Analisis Strategi Penjaminan Mutu Pendidikan Pada Pendidikan Teknologi Kimia Industri Medan (PTKI-Medan)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Kebijakan Publik
Kebijakan Publik merupakan suatu aturan-aturan yang dibuat oleh

pemerintah dan merupakan bagian dari keputusan politik untuk mengatasi
berbagai persoalan dan isu-isu yang ada dan berkembang di masyarakat.
Kebijakan publik juga merupakan keputusan yang dibuat oleh pemerintah untuk
melakukan pilihan tindakan tertentu untuk tidak melakukan sesuatu

maupun

untuk melakukan tindakan tertentu.
Dalam kehidupan masyarakat yang ada di wilayah hukum suatu negara
sering terjadi berbagai permasalahan. Negara yang memegang penuh tanggung
jawab pada kehidupan rakyatnya harus mampu menyelesaikan permasalahanpermasalahan tersebut. Kebijakan publik yang dibuat dan dikeluarkan oleh negara
diharapkan dapat menjadi solusi akan permasalahan-permasalahan tersebut.
Kebijakan Publik adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan

mengatasi permasalahan yang muncul dalam suatu kegiatan tertentu yang
dilakukan oleh instansi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
(Sondang P. Siagian, 2006).
Untuk memahami lebih jauh bagaimana kebijakan publik sebagai solusi
permasalahan yang ada pada masyarakat, kita harus memahami dulu apa dan
seperti apa kebijakan publik itu sendiri. Berikut adalah Definisi-Definisi kebijakan
publik menurut para ahli kebijakan publik.

31

32

Menurut Dye (1978), kebijakan publik sebagai “Whatever governments
choose to do or not to do.”, yaitu segala sesuatu dan atau apapun yang dipilih oleh
pemerintah untuk dilakukan dan atau tidak dilakukan. Dye juga memaknai
kebijakan publik sebagai suatu upaya untuk mengetahui apa sesungguhnya yang
dilakukan oleh pemerintah, mengapa mereka melakukannya, dan apa yang
menyebabkan mereka melakukannya secara berbeda-beda. Dia juga mengatakan
bahwa apabila pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan, maka
tindakan tersebut harus memiliki tujuan. Kebijakan publik tersebut harus meliputi

semua tindakan pemerintah, bukan hanya merupakan keinginan dan atau pejabat
pemerintah saja. Di samping itu, sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah
pun termasuk kebijakan publik. Hal ini disebabkan karena sesuatu yang tidak
dilakukan oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sama besar dengan
sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah. dalam (Sondang P. Siagian 2006 yang
membahas kebijakan publik, formulasi, Implementasi dan Evaluasi)
Anderson (1975) berpendapat kebijakan publik adalah kebijakankebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, di
mana implikasi dari kebijakan tersebut adalah: 1) kebijakan publik selalu
mempunyai tujuan tertentu dan atau mempunyai tindakan-tindakan yang
berorientasi pada tujuan; 2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah;
3) kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah,
jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan; 4)kebijakan
publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan
pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, dan atau bersifat negatif
dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu;

33

5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada
peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

Pakar kebijakan publik David Easton (1975), mendefinisikan publik policy
sebagai : “The authoritative allocation of value for the whole society, but it turns
out that only the government can authoritatively act on the ‘whole’ society, and
everything the government choused do or not to do result in the allocation of
values.” Maksudnya, publik policy tidak hanya berupa apa yang dilakukan oleh
pemerintah, akan tetapi juga apa yang tidak dikerjakan oleh pemerintah karena
keduanya sama-sama membutuhkan alasan-alasan yang harus dipertanggungjawabkan.
Menurut Edward (1995) Kebijakan publik didefinisikan sebagai “What
governments say and do, or do not do. It is the goals or purposes of governments
programs.” Maksudnya, apa yang dinyatakan dan dilakukan dan atau tidak
dilakukan oleh pemerintah termasuk kebijakan publik. Merujuk pada definisi di
atas, kebijakan publik tampil sebagai sasaran dan atau tujuan program-program.
Edward lebih lanjut menjelaskan bahwa kebijakan publik itu dapat diterapkan
secara jelas dalam peraturan perundang-undangan dalam bentuk pidato-pidato
pejabat teras pemerintah dan atau pun berupa program-program dan tindakantindakan yang dilakukan pemerintah.
Menurut Chandler dan Plano (1988) Kebijakan publik ialah pemanfaatan
yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan
masalah-masalah publik dan atau pemerintah. Selanjutnya dikatakan bahwa
kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terusmenerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung


34

dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam
pembangunan

secara

luas.

(Dalam, Sondang P

Siagian,

2009

Pengantar

Analisis Kebijakan Publik.)
Menurut Woll (1966) kebijakan publik ialah sejumlah aktivitas pemerintah
untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui

berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dalam pelaksanaan
kebijakan publik terdapat tiga tingkat pengaruh sebagai implikasi dari tindakan
pemerintah tersebut yaitu: 1) adanya pilihan kebijakan dan atau keputusan yang
dibuat oleh politisi, pegawai pemerintah dan atau yang lainnya yang bertujuan
menggunakan kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat; 2)
adanya output kebijakan, di mana kebijakan yang diterapkan pada level ini
menuntut pemerintah untuk melakukan pengaturan, penganggaran, pembentukan
personil dan membuat regulasi dalam bentuk program yang akan mempengaruhi
kehidupan masyarakat; 3) adanya dampak kebijakan yang merupakan efek pilihan
kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat (Sondang P Siagian, 2009
Pengantar Analisis Kebijakan Publik)
Pada sudut pandang lain, Hakim (2003) mengemukakan bahwa Studi
Kebijakan Publik mempelajari keputusan-keputusan pemerintah dalam mengatasi
suatu masalah yang menjadi perhatian publik. Beberapa permasalahan yang
dihadapi oleh Pemerintah sebagian disebabkan oleh kegagalan birokrasi dalam
memberikan pelayanan dan menyelesaikan persoalan publik. Kegagalan tersebut
adalah information failures, complex side effects, motivation failures, rentseeking,
second best theory, implementation failures (Hakim, 2002). (Dalam, Sondang P
Siagian, 2009 Pengantar Analisis Kebijakan Publik.)


35

Berdasarkan stratifikasinya, kebijakan publik dapat dilihat dari tiga
tingkatan, yaitu kebijakan umum (strategi), kebijakan manajerial, dan kebijakan
teknis operasional. Selain itu, dari sudut manajemen, proses kerja dari kebijakan
publik dapat dipandang sebagai serangkaian kegiatan yang meliputi (a) pembuatan
kebijakan, (b) pelaksanaan dan pengendalian, serta (c) evaluasi kebijakan.
(Dalam, Sondang P Siagian, 2009, Pengantar Analisis Kebijakan Publik.)
Menurut Dunn (1994), proses analisis kebijakan adalah serangkaian
aktivitas dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut
diartikan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai
serangkaian tahap yang saling tergantung, yaitu (a) penyusunan agenda, (b)
formulasi kebijakan, (c) adopsi kebijakan, (d) implementasi kebijakan, dan (e)
penilaian

kebijakan.

(Dalam, Sondang P

Siagian,


2009

Pengantar

Analisis Kebijakan Publik.)
Proses formulasi kebijakan dapat dilakukan melalui tujuh tahapan sebagai
berikut:
1. Pengkajian Persoalan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami
hakekat persoalan dari suatu permasalahan dan kemudian merumuskannya
dalam hubungan sebab akibat.
2. Penentuan tujuan. Adalah tahapan untuk menentukan tujuan yang hendak
dicapai melalui kebijakan publik yang segera akan diformulasikan.
3. Perumusan Alternatif. Alternatif adalah sejumlah solusi pemecahan masalah
yang mungkin diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
4. Penyusunan Model. Model adalah penyederhanaan dan kenyataan persoalan
yang dihadapi yang diwujudkan dalam hubungan kausal. Model dapat

36


dibangun dalam berbagai bentuk, misalnya model skematik, model
matematika, model disik, model simbolik, dan lain-lain.
5. Penentuan kriteria. Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan
konsisten untuk menilai alternatif kebijakan yang ditawarkan. Kriteria yang
dapat dipergunakan antara lain kriteria ekonomi, hukum, politik, teknis,
administrasi, peran serta masyarakat, dan lain-lain.
6. Penilaian Alternatif. Penilaian alternatif dilakukan dengan menggunakan
kriteria dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai
tingkat efektivitas dan kelayakan setiap alternatif dalam pencapaian tujuan.
7. Perumusan Rekomendasi. Rekomendasi disusun berdasarkan hasil penilaian
alternatif kebijakan yang diperkirakan akan dapat mencapai tujuan secara
optimal

dan

dengan

kemungkinan

dampak


yang

sekecil-kecilnya.

(Dalam, Sondang P Siagian, 2009, Pengantar Analisis Kebijakan Publik)

2.2.

Implementasi Kebijakan
Kebijakan publik tidak akan memiliki arti jika tidak diiringi dengan

pelaksanaan (implementasi) yang baik. Implementasi kebijakan merupakan tujuan
dari diadakannya kebijakan (policy goals). Implementasi kebijakan lebih bersifat
praktis, termasuk di dalamnya mengeksekusi dan mengarahkan.
Implementasi suatu kebijakan pada satu kondisi lebih penting dari
pembuatan kebijakan itu sendiri. Kebijakan akan sekedar menjadi impian dan atau
rencana yang bagus serta menjadi suatu bahan arsip apabila kebijakan itu tidak
diimplementasikan. Implementasi merupakan hal yang sangat penting, bahkan
lebih penting dari sebuah kebijakan itu sendiri (Bambang Sunggono, 1994).


37

Implementasi merupakan aspek yang penting dari seluruh aspek kebijakan.
Implementasi bukan hanya menyangkut mekanisme penjabaran keputusankeputusan ke dalam prosedur-prosedur lewat saluran-saluran birokrasi, tetapi juga
menyangkut masalah konflik, keputusan dan apa yang diperoleh dari suatu
kebijakan”. (Bambang Sunggono, 1994).
Implementasi kebijakan akan berhasil apabila terdapat 4 (empat) faktor
kritis yang mendukungnya, yaitu:
1. Komunikasi
2. Sumber daya
3. Disposisi
4. Struktur birokrasi. (Bambang Sunggono, 1994).
Keempat faktor di atas memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap
keberhasilan ataupun kegagalan pelaksanaan sebuah kebijakan. Implementasi
menuntut ketersediaan sumber daya. Kinerja implementasi akan rendah apabila
sumber daya yang dibutuhkan rendah. Sumber daya yang baik akan menimbulkan
terwujudnya implementasi kebijakan yang efektif dan efisien.
Implementasi kebijakan harus disertai dengan adanya komunikasi. Semua
pelaksana akan memahami apa yang diinginkan apabila terjalin komunikasi yang

baik. Komunikasi menyangkut kewenangan serta kepemimpinan. Struktur
birokrasi pelaksana meliputi karakteristik, norma, dan pola hubungan, sangat
berpengaruh terhadap implementasi sebuah kebijakan. Faktor sumber daya,
komunikasi, dan struktur birokrasi akhirnya bermuara pada terbentuknya disposisi
terhadap implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan juga dapat mengalami

38

kegagalan apabila pada pelaksana berjalan tidak efektif dan efisien dan tidak
loyal.
Implementasi diartikan sebagai “to provide the means for carrying out
(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give practical effects to
(menimbulkan

dampak/akibat

terhadap

sesuatu)”.

Implementasi

berarti

menyediakan sarana untuk melaksanakan suatu dan dapat menimbulkan
dampak/akibat terhadap sesuatu tertentu. (Bambang Sunggono, 1994).
Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam
bentuk Undang-Undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah dan atau
keputusan-keputusan eksekutif yang penting dan atau keputusan badan peradilan.
(Bambang Sunggono, 1994).
Bahwa apapun tingkat birokrasi yang dimiliki, pada dasarnya tidak
mengurangi tanggung jawabnya sebagai pemimpin yang mempunyai peranan
untuk memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat, karena dengan peranan
pemimpin berusaha memberikan pelayanan publik terbaik, itulah salah satu faktor
pemimpin untuk mencapai tujuan sebaik-baiknya. (Bambang Sunggono, 1994).
Dari uraian di atas, hakekat utama dari implementasi adalah memahami apa
yang seharusnya terjadi sesudah sesuatu program dinyatakan berlaku dan atau
dirumuskan, makna dari implementasi ini merupakan sesuatu sarana yang
melaksanakan program dari sebuah kebijakan yang ingin dilaksanakan secara
efisien dan efektif pada suatu rangkaian kegiatan tertentu dengan maksud dan
tujuan bersama. Hal demikian juga tidak terlepas dari peran pemimpin yang
memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat sebaik-baiknya.

39

Pada pelaksanaan kegiatan kebijakan tentunya peran pemimpin layak
diunggulkan karena mempunyai andil yang sangat penting dalam memberikan
pelayanan serta memberi motivasi dalam bekerja pada suatu organisasi. Menurut
Bambang Sunggono 1994: 151, implementasi kebijakan mempunyai beberapa
faktor penghambat, yaitu :
a. Isi kebijakan
Pertama, implementasi kebijakan gagal karena masih samarnya isi
kebijakan, maksudnya apa yang menjadi tujuan tidak cukup terperinci, saranasarana dan penerapan prioritas, dan atau program-program kebijakan terlalu
umum dan atau sama sekali tidak ada. Kedua, karena kurangnya ketetapan
intern

maupun ekstern dari kebijakan yang akan dilaksanakan.

Ketiga,

kebijakan yang akan diimplementasikan dapat juga menunjukkan adanya
kekurangan-kekurangan yang sangat berarti. Keempat, penyebab lain dari
timbulnya kegagalan implementasi suatu kebijakan publik dapat terjadi karena
kekurangan-kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu, misalnya
yang menyangkut waktu, biaya/dana dan tenaga manusia.
b. Informasi
Implementasi kebijakan publik mengasumsikan bahwa para pemegang
peran yang terlibat langsung mempunyai informasi yang perlu dan atau sangat
berkaitan untuk dapat memainkan perannya dengan baik, informasi ini justru
tidak ada, misalnya akibat adanya gangguan komunikasi.
c. Dukungan
Pelaksanaan suatu kebijakan publik akan sangat sulit apabila pada
pengimplementasian tidak
tersebut.

cukup dukungan untuk pelaksanaan kebijakan

40

d. Pembagian potensi
Sebab musabab yang berkaitan dengan gagalnya implementasi suatu
kebijakan publik juga ditentukan aspek pembagian potensi diantara para
pelaku yang terlibat dalam implementasi. Dalam hal ini berkaitan dengan
diferensiasi tugas dan wewenang organisasi pelaksana. Struktur organisasi
pelaksanaan dapat

menimbulkan masalah-masalah apabila pembagian

wewenang dan tanggung jawab kurang disesuaikan dengan pembagian tugas
dan atau ditandai oleh adanya pembatasan-pembatasan yang kurang jelas
(Bambang Sunggono, 1994 : 149-153).
Adanya

penyesuaian waktu khususnya bagi kebijakan-kebijakan yang

controversial yang lebih banyak mendapat penolakan warga masyarakat dalam
implementasinya. Menurut James Anderson, faktor-faktor yang menyebabkan
anggota masyarakat tidak mematuhi dan melaksanakan suatu kebijakan publik,
yaitu :
1) Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum, dimana terdapat
beberapa peraturan perundang-undangan dan atau kebijakan yang bersifat
kurang mengikat individu-individu:
2) Karena anggota masyarakat dalam suatu kelompok dan atau perkumpulan
dimana mereka mempunyai gagasan dan atau pemikiran yang tidak sesuai dan
atau bertentangan dengan peraturan hukum dan keinginan pemerintah:
3) Adanya keinginan untuk mencari keuntungan dengan cepat diantaranya
anggota masyarakat yang mencenderungkan orang bertindak dengan menipu
dan atau dengan jalan melawan hukum:

41

4) Adanya ketidakpastian hukum dan atau ketidakjelasan “ukuran” kebijakan
yang mungkin saling bertentangan satu sama lain, yang dapat menjadi
sumber ketidakpatuhan orang pada hukum dan atau kebijakan publik:
5) Apabila suatu kebijakan ditentang secara tajam (bertentangan) dengan sistem
nilai yang dianut masyarakat secara luas dan atau kelompok-kelompok
tertentu dalam masyarakat. (Bambang Sunggono, 1994 : 144-145).
Suatu kebijakan publik akan menjadi efektif apabila dilaksanakan dan
mempunyai manfaat positif bagi anggota-anggota masyarakat. Dengan kata lain,
tindakan dan atau perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat harus sesuai
dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah dan atau negara. Sehingga
perilaku dan atau perbuatan mereka

apabila

tidak sesuai dengan keinginan pemerintah

dan atau negara, maka suatu kebijakan publik tidaklah efektif.
Implementasi kebijakan bila dipandang dalam pengertian yang luas,
merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai actor, organisasi, prosedur,
dan teknik

yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna

meraih dampak dan atau tujuan yang diinginkan (Budi Winarno, 2002:102).
Adapun syarat-syarat untuk dapat mengimplementasikan kebijakan negara secara
sempurna menurut teori implementasi Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gun,
yaitu :
a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan dan atau instansi pelaksana tidak
akan mengalami gangguan dan atau kendala yang serius. Hambatan-hambatan
tersebut mungkin sifatnya disik, politis dan sebagainya.
b. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup
memadai.

42

c. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia
d. Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasarkan oleh suatu hubungan
e. Kualitas yang handal
f. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai
penghubungnnya.
g. Hubungan saling ketergantungan kecil
h. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan
i. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat
j. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna
k. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut
Ada tiga hal penting yang dibahas dalam proses komunikasi kebijakan,
yakni transmisi, konsistensi, dan kejelasan (carity). Faktor pertama yang
mendukung implementasi kebijakan adalah

transmisi. Seorang pejabat yang

mengimplementasikan keputusan harus menyadari bahwa suatu keputusan telah
dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Faktor kedua
yang mendukung implementasi kebijakan adalah kejelasan, yaitu bahwa petunjukpetunjuk pelaksanaan kebijakan tidak hanya harus ditrima oleh para pelaksana
kebijakan, tetapi komunikasi tersebut harus jelas.
Faktor ketiga yang mendukung implementasi kebijakan adalah konsistensi,
yaitu jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintahperintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas.
1) Sumber-sumber
Sumber-sumber penting yang mendukung implementasi kebijakan
meliputi: staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk

43

melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang dapat
menunjang pelaksanaan pelayanan publik.
2) Kecenderungan-kecenderungan dan atau tingkah laku-tingkah laku.
Kecenderungan dari para pelaksana mempunyai konsekwensikonsekwensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika para
pelaksana bersikap baik terhadap sesuatu kebijakan tertentu yang dalam hal ini
berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan
sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal.
3) Struktur birokrasi
Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan
secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan, baik itu struktur pemerintah
dan juga organisasi-organisasi swasta (Budi Winarno, 2002: 126-151).
Menurut Teori Proses Implementasi Kebijakan menurut Van Meter dan
Hom, faktor-faktor yang mendukung implementasi kebijakan yaitu:
a. Ukuran-ukuran dan tujuan kebijakan
Dalam implementasi, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran suatu program
yang akan dilaksanakan harus diidentifikasi dan diukur karena implementasi
tidak dapat berhasil dan atau mengalami kegagalan bila tujuan-tujuan itu tidak
dipertimbangkan.
b. Sumber-sumber kebijakan
Sumber-sumber yang dimaksud adalah mencakup dana dan atau
perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi
yang efektif.

44

c. Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan.
Implementasi dapat berjalan efektif bila disertai dengan ketetapan
komunikasi antar para pelaksana.
d. Karakteristik badan-badan pelaksana
Karakteristik badan-badan pelaksana erat kaitannya dengan struktur
birokrasi. Struktur birokrasi yang baik akan mempengaruhi keberhasilan suatu
implementasi kebijakan.
e. Kondisi ekonomi, social dan politik
Kondisi ekonomi, sosial dan politik dapat mempengaruhi badan-badan
pelaksana dalam pencapaian implementasi kebijakan.
f. Kecenderungan para pelaksana (implementers).
Intensitas

kecenderungan-kecenderungan

dari

para

pelaksana

kebijakan akan mempengaruhi keberhasilan pencapaian kebijakan. (Budi
Winarno, 2002: 110). Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak hanya
ditujukan dan dilaksanakan pula oleh seluruh masyarakat yang berada di
lingkungannya. Menurut James Anderson, masyarakat mengetahui dan
melaksanakan suatu kebijakan publik dikarenakan:
1) Respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan-keputusan
badan-badan pemerintah.
2) Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan.
3) Adanya keyakinan bahwa kebijakan itu dibuat secara sah, konstitusional,
dan dibuat oleh para pejabat pemerintah yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan;

45

4) Sikap menerima dan melaksanakan kebijakan publik karena kebijakan itu
lebih sesuai dengan kepentingan pribadi;
5) Adanya sanksi-sanksi tertentu yang akan dikenakan apabila tidak
melaksanakan suatu kebijakan (Bambang Sunggono, 1994: 144).

2.3.

Kebijakan Pendidikan Nasional
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

menyatakan

bahwa

Sistem

komponen pendidikan
tujuan

Pendidikan

Nasional

adalah

keseluruhan

yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai

pendidikan nasional, yaitu untuk mengembangkan kemampuan serta

meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia.
Keberadaan satuan pendidikan baik secara jenjang dan jenis di Indonesia
yang tersebar di seluruh Negara kesatuan Republik Indonesia memiliki keragaman
layanan proses, sarana dan prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, serta
mutunya. Oleh karena itu, standarisasi mutu regional dan nasional merupakan
salah satu faktor

yang harus diperhatikan

dalam upaya penjaminan dan

peningkatan mutu pendidikan.
Penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggungjawab
satuan pendidikan yang harus didukung oleh pemerintah, pemerintah daerah
provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan
masing-masing serta peran serta masyarakat. Pada level Pemerintah dilaksanakan
oleh Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, dan Departemen
Dalam Negeri serta instansi terkait lainnya (Moerdiyanto, 2008).

46

Implementasi penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan hingga saat
ini masih menghadapi berbagai macam permasalahan antara lain: (1) belum
tersosialisasikannya secara utuh Standar Nasional Pendidikan sebagai acuan mutu
pendidikan; (2) pelaksanaan penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan masih
terbatas pada pemantauan komponen mutu di satuan pendidikan; (3) pemetaan
mutu masih dalam bentuk pendataan pencapaian mutu pendidikan yang belum
terpadu dari berbagai penyelenggara pendidikan; dan (4) tindak lanjut hasil
pendataan mutu pendidikan yang belum terkoordinir dari para penyelenggara dan
pelaksana pendidikan pada berbagai tingkatan (Moerdiyanto, 2008)
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka diperlukan aspek legal tentang
penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan meliputi: (1) pengertian dan ruang
lingkup penjaminan dan peningkatan mutu; (2) pembagian tugas dan
tanggungjawab yang proporsional dalam penjaminan dan peningkatan mutu
pendidikan, (3). pencapaian Standar Nasional Pendidikan, dan (4) pengembangan
sistem informasi mutu pendidikan yang efektif untuk pengelolaan, pengambilan
keputusan dalam penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan. (Moerdiyanto,
2008)
Upaya penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan sulit dilepaskan
keterkaitannya dengan manajemen mutu, dimana semua fungsi manajemen yang
dijalankan diarahkan semaksimal mungkin dapat memberikan layanan yang
sesuai dengan dan atau melebihi standar nasional pendidikan. Berkaitan dengan
hal tersebut diperlukan upaya untuk mengendalikan mutu (quality control).
Pengendalian mutu dalam pengelolaan pendidikan tersebut dihadapkan
pada kendala keterbatasan sumber daya pendidikan. Oleh karena itu diperlukan

47

suatu upaya pengendalian mutu dalam bentuk jaminan dan atau assurance, agar
semua aspek yang terkait dengan layanan pendidikan yang diberikan oleh sekolah
sesuai dengan dan atau melebihi standar nasional pendidikan. Konsep yang terkait
dengan hal ini dalam manajemen mutu dikenal dengan Quality Assurance dan
atau penjaminan mutu.
Pertumbuhan ekonomi, kemakmuran, dan kesejahteraan suatu negara amat
dipengaruhi

oleh

kemampuan

bangsanya

menguasai

ilmu

pengetahuan.

Disamping itu, semakin kuatnya kecenderungan sistem keterbukaan turut
mewarnai timbulnya iklim persaingan global. Pendidikan tinggi dalam hal ini
mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terbesar dalam membangun fondasi
untuk meningkatkan daya saing tersebut. Keyakinan dan pemikiran inilah yang
mendasari argumen bahwa pendidikan tinggi harus ditingkatkan mutu dan
pengembangannya untuk mencapai tingkat mutu, yang mampu secara efektif
berkontribusi kepada peningkatan daya saing bangsa.
Pada awal 2003, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan Nasional telah menerbitkan dokumen 2003-2010. Dokumen ini
menggantikan Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang
(KPPTJP) 1996-2005 untuk dapat mengikuti dan mengantisipasi perubahan yang
amat cepat yang terjadi sejak reformasi tahun 1998. Higher Education Long Term
Strategy (HELTS) merumuskan tiga kebijakan dasar pengembangan pendidikan
tinggi yaitu daya saing bangsa, otonomi dan desentralisasi, dan kesehatan
organisasi. Untuk melaksanakan ketiga kebijakan tersebut, pembuat kebijakan di
tingkat Pemerintah Pusat dan daerah mempunyai peran yang amat sentral
mempercepat tercapainya visi dan misi pendidikan nasional yang tertuang dalam

48

Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bagi
setiap penyelenggara pendidikan selain undang-undang ini, paling tidak ada tiga
(3) kebijaksanaan nasional berupa Peraturan Pemerintah yang harus dijadikan
acuan dasar yaitu; Peraturan Pemerintah tentang Sertifikasi Guru dan Dosen,
Akreditasi Lembaga (BAN) dan Standar Nasional Pendidikan. Tujuan dari
kebijaksanaan ini dimaksudkan agar terwujud upaya dari setiap penyelenggara,
terutama pendidikan tinggi untuk melakukan peningkatan “mutu” pendidikan
secara berkesinambungan.
Kerangka dasar pengembangan sistem dan manajemen pendidikan tinggi
yang implementasinya memerlukan partisipasi dan dukungan dari semua unsur
seperti: pembuat kebijakan (pemerintah pusat dan daerah, lembaga legislatif dan
yudikatif), masyarakat perguruan tinggi (pimpinan, dosen, staf pendukung, dan
masyarakat umum (orangtua mahasiswa, sektor produktif, LSM, alumni, media
masa serta lainnya).
Peran perguruan tinggi adalah untuk menghasilkan lulusan yang kreatif
dan inovatif dengan keterampilan khusus yang dibutuhkan dalam berbagai sektor
ekonomi, memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi, sehingga mampu untuk
terus memperbarui struktur ekonomi dan sosial yang relevan dengan perubahan
dunia. Perguruan tinggi juga memiliki peran yang penting dalam meningkatkan
jumlah dan mutu penelitian yang memungkinkan suatu negara untuk memilih,
menyerap, dan menciptakan pengetahuan baru secara lebih cepat dan efisien
dibanding yang ada sekarang.

Pemerintah berupaya meningkatkan mutu

pendidikan tinggi dengan menilai kelayakan minimal bagi perguruan tinggi untuk
menyelenggarakan proses pendidikan melalui Evaluasi Program Studi Berbasis

49

Evaluasi Diri (EPSBED) dan melalui proses akreditasi oleh Badan Akreditasi
Nasional (BAN) yang mulai berfungsi tahun 1997. Selain BAN, Ditjen Dikti juga
melaksanakan fasilitasi dan pemberdayaan perguruan tinggi untuk meningkatkan
mutu dengan menyediakan alokasi pendanaan melalui kompetisi, pembuatan
evaluasi diri, dan rencana pengembangan yang memenuhi kriteria berdasar
paradigma baru pendidikan tinggi. Pendanaan berbasis kompetisi berusaha untuk
mempercepat penerapan paradigma baru dan telah menunjukkan hasil
menggembirakan dalam skala kecil rintisan, tetapi belum menyentuh seluruh
proses alokasi anggaran pemerintah. Sejalan dengan hal ini, penjaminan mutu
internal yang lebih intensif baru akhir-akhir ini dikembangkan sebagai suatu
bentuk kesadaran dari pengelola perguruan tinggi untuk menjamin dan
meningkatkan mutunya secara konsisten, sekaligus sebagai bentuk akuntabilitas
terhadap masyarakat.
Pada fungsinya yang paling mendasar, pendidikan tinggi merupakan
landasan bagi pertumbuhan dan pendorong perkembangan bangsa. Perguruan
tinggi diharapkan sebagai suatu kekuatan moral yang mampu:
1. Membentuk karakter dan budaya bangsa yang berintegritas tinggi didasari oleh
nilai-nilai luhur [kejujuran, kebenaran, kewajaran sikap (sense of decency),
saling percaya, dan saling menghormati] sebagaimana nilai-nilai yang
dikembangkan di masyarakat akademis;
2. Memperkuat persatuan bangsa melalui penumbuhan rasa kepemilikan dan
kebersamaan sebagai suatu bangsa yang bersatu dan tidak berbasis
kedaerahan, suku, agama, dan ras;

50

3. Menumbuhkan masyarakat yang demokratis sebagai pendamping bagi
kekuatan sosial politik;
4. Menjadi pengawal reformasi nasional;
5. Menjadi sumber ilmu pengetahuan dan pembentukan SDM yang sensitif dan
responsif terhadap kebutuhan masyarakat dengan seluruh strata sosialnya.
Perguruan tinggi perlu berubah untuk membantu memecahkan persoalan
serta memberdayakan bangsa agar dapat mengantisipasi perubahan ekonomi
global yang sangat cepat dan kompleks. Perubahan dan kemajuan ekonomi global
yang cepat dan kompleks tersebut ditentukan oleh pengembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS), dan pola hubungan antara IPTEKS
dengan pembangunan. Agar dapat mengejar ketertinggalan ekonomi global,
sistem pendidikan tinggi di Indonesia harus diperbaiki dengan mendorong
pendidikan ilmu pengetahuan, teknologi serta kolaborasi penelitian dasar,
penelitian terapan, dan penelitian pengembangan IPTEKS. Dalam hubungan ini
kebijakan nasional mengenai copy right dan copy left movement perlu dikaji dan
dikembangkan dengan seksama untuk memberikan sebesar-besarnya manfaat bagi
kemajuan bangsa.
Pemerintah perlu secara sistematis menciptakan lingkungan yang
kondusif untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam meningkatkan akses dan
mutu pendidikan tinggi. Hal tersebut sangat penting bagi upaya mempercepat
tercapainya critical tenaga kerja yang bermutu. Pendidikan tinggi yang dimaksud
dapat bersifat memenuhi kebutuhan yang luas dan variatif berdasar pada mutu dan
akuntabilitas.

51

Dalam sistem pendidikan tinggi yang bertumpu pada otonomi dan
desentralisasi, organisasi sejawat memiliki peran yang amat penting, karena akan
melaksanakan sebagian peran dan fungsi otoritas pusat. Dewan Pendidikan Tinggi
(Higher Education Board), lembaga akreditasi, dan organisasi profesi merupakan
tiga organisasi sejawat yang menjadi pilar utama untuk mendukung upaya
tersebut. Organisasi profesi terutama akan penting perannya dalam proses
Sertifikasi tenaga profesional yang dihasilkan pendidikan tinggi (dalam bidang
kesehatan, rekayasa, hukum, akuntansi, dan sebagainya).

2.4.

Teori -teori Pembangunan dalam Sistem Mutu Pendidikan Tinggi
Pendidikan, termasuk pendidikan teknologi dan kejuruan, diharapkan

mampu menghasilkan tenaga kerja profesional yang diperlukan oleh lapangan
kerja dan atau menciptakan peluang kerja untuk menampung tenaga kerja lainnya.
Seperti diungkapkan oleh Sayuti Hasibuan bahwa fungsi sistem pendidikan dalam
kaitannya dengan ketenagakerjaan meliputi dua dimensi penting, yaitu: (1)
dimensi kuantitatif yang meliputi fungsi sistem pendidikan dalam memasok
tenaga kerja terdidik dan terampil sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang
tersedia, dan (2) dimensi kualitatif yang menyangkut fungsinya sebagai penghasil
tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi sumber pengerak pembangunan
Dalam Ace Suryadi & H.A.R. Tilar, 1994 : 137),
Kepentingan sistem masih menimbulkan masalah pada pendidikan tinggi
antara lain: (1) pertumbuhan kesempatan kerja yang jauh di bawah pertumbuhan
angkatan kerja, (2) kualitas kerja yang tidak sesuai dengan tuntutan kerja, (3)
kesenjangan antara kemampuan dengan peluang antisipasi, (4) kesenjangan antara

52

pemanfaatan inovasi teknologi dengan proses produksi, dan (5) kurangnya minat
terhadap penelitian (Cony R. Semiawan,, 1999),
Semua masalah di atas berdampak pada produktivitas bangsa secara
umum, dan akhirnya berdampak pada pembangunan negeri. Sehubungan dengan
hal tersebut, banyak kritik dilontarkan terhadap sistem pendidikan yang, pada
dasarnya menyatakan bahwa
mengakibatkan

bertambahnya

perluasan kesempatan belajar cenderung
pengangguran

tenaga

bertambahnya tenaga produktif sesuai dengan kebutuhan

terdidik

daripada

lapangan kerja

(Robinson, Philip, 1981).
Permasalahan yang harus dipecahkan untuk mengantisipasi kritik di atas
adalah “bagaimana perguruan tinggi bisa menghasilkan tenaga-tenaga profesional
dalam berbagai profesi, dengan tidak mengabaikan upaya pemerataan kesempatan
pendidikan”. Tuntutan politis masyarakat untuk mengupayakan pemerataan
kesempatan pendidikan telah mendapat respon dari berbagai pihak. Pandangan
terhadap pendidikan yang sebelumnya mengidentikkan pendidikan dengan
pendidikan formal telah berubah dengan adanya pengakuan terhadap pendidikan
nonformal dan informal. Pendidikan nonformal dan pendidikan informal lebih
banyak diakibatkan oleh desakan pasar. Artinya, pendidikan nonformal dan atau
pendidikan informal untuk bidang tertentu dijalankan karena memang sudah ada
keperluan masyarakat akan pendidikan tersebut. Hanya saja, tidak semua sisi dari
pendidikan formal dapat diperoleh lewat pendidikan nonformal dan atau informal.
Oleh karena itu, diperlukan suatu mekanisme untuk saling melengkapi antara
pendidikan formal, nonformal dan informal, dalam upaya mempercepat

53

pengakuan masyarakat terhadap lulusan pendidikan, khususnya pendidikan
teknologi dan kejuruan (Semiawan, Cony R., 1994)
Teori Human Capital beranggapan bahwa semakin tinggi mutu
pendidikan, semakin tinggi produktivitas tenaga kerja, semakin tinggi pula
pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat. Teori ini menyatakan
dalam perekonomian, orang- orang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi
akan memiliki penghasilan lebih besar daripada orang-orang yang memiliki
pendidikan yang lebih rendah. Intinya, teori Human Capacity menganggap
pendidikan sebagai suatu investasi, baik bagi individu maupun bagi masyarakat.
Investasi tersebut akan meningkatkan ketrampilan, dan oleh karena itu juga
meningkatkan

produktivitas,

yang

secara

langsung

akan

menciptakan

kesejahteraan. Asumsi yang melatarbelakangi teori Human Capital adalah adanya
pasar bebas untuk tenaga kerja. Setiap masyarakat memiliki sejumlah job dalam
ketrampilan tinggi yang membawa renumerasi yang tinggi. Tenaga kerja yang
akan mengisi job tersebut ditentukan oleh sistem pendidikan, sedemikian sehingga
individu yang memiliki kemampuan tinggi akan mendapatkan job yang paling
dinginkan.
Pengaruh dari teori Human Capital terhadap kebijakan pendidikan di
negara- negara dunia ketiga sangat besar. Negara-negara dunia ketiga mendorong,
dan bahkan memberikan bantuan dana untuk investasi di bidang pendidikan.
Dengan cara demikian perekonomian negara tersebut diharapkan bisa berjalan
lancar, tidak mengalami kemacetan karena kurangnya tenaga terampil. Untuk
kebijakan dalam negeri, investasi tersebut diharapkan dapat menciptakan keadilan
sosial, dengan asumsi bahwa kemiskinan akan bisa dihapuskan apabila kaum

54

miskin bisa masuk sekolah. Langkah pertama yang bisa diambil untuk mencapai
tujuan itu adalah dengan mengadakan sekolah-sekolah. (Semiawan, Cony R.,
1994)
Kebenaran teori Human Capital memang belum terbukti. Di Amerika
Serikat misalnya, pendidikan di kalangan orang dewasa berkulit putih sudah
mendekati sama antara tahun 1950 sampai tahun 1970. Akan tetapi pada sat yang
sama terjadi hal yang bertentangan dengan prediksi teori Human Capital, yaitu
distribusi pendapatan menjadi tidak sama. Disimpulkan bahwa investasi dalam
pendidikan tidak cukup untuk meningkatkan taraf hidup kaum egalitarian.
Kelemahan teori Human Capital bisa disebabkan oleh lapangan kerja yang
tersedia, khususnya di sektor modern sangat terbatas, sehingga tidak mampu
menampung lulusan yang datang dalam waktu relative bersamaan. Selain itu,
kenyataan menunjukkan bahwa lulusan pendidikan umum belum siap bekerja
sesuai dengan yang diharapkan oleh lapangan kerja. Akibatnya, dunia usaha dan
atau industri harus melatih tenaga yang belum siap pakai tersebut dalam jangka
waktu yang lama, yang juga berarti menambah anggaran pendidikan. Selain itu,
yang sering menjadi sasaran kritik dari teori Human Capital adalah terlalu
menekankan pada dimensi material sehingga mengurangi nilai kultur manusia
(Satryo Soemantri, 2000)
Kekurangan yang terjadi pada teori Human Capital menyebabkan
munculnya teori baru yang bermaksud mengoreksi teori Human Capital, yaitu
teori Krendalisme. Menurut teori Krendalisme. Sistem pendidikan harus mampu
membuka dan memperluas wawasan tenaga kerja yang dihasilkan, khususnya
dalam membuka peluang kerja yang baru.

55

Selanjutnya dinyatakan bahwa pendidikan harus mampu menghasilkan
tenaga yang mampu mengerahkan potensi masyarakat untuk menghasilkan produk
dalam bentuk barang dan jasa, dan sekaligus mampu membuka peluang
pemasarannya. Ini berarti tujuan pendidikan adalah menghasilkan tenaga yang
mampu memperluas lapangan kerja, sehingga tidak tergantung kepada lapangan
kerja yang sudah ada, bahkan sebaliknya mampu menyediakan peluang kerja bagi
tenaga kerja lainnya (Semiawan, Cony R., 1994)
Teori krendalisme tidak yakin bahwa pendidikan formal akan mampu
menghasilkan tenaga terampil bekerja. Akan tetapi, teori krendalisme sangat yakin
bahwa pelatihan kerja merupakan media yang strategis dalam menjembatani
antara pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja. Paradigma yang dipegang
adalah belajar untuk membelajarkan diri lebih penting daripada mengingat
informasi. Apabila terjadi ketidaksesuaian antara pendidikan dengan lapangan
kerja maka hal ini dianggap sebagai gejala ketidakmampuan sistem pendidikan
untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap dilatih dan atau membelajarkan diri
untuk menjadi tenaga terampil sesuai dengan kebutuhan pasar. Sebaliknya
ketidaksesuaian tersebut juga bisa dianggap sebagai kekurangmampuan lapangan
kerja untuk memfungsikan sistem pelatihan kerja secara optimal. Kondisi yang
cukup baik terjadi adalah apabila pelatihan kerja merupakan bagian integral dari
industri dan atau perusahaan. Melalui mekanisme ini pelatihan dalam industri dan
atau perusahaan merupakan tempat yang tepat untuk menghasilkan tenaga kerja
yang siap pakai. Di lain pihak, pendidikan formal diharapkan secara maksimal
mampu menghasilkan tenaga potensial yang dapat dikembangkan lebih lanjut di
dunia kerja. Akan tetapi lemahnya koordinasi antara pendidikan formal dengan

56

dunia kerja merupakan ancaman serius terhadap teori ini. Kesenjangan yang lebar
antara kemampuan dasar yang dimiliki oleh para lulusan dengan tuntutan
ketrampilan dari dunia kerja akan mengakibatkan proses pelatihan akan berjalan
dalam waktu yang cukup lama. Sudah barang tentu hal ini akan sangat merugikan
dunia usaha karena harus menyediakan dana untuk pelatihan yang cukup besar.
Selain itu tenaga terampil yang diharapkan tidak bisa menjadi tenaga profesional
dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga juga mempengaruhi produktivitas
perusahaan dan atau industri. (Satryo Soemantri, 2000)

2.5.

Kajian Teori Manajemen Mutu Pendidikan
Definisi Penjaminan kualitas menurut Elliot (1993) adalah seluruh rencana

dan tindakan sistematis yang penting untuk menyediakan kepercayaan yang
digunakan untuk memuaskan kebutuhan tertentu. Dimana kebutuhan tersebut
merupakan refleksi dari kebutuhan pelanggan. Penjaminan kualitas biasanya
membutuhkan evaluasi secara terus-menerus dan biasanya digunakan sebagai alat
bagi manajemen. Sedangkan menurut Gryna (1988), penjaminan kualitas
merupakan

kegiatan

untuk

memberikan

bukti-bukti

untuk

membangun

kepercayaan bahwa kualitas dapat berfungsi secara efektif (Pike dan Barnes,
1996).
Cartin (1999:312) memberikan Definisi penjaminan kualitas sebagai
berikut :
Quality Assurance is all planned and systematic activities implemented
within the quality sistem that can be demonstrated to provide confidence
that a product or service will fulfill requirements for quality.

57

Jadi, Secara umum dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
penjaminan mutu adalah proses penetapan dan pemenuhan standar mutu
pengelolaan secara konsisten dan berkelanjutan, dan sistematis sehingga
konsumen, produsen, dan pihak lain yang berkepentingan memperoleh kepuasan
dan percaya dengan kualitas produk yang ditawarkan, dengan demikian,
penjaminan mutu pendidikan adalah proses penetapan dan pemenuhan standar
mutu pengelolaan pendidikan secara konsisten dan berkelanjutan, dan sistematis
sehingga stakeholders memperoleh kepuasan.
Teori manajemen mutu (quality management) telah banyak diterapkan
dalam berbagai bidang, industri dan akademik (industrial and academic leaders),
produksi dan jasa, profit dan non-profit, baik organisasi besar maupun kecil
bahkan dipercayai dan diletakkan sebagai ‘a flurry of activity’. (Biggs, John 2001,
Dalam Raden Intan, 2008)
Hadirnya manajemen mutu telah mendorong anggota dalam organisasi
tersebut untuk sibuk dan bergerak menuju pencapaian mutu. Deming merupakan
tokoh kunci yang memberikan kontribusi pada percepatan revitalisasi ekonomi
Jepang setelah Perang Dunia II melalui manajemen mutu. (Billing, David, 2004,
Dalam Raden Intan, 2008)
Yoshida mempersoalkan tentang manajemen mutu yang telah diterapkan
di Jepang tersebut untuk kemudian diterapkan di Amerika Serikat yang hasilnya
tidak sebaik di Jepang. Walaupun kemudian banyak peneliti yang mengemukakan
bahwa metode management Deming banyak diterapkan dalam perusahaanperusahaan di Amerika Serikat. (Yoshida, K., 1989, Dalam Raden Intan, 2008)

58

Manajemen mutu yang dikemukakan Deming dikritisi oleh John C.
Anderson dkk., yang menyatakan bahwa Deming sebenarnya hanya memberikan
semacam petunjuk (prescriptive), bukan menjelaskan teori manajemen mutu,
sehingga tampak empirik praktis dengan 14 point sebagai rambu-rambunya
(Anderson, John C. et.al., 1994, Dalam Raden Intan, 2008)
Oleh karena itu, Anderson merumuskan teori manajemen mutu serta
aplikasi praktis sehingga dapat digunakan untuk penelitian lanjutan. Dalam hal
ini, David A. Waldman meneliti relasi antara individu-individu dalam organisasi
dengan proses sistem manajemen yang menyimpulkan bahwa manajemen mutu
terpadu

memiliki kontribusi terhadap teori-teori pengembangan sumber daya

manusia dalam kesempurnaan kinerja. Waldman mengkaji sistem manajemen
dalam organisasi yang sebelumnya hanya dipandang pengembangan SDM secara
individual, padahal yang terpenting adalah sistem organisasi. Nuria Lopez Mielgo
dkk., meneliti tentang hubungan antara mutu dengan manajemen inovasi yang
sudah lumrah dianggap bertentangan menurutnya. (Waldman, David A.1994,
Dalam Raden Intan, 2008)
Hasil penelitian Mielgo menyatakan bahwa walaupun dua kegiatan
tersebut adalah kompleks, tetapi kenyataannya perusahaan-perusahaan yang
inovatif adalah perusahaan yang mengubah manajemen dengan menemukan
manajemen mutu. Menurut Mielgo, kemampuan inovasi berhubungan dengan
sumber nilai tertentu dan menjadi kemampuan akumulasi yang melebihi batas
waktu sehingga memiliki nilai tambah. Oleh karena itu, dalam perusahaan dan
atau organisasi diperlukan standar dan kontrol mutu, sehingga muncul standar

59

terhadap proses dan produk baru (Mielgo, Nuria Lopez, et.al, 2009, Dalam Raden
Intan, 2008)
Sim B. Sitkin dkk., mendebat karakteristik total quality manajemen dalam
pendekatan tradisional yang hanya membatasi diri pada kontrol, kontrol mutu
karena tidak mengandung unsur pembelajaran. (Sitkin, Sim B. et.al, 1994, Dalam
Raden Intan, 2008)
Secara teoritis, manajemen mutu mudah dirumuskan, akan tetapi dalam
implementasinya banyak keragaman, bahkan kesulitan sebagaimana dikaji dalam
penelitian Rhonda K. Reger dkk. Hasil penelitian Reger menyimpulkan bahwa
kesuksesan organisasi tergantung pada kemampuan manajemen dalam menyusun
model yang dinamis untuk mentransformasikan perubahan secara bertahap sesuai
prioritas organisasi. Reger, Rhonda K. et.al., 1 994, Dalam Raden Intan, 2008)
T. Ravichandran meneliti manajemen mutu dalam pengembangan sistem
organisasi yang melibatkan 1000 perusahaan dan agensi pemerintahan dengan
menyimpulkan bahwa mutu terbaik hanya dicapai jika top manajemen
menciptakan infrastruktur yang mengenalkan perbaikan dalam desain proses dan
menghubungkannya dengan stakeholders.(Ravichandran, T. & Arun Rai,, 2000,
Dalam Raden Intan, 2008)
Manajemen

mutu

walaupun

konotasinya

positif,

tetapi

dalam

pengembangan manajemen mutu tidak selalu positif sebagaimana pembelajaran
dalam kenyataannya sulit dikembangkan. Jeliazkova meneliti variasi penjaminan
mutu di Eropa dengan menyimpulkan bahwa dinamika eksternal dan internal
sangat mempengaruhi desain penjaminan mutu. Kesimpulan ini berbeda dengan
David Billing yang menyatakan bahwa dalam internasionalisasi pendidikan,

60

penjaminan mutu eksternal menjadi model yang ditransfer dari negara satu ke
negara lainnya. (Jeliazkova, Margarita & Don F. Westerheijden, 2000, Dalam
Raden Intan, 2008)
John Biggs meneliti penjaminan mutu dalam dua perdebatan apakah
sifatnya retrospective dan atau prospective. Kesimpulan penelitian Biggs
menyatakan bahwa penjaminan mutu itu sifatnya prospective yang mengandung
proses Quality Model, Quality Enhancement, dan Quality Feasibility sebagai
tahapan tercapainya mutu. Kesimpulan ini bertentangan dengan Bowden yang
menyimpulkan bahwa penjaminan mutu adalah pengukuran terhadap apa yang
sudah dilaksanakan dalam manajemen. (Biggs, John., 2001, Dalam Raden Intan,
2008)
Dirkvan Damme menyimpulkan bahwa penjaminan mutu (QA) harus
kolaborasi antara pemerintah dan institusi pendidikan dengan pengukuran yang
diperluas, walaupun dalam hal kasus mobilitas penerimaan peserta didik dengan
program yang sangat beragam. Hal ini dengan pertimbangan bahwa stakeholders
utama adalah pemerintah yang membutuhkan sumber daya manusia yang handal.
(Damme, Dirk Van, 2001, Dalam Raden Intan, 2008)
Penjaminan mutu di Australia muncul diakibatkan adanya desakan
globalisasi namun juga hasilnya memberikan kontribusi pada globalisasi secara
simultan. Pemerintah telah memberikan kebijakan pada tahun 1990-an agar
lembaga pendidikan menempatkan kustomers utama yaitu pemerintah sebagai
pemilik dana yang membutuhkan sumberdaya bagi lapangan pekerjaan.
G.

Srikanthan

menyimpulkan

pentingnya

model

holistik

yang

menggabungkan idealitas pendidikan, pelayanan dan etos perilaku dalam

61

pendidikan tinggi sehingga terjadi sinergi antara pendidikan dan teori organisasi.
(Srikanthan, G., 2002 Dalam Raden Intan, 2008)
Berdasarkan uraian hasil-hasil penelitian tentang manajemen mutu,
perdebatan akademiknya terletak pada pengukuran dan mengelola mutu itu
sendiri, bukan pada penting tidaknya manajemen mutu. Nina Becket dan Maureen
Brookes menyatakan bahwa banyak negara mengadopsi model pengukuran mutu
yang berbeda-benda.
Berdasarkan kajian teori terdahulu dapat dipahami bahwa masalah mutu
pendidikan erat kaitannya dengan model manajemen yang diimplementasikan
dalam lembaga pendidikan tersebut. Oleh karena itu, manajemen mutu perlu
dikelola dengan baik oleh seluruh komunitas lembaga pendidikan, sehingga
benar-benar sejalan dengan perkembangan teori dan dinamika kebutuhan realitas
yang berkembang dalam masyarakat.
Sistem manajemen mutu dalam bidang pendidikan masih tergolong baru
dibandingkan dengan manajemen mutu bidang ekonomi industri. Edward Sallis
mengatakan bahwa gerakan untuk menerapkan manajemen mutu dalam bidang
pendidikan dimulai sejak tahun 1980-an di Amerika Serikat terbatas dalam
colleges. Pada tahun 1990-an berkembang di lembaga pendidikan formal dan
mulai menyadari pentingnya manajemen mutu. Para tokoh pendidikan yang
tergabung dalam bentuk asosiasi telah mengkaji tentang penerapan manajemen
mutu. Robert Kaplan dalam hasil penelitiannya memberikan input pada
manajemen mutu di Harvard Business School walaupun hanya terbatas pada
relevansi kurikulum pendidikan dengan dunia industri. A. Roberts melakukan
penelitian tentang manajemen mutu dalam aspek kepuasan customers, orangtua

62

dan dunia kerja yang menyatakan bahwa terdapat variasi cara manajemen untuk
mewujudkan kepuasan tersebut. Pasca tahun 1990-an gerakan manajemen mutu
mulai bergerak ke Eropa untuk mengkaji gap (kesenjangan) antara kebutuhan
industri dengan hasil-hasil pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan. Pada
waktu itu di Eropa masih sedikit kesadaran pentingnya manajemen mutu terutama
dalam bidang pendidikan. (Roberts, A, 1992, Dalam Raden Intan, 2008)
Teori manajemen mutu kemudian menjadi kebutuhan dalam mengelola
lembaga-lembaga pendidikan hingga era persaingan merebut jaminan mutu.
Pemerintah, masyarakat dan pengguna jasa pendidikan sangat membutuhkan
lembaga pendidikan yang bermutu. Hal ini harus direspon oleh para pengelola
lembaga pendidikan baik dasar, menengah maupun pendidikan tinggi. Sikap
demikian akan memberikan manfaat besar baik kepada internal maupun eksternal.
Secara internal lembaga pendidikan akan berkembang dan maju sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup yang lebih baik bagi semua anggota
institusi pendidikan tersebut. Secara eksternal akan mendapatkan kepuasan
layanan pendidikan sehingga mendukung program-program yang ditetapkan
lembaga. Hubungan timbal b