Sekilas Tentang Keramik Jepang

BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG KERAMIK JEPANG

2.1. Klasifikasi Keramik
Sifat yang paling umum dan mudah dilihat secara fisik pada
keramik adalah rapuh (britle) seperti barang pecah belah, gelas, kendi,
gerabah, tembikar dan sebagainya. Sifat lainnya adalah keramik yang
tahan terhadap suhu yang tinggi.
Berdasarkan prinsipnya pula maka keramik dapat diklasifikasikan
atas dua jenis yaitu :
1. Keramik Tradisional
Keramik tradisional yaitu keramik yang dibuat dengan menggunakan bahan
alam, seperti kuarsa, kaolin, tanah liat dan lain sebagainya. Yang termasuk
keramik tradisional adalah barang pecah belah (dinnerware), keperluan rumah
tangga (tile, bricks), dan untuk industri (refractory).
2. Keramik Halus
Keramik halus adalah keramik yang dibuat dengan menggunakan logam
(oksida) seperti logam (oksida) Al2O3, ZrO2, MgO, dan lain-lain. Keramik
halus disebut juga dengan Fine Ceramics yakni keramik modern atau biasa

12

Universitas Sumatera Utara

disebut dengan keramik teknik. Keramik ini dibuat dengan menggunakan
teknologi mesin.
2.2. Sejarah Keramik Jepang
Seni keramik di Jepang, diperkirakan berawal pada periode Jomon.
Zaman Jomon adalah sebutan zaman prasejarah kepulauan Jepang yang
dimulai dari akhir zaman Pleistosen hingga zaman Holosen, bersamaan
dengan zaman Batu Pertengahan atau zaman Batu Baru yang ditandai
dengan mulai digunakannya barang-barang tembikar. Waktu periode
Jomon sekitar 14.000-400 SM. Pada masa itu, kehidupan masyarakatnya
masih berburu dan meramu untuk kebutuhan makannya. Kegiatan manusia
pada zaman Jomon yang mencari makanan bergantung pada tempat
tinggalnya. Bercocok tanam masih belum dikenal pada masa itu, walaupun
mereka sudah hidup menetap dan berkelompok yang disebut mura.
Mereka tinggal di sebuah bangunan yang disebut tateanashikijuukyo.
Meski

belum


mengenal

budaya

bercocok

tanam,

tetapi

masyarakatnya sudah bisa membuat barang-barang tembikar. Dari situlah
yang menjadi cikal bakal dari seni keramik di Jepang. Barang-barang
tembikar pada masa itu bervariasi. Dapat diklasifikasikan menurut periode
waktunya yaitu permulaan, pertengahan, pra akhir dan akhir periode
Jomon. Barang-barang tembikar pada masa permulaan periode Jomon
mempunyai dekorasi bentuk yang langsing dan ornamennya bebas dan
tegas, hanya saja lebih kasar daripada barang-barang tembikar zaman kuno

13
Universitas Sumatera Utara


lainnya. Ornamen tersebut dibuat dari tali dengan cara digulungkan
disekeliling barang tembikar tersebut. Area-area penemuan barang-barang
tembikar pada masa ini hanya terbatas di daerah pegunungan sekitar
Honshu Tengah, tepatnya di prefektur Nagano dan Yamaguchi.
Setelah periode Jomon usai, Jepang memasuki periode Yayoi.
Periode Yayoi sekitar 400 SM – 250 M. Kehidupan masyarakat pada
periode ini sudah mulai bercocok tanam. Kebudayaannya berkembang dari
pulau Kyushu sampai sebelah timur pulau Honshu. Pada masa ini berbagai
gerabah tanpa glasir sudah mulai bermunculan. Penggunaan roda tembikar
dan pembakaran yang mampu mencapai suhu bebatuan pun sudah mulai
dikenal. Tidak seperti barang tembikar pada periode Jomon, barang
tembikar pada Yayoi mengandalkan bentuknya daripada dekorasinya.
Barang kesenian pada waktu orde masa ini, khususnya barang tembikarnya
merupakan perwujudan pertama dalam kesenian Jepang yang sekarang ini
sudah kita kenal.
Kemudian Jepang memasuki periode Nara. Pada periode ini
kesenian keramik Jepang sangat terpengaruh oleh kebudayaan Cina dan
juga agama Budha yang dibawa masuk oleh China pada periode Asuka.
Periode ini merupakan masa emas kesenian Budha yang ada di Jepang.

Dengan adanya reformasi Taika, sistem pemerintahan di Jepang meniru
sistem pemerintahan yang ada di Cina. Para pengrajin Jepang pergi ke
Cina mempelajari teknik-teknik pembuatan keramik. Mereka mempelajari

14
Universitas Sumatera Utara

penggunaan glasir dan pembakaran suhu rendah. Selama berabad-abad
mereka menerapkan teknik yang mereka pelajari dari Cina dan Korea.
Selanjutnya adalah era Momoyama atau periode Muromachi pada
tahun 1334 – 1573, mulai masuk ajaran agama Budha Zen dan masuknya
ajaran ini beriringan dengan kebudayaan Cina, diantaranya perjamuan
minum teh atau yang kemudian dikenal dengan Cha no yu. Tembikar
Karatsu juga berasal dari sekelompok orang keturunan Korea, kebanyakan
barang produksinya digunakan untuk keperluan sehari-hari dan untuk
keperluan upacara minum teh (tea ceremony). Pada periode ini
memperoduksi beberapa jenis tembikar dengan corak hias berupa dari
glasir besi, dekorasi kuas-bulir, berbintik dan lain lain. Kebudayaan Cha
no yu (upacara minum tea) membawa dampak besar pada pengaruh
kesenian keramik. Para ahli atau guru pada upacara minum teh ingin

peralatan makan dan minum mereka juga mengekspresikan semangat Zen
khususnya nilai estetika yang mencari keindahan yang mendalam, alami,
dan sederhana.
Keramik Hagi berupa mangkok untuk tea ceremony. Keramiknya
minim dengan ekspresi pribadi dan pengglasirannya sedikit buram.
Keramik ini tampil sebagai keramik utama dalam tea ceremony. Saat ini
popularitas keramik ini mulai bangkit kembali setelah sempat tidak
diminati beberapa kurun waktu lampau. Keramik Bizen tanah liat kaya
dengan besi, dibuat tanpa glasir untuk menampilkan keindahan tanah

15
Universitas Sumatera Utara

liatnya, apalagi tekstur “benang api” dan “biji wijen” yang muncul secara
alamiah akibat pembakaran.
Kyoto yang terkenal sebagai pusat budaya dan politik dan lebih
maju secara cultural juga menjadi pusat kesenian dan kerajinan. Sehingga
tidak mengherankan sebagai puast seni diikuti juga perkembangan
keramiknya. Tidak hanya tembikar tradisional akan tetapi tembikar avantgarde pun berkembang di sana.
Pada awal abad ke delapan ditemukan perkakas versi Jepang yaitu

keramik Jepang dengan dua kali pembakaran. Bahan bakunya dikeraskan
dalam pembakaran yang ada kemudian lapisannya di leburkan ke dalam
pengapian yang ada. Di daerah Tamba umumnya digunakan untuk
peralatan rumah tangga dan keperluan upacara minum teh. Tembikar Arita
dipercaya sudah ada sejak abad 16 (periode Momoyama), ketika seorang
pembuat keramik Ri Sampei, seorang keturunan Korea, menemukan tanah
liat di Arita, Kyushu dan memproduksi porselen. Inilah awal dari
pembuatan porselen di Jepang. Bahkan sampai periode Meiji (1868-1911)
wilayah Arita merupakan pusat porselen di Jepang dengan gaya
Sometsuke yaitu dekorasi kebiruan dengan lapisan grasir bawah.
Disamping itu juga dikembangkan porselen bergaya Aka-e yang
menggunakan glasir enamel dari polychrome.

16
Universitas Sumatera Utara