Isolasi Dan Elusidasi Struktur Kimia Flavonoida Dari Daun Pala (Myristica fragrans Houtt) dan Uji Aktivitas Antioksidan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Myristica fragrans
Pala (Myristica fragrans) merupakan tumbuhan berupa pohon yang berasal dari
kepulauan Banda, Maluku. Semenjak zaman eksplorasi Eropa Pala tersebar luas di
daerah tropika lain seperti Mauritius dan Karibia (Grenada). Tumbuhan ini berumah
dua (dioecious) sehingga dikenal pohon jantan dan pohon betina. Daunnya berbentuk
elips langsing. Buahnya berbentuk lonjong seperti lemon, berwarna kuning,
berdaging dan beraroma khas karena mengandung minyak atsiri pada daging
buahnya. Bila masak, kulit dan daging buah membuka dan biji akan terlihat
terbungkus fuli yang berwarna merah. Satu buah menghasilkan satu biji berwarna
coklat. Anatomi tumbuhan Pala ditunjukkan pada Gambar 2.1.

a

b

Gambar 2.1. Anatomi Tanaman Pala. Pohon Pala (a); Daun dan biji Pala (b)
Bunga Pala mengandung senyawa lignan dan bersifat sebagai antioksidan
dengan EC50 0,6 mg/mL (Chatterjee, 2007). Gopalarkishnan & Mathew, (1983)

melaporkan bahwa ekstrak biji Myristica fragrans mengandung senyawa (-)
epikatekin dan bersifat antioksidan. Beberapa senyawa kimia yang telah diisolasi dari

bagian tumbuhan Pala seperti biji, buah, batang dan aril dapat dilihat pada Gambar
2.2.
CH

O

O

CH

3

HO

CH

3


3

H 3C

CH

3

H 3C

H 3C

HO

CH

3

CH


CH

3

O

O

2

O

OH

Meso-asam dihidroguaiaretat

-phellandren

Eritro-austrobalignan-6

O
CH

O
O

O

CH
3

3

OH
CH

O

CH


3

2

H 3C
O

HO

O

H 3C

H 3C

O

safrol

argenteane


isoeugenol
carvacrol
eugenol
-cariophillen
Gambar 2.2 Komponen senyawa kimia dalam Pala (Gupta dan Deepak, 2011)

Klasifikasi ilmiah tanaman Pala yaitu
Kerajaan

:

Plantae

Divisi

:

Magnoliophyta


Kelas

:

Magnoliopsida

Ordo

:

Magnoliales

Famili

:

Myristicaceae

Genus


:

Myristica

Spesies

:

M. fragrans Houtt

2.2. Senyawa Flavonoid
Senyawa flavonoid adalah senyawa polifenol yang mempunyai kerangka dasar
karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzen (C 6) terikat pada
suatu rantai propan (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6. Susunan ini
dapat menghasilkan 3 jenis struktur, yaitu 1,3-diarilpropana atau flavonoid, 1,2diarilpropan atau isoflavonoid dan 1,1 diarilpropan atau neoflavonoid. Ketiga struktur
kimia flavonoid dapat dilihat pada Gambar 2.3.
3
3
1


2

2
3

1
2

1

Flavonoid

isoflavonoid
neoflavonoid
Gambar 2.3. Struktur flavonoid

Istilah "flavonoid" yang diberikan untuk senyawa fenol ini berasal dari kata
flavan, yaitu nama dari salah satu jenis flavonoid yang terbesar jumlahnya dan juga
lazim ditemukan. Senyawa kimia flavan mempunyai kerangka 2-fenilkroman, dimana
posisi orto dari cincin A dan atom karbon yang terikat pada cincin B dari 1,3diarilpropan dihubungkan oleh jembatan oksigen, sehingga membentuk suatu cincin


heterosiklik yang baru (cincin C) (Markham, 1988). Kerangka 2-fenilkroman dapat
dilihat pada Gambar 2.4.
B
O
1
2
A

C
3
4

Gambar 2.4. Kerangka 2-fenilkroman
Senyawa heterosiklik pada tingkat oksidasi yang berbeda terdapat dalam
kebanyakan tumbuhan. Berdasarkan tingkat oksidasi dari rantai propan dari sistem
1,3-diarilpropan, maka senyawa-senyawa flavonoid ini dibagi menjadi beberapa jenis.
Kelompok senyawa kimia flavan dianggap sebagai senyawa induk dalam tatanama
senyawa-senyawa turunan flavonoid karena mempunyai tingkat oksidasi terendah.
Beberapa jenis flavonoid beserta struktur dasarnya dapat dilihat pada Gambar 2.5

(Markham, 1988).
Suatu jembatan oksigen yang melibatkan atom karbon sentral dari rantai C3
dalam alam, hanya terdapat dalam jumlah yang terbatas, dalam hal ini, cincin
heterosiklis yang terbentuk adalah dari tipe furan, yaitu kerangka C 15 dari 2-benzil
kumarin. Senyawa-senyawa auron misalnya termasuk dalam kelompok struktur ini.
Selain sambungan atom karbon, senyawa flavonoid juga mempunyai pola oksigenasi
dalam cincin benzennya. Substituen yang mungkin adalah –OCH3, -O-CH2-O- atau
0-glikosida. Sifat-sifat struktur yang lain adalah
a). Cincin A biasanya mempunyai tiga gugus oksigen yang berselang seling, pada
kedudukan 2, 4 dan 6 dari struktur terbuka Calkon. Pola oksigenasi seperti ini
dapat dilihat pada Gambar 2.6

O

O

O

flavan

dihidrokalkon

kalkon

O

O

OH

OH
OH

katekin (flavan-3-ol)

O

leukoantosianidin
(flavan-3,4-diol)

O

O

OH
O

OH

O

flavanon

O

flavanonol (dihidroflavonol)

flavonol

O
CH
O

O

+

OH

auron
antosianidin
Gambar 2.5. Jenis flavonoid beserta struktur dasarnya

OH

OH

HO

HO

OH

O
R

R=OH
OH

OH

O

O

floretin

luteolin
R

R2

OH

OH

HO

HO

O

O
OH

R1

OH

OH
OH

OH

R1=R2=OH
OH

O

mirisetin

R=H

O

epikatekin

R2
OH

HO
CH

HO

OH

O
R1
O

OH

OH
OH

R1=H; R2=OH
OH

mirisetin
sulfuretin
Gambar 2.6. Pola oksigenasi Cincin A pada kedudukan 2,4,6 dari struktur Kalkon
b). Cincin B, kebanyakan mempunyai gugus fungsional oksigen berkedudukan para
atau dua oksigen berkedudukan para dan meta terhadap rantai C 3 sentral, atau
tiga oksigen (satu para dan dua meta), seperti terlihat pada struktur senyawa diatas
(Gambar 2.6). Senyawa yang mempunyai tiga gugus oksigen pada cincin B jarang
dijumpai. Senyawa-senyawa dengan cincin B yang tidak teroksigenasi, atau

dengan substituen oksigen pada kedudukan orto juga jarang dijumpai (Leland et
al., 2006).

Pada oksigenasi dari cincin A dan B seperti dikemukakan di atas, dimana
cincin A mengikuti pola floroglusinol dan cincin B mengikuti pola katekol atau fenol
dapat diterangkan oleh asal usul biogenetik (Achmad, 1986 dan Manitto 1992).
Dalam tahap-tahap biosintesis awal, senyawa-senyawa flavonoid, kerangka C13 yang
dihasilkan, telah mempunyai substituen oksigen tertentu, kebanyakan sebagai gugus
hidroksil pada kedudukan yang sesuai, sehubungan dengan pembentukan cincin A
(jalur poliketida) dan dengan cincin B yang berasal dari shikimat (fenilalanin asam
sinamat).
Setelah terjadi berbagai perubahan enzimatik, ketiga atom karbon sentral dari
kerangka 1,3-diarilpropan dapat mempunyai berbagai gugus fungsional, misalnya
hidroksil, ikatan rangkap karbonil dan sebagainya. Jadi keanekaragaman senyawa
flavonoid, bukanlah disebabkan karena banyaknya variasi struktur, tetapi lebih
disebabkan oleh berbagai tingkat hidroksilasi, alkoksilasi atau glikosilat. Dari
penelusuran literatur, ditemukan beberapa jenis senyawa flavonoid. Adapun jenisjenis flavonoid tersebut adalah :
1. Jenis kalkon
2. Jenis flavanon
3. Jenis flavon
4. Jenis flavonol
5. Jenis flavononol
6. Jenis auron
7. Jenis antosianidin (Leland et al., 2006).

Beberapa jenis senyawa flavonoid dan strukturnya adalah sebagai berikut:
1. Jenis kalkon
OR

R 1O

2

OR

R 2O

O

OH

OR

3

OR

4

O
1

R1 = CH3

R1 = R2 = CH3

R2 = CH3

R 3 = H ; R 4 = g lu k o s a

f la v o k a w in B

g n a p h a lin

2. Jenis flavanon
OH
O

HO

HO

O

OH

O

O

OH

n a r ig e n in

b u tin

3. Jenis flavon
O

H 3 CO

OH

O

HO

OCH

O
OH

O
OH

c o s m o s in

a c a c e tin

4. Jenis flavonol
OH
HO

O

OH
g l u -O

O

OH

OH

O-glu
OH

O

q u e r c itin

OH
OH

O

q u e r c im e r itin

3

5. Jenis flavononol
OH

HO

HO

O

O

OH
OH

OH
OH

O

p in o b a n k in

O

a r o m a d e n d r in

6. Jenis auron
OH

OH

g lu -O

OH

g lu -O

O

O

OH

CH

OH

CH

O

O

m a ritim in

s u lfu re in

7. Jenis antosianidin
OH

HO

OH

HO

O

O

OH
+

+
O-glu

OH

OH
p e la r g o n id in -3 -g lu k o s id a

O-glu

s ia n id in -3 -g lu k o s id a

Biosintesis Flavonoid
Pola biosintesis flavonoid pertama kali disarankan oleh Birch. Menurut Birch,
pada tahap-tahap pertama dari biosintesis flavonoid suatu unit C 6-C3 berkombinasi
dengan tiga unit C2 menghasilkan unit C6-C3-(C2+C2+C2). Kerangka C15 yang
dihasilkan dari kombinasi ini telah mengandung gugus-gugus fungsi oksigen pada
posisi-posisi yang diperlukan.

Adapun cincin A dari struktur flavonoid berasal dari jalur poliketida, yakni
kondensasi dari tiga unit asetat atau malonat, sedangkan cincin B dan tiga atom
karbon dari rantai propan berasal dari jalur fenilpropanoid (jalur shikimat). Dengan
demikian, kerangka dasar karbon dari flavonoid dihasilkan dari kombinasi antara dua
jalur biosintesis yang utama untuk cincin aromatik, yakni jalur shikimat dan jalur
asetat-malonat. Selanjutnya, sebagai akibat dari berbagai perubahan, ketiga atom
karbon dari rantai propan dapat menghasilkan berbagai gugus fungsi, seperti ikatan
rangkap, gugus hidroksil, gugus karbonil, dan sebagainya. Reaksi biosintesis
flavonoid ditunjukkan pada Gambar 2.7

Gambar 2.7. Reaksi biosintesis flavonoid (Dixon et al., 2002)
Menurut biosintesis ini pembentukan flavonoid dimulai dengan
memperpanjang unit fenilpropanoid (C6-C3) yang berasal dari turunan sinamat seperti
asam p-kumarat, kadang-kadang asam kafeat, asam ferulat atau asam sinapat.
Percobaan-percobaan juga menunjukkan bahwa calkon dan isomer flavanon yang
sebanding juga berperan sebagai senyawa antara dalam biosintesis berbagai jenis

flavonoid lainnya. Adapun hubungan biogenetik antara berbagai jenis flavonoid,
sebagaimana disarankan oleh Grisebach (Gambar 2.8).

Kalicin
Antosianidin
Gambar 2.8 Hubungan biogenetik berbagai jenis flavonoid (Dixon et al., 2002)

Beberapa percobaan menggunakan senyawa bertanda, mendukung reaksi
biosintesis di atas. Percobaan yang dilakukan oleh Grisebach menemukan bahwa
calkon yang diberi bertanda dengan radioisotop 14C dan diberikan kepada tumbuhan
tertentu, ternyata diinkorporasikan (digunakan) dalam berbagai senyawa flavonoid,
seperti apigenin (suatu flavon), Quersetin (suatu flavonol), sianidin (suatu
antosianidin) dan epikatekin (suatu katekin). Inkorporasi kalkon kedalam flavonoid
juga ditunjukkan oleh percobaan-percobaan dengan penandaan rangkap. Misalnya
kalkon yang bertanda pada cincin A dan pada posisi 2, bila diberikan kepada benih
kubis merah, ternyata digunakan untuk menghasilkan sianidin radioaktif.
Suatu aspek lain dari biosintesis flavonoid yang telah diselidiki ialah saat
daripada terjadinya oksigenasi pada cincin B. Percobaan menggunakan asam ferulat
dan asam sinapat yang diberi bertanda dengan

14

C pada gugus metoksil (-OCH3) dan

diberikan kepada tumbuhan. Petunia hibrida, menunjukkaan bahwa asam-asam ini
diinkorporasikan ke dalam antosianidin yang dihasilkannya, dengan pola oksigenasi
dari cincin B yang sebanding (Gambar 2.9).
OH
HO

OH

OH

OH
HO

HO

O

O

OH

+

2

OH
OH

O

OH

OH

O

S ia n id in

N a r i g e n in

F l o r e t in

O

R
OH
B

OH

B
OH

HO

R
OH
B
OH

HO

O

OH
O

O

A sa m k a fe a t

(

) =

14

OCH

3

+

HO

OH
OH

A s a m f e r u la t : R = H

3 '- M e tils ia n id in : R = H

A s a m s in a p a t : R = O C H 3

3 ',5 '- D im e tild e lf in id in : R = O C H 3

C

Gambar 2.9. Reaksi biosintesis flavonoid menggunakan senyawa bertanda (Dixon et
al., 2002)

Hasil reaksi tersebut menjukkan bahwa oksigenasi cincin B dari struktur flavonoid
terjadi pada tahap-tahap awal dari biosintesis flavonoid, yakni menggunakan turunan
asam sinamat yang sesuai dan berasal dari fenilpropanoid yang ada.
2.3 Senyawa Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat laju oksidasi atau
menetralisir radikal bebas, sehingga dianggap sebagai cancer preventive agent karena
radikal bebas yang berlebihan dapat memicu terjadinya kanker (Yen dan Chen, 1995).
Berbagai metode telah digunakan untuk mengukur kekuatan dari suatu antioksidan.
Salah satu metode yang paling populer digunakan adalah metode peredaman radikal
bebas dengan menggunakan reagen DPPH. Molekul DPPH dikarakterisasi sebagai
radikal bebas yang stabil karena mekanisme delokalisasi elektron bebas oleh molekul
yang mengalami resonansi radikal bebas dimana semakin banyak resonansi radikal
bebas pada senyawa tersebut sehingga molekul ini tidak mengalami reaksi dimerisasi
yang sering terjadi pada sebagian besar radikal bebas lainnnya. Delokalisasi juga
memberikan efek warna ungu yang pada panjang gelombang 520 nm dalam pelarut
metanol. Struktur DPPH ditunjukkan pada Gambar 2.10 (Molyneux 2004).
NO

O 2N

NO

2

NO

.N

2

O 2N

N

2

NO

2

NH
N

`
a
b
Gambar 2.10. Struktur kimia dari DPPH (radikal bebas) (a) dan DPPH tereduksi (b)
Ketika larutan DPPH dicampur dengan bahan yang dapat memberikan sebuah
atom hidrogen, molekul ini akan mereduksi DPPH sehingga intensitas warna ungu
akan menjadi berkurang dengan reaksi sebagai berikut:

Z

*

+

AH

ZH

+

A*

Dimana:
Z* = Radikal DPPH
AH = Molekul donor
ZH = Bentuk tereduksi dari DPPH
A* = Radikal bebas yang terbentuk

2.4. Senyawa Antimikroba
Senyawa antimikroba merupakan senyawa kimia yang dapat diperoleh dari beberapa
spesies mikroorganisme dan tumbuh-tumbuhan. Komponen senyawa antimikroba
tersebut

pada

konsentrasi

rendah

mampu

menghambat

atau

mengganggu

pertumbuhan mikroba sedangkan pada konsentrasi tinggi dapat membunuh mikroba.
Senyawa antimikroba yang diperoleh dapat berupa minyak atsiri dan senyawa
metabolit sekunder yang terkandung pada tumbuhan seperti terpenoid, steroid,
alkaloid, dan flavonoid. Keadaan yang mempengaruhi kerja antimikroba ialah
konsentrasi zat antimikroba, jumlah mikroorganisme, suhu, dan spesies (Pelczar, dan
Chan, 1988). Mekanisme kerja senyawa antimikroba secara umum dapat
menghambat atau membunuh mikroorganisme dengan beberapa cara yaitu merusak
dinding sel, merubah permeabilitas sel, dan menghambat kerja enzim sehingga
metabolisme sel terganggu atau matinya sel, serta menghambat sintesis asam nukleat
dan protein (Fardiaz, 1989).
2.4.1. Escherichia coli
Escherichia coli adalah salah satu jenis spesies utama bakteri Gram negatif. Pada

umumnya, bakteri yang ditemukan oleh Theodor Escherich ini hidup pada tinja, dan
dapat menyebabkan masalah kesehatan pada manusia, seperti diare, muntaber dan
masalah pencernaan lainnya. Escherichia coli banyak digunakan dalam teknologi
rekayasa genetika. Biasa digunakan sebagai vektor untuk menyisipkan gen-gen
tertentu yang diinginkan untuk dikembangkan. Escherichia coli dipilih karena

pertumbuhannya sangat cepat dan mudah dalam penanganannya. Menurut Bergey
dalam Capuccino (2001) klasifikasi E. coli adalah
Kingdom :

Phylogenetica

Divisi

:

Proteobacteria

Kelas

:

Gamma Proteobacteria

Ordo

:

Enterobacteriales

Famili

:

Enterobacteriaceae

Genus

:

Escherichia

Species

:

Escherichia coli (Gambar 2.11)

Gambar 2.11 Escherichia coli

2.4.2. Staphylococcus aureus
Klasifikasi S. aureus menurut Bergey dalam Capuccino (2001) adalah :
Kingdom

:

Monera

Divisio

:

Firmicutes

Class

:

Bacilli

Order

:

Bacillales

Family

:

Staphylococcaceae

Genus

:

Staphylococcus

Species

:

Staphylococcus aureus (Gambar 2.12)

Gambar 2.12 Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif, tidak bergerak, tidak

berspora dan mampu membentuk kapsul, berbentuk kokus dan tersusun seperti buah
anggur sebagaimana terlihat pada Gambar 2.12. Ukuran Staphylococcus berbedabeda tergantung pada media pertumbuhannya. Apabila ditumbuhkan pada media agar,
Staphylococcus memiliki diameter 0,5-1,0 mm dengan koloni berwarna kuning.

Dinding selnya mengandung asam teikoat, yaitu sekitar 40% dari berat kering dinding
selnya. Asam teikoat adalah beberapa kelompok antigen dari Staphylococcus. Asam
teikoat mengandung aglutinogen dan N-asetilglukosamin (Todard, 2002).

2.5. Senyawa Antifungi
Saat ini terdapat 1213 penelitian tentang senyawa antifungi, tetapi hanya ada
beberapa saja yang terkait dengan tumbuhan. Pada tahun 2008 dilakukan penelitian
terhadap senyawa antifungi Rubus ulmifolius. Minyak dari tumbuhan Biden pilosa
secara signifikan bersifat antibakteri dan jamur terhadap enam strain bakteri dan tiga
strain jamur. Aktivitas daya hambat minyak bunga tumbuhan tersebut di dalam Gram
negatif bakteri secara signifikan lebih tinggi dari Gram positif (Deba dkk, 2008).
Aktivitas antifungi ekstrak air dan metanol dari tumbuhan cucumber Laut
Mediterania, Holothuria polii, juga telah diteliti (Ismail, dkk, 2008) dan dilaporkan
ekstrak tersebut secara signifikan aktif antifungi terhadap strain Aspergillus fumigatus
pada konsentrasi 150–300 μg/well. Senyawa kimia sesquiterpen lakton baru dari
Centaurea pullata juga menunjukkan aktivitas antibakteri dan terhadap enam spesies

bakteri dan delapan spesies jamur (Djeddi dkk, 2008). Total fenolik dari ekstrak
aseton, etanol, metanol, butanol dan air biji Pala mempunyai aktivitas yang kuat
terhadap jamur Aspergillus niger (Gupta et al, 2013). Salah satu jamur penyebab
keputihan adalah Candida albicans.
Candida albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk

tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda yaitu sebagai sel tunas yang akan
berkembang menjadi blastospora dan menghasilkan kecambah yang akan membentuk
hifa semu. Perbedaan bentuk ini tergantung pada faktor eksternal yang
mempengaruhinya. Sel ragi (blastospora) berbentuk bulat, lonjong atau bulat lonjong
dengan ukuran 2-5 μ x 3-6 μ hingga 2-5,5 μ x 5-28 μ (Gambar 2.13).

Gambar 2.13. Morfologi Candida albicans

Candida albicans memperbanyak diri dengan membentuk tunas yang akan

terus memanjang membentuk hifa semu. Hifa semu terbentuk dengan banyak
kelompok blastospora berbentuk bulat atau lonjong di sekitar septum. Pada beberapa
strain, blastospora berukuran besar, berbentuk bulat atau seperti botol, dalam jumlah

sedikit. Sel ini dapat berkembang menjadi klamidospora yang berdinding tebal dan
bergaris tengah sekitar 8-12 μ.
Morfologi koloni C. albicans pada medium padat agar Sabouraud Dekstrosa,
umumnya berbentuk bulat dengan permukaan sedikit cembung, halus, licin dan
kadang-kadang sedikit berlipat-lipat terutama pada koloni yang telah tua. Umur

biakan mempengaruhi besar kecil koloni. Warna koloni putih kekuningan dan berbau
asam seperti aroma tape. Dalam medium cair seperti glucose yeast, extract pepton, C.
albicans tumbuh di dasar tabung. Klasifikasi dari Candida albicans adalah sebagai

barikut
Kingdom

:

Fungi

Phylum

:

Ascomycota

Subphylum

:

Saccharomycotina

Class

:

Saccharomycetes

Ordo

:

Saccharomycetales

Family

:

Saccharomycetaceae

Genus

:

Candida

Spesies

:

Candida albicans

2.6 Metode Pemisahan
Prinsip pemisahan adalah adanya perbedaan sifat fisik dan kimia dari senyawa yaitu
kecendrungan dari molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan), kecenderungan
molekul untuk menguap (keatsirian), kecenderungan molekul untuk melekat pada
permukaan serbuk labus (adsorpsi, penyerapan).
2.6.1 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu teknik pemisahan yang biasa digunakan untuk
memperoleh produk organik yang diinginkan. Selektivitas antara pelarut di dalam
pelarut lainnya yang berbeda kepolarannya dalam melarutkan senyawa organik dan
membentuk dua lapisan yang saling memisah (Khopkar, 1990).
2.6.2 Maserasi
Ekstraksi komponen kimia dari bahan alam dapat dilakukan dengan beberapa
cara, antara lain dengan maserasi (perendaman). Metode ini sangat mudah dan
sederhana. Teknik maserasi ini digunakan terutama jika kandungan senyawa organik
yang ada dalam tumbuhan mempunyai kadar yang cukup tinggi dengan menggunakan
pelarut organik. Cara ini dilakukan dengan menggantikan pelarut secara berulang-

ulang dan bila ampas dari hasil ekstraksi tidak berwarna, maka dianggap ekstraksi
telah selesai. Ekstrak total dari sampel tumbuhan yang telah diekstraksi dapat
diperoleh dengan cara pemekatan dengan menggunakan alat rotary evaporator
(Harborne, 1987).

2.7 Senyawa Metabolit Sekunder
Senyawa metabolit sekunder merupakan bahan yang dihasilkan oleh tumbuhan yang
dapat digunakan antara lain sebagai bahan untuk melindungi dirinya, hormon penarik
serangga dan lain-lain. Beberapa metabolit sekunder sering terjadi di dalam tumbuhan
adalah alkaloid, flavonoid, steroid, poliketida dan lain-lain.
2.7.1 Alkaloid
Senyawa-senyawa yang mengandung atom N mempunyai sifat alkaloid dan sering
digolongkan

ke

dalam

golongan

alkaloid,

meskipun

kerangka

karbonnya

menunjukkan bahwa senyawa ini turunan isoprenoid (Robinson, 1995). Umumnya
alkaloid memilki kelarutan dan sifat lain yang berbeda-beda pada setiap jenisnya.
Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom N yang bersifat basa (Harborne,
1987).
Hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan
fisiologis tertentu, ada yang sangat beracun dan ada pula yang berguna untuk obatobatan. Alkaloid dapat ditemukan dalam bagian tumbuhan seperti biji, daun, ranting,
dan kulit kayu. Kadar alkaloid yang terkandung dalam jaringan tersebut sangat kecil,
yaitu antara 1-10 % (Achmad, 1986). Adanya alkaloid diidentifikasi dengan pereaksi
Mayer membentuk endapan putih, dengan pereaksi Dragendrof membentuk endapan
kemerahan dan dengan pereaksi asam pikrat membentuk endapan kuning dan adanya
asam tanat endapan coklat muda (Rusdi, 1988).
2.7.2 Flavonoid
Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang tersebar dan ditemukan di
alam. Senyawa-senyawa flavonoid terdapat di dalam semua bagian tumbuhan tinggi
seperti bunga, daun, batang, akar dan kulit batang. Senyawa flavonoid sering kali

terkonsentrasi dalam jaringan tertentu, misalnya antosianidin yaitu zat warna dari
buah, bunga dan daun. Karena itu senyawa ini dianggap sebagai zat warna merah,
ungu, biru dan sebagian kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Flavonoid
mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, mempunyai 2
cincin benzena (C6) yang terikat pada rantai propana (C3) sehingga membentuk suatu
susunan C6-C3-C6 (Achmad, 1986).
2.7.3 Terpenoid
Terpenoid adalah suatu senyawa kimia yang terdiri dari beberapa unit isoprene,
mempunyai struktur siklik dengan satu arah atau lebih gugus fungsional berupa gugus
hidroksil dan gugus karbonil (Rusdi, 1988). Terpenoid terdiri atas beberapa macam
senyawa, mulai dari komponen minyak atsiri, yaitu monoterpen dan seskuiterpen (C10
dan C15) yang mudah menguap, diterpena (C20) yang lebih sukar menguap sampai ke
senyawa yang tidak menguap, yaitu triterpen dan sterol (C 30). Pada umumnya
terpenoid larut dalam lemak dan terdapat di dalam sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya
terpenoid di ekstraksi dengan menggunakan eter minyak bumi, eter atau kloroform
(Harborne, 1987).
2.7.4 Saponin
Saponin mula-mula diberi nama demikian karena sifatnya yang menyerupai sabun
(bahasa lain sapo berarti sabun). Saponin adalah senyawa aktif yang menimbulkan
busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan
hemolisis sel darah merah. Saponin sangat beracun untuk ikan dalam konsentrasi
rendah (Robinson, 1995).
2.8 Kromatografi
Penggunaan kromatografi sangat membantu dalam pemurnian senyawa metabolit
sekunder dari simplisia tumbuhan. Berbagai jenis kromatografi yang umum
digunakan anatara lain Kromatografi Lapis Tipis (KLT), Kromatografi Kolom,
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dan Kromatografi Gas-Spektroskopi
Massa (KG-SM)(Darwis, 2000). Penggunaan kromatografi sangat membantu dalam

pendeteksian senyawa metabolit sekunder dan dapat dijadikan sebagai patokan untuk
proses pengerjaan berikutnya dalam menentukan struktur senyawa. Berbagai jenis
kromatografi yang umum digunakan antara lain Kromatografi Lapis Tipis (KLT),
Kromatografi Kolom, Kromatografi Cair dan Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa
(Darwis, 2000).
a. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Merupakan salah satu metoda identifikasi awal untuk menentukan kemurnian
senyawa yang ditemukan atau dapat menetukan jumlah senyawa dari ekstrak kasar
senyawa metabolit sekunder. Cara ini sangat sederhana dan merupakan salah satu
pendeteksian awal dari hasil isolasi.
b. Kromatografi Kolom
Digunakan untuk pemisahan campuran beberapa senyawa yang diperoleh dari
isolasi tumbuhan. Dengan menggunakan fasa padat dan fasa cair maka fraksifraksi senyawa akan menghasilkan kemurnian yang cukup tinggi.
c. Kromatografi Cair
Lebih dikenal dengan HPLC (High Pressure Liquid Chromatography), yang
diterjemahkan menjadi Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Hal yang menarik pada
HPLC adalah kecepatan, ketelitian dan kemampuannya memisah-misahkan suatu
campuran yang kompleks. Campuran yang dapat dipisah-pisahkan, meliputi
molekul-molekul, senyawa-senyawa ionik, senyawa-senyawa yang tak stabil (yang
jika diuapkan akan mengalami peruraian) dan juga senyawa-senyawa dengan
massa rumus besar.
2.9 Metode Penentuan Struktur Kimia
Spektrofotometri adalah pengukuran serapan atau emisi radiasi elektromagnetik pada
panjang gelombang tertentu yang monokromatis dari suatu zat baik dalam bentuk
molekul atau atom. Spektrum biasanya diperoleh dengan melewatkan cahaya yang
panjang gelombang tertentu melalui larutan encer suatu senyawa dalam pelarut yang
sesuai dan tidak mengganggu penyerapan, misal air atau etanol (Silverstein, 2005).

Untuk menentukan struktur kimia suatu senyawa dapat digunakan metode
spektroskopi UV-Vis, Spektrofotometri Fourier Transform-Infrared (FT-IR),
Nuclear Magnetic Resonansce (NMR) atau Spektrometri Resonansi Magnetik Inti

(RMI) dan Mass Spectra atau Spektrometri Massa
1. Spektrofotometri UV-VIS
Pengukuran serapan dapat dilakukan pada daerah ultraviolet (panjang gelombang
190-380 nm) atau daerah cahaya tampak (panjang gelombang 380-780 nm). Semua
molekul

dapat mengabsorbsi radiasi dalam daerah UV-Vis karena mengandung

elektron yang dapat dieksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi. Senyawa yang
mengandung ikatan sigma (seperti pada ikatan tunggal C-C akan tereksitasi pada
panjang gelombang sangat pendek dibawah 150 nm berada di luar daerah ukur
spektrofotometer sehingga tidak akan menimbulkan serapan. Senyawa memiliki
elektron phi (π) (mempunyai ikatan rangkap) dan mempunyai pasangan elektron
bebas lebih mudah tereksitasi dan menyerap pada panjang gelombang yang lebih
tinggi sehingga menimbulkan serapan pada spektrofotometer. Spektrofotometri
digunakan untuk menganalisis struktur dan memberikan petunjuk adanya gugus
kromofor, menetapkan kadar, menggunakan serapan maksimum dari kurva absorbsi,
memeriksa kemurnian, memeriksa langsung konsentrasi analit, (Pare & Belanger,
1997)
2. Spektrofotometri Infrared (IR)
Daerah radiasi spektrofotometri IR berada pada bilangan panjang gelombang 1280010 cm-1. Umumnya daerah radiasi IR terbagi dalam IR dekat (12800-4000 cm-1; 3,812 x 1014 Hz; 0,78-2,5 mikrometer), daerah IR tengah (4000-200cm-1; 3,8-12 x104 Hz,
2,5-50 mikrometer), daerah IR jauh (200-10 cm-1; 60-3 x 1011 Hz; 50-1000
mikrometer). Daerah yang paling banyak digunakan untuk berbagai keperluan praktis
adalah 4000-690 cm-1 yang biasa disebut infra tengah (Khopkar, 1990)
Spektrofotometri IR mempunyai 2 macam instrumen yaitu:

a. Spektrofotometer IR dispersive, adalah spektrofotometri yang menggunakan
monokromator untuk memisahkan frekuensi individu yang melewati sampel
sehingga absorbsi dari masing-masing frekuensi dapat diukur.
b. Spektrofotometer

Fourier-transform,

adalah

spektrofotometri

yang

dalam

instrumennya tidak dipisahkan radiasinya, tetapi hampir semua panjang
gelombang mencapai detektor secara bersamaan yang disebut Fourier-transform,
yang digunakan untuk mengubah hasil spektrum IR menjadi khas. Yang
digunakan sebagai pengganti monokromator adalah interferometer yang dapat
memisahkan radiasi menjadi dua bagian dan menghubungkannya kembali
sehingga variasi intensitas yang keluar dapat diukur sekali. Beberapa keuntungan
spektrofotometer Fourier-transform dibandingkan

dengan spektrofotometer

dispersive adalah menghasilkan spektrum yang lebih cepat, resolusi yang lebih
baik, dapat mengukur sampel dalam jumlah yang sangat sedikit (Silverstein, 2005)
3. Spektrometri Massa
Spektometri yang menggunakan penguraian senyawa organik dan perekaman pola
fragmentasi menurut massanya. Uap cuplikan berdifusi ke dalam sistem spektrometer
massa yang bertekanan rendah, kemudian diionkan dengan energi yang cukup untuk
memutuskan ikatan kimia.
Dalam spektrometri massa reaksi pertama suatu molekul adalah ionisasi awal
sebuah elektron. Hilangnya sebuah elektron menghasilkan molekul. Tabrakan antara
sebuah molekul organik dan salah satu elektron berenergi tinggi menyebabkan
lepasnya sebuah elektron dari molekul dan menyebabkan terbentuknya ion organik.
Ion organik yang dihasilkan oleh penembakan elektron berenergi tinggi ini tidak
stabil dan pecah menjadi fragmen kecil, baik berbentuk radikal bebas maupun ion-ion
lain. Umumnya spektrum massa diperoleh dengan mengubah senyawa suatu sampel
menjadi ion-ion yang bergerak cepat yang dipisahkan berdasarkan perbandingan
massa terhadap muatan (m/e). Proses ionisasi menghasilkan partikel-partikel
bermuatan positif dimana massa yang terdistribusi spesifik terhadap senyawa induk.

4. Spektrometri Nuclear Magnetic Resonansce (NMR) 1 Dimensi
Spektrometri Nuclear Magnetic Resonansce atau resonansi magnetik inti (RMI)
merupakan metode yang sering dipakai dalam mempelajari struktur molekul. Untuk
melengkapi bagian-bagian lain dari suatu molekul organik yang tidak diketahui
(unknown) dapat digunakan RMI yang memberikan informasi yang berguna dalam
penentuan struktur yaitu RMI 1 dimensi terdiri dari RMI proton ( 1H), RMI karbon
(13C), DEPT (Distortionless Enhancement by Polarization Transfer ). Prinsip RMI
proton adalah inti atom hidrogen mempunyai sifat-sifat magnet, bila suatu senyawa
mengandung hidrogen diletakkan dalam bidang magnet yang sangat kuat dan
diradiasi menggunakan radiasi elektromagnetik maka inti atom hidrogen dari
senyawa tersebut akan menyerap energi melalui suatu proses absorpsi yang dikenal
dengan resonansi magnet.
Penyerapan gelombang pada fenomena RMI ataau NMR (Nuclear Magnetic
Resonance), terjadi bila inti menyerah terhadap medan magnet yang digunakan untuk

merubah arah orientasi spin. Spektrum RMI karbon dan DEPT memberikan informasi
jenis atom karbon primer (CH3), sekunder (CH2) tersier (CH), dan kuarterner (C).
DEPT merupakan salah satu tipe spektra RMI karbon yang memberikan informasi
jumlah karbon dari CH3, CH2, CH dan C yang diukur berdasarkan sudut pengukuran
RMI karbon. Hasil penelitian DEPT pada sudut 1350 menunjukkan bahwa sinyal
karbon CH3 dan CH mengarah ke atas, sedangkan CH2 mengarah ke bawah, Untuk
mengetahui perbedaan CH3 dan CH dilakukan pengukuran pada sudut 900
(Silverstein, 2005).
5. Spektrometri Nuclear Magentic Resonansce (NMR) 2 Dimensi
NMR dua dimensi merupakan spektrometri yang paling penting untuk memecahkan
masalah struktur. NMR dua dimensi meliputi COSY (Correlation Spectroscopy),
NOESY (Nuclear Overhauser Enhancement Spectroscopy) HSC (Heteronuclear Shift
Correlation) dan TOCSY (Total Correlation Spectroscopy).

Spektrum COSY menunjukkan hubungan antara proton dan proton dalam
molekul yang digabungkan satu sama lain. Spektrum

COSY adalah spektrum

simetris yang memiliki 1H-NMR yang mempunyai dua sumbu pergeseran kimia (F1
dan F2) (Gambar 2.14).

Gambar 2.14. Spektrum COSY
Spektrum COSY memiliki seperangkat diagonal puncak (lingkaran terbuka)
serta puncak diagonal (lingkaran penuh). Puncak off-diagonal adalah sinyal penting
karena ini terjadi pada posisi dimana ada kopling antara proton pada sumbu F1 dan
satu pada sumbu F2. Dalam Gambar 2.14, sinyal off-diagonal menunjukkan bahwa
ada spin-kopling antara HC dan HD dan juga antara HB dan Hc tetapi proton berlabel
HA tidak memiliki mitra kopling (Field et al, 2008)
Spektrum NOESY bergantung pada Nuclear Overhauser Effect dan
menunjukkan hubungan proton dalam molekul yang berdekatan dalam ruang.
Spektrum NOESY sangat mirip dalam tampilannya spektrum COSY. Spektrum
NOESY simetris memiliki 1H-NMR sebagai kedua sumbu pergeseran kimia (F1 dan
F2). Sebuah spektrum dari NOESY ditunjukkan pada Gambar 2.15.

Gambar 2.15. Spektrum NOESY
Spektrum NOESY memiliki seperangkat puncak diagonal (lingkaran terbuka)
serta puncak off diagonal (lingkaran penuh). Puncak off-diagonal terjadi pada posisi
dimana sebuah proton pada sumbu F1 adalah dekat dalam ruang untuk satu lagi pada
sumbu F2. Dalam Gambar 2.15 menunjukkan bahwa HA harus berada dekat dengan
HD dan HB harus berada dekat dengan HC. Dari analisis spektrum NOESY dapat
menentukan struktur tiga dimensi dari molekul atau bagian dari molekul. Spektrum
NOESY sangat berguna untuk membangun stereokimia (misalnya konfigurasi cis /
trans dari ikatan ganda atau persimpangan cincin) dari molekul di mana lebih dari
satu stereoisomer yang mungkin ada.
Spektrum HSC adalah analog dengan spektrum COSY heteronuklir dan
berguna untuk mengidentifikasi hubungan proton yang terikat dengan karbon dalam
molekul. Spektrum HSC memiliki 1H-NMR satu sumbu (F2) dan spektrum 13C (atau
spektrum beberapa inti lainnya) pada sumbu kedua (FI). Skema dari spektrum HSC
diberikan dalam Gambar 2.16.

Spektrum HSC tidak memiliki puncak diagonal. Puncak spektrum HSC terjadi
pada posisi di mana proton dalam spektrum pada sumbu F2 digabungkan dengan
karbon dalam spektrum pada sumbu F1. Dalam Gambar 2.16 menunjukkan HA dan
HB kopling dengan Cz, HC kopling dengan CY dan HD kopling dengan CX. Dalam
spektrum HSC, korelasi antara proton dalam spektrum 1H-NMR dan inti karbon
dalam spektrum 13C dapat diperoleh.

Gambar 2.16. Spektrum HSC

Spektrum TOCSY berguna dalam mengidentifikasi semua proton yang
memiliki sistem spin terisolasi. Seperti spektrum COSY dan NOESY, TOCSY juga
mempunyai puncak diagonal pada frekuensi dari semua resonansi dalam spektrum.
Eksperimen bergantung pada kopling spin-spin tapi bukan menunjukkan pasangan
inti yang secara langsung digabungkan bersama-sama, TOCSY menunjukkan puncak
lintas (off-diagonal peaks) untuk setiap inti yang merupakan bagian dari sistem spin
bukan secara langsung digabungkan. Spektrum TOCSY simetris dengan diagonal dan
memiliki 1H-NMR sebagai kedua sumbu pergeseran kimia (F1 dan F2) (Gambar
2.17).
Spektrum TOCSY memiliki seperangkat puncak diagonal ( open circles)) serta
puncak yang off-diagonal (filled circles). Puncak off-diagonal terjadi pada posisi

dimana sebuah proton pada sumbu F1 mempunyai sistem spin yang sama
sebagaimana dalam sumbu F2. Dari Gambar 2.17 dapat dilihat ada dua (HA1, HA2,
HA3) dan (HX1, HX2, HX3) yang terisolasi 3-sistem spin ditumpangkan dan cross peaks
jelas menunjukkan adanya resonansi yang dimiliki masing-masing sistem.

Gambar 2.17. Spektrum TOCSY
Spektrometri 2 D Heteronuclear Multiple Quantum Coherence (HMQC)
berguna untuk melihat korelasi antara proton dengan karbon pada posisi geminal (1
ikatan) diastereotopik dalam struktur kimia (yang kadang-kadang sulit untuk
membedakan secara tegas, bahkan pada COSY) karena hanya ini yang akan
menghasilkan dua korelasi dengan karbon yang sama.
Spektrometri 2 D Heteroanuclear Multiple Bond Coherence (HMBC) untuk
melihat korelasi antara karbon dan proton yang dipisahkan oleh dua, tiga, dan
kadang-kadang dalam sistem terkonjugasi, empat ikatan dalam struktur kimia.
Korelasi satu ikatan langsung terbentuk. HMBC memberikan banyak informasi
konektivitas seperti COSY proton-proton.