Studi Mitigasi Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berbasis Sistem Informasi Geografis di Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser

7

TINJAUAN PUSTAKA

Keadaan Umum Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Pada Lokasi
Penelitian
Lokasi penelitian ini merupakan lokasi yang terletak di dua desa pada dua
kecamatan dan provinsi yang berbeda yaitu di Desa Ujung Padang Kecamatan
Bakongan Kabupaten Aceh Selatan dan di Desa Sei Serdang Kecamatan Padang
Tualang Kabupaten Langkat. Lokasi penelitian ini merupakan lokasi yang sering
terjadi konflik. Hal ini dikarenakan batas kawasan dekat dengan kawasan Taman
Nasional Gunung Leuser (TNGL). Sehinggs sangat memungkinkan orangutan
masuk ke kawasan pemukiman dan perladangan penduduk. Informasi yang
didapatkan dari OIC bahwa dari hasil survei dan penanganan langsung mitigasi
konflik orangutan yang pernah dilakukan tim OIC menunjukkan kedua lokasi
penelitian ini terdapat orangutan yang sudah cukup lama terfragmentasi sehingga
orangutan akan sering memasuki perladangan penduduk jika kehabisan pakan dari
habitat asli orangutan dan ketika pakannya habis orangutan tersebut memakan
tanaman milik masyarakat bahkan pucuk daun sawit yang masih muda juga
dimakan orangutan, sehingga hal tersebut menimbulkan konflik dan keresahan
bagi penduduk sekitar kawasan.

Menurut BPS Kabupaten Langkat (2015) Kecamatan Batang Serangan
merupakan sebagai salah satu kecamatan di Kabupaten Langkat yang berada di
daerah langkat hilir letaknya diapit oleh 6 kecamatan dan 1 provinsi. Sedangkan,
Kecamatan Bakongan merupakan salah satu kecamatan di Aceh Selatan yang
terdiri dari 7 desa (gampong) yaitu Ujung Mangki, Kuede Bakongan, Kampung
Baru, Ujung Padamg, Kampung Drien, Darul Ikhsan, Padang Beurahan. Masing-

Universitas Sumatera Utara

8

masing setiap desa (gampong) memiliki 3 dusun. Ibukota Kecamatan Bakongan
berada di desa Keude Bakongan (BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015).
Kondisi Fisik Lokasi Penelitian
Letak dan Geografis
Kabupaten Aceh Selatan terletak antara 02023’24” – 03036’24” Lintang
Utara dan 96054’26” – 97051’24” Bujur Timur, dengan ketinggian wilayah rata-rata
sebesar 25 meter diatas permukaan laut (mdpl). Hingga tahun 2015 Kabupaten
Aceh Selatan terdiri dari 18 kecamatan. 260 desa, 43 mukim. Pusat pemerintahan
Kabupaten Aceh Selatan berada di Kecamatan Tapaktuan. Batas-batas wilayah

Kabupaten Aceh Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Barat Daya, sebelah
selatan berbatasan dengan Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil,
sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia, dan sebelah timur berbatasan
dengan Kabupaten Aceh Tenggara. Luas Kabupaten Aceh Selatan adalah
4.0005,10 km2 (BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015).
Kabupaten Langkat sebagai salah satu kabupaten di ujung barat Provinsi
Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan Provinsi Aceh dibagian utara
dan barat, serta berbatasan dengan Selat Malaka di bagian utara. Sedangkan, di
sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo, Kota Binjai dan Kabupaten
Deli Serdang di sebelah timur. Secara geografis berada antara 03014’00’’ dan
04013’00’’ Lintang Utara dan antara 97052’00’’ dan 98045’00’’ Bujur Timur. Luas
wilayah Kabupaten Langkat 6.236,29 km2 atau 8,47 persen dari total luas Provinsi
Sumatera Utara (BPS Kabupaten Langkat, 2015).

Universitas Sumatera Utara

9

Topografi
Kondisi topografi sangat bervariasi, terdiri dari dataran rendah,

bergelombang, berbukit, hingga pegunungan dengan tingkat kemiringan sangat
curam/terjal. Dari data yang diperoleh, kondisi topografi dengan tingkat
kemiringan sangat curam/terjal mencapai 63,45%, sedangkan berupa dataran
hanya sekitar 34,66% dengan kemiringan dominan adalah pada kemiringankemiringan 40% dengan luas 254.138,39 ha dan terkecil kemiringan 8-15% seluas
175,04 ha, selebihnya tersebar pada berbagai tingkat kemiringan. Dilihat dari
ketinggian tempat (diatas permukaan laut) ketinggian 0-25 meter memiliki luas
terbesar yaitu 152.648 ha (38,11%) dan terkecil adalah ketinggian 25-100 meter
seluas 39.720 ha (9,92%) (BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015).
Kabupatenn Langkat dibedakan atas 3 bagian. Bagian-bagian tersebut
antara lain : pesisir pantai dengan ketinggian 0-4 meter diatas permukaa n laut
(mdpl), dataran rendah dengan ketinggian 0-30 meter diatas permukaan laut
(mdpl), dataran tinggi dengan ketinggian 30-1200 meter permukaan laut (mdpl)
(BPS Kabupaten Langkat, 2015).
Iklim
Kondisi iklim di Aceh hampir seluruhnya tropis. Pada wilayah pesisir
pantai suhu udara rata-rata 26,90C, suhu udara maksimum mencapai 32,50C dan
minimum 22,90C. Kelembaban relatif daerah ini berkisar antara 7 dan persen.
Antara bulan Maret sampai Agustus Aceh mengalami fase musim kemarau,
kondisi ini dipengaruhi oleh massa udara benua Australia. Sementara musim
hujan berlangsung antara bulan September hingga Februari yang dihasilkan dari

massa udara daratan Asia dan Samudera Pasifik. Aceh memiliki curah hujan yang

Universitas Sumatera Utara

10

bervariasi pada setiap daerah-daerah yang berada di Aceh, berkisar antara 1.5002.500 mm per tahun (BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015).
Kabupaten Langkat termasuk daerah yang beriklim tropis, sehingga daerah
ini memiliki 2 musim yaitu musim kemarau yang terjadi pada bulan Februari
sampai dengan bulan Agustus dan musim hujan terjadi pada bulan September
sampai dengan bulan Januari. Musim kemarau dan musim hujan biasanya ditandai
dengan sedikit banyaknya hari hujan dan volume curah hujan pada bulan
terjadinya musim (BPS Kabupaten Langkat 2015).
Tanah
Sebagian besar jenis tanah di Kabupaten Aceh Selatan adalah podzolik
merah kuning seluas 161,022 ha dan yang paling sedikit adalah jenis tanah regosol
hanya 5,213 ha (BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015). Jenis-jenis tanah yang
berada di Kabupaten Langkat antara lain : sepanjang pantai pesisir dari jenis tanah
Aluvial yang sesuai untuk jenis tanaman pertanian pangan, dataran rendah dengan
jenis tanah glei humus rendah, hidromofil kelabu dan plarosal, dataran tinggi jenis

tanah podsolid berwarna merah kuning (BPS Kabupaten Langkat, 2015).
Sosial Ekonomi
Kecamatan Bakongan yang berada di Kabupaten Aceh Selatan memiliki
luas wilayah sebesar 27.415 ha, dan memiliki 7 desa (gampong). Luas masingmasing kampung menurut penggunaan lahan pada tahun 2013 berupa lahan sawah
seluas 290,00 ha, ladang seluas 675,00 ha, perkebunan seluas 445,00 ha,
bangunan seluas 142,00 ha, lainnya seluas 6.281,00 ha, dan luas seluruh 7
kampung seluas 7.833,00 ha. Kepadatan penduduk dan jumlah rumah tangga pada
tahun 2014 jumlah penduduk sebanyak 5.601 jiwa, kepadatan penduduk 68

Universitas Sumatera Utara

11

jiwa/km, jumlah rumah tangga 1.362 jiwa yang terdiri atas 2.751 jiwa laki-laki
dan 2.850 jiwa perempuan. Dari jumlah penduduk yang ada sebagian besar
penduduk bekerja sebagai petani sebanyak 266 jiwa, nelayan sebanyak 540 jiwa,
pedagang sebanyak 187 jiwa, bidang indusri RT sebanyak 11 jiwa, PNS sebanyak
187 jiwa, dan buruh/pegawai swasta sebanyak 171 jiwa. Adapun jumlah bangunan
sekolah pada tahun 2014 di Kecamatan Bakongan yaitu SD ada 5, SMP ada 1,
MTs ada 1, SMA ada 1, dan MAN ada 1 (BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015).

Kecamatan Batang Serangan yang terletak di Kabupaten Langkat memiliki
luas wilayah 89.938 ha dan memiliki 8 desa/kelurahan. Luas lahan pertanian
terbagi atas luas sawah sebesar 118 ha, dan luas bukan sawah sebesar 88.552 ha.
Luas lahan non pertanian sebesar 1.298 ha. Jumlah Penduduk di kecamatan ini
sebanyak 36.375 jiwa, yang terdiri atas 18.561 jiwa laki-laki dan 17.814 jiwa
perempuan. Adapun jumlah rumah tangga sebanyak 8.953 kepala keluarga di
antaranya bekerja pada bidang pertanian, industri/kerajinan, PNS dan ABRI,
Pedagang dan Buruh. Terdapat 21 sekolah berstatus negeri, dan 12 sekolah
berstatus swasta. Dilihat dari jumlah penduduk yang bekerja dan memiliki
penghasilan sesuai pekerjaannya Kecamatan Batang serangan dapat dikategorikan
masyarakat yang berpenghasilan rendah dan masih tergolong miskin dilihat dari
angka penduduk keluarga sejahtera (BPS Kabupaten Langkat, 2015).
Taman Nasional Gunung Leuser
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) terletak di Provinsi Sumatera
Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam. Area seluas 1.094.692 ha ini ditetapkan
oleh Pemerintah Indonesia sebagai taman nasional pada tahun 1980. Nama TNGL
diambil dari Gunung Leuser yang membentang dikawasan tersebut dengan

Universitas Sumatera Utara


12

ketinggian mencapai 3.404 meter (m) diatas permukaan laut (dpl). Bersama
dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Kerinci
Sebiat, TNGL ditetapkan UNESCO pada tahun 2004 sebagai situs warisan dunia,
Tropical Rainforest Heritage of Sumatera pada tahun 2004. Sebelumnya, TNGL
juga telah ditetapkan UNESCO sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981, dan
ASEAN Heritage Park pada tahun 1984. TNGL berada di dalam Kawasan
Ekosistem Leuser (KEL) yang luasnya mencapai 2.6 juta ha dan dianggap sebagai
rumah terakhir bagi orangutan Sumatera yang sangat terancam punah. KEL
merupakan habitat yang kompleks dengan keanekaragaman hayati yang tinggi,
namun sekaligus rentan (OIC, 2009).
Kawasan TNGL Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang
yang luasnya ± 126.000 ha berada di wilayah Kabupaten Langkat terletak di
Kecamatan Besitang, Sei Lepan, dan Batang Serangan dan sebagian di Kabupaten
Aceh Tamiang. Untuk pemangkuan wilayah kerja dibagi dalam 6 (enam) Resort,
yaitu Resort Trenggulun, Sei Betung, Sekoci, Sei Lepan, Cinta Raja, dan
Tangkahan. Pengelolaan kawasan TNGL di SPTN VI Besitang menghadapi
permasalahan yang sangat kompleks bermuara pada terjadinya kerusakan kawasan
TNGL. Untuk data luas kerusakan kawasan TNGL di wilayah Kabupaten Langkat

sendiri menurut hasil penafsiran Citra Landsat tahun 2002 menunjukkan
kerusakan seluas 43.623 ha termasuk kawasan bukan berupa hutan seluas 20.688
ha. Sedangkan menurut pantauan Yayasan Leuser Internasional (YLI)
menunjukkan kerusakan seluas 22.000 ha, tanpa menyebutkan luas kawasan tak
berhutan. Penyelesaian secara menyeluruh terhadap permasalahan kerusakan
kawasan TNGL menjadi agenda utama dari pengelolaan kawasan oleh Balai

Universitas Sumatera Utara

13

TNGL bekerja sama dengan semua pihak terkait dan pelibatan masyarakat
(OIC, 2015).
Seperempat abad sejak Leuser ditunjuk sebagai Taman Nasional, telah
banyak terjadi perubahan-perubahan geopolitik dan tata guna lahan akibat
intervensi pembangunan diseluruh kabupaten sekitar Leuser. Di wilayah Sumatera
Utara Leuser dikepung oleh perkebunan kelapa sawit. Peningkatan luas
perkebunan sawit tersebut cukup signifikan. Pada tahun 1992, luas perkebunan
sawit rakyat, swasta dan milik pemerintah tersebut 513.101 ha dan meningkat
pada tahun 1998 menjadi seluas 697.553 ha, dengan demikian peningkatannya

rata-rata 30.742 ha pertahun (Balai TNGL, 2006).
Orangutan Sumatera (Pongo abelii)
Menurut Groves (1972) klasifikasi dari Orangutan Sumatera adalah
sebagai berikut :
Kingdom

: Animalia

Phylum

: Chordata

Subphylum

: Vertebrata

Kelas

: Mamalia


Ordo

: Primata

Famili

: Pongoidea

Genus

: Pongo

Spesies

: Pongo abelii Lesson, 1827

Universitas Sumatera Utara

14


Morfologi
Ciri fisik famili Pongoidea adalah lengannya 200% dari panjang tubuh,
kaki pendek hanya 116% dari panjang tubuh. Jari telunjuk lebih kecil daripada ibu
jari. Ukuran rata-rata kepala dan tubuh jantan 956 mm serta betina 776 mm.
Tinggi saat berdiri tegak adalah 1.366 mm pada jantan dan 1.149 mm pada betina.
Berat badan rata-rata adalah 75 kg pada jantan dan 37 kg pada betina (Maple,
1980).
Menurut Supriatna dan Edy (2000), jika dibandingkan dengan orangutan
di Kalimantan, rambut Orangutan Sumatera lebih terang yaitu berwarna coklat
kekuningan serta lebih tebal dan panjang. Berat badan rata-rata Orangutan jantan
di alam yaitu berkisar antara 50-90 kg. Orangutan jantan memiliki kantung suara
untuk mengeluarkan suara yang berupa seruan panjang.
Habitat
Orangutan di Sumatera hidup di dalam hutan yang daunnya lebih rindang
daripada Orangutan yang hidup di hutan Kalimantan (van Schaik, 2004).
Orangutan mampu beradaptasi pada berbagai tipe hutan primer, mulai dari hutan
rawa, hutan dataran rendah/hutan Dipterocarpaceae sampai pada tipe hutan
pegunungan dengan batas ketinggian 1.800 m dpl. Namun ada pendapat lain yang
menyatakan bahwa Orangutan Sumatera hidup di dataran rendah aluvial (lowland
aluvial plains), daerah rawa dan daerah lereng perbukitan. Kepadatan Orangutan
yang ada di daerah pada ketinggian 1.000 sampai 1.200 m dpl terus menurun
(Singleton et. al., 2004).
Orangutan dapat hidup pada berbagai tipe hutan, yaitu hutan dataran
rendah, perbukitan, hutan rawa air tawar, rawa gambut, tanah kering diatas rawa,

Universitas Sumatera Utara

15

bakau dan nipah, serta pada hutan pegunungan. Hoeve (1996) menyatakan bahwa
habitat Orangutan Sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan pegunungan pada
ketinggian 1.000 mdpl.
Hutan hujan tropis di Sumatera memiliki sejarah, iklim dan ekologi yang
unik. Kekayaan spesies tertinggi adalah di hutan dataran rendah Dipterocarpaceae
yang memang didominasi oleh pohon-pohon dari keluarga Dipterocarpaceae
(Ashton, dkk, 1998 dalam Pujiyani, 2009). Pohon-pohon Dipterocarpaceae
menyediakan buah yang secara bersamaan pada setiap dua atau lima tahun sekali.
Hal tersebut mengakibatkan pada masa tertentu buah tersedia sangat banyak
namun pada waktu yang lainnya buah tersebut sama sekali tidak tersedia. Hal
yang berbeda terjadi pada hutan gambut Sumatera yang memiliki sedikit jenis
tumbuhan endemik namun memiliki kepadatan yang tinggi, sehingga buah akan
tersedia setiap tahun. Orangutan berperan penting dalam ekosistem, baik pada
hutan dataran rendah Dipterocarpaceae ataupun di hutan gambut. Kebiasaan
orangutan dalam makan dan pola pergerakannya menyebabkan orangutan
merupakan

penyebar

biji/benih

tumbuhan

hutan

yang

sangat

baik

(Nellemann et. al., 2007).
Hasil survei Singleton dan Wich (2011) melaporkan bahwa di sepanjang
transek blok timur dan blok barat TNGL, termasuk di areal dengan ketinggian
sekitar 1.500 mdpl ditemukan sarang orangutan. Hal ini menunjukkan pada areal
TNGL yang lebih tinggi, kehadiran Orangutan Sumatera lebih sering
dibandingkan dengan laporan survei sebelumnya. Selain itu, daerah yang sudah
ditebangi, ketika survey menunjukkan kecenderungan memiliki kepadatan
populasi orangutan yang rendah dibandingkan daerah areal hutan primer, tapi

Universitas Sumatera Utara

16

populasinya masih mendukung baik dari segi kelayakan kepadatan populasi
maupun dari jumlah keseluruhan orangutannya.
Syukur (2000) menyatakan bahwa kepadatan orangutan dipengaruhi oleh
ketinggian wilayah yang menjadi habitat orangutan, tipe hutan dan tingkat
gangguan atau ancaman. Kepadatan orangutan semakin menurun dengan
meningkatnya ketinggian suatu tempat. Rata-rata kepadatan orangutan untuk
setiap tipe hutan adalah sebagai berikut : 5 indvidu/km2 pada hutan rawa
(ketinggian sekitar 30 mdpl), 2,5 individu/km2 pada ketinggian ˂ 500 mdpl, 1,85
individu/km2 pada ketinggian 500-1000 mdpl dan akan jarang atau sama sekali
tidak ditemukan pada ketinggian ˃ 1.800 mdpl.
Perilaku
Kera besar memiliki otak yang lebih besar daripada primata lain. Pada
umumnya kera besar lebih banyak yang hidup secara terestrial namun pada
Orangutan hidupnya arboreal (Rowe, 1996). Kehidupan Orangutan dihabiskan
diatas pohon dan jarang sekali turun ke lantai hutan, kecuali untuk memakan
rayap. Orangutan berpindah dengan menggunakan keempat anggota tubuhnya,
berpindah dari cabang ke cabang lain. Daerah jelajah Orangutan adalah berkisar
antara 2-10 km dengan luas wilayah jelajah hariannya berkisar antara 800-1200
m2 (Supriatna & Edy, 2000). Rijksen (1978) menyatakan bahwa ada 13 vokalisasi
Orangutan sedangkan Nowak (1999) vokalisasi Orangutan terdiri dari 15 suara.
Orangutan relatif lebih pendiam dibandingkan dengan primata besar lainnya.
Suara yang paling banyak tercatat adalah berupa panggilan panjang (long call)
dari jantan dewasa yang mungkin terdengar dari jarak lebih dari 1 km, hal ini

Universitas Sumatera Utara

17

mungkin merupakan mekanisme dalam mengatur jarak bagi antar individunya
(Pujiyani, 2009).
Pada saat melakukan aktifitas orangutan dipengaruhi oleh faktor musim
berbuah dan cuaca. MacKinnon (1974) telah menjumpai saat buah sedang sulit
didapat di hutan, Orangutan akan menghabiskan waktu menjelajah lebih banyak
daripada waktu untuk makan. Demikian pula saat hari sedang kering (panas)
orangutan akan lebih banyak beristirahat pada siang hari. Pembagian penggunaan
waktu oleh orangutan adalah pada pagi hari digunakan untuk makan, siang hari
untuk menjelajah dengan diselingi waktu istirahat siang. Orangutan akan mulai
istirahat malam antara pukul 15.00-18.00 dengan aktivitas malam hari yang sangat
sedikit. Persentase aktivitas harian orangutan menurut Rijksen (1978) adalah 47 %
untuk makan, 40% untuk istirahat, 12 % untuk menjelajah dan sisa waktunya
untuk aktivitas sosial.
Penggunaan ruang bagi aktivitas orangutan yaitu pada lapisan antara 15-25
m diatas permukaan tanah hampir 70% dari waktu aktivitas hariannya, Orangutan
menggunakan 20% waktu aktivitas hariannya pada lapisan lebih dari 25 m dan
pada lapisan dibawah 15 m Orangutan hanya menggunakan kurang dari 10%
waktu aktivitas hariannya. Orangutan biasanya selalu membuat sarang tidur di tepi
sungai pada ketinggian 20-40 m diatas tanah (Pardede, 2000 dalam Ginting,
2006). Populasi Orangutan Sumatera sebagian besar sebarannya terbatas pada
hutan hujan dataran rendah, sebagian besar Orangutan Sumatera berada di daerah
yang memiliki ketinggian di bawah 500 m dpl dan jarang menjelajah ke tempat
yang lebih tinggi dari 1.500 m dpl (Rijksen dan Meijaard, 1999).

Universitas Sumatera Utara

18

Orangutan Sumatera sangat bervariasi dalam pemilihan jenis makanan.
Secara alami orangutan adalah pemakan buah, tetapi juga memakan berbagai jenis
makanan lain seperti daun, tunas, bunga, epifit, liana, zat pati kayu, dan kulit
kayu. Sebagai sumber protein orangutan juga mengkonsumsi serangga dan telur
burung (Supriatna dan Edy, 2000). Orangutan memiliki kebiasaan mencoba
memakan segala sesuatu yang ia temui untuk dirasakan dan kemudian
menentukan benda tersebut dapat dijadikan makanan atau tidak. Persentase jenis
makanan orangutan adalah 53,8% berupa buah, 29% berupa daun, 14,2% kulit
kayu, 2,2% bunga, dan 0,8% adalah serangga (Maple, 1980).
Fragmentasi Habitat
Fragmentasi habitat adalah pengurangan luas atau terbaginya habitat
menjadi areal-areal

yang sempit (MENLH, 2008). Salah satunya kondisi

Orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang berada di ladang masyarakat. Satwaliar
memiliki pola pergerakan tertentu dalam usaha individu maupun populasi untuk
mendapatan sumber daya yang diperlukan agar dapat bertahan hidup dan
berkembang biak (Alikodra, 2002).
Menurut (Elisa, 2000) Dampak fragmentasi pada satwaliar, khususnya
spesies adalah : pengurangan jumlah individu, pengurangan ukuran populasi
karena individu terbatas fragmen kecil, isolasi spasial populasi sisa. Sedangkan
dampak genetik dari fragmentasi adalah kehilangan diversitas genetik, perubahan
dalam

struktur

antarpopulasi,

peningkatan

kawin

kerabat

(inbreeding).

Fragmentasi menyebabkan kepunahan spesies didalam populasi lokal. Oleh
karena itu usaha untuk menjaga atau memulihkan spesies pada batang alam
(landscape) yang terfragmentasi adalah mengurangi kesempatan untuk kepunahan

Universitas Sumatera Utara

19

atau meningkatkan kesempatan untuk rekolonisasi dengan peningkatan dan
perluasan habitat populasi lokal.
Faktor Penyebab Konflik Manusia dengan Orangutan
Konflik antara manusia dan satwa liar adalah fenomena yang umum.
Konflik antara manusia dan kera besar (Human-Great Apes Conflict) yang
kemudian disingkat HGAC adalah salah satu bagian dari konflik antara manusia
dan satwa liar. Secara luas dapat didefinisikan sebagai segala interaksi antara
manusia dan kera besar yang mengakibatkan pengaruh negatif pada kondisi sosial,
ekonomi atau budaya manusia, serta kondisi sosial, ekologi atau budaya kera
besar atau konservasi kera besar dan lingkungannya.
HGAC sering kali melibatkan konflik diantara masyarakat yang memiliki
sasaran, persepsi dan tingkat penguasaan yang berbeda. Saat ini kerusakan dan
fragmentasi habitat di Afrika dan Asia Tenggara telah berada pada kondisi yang
memprihatinkan, sehingga meningkatkan jumlah populasi kera besar yang
terdesak mendekati pemukiman manusia. Sumber gangguan terhadap hutan
disebabkan oleh berbagai macam hal, namun kebanyakan ditimbulkan oleh
pertanian tanaman subsistem dan pertanian komersial berskala kecil maupun
besar, perkebunan dan industri ekstraktif seperti industri pembalakan kayu dan
pertambangan,

yang

secara

sigifikan

mengancam

hutan

tropis

(Collishaw dan Dunbar, 2000).
Konflik antara kera besar dan manusia dilatar belakangi oleh banyak hal
dan sangat bervariasi disetiap lokasinya. Konflik yang secara langsung
ditimbulkan oleh perilaku manusia meliputi: perusakan dan pencemaran sumber
daya alam, konversi habitat untuk pertanian, kompetisi sumber daya alam

Universitas Sumatera Utara

20

(misalnya: pohon buah-buahan dan air), penularan penyakit secara kebetulan
(misalnya: dari feses, sisa makanan maupun makanan yang dicuri dari manusia),
pencederaan ataupun pembunuhan kera besar dengan jerat dan perangkap
(Hockings dan Humle, 2010).
Prinsip Dasar Penanganan Konflik Orangutan dengan Masyarakat
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.48/MenhutII/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa
Liar, prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam kegiatan ini adalah :
1. Manusia dan orangutan merupakan bagian kepentingan manusia
Konflik manusia dan orangutan menempatkan kedua pihak pada situasi
yang dirugikan. Dalam memilih solusi alternatif konflik yang akan diterapkan,
pertimbangan langkah untuk mengurangi resiko kerugian yang diderita oleh
manusia, secara bersamaan harus didasari pertimbangan terbaik untuk kelestarian
orangutan yang terlibat konflik. Prinsip ini terutama digunakan pada saat proses
evakuasi orangutan dari pihak perkebunan masyarakat. Satu sisi, kerugian dari
pihak masyarakat menganggap orangutan sebagai hama perkebunan dari sisi lain
kerugian dari pihak orangutan adalah terbatasnya ruang gerak bahkan sampai
dengan ancaman terhadap hidup orangutan apabila orangutan diburu oleh
masyarakat. Sehingga proses evakuasi merupakan solusi yang dapat mengurangi
resiko kerugian terhadap kedua pihak.
2. Site specific
Secara

umum

konflik

muncul

antara

lain

karena

ruskan

atau

menyempitnya habitat orangutan yang disebabkan aktivitas manusia atau bencana
alam. Aktivitas manusia dapat berupa pembangunan di sekitar atau di dalam

Universitas Sumatera Utara

21

kawasan hutan atau kegiatan yang bersifat illegal atau tanpa ijin. Karakteristik
habitat, kondisi populasi orangutan, dan faktor ekologi lain menuntut intensitas
dan solusi penanganan konflik bervariasi di masing-masing wilayah. Kombinasi
solusi untuk masing-masing wilayah konflik sangat mungkin terjadi. Solusi yang
efektif disuatu lokasi, belum tentu dapat diterapkan pada situasi konflik di daerah
lain, demikian pula sebaliknya. Prinsip ini digunakan dalam pertimbangan
penentuan lokasi reintroduksi dan pelepasliaran. Penilaian terhadap habitat asal
serta potensi habitat pada lokasi reintroduksi dilakukan untuk penetapan lokasi
pelepasliaran (dikembalikan ke habitat asal atau harus dipindahkan ke lokasi lain
yang berpotensi sebagai habitat orangutan).
3. Tidak ada solusi tunggal
Konflik manusia – orangutan dan tindakan penanggulangannya merupakan
sesuatu yang kompleks karena menuntut rangkaian kombinasi berbagai solusi
potensial yang tergabung dalam sebuah proses penanggulangan konflik yang
menyeluruh.

Prinsip

ini

diterapkan

pada

saat

penentuan

mekanisme

penanggulangan konflik. Beberapa solusi diusulkan dalam pertemuan teknis dan
dibahas tentang kelebihan dan kekurangan dari masing-masing solusi, kemudian
ditetapkan satu kombinasi solusi penanggulangan konflik yang efektif dan efisien.
4. Skala habitat
Upaya menanggulangan konflik yang komperhensif harus berdasarkan
penilaian

yang

menyeluruh

dari

keseluruhan

daerah

jelajahnya

(home range based mitigation). Untuk kasus penanggulangan konflik orangutan
dengan manusia, prinsip ini digunakan dalam penilaian calon lokasi introduksi
orangutan. Penilaian terhadap komponen habitat dilakukan secara menyeluruh,

Universitas Sumatera Utara

22

diantaranya kondisi cuaca, ketersediaan pakan, ketersediaan tempat bersarang,
ancaman predator, resiko gangguan dari aktivitas manusia serta kapasitas populasi
orangutan pada potensi habitat
5. Tanggungjawab multi pihak
Selain sebagai sebuah isu konservasi, konflik juga mempengaruhi dan
memiliki dampak solusi dan ekonomi didaerah konflik. Sehingga penanggulangan
konflik manusia – orangutan harus melibatkan sebagai pihak yang terkait. Prinsip
ini digunakan dalam penentuan personil yang terlibat dalam kegiatan
penanggulangan konflik. Para personil yang terlibat dalam kegiatan ini adalah
Petugas Balai Besar TNGL, dokter hewan dari YEL-Program Konservasi
Orangutan Sumatera, Pemerhati orangutan dari Yayasan Orangutan Sumatera
Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL – OIC) serta masyarakat sekitar
kawasan TNGL.
Jenis-jenis Mitigasi
Mitigasi adalah upaya yang ditujukan untuk mengurangi dampak dari
bencana baik bencana alam, bencana karena ulah manusia maupun gabungan dari
keduanya dalam suatu negara atau masyarakat. Seperti yang terjadi di Taman
Nasional Gunung Leuser, dimana adanya konflik antara manusia dengan
orangutan. Aspek mitigasi ini sangat perlu dilakukan karena hampir seluruh
perkebunan dan perladangan masyarakat berbatasan langsung dengan kawasan
Taman Nasional Gunung Leuser (Departemen Kehutanan, 2007).
Secara umum langkah-langkah ini dibedakan atas masyarakat yang tinggal
di sekitar kawasan konservasi dan yang hidup berdampingan dengan kera besar
yang berada diluar kawasan konservasi, seperti di tanah milik pribadi atau milik

Universitas Sumatera Utara

23

negara. Langkah mitigasi yang ada adalah langkah netralisasi yang dibagi
kedalam beberapa metode:
1) Langkah Netralisasi Tradisional
Penjagaan pada hasil-hasil pertanian adalah langkah yang biasa diambil di
perbatasan antara kawasan pertanian dan habitat satwa liar (Salafsky, 1993; Hill,
2005; Byamukama dan Asuma, 2006); akan tetapi, data khusus yang membahas
kera besar khususnya orangutan masih sangat kurang.
2) Pemagaran Tradisional
Pemagaran tradisional terbukti tidak efektif untuk melindungi lahan-lahan
pertanian dari kera besar. Di beberapa daerah, pemagaran seringkali
dikombinasikan dengan tali jerat yang diletakkan diantaa tiang pagar untuk
menangkap tikus, namun tali jerat ini juga berbahaya bagi kera besar (Hill, 2005).
3) Penghalang Fisik
Pemagaran dan pembuatan penghalang digunakan secara luas untuk
melindungi

di

kawasan-kawasan

pertanian

dari

gangguan

satwa

(Osborn dan Hill 2005; Yuwono et al, 2007). Namun, penelitian pada orangutan
menunjukkan bahwa pagar listrik pun menjadi tidak efektif, karena kera besar
mampu mengatasi masalah tersebut, dan ketika kera besar menyadari bahwa pagar
listrik tersebut tidak akan membahayakan mereka, maka tingkat efektivitas
menjadi menururn.
4) Kanal batas
Kanal batas yang berisi air merupakan penghalang yang efektif, namun
penghalang ini tidak efektif bila tidak dibantu penghalang lain. Kanal harus cukup

Universitas Sumatera Utara

24

dalam dan cukup lebar untuk mencegah kera busur menyebrang dan tidak semua
kera besar takut dengan air (Yuwono et al, 2007).
5) Lembaran seng bergelombang
Bekas pusat rehabilitasi orangutan di Bahorok, Sumatera Utara dan
Kinabatangan, Malaysia. Lembaran seng yang bergelombang terbukti efektif
sebagai penghalang untuk mencegah orangutan mendatangi pohon buah, dengan
cara meletakkannya disekeliling pohon buah yang kanopi pohonnya tidak
terhubung dengan kanopi pohon lain (Marchal, 2005).
6). Pemasangan jaring
Merupakan metode penghalang yang murah namun dapat padat karya
untuk petani subsistem, akan tetapi metode ini perlu diuji lebih lanjut apabila akan
diterapkan di perkebunan komersial berskala besar. Pada kondisi tertentu, jaring
ikan juga cukup efektif digunakan untuk melindungi pohon yang berbuah ataupun
kawasan pertanian dari orangutan (Campbell-Smith, 2007).
7) Pagar hidup
Pagar

hidup

yang

terdiri

dari

semak

berduri

Mauritius

(Caesalpinia secapetala) telah digunakan untuk mencegah konflik antara primata
dan manusia di Uganda (Fortunate, 2004).
8) Kawasan penyangga
Kawasan penyangga adalah kawasan yang terletak diantara hutan alami
dan kawasan hutan pertanian yang dimaksudkan untuk mencegah satwa liar untuk
menyerang. Kawasan penyangga juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan yang
akan memberikan keuntungan ekonomi, tentunya dengan tetap memperhatikan

Universitas Sumatera Utara

25

pentingnya untuk tidak menanam tanaman yang dapat menarik perhatian kera
besar (Salafsky, 1993; Goldsmith, 2005; Byamukama dan Asuma, 2006).
9) Penghalau eksperimental
Terdapat tiga dasar penghalau: Visual, Akustik, Kimia. Sampai sekarang
belum diketahui apakah penghalau visual tak bergerak akan efektif untuk
menangkal primata yang mengambil hasil tanaman pertanian, walaupun primata
tersebut kemungkinan akan mudah terhabitusi dengan penghalau ini. Penelitian
mengenai penghalau akustik pada prilaku pengambilan hasil tanaman pertanian
primata sangat jarang, namun mengingat sangat mudahnya primata terhabituasi
dengan efek visual, maka kemungkinan besar primata akan mudah terhabituasi
pada suara apabila suara tersebut mudah diprediksi. Hasil pengujian penghalau
kimia pada primata menunjukkan tingkat keberhasilan yang terbatas (Chalise,
2001). Selain itu pemberian minyak cabai pada jarak pelindung tanaman juga
berhasil menghalau orangutan (Campbell-Smith, 2007).
10) Koridor
Koridor dapat mengatasi degradasi keanekaragaman gen pada kera besar
dengan mengurangi isolasi antar subpopulasi, sekaligus menyediakan sumber
pakan tambahan bagi mereka. Namun untuk mewujudkan sebuah koridor pasti
akan menyiapkan proses yang kompleks, serta berpotensi menurunkan populasi
kera besar yang berpindah ke kawasan yang sering dikunjungi manusia
(Byakmukama dan Asuma, 2006).
11). Penangkapan dan Translokasi
Pertimbangan translokasi orangutan “Bermasalah” harus menjadi langkah
terakhir. Secara etika, proses translokasi masih sangat dipertanyakan karena dapat

Universitas Sumatera Utara

26

menyebabkan stress, berbahaya dan berpotensi menyebabkan kematian,
disamping membutuhkan biaya dan tenaga yang besar (Goossens et al, 2005;
Beck et al, 2007).
Degradasi Hutan
Degradasi hutan memiliki arti yang berbeda tergantung pada suatu
kelompok masyarakat. Rimbawan memiliki persepsi yang bervariasi terhadap arti
degradasi. Sebagian mengatakan bahwa hutan yang terdegradasi adalah hutan
yang telah mengalami kerusakan sampai pada suatu point/titik dimana
penebangan kayu maupun non kayu pada periode yang akan datang menjadi
tertunda atau terhambat semuanya. Sedangkan sebagian lainnya mendefinisikan
hutan yang terdegradasi sebagai suatu keadaan dimana fungsi ekologis, ekonomis
dan sosial hutan tidak terpenuhi (Lamb, 1994).
Kepadatan Penduduk
FORINA (2014) menyatakan Habitat orangutan juga terancam oleh
maraknya kegiatan perambahan hutan dan penebangan kayu liar oleh masyarakat
yang hidup di sekitar hutan. Perambahan hutan terjadi karena adanya kebutuhan
ekonomi atau pendapatan yang tinggi akibat dari populasi penduduk yang terus
bertambah. Habitat orangutan yang berada di wilayah dengan kepadatan
penduduk tinggi diasumsikan memiliki tingkat keterancaman tinggi. Kepadatan
penduduk merupakan salah satu proxy yang dipakai untuk menggambarkan
tekanan manusia terhadap kelestarian habitat orangutan. Data kepadatan penduduk
yang dipakai dalam analisis ini bersumber dari Population Density of Indonesia
version 3 yang disusun oleh Centerfor International Earth Science Information

Universitas Sumatera Utara

27

Network (CIESIN), Columbia University dan Centro Internacional de Agricultura
Tropical (CIAT) tahun 2005.
Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG) atau Geographic Information System
(GIS) merupakan gabungan dari tiga unsur pokok yaitu sistem, informasi dan
geografis. SIG lebih menekankan pada unsur informasi geografis yaitu suatu
kesatuan formal yang terdiri dari berbagai sumber daya fisik dan logika yang
berkenaan dengan objek-objek yang terdapat di permukaan bumi. SIG dapat juga
dikatakan sebagai sejenis perangkat lunak yang dapat digunakan untuk
pemasukan, penyimpanan, manipulasi, menampilkan dan keluaran informasi
geografis berikut atribut-atributnya (Bafdal, 2011).
Sistem informasi geografis merupakan sebuah sistem yang terdiri dari
perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), data, manusia
(brainware) dan lembaga-lembaga yang digunakan untuk mengumpulkan,
menyimpan, menganalisa dan menyebarkan data-data dan informasi-informasi
mengenai daerah-daerah di permukaan bumi. SIG sebagai sistem informasi
berbasis

komputer

memiliki

empat

kemampuan

dasar

(subsistem)

(Prahasta, 2002):
a. Data input: subsistem ini memiliki tugas mengumpulkan dan mempersiapkan

data spasial beserta atributnya dari berbagai sumber. Subsistem ini juga
bertanggung jawab mengkonversi atau mentransformasikan format asli sebuah
data menjadi format yang dapat digunakan dalam SIG,

Universitas Sumatera Utara

28

b. Data

output: subsistem ini menampilkan atau menghasilkan seluruh atau

sebagian keluaran basis data baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy
seperti tabel, grafik, dan peta,
c. Data management: subsistem ini mengkoordinasikan data spasial dan

atributnya kedalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah
dipanggil, di update dan di edit,
d. Data manipulation dan analysis: subsistem ini menentukan informasi-

informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu juga melakukan
manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang
diharapkan.
Komponen SIG
SIG merupakan sistem operasi yang komplek yang terintegrasi dengan
lingkungan sistem komputer (Batubara dan Hasibuan, 2000):
a. Perangkat keras: Terdiri atas PC dekstop, workstation, hingga multiuser host
yang dapat digunakan secara bersamaan, harddisk, dan mempunyai kapasitas
memori serta RAM yang besar.
b. Perangkat lunak: Software GIS menyediakan fungsi-fungsi dan alat-alat yang
diperlukan untuk menyimpan, menganalisis, dan memperagakan informasi
geografi. Komponen-komponen software adalah alat untuk memasukkan &
memanipulasi informasi geografik, DBMS (sebuah database untuk sistem
pengelolaan),

Alat

untuk

menyokong

pertanyaan-pertanyaan

geografik,

menganalis dan Memvisualisasikan GUI (Graphical User Interface) untuk
mempermudah pengaksesan kepada alat-alat

Universitas Sumatera Utara

29

c. Data: merupakan komponen yang amat penting dalam GIS. Data geografik dan
tabulasi data yang berhubungan akan dikumpulkan dalam suatu tempat khusus
yang dapat dibeli dari penyedia data komersial. GIS akan menggabungkan ruang
data dengan sumber-sumber data lainnya dan menggunakan DBMS untuk
mengorganisasikan dan memelihara serta mengatur data.
d. Manusia: Teknologi GIS memerlukan orang untuk mengatur sistem dan
membangun rencana- rencana supaya teraplikasi dalam hal yang nyata. Pemakai
GIS adalah teknikal khas yang medesain dan memelihara sistem dan pemakai
untuk meningkatkan nilai kerja yang mereka lakukan sehari-hari.
e. Metoda: Kesuksesan GIS beroperasi tergantung pada perencanaan desain yang
baik dan metoda- metoda bisnis, yang merupakan model dan beroperasi khusus
untuk tiap-tiap organisasi. Sumber-sumber data geospasial adalah foto udara, citra
satelit, tabel statistik, dan dokumen lain yang berhubungan. Data geospasial dapat
dibedakan menjadi data grafis (data geometris) dan data atribut (data tematik).
Data grafis terdiri atas tiga elemen yaitu: titik (node), garis (arc) dan luasan atau
bidang (polygon) dalam bentuk vektor ataupun raster yang mewakili geometri
topologi, ukuran, bentuk, posisi, dan arah. Fungsi pengguna adalah untuk memilih
informasi yang diperlukan, membuat standar, membuat jadwal pemutakhiran,
menganalisis hasil yang dikeluarkan untuk kegunaan sesuai keinginan dan
merencanakannya (Prayitno, 2002).
Aplikasi SIG
Dasar pendekatan SIG terdiri dari berbagai tahapan, termasuk menyimpan,
menampilkan dan menganalisa bermacam jenis data yang tersimpan dalam data,
termasuk peta jenis vegetasi, iklim, tanah, topografi, geologi, hidrologi, sebaran

Universitas Sumatera Utara

30

species, kawasan yang dillindungi, pemukiman manusia dan pola ekstraksi
sumber daya alam. Pendekatan SIG dapat mengungkapkan berbagai hubungan
(kolerasi) antara faktor biotik dan abiotik dari suatu bentang alam, serta
membantu proses perancangan kawasan agar memiliki komunitas hayati yang ada,
bahkan menampilkan kawasan-kawasan yang berpotensi untuk mencari spesies
langkah maupun dilindungi (Turner et al., 2003).
Penilaian Sumber Daya Hutan
Menurut Davis et al, (1987) dalam Alam, dkk (2009) Penilaian merupakan
upaya untuk menentukan nilai atau manfaat dari suatu barang atau jasa untuk
kepentingan

tertentu

masyarakat.

Penilaian

mancakup

kegiatan

untuk

pengembangan konsep dan metodologi untuk menduga nilai total manfaat
sumberdaya hutan. Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu objek
bagi orang tertentu, pada waktu dan tempat tertentu. Persepsi tersebut berpadu
dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau
masyarakat. Selanjutnya dikemukakan bahwa besarnya nilai manfaat sumberdaya
hutan, sangat tergantung pada sistem penilaian yang dianut. Sistem nilai tersebut
antara lain mencakup : apa yang dinilai, kapan dinilai, dimana dan bagaimana
menilainya.
Penilaian

ekonomi

merupakan

suatu

peralatan

ekonomi

yang

menggunakan teknik penilaian sumber daya untuk mengestimasi nilai uang dari
barang dan jasa yang diberikan oleh suatu kawasan. Bahruni (1999) dalam Latifah
(2004) menjelaskan penilaian hutan bukan berusaha untuk mengadakan nilai yang
tidak ada, tetapi suatu upaya bagaimana memunculkan nilai nilai sesungguhnya

Universitas Sumatera Utara

31

yang dimiliki oleh hutan, yang secara nyata dirasakan manfaatnya oleh individu
atau masyarakat, yang oleh berbagai sebab besar nilai tersebut belum diketahui.
Konsep Penilaian Ekonomi
Penilaian ekonomi sumber daya mencakup identifikasi perubahanperubahan dalam biaya dan manfaat ekonomi akibat perubahan dampak
lingkungan. Nilai dinyatakan dalam satuan moneter sehingga tercipta tolak ukur
untuk membandingkan nilai relatif manfaat komponen ekosistem dan kegiatan
ekonomi (Alam, dkk. 2009).
Nilai dapat diamati atas dasar pilihan orang dalam pasar. Seberapa banyak
individu-individu bersedia membayar barang atau jasa dapat dianggap sebagai
petunjuk tentang nilai pada komoditi yang bersangkutan. Tetapi apa yang benarbenar dibayar sering kurang dari kebersediaan individu membayarnya bagi barang
dan jasa yang dikonsumsinya. Perbedaan antara kebersediaan membayar dan apa
yang benar-benar dibayarkan disebut surplus konsumer, dan digunakan sebagai
indikator dari nilai suatu komoditi. Kebersediaan membayar sering digunakan
dimana harga pasar tidak ada atau tidak dapat diamati. Berdasarkan landasan
konsep ekonomi, bahwa nilai ekonomi mencakup konsepsi kegunaan, kepuasan
atau kesenangan yang diperoleh individu atau masyarakat tidak terbatas kepada
barang dan jasa yang diperoleh dari jual beli, tetapi semua barang dan jasa yang
dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan manusia. Baik barang publik
maupun privat akan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian
manfaat fungsi ekologis pada hakekatnya juga nilai ekonomi, karena jika fungsi
ekologis terganggu maka akan menimbulkan ketidakmanfaatan (disutility) atau
terjadi kerugian akibat adanya bencana atau kerusakan (Ramdan, dkk, 2003).

Universitas Sumatera Utara

32

Cara penilaian yang lazim, mengelompokkan nilai menjadi tiga kelompok
besar (McNelly,1993 dan Fakultas Kehutanan IPB, 1999) meliputi :
1) Nilai pasar (market value)
Nilai pasar merupakan nilai yang diperoleh dari harga pasar hasil suatu proses
transaksi. Pada pasar bersaing sempurna, harga ini mencerminkan kesediaan
membayar setiap orang (willingnes to pay). Nilai yang diperoleh dari pasar
persaingan sempurna merupakan nilai baku karena memenuhi keinginan penjual
dan pembeli serta memberikan surplus kesejahteraan yang maksimal.
2) Nilai kegunaan (value in use) Penggunaan sumberdaya oleh seseorang atau
individu merupakan nilai kegunaan sumberdaya. Nilai kegunaan sumberdaya
dapat digunakan oleh penjual maupun pembeli untuk memberikan nilai kegunaan
lahan dan potensi tegakan hutan.
3) Nilai sosial (social value) Nilai sosial adalah nilai yang ditentukan oleh
individu atau seseorang atau masyarakat berdasarkan suatu kesepakatan secara
sosial. Bentuk-bentuk nilai sosial ini dijabarkan dalam berbagai hal seperti
undang-undang, regulasi, anggaran dll yang menetapkan bobot atau nilai sosial.
Teknik dan Metode Penilaian Penilaian Ekonomi Sumber Daya Hutan
Menurut Alam, dkk (2009), Penilaian Berdasarkan Biaya (Cost-Based
Valuation), Teknik ini menaksir nilai sumberdaya berdasarkan biaya yang
diperlukan untuk memelihara manfaat barang atau jasa lingkungan yang dinilai.
a) Indirect Opportunity Cost Metode Indirect Opportunity Cost (IOC) digunakan
untuk menghitung nilai barang lingkungan yang tidak mempunyai nilai pasar,
melalui penilaian alternatif penggunaan sumberdaya. Sebagai contoh adalah biaya
alternatif penggunaan tenaga kerja buruh untuk memanen/mengumpulkan barang

Universitas Sumatera Utara

33

lingkungan, digunakan untuk menilai barang yang dikumpulkan tersebut. Metode
IOC telah digunakan untuk menghitung nilai kayu bakar yang dikumpulkan dari
hutan di Nepal.
b) Restoration Cost, Restoration cost didasarkan pada pemikiran bahwa untuk
mengembalikan manfaat dari fungsi eksosistem yang hilang sebagai akibat dari
penggunan alternatif sumberdaya diperlukan sejumlah biaya. Nilai sumberdaya
dihitung dengan menaksir sejumlah biaya yang diperlukan untuk mengembalikan
manfaat ekosistem yang hilang. Asumsi metode ini adalah bahwa dengan
perbaikan (restoring) ekosistem ke fungsi yang asli, maka manfaat eksositem
yang hilang dapat dikembalikan. Pada kasus di hutan primer, metode ini meliputi
biaya rehabilitasi hutan.
c. Replacement Cost, Teknik ini menghitung nilai sumber daya yang hilang
berdasarkan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk membangun asset buatan yang
akan mengganti (replacing) fungsi ekosistem yang hilang. Penggunaan teknik ini
tergantung pada ketersediaan alternatif barang atau jasa yang dapat memberikan
fungsi yang sama dengan sumberdaya yang hilang. Misalnya erosi tanah didekati
dengan biaya pembuatan prasarana untuk pencegahan erosi.
d. Relocation cost, Teknik ini menghitung nilai sumber daya berdasarkan pada
biaya yang harus dikeluarkan untuk resetlemen penduduk yang bermukim di
hutan, agar hutan tersebut dapat berfungsi sesuai dengan fungsinya. Biaya ini
dapat berupa biaya resetlemen atau biaya untuk membangun areal perlindungan.
e. Preventive/defensive Expenditure Teknik ini menaksir manfaat lingkungan
berdasarkan pada besarnya biaya pencegahan (preventive expenditure) agar
manfaat lingkungan dapat terpelihara.

Universitas Sumatera Utara