. Hukum yang baik adalah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat yang tentunya
sesuai pula atau merupakan pencerminan daripada nilai yang berlaku dalam
masyarakat. Dengan kata lain hukum undang-undang sebagai kaidah sosial dalam
masyarakat bahkan dapat dikatakan hukum, undang-undang itu merupakan
pencerminan daripada nilai-nilai yang berlaku dalm masyarakat. Nilai itu tidak lepas
dari sikap dan sifat yang dimiliki orang-orang yang menjadi anggota masyarakat yang
sedang membangun itu. 128
Peran Polri dalam penyidikan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM pada
kegiatan penyelenggaraan penjualan langsung di Indonesia adalah membuat terang
dan jeas suatu tindak pidana yang dipersangkakan kepada Terlapor. Polri sebagai
Penyidik adalah diberikan kewenangan oleh KUHAP dalam Pasal 1 angka 1.
128
Ibid., hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
Sebelum membahas mengenai peran Polri dalam penyidikan kejahatan tersebut, perlu
mengetahui perbedaan penyelidikan dan penyidikan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 KUHAP, “Penyelidikan adalah serangkaian
tindakan Penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Sedangkan Penyidikan, diatur
dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP, yang menyatakan bahwa : “Penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya”.
Jadi, penyelidikan dilakukan itu dalam rangka menentukan suatu perbuatan itu
merupakan tindak pidana atau bukan, sedangkan untuk penyidikan adalah rangkaian
tindakan Penyidik untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup guna menentukan
Tersangkanya.
A.
Proses Penyidikan Polri Terhadap Tindak Pidana
1.
Dasar Dilakukan Penyidikan
Penegak hukum dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia berwenang
untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan. 129 Tata cara dan manajemen proses
129
Pasal 7 KUHAP, yang menyatakan bahwa : “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (1) huruf a. karena kewajibannya mempunyai wewenang : a. Menerima laporan atau pengaduan
dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat
kejadian; c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d.
Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. Melakukan pemeriksaan dan
Universitas Sumatera Utara
penyidikan diatur melalui Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen
Penyidikan Tindak Pidana. Tugas dan wewenang dari penyelidik salah satunya adalah
menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana sesuai
denganPasal
5 KUHAP.
Penyelidik
dalam
hal
ini
polisi
sesuai
dengan
ketentuan Pasal 1 angka 4 KUHAP, atas laporan/pengaduan tersebut mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat
atau
tidaknya
dilakukan
penyidikanberdasarkanPasal1angka2KUHAP,
penyidikan.
penyidik/polisi
Di
mencari
dalam
serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Di dalam Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (“Perkap
14/2012”), dasar dilakukan penyidikan adalah:
2.
a.
laporan polisi/pengaduan;
b.
surat perintah tugas;
c.
laporan hasil penyelidikan (LHP);
d.
surat perintah penyidikan; dan
e.
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Tahap Penyelidikan
penyitaan surat; f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. Memanggil orang untuk didengar
dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. Mengadakan penghentian penyidikan; j. Mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Universitas Sumatera Utara
Seorang penyidik dalam melaksanakan tugasnya memiliki koridor hukum
yang harus di patuhi, dan diatur secara formal apa dan bagaimana tata cara
pelaksanaan, tugas-tugas dalam penyelidikan. Artinya para penyidik terikat kepada
peraturan-peraturan, perundang-undangan, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku
dalam menjalankan tugasnya.
Dalam pelaksanaan proses penyidikan, peluang-peluang untuk melakukan
penyimpangan atau penyalagunaan wewenang untuk tujuan tertentu bukan mustahil
sangat dimungkinkan terjadi. Karena itulah semua ahli kriminalistik menempatkan
etika penyidikan sebagai bagian dari profesionalisme yang harus d miliki oleh
seorang penyidik sebagai bagian dari profesionalisme yang harus dimiliki oleh
seorang penyidik. Bahkan, apabila etika penyidikan tidak dimiliki oleh seseorang
penyidik dalam menjalankan tugas -tugas penyidikan, cenderung akan terjadi
tindakan sewenang-wenang petugas yang tentu saja akan menimbulkan persoalan
baru.
Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang mengatur
dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Pasal 1 angka 5. Penyelidik karena
kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan
barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) KUHAP, untuk
kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan
Universitas Sumatera Utara
penangkapan. Namun untuk menjamin hak hak asasi tersangka, perintah penangkapan
tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan Barang Bukti.
Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus
menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sebagaimana di
sebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. Penerapan asas ini tidak lain
adalah untuk melindungi kepentingan hukum dan hak-hak tersangka dari
kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak hukum. Selanjutnya
kesimpulan hasil penyelidikan ini disampaikan kepada penyidik.
Apabila didapati tertangkap tangan, tanpa harus menunggu perintah penyidik,
penyelidik dapat segara melakukan tindakan yang diperlukan seperti penangkapan,
larangan, meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan. Selain itu penyelidik
juga dapat meakukan pemerikasaan surat dan penyitaan surat serta mengambil sidik
jari dan memotret atau mengambil gambar orang atau kelopmpok yang tertangkap
tangan tersebut. Selain itu penyidik juga dapat membawa dang mengahadapkan
oarang atau kelompok tersebut kepada penyidik. Dalam hal ini Pasal 105 KUHAP
menyatakan bahwa melaksanakan penyelidikan, penyidikan, penyelidik dikoordinasi,
diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik.
3.
Tahap Penyidikan
Pengertian penyidikan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana yang terdapat Pada Pasal 1 butir I yang berbunyi sebagai berikut:“Penyidik
adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia Atau Pejabat Pegawai Negari Sipil
tertentunyang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
Universitas Sumatera Utara
penyidikan”. Dari pengertian penyidik tersebut, dalam penjelasan undang-undang
disimpulkan mengenai pejabat yang berwenang untuk melakukan penyidikan yaitu:
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI); dan Pejabat Pegawai Negari Sipil
(PPNS) yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan
penyidikan.
Selain penyidik, dalam KUHAP dikenal pula penyidik pembantu, ketentuan
mengenai hal ini terdapat pada Pasal 1 butir 3 KUHAP, yangmenyebutkan
bahwa:“Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang karena diberikan diberi wewenang tertentu dapat melakukan penyidikan yang
diatur dalam undang-undang ini”.
Selanjutnya mengenai pengertian penyidik pembantu diatur dalam Pasal 1
Butir 12 Undang-undang No.2 tahun 2002, yang menyatakan bahwa:“Penyidik
Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh
Kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan
diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam
Undang-undang”.
Mengenai Penyidik Negari Sipil Dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan
Pasal 7 ayat (2) KUHAP, bahwa: “Yang dimaksud dengan penyidik dalam ayat ini
adalah misalnya pejabat bea cukai, pejabat imigrasi, pejabat kehutanan yang
melakukan tugas penyelidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh
undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing”.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan mengenai penyidik dan penyidik
pembantu di atas, dapat diketahui bahwa untuk dapat melaksanakan tugas penyidikan
Universitas Sumatera Utara
harus ada pemberian wewenang. Mengenai pemberian wewenang tersebut menurut
Andi Hamzah, berpendapat bahwa 130:
“Pemberian wewenang kepada penyidik bukan semata-mata didasarkan atas
kekuasaan tetapi berdasarkan atas pendekatan kewajiban dan tanggung jawab
yang diembannya, dengan demikian kewenangan yang diberikan disesuaikan
dengan kedudukan, tingkat kepangkatan, pengetahuan serta ringannya
kewajiban dan tanggung jawab penyidik.”
Tugas penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik POLRI adalah merupakan
penyidik tunggal bagi tindak pidana umum, tugasnya sebagai penyidik sangat sulit
dan membutuhkan tanggung jawab yang besar, karena penyidikan merupakan tahap
awal dari rangkaian proses penyelesaian perkara pidana yang nantinya akan
berpengaruh bagi tahap proses peradilan selanjutnya.
Sedangkan pada Pasal 1 butir 2 KUHAP menjelaskan mengenai pengertian
penyidikan, sebagai berikut:“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Sehubungan dengan hal tersebut Yahya Harahap memberikan Penjelasan
mengenai penyidik dan penyidikan sebagai berikut 131:
“Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan ketentuan umum Pasal
1 Butir 1 dan 2, Merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan,
penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi
wewenang oleh undang-undang. Sadangkan penyidik sesuai dengan cara yang
diatur dalam undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti, dan
130
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana,(Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1986), hal. 27.
131
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan
Penuntutan, Cet. Ke-II, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hal. 101.
Universitas Sumatera Utara
dengan bukti itu membuat atau menjadi terang suatu tindak pidana yang
terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak
pidananya”
Sedangkan Andi Hamzah dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia
menyimpulkan defenisi dari Pasal 1 Butir 2 KUHAP, sebagai berikut 132:
“Penyidikan (acara pidana) hanya dapat dilakukan berdasarkan undangundang, hal ini dapat disimpulkan dari kata-kata menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini. Ketentuan ini dapat dibandingkan dengan Pasal 1
Ned.Sv. Yang berbunyi: Strafvordering heeft allen wet voorzien. (Hukum
acara pidana dijalankan hanya berdasarkan Undang-undang).”
Acara pidana dijalankan jika terjadi tindak pidana hal ini dapat disimpulkan
dari kata membuat terang tindak pidana yang terjadi, hal inilah yang tidak disetujui
oleh VanBemmelen, karena, katanya mungkin saja acara pidana berjalan tanpa terjadi
delik; contoh klasik yang dikemukakan ialah kasus Jean Clas di Prancis yang
menyangkut seorang Ayah dituduh membunuh anaknya, padahal itu tidak terjadi
namun proses pidananya sudah berjalan.Selanjutnya Andi Hamzah mengemukakan
kembali bahwa Penyidikan ialah suatu istilah yang dimaksud sejajar dengan
pengertian
Opsparing
(Belanda),
dan
Investigation
(Inggris)
atau
Penyisatan/Sjasat(Malaysia). Defenisi penyidikan dalam KUHAP. Menurut bahasa
Belanda adalah sama dengan Opsporing. 133
Berikut ini Andi Hamzah mengutip pendapat De Pinto, yang menyatakan
bahwa : “Menyidik (Opsporing). Berartipemeriksaan permulaan oleh Pejabat-pejabat
132
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi II, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006).
Lihat
juga
:
Andi
Hamzah,
Beberapa
Hal
Dalam
Rancangan
KUHAP,
http://www.mahupiki.com/assets/news/attachment/15042014095724_makalah%20%20ANDI%20HAMZAH.pdf., diakses tanggal 28 Juni 2014, hal. 3.
133
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
yang untuk itu oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun
mendengar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadinya suatu pelanggaran
hukum”. 134
Penyidikan merupakan aktivitas yurisdis yang dilakukan penyelidik untuk
mencari dan menemukan kebenaran sejati (Membuat terang jelas tentang tindak
pidana yang terjadi.
Apa yang dikemukakan tentang penyelidikan tersebut diatas Buchari Said
menyebutkansebagai aktivitas yuridis, maksudnya adalah aktivitas yang dilakukan
berdasarkan aturan-aturan hukum positif sebagai hasil dari tindakan tersebut harus
dapat dipertanggung jawabkan secara yuridis pula, karena kata yuridis menunjuk
kepada adanya suatu peraturan hukum yang dimaksud tiada lain peraturan-peraturan
mengenai hukum acara pidana. 135
Tujuan utama penyidikan adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti dapat membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 2 KUHAP.
Dalam melaksanakan tugas penyidikan untuk mengungkapkan suatu tindak
pidana, maka penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang sebagaimana
yang tercantum di dalam isi ketentuan Pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-udang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) Jo. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa wewenang
penyidik adalah sebagi berikut:
134
Ibid.
Buchari Said, Sari Pati Hukum Acara Pidana, Cet. Ke-I, (Jakarta, 1997), hal. 29.
135
Universitas Sumatera Utara
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
2. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
4. Melakukan penangkapan, penahanan,penggeledahan dan penyitaan;
5. Mengenai sidik jari dan memotret seseorang;
6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
8. Mendatang orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
9. Mengadakan penghentian penyidikan;
10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Penyidikan yang dilakukan tersebut didahului dengan pemberitahuan kepada
penutut umum bahwa penyidikan terhadap suatu peristiwa pidana telah mulai
dilakukan. Secara formal pemberitahuan tersebut disampaikan melalui mekanisme
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Hal tersebut diatur dalam
ketentuan Pasal 109 KUHAP. Namun kekurangan yang dirasa sangat menghambat
adalah tiada ada ketegasan dari kentuan tersebut kapan waktunya penyidikan harus
diberitahukan kepada Penuntut Umum.
Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib
segara menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penutut umum. Dan dalam hal
penutut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang lengkap. Penutut
Universitas Sumatera Utara
umum segera mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik disertai
petunjuk untuk dilengkapi. Apabila pada saat penyidik menyerahkan hasil
penyidikan, dalam waktu 14 Hari penutut umum tidak mengembalikan berkas
tersebut, maka penyidikan dianggap selesai.
B.
Peran Polri Dalam Penyidikan Kejahatan
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan
dalam memeliharan keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri. 136 Tugas pokok Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah 137 :
a. Memeliharan keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakkan hukum; dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Rumusan tugas pokok tersebut bukan merupakan urutan prioritas, ketigatiganya sama penting, sedangkan dalam pelaksanaannya tugas pokok mana yang akan
dikedepankan sangat tergantung pada situasi masyarakat dan lingkungan yang
dihadapi karena pada dasarnya ketiga tugas pokok tersebut dilaksanakan secara
simultan
SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU KEJAHATAN PRAKTEK
BISNIS BERKEDOK MLM
Pertanggungjawaban pidana, berdasarkan Pasal 59 KUHP, menyatakan
bahwa: “Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap
pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka
pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur
melakukan pelanggaran tidak dipidana”.
Seperti diketahui subjek hukum ada 2 (Dua), yaitu : manusia atau
perseorangan (natuurlijke personen) dan badan hukum (rechtpersonen). Sebagaimana
layaknya subjek hukum, badan hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan
hukum seperti halnya orang, akan tetapi perbuatan hukum itu hanya terbatas pada
bidang hukum harta kekayaan. Mengingat wujudnya adalah badan atau lembaga,
maka dalam mekanisme pelaksanaannya badan hukum bertindak dengan perantara
pengurus-pengurusnya. 111
Terkait dengan praktek bisnis berkedok MLM, terdapat 2 (Dua) subjek hukum
juga sebagia pelaku kejahatan tersebut, yaitu : perseorangan dan badan hukum. Beban
tugas mengurus (zorgplicht) suatu “kesatuan orang” atau korporasi harus berada pada
pengurusnya. Korporasi bukan subjek tindak pidana. Dengan begitu, maka apabila
pengurus tidak memenuhi kewajiban yang merupakan beban “kesatuan orang” atau
korporasi itu, maka mereka yang bertanggungjawab menurut hukum pidana. Di
111
Hukum
Online,
“Metamorfosis
Badan
Hukum
Indonesia”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17818/metamorfosis-badan-hukum-indonesia., diakses
tanggal 03 Mei 2014.
Universitas Sumatera Utara
dalam praktek, ajaran pertama ini masih menimbulkan permasalahan. Pertanyaan
yang timbul adalah, bagaimana kalau ketentuan pidana yang bersangkutan memang
telah memberikan kewajiban kepada seseorang pemilik perusahaan atau pengusaha,
sedangkan pemilik atau pengusahanya adalah suatu korporasi, akan tetapi ketentuan
pidana
tersebut
tidak
menyatakan
bahwa
penguruslah
yang
harus
bertanggungjawab. 112
Timbul pertanyaan berikutnya yaitu siapakah yang dianggap sebagai
pelakutindak pidana itu, untuk mengatasi hal tersebut muncullah ajaran kedua yang
menyatakan bahwa “korporasi dapat diakuis sebagai pelaku (dader), tetapi
pertanggungjawaban
pidananya
(penuntutan
dan
pemidanaan)
berada
pada
pengurus”. Oleh karena itu, Pasal 59 KUHP harus ditafsirkan menurut ajaran kedua
tersebut, yaitu bahwa korporasi dapat melakukan tindak pidana, hanya saja
pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada pengurus. Yang dapat dihapus
pidananya hanyalah pengurus yang dapat membuktikan dirinya tidak terlibat,
sedangkan pengurus lain dapat dipidana. Namun belum tentu pengurus ini adalah
pelaku menurut hukum pidana. Apabila ketentuan pidana yang bersangkutan
memberikan kewajiban kepada pengusaha yang berupa korporasi, maka korporasi
inilah yang menurut hukum pidana harus dianggap sebagai pelaku. 113
112
Mardjono Reksodiputro, “Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya :
Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia”, Makalah disampaikan di Auditorium PTIK pada
Upacara Dies Natalis PTIK Ke-47 dan Wisuda Sarjana Ilmu Kepolisian Angkatan XXIX Soekamo
Djojonegoro, pada tanggal 17 Juni 1993, hal. 4.
113
Menurut Remelink (hal. 100), “Perubahan dengan maksud untuk memungkinkan
Korporasi dipandang sebagai pelaku dimulai pada hukum pidana fiskal, karena adanya “kewajiban
yang dibebankan oleh hukum fiskal kepada pemilik, penyewa atau yang menyewakan … yang sering
kali berbentuk korporasi”. Uraian perubahan ini juga dijabarkan dalam Schaffmeister, Keijzer,
Universitas Sumatera Utara
A.
Sistem Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Kejahatan
Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini
menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Sistem
pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang akan datang
menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah satu asas
fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai pasangan asas legalitas.
Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang kaku dan bersifat absolut. Oleh
karena itu, memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas
strict
liability, 114vicarious
liability, 115erfolgshaftung, 116
kesesatan
atau
Sutorius, Hukum Pidana, Editor Penerjemah JE. Sahetapy, Konsorsium Ilmu Hukum, (Yogyakarta :
Liberty, 1995), hal. 272-283 dan 423-434, dalam Ibid.
114
Konsep strict liability atau tanggung jawab mutlak ini berbeda dengan sistem tanggung
jawab pidana umum yang mengharuskan adanya kesengajaan atau kealpaan. Dalam sistem tanggung
jawab pidana mutlak hanya dibutuhkan pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa. Artinya, dalam
melakukan perbuatan tersebut, apabila si terdakwa mengetahui atau menyadari tentang potensi
kerugian bagi pihak lain, maka kedaan ini cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana. Jadi,
tidak diperlukan adanya unsur sengaja atau alpa dari terdakwa, namun semata-mata perbuatan yang
telah mengakibatkan pencemaran. Sumber : Frances Russell dan Christine Locke, English Law and
Language, (Prentice Hall, 1995).
115
Vicarious Liability atau pertanggungjawaban pidana pengganti adalah pertanggungjawaban
menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (the legal responsibility
of one person for the wrongful acts of another). Secara singkat vicarious liability sering diartikan
sebagai “perttanggungjawaban pengganti”. Pertanggungjwaban pengganti itu dirumuskan dalam Pasal
35 ayat (3) Konsep yang berbunyi : “Dalam hal tertentu, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan
atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu undang-undang”.
Sumber : Roeslan Saleh, Suatu Reorienasi Dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), hal.
32, dalam Johny Krisnan, “Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Pembaharuan
Hukum Pidana Nasional”, Program Magister Ilmu Hukum, (Semarang : Tesis, Universitas
Diponegoro, 2008), hal. 79.
116
Pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan terutama dibatasi pada perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja (dolus). Dapat dipidananya delik culpa hanya bersifat perkecualian apabila
ditentukan secara tegas oleh undangundang. Sedangkan pertanggungjawaban terhadap akibat-akibat
tertentu dari suatu tindak pidana yang oleh undang-undang diperberat ancaman pidananya, hanya
dikenakan kepada terdakwa apabila ia sepatutnya sudah dapat menduga kemungkinan terjadinya akibat
itu atau apabila sekurangkurangnya ada kealpaan. Jadi Konsep tidak menganut asas Erfolgshaftung
atau asas menanggung akibat secara murni, tetapi tetap berorientasi pada asas kesalahan. Untuk lebih
jelasnya akan dikutipkan pasal 36 berikut ini: 1) Seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan jika
orang tersebut melakukan tindak pidana dengan sengaja atau karena kealpaan; 2) Perbuatan yang dapat
dipidana adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, kecuali peraturan perundang-undangan
menentukan secara tegas bahwa suatu tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan dapat dipidana;
Universitas Sumatera Utara
error, 117rechterlijk pardon, 118culpa in causa 119 dan pertanggungjawaban pidana
yang berhubungan dengan masalah subjek tindak pidana. Maka dari itu ada pula
ketentuan tentang subjek berupa korporasi. Semua asas itu belum diatur dalam
KUHP (Wetboek van Strafrecht).
Lain halnya dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan,
khususnya pada Pasal 9, menyatakan bahwa : “Pelaku Usaha Distribusi dilarang
menerapkan sistem skema piramida dalam mendistribusikan Barang”. Definisi hukum
“Pelaku Usaha”, berdasarkan Pasal 1 angka 14, menyatakan bahwa Pelaku Usaha
adalah : “Setiap orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang
berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan
kegiatan usaha di bidang Perdagangan”.
3) Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap akibat tertentu dari suatu tindak pidana
yang oleh undang-undang diperberat ancaman pidananya, jika sepatutnya sudah dapat menduga
kemungkinan terjadinya akibat tersebut atau sekurang-kurangnya ada kealpaan. Sumber : Johny
Krisnan, Ibid., hal. 79.
117
Dalam hal ada kesesatan atau error, baik error facti maupun error iurisi, konsep
berpendirian bahwa pada prinsipnya si pelaku tidak dapat dipertanggungjawabkan dan oleh karena itu
tidak dipidana. Namun demikian, apabila kesesatannya itu patut dicelakan/dipersalahkan kepadanya,
maka si pelaku tetap dapat dipidana. Ketentuan konsep yang demikian ini dirumuskan dalam Pasal 40
ayat (1) dan hal ini berlainan dengan doktrin tradisional yang menyatakan bahwa error facti non noced
(kesesatan mengenai peristiwanya tidak mendatangkan pemidanaan) dan error iuris nocet (kesesatan
mengenai hukumnya tidak menghapuskan pemidanaan). Sumber : Ibid., hal. 79.
118
Pada prinsipnya seseorang sudah dapat dipidana apabila telah terbukti melakukan tindak
pidana dan bersalah namun dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu konsep memberi kewenangan
kepada hakim untuk memberi maaf atau pengampunan kepada si pelaku tanpa menjatuhkan pidana
atau tindakan apapun. Ketentuan mengenai Rechterlijk Pardon ini dirumuskan dalam Pasal 52 ayat (2)
Konsep yaitu sebagai bagian dari “pedoman pemidanaan”. Sumber : Ibid., hal. 80.
119
Kewenangan hakim untuk memberi maaf (rechterlijk pardon) dengan tidak menjatuhkan
sanksi pidana atau tindakan apapun, diimbangi pula dengan adanya asas culpa in causa atau asas actio
libera in causa, yang member kewenangan kepada hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan si
pelaku tindak pidana walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dipersalahkan atau
dicela atas terjadinya keadaan yang menjadi alasn penghapus pidana tersebut. Jadi di sini kewenangan
hakim untuk memaafkan atau tidak memidana diimbangi dengan kewenangan untuk tetapmemidana
sekalipun ada alasan penghapus pidana. Sumber : Ibid., hal. 80-81.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena Pasal 1 angka 14 menyatakan bahwa Pelaku Usaha itu adalah
perseorangan atau badan hukum, maka berdasarkan Pasal 105 Undang-Undang No. 7
Tahun 2014, menyatakan bahwa : “Pelaku Usaha Distribusi yang menerapkan sistem
skema piramida dalam mendistribusikan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (Sepuluh Miliar Rupiah”, subjek hukum yang
dapat dihukum adalah perseorangan dan badan hukum.
Korporasi (badan hukum) dapat menjadi pelaku tindak pidana dan sekaligus
bertanggungjawab atas tindakan tersebut. 120 Dengan demikian, pelaku kejahatan yang
memakai kedok perusahaan berbadan hukum ataupun bukan badan hukum dapat
dijatuhkan pidana kepadanya. 121 Hal ini berkaitan dengan azas siapa yang berbuat
dialah yang bertanggungjawab, yang dapat dilihat pada 122 :
-
Pasal 2 KUHP, menyatakan bahwa :
120
Mardjono Reksodiputro, Ibid., hal. 5. Menyatakan bahwa : “Di Belanda, perkeculian
korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana diterapkan dalam tahun 1950 melalui Undang-Undang
Delik Ekonomi (Wet op de Economische Delicten), yang kemudian diambilalih dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia pada tahun 1955 (Undang-Undang No. 7 Drt/1955 tentang Tindak
Pidana Ekonomi). Sejak 13 Mei 1955 ini, maka khusus untuk tindak pidana ekonomi, telah dijadikan
subjek hukum pidana yang dapat dituntut dan dipidana, yaitu : badan hukum, perseorangan,
perserikatan yang lainnya atau yayasan (Pasal 15. Dalam tahun 1976 Belanda melangkah lebih jauh
lagi dan merubah sama sekali Pasal 51 mereka, sehingga pasal yang baru menyatakan dengan tegas
bahwa dalam hukum pidana umum (KUHP) Belanda tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia
(natuurlijke personen) dan badan hukum (rechtpersonen)”.
121
Terkait
dengan
pertanggungjawaban
pidana,
menurut
Roscoe
Pound,
“Pertanggungjawaban pidana adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan
diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan, menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban
yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula
masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat”. Lihat : Roscoe Pound,
Pengantar Filsafat Hukum, (Jakarta : Bhatara, 1975), hal. 76.
122
Ada ketentuan-ketentuan dalam KUHP yang dapat disimpulkan memiliki arti “siapa yang
berbuat dia yang bertanggungjawab”. Beberapa ketentuan tersebut dapat dilihat pada Pasal 2 sampai
Pasal 5 KUHP. Sumber : Hukum Online, “Ilman Hadi : Prinsip Tanggung Jawab Pidana”,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fee9b5e8c4d6/prinsip-tanggung-jawab-pidana., diakses
tanggal 03 Mei 2014.
Universitas Sumatera Utara
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi
setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia”.
-
Pasal 3 KUHP, menyatakan bahwa :
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam
kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.
-
Pasal 4 KUHP, menyatakan bahwa :
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi
setiap orang yang melakukan di luar Indonesia :
1. Salah satu kejahatan berdasarkan Pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan 131;
2. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan
oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan
merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia;
3. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia,
atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula
pemalsuan calon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat
atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat
tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah asli dan tidak palsu;
4. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai
dengan 446 tentang pembajakan laut dan Pasal 447 tentang penyerahan
kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan Pasal 479 huruf j. tentang
penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, Pasal 479 huruf l, m, n
dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil”.
-
Pasal 5 KUHP, menyatakan bahwa :
1. Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi
warga negara yang di luar Indonesia melakukan :
1) Salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan
Pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451;
2) Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan,
sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan
dilakukan diancam dengan pidana.
Universitas Sumatera Utara
2. Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan
juga jika tertuduh menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa hukuman pidana diterapkan bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana
di wilayah Indonesia atau setiap orang di luar Indonesia yang merugikan kepentingan
Indonesia sebagaimana disebut di atas. Dengan demikian, orang yang melakukan
perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya
pertanggungjawaban pidana. 123
Oleh karena itu, untuk mengetahui seseorang pelaku bisnis berkedok MLM
bersalah atau tidak maka harus diuji unsur kesalahannya. Apakah terpenuhi unsur
pasal yang dipersangkakan atau tidak. Dalam kaitannya dengan praktek bisnis
berkedok MLM, maka ketentuan hukum yang dapat dipersangkakan kepada pelaku
kejahatan tersebut adalah Pasal 372 Jo. 378 KUHP yaitu Penipuan dan atau
Penggelapan ataupun Pasal 105 Jo. Pasal 9 Undang-Undang No. 7 Tahun 2014
tentang Perdagangan.
Dengan demikian, menurut Roeslan Saleh, seorang pelaku kejahatan jika akan
dipidana harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu ternyata melawan hukum
dan pelaku tersebut mampu bertanggungjawab. Untuk adanya kesalahan yang
mengakibatkan pidananya seorang pelaku kejahatan (dipertanggungjawabkan), maka
pelaku harus 124 :
1. “Melakukan perbuatan pidana;
123
Djoko Prakoso, Op.cit., hal. 75.
Ibid.
124
Universitas Sumatera Utara
2. Mampu bertanggungjawab;
3. Dengan sengaja atau alpa;
4. Tidak ada alasan pemaaf”.
Dalam tindak pidana penipuan dan/atau penggelapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 372 Jo. 378 KUHP, yang dapat dipertanggungjawabkan adalah setiap
orang yaitu orang perseorangan atau badan hukum. Dalam tindak pidana penipuan
dan/atau penggelapan tersebut, seseorang/korporasi telah dapat dipidana apabila telah
terbukti melakukan perbuatan tindak pidana penipuan dan/atau penggelapan yang
sesuai dengan rumusan tindak pidana dalam KUHP, akan tetapi harus dapat
dibuktikan terlebih dahulu bahwa pelaku mampu bertanggungjawab.
B.
Kualifisir Pelaku Kejahatan Praktek Bisnis Berkedok MLM
Di Amerika untuk mengkualifisir pelaku kejahatan praktek bisnis berkedok
MLM dapat dilihat kepada 93 FTC. 618 Tahun 1978. Adapun hal-hal yang perlu
dibuktikan, antara lain 125 :
1. “Tidak memberi komisi berdasarkan perekrutan;
2. Penjualan produk adalah pra-syarat untuk menerima bonus kinerja;
3. Membeli kembali (garansi) persediaan produk distributor yang berlebihan;
4. Mensyaratkan komisi atau bonus akan diberikan apabila distributor dapat
membuktikan bahwa produk sungguh-sungguh telah dijual ke konsumen”.
125
Andrias Harefa, Op.cit., hal. 113-114.
Universitas Sumatera Utara
Pada peraturan di Indonesia mengenai praktek bisnis berkedok MLM, dapat
mengacu kepada Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Pasal 9
menyatakan bahwa : “Pelaku Usaha Distribusi dilarang menerapkan sistem skema
piramida dalam mendistribusikan Barang”. Penyidik dapat menggunakan ketentuan
ini untuk menjerat pelaku bisnis berkedok MLM. Adapun unsur-unsur di dalam Pasal
9 tersebut, sebagai berikut :
1. Pelaku Usaha Distribusi;
2. Dilarang menerapkan sistem skema piramida;
3. Mendistribusikan Barang.
Mengenai definisi Pelaku Usaha dapat dilihat pada Pasal 1 angka 14, yang
menyatakan bahwa : “Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan warga negara
Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang melakukan kegiatan usaha di bidang Perdagangan”. Selanjutnya
untuk definisi Distribusi dapat dilihat pada Pasal 1 angka 11, yang menyatakan bahwa
: “Distribusi adalah kegiatan penyaluran Barang secara langsung atau tidak langsung
kepada konsumen”. Oleh karena itu, Pelaku Usaha Distribusi adalah setiap orang
(inpersoon) ataupun badan hukum (legal entity) yang melakukan usaha perdagangan
melakukan penyaluran barang secara langsung atau tidak langsung.
Unsur selanjutnya adalah “Dilarang menerapkan sistem skema piramida”,
skema piramida telah dijelaskan di dalam Penjelasan Pasal 9, yang menyatakan
bahwa :
Universitas Sumatera Utara
“Yang dimaksud dengan “skema piramida” adalah istilah/nama kegiatan
usaha yang bukan dari hasil kegiatan penjualan Barang. Kegiatan usaha itu
memanfaatkan peluang keikutsertaan mitra usaha untuk memperoleh imbalan
atau pendapatan terutama dari biaya partisipasi orang lain yang bergabung
kemudian atau setelah bergabungnya mitra usaha tersebut”.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 9 Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan, dapat ditarik unsur-unsur sebagai berikut :
5. Kegiatan usaha;
6. Kegiatan usaha yang bukan dari hasil kegiatan penjualan barang;
7. Kegiatan usaha yang memanfaatkan peluang keikutsertaan mitra usaha;
8. Untuk memperoleh imbalan atau pendapatan;
9. Terutama dari biaya partisipasi orang lain yang bergabung kemudian atau
setelah bergabungnya mitra usaha tersebut.
Unsur selanjutnya dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 adalah
unsur “mendistribusikan barang”, yang artinya menyalurkan barang atau jasa secara
langsung atau tidak langsung kepada konsumen. Definisi Barang menurut Pasal 1
angka 5 menyatakan bahwa : “Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun
tidak berwujud, baik bergerak maupun tidakbergerak, baik dapat dihabiskan maupun
tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha”.
Dilihat dari Penjelasan Pasal 9 Undang-Undang No. 7 Tahun 2014, maka
definisi skema piramida yang dilarang adalah sama dengan 93 FTC. 618 Tahun 1978.
Unsur yang harus dibuktikan terlebih dahulu untuk mengungkap bisnis berkedok
Universitas Sumatera Utara
MLM adalah mengenai barangnya atau produk yang dijualnya. Apakah bermanfaat
atau tidak, berkualitas atau tidak, apakah seimbang harga dengan kualitasnya.
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut
harus
dibuktikan
barulah
disidik
mengenai
pendapatan perusahaan tersebut. Apakah dari perekrutan atau dari penjualan produk,
apabila dari perekrutan dan partisipasi orang lain, maka perusahaan berkedok MLM
tersebut dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Penyidik (dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia) harus membuktikan
apakah suatu praktek bisnis MLM tersebut memberikan komisi berdasarkan
perekrutan. Apabila dapat dibuktikan bahwa komisi didapat berdasarkan perekrutan,
maka unsur pertama telah terpenuhi. Selanjutnya, Penyidik juga dapat membuktikan
apakah praktek bisnis tersebut terdapat produk yang dijual, bagaimana produknya
laku di pasaran, apakah merupakan suatu kebutuhan dikarenakan kualitas dan mutu
barangnya baik. Setelah dibuktikan tentang produknya, lalu Penyidik dapat
membuktikan aliran bonus yang didapat oleh distributor apakah hasil penjualan
ataukah hasil perekrutan anggota.
Mengenai pembelian kembali barang-barang/produk-produk yang menumpuk.
Apakah perusahaan bisnis MLM tersebut ada kebijakan untuk membeli kembali
produk-produk yang tidak laku terjual di pasaran. Kualifikasi praktek bisnis berkedok
MLM selanjutnya adalah bahwa Penyidik perlu membuktikan apakah produk telah
benar-benar sampai ke tangan konsumen dan digunakan sebagaimana mestinya
selayaknya sebuah kebutuhan. Apabila telah benar sampai ke tangan konsumen, maka
Universitas Sumatera Utara
distributor yang memasarkan produknya tersebut layak untuk mendapatkan
komisi/bonus.
Berbeda halnya dengan praktek bisnis yang benar-benar mengandung unsur
penipuan. Nasabah direkrut hanyalah untuk mengumpulkan uang dan memberikan
bonus kepada nasabah yang merekrutnya. Dengan kata lain, apabila Penyidik dapat
membuktikan keempat unsur-unsur tersebut di atas, maka orang atau badan hukum
yang dipersangkakan tidak dapat dikualifisir merupakan praktek bisnis berkedok
MLM, namun sebaliknya apabila Penyidik tidak menemukan bukti permulaan yang
cukup untuk memenuhi keempat unsur-unsur yang dipersyaratkan, maka orang atau
badan hukum yang dipersangkakan tadi dapat dikualifisir telah melakukan praktek
bisnis berkedok MLM. Hal ini dalam kaitannya dengan pemenuhan unsur Pasal 372
Jo. 378 KUHP.
C.
Sistem Pertanggungjawaban Pelaku Kejahatan Praktek Bisnis Berkedok
MLM
Sistem pertanggungjawaban pelaku kejahatan praktek bisnis berkedok MLM
sama dengan pertanggungjawaban pelaku kejahatan biasa, yaitu tiada pidana tanpa
kesalahan. Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan
dari
pembicaraan
mengenai
perbuatan
pidana.
Orang
tidak
mungkin
dipertanggungjawabkanuntuk dipidana, apabila ia tidak melakukan tindak pidana.
Para ahli sering menggambarkan bahwa dalam menjatuhkan pidana unsur “tindak
pidana” dan “pertanggungjawaban pidana” harus dipenuhi. Gambaran itu dapat
dilihat dalam bentuk skema berikut :
Universitas Sumatera Utara
Tindak
Pidana
+
Pertanggung
- jawaban
=
Pidana
Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang sentral
dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan objektif yang
diikuti oleh unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur pertanggungjawaban
pidana merupakan unsur subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggungjawab
dan adanya kesalahan (kesengajaan dan kealpaan).
Terkait dengan contoh kasus yang diangkat dalam penelitian ini yaitu Laporan
Polisi yang terdapat di Polresta Medan, yaitu :
1. Laporan Polisi No. LP/1673/VI/2011/SU/Resta Medan
Pelapor
:
Zainurah, perempuan, 47 tahun, Islam, Indonesia,
Ibu Rumah Tangga, Jalan A. Rivai No. 17 Medan;
Waktu Kejadian
: 12 Maret 2011;
Tempat Kejadian
: Kantor TVI Express Jalan Kapten Muslim Gg. Jawa;
Terlapor
: 1. Rustia Ningsih alias Uwo alias Ibu Pepaya alias
Ibu Muis;
2. Fredrik Sipahutar;
3. Mitcui Pardede;
Kerugian
: Rp. 205.600.000,(Dua Ratus Lima Juta Enam Ratus Ribu Rupiah);
Tindak Pidana
: Pasal 378 dan/atau 372 KUHP (Penipuan dan/atau
Penggelapan)
Barang Bukti
: 2 (Dua) lembar brosur TVI Express
Universitas Sumatera Utara
2. Laporan Polisi No. LP/1268/V/2011/SU/Resta Medan
Pelapor
:
Mhd. Nurbakti Firdausy, laki-laki, 43 tahun, Islam,
Indonesia, PNS, Jalan Tritura No. 10-A, Kel.
Harjosari II, Kec. Medan Amplas, Kota Medan;
Waktu Kejadian
: Februari 2010;
Tempat Kejadian
: Kantor PT. Latanza Internasional, Jalan Sunggal No.
1-C, Kota Medan
Terlapor
: 1. Hanafi Yoniansyah;
2. Esra Syahbandi;
3. Mitcui Pardede;
Kerugian
: Rp. 150.000.000,(Seratus Lima Puluh Juta Rupiah);
Tindak Pidana
: Pasal 378 dan/atau 372 KUHP (Penipuan dan/atau
Penggelapan)
Barang Bukti
: 1 (Satu) lembar printout PT. Latanza Internasional
1 (Satu) lembar Brosur PT. Latanza Internasional
Selanjutnya berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Saksi, oleh Penyidik
Polresta Medan, AIPTU. Benedictus Doloksaribu, SH, terhadap Wakil Ketua
Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) an. Verheyen Koenrad Martin, IMJ,
didapat keterangan sebagai berikut :
1. “Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) berdiri sejak tahun 1984,
APLI merupakan asosiasi yang menjadi wadah dari perusahaan-perusahaan
yang bergerak di bidang penjualan langsung atau Multi Level Marketing
(MLM) dan Single Level Marketing (SLM), misi APLI adalah untuk
memastikan lingkungan usaha menjadi kondusif memperhatikan kebutuhan
anggota dan sebagai mitra bicara dengan pemerintah dan instansi terkait;
2. Bahwa PT. TVI Express dan PT. Latanza Global Interlink bukan merupakan
anggota dari APLI;
Universitas Sumatera Utara
3. Syarat untuk menjadi anggota APLI harus memiliki Surat Izin Usaha
Penjualan Langsung (SIUPL) yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) atas rekomendasi dari Depperindag;
4. Mengetahui bahwa PT. TVI Express berdiri sejak tahun 2010 dengan modus
operandi mirip dengan MLM namun bukan merupakan MLM karena kegiatan
PT. TVI Express ada unsur rekruitmen dan kegiatan rekruitmen tersebut
menghasilkan uang sedangkan kegiatan tersebut merupakan suatu perbuatan
yg dilarang sesuai dengan Permendag RI Nomor 32/M-DAG/PER/8/2008
tentang Perizinan Penjualan Langsung, Pasal 1 angka 12 yang berbunyi
sebagai berikut :
“Jaringan pemasaran terlarang adalah kegiatan usaha dengan nama
atau istilah apapun dimana keikutsertaan mitra usaha berdasarkan
pertimbangan adanya peluang untuk memperoleh imbalan yang
berasal atau didapatkan terutama dari hasil partisipasi orang lain yang
bergabung kemudian atau sesudah bergabungnya mitra usaha tersebut,
bukan dari hasil kegian penjualan barang atau jasa”.
5. Menurut yang bersangkutan, kegiatan PT. TVI Express dan PT. Latanza
merupakan usaha money game yang berkedok MLM;
6. Ciri-ciri usaha money game, antara lain :
a. Menjanjikan untung besar dalam waktu singkat;
b. Penekanan utama pada perekrutan, bukan pada penjualan;
c. Bonus dibayarkan apabila ada perekrutan;
d. Bila ada barang hanya sebagai kedok, kualitas barang tidak sebanding
dengan harga barang tersebut;
e. Ada dua indikasi usaha, akan ambruk yaitu bila menunda pembayaran
bonus dan menaikkan biaya pendaftaran.
7. Perbedaan MLM dengan money game adalah sebagai berikut :
a. Biaya untuk MLM relatif tidak mahal, sesuai dengan starter kit
sedangkan biaya money game mahal dan biasanya disertai dnegan
pembelian produk murah yang harganya tinggi;
b. Bonus untuk MLM terjadi karena produk yang terjual, produk terjual
karena manfaat dari produk sehingga terjadi pembelian kembali, pay
out pada distributor maksimal 40% dari nilai penjualan sedangkan
bonus untuk money game terjadi karena partisipasi orang baru, ada
keharusan membeli produk di awal bergabung dalam jumlah relatif
besar sebagai syarat bergabung, pay out tidak dibatasi dan sangat
berpotensi over paid;
Universitas Sumatera Utara
c. Untuk MLM ada produk yang dijual, kualitas produk dapat
dipertanggungjawabkan ada buy back guarantee bagi distributor yang
berhenti dan sisa barang boleh dikembalikan, sedangkan untuk money
game tidak ada produk yang dijual/fiktif, kalaupun ada produk hanya
sebagai kedok dan kualitasnya dipertanyakan terhadap harganya tidak
ada buyback guarantee.
8. Secara garis besar PT. TVI Express dan PT. Latanza Global Interlink
merupakan kegiatan money game yang berkedok MLM, karena penekanannya
pada proses rekruitmen apabila proses rekruitmen dihentikan maka tentunya
perusahaan akan bangkrut”.
Dapat dilihat dari hasil pemeriksaan di atas oleh Penyidik terhadap perwakilan
dari APLI dan juga telah dibahas sebelumnya bahwa perusahaan berkedok MLM
hanyalah mengutamakan perekrutan orang (downline), sedangkan untuk perusahaan
yang benar-benar MLM, lebih menekankan pada penjualan produknya. Setelah,
Penyidik membuat terang dan jelas, dan mendapatkan keterangan terkait dengan
perusahaan MLM dan perusahaan berkedok MLM, maka Penyidik langsung dapat
melakukan pemenuhan unsur-unsur pasal yang dipersangkakan kepada Terlapor yaitu
“Tindak Pidana Penipuan dan/atau Penggelapan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal
372 Jo. 378 KUHP. Karena pada saat laporan polisi tersebut dibuat, Undang-Undang
No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan belum diundangkan, oleh karena itu, untuk
menjerat pelaku tindak pidana tersebut, hanyalah dapat dipersangkakan dengan
menggunakan KUHP.
Sistem pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan praktek bisnis
berkedok MLM adalah crime liability (pertanggungjawaban hukum pidana). Azas
yang digunakan adalah “siapa yang berbuat dialah yang bertanggungjawab”. Lalu
sistem pembuktiannya menggunakan sistem negatif (negatief wetterlijk) yaitu
Universitas Sumatera Utara
seseorang dapat dinyatakan bersalah apabila didasarkan pada minimal 2 (Dua) alat
bukti yang sah dan hakim memperoleh keyakinan atas hal tersebut.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
PERAN POLRI DALAM PENYIDIKAN KEJAHATAN PRAKTEK BISNIS
BERKEDOK MLM PADA KEGIATAN PENYELENGGARAAN
PENJUALAN LANGSUNG DI INDONESIA
Kepolisian adalah suatu institusi yang memiliki ciri universal yang dapat
ditelusuri dari sejarah lahirnya polisi baik sebagai fungsi maupun organ. Pada
awalnya polisi lahir bersama masyarakat untuk menjaga sistem kepatuhan
(konformitas) anggota masyarakat terhadap kesepakatan antar warga masyarakat itu
sendiri terhadap kemungkinan adanya tabrakan kepentingan, penyimpangan perilaku
dan perilaku kriminal dari masyarakat. Ketika masyarakat bersepakat untuk hidup di
dalam suatu negara, pada saat itulah polisi dibentuk sebagai lembaga formal yang
disepakati untuk bertindak sebagai pelindung dan penjaga ketertiban dan keamanan
masyarakat atau yang disebut sebagai fungsi “Sicherheitspolitizei”. Kehadiran polisi
sebagai organisasi sipil yang dipersenjatai agar dapat memberikan efek pematuhan
(enforcing effect). 126
Fungsi Kepolisian yang tercantum dalam undang-undang tidak terlepas dari
fungsi hukum dimana di dalam dasar dari adanya undang-undang tersebut yaitu
tujuan pokok dari hukum yang dapat direduksi hal, yaitu 127 :
1. “Ketertiban
Ketertiban adalah tujuan utama dari hukum. Ketertiban merupakan syarat
utama untuk suatu masyarat yang ingin teratur. Pembangunan hanya dapat
dilakukan di dalam masyarakat yang teratur. Disamping ketertiban adalah
126
Bibit Samad Rianto, Pemikiran Menuju Polri yang Profesional, Mandiri, Berwibawa, dan
dicintai Rakyat, (Jakarta : PTIK Press dan Restu Agung, 2006), hal. 36.
127
B. Simanjuntak, Hukum Acara Pidana dan Tindak Pidana, (Bandung : Tarsito, 1982), hal.
11-13.
Universitas Sumatera Utara
tercapainya keadilan. Keadilan tidak mungkin ada tanpa ketertiban. Untuk
mencapai ketertiban perlu terciptanya kepastian dalam pergaulan.
2. Alat Pembaharuan Masyarakat
Dengan menciptakan undang-undang maka dapat diciptakan pembaharuan
sikap dan cara berfikir. Justru hakekat daripada pembangunan adalah
pembaharuan sikap hidup. Tanpa sikap dan cara berfikir yang berubah
maka pengenalan lembaga modern dalam kehidupan tak akan berhasil.
Usaha berubah cara berifikir dalam jual beli yang sifatnya riel ke arah
berfikir yang konsensual diciptakanlah undang-undang pokok agraria.
Menghentikan cara berfikir magis di Kalimantan seperti “mengayu”
dilarang melalui KUHP. Melarang perbudakan di Amerika (masalah hak
sipil negoro) diciptakan Undang-Undang New Deal”.
Melihat daripada fungsi hukum diatas maka bila ada hukum, undang-undang
yang tidak menciptakan ketertiban berarti undang-undang itu kehilangan fungsinya.
Hukum demikian harus ditiadakan, dihapus. Hukum yang baik adalah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat yang tentunya
sesuai pula atau merupakan pencerminan daripada nilai yang berlaku dalam
masyarakat. Dengan kata lain hukum undang-undang sebagai kaidah sosial dalam
masyarakat bahkan dapat dikatakan hukum, undang-undang itu merupakan
pencerminan daripada nilai-nilai yang berlaku dalm masyarakat. Nilai itu tidak lepas
dari sikap dan sifat yang dimiliki orang-orang yang menjadi anggota masyarakat yang
sedang membangun itu. 128
Peran Polri dalam penyidikan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM pada
kegiatan penyelenggaraan penjualan langsung di Indonesia adalah membuat terang
dan jeas suatu tindak pidana yang dipersangkakan kepada Terlapor. Polri sebagai
Penyidik adalah diberikan kewenangan oleh KUHAP dalam Pasal 1 angka 1.
128
Ibid., hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
Sebelum membahas mengenai peran Polri dalam penyidikan kejahatan tersebut, perlu
mengetahui perbedaan penyelidikan dan penyidikan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 KUHAP, “Penyelidikan adalah serangkaian
tindakan Penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Sedangkan Penyidikan, diatur
dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP, yang menyatakan bahwa : “Penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya”.
Jadi, penyelidikan dilakukan itu dalam rangka menentukan suatu perbuatan itu
merupakan tindak pidana atau bukan, sedangkan untuk penyidikan adalah rangkaian
tindakan Penyidik untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup guna menentukan
Tersangkanya.
A.
Proses Penyidikan Polri Terhadap Tindak Pidana
1.
Dasar Dilakukan Penyidikan
Penegak hukum dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia berwenang
untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan. 129 Tata cara dan manajemen proses
129
Pasal 7 KUHAP, yang menyatakan bahwa : “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (1) huruf a. karena kewajibannya mempunyai wewenang : a. Menerima laporan atau pengaduan
dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat
kejadian; c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d.
Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. Melakukan pemeriksaan dan
Universitas Sumatera Utara
penyidikan diatur melalui Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen
Penyidikan Tindak Pidana. Tugas dan wewenang dari penyelidik salah satunya adalah
menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana sesuai
denganPasal
5 KUHAP.
Penyelidik
dalam
hal
ini
polisi
sesuai
dengan
ketentuan Pasal 1 angka 4 KUHAP, atas laporan/pengaduan tersebut mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat
atau
tidaknya
dilakukan
penyidikanberdasarkanPasal1angka2KUHAP,
penyidikan.
penyidik/polisi
Di
mencari
dalam
serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Di dalam Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (“Perkap
14/2012”), dasar dilakukan penyidikan adalah:
2.
a.
laporan polisi/pengaduan;
b.
surat perintah tugas;
c.
laporan hasil penyelidikan (LHP);
d.
surat perintah penyidikan; dan
e.
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Tahap Penyelidikan
penyitaan surat; f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. Memanggil orang untuk didengar
dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. Mengadakan penghentian penyidikan; j. Mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Universitas Sumatera Utara
Seorang penyidik dalam melaksanakan tugasnya memiliki koridor hukum
yang harus di patuhi, dan diatur secara formal apa dan bagaimana tata cara
pelaksanaan, tugas-tugas dalam penyelidikan. Artinya para penyidik terikat kepada
peraturan-peraturan, perundang-undangan, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku
dalam menjalankan tugasnya.
Dalam pelaksanaan proses penyidikan, peluang-peluang untuk melakukan
penyimpangan atau penyalagunaan wewenang untuk tujuan tertentu bukan mustahil
sangat dimungkinkan terjadi. Karena itulah semua ahli kriminalistik menempatkan
etika penyidikan sebagai bagian dari profesionalisme yang harus d miliki oleh
seorang penyidik sebagai bagian dari profesionalisme yang harus dimiliki oleh
seorang penyidik. Bahkan, apabila etika penyidikan tidak dimiliki oleh seseorang
penyidik dalam menjalankan tugas -tugas penyidikan, cenderung akan terjadi
tindakan sewenang-wenang petugas yang tentu saja akan menimbulkan persoalan
baru.
Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang mengatur
dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Pasal 1 angka 5. Penyelidik karena
kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan
barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) KUHAP, untuk
kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan
Universitas Sumatera Utara
penangkapan. Namun untuk menjamin hak hak asasi tersangka, perintah penangkapan
tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan Barang Bukti.
Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus
menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sebagaimana di
sebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. Penerapan asas ini tidak lain
adalah untuk melindungi kepentingan hukum dan hak-hak tersangka dari
kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak hukum. Selanjutnya
kesimpulan hasil penyelidikan ini disampaikan kepada penyidik.
Apabila didapati tertangkap tangan, tanpa harus menunggu perintah penyidik,
penyelidik dapat segara melakukan tindakan yang diperlukan seperti penangkapan,
larangan, meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan. Selain itu penyelidik
juga dapat meakukan pemerikasaan surat dan penyitaan surat serta mengambil sidik
jari dan memotret atau mengambil gambar orang atau kelopmpok yang tertangkap
tangan tersebut. Selain itu penyidik juga dapat membawa dang mengahadapkan
oarang atau kelompok tersebut kepada penyidik. Dalam hal ini Pasal 105 KUHAP
menyatakan bahwa melaksanakan penyelidikan, penyidikan, penyelidik dikoordinasi,
diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik.
3.
Tahap Penyidikan
Pengertian penyidikan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana yang terdapat Pada Pasal 1 butir I yang berbunyi sebagai berikut:“Penyidik
adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia Atau Pejabat Pegawai Negari Sipil
tertentunyang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
Universitas Sumatera Utara
penyidikan”. Dari pengertian penyidik tersebut, dalam penjelasan undang-undang
disimpulkan mengenai pejabat yang berwenang untuk melakukan penyidikan yaitu:
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI); dan Pejabat Pegawai Negari Sipil
(PPNS) yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan
penyidikan.
Selain penyidik, dalam KUHAP dikenal pula penyidik pembantu, ketentuan
mengenai hal ini terdapat pada Pasal 1 butir 3 KUHAP, yangmenyebutkan
bahwa:“Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang karena diberikan diberi wewenang tertentu dapat melakukan penyidikan yang
diatur dalam undang-undang ini”.
Selanjutnya mengenai pengertian penyidik pembantu diatur dalam Pasal 1
Butir 12 Undang-undang No.2 tahun 2002, yang menyatakan bahwa:“Penyidik
Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh
Kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan
diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam
Undang-undang”.
Mengenai Penyidik Negari Sipil Dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan
Pasal 7 ayat (2) KUHAP, bahwa: “Yang dimaksud dengan penyidik dalam ayat ini
adalah misalnya pejabat bea cukai, pejabat imigrasi, pejabat kehutanan yang
melakukan tugas penyelidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh
undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing”.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan mengenai penyidik dan penyidik
pembantu di atas, dapat diketahui bahwa untuk dapat melaksanakan tugas penyidikan
Universitas Sumatera Utara
harus ada pemberian wewenang. Mengenai pemberian wewenang tersebut menurut
Andi Hamzah, berpendapat bahwa 130:
“Pemberian wewenang kepada penyidik bukan semata-mata didasarkan atas
kekuasaan tetapi berdasarkan atas pendekatan kewajiban dan tanggung jawab
yang diembannya, dengan demikian kewenangan yang diberikan disesuaikan
dengan kedudukan, tingkat kepangkatan, pengetahuan serta ringannya
kewajiban dan tanggung jawab penyidik.”
Tugas penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik POLRI adalah merupakan
penyidik tunggal bagi tindak pidana umum, tugasnya sebagai penyidik sangat sulit
dan membutuhkan tanggung jawab yang besar, karena penyidikan merupakan tahap
awal dari rangkaian proses penyelesaian perkara pidana yang nantinya akan
berpengaruh bagi tahap proses peradilan selanjutnya.
Sedangkan pada Pasal 1 butir 2 KUHAP menjelaskan mengenai pengertian
penyidikan, sebagai berikut:“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Sehubungan dengan hal tersebut Yahya Harahap memberikan Penjelasan
mengenai penyidik dan penyidikan sebagai berikut 131:
“Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan ketentuan umum Pasal
1 Butir 1 dan 2, Merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan,
penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi
wewenang oleh undang-undang. Sadangkan penyidik sesuai dengan cara yang
diatur dalam undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti, dan
130
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana,(Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1986), hal. 27.
131
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan
Penuntutan, Cet. Ke-II, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hal. 101.
Universitas Sumatera Utara
dengan bukti itu membuat atau menjadi terang suatu tindak pidana yang
terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak
pidananya”
Sedangkan Andi Hamzah dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia
menyimpulkan defenisi dari Pasal 1 Butir 2 KUHAP, sebagai berikut 132:
“Penyidikan (acara pidana) hanya dapat dilakukan berdasarkan undangundang, hal ini dapat disimpulkan dari kata-kata menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini. Ketentuan ini dapat dibandingkan dengan Pasal 1
Ned.Sv. Yang berbunyi: Strafvordering heeft allen wet voorzien. (Hukum
acara pidana dijalankan hanya berdasarkan Undang-undang).”
Acara pidana dijalankan jika terjadi tindak pidana hal ini dapat disimpulkan
dari kata membuat terang tindak pidana yang terjadi, hal inilah yang tidak disetujui
oleh VanBemmelen, karena, katanya mungkin saja acara pidana berjalan tanpa terjadi
delik; contoh klasik yang dikemukakan ialah kasus Jean Clas di Prancis yang
menyangkut seorang Ayah dituduh membunuh anaknya, padahal itu tidak terjadi
namun proses pidananya sudah berjalan.Selanjutnya Andi Hamzah mengemukakan
kembali bahwa Penyidikan ialah suatu istilah yang dimaksud sejajar dengan
pengertian
Opsparing
(Belanda),
dan
Investigation
(Inggris)
atau
Penyisatan/Sjasat(Malaysia). Defenisi penyidikan dalam KUHAP. Menurut bahasa
Belanda adalah sama dengan Opsporing. 133
Berikut ini Andi Hamzah mengutip pendapat De Pinto, yang menyatakan
bahwa : “Menyidik (Opsporing). Berartipemeriksaan permulaan oleh Pejabat-pejabat
132
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi II, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006).
Lihat
juga
:
Andi
Hamzah,
Beberapa
Hal
Dalam
Rancangan
KUHAP,
http://www.mahupiki.com/assets/news/attachment/15042014095724_makalah%20%20ANDI%20HAMZAH.pdf., diakses tanggal 28 Juni 2014, hal. 3.
133
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
yang untuk itu oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun
mendengar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadinya suatu pelanggaran
hukum”. 134
Penyidikan merupakan aktivitas yurisdis yang dilakukan penyelidik untuk
mencari dan menemukan kebenaran sejati (Membuat terang jelas tentang tindak
pidana yang terjadi.
Apa yang dikemukakan tentang penyelidikan tersebut diatas Buchari Said
menyebutkansebagai aktivitas yuridis, maksudnya adalah aktivitas yang dilakukan
berdasarkan aturan-aturan hukum positif sebagai hasil dari tindakan tersebut harus
dapat dipertanggung jawabkan secara yuridis pula, karena kata yuridis menunjuk
kepada adanya suatu peraturan hukum yang dimaksud tiada lain peraturan-peraturan
mengenai hukum acara pidana. 135
Tujuan utama penyidikan adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti dapat membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 2 KUHAP.
Dalam melaksanakan tugas penyidikan untuk mengungkapkan suatu tindak
pidana, maka penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang sebagaimana
yang tercantum di dalam isi ketentuan Pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-udang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) Jo. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa wewenang
penyidik adalah sebagi berikut:
134
Ibid.
Buchari Said, Sari Pati Hukum Acara Pidana, Cet. Ke-I, (Jakarta, 1997), hal. 29.
135
Universitas Sumatera Utara
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
2. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
4. Melakukan penangkapan, penahanan,penggeledahan dan penyitaan;
5. Mengenai sidik jari dan memotret seseorang;
6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
8. Mendatang orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
9. Mengadakan penghentian penyidikan;
10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Penyidikan yang dilakukan tersebut didahului dengan pemberitahuan kepada
penutut umum bahwa penyidikan terhadap suatu peristiwa pidana telah mulai
dilakukan. Secara formal pemberitahuan tersebut disampaikan melalui mekanisme
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Hal tersebut diatur dalam
ketentuan Pasal 109 KUHAP. Namun kekurangan yang dirasa sangat menghambat
adalah tiada ada ketegasan dari kentuan tersebut kapan waktunya penyidikan harus
diberitahukan kepada Penuntut Umum.
Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib
segara menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penutut umum. Dan dalam hal
penutut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang lengkap. Penutut
Universitas Sumatera Utara
umum segera mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik disertai
petunjuk untuk dilengkapi. Apabila pada saat penyidik menyerahkan hasil
penyidikan, dalam waktu 14 Hari penutut umum tidak mengembalikan berkas
tersebut, maka penyidikan dianggap selesai.
B.
Peran Polri Dalam Penyidikan Kejahatan
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan
dalam memeliharan keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri. 136 Tugas pokok Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah 137 :
a. Memeliharan keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakkan hukum; dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Rumusan tugas pokok tersebut bukan merupakan urutan prioritas, ketigatiganya sama penting, sedangkan dalam pelaksanaannya tugas pokok mana yang akan
dikedepankan sangat tergantung pada situasi masyarakat dan lingkungan yang
dihadapi karena pada dasarnya ketiga tugas pokok tersebut dilaksanakan secara
simultan