Peran Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

(1)

PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA TERORISME

TESIS

Oleh:

HENDRA LION HUTASOIT 097005094 / ILMU HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA TERORISME

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

HENDRA LION HUTASOIT 097005094 / ILMU HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(LEMBAR PENGESAHAN)

JUDUL TESIS : PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA TERORISME NAMA MAHASISWA : HENDRA LION HUTASOIT

N.I.M. : 097005094

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

MENYETUJUI : KOMISI PEMBIMBING

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H. Ketua

Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H. Syafruddin S. Hasibuan, S.H., M.H. Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum


(4)

Telah lulus diuji pada Tanggal 28 Juni 2011

PANITIA PEGUJI TESIS :

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H.,MH Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.

2. Syafuddin S. Hasibuan, S.H.,MH., DFM 3. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum 4. Dr. Marlina, SH., M.Hum


(5)

ABSTRAK

Terorisme dapat menimbulkan ancaman terhadap keamanan dalam negeri, stabilitas negara Indonesia, hilangnya nyawa manusia, pelanggaran terhadap hak-hak hidup manusia. Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak warga negaranya. Melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, terhadap pelaku tindak pidana terorisme harus diberantas untuk mewujudkan perlindungan, pengayoman, dan penegakan hukum terhadap masyarakat. Salah satu peran Polri untuk memberantas terorisme adalah membentuk Deasemen Khusus 88 Anti Teror sebagai pasukan khusus untuk melakukan pemberantasan.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Pertama,

bagaimanakah pengaturan tindak pidana terorisme menurut Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme? Kedua,bagaimanakah peran Polri dalam melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana terorisme?

Ketiga, apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polri dan bagaimana solusi mengatasi hambatan-hambatan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme?

Metode yang digunakan dalam penelitian yaitu yuridis normatif. Penelitian dengan menggunakan metode yuridis normatif mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Undang-undang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kesimpulan dalam penelitian ini, bahwa peran Polri dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme melalui berbagai upaya dan langkah-langkah ditempuh, penerapan peraturan-peraturan hukum dan sanksi terhadap pelaku teror, serta menerapkan kebijakan penal dan non penal dengan melakukan pendekatan terhadap akar lahirnya persoalan terorisme dari sudut sosial serta melibatkan peran Detasemen Khusus 88 Anti Teror sebagai bagian terdepan melakukan penindakan. Hambatan-hambatan ditemui bersifat eksternal, internal, dan yuridis.

Diharapkan terhadap Polri dapat mengefektifkan peran Polisi Masyarakat (Polmas) secara terpadu, sebab Polmas penting sebagai deteksi dini terhadap perkembangan masyarakat setempat. Diharapkan metode atau cara harus dimiliki Densus 88 Anti Teror melakukan penangkapan pelaku tidak sampai dengan cara menembak mati teroris secara tidak manusiawi. Diharapkan pula cara yang digunakan adalah gas yang bisa ditembakkan ke arah pelaku sehingga membuat teroris pingsan menghirup gas tersebut, dengan demikian dapat meminimalisir pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Kata Kunci: Peran Polri, Detasemen Khusus 88 Anti Teror, Pemberantasan, dan Terorisme.


(6)

ABSTRACT

Terrorism can cause a threat to domestic security, Indonesian stabilization, deaths, and violation against human rights. As a constitutional state, Indonesia is responsible for protecting its people. Through law No.15/2003 on the Combating against Terrorism and law No.15/2002 on the Indonesian National Police Force, terrorists have to be combated in order to realize the protection, shelter, and legal force for the people. One of the Police’s roles in combating against terrorism is by forming Densus 88 (Special Anti-Terrorism Detachment 88) as a special force to carry out the task.

The problems which aroused in this research were as follows: First, how was the role of the police force in combating against terrorism? Secondly, what obstacles were faced by the police force and how was the solution of overcoming the obstacles in combating against terrorism?

The research used a judicial normative method. This kind of method was referred to the judicial values and norms stipulated in the legal provisions; namely, Law No. 15/2003 on the Combating against Terrorism and Law No. 2/2002 on the Indonesian National Police Force.

The results of the research showed that the Police’s role in combating against terrorism was through various efforts and measures, application of legal provisions and sanctions to terrorists, and application of penal and non-penal policy by finding out the root of terrorism problems from the social context, and involving Densus 88 as the avant garde in the operation against terrorism. The obstacles were external, internal, and judicial.

It is recommended that the Police Force should make the role of Polmas

(Public Police) become effective and integrated because Polmas is able to directly detect the condition in the community. It is also recommended that Densus 88 should have the special method in capturing terrorists without killing them since it is inhuman. The Police can shoot terrorists by gas bullets so that they will fall unconscious, and thus the police can minimize the violation against Human Rights.

Keywords: Police’s Roles, Special Anti-Terrorism Detachment 88, Combating, Terrorism


(7)

KATA PENGANTAR

Syalooomm...,

Segala sembah sujud, puji syukur, dan terimaksih penulis ucapkan kepada Allah Bapa dan Yesus Kristus atas segala cinta kasih, pertolongan, kemurahan, dan penyertaanNya selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir perkuliahan dalam bentuk Tesis pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus penulis penuhi guna menyelesaikan studi di Magister Ilmu Hukum USU Medan untuk memperoleh

gelar Magister Hukum. Tesis ini berjudul: “PERAN POLRI DALAM

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME”.

Pada kesempatan ini dengan rasa hormat dan bahagia penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini dan semua pihak yang telah menjadi bagian penting selama penulis menjalankan perkuliahan di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, yaitu :

1. Bapak Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DMT & H., MSC (CTM).,

Sp.A(K)., Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.


(8)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., Ketua Program Studi Magister Ilmu

Hukum Universitas Sumatera Utara Medan sekaligus sebagai Anggota Komisi Pembimbing II, yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan studi sampai dengan merampungnya tesis ini.

4. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.Hum., Ketua Komisi

Pembimbing tesis penulis yang telah memberikan motivasi mulai sejak awal perkuliahan sampai pada akhirnya meja hijau selalu memberikan arahan, bimbingan yang sangat membantu penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.

5. Syafuddin S. Hasibuan, S.H.,MH., DFM, Anggota Komisi Pembimbing II,

untuk bimbingan yang sangat membantu penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.

6. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi

Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum USU Medan sekaligus sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan dan pendapatnya yang membangun dalam kesempurnaaan tesis ini

7. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum., selaku Penguji dalam tesis ini

dengan penuh perhatian memberikan bantuan yang sangat besar dengan segala masukan dan arahan dalam menyelesaikan tesis ini dan


(9)

kesabarannya dalam membimbing penulis mulai dari titik awal penulisan tesis sampai dengan selesainya penulisan tesis ini tepat pada waktunya.

8. Buat kedua Orang Tua Penulis, Ayahanda Kalopas Hutasoit dan Ibunda

Arta Lina Simanjuntak, serta kedua mertua Toga Sitorus dan Herta Simanjuntak atas kasih sayang, pengorbanan, doa yang tulus dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan semoga kedua orang tua dan mertua diberikan kesehatan dan umur yang panjang.

9. Kepada seorang wanita yang luar biasa dan yang teristimewa istri tercinta Junita Sitorus SH.,M.H yang merupakan nafas kehidupanku. Terimakasih sayang buat segalanya yang tak dapat diucapkan satu persatu atas seluruh pengorbanan serta doa yang tulus kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan Magister Hukum USU. Semoga apa yang menjadi rencana dan cita-cita kita tercapai,Amin. Shmily.

10.Kepada Keluarga Besar Op. Desi dan Op. Abed/cindy atas segala doa dan

dukungan kepada penulis.

11.Kepada KADEN GEGANA BRIMOB POLDA SUMUT. Kompol

Adarma Sinaga Sik., M.Hum, yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

12.Kepada DANKI BRIMOB serta seluruh personil Brimob Kompi


(10)

dukungan moril kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan menyelesaikan pendidikan Magister Hukum USU.

13.Kepada sahabat-sahabat, Claudya Eterina Purba, S.H, M.H., dan Melda

Simamora, S.H., Mkn serta seluruh rekan-rekan angkatan XIV Kelas Hukum Ekonomi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

14.Kepada Bapak, Ibu Dosen, Staf dan Pegawai pada Program Studi Magister

Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telam memberikan bantuan dalam proses perkuliahan sampai dengan penulis menanamkan kuliahnya di Pasca Sarjana fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Semoga tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Semoga Tuhan Yesus Kristus memberikan berkat dan kasih karuniaNya kepada kita semua. Amin.

Medan, 28 Juni 2010 Penulis


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. Identitas Pribadi

Nama Lengkap : Hendra Lion Hutasoit

Tempat/Tanggal Lahir : Sidikalang / 25 Juni 1982

Agama : Kristen Protestan

Status : Menikah

Alamat : Jl. Sei Karang Nomor 1Kecamatan Sei Tualang Raso

Tanjung Balai

II. Keluarga Orangtua

NamaAyah : Kaliopas Hutasoit

Nama Ibu : Arta Lina Simanjuntak

Mertua

Laki-laki : Toga Sitorus

Perempuan : Herta Simanjuntak

Istri : Junita sitorus S.H., M.H.

III. Pendidikan

1. SD Inpres 033912 Hutagambir di kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi

(1988 – 1994)

2. SLTP Swasta Santu Paulus di Sidikalang Kabupaten Dairi (1994 – 1997)

3. SMU Swasta Santo Thomas-III Medan (1997 – 2000)

4. DIK MA BA POLRI di SPN SAMPALI (2001)

5. S-1 Fakultas Hukum, Universitas Asahan di Kisaran (2004 -2008)

6. S-2 Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 16

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian ... 16

E. Keaslian Penelitian ... 17

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 18

1. Kerangka Teori... 18

2. Landasan Konsepsional ... 30

G. Metode Penelitian ... 32

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 32

2. Sumber Data ... 34

3. Teknik Pengumpulan Data ... 35

4. Analisis Data ... 35

H. Jadwal Penelitian ... 36

BAB II : TINJAUAN TENTANG POLRI DAN TINDAK PIDANA DAN TERORISME ... 37

A. Terorisme Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ... 37

1. Tindak Pidana Secara Umum ... 38


(13)

3. Perumusan Tindak Pidana dan Subjek Dalam

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ... 44

B. Pengertian dan Karakteristik Organisasi Terorisme ... 50

1. Pengertian Terorisme ... 50

2. Karakteristik Organisasi Terorisme ... 55

BAB III : PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MELALUI PEMBENTUKAN DENSUS 88 ANTI TEROR ... 58

i. Polri dan Penegakan Hukum ... 58

1. Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Polri ... 58

2. Polri Sebagai Penegak Hukum ... 68

ii. Perkembangan Peran Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ... 73

1. Perkembangan Peristiwa Terorisme ... 73

a. Peristiwa Terorisme di Dunia... 73

b. Peristiwa Terorisme di Indonesia ... 78

2. Landasan Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme... 84

3. Kebijakan Penanggulangan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ... 89

a. Kebijakan Penal ... 90

b. Kebijakan Non Penal... 100

iii. Pembentukan Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri ... 103

1. Sejarah Pembentukan Densus 88 Anti Teror Polri ... 104

2. Struktur Organisasi, Kemampuan Personil, Peralatan, dan Pembiayaan Densus 88 Anti Teror Polri ... 108

3. Arti Lambang Densus 88 Anti Teror Polri ... 113


(14)

BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI POLRI DAN SOLUSI MENGATASI HAMBATAN-HAMBATAN DALAM

MEMBERANTAS TINDAK PIDANA TERORISME ... 121

A. Hambatan-Hambatan Dalam Memberantas Tindak Pidana Terorisme ... 121

1. Hambatan Internal ... 121

2. Hambatan Eksternal ... 123

3. Hambatan Yuridis ... 125

B. Solusi Terhadap Hambatan-Hambatan ... 131

1. Solusi Internal ... 132

2. Solusi Eksternal ... 134

3. Solusi Yuridis ... 140

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 146

A. Kesimpulan ... 146

B. Saran ... 148


(15)

ABSTRAK

Terorisme dapat menimbulkan ancaman terhadap keamanan dalam negeri, stabilitas negara Indonesia, hilangnya nyawa manusia, pelanggaran terhadap hak-hak hidup manusia. Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak warga negaranya. Melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, terhadap pelaku tindak pidana terorisme harus diberantas untuk mewujudkan perlindungan, pengayoman, dan penegakan hukum terhadap masyarakat. Salah satu peran Polri untuk memberantas terorisme adalah membentuk Deasemen Khusus 88 Anti Teror sebagai pasukan khusus untuk melakukan pemberantasan.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Pertama,

bagaimanakah pengaturan tindak pidana terorisme menurut Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme? Kedua,bagaimanakah peran Polri dalam melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana terorisme?

Ketiga, apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polri dan bagaimana solusi mengatasi hambatan-hambatan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme?

Metode yang digunakan dalam penelitian yaitu yuridis normatif. Penelitian dengan menggunakan metode yuridis normatif mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Undang-undang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kesimpulan dalam penelitian ini, bahwa peran Polri dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme melalui berbagai upaya dan langkah-langkah ditempuh, penerapan peraturan-peraturan hukum dan sanksi terhadap pelaku teror, serta menerapkan kebijakan penal dan non penal dengan melakukan pendekatan terhadap akar lahirnya persoalan terorisme dari sudut sosial serta melibatkan peran Detasemen Khusus 88 Anti Teror sebagai bagian terdepan melakukan penindakan. Hambatan-hambatan ditemui bersifat eksternal, internal, dan yuridis.

Diharapkan terhadap Polri dapat mengefektifkan peran Polisi Masyarakat (Polmas) secara terpadu, sebab Polmas penting sebagai deteksi dini terhadap perkembangan masyarakat setempat. Diharapkan metode atau cara harus dimiliki Densus 88 Anti Teror melakukan penangkapan pelaku tidak sampai dengan cara menembak mati teroris secara tidak manusiawi. Diharapkan pula cara yang digunakan adalah gas yang bisa ditembakkan ke arah pelaku sehingga membuat teroris pingsan menghirup gas tersebut, dengan demikian dapat meminimalisir pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Kata Kunci: Peran Polri, Detasemen Khusus 88 Anti Teror, Pemberantasan, dan Terorisme.


(16)

ABSTRACT

Terrorism can cause a threat to domestic security, Indonesian stabilization, deaths, and violation against human rights. As a constitutional state, Indonesia is responsible for protecting its people. Through law No.15/2003 on the Combating against Terrorism and law No.15/2002 on the Indonesian National Police Force, terrorists have to be combated in order to realize the protection, shelter, and legal force for the people. One of the Police’s roles in combating against terrorism is by forming Densus 88 (Special Anti-Terrorism Detachment 88) as a special force to carry out the task.

The problems which aroused in this research were as follows: First, how was the role of the police force in combating against terrorism? Secondly, what obstacles were faced by the police force and how was the solution of overcoming the obstacles in combating against terrorism?

The research used a judicial normative method. This kind of method was referred to the judicial values and norms stipulated in the legal provisions; namely, Law No. 15/2003 on the Combating against Terrorism and Law No. 2/2002 on the Indonesian National Police Force.

The results of the research showed that the Police’s role in combating against terrorism was through various efforts and measures, application of legal provisions and sanctions to terrorists, and application of penal and non-penal policy by finding out the root of terrorism problems from the social context, and involving Densus 88 as the avant garde in the operation against terrorism. The obstacles were external, internal, and judicial.

It is recommended that the Police Force should make the role of Polmas

(Public Police) become effective and integrated because Polmas is able to directly detect the condition in the community. It is also recommended that Densus 88 should have the special method in capturing terrorists without killing them since it is inhuman. The Police can shoot terrorists by gas bullets so that they will fall unconscious, and thus the police can minimize the violation against Human Rights.

Keywords: Police’s Roles, Special Anti-Terrorism Detachment 88, Combating, Terrorism


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejalan dengan amanat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kesatuan yang berlandaskan hukum dan memiliki tugas serta tanggung jawab untuk memelihara kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera serta turut secara aktif memelihara perdamaian dunia. Oleh sebab itu, pemerintah wajib memelihara dan menegakkan kedaulatan dan melindungi setiap warga negaranya dari ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri. Hal tersebut merupakan tujuan pembangunan nasional.

Mutlak diperlukan penegakan hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan atas segala tindak pidana yang mengancam NKRI. Hal ini diperlukan untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Peran serta Indonesia dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, Indonesia mendukung upaya

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui Komite Ad Hoc/Komite VI yang dibentuk


(18)

terorisme.1

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap peradaban yang menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta musuh dari semua agama.

Dua konvensi tersebut adalah International Convention for The

Suppression of Terrorist Bombings tahun 1997 (Konvensi Internasional

Pemberantasan Pengeboman Oleh Teroris, 1997) diratifikasi tanggal 5 April 2006 dan

International Convention for The Suppression Financing of Terrorism tahun 1999

(Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999) diratifikasi tanggal 5 April 2006.

2

Tantangan dan ancaman bagi NKRI biasanya oleh kelompok ekstrim dan radikal. Tindakan ektrim dan radikal dari sekelompok orang inilah yang menurut Ali

Oleh sebab itu, perang melawan terorisme menjadi komitmen semua negara dan semua agama di dunia. Terorisme dalam perkembangannya telah membangun organisasi dan mempunyai jaringan global dimana kelompok-kelompok terorisme internasional serta mempunyai hubungan dan mekanisme kerja sama satu sama lain baik dalam aspek operasional infrastruktur maupun infrastruktur

pendukung. Pemerintah Indonesia telah membangun pusat pelatihan Jakarta Center

for Law Enforcement Cooperation pada tanggal 3 Juli 2004 dapat difungsikan sebagai

wadah kerja sama dan saling tukar pengalaman dalam rangka meningkatkan kemampuan negara-negara memberantas kejahatan lintas negara, termasuk terorisme.

1

http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=6080, diakses tanggal 25 Desember 2010.

2


(19)

Masyhar dinamakan dengan istilah teror atau terorisme.3 Munculnya

kelompok-kelompok radikalisme dan ekstrimisme disebabkan oleh paham yang dianut bahwa “negara yang tidak adil dan menyebabkan kekecewaan terhadap penguasa (negara)”.4

Hal tersebut senada pula disebutkan oleh Poltak Partogi Nainggolan, bahwa “praktik-praktik kapitalisme ekonomi semakin rentan memunculkan aksi-aksi terorisme sebab diperlukan toleransi dan kompromistik yang dinilai justru sangat merugikan kelompok radikalisme dan ekstrimisme”.5

Terorisme, bukan saja mengancam negara-negara maju bahkan juga terjadi di negera-negara yang sedang berkembang misalnya di Indonesia. Terorisme di NKRI, berkali-kali telah telah terjadi. Hal tersebut senada dengan yang disebutkan oleh Nasir Abas dalam bukunya berjudul “Memberantas Terorisme, Memburu Noordin M. Top”, yaitu “terorisme ternyata belum mati di Indonesia”.6

Pemikiran yang menyatakan bahwa terorisme belum mati di Indonesia karena telah terjadi beberapa peristiwa teror misalnya: peristiwa Bom di Mesjid Istiqlal pada tanggal 19 April 1999, Bom Malam Natal pada tanggal 24 Desember 2000, Bom di Bursa Efek Jakarta pada bulan September 2000, penyanderaan dan pendudukan Perusahaan Mobil Oil oleh Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 2000, peristiwa Bom Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002 terjadi di Sari Club dan Peddy’s Club, Kuta,

3

Ali Masyhar., Baya Indonesia Menghadang Terorisme, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hal. 2.

4

Republika., Tanggal 15 Oktober 2002, hal. 5.

5

Poltak Partogi Nainggolan., Terorisme dan Tata Dunia Baru, (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, 2002), hal. 15.

6

Nasir Abas., Memberantas Terorisme, Memburu Noordin M. Top, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2009), hal. 13.


(20)

Bali, peledakan bom di JW Marriot pada tahun 2003, bom di depan Kantor Kedutaan Besar Australia pada tahun 2004, bom Bali II pada tahun 2005, dan sekelompok pelatihan teroris di Nangro Aceh Darussalam. Hingga kemudian Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menembak mati Noordin M. Top di Temanggung tanggal

8 Agusutus 2009.7 NKRI kembali diancam dengan aksi peledakan bom yang

mengguncang dua hotel JW Marriot dan Ritz Carlton pada tanggal 17 Juli 2009 di Kawasan Bisnis Kuningan Jakarta.8 Hingga pada akhirnya pada tahun 2010 terjadi

peristiwa perampokan terhadap Bank CIMB Niaga di Sumatera Utara pada tanggal 18 Agustus 2010 dimana bahwa pelaku perampokan bank tersebut terkait dengan jaringan organisasi terorisme dalam hal pendanaan operasional terorisme.9

Berdasarkan rangkaian peristiwa pemboman dan aksi-aksi teroris yang terjadi di wilayah NKRI telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban. Maksudnya korban dari peledakan bom tidak memandang suku, agama, ras kewarganegaraan, semuanya menjadi sasaran sebab umumnya teroris meledakkan bom tersebut di tempat-tempat keramaian bahkan bom juga diledakkan di dalam dalam Mesjid ketika melaksanakan ibadah sholat jum’at di lingkungan Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon, Jawa Barat tanggal 15 April 2011.

10

7

Noordin M. Top dikenal sebagai tokoh utama dalam terorisme berhasil ditembak mati pada tanggal 8 Agustus 2009 oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri.

8

Nasir Abas., Loc. cit.

9

http://www.antaranews.com/berita/1284997005/kapolri-perampokan-bank-cimb-niaga-terkait-terorisme, diakses tanggal 23 Desember 2010. Lihat juga, Antara News., Tanggal 20 September 2010, hal. 1.

10

http://metrotvnews.com/read/newsvideo/2011/04/15/126356/Bom-Bunuh-Diri-di-Masjid-Polresta-Cirebon-Puluhan-Terluka, diakses tanggal 20 Juni 2011.


(21)

Hal ini tentu dapat menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, dan kerugian harta benda, sehingga menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional. Ketakutan itu bukan saja terjadi pada masyarakat umumnya bahkan terhadap kaum muslimin juga menjadi ancaman. Oleh karena itu, terorisme terkait dengan jaringan internasional, tindakan terorisme ini sebagaimana disebutkan Ali Masyhar merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.11

Hilangnya nyawa manusia karena tindakan sekelompok orang yang tergabung dalam aksi terorisme, dan apapun alasannya merupakan kejahatan terhadap

kemanusiaan.12 Sebab hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar bagi

seluruh manusia. Hak hidup merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat ditawar lagi (non derogable rights).13

11

Ali Masyhar., Op. cit., hal. 3.

Dengan pengertian lain bahwa hak untuk hidup mutlak harus dimiliki setiap orang, karena tanpa adanya hak hidup, maka tidak ada hak-hak asasi lainnya. Jadi, hak hidup merupakan hak paling utama dimana setiap orang memiliki hak untuk hidup dan tidak ada orang lain yang berhak untuk menghilangkan hak hidup yang lain melalui tindakan terorisme. Akan tetapi ditentukan sanksi pidana mati (menghilangkan nyawa) pelaku terorisme yang terpidana menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan

12

Nasir Abas., Op. cit.,hal. 10.

13

I. Sriyanto., dan Desiree Zuraida., Modul Instrumen HAM Nasional: Hak Untuk Hidup,

Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan Serta Hak Mengembangkan Diri, (Jakarta: Departemen


(22)

Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT) bahwa sanksi pidana mati dalam tindak pidana terorisme dibuat karena tindakan terorisme jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan secara luas, martabat, dan norma agama. Terorisme juga telah menunjukan gerakannya sebagai tragedi atas hak asasi manusia.14

Tindakan terorisme erat kaitannya dengan pelanggaran atas hak-hak hidup manusia. Negara Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) memiliki kewajiban

untuk melindungi hak-hak warga negaranya. Salah satu bentuk perlindungan negara terhadap warga negaranya dari tindakan atau aksi terorisme adalah melalui penegakan hukum, termasuk di dalamnya upaya menciptakan produk hukum yang sesuai melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (selanjutnya disebut UUPTPT).

UUPTPT merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi sebuah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT). Pada bagian konsideran dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

(UUPTPT) disebutkan bahwa:15

Untuk memulihkan kehidupan masyarakat yang tertib, dan aman serta untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi permasalahan yang mendesak dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, maka dengan mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan terorisme, Presiden Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti

14

Abdul Wahid., Sunardi., dan Muhamad Imam Sidik., Kejahatan Terorisme: Perspektif

Agama, HAM dan Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hal. 2.

15

Penegasannya terdapat pada bagian konsideran (menimbang) huruf d Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT).


(23)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi undang-undang.

Pasal 1 Angka 1 UUPTPT mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme adalah “segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini”. Pengertian tersebut menggambarkan bahwa ruang lingkup tindak pidana terorisme menurut UUPTPT sangat luas tidak mencakup pada satu aspek saja melainkan banyak hal yang diatur dalam UUPTPT tersebut. Misalnya setiap perbuatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 UUPTPT yaitu:

1. Terhadap warga negara Republik Indonesia di luar wilayah negara Republik

Indonesia;

2. Terhadap fasilitas negara Republik Indonesia di luar negeri termasuk tempat kediaman pejabat diplomatik dan konsuler Republik Indonesia;

3. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa pemerintah

Republik Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu;

4. Untuk memaksa organisasi internasional di Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu;

5. Di atas kapal yang berbendera negara Republik Indonesia atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia pada saat kejahatan itu dilakukan; atau

6. Oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan dan bertempat

tinggal di wilayah negara Republik Indonesia.

Terorisme sebagai suatu cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain.16

16

A.C. Manullang., Menguak Tabu Intelijen, Motif dan Rezim, (Jakarta: Panta Rhei, 2001), hal. 151.

Terorisme menurut Muladi adalah penggunaan kekausaan secara tidak sah oleh indiviu-individu atau kelompok-kelompok untuk tujuan-tujuan politik, untuk


(24)

kepentingan dalam melawan kekuasaan yang ada.17

Terorisme menurut Pasal 6 UUPTPT didefinisikan bahwa tindak pidana terorisme adalah:

Tindakan terorisme adalah sebagai suatu cara penyimpangan politik menggunakan kekerasan dalam merebut kekuasaan.

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Objek-objek vital yang strategis dapat berupa infrastruktur berbasis teknologi informasi, dimana berkemungkinan sangat besar peluangnya untuk diserang kelompok teroris melalui teknologi informasi pula. Sehingga kerusakannya lebih

cenderung kepada perangkat lunak (software) dan aplikasinya, namun memiliki

dampak politis, ekonomis, keamanan, pertahanan dan ketertiban, serta dampak sosial dan psikologis lainnya.18

Tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana yang unik, karena motif dan faktor penyebab dilakukannya tindak pidana terorisme tersebut sangat berbeda dengan motif-motif dari tindak pidana lain. Salahuddin Wahid, menyatakan bahwa terorisme dilakukan dengan berbagai motivasi yaitu karena alasan agama, alasan

17

Muladi., Demokrasi HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: The Habibie Center, 2002), hal. 172.

18


(25)

ideologi, alasan untuk memperjuangkan kemerdekaan, alasan untuk membebaskan diri dari ketidakadilan, dan karena alasan kepentingan.19

Pemicu terorisme antara lain adalah pertentangan agama, ideologi, dan etnis, serta semakin melebarnya jurang pemisah antara kaya dan miskin. Selain itu, tersumbatnya komunikasi antara rakyat dengan pemerintah, jumlah penduduk yang tumbuh dan berkembang tajam, semakin meningkatnya jumlah pengangguran, generasi muda semakin banyak frustasi, munculnya orang-orang kesepian, munculnya ideologi fanatisme baru, dan paham paratisme merupakan pemicu munculnya tindakan terorisme.

20

Alasan-alasan di atas, berbeda dengan yang disebutkan Moch Faisal Salam, bahwa pemikiran yang bercorak kosmik dalam agama menjadi salah satu penyebab lahirnya pemikiran teror.

21

Pemikiran kosmik adalah kecenderungan berfikir dalam memahami suatu masalah spesifik dari sudut pandang yang umum, yang melampaui kehidupan spesifik individu tempat masalah tersebut terjadi dan untuk melandaskan pemahaman pada peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat metafisik.22

Dalam kajian Islam kontemporer, salah satu pemikiran kosmik tersebut, diuraikan oleh Jeurgenmeyer adalah pandangan Sayyid Qutb, seorang ideolog Ikhwanul Muslimin yang dihukum mati pada tahun 1966 karena ajarannya yang

19

Salahuddin Wahid., dalam Abduh Zulfidar Akaha., Terorisme dan Konspirasi Anti Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), hal. 46.

20

A.C. Manullang., Loc. cit., hal. 151.

21

Moch. Faisal Salam., Op. cit., hal. 6.

22

Azis., Avyanti., dan Harijanto., ”Sebuah Dialog Untuk Mengakhiri Mata Rantai Kekerasan: Cara Pandang Baru Tentang Terorisme”, Global Jurnal Politik Internasional, Vol. 5 No. 2, Mei 2003, hal. 10.


(26)

memicu teror. Menurut Qutb adalah “perang bukanlah larangan dalam Islam dalam

rangka memerangi semua orang musyrik”.23

Pemikiran Qutb di atas, jika dikaitkan dengan perkembangan terorisme saat ini dapat terjawab bahwa sebelum teror terjadi, pelakunya tidak mendapat penyerangan, tidak ada penghinaan, tidak disakiti dan lain-lain, akan tetapi pelaku teror itu sendiri yang memulai dan menjadikan suasana menjadi kacau oleh aksi terorismenya. Pemikiran tersebut, membuat segelintir penganut Islam konservatif menaruh kebencian terhadap dunia barat khususnya Amerika Serikat. Inilah menurut Moch. Faisal Salam merupakan suatu kedangkalan pengetahuan tentang jihad dalam Islam.

Pandangan Qutb ini menjadi semacam legitimasi bagi segelintir kaum Muslimin melakukan tindakan kekerasan, dimana bahwa Qutb juga mencela kaum yang mengaitkan jihad (berjuang atau berperang di jalan Allah) dengan tindakan defensif yaitu melawan apabila diserang.

24

Contoh yang dapat diberikan adalah seperti Asmar Latin Sani (peledakan bom di J.W. Marriot) lulusan Pesantren Nguruki telah memiliki semangat jihad sebelum bertemu dengan Noordin M. Top dan Dr. Azhari, demikian juga Heru Gulun (peledakan bom Kuningan) yang pernah mengikuti pelatihan Negara Islam Indonesia (NII) di Banten jauh sebelum berkenalan dengan Noordin M. Top dan Dr. Azhari. Setelah berjumpa dengan Noordin M. Top dan Dr. Azhari, mereka menganggab

23

Jeurgenmeyer., dalam Moch. Faisal Salam., Loc. cit., hal. 6.

24


(27)

bahwa cita-citanya untuk jihad akan tercapai. Hal ini disebabkan karena kedangkalan pemahaman mereka tentang arti jihad yang sebenarnya dalam Islam.25

Terorisme telah mengalami perkembangan modus operandinya dimana para pelaku teror, telah mahir memanfaatkan Teknologi Informasi (TI). Dalam perkembangannya pelaku terorisme bahkan telah memanfaatkan teknologi melalui media internet sebagai sarana untuk menjalin komunikasi antar sesama teroris yakni situs www.anshar.net yang dibuat oleh Agung Setyadi, dosen salah satu perguruan tinggi di Semarang, dan M. Agung Prabowo Max Fiderman alias Kalingga alias Maxhaser, mahasiswa salah satu universitas di kota Semarang, dipakai untuk menyampaikan informasi terorisme atas pesanan Noordin M. Top sebagai media informasi perjuangannya.

26

Dampak kejahatan terorisme ini sangat besar, dimana teroris dapat memanfaatkan dan menggunakan perkembangan teknologi mutakhir yang sangat maju di bidang alat peralatan, komunikasi, transportasi, bahan peledak dan senjata dalam kegiatan operasinya maka dampak aksi terorisme berskala sangat besar, luas dan kompleks dalam bentuk kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan, baik yang berbentuk fisik maupun non fisik. Dampak yang ditimbulkan tindakan terorisme adalah:27

1. Bidang politik, hukum, pemerintahan, antara lain:

a. Gangguan terhadap kehidupan demokrasi;

25

Nasir Abas., Op. cit., hal. 108.

26

Pengadilan Negeri Semarang dengan Perkara: 84/PID/B/2007 PN SMG..

27

Desember 2010.


(28)

b. Hukum dan tata tertib terganggu;

c. Roda Pemerintahan tidak berjalan lancar; d. Pada tahap tertentu isu terjadi vaccum of power; e. Suatu pemerintahan yang lemah bisa jatuh. 2. Bidang ekonomi, antara lain:

a. Gangguan terhadap mekanisme ekonomi: kegiatan produksi, distribusi

barang dan jasa, harga saham jatuh;

b. Investasi/penanaman modal menurun drastis; c. Kehancuran sarana prasarana ekonomi;

d. Timbul pengangguran dalam jumlah besar.

3. Bidang psikologi, antara lain:

a. Timbul rasa takut dalam masyarakat;

b. Akibat trauma, masyarakat bersikap apatis dan bereaksi tidak wajar. 4. Bidang sosial, antara lain:

a. Hubungan dalam masyarakat terganggu;

b. Bisa menimbulkan perpecahan dalam masyarakat;

c. Bisa menyebabkan terjadinya perubahan nilai dan pergeseran norma

dalam masyarakat.

5. Bidang keamanan, diantaranya:

a. Kemanan dan ketertiban masyarakat terganggu;

b. Ruang gerak anggota masyarakat terganggu.

6. Bidang hubungan internasional, yaitu hubungan antar negara bisa terganggu. Dampak terorisme mencakup berbagai aspek kehidupan. Oleh sebab itu, pemberantasan terorisme telah menjadi prioritas utama pemerintah dalam kebijakan politik dan keamanan secara global dan terorisme digolongkan kepada kejahatan luar buasa (extra ordinary crime) dan penangangannya pun harus dilakukan secara luar

biasa pula. Oleh sebab, Pemerintah Indonesia bertekad melakukan perang melawan terorisme dan mengambil langkah-langkah kebijakan dalam pemberantasan yang serius dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002, Perpu Nomor 2 Tahun 2002 dan Inpres Nomor 4 Tahun 2002. Landasan hukum tersebut di atas diikuti dengan penetapan Skep Menko Polkam Nomor Kep-26/Menko/Polkam/11/2002 tentang Pembentukan Koordinasi Pemberantasan Terorisme. Hampir semua negara


(29)

telah menaruh perhatian dan telah memberikan dukungan kongkrit dalam upaya pengungkapan para pelaku teror dan mengajukan para pelaku teror ke sidang pengadilan serta mengungkap jaringannya.

Perubahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 menjadi undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, diperlukan karena tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime) dan dibutuhkan

pula penanganan yang luar biasa (extraordinary measures).28

Kepolisian Republik Indonesia merupakan ujung tombak dalam memberantas pelaku tindak pidana terorisme di Indonesia, menangkap pelaku, mencegah, melakukan penyelidikan dan penyidikan, bahkan menembak mati para pelaku teror, membentuk Tim Khusus yaitu Densus 88 Antiteror yang berada pada garis terdepan DalamUUPTPT selain mengatur aspek materil juga diatur mengenai aspek formil. Sehingga, UUPTPT

merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dari Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karenanya, negara Indonesia harus memberantas tindak pidana terorisme ini melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

28

T. Nasrullah., ”Sepintas Tinjauan Yuridis Baik Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, Makalah Disampaikan Pada Semiloka tentang “Keamanan Negara”, diselenggarakan: Indonesia Police Watch bekerjasama dengan Polda Metropolitan Jakarta Raya, Selasa, 29 Maret 2007, hal. 3.


(30)

memberantas terorisme tersebut. Dapat dipastikan, peranan Polri untuk pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut tidak terlepas dari tiga fungsi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat dimana bahwa Polri harus melindungi masyarakat dari tindakn-tindakan yang mengancam jiwa warga negara Indonesia. Hal ini Polri melalui Densus 88 Antiteror harus berpedoman kepada undang-undang yang mendasari yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonsia (selanjutnya disebut UU Kepolisian).

Memberantas pelaku terorisme di Indonesia, Polri mendapat pujian dari masyarakat dunia internasional dan bukan merupakan suatu rekayasa akan tetapi sesuai dengan bukti forensik hasil pengolahan Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang cermat dan penyidikan kriminal secara ilmiah (scientific crime investigation). Bahkan

Polisi-Polisi asing datang ke Indonesia setidaknya menjadi saksi bahwa Polri bekerja secara profesional dengan standar internasional.29

Tugas dan wewenang Polri sebagaimana ketentuan Pasal 13 UU Kepolisian, ditentukan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

2. Menegakkan hukum; dan

3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Tindak pidana terorisme mengancam stabilitas keamanan masyarakat dan bahkan menjadi tolok ukur bagi negara-negara di dunia untuk menjalin hubungan

29

Wawan H. Purwanto., Kontroversi Seputar Hukuman Mati Amrozi Cs, (Jakarta: Cipta Mandiri Bangsa Press, 2008), hal. 39.


(31)

internasional dengan negara Indonesia apabila tindakan-tindakan teroris tersebut tidak segera dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Hal tersebut sangat erat kaitannya jika dikaitkan dengan fungsi Kepolisian Negara Indonesia dalam Pasal 2 UU Kepolisian disebutkan bahwa “fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Berdasarkan Pasal 2 UU Kepolisian tersebut, jelas bahwa tindakan terorisme mengancam NKRI dan Polri memiliki tugas dan fungsi serta wewenang memberantas dan menanggulangi terorisme berada pada garda terdepan.

Tindak pidana terorisme umumnya memiliki jaringan terorganisir dan dilengkapi dengan persenjataan layaknya alat persenjataan yang dimiliki oleh TNI dan Polri. Apabila tindakan teroris seperti ini dihubungkan dengan peranan Polri merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Karena selain Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polri juga diberikan hak dan wewenang oleh Negara atas persenjataan lengkap untuk menjaga stabilitas keamanan di dalam negara Indonesia termasuk ancaman dari aksi-aksi teroris yang mengancam keselamatan jiwa warga negara Indonesia.30 oleh karena itu, penting untuk dilakukan penelitian tentang

”Peran Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, sebagai judul dalam penelitian ini.

30

Awaloedin Djamin., Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia, dari Zaman Kuno Sampai Sekarang, (Jakarta: PTIK Press, 2006), hal. 493.


(32)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil tiga pokok permasalahan, yaitu:

1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana terorisme menurut Undang-undang

Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme?

2. Bagaimanakah peran Polri dalam melakukan pemberantasan terhadap tindak

pidana terorisme?

3. Apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polri dan bagaimana solusi

mengatasi hambatan-hambatan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat pada perumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan mendalami peranan Polri dalam melakukan

pemberantasan terhadap tindak pidana terorisme.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polri dan

bagaimana solusi mengatasi hambatan-hambatan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat kepada para pihak, baik secara teoritis maupun praktis, manfaat tersebut adalah:


(33)

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum khususnya pemahaman tentang sejauhmana peranan Polri dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti selanjutannya serta dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga sebagai kontribusi bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai tindak pidana terorisme di Indonesia;

2. Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum khususnya aparat Kepolisian Republik Indonesia (Polri), agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang peranan lembaga Kepolisian sebagai institusi yang diharapkan berada pada garda terdepan dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana terorisme. Peranan Polri tersebut meliputi pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya dalam praktik di lapangan.

E. Keaslian Penulisan

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka sebelumnya, peneliti telah melakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU. Hasil penelusuran ditemukan judul tesis: “Kedudukan

Pembuktian Kode Wibe Site Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, Oleh:


(34)

kedudukan alat bukti berupa informasi elektronik dalam hukum acara pidana di

Indonesia, Kedua, kekuatan pembuktian alat bukti informasi elektronik dalam

undang-undang pemberantasan tindak pidana teorisme, Ketiga, kendala-kendala

dalam pembuktian kode wibe site dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana

terorisme.

Judul penelitian di atas jika dibandingkan dengan judul dalam penelitian ini, jauh berbeda baik dari judul maupun dari permasalahan yang dibahas, dimana fokus pembahasan dalam penelitian ini dititikberatkan pada: “Peranan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme”. Oleh karena itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini, dapat dikatakan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis pihak lain.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Pemberantasan tindak pidana terorisme melalui optimalisasi peranan Polri merupakan suatu kebijakan.31

31

Ali Masyhar., Baya Indonesia Menghadang Terorisme, Op. cit., hal. 26.

Oleh sebab itu, teori-teori mengenai kebijakan hukum pidana sangatlah relevan untuk dijadikan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini. Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana terorisme di Indonesia termasuk tindak pidana khusus, dimana bahwa pengaturannya berbeda dengan tindak pidana pada umumnya, terdapat hal-hal yang dikecualikan misalnya pidana mati bagi pelaku,


(35)

pembuktian alat-alat bukti, bahkan Polri membentuk tim khusus pemberantasan tindak pidana terorisme yaitu Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror.

Pemerintah Indonesia bertekad melakukan perang melawan terorisme dan mengambil kebijakan dalam pemberantasan dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002, Perpu Nomor 2 Tahun 2002 dan Inpres Nomor 4 Tahun 2002. Landasan hukum tersebut di atas diikuti dengan penetapan Skep Menko Polkam Nomor Kep-26/Menko/Polkam/11/2002 tentang Pembentukan Koordinasi Pemberantasan Terorisme. Kemudian Perpu Nomor 1 Tahun 2002 dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 dan Inpres Nomor 4 Tahun 2002 telah ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT).

Pembentukan Densus 88 dan tekad pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut merupakan langkah-langkah atau kebijakan penanggulangan kejahatan terorisme. Menurut Amara Raksasataya, kebijakan (policy) adalah sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu

tujuan. Taktik atau strategi menurut Andi Hamzah diartikan sebagai suatu metode,

rencana untuk mencapai tujuan tertentu.32

32

Andi Hamzah., Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal. 550.

Penanggulangan kejahatan terorisme, diperlukan taktik atau strategi dan kebijakan tertentu untuk dapat memberantas


(36)

terorisme, setidaknya dapat mengurangi dan menghambat perkembangannya. Suatu kebijakan (policy) memuat tiga elemen penting yaitu:33

1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;

2. Taktik dan strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang

diinginkan; dan

3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata

dari taktik atau strategi.

Kejahatan merupakan perilaku menyimpang yang akan senantiasa ada dan melekat pada setiap individu dalam masyarakat .34 kejahatan senantiasa membayangi

kehidupan manusia karena kejahatan tersebut merupakan masalah sosial dan akan tetap menjadi urusan manusia sepanjang masa. Sebagai masalah sosial, kejahatan merupakan suatu fenomena kemasyarakatan yang dinamis yang selalu tumbuh dan terkait dengan fenomena dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks. Oleh sebab itu, kejahatan harus ditanggulangi dan diberantas karena apabila tidak ditanggulangi dan diberantas, kejahatan tersebut dapat membawa akibat-akibat sebagai berikut:35

1. Mengganggu atau merusak dan merintangi tercapainya tujuan nasional; dan

2. Mencegah penggunaan optimal dari sumber-sumber nasional.

Upaya strategis yang dilakukan dalam penanggulangan dan pemberantasan kejahatan adalah upaya membuat kebijakan hukum. Meskipun senantiasa digunakan sebagai sarana untuk mengatur kehidupan sosial, namun satu hal yang menarik adalah

33

Amara Raksasataya., dalam M. Islam Irfany., Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bina Aksara, 2002), hal 17-18.

34

Muladi., dan Barda Nawawi Arief., Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1984), hal. 148.

35

Barda Nawawi Arief., Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000), hal. 4.


(37)

bahwa hukum itu selalu tertinggal di belakang obyek yang diaturnya.36

Penggunaan upaya hukum termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial, termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum.

Hukum dimaksud dalam arti hukum positif. Hukum selalu tertinggal jauh dibelakang obyek yang diaturnya, maka sangat diperlukan kebijakan membuat pengaturan-pengaturan baru/ulang dalam menanggulangi kejahatan.

37

Sebagai masalah kebijakan secara politis, maka penggunaan hukum pidana untuk mengatasi masalah sosial tidak dapat dilakukan secara absolut. Tidak ada absolutisme dalam membuat kebijakan, karena pada hakikatnya, orang dihadapkan

pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif.38 Karena

memang politik hukum dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu politik hukum dan politik kriminal. Politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.39 Politik hukum itu

sendiri merupakan kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan dalam masyarakat untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.40

Melaksanakan politik kriminal berarti mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang lebih efektif dalam usaha penanggulangan dan

36

Satjipto Rahardjo., Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980), hal. 99.

37

Muladi., dan Barda Nawawi Arief., Op. cit., hal. 149.

38

Ibid.

39

Soedarto., Hukum dan Hukum Pidana., (Bandung: Alumni, 1981), hal. 159.

40

Soedarto., Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hal. 93.


(38)

pemberantasan kejahatan,41 tidak hanya disesuaikan dengan keadaan dan situasi pada

suatu waktu, namun juga untuk masa-masa yang akan datang.42 Soedarto,

mendefinisikan kebijakan kriminal dalam tiga pengertian yaitu:43

1. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar

dari rekasi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

2. Dalam arti luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,

termasuk di dalamnya cara-cara dari pengadilan dan Polisi; dan

3. Dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk mengeakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Menurut Soedarto, kebijakan kriminal (politik kriminal) adalah usaha yang

rasional dari masyarakat dalam menanggulangi dan memberantas kejahatan.44

Kebijakan kriminal dapat diaplikasikan melalui dua jalur yaitu jalur penal dan

nonpenal.45 A. Mulder, menyebutkan bahwa politik hukum pidana atau

strafrechtspoliiek adalah garis kebijakan untuk menentukan:46

1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau

diperbaharui;

2. Apa yang perlu diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; dan

3. Dengan cara bagaimana penyidikan, penyelidikan, penuntutatan, peradilan

dan pelaksanaan pidana harus dilakukan.

41

Soedarto., Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 114.

42

Soedarto., Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Loc. cit., hal. 93

43

Soedarto., Kapita Selekta Hukum Pidana, Op. cit., hal. 113-114.

44

Ibid.

45

G. Peter Hoefnagels., The Other Side Of Criminology, (Holland: Klower-Deventer, 1969), hal. 57.

46

A. Mulder., dalam Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 25-26.


(39)

Definisi Mulder di atas bertolak dari Marc Ancel mengenai sistem hukum pidana yang menyatakan bahwa setiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari:47

1. Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya;

2. Suatu prosedur hukum pidana; dan

3. Suatu mekanisme pelaksanaan hukum pidana.

Barda, menyebutkan bahwa operasionalisasi dan fungsionalisasi dari kebijakan hukum pidana (penal policiy) dilaksanakan melalui tiga tahap pertama

tahap kebijakan formulatif, yaitu penetapan atau perumusan hukum oleh badan

pembuat undang-undang, atau disebut juga tahap penegakan hukum in abstracto;

kedua tahap kebijakan aplikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat

pengak hukum mulai dari Kepolisian sampai kepada Pengadilan; ketiga tahap

kebijakan eksekutif, yaitu pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksanaieksekusi pidana.48

Keseluruhan proses tahap penegakan hukum pidana, maka tahap kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling penting strategis dari keseluruhan kebijakan untuk mengoperasionalisasikan sanksi pidana.49

47

Ibid., hal. 26

Hal ini karena pada tahap legislasi inilah dirumuskan konsep atau asas yang menjadi garis besar dan dasar recana di

48

Barda Nawawi Arief., Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 75.

49


(40)

dalam penegakan hukum,50 sekaligus menurut Barda, menjadi landasan legalitas bagi

dua tahap berikutnya.51 Kebijakan legislatif (formulatif) dalam penanggulangan

kejahatan meliputi:52

1. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang

akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan;

2. Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan terlarang itu (baik berupa pidana atau tindakan) dan sistem penerapannya; dan

3. Perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem

peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana.

Barda, menyebutkan bahwa kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), berpusat pada dua masalah sentral yaitu masalah penentuan:53

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau digunakan kepada si pelanggar. Membicarakan teori-teori mengenai kebijakan kriminal khususnya melalui upaya penal, dengan sendirinya akan bersentuhan dengan kriminalisasi, yang mengatur baik ruang lingkup perbuatan yang bersifat melawan hukum (actus reus),

pertanggungjawaban pidana (mens rea), maupun sanksi yang dapat dijatuhkan baik

berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment).54

50

Nyoman Serikat Putra Jaya., Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2001), hal. 49.

Soedarto, menyebutkan

51

Barda Nawawi Arief., Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Op. cit., hal. 3.

52

Muladi., dan Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 158.

53

Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. cit., hal. 29.

54

Muladi., “Kebijakan Kriminal Terhadap Cybercrime”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional: Strategi Penanggulangan Kejahatan Dalam Bidang Telematika Diselenggarakan oleh Universias Semarang Bekerjsa Sama Dengan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan RI, Semarang Tanggal 23 Juli 2002, hal. 1.


(41)

bahwa ada 4 (empat) hal yang harus diperhatikan sebelum memberi ancaman pidana (kriminalisasi) tersebut yaitu:55

1. Tujuan hukum pidana;

2. Penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki; 3. Perbandingan antara sarana dan hasil; dan

4. Kemampuan badan-badan penegak hukum.

Penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana merupakan suatu kebijakan, maka upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan kebijakan tersebut mengandung arti adanya keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial melalui upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana penal dan nonpenal. Soedarto, menekankan bahwa apabila hukum pidana digunakan, perlu dilihat berdasarkan politik kriminalnya sebagai bagian terintegral dari rencana pembangunan nasional.56

Menurut Barda, hukum pidana memiliki keterbatasan dalam menanggulangi kejahatan, misalnya sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal

tidak bersifat struktural/fungsional, keterbatasan jenis sanksi pidana, sarana

pendukung yang bervariasi menuntut biaya tinggi, dan lain-lain.57

55

Soedarto., Hukum dan Hukum Pidana., Op. cit., hal. 44-48.

Karena keterbatasan hukum pidana tersebut, maka dalam rangka penanggulangannya secara terpadu, pendekatan penal bukanlah satu-satunya pendekatan yang dapat dipakai

56

Ibid., hal. 104.

57

Barda Nawawi Arief., Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 46-47.


(42)

untuk menanggulangi kejahatan. G.P. Hoefnagels, mengatakan upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:58

1. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan

melalui media massa;

2. Penerapan hukum pidana; dan

3. Pencegahan tanpa pidana.

Pendekatan kebijakan secara non penal sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan saran lain selain hukum pidana. Dikategorikan dalam pendekatan non penal ini adalah pendidikan, pengajian atau kerohaniaan, dan lain-lain yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Upaya penanggulangan kejahatan melalui penal lebih menitikberatkan pada sifat pemberantasan (repressive)

sedangkan non penal lebih menitikberatkan pencegahan atau penangkalan (preventive).59

Upaya penanggulangan atau pencegahan kejahatan dengan cara non penal merupakan penanggulangan yang bersifat mendasar. Karena pencegahan atau penanggulangan terhadap kejahatan tidak menjadi optimal dan tidak menyelesaikan akar masalah, apabila tanpa diiringi dengan menghapus hal-hal yang menjadi penyebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan, namun hal ini bukan berarti upaya penal tidak penting dapat dikesampingkan begitu saja.

58

G.P. Hoefnagels., dalam Ali Masyhar., Op. cit., hal. 28.

59


(43)

Upaya penal merupakan sarana sangat vital dalam proses penegakan hukum (law inforcement) dalam menanggulangi kejahatan. Muladi dan Barda menyebutkan

bahwa, ”Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk

social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan

memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitatie) si pembuat pidana tanpa

mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat”. 60

Penggunaan jalur penal seharusnya hanya sebagai alternatif terakhir setelah alternatif-alternatif lain telah ditempuh. Hal ini berarti bahwa setelah upaya preventif/pencegahan (nonpenal) tidak berhasil maka tumpuan terakhir atau social

defence adalah hukum pidana. Menurut Muladi, jenis-jenis tindakan pencegahan

tindak pidana tersebut dapat berupa:61

1. Pencegahan primer, yaitu diarahkan kepada masyarakat sebagai korban

potensial maupun kepada para pelaku kejahatan yang masih belum tertangkap atau pelaku masih potensial. Kegiatan dalam hal ini dapat berupa penyehatan mental masyarakat yang bersifat abstrak dan dapat pula bersifat fisik serta teknologis;

2. Pencegahan sekunder, yaitu tindakan diarahkan kepada kelompok pelaku atau

pelaku potensial atau sekelompok korban potensial tertentu. Sebagai contoh dalam kaitannya dengan korban kejahatan perampokan nasabah bank, kejahatan perbankan, kejahatan pencurian kenderaan bermotor, dan lain-lain. Dalam hal ini bentuk-bentuk prevensi baik abstrak seperti penamaan etika profesi bagi tenaga-tenaga profesional maupun fisik dan teknologis juga dapat dilakukan; dan

3. Pencegahan tertier, pencegahan diarahkan kepada jenis pelaku tindak pidana tertentu dan juga korban tindak pidana tertentu, misalnya pelaku residivis,

pelaku kejahatan yang bersifat luar biasa (extra ordinary crime) yang

memakan banayk korban jiwa, dan lain-lain.

60

Muladi., dan Barda Nawawi Arief., Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Op. cit., hal. 92.

61

Muladi., Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Undip, 2002), hal. 100.


(44)

Jenis pencegahan dalam bentuk lain, dapat pula dirumuskan sebagai berikut: Pencegahan individual, yaitu bentuknya antara lain dapat membuat alarm keenderaan, alarm rumah, pengawal pribadi, dan lain-lain; dan Pencegahan masyarakat, dapat berupa siskamling, siskamtibmas swakarsa sebagaimana dikembangkan oleh Polri, dan lain-lain.

Pendekatan kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan, maka pendekatan kebijakan non penal merupakan pendekatan kebijakan yang mendasar, karena diorientasikan pada upaya penanggulangan faktor-faktor kondusif penyebab kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan itu sendiri.62

Faktor-faktor kondusif yang menimbulkan kejahatan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (Kongres PBB) ke-8 dalam dokumen A/CONF.144/L.3 mengidentifikasikannya sebagai berikut:63

1. Kemiskinan, pengangguran, buta huruf (kebodohan), ketiadaaan/kekurangan

perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok/serasi;

2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan)

karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimbangan-ketimbangan sosial;

3. Mengendornya ikatan sosial dan keluarga;

4. Keadaan-keadaan/kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang

beremigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain;

5. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan

adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan, dan lingkungan pekerjaan;

62

Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. cit., hal. 42.

63


(45)

6. Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya (tidak cukupnya) pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga;

7. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk

berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan kelaurga/familinya, tempat pekerjaannya atau di lingkungan sekolahnya;

8. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga

diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas;

9. Meluasnya kativitas kejahatan yang terorganisasi, khususnya perdagangan

obat bius, dan penadahan barang-barang curian;

10.Dorongan-dorongan khususnya medua massa mengenai ide-ide dan

sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan hak atau sikap-sikap yang tidak toleran.

Faktor-faktor kondusif tersebut tidak dapat semata-mata diatasi dengan kebijakan penal (kebijakan kriminal dengan jalur penal), oleh karena itu harus ditunjang dengan kebijakan nonpenal. Upaya non penal yang paling strategis adalah segala upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat (secara material dan immaterial) dari faktor-faktor kriminogen (faktor-faktor yang mendorong timbulnya tindak pidana). Hal ini berarti, masyarakat dengan sejumlah potensinya harus dijadikan sebagai faktor penangkal kejahatan atau faktor ”anti kriminogen” yang merupakan bagian integral dari keseluruhan politik kriminal.64

Kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana terorisme, nampaknya jalur penal menjadi pilihan utama dari pengambil kebijakan. Jalur penal merupakan langkah maju bila dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya, tetapi jalur penal memiliki keterbatasan, lebih-lebih dalam menghadapi tindak pidana terorisme yang

64


(46)

notabene merupakan transnational organized crime. Oleh sebab itu, harus ditunjang

dengan kebijakan non penal misalnya pendidikan, economic prevention, pendekatan

moral, social walfare, dan sebagainya.

Berdasarkan sisi sosial makro, maka terorisme muncul justru bersamaan

dengan gencarnya isu-isu pembangunan. Jauh sebelum Kongres PBB mengenai The

prevention of crime and the treatment of offenders dalam laporannya Sixth UN

Congress 1981.65

2. Landasan Konsepsional

Mensinyalir bahwa pembangunan itu sendiri dapat bersifat kriminogen apabila pembangunan itu: pertama, tidak direncanakan secara rasional

atau direncenakan secara timpang, tidak memadai/tidak seimbang; kedua,

mengebaikan nilai-nilai kultural dan moral; dan ketiga, tindak mencakup strategi

perlindungan masyarakat yang menyeluruh atau tidak terintegral.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa istilah sebagai landasan konsepsional untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman mengenai definisi atau pengertian serta istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berkut:

1. Terorisme adalah perwujudan dari sifat perbuatan dalam penggunaan atau

upaya kekerasan untuk mengintimidasi atau menyebabkan kepanikan masyarakat dan pemerintah dan mengakibatkan dampak politik.66

65

Ibid., hal. 47.

66

Bryan A. Graner., Black’s Law Dictionary Eighth Edition, (diterjemahkan oleh Ahmad Zakaria UI 2007), (St. Paul: West Thomson, 2004), hal. 15.


(47)

2. Tindak pidana terorisme adalah segala bentuk perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.67

3. Hukum pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan

perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan barang siapa yang melanggar peraturan-peraturan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana.68

4. Kebijakan hukum pidana adalah suatu upaya penanggulangan dan

pemberantasan tindak pidana dengan memadukan antara politik kriminal dan politik sosial melalui upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana penal dan nonpenal.69

5. Peranan adalah serangkaian tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu

posisi tertentu.70

6. Peranan Kepolisian adalah serangkaian tindakan oleh aparat Kepolisian

(Polisi) Republik Indonesia sesuai dengan fungsi dan wewenangnya sebagai institusi negara dalam bidang keamanan dan penegakan hukum berdasarkan undang-undang.71

67

Pasal 1 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT).

68

Andi Hamzah., Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 53.

69

Soedarto., Hukum dan Hukum Pidana., Loc. cit.

70

Indria Samego., Reformasi Berkelanjutan: Institusi Kepolisian Republik Indonesia, Bidang

Sumber Daya Manusia, Kemitraan, (Jakarta: LMUI dan Kepolisian Negara RI, 2006), hal. 7.

71

Sanoesi., Almanak Kepolisian Republik Indonesia, Berdasarkan Kadislitbang Polri No. Pol. B/394/IX/Dislitbang, (Jakarta: PT. Dutarindo ADV, 1987), hal. 342.


(48)

7. Pemberantasan adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan melalui penal dan lebih menitikberatkan pada sifat membasmi, memusnahkan, mematikan, membunuh, menghapus, mempunahkan suatu peristiwa tindak pidana yang sudah terjadi dengan kata lain yakni pemberantasan bersifat repressive.72

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.73 Sedangkan

penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan

kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.74 Penelitian hukum

merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.75

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum

72

Ali Masyhar., Op. cit., hal. 28.

73

Soerjono Soekanto., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.

74

Soerjono Soekanto., dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1.

75


(49)

yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan atau disebut juga sebagai penelitian doktrinal.76

Alasan penggunaan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif ini

adalah pertama, didasarkan pada paradigma hubungan yang dinamis antara teori,

konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan;77 kedua, data yang

dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara satu dengan lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantifisir; ketiga, sifat dasar dari data yang

dianalisis bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral (holistic),

dimana hal itu menunjukkan adanya keanekaragaman data serta memerlukan informasi yang mendalam (indepth information).78

Berdasarkan ketiga alasan penggunaan penelitian hukum normatif di atas, maka dalam penelitian ini, alasan yang digunakan adalah alasan yang petama yakni didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.

76

Bismar Nasution., ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1, penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process. Penelitian hukum normatif ini bersifat kualitatif.

77

Ibid., hal. 38.

78


(50)

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian

kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin,

pendapat atau pemikiran konseptual dari penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek yang ditelaah dalam penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, karya ilmiah, makalah dan karya lainnya.

Data pokok dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang meliputi:

1. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme (UUPTPT) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia;

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah hasil-hasil seminar atau hasil pertemuan ilmiah lainnya, majalah dan jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, surat kabar, majalah mingguan, dan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan dalam penelitian ini;79

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum (ensiklopedia) dan kamus hukum.

79

Ronny Hanitijo Soemitro., Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 24.


(1)

______dan Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992.

Mulyadi, Mahmud., Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008.

Mulyadi, Lilik., Pengadilan Bom Bali, Perkara Amrozi, Imam Samudra, Ali Ghufron, dan Ali Imron alias Alik, Jakarta: Djambatan, 2007.

Murdiyarso, Daniel., Protokol Kyoto: Implikasinya Pada Negara-Negara Berkembang, Jakarta: Kompas, 2003.

Nainggolan, Poltak Partogi., Terorisme dan Tata Dunia Baru, Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, 2002. Priatmodjo, Galih., Densus 88 The Undaercover Squad-Mengungkapkan Kesatuan

Elit “Pasukan hanut” Anti Teror, Yogyakarta: Narasi-Anggota IKAPI, 2010. Prodjodikoro, Wirjono., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, cet. 3, Bandung: PT.

Rafika Aditama, 2003.

Purwanto, Wawan H., Kontroversi Seputar Hukuman Mati Amrozi Cs, Jakarta: Cipta Mandiri Bangsa Press, 2008.

Rahardjo, Satjipto., Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980.

Rasjidi, Lili dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Mandar Maju, 2003.

Remmelink, Jan., Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 2003.

Salam, Moch. Faisal., Motivasi Tindakan Terorisme, Bandung: Mandar Maju, 2005. Samego, Indria, Reformasi Berkelanjutan: Institusi Kepolisian Republik Indonesia,

Bidang Sumber Daya Manusia, Kemitraan, Jakarta: LMUI dan Kepolisian Negara RI, 2006.

______Peranan Polri Dalam Kerangka Kerja Sistem Keamanan Nasional, Jakarta: Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2006.

Sanoesi, Almanak Kepolisian Republik Indonesia, Berdasarkan Kadislitbang Polri No. Pol. B/394/IX/Dislitbang, Jakarta: PT. Dutarindo ADV, 1987.

Sianturi, S.R., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem Petehaem, 1989.


(2)

______Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung: Sinar Baru, 1983.

______Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981.

Soemitro, Ronny Hanitijo., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

Soekanto, Soerjono., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indonesia Hillco, 1990.

______Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Rajawali, 1983.

______dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001.

Soetriadi, Ewit., Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Dengan Hukum Pidana, Tesis, Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2008.

Sudarto., Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981. Suradji, Adjie., Terorisme, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.

Sunggono, Bambang., Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Sriyanto, I., dan Desiree Zuraida., Modul Instrumen HAM Nasional: Hak Untuk Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan Serta Hak Mengembangkan Diri, Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2001.

Syahrani, H. Ridwan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Tim Medpress., Petualangan Teror Dr. Azahari, Berkawan Dengan Bom, Yogyakarta: Media Pressindo, 2005.

Wahid, Abdul., Sunardi., dan Muhamad Imam Sidik., Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2004.

Waluyo, Bambang., Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Warassih, Esmi, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: Suryandaru

Utama, 2005.

Wilkinson, Paul., Terrorism and the Liberal State London: The Macmillan Press Ltd., 1977.


(3)

B. Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme (UUPTPT).

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (UU Kepolisian).

C. Makalah, Jurnal, dan Artikel

Abdullah, Abdul Gani., “Undang-Undang Terorisme dan Penerapannya di Indonesia”, Makalah sebagai bahan diskusi dalam Forum Diskusi Masalah Hukum dan Terorisme, tanggal 18-19 Februari 2005 di Novotel Bogor.

Azis., Avyanti., dan Harijanto., ”Sebuah Dialog Untuk Mengakhiri Mata Rantai Kekerasan: Cara Pandang Baru Tentang Terorisme”, Global Jurnal Politik Internasional, Vol. 5 No. 2, Mei 2003.

Bahtiar Marpaung., “Aspek Hukum Pemberantasan Terorisme di Indonesia”, Jurnal Equality, Vol. 12, No. 2 Agustus 2007.

Ben Golder., dan George Williams., “What is Terrorism? Problems of Legal Definition,” UNSW Law Journal, Vol. 27, February 2003.

Khan, Ali., “A Legal Theory of International Terrorism,” Journal Connecticut Law Review, 1982.

Muladi., ”Kebijakan Kriminal Terhadap Cybercrime”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional: Strategi Penanggulangan Kejahatan Dalam Bidang Telematika Diselenggarakan oleh Universias Semarang Bekerjsa Sama Dengan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan RI, Semarang Tanggal 23 Juli 2002.

Nasution, Bismar., ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003.

Nasution, Sofyan, “Upaya Mendorong Birokrasi Pemerintah Berlandaskan Prinsip-Prinsip Good Governance”, Makalah Disampaikan pada Seminar tentang Diseminasi Policy Paper, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara.

Nasrullah, T., ”Sepintas Tinjauan Yuridis Baik Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, Makalah Disampaikan Pada Semiloka tentang “Keamanan Negara”, diselenggarakan: Indonesia Police Watch bekerjasama dengan Polda Metropolitan Jakarta Raya, Selasa, 29 Maret 2007.


(4)

Record, Jeffrey., “Bounding The Global War On Terrorism,” Journal Strategic Studies Institute, December 2003.

Suprapto, Bekto., “Pengalaman Investigasi Kasus Terorisme di Indonesia dan Permasalahannya”, Makalah disampaikan pada Seminar Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta, tanggal 28 Juni 2001.

D. Surat Kabar

Republika., Tanggal 15 Oktober 2002. Gatra., tanggal 19 November 2005. Tempo., tanggal 28 November 2005. E. Internet

http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=6080, diakses tanggal 25 Desember 2010.

http://www.antaranews.com/berita/1284997005/kapolri-perampokan-bank-cimb-niaga-terkait-terorisme, diakses tanggal 23 Desember 2010. Lihat juga, Antara News., Tanggal 20 September 2010, hal. 1.

http://indonesia.heartnsouls.com/cerita/d/c370.shtml, diakses tanggal 16 Juni 2011.

tanggal 26 Desember 2010.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0210/15/opini/tero30.htm, diakses 12 Juli 2010.

http://www.britannica.com/eb/article-9071797/terrorism, diakses 23 Maret 2011. http://myweb.wvnet.edu/~jelkins/crimlaw/basic/mpc.html, diakses terakhir tanggal 23

Maret 2011.

http://buletinlitbang.dephan.go.id/, diakses tanggal 15 Maret 2011.

http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_terorisme, diakses tanggal 25 Maret 2011. http://oldposts.binsarspeaks.net/?p=90, diakses tanggal 27 Maret 2011.

http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5070643, diakses tanggal 27 Maret 2011. http://ayodonkbaby.blogspot.com/2009/07/bom-lagi.html, diakses tanggal 27 Maret

2011.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2002/10/21/LU/mbm.20021021.LU81897 .id.ht, diakses tanggal 27 Maret 2011.

http://seputar-bali.blogspot.com/2007/11/tragedi-bom-bali-2002.html, diakses tanggal 27 Maret 2011.


(5)

http://www.hudzaifah.org/PNphpBB2-viewtopic-t-117.phtml, diakses tanggal 27 Maret 2011.

http://mafiaindonesia.blogspot.com/2008/11/catatan-serangan-teroris-indonesia.html, diakses tanggal 27 Maret 2011.

http://arulalmy.wordpress.com/2009/07/22/teror-ledakan-bom-jw-marriot-dan-ritz-carlton/, diakses tanggal 27 Maret 2011.

http://www.austlii.edu.au/au/legis/cth/consol_act/cca1995115/, diakses tanggal 26 Maret 2011.

http://karodalnet.blogspot.com/2011/03/teror-bom-buku-marak.html, diakses tanggal 28 Maret 2011.

http://www.polri.go.id/, diakses tanggal 29 Maret 2011.

http://www.malukunews.com/?p=3111, diakses tanggal 28 Maret 2011.

http://www.sejarahtni.mil.id/index.php?show=script&cmd=loadnews&newsid=2133, diakses tanggal 28 Maret 2011.

http://ekojuli.wordpress.com/2009/08/08/akhirnya-nurdin-m-top-ditembak-mati/, diakses tanggal 29 Maret 2011.

http://asaborneo.blogspot.com/2009/07/sejarah-dan-kiprah-detasemen-khusus.html, diakses tanggal 29 Maret 2011.

http://www.rakyatmerdeka.org/news.php?id=368, diakses tanggal 5 Juni 2011.

http://hukum.kompasiana.com/2011/02/11/mengatasi-kekerasan-penegakan-hukum-ala-densus-88/, diakses tanggal 8 Juni 2010.

http://www.voa-islam.com/counter/liberalism/2011/04/01/13979/memerangi-syariat-islam-berkedok-perang-melawan-terorisme/, diakses tanggal 12 Mei 2011. http://m.inilah.com/read/detail/132268/teror-bom-ji-dan-dunia-barat, diakses tanggal

12 Mei 2011.

http://abisyakir.wordpress.com/2011/04/22/terorisme-dan-kemunafikan-orangindonesia/, diakses tanggal 12 Mei 2011.

http://muradi.wordpress.com/2007/06/15/reformasi-brimob-polri-antara-tradisi-militer-dan-kultur-polisi-sipil/, diakses tanggal 8 Juni 2011.

http://hukum.kompasiana.com/2011/02/11/mengatasi-kekerasan-penegakan-hukum-ala-densus-88/, diakses tanggal 8 Juni 2010.

http://www.hilman.web.id/posting/blog/918/densus-88-bin-brimob-dan-koppasus-pasukan-elit-untuk-sipil-dan-militer.html?idv=199, diakses tanggal 8 Juni 2011.


(6)

http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=7242, diakses tanggal 8 Juni 2011.

http://www.sejarahtni.mil.id/index.php?show=script&cmd=loadnews&newsid=2133, diakses tanggal 28 Maret 2011.

http://metrotvnews.com/read/newsvideo/2011/04/15/126356/Bom-Bunuh-Diri-di-Masjid-Polresta-Cirebon-Puluhan-Terluka, diakses tanggal 20 Juni 2011.