Prevalensi dan Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Pediculosis capitis di Panti Asuhan Yayasan Amal Sosial Al-Washliyah

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Pediculosis Capitis

2.1.1.

Definisi
Pediculosis Capitis disebut juga infestasi kutu kepala yang disebabkan

oleh Pediculus humanus capitis. Pediculus humanus capitis merupakan
ektoparasit obligat yang ditemukan pada rambut dan kulit kepala dan menular
melalui kontak fisik. Sifat kutu kepala yang menghisap darah dapat menyebabkan
anemia, sementara bekas garukan akibat gatal dapat menyebabkan infeksi
sekunder (Nutanson et al., 2008 ; Yousefi et al., 2012).

2.1.2. Epidemiologi

Pediculosis capitis menginfeksi manusia diseluruh dunia dan prevalensi
terbanyak terutama pada anak-anak. Berdasarkan penelitian tahun 2011 di kota
Iran di Provinsi Kurdistab di Kota Sanadaj ditemukan 4,7% terinfeksi pediculosis
capitis. Didapatkan infeksi pediculosis capitis lebih tinggi pada usia antara 10 –
11 tahun (50%) daripada usia diatas 12 tahun (5,4%) (Rafinejad et al, 2012). Di
Bangldesh prevalensi pediculosis capitis ditemukan 59,67% dari usia 1 – 7 tahun
(Karim et al., 2014).
Di Bangkok prevalensi pediculosis capitis ditemukan 23,32% pada usia
anta 5 – 12 tahun. Didapatkan infeksi pediculosis capitis lebih banyak terjadi pada
usia sekitar 8 tahun (55,89%) daripada usia sekitar 12 tahun (26,07%) dan terjadi
lebih banyak pada anak perempuan daripada anak laki-laki (Rassami & Soonwera,
2012).
Di Indonesia data mengenai pediculosis capitis masih kurang, namun
berdasarkan dari survei penelitian sebelumnya yang dilakukan pada sebuah
pesantren Muhammaddiyah di Surakarta ditemukan 72,1% terinfeksi pediculosis
capitis (Ansyah, 2013).

6

2.1.3. Etiologi dan Patogenesis

Pediculus humanus capitis atau kutu kepala termasuk ordo Anoplura,
filum Pediculidae, genus Pediculus. Kutu kepala merupakan jenis kutu yang tidak
bersayap dan berukuran antara 1 – 3 mm. Jenis betina biasanya lebih besar
daripada jantan, berwarna putih sampai abu – abu. Jantan rata-rata berukuran 2
mm sedangkan betina rata-rata berukuran 3 mm. Kutu ini menginfestasi bagian
kepala terutama di bagian belakang telinga dan bagian belakang kepala berbatasan
dengan leher. Telur-telur yang disebut nits berbentuk oval, berwarna putih,
diletakkan menempel pada rambut. Jumlah telur yang diletakkan seekor betina
berkisar antara 50 – 150 butir nits dan menetas menjadi nimfa sesudah 3 – 10 hari
(Harword & James, 1979). Perkembangan nits sangat cepat. Nits ada tiga lapisan
dan siklus hidup dari telur sampai menjadi dewasa berkisar tiga minggu dan lama
hidup dapat mencapai 30 – 40 hari. Bentuk dewasa hidup dengan menghisap
darah manusia (Sembel, 2009).

Gambar 2.1. Pediculus Humanus Capitis (kutu kepala). Betina dewasa memiliki
perut sedikit lebih besar dibandingkan jantan.
(Gunning, 2012)
Siklus hidup pada kutu kepala dimulai dengan adanya peletakan telur yang
ditempelkan pada rambut kepala. Sesudah 3 – 4 hari, telur menetas menjadi
nimfa, mengalami tiga kali pengupasan kulit, dan menjadi kutu dewasa (Sembel,


7

2009). Sesudah tiga kali mengalami pengupasan kulit, nimfa akan berubah
menjadi tuma dewasa dalam waktu 7 sampai 14 hari lamanya (Soedarto, 1992).

Gambar 2.2. Telur kutu kepala. Telur yang hidup bulat, transparan dan mengkilap,
dengan warna keputihan-merah muda.
(Momcuoglu, Gilead & Inger, 2009)
Dua puluh empat jam sesudah terjadi perkawinan kutu jantan dan betina,
serangga betina akan meletakkan telur sebanyak 7 – 10 telur (nits) setiap hari.
Lama hidup kutu kepala dapat mencapai 30 hari dan hidup dengan menghisap
darah manusia. Mereka tidak dapat hidup tanpa darah dalam waktu 15 – 20 jam.
Nimfa dan bentuk dewasa menghisap darah dengan menginjeksikan salivanya ke
kulit dimana hal ini dapat menyebabkan gatal sehingga penderita akan menggaruk
kepala. Kutu pada umumnya menghisap darah lima kali dalam sehari (Sembel,
2009; Cabrera & Richards, 2014).

8


Gambar 2.3. Siklus hidup Pediculus humanus capitis memiliki tiga tahap : telur,
nimfa, dan kutu dewasa.
(CDC)
Kutu mudah menular melalui kontak fisik, rambut yang rontok, dan yang
lainnya, walaupun pada beberapa kasus dapat terjadi pada kondisi sanitasi yang
baik, terutama pada anak sekolah (Harword & James, 1979).

2.1.4. Manifestasi klinis
Manusia yang terinfeksi pediculosis capitis umumnya asimtomatik.
Gigitan pediculus humanus capitis dapat menyebabkan rasa gatal dan sering
menyebabkan luka pada kepala. Apabila terjadi intensitas yang sering bisa
menjadi cukup berat, ini sering terjadi dan merupakan gejala klinis yang utama
(Martinez-Diaz & Mancini, 2010; Susana & Sembiring, 2011).

9

Gambar 2.4. Nits kutu kepala. Sejumlah nits kutu kepala menempel di rambut.
(Graham-Brown& Burns, 2005)
Rasa gatal terasa 3 – 4 minggu setelah infeksi pertama. Reaksi gigitan
sangat kecil dan jarang terlihat diantara rambut. Bekas gigitan dapat dilihat

terutama pada leher dengan rambut panjang ketika rambut panjang tersebut
dikesampingkan. Pada kasus yang jarang bekas gigitan dapat menyebabkan
infeksi sekunder dengan impetigo dan pyoderma. Pembengkakan pada kelenjar
limfa dan demam kadang muncul, tetapi reaksi alergi pada gigitan sangat jarang
(Momcuoglu, Gilead & Inger, 2009).
Pediculus capitis biasanya menyerang kulit kepala dimana telurnya sering
dijumpai pada regio occipital dan retro auricular (Stone, Goldfarb & Bacelierii,
2008).

10

Gambar 2.5. Bekas gigitan Pediculus humanus capitis.
(Momcuoglu, Gilead & Inger, 2009)
2.1.5. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan jika terdapat rasa gatal-gatal dengan bekas
garukan dan dipastikan jika ditemukan kutu dewasa atau telurnya (Soedarto,
1992).
Gold Standard diagnosis kutu kepala dengan menemukan kutu hidup,
nimfa, atau telur hidup. Karena kutu kepala menghindari cahaya dan berjalan
cepat, inspeksi tanpa menyisir rambut susah untuk dilakukan. Menggunakan sisir

kutu meningkatkan kemungkinan menemukan kutu hidup dan merupakan alat
skrining yang berguna. Diagnosis penyakit kutu menggunakan sisir kutu 4 kali
lebih efisien dibandingkan inspeksi langsung (Nutanson et al., 2008).

11

Gambar 2.6. Sisir kutu
(MedlinePlus)
Metode yang paling memungkinkan untuk mendiagnosis infestasi kutu
kepala yang aktif dapat dilakukan dengan menggunakan sisir kutu. Sisir kutu
dapat digunakan pada rambut dengan keadaan basah atau kering. Sisir kutu harus
memiliki jarak setiapnya kurang daro 0.3 mm antara gigi-gigi sisir, sehingga
nimfa dan kutu dewasa dapat terperangkap diantara gigi-gigi sisir kutu tersebut
(Feldmeier, 2010). Bentuk dewasa sering kali dapat bergerak sehingga sulit sekali
ditangkap. Sementara itu, telur-telur yang berukuran kecil dapat ditemukan bila
dicari secara teliti. Telur kutu yang belum menetas bila dipijit antara dua kuku
akan pecah dan mengeluarkan cairan, sedangkan telur yang menetas akan menjadi
kempis (Sembel, 2009).

2.1.6.


Diagnosis Banding
Menurut Handoko diagnosis banding dari pediculosis capitis adalah :
1. Tinea kapitis
2. Pioderma (impetigo krustosa)
3. Dermatitis seboroik
Pediculosis capitis juga bisa terlihat seperti Seborrheic scales, artifacts on

the hair (contoh : hair spray) dan Hair cast. Pertimbangkan juga kemungkinan
white piedra, black piedra dan parasit lain (Stone, Goldfarb & Bacelierii, 2008).

12

2.1.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pediculosis capitis bertujuan untuk memusnahkan
kutu

dan

telur


serta

mengobati

infeksi

sekunder

(Handoko,

2002).

Penatalaksanaan yang terbukti baik dalam menangani pediculosis capitis termasuk
insektisida topikal, agen oral dan sisir basah (Finlay & MacDonald, 2014).
Permetrin, bersifat toksis terhadap Pediculosis humanus, Pthirus pubis,
dan Sarcoptei scaibei. Kurang dari 2% dari obat yang dioleskan diserap secara
perkutan. Obat residual tetap tinggal hingga 10 hari setelah pemberian. Krim bilas
permetrin 1% dianjurkan untuk digunakan tanpa diencerkan pada area pediculosis
selama 10 menit dan kemudian dibilas dengan air hangat (Katzung, 2010).

Malation, adalah organofosfat (acetilcholinesterase inhibitor) yang
menyebabkan paralisis pernapasan pada kutu. Cara penggunannya, krim malation
diaplikasikan ke rambut, kemudian biarkan kering, selanjutnya cuci bersih setelah
8 – 12 jam. Diaplikasikan kembali apabila dalam 7 – 10 hari ditemukan kutu
hidup. Malation digunakan dalam kondisi dimana penderita resisten terhadap
pedikulisida lain yang diduga sebagai pedikulisida yang kuat (Nutanson et al.,
2008).
Lindan, merupakan organoklorida yang bisa bersifat toksis pada sistem
saraf pusat manusia. Studi absorpsi perkutan menggunakan larutan lindan dalam
aseton menunjukkan bahwa hampir 10% dosis yang digunakan pada lengan
bawah diserap, kemudian akan diekskresi dalam urin selama 5 hari. Setelah
absorpsi, lindan menumpuk dalam jaringan lemak, termasuk otak. Cara
penggunaannya, lindan dalam bentuk sampo digunakan 30 mL pada rambut yang
kering selama 4 menit dan kemudian dibilas. Apabila ditemukan kutu setelah 1
minggu terapi, lakukan lagi hal yang sama (Nutanson et al, 2008; Katzung, 2010)
Ivermektin, produk ini adalah obat antihelmintik yang struktur kimianya
menyerupai dengan antibiotik golongan makrolida tanpa ada aktivitas antibakteri.
Dosis oral 200 mcg/kgbb, diulangi setelah 10 hari, dan diketahui efektif terhadap
kutu kepala. Jika ivermectin melewati sawar darah otak, obat ini mengahambat
transmisi neurotransmitter, anak kecil memiliki resiko besar mengalami efek

samping ini. Sehingga, ivermectin tidak dianjurkan pada anak dengan berat badan

13

dibawah 15 kg. FDA (Food and Drug Administration) tidak menganjurkannya
sebagai pediculicide (Frankowski & Weiner, 2002).
Trimetoprim/sulfometoxazole, antibiotik ini membunuh bakteri simbiotik
pada usus kutu atau mungkin efek toksik pada kutu. Studi terakhir
mengindikasikan peningkatan aktivitas antibiotik ini jika dikombinasikan dengan
permetrin 1% dibandingkan permetrin 1% atau trimetoprim sendiri. Walaupun
kelompok perlakuan pada penelitian ini sedikit. Reaksi alergi berat yang jarang
(Stevens-Johnson syndrome) pada pengobatan ini membuat obat ini tidak
diinginkan jika ada alternatif lain. Obat ini belum diakui FDA (Food and Drug
Administration) sebagai pediculicide (Frankowski & Weiner, 2002).
Penatalaksanaan sederhana yang lain adalah sisir basah, caranya dengan
mencuci rambut dengan sampo kemudian diikuti dengan penggunaan kondisioner
dalam jumlah yang banyak. Rambut kemudian disisir dengan menggunakan sisir
yang giginya kecil-kecil dan rapat, sehingga semua kutu dapat terangkat.
Tindakan ini diulangi setiap 4 hari selama 2 minggu (Burns & Graham-Brown,
2005).

Menurut CDC

(2003)

dalam Sembel

(2009) merekomendasikan

pengendalian infestasi pediculosis sebagai berikut :


Mengobati penderita pediculosis bersama anggota-anggota keluarga dan
menggunakan pediculicide sesuai instruksi dalam label;



Mencuci semua pakaian yang terkontaminasi termasuk seprai dan handuk
dengan menggunakan air panas.

2.1.8. Komplikasi
Gigitan kutu akan menimbulkan iritasi pada kulit yang disebabkan oleh air
liur kutu yang dikeluarkan pada waktu mengisap darah penderita. Iritasi kulit ini
dapat bertahan selama beberapa hari. Ciri-ciri khas terjadinya gigitan kutu adalah
terbentuknya papula yang berwarna merah disertai dengan gatal-gatal yang hebat.
Kulit akan membengkak disertai dengan pembentukan cairan. Infestasi yang terus
menerus dengan parasit ini akan menyebabkan kulit menjadi keras dan mengalami
pigmentasi. Kelainan ini dikenal sebagai morbus errorum atau vagabond’s

14

disease. Jika oleh karena garukan-garukan terjadi infeksi sekunder, maka akan
mengakibatkan timbulnya pustula, krusta dan proses pernanahan. Penderita dapat
juga mengalami gangguan tidur dan depresi mental (Soedarto, 1992).

2.1.9. Pencegahan
Mencegah pediculosis capitis secara total sepertinya tidak mungkin. Anakanak sering kontak antara kepala dengan kepala. Ajarkan kepada anak-anak untuk
tidak meminjamkan barang mereka seperti sisir, sikat, dan topi. Di dalam
lingkungan dimana anak-anak sering bersama, orang dewasa harus waspada
terhadap tanda dan gejala dari pediculosis, dan anak-anak yang terinfeksi harus
segara diobati untuk mencegah penularan kepada orang lain (Frankowski &
Weiner, 2002).

15

2.2.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pediculosis Capitis

2.2.1. Usia
Pediculosis capitis sering menyerang anak-anak , dan resiko paling tinggi
terjadi pada usia 3 – 12 tahun (Cabrera & Richards, 2014).
2.2.2. Jenis Kelamin
Kutu kepala lebih sering dijumpai pada anak perempuan dan wanita
daripada anak laki-laki dan pria (Goodheart, 2002).

2.2.3. Menggunakan tempat tidur/ bantal bersama
Pediculus humanus capitis dapat menyebar melalui kontak fisik yang
dekat. Pediculus humanus capitis dapat bertahan hidup 1 – 2 hari apabila tidak di
kepala dan dalam keadaan terntentu dapat bertahan sampai 4 hari (Stone, Goldfarb
& Bacelieri, 2008). Sehingga apabila seseorang yang terinfeksi meletakkan
kepalanya di suatu tempat atau tempat tidur atau bantal maka kutu dapat terjatuh
dan orang lain dapat terinfeksi.

2.2.4.

Menggunakan sisir/aksesoris rambut bersama
Pediculus humanus capitis, umumnya tetap berada pada tempatnya

(kepala) dan berpindah melalui sisir, sikat rambut, dan topi yang bercampur aduk
(Sembiring & Susana, 2011).

2.2.5. Panjang rambut
Pediculosis capitis biasanya lebih umum terjadi pada anak perempuan.
Namun, dengan sedemikian banyaknya kaum lelaki yang memelihara rambut
panjang, maka bukanlah tidak mungkin bahwa saat ini kaum lelaki juga sudah
banyak terinfeksi pediculosis capitis. Hal ini dikarenakan pediculosis capitis
sering terjadi pada anak yang berambut panjang (Sembel, 2009).

16

2.2.6. Frekuensi mencuci rambut
Frekuensi anak-anak mencuci rambut berhubungan dengan terjadinya
pediculosis capitis (Manrique-Saide, 2011). Anak-anak yang belum mengerti
tentang kebersihan dan higiene rambut kepala lebih sering terkena penyakit ini
(Siregar, 2004).

2.2.7. Bentuk rambut
Kutu kepala lebih sering ditemukan pada rambut keriting. Oleh karena itu,
kutu ini jarang ditemukan pada orang Amerika-Afrika, tetapi tidak pada orang
Afrika (Goodheart, 2002).

2.3.

Panti Asuhan
Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) adalah panti sosial yang mempunyai

tugas memberikan bimbingan dan pelayanan bagi anak yatim, piatu, dan yatim
piatu yang kurang mampu, terlantar agar potensi dan kapasitas belajarnya pulih
kembali dan dapat berkembang secara wajar (Kepmensos, 2004).
Bagi kebanyakan anak, panti asuhan memberikan lingkungan hidup yang
aman yang memberinya rasa aman dan kesempatan untuk bertumbuh kembang
secara fisik dan mengembangkan potensi yang dipunyainya (Bolding and Forman,
1999).