DILEMA PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA Upaya

DILEMA PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA
Upaya Mengkaji Integrasi Dikotomi Pendidikan Islam Dan Umum Di Indonesia
Melalui Pendekatan Historis
Oleh : Willy Ramadan, S.Pd
A. PENDAHULUAN
Secara sederhana, pendidikan adalah sebuah proses humanisasi, yang berarti
memanusiakan manusia. Pendidikan bertujuan untuk menjadikan manusia lebih baik
dalam menjalani kehidupan. Suparlan menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan
sistem proses perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan, dan pematangan
diri.1 Sehingga kemudian dengan proses tersebut diharapkan mampu menjalani
tatanan kehidupan bermasyarakat dengan baik. Baik itu dalam tatanan kehidupan
beragama, ekonomi, sosial, politik dan lainnya.
Semua tentu sepakat dan tak ada yang menolak akan urgensi serta vitalitas
posisi pendidikan dan peranannya dalam memperbaiki kehidupan manusia. Baik itu
pendidikan formal maupun informal. Begitu juga halnya dengan pemerintah
Indonesia. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sejak kemerdekaan Indonesia,
para pejuang kemerdekaan menginginkan atau mencita-citakan agar kemerdekaan
mampu “mencerdaskan” masyarakat bangsa ini agar menjadi bangsa yang besar
dan terdidik. Terlepas kontroversi yang berkembang, pergantian kurikulum yang
terus berkembang dan bergonta ganti sejak tahun 1947, kita patut apresiatif
terhadap upaya pemerintah untuk menemukan model pendidikan yang tepat untuk

bangsa ini.

I’tikad mulia ini semakin jelas terlihat dalam banyak-nya Undang-

Undang yang begitu menempatkan posisi urgensitas pendidikan bangsa ini.
Misalnya dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
Pasal 3 disebutkan bahwa, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Namun sayangnya pada kenyataannya konsepsi pemerintah itu belum mencapai
nilai maksimal seperti yang dicita-citakan. Menurut hasil survey UNDP (2002)

1

Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hal. 80

misalnya, bahwa kualitas SDM Indonesia ternyata hanya menduduki urutan 110 dari

179 negara di dunia , posisi Indonesia hanya satu tingkat diatas Vietnam, dan jauh
tertinggal di bawah Philipina, Thailand, Malasyia dan Singapura. Bila dibandingkan
India, Indonesia sangat jauh tertinggal. Fakta lain, berdasarkan hasil survei Political
and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun
2001 disebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia,
yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan
terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia.
Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (www.kompas.com).
Para pakar pendidikan Indonesia menilai, hal ini terjadi salah satunya adalah
disebab karena adanya dikotomi pendidikan agama dan umum yang sudah
berlangsung lama. Mereka menilai sistem pendidikan di Indonesia terlihat terlalu
mengutamakan ilmu pengetahuan umum dan melupakan aspek ilmu agama. Untuk
menelaah itu semua, penulis mencoba melihat ini semua dengan metodologi
pendekatan sejarah/Historis. Kenapa harus sejarah? Menurut Suparlan :
……berdasarkan sejarah, manusia selalu mengubah dan mengembangkan sistem
pendidikan sesuai dengan tuntutan zaman. Sejarah mengidekan masa mendatang yang
lebih baik dan maju. Sementara itu, pendidikan menindaklanjuti dengan mengubah dan
mengembangkan sistem pembelajaran untuk mendapatkan keahlian dan ketarampilan yang
relevan dengan kehidupan yang diidekan sejarah itu.
Oleh sebab itu, dalam kaitannya dengan sejarah, pendidikan adalah suatu sistem

bimbingan pemanusiaan untuk masa mendatang. Artinya, pendidikan dapat dikatakan
sebagai sistem peristiwa ‘penyejarahan’ manusia. Pendidikan membuat manusia bisa
menyatu dengan sejarah, mengubah dan mengembangkan dirinya secara terus menerus.
Sehingga menjadi manusia yang semakin bernilai kemanusiaan. Dengan sejarahnya,
manusia memperbaiki pendidikannya.2

Dengan melihat sejarah dan masa lalu, diharapkan kita bisa belajar dan
mengkaji lebih dalam lalu kemudian menemukan dan bisa mengembangkan konsep
pendidikan Islam yang tepat untuk menjawab pergolakan zaman dan modernisitas
untuk kemudian bisa diaplikasikan di dunia pendidikan Indonesia. Sehingga
diharapkan mampu melahirkan “Islamic intellectualism".3

Ibid, hal. 110
Fazrul Rahman, Islam and Modernity: Transformation of An Intellectual Tradition (Chicago & London: The
University of Chicago Press, 1982), hal.1 Ini adalah sebutan yang menurut Rahman sebagai “essence of higher Islamic
education”.
2

3


B. PEMBAHASAN
1. Historis Pendidikan Islam di Indonesia
a. Periodesasi Pendidikan Islam
Sebelum lebih jauh masuk pada pembahasan sejarah pendidikan Islam di
Indonesia. Penting untuk mengetahui sejarah munculnya atau periodesasi
Pendidikan Islam tentu tidak lepas dengan munculnya agama Islam itu sendiri.
Adapun periodesasi sejarah pendidikan Islam menurut Prof. Dr. Harun Nasution
seperti yang dikutip Hasbullah dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia menjelaskan terbagi kedalam tiga periode, yaitu periode klasik,
pertengahan,

dan

modern.4

Selanjutnya

Hasbullah

menambahkan


tahap

perkembangan pendidikan Islam dalam beberapa periode:
1). Periode pembinaan pendidikan Islam, yang berlangsung pada masa Nabi
Muhammad SAW. 2). Periode pertumbuhan pendidikan Islam, yang berlangsung
sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai dengan akhir kekuasaan bani
Umayyah. 3). Periode kejayaan pendidikan Islam, yang berlangsung sejak
permulaan Daulah Abbasiyah sampai dengan jatuhnya kota bagdad. 4). Tahap
kemunduran pendidikan, yang berlangsung sejak jatuhnya kota bagdad sampai
jatuhya mesir oleh napoleon disekitar abad ke-18 M. 5). Tahap pembaharuan
pendidikan Islam, yang berlangsung sejak pendudukan Mesir oleh Napoleon di akhir
abad ke-18 M sampai sekarang ini .5
b. Sejarah Singkat Masuknya (Pendidikan) Islam di Indonesia
Sidi Ibrahim Boechari, sebagaimana yang dikutip Hasbullah dalam bukunya
menjelaskan sebenarnya sejarah telah membuktikan bahwa Islam sudah masuk ke
Indonesia pada abad ke-7 M.6 Sama Seperti yang pernah dikemukakan oleh Prof.
Dr. Hamka dalam seminar Masuknya Agama Islam Ke Indonesia di Medan (1963),
beliau mendasarkan teorinya, teori Makkah, pada fakta yang berasal dari Berita Cina
Dinasti Tang yang menjelaskan bahwa sekitar pada tahun 618-907 M ada

pemukiman pedagang arab Islam di Barat Sumatera. 7 Namun ahli sejarah yang lain
berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia sekitar pada abad ke-13 M.

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 1995) hal. 15. Pembagian Prof. Dr. Harun Nasution ini dikutip Hasbullah dalam buku
Pembaharuan Dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1991) hal.11.
5 Ibid.,hal.16
6 Ibid.,hal.17
7 http://www.anneahira.com/skripsi-sejarah.htm
4

Adapun perbedaan-perbedaan itu terbagi menjadi 3 teori: Pertama, teori Gujarat,
India. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui peran para
pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori Makkah. Islam
dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para
pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di
Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya
singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M. 8
Terlepas dari kontroversi kapan, dimana, dan siapa yang membawa Islam
pertama kali ke Indonesia yang jelas Islam baru mulai meluas pada abad ke-13 M.

Ini ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam pertama di Indoneisa, yaitu kerajaan
samudra pasai dan perlak.
Adapun corak Pendidikan Islam sejak masuknya Islam ke Indonesia terus
berkembang. Agar mempermudah kita mencoba membagi dengan beberapa periode
perkembangan pendidikan Islam di Indonesia:
1) Periode Kerajaan Islam (Sebelum Tahun 1900)
Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa Pendidikan Islam mulai meluas
pada abad ke-13 melalui istana-istana kerajaan. Dimuali dari kerajaan pasai di Aceh
hingga kerajaan banjar di Banjarmasin. Corak sistem pendidikan pada Periode ini
cendrung

mengunakan

pendidikan

informal.

Pengajaran

dan


pendidikan

disampaikan di langgar, mesjid dan pesantren. Dimana terdapat seorang guru atau
kiai yang menyampaikan pelajaran tersebut dengan sistem sorogan, atau
pengajaran individu/berhadapan cuma antara guru dan satu murid saja dan sistem
halaqoh yakni pengajaran kolektif, guru menyampaikan pelajaran dan dikelilingi oleh
murid/santri.
Namun pada Periode ini juga sebenarnya, perkembangan sistem pendidikan
sudah memperlihatkan kemajuannya. Pada masa kerajaan Aceh Darussalam
misalnya, sudah terdapat lembaga-lembaga Negara yang membidangi pendidikan
dan ilmu pengetahuan. Kerajaan sudah mengunakan jenjang pendidikan yang
sangat berkembang pada masanya dan sudah mengajarkan ilmu-ilmu umum.
Begitu juga pada kerajaan demak yang kemudian berpindah ke mataram, sistem
pengajaran atau pendidikan Islam dipoles dan diadaptasi dengan ajaran Hindu dan
Kebudayaan Indonesia asli oleh walisongo. Agar lebih mudah diterima dan dipahami

8

http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Indonesia


oleh masyarakat setempat. Memang pada Periode ini system pendidikan Islam di
Indonesia cendrung individualistic. Jadi Perkembangan pendidikan islam diberbagai
daerah sangat bervariasi.
2) Periode Kolonialisme Eropa (Masa Peralihan 1900-1908 & Setelah 1909)
Adapun pada Periode ini corak pendidikan Islam di Indonesia sangat mengalami
perkembangan dan pembaharuan.

Salah satu cirinya adalah berdirinya tempat

pendidikan Islam terkenal di Sumatera, seperti Surau Paraek Bukit Tinggai dan juga
lahirnya pemikiran-pemikiran pembaharuan yang pernah menjadi pendidik di Mesir
seperti

Syekh

Thaher

Jalaluddin


yang

banyak

mengemukakan

pemikiran

Muhammad Abdul lewat Tulisannya dan juga Syekh Khatib Minangkabau, menjadi
pendidik pemuda-pemuda Indonesia di Mekkah seperti Buya Hamka, KH. Ahmad
Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari, yang kemudian pada tahun setelah 1909 mereka
menjadi pembaharu ajaran dan pendidikan Islam di Indonesia. Seperti KH. Hasyim
Asy’ari yang mendirikan Madrasah Salafiyah di Tebuireng Jombang pada tahun
1919 dan surau pertama yang mengunakan system kelas yang didirikan oleh Buya
Hamka (Syekh Abdul Karim Amrullah).
Meski pada saat itu peraturan belanda terhadap perkembangan pendidikan
Islam sangat ketat dan keterlalun. Salah satu contoh dari penindasan keilmuan itu
dikeluarkannya peraturan pada tahun 1905 bahwa orang yang memberikan
pengajaran atau pengajian agama Islam harus terlebih dahulu meminta izin kepada
pemerintah Belanda. Karena ketakutan yang begitu dalam atas Islam dan misi

kristenisasi serta kolonialisme belanda bukan saja mengeruk hasil bumi nusantara
Indonesia. Tetapi, berbeda dengan penjajah inggris misalnya yang ikut serta dalam
pengembangan keilmuan dan pendidikan pribumi, penjajah belanda melakukan
semacam pembodohan terhadap pribumi. Mereka mengenyampingan kemajuan
pribumi khususnya dalam sektor pendidikan.
3) Periode Penjajahan Jepang
Berbeda dengan penjajah belanda, jepang lebih lunak dalam menyikapi
pendidikan. Sistem belanda dalam bidang pendidikan yang memisahkan antara
pengajaran barat dan pribumi pada masa ini akhirnya dileburkan menjadi satu jenis
sekolah dengan jenjang pengajaran yaitu : 1). Sekolah Rakyat 6 tahun, 2). Sekolah
Menengah 3 tahun, dan 3). Sekolah Menengah Tinggi 3 tahun. Pada masa ini juga
KAU (Kantor Urusan Agama) dikembangkan tugasnya, terbentuknya Masyumi
(Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan juga terbentuknya Hizbullah.

4) Periode Kemerdekaan
Pendidakan pasca kemerdekaan mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Salah satu terlihat dari pembukaan UUD 1945. Begitu juga terhadap perkembangan
pendidikan Islam. Ghirah umat Islam pada masa ini menemukan kebebasan
semenjak kebijakan kolonialisme belanda yang begitu deskriminatif. Pada masa ini
tidak ada lagi pembatasan pendidikan terhadap perbedaan agama, sosial, dan
ekonomi. Semua anak bangsa berhak untuk mendapatkan pendidikan terbaik yang
diberikan oleh pemerintah. Pendidikan Islam sesuai dengan keputusan pemerintah
RI masuk dalam pembinaan Departemen Agama yang secara formal institusional.
Departemen Agama mengelola pendidikan Agama yang ada diswasta ataupun
negeri yang berada dibawah Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan.
Sejak itulah terjadi dualisme Pendidikan di Indonesia. Pada pokok bahasan inilah
yang akan kita kaji lebih dalam atas terjadinya dikotomi ini. Terlebih lagi pendidikan
Islam melalui kebijakan pemerintah masih sangat terlihat dinomor duakan. 9
2. Fenomena Dikotomis Pendidikan
Dikotomi pendidikan adalah terpisahnya sains agama dan sains umum baik itu
secara kelembagaan, pendidikan formal maupun nonformal. Melirik dan membaca
sejarah kita sudah dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya sejak awal pasca
kemerdekaan pemerintah sudah mencoba melakukan pengupayaan integrasi
pendidikan Agama dengan pendidikan Umum. I’tikad dan keinginan ini terlihat jelas
dari upaya pemerintah untuk menghindari terjadinya dualisme dalam pengelolaan
pendidikan.10
Meskipun pada akhirnya upaya itu mengalami penolakan kaum muslimin.
Pemerintah terus berupaya untuk melakukan pembaharuan pendidikan dengan
melakukan perubahan-perubahan kebijakan. Namun meskipun demikian tetap saja
berimplikasi pada kontroversi dan penolakan dikalangan muslim. Sebagai contoh,
keluarnya SKB Tiga menteri tahun 1975, yang menyatakan ijasah madrasah
sederajat dengan ijasah sekolah umum dengan konsekwensi madrasah mengubah

Lebih lanjut tentang sejarah ini dapat ikuti dalam buku penulis Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia;
Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995)
10 Fuad Jabali & Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia (Ciputat : Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 70
9

porsi mata pelajaran agama yang tadinya 100 % menjadi 30 %, yang sisanya
menjadi pelajaran umum. 11
Bagaimanapun upaya pemerintah untuk melakukan integrasi tersebut, sebagian
penelitian kontemporer seperti M. Amin Abdullah melihat bahwa dikotomi itu masih
berlangsung, meskipun beliau mengakui dalam kurun waktu 1998-2005 ketegangan
tersebut semakin berkurang.12 Seperti yang kita tau fenomena ketegangan atau
tension yang terjadi antara ilmu pengetahuan dan agama sudah sejak lama terlihat.
Dimana kedua disiplin tersebut ibarat dua jalan yang sudah dijustifikasi oleh
masyarakat sebagai dua hal yang tak bisa dipertemukan. Sehingga lahir frame
konseptual agama dengan pemecahan kongsi dan fungsi serta peranan yang
semakin menguatkan perbedaan tersebut. Seperti halnya, fiqh, hadist dan akidah.
Lalu kemudian disiplin ilmu tersebut di anggap sudah cukup menjadi refresentasi
sektor agama yang menyangkut pada ranah-ranah yang berkorelasi dengan wilayah
ketuhanan. Sehingga apapun yang tereliminasi dari disiplin agama dianggap
sebagai disiplin umum.
3. Upaya Penyelesaian Masalah (Dengan Pendekatan Sejarah)
a. Dikotomi Bukan Sumber Masalah
Seperti yang sudah dijelaskan ketegangan yang sudah berlangsung sejak lama
ini

berimpilkasi pada sektor pendekatan struktural-politis. Yakni terpisahnya dua

lembaga pemerintahan, Departemen Agama dan Departemen Pendidikan. Tentu
kita harus terlebih dahulu mengkaji kenapa dikotomi ini bisa terjadi. Melalui
pendekatan sejarah penulis melihat dikotomi pendidikan di Indonesia adalah mutlak
sebagai warisan dari kolonialisme. Dimana kemudian keadaan itu mengakar dan
pada

akhirnya

mempengaruhi

paradigma

pemeritah

terhadap

pengambilan

kebijakan-kebijakan dalam sektor pendidikan pasca kemerdekaan hingga sekarang.
Bahkan menurut sebagian masyarakat masih banyak pejabat pemerintah yang
memandang sebelah mata terhadap pendidikan Islam dan lebih-lebih juga banyak
kepentingan-kepentingan individu maupun kelompok yang bercongkol didalamnya.
Sehingga permasalahan pendidikan kontemporer sekarang ini harus berhadapan
dengan adanya persoalan politis antara para pemegang kekuasaan.

11
12

Ibid, hal. 71-72
Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012)

Penting untuk diketahui bahwa, menurut saya, kita terlebih dahulu harus melihat
dan melakukan pemahaman tentang dualisme pendidikan “ilmu-ilmu agama” (al‘umum al-diniyyah atau religious sciences) dengan “ilmu-ilmu umum” (general
sciences) di Indonesia ini sebagai sebuah kecelakaan sejarah “historical accident”
yang harus dipahami sebagai imbas politis masa lalu. Kesadaran kolektif ini perlu,
sebagai dasar kajian untuk menemukan solusi terbaik terhadap permasalah ini.
Sebagaimana yang disampaikan Suparlan bahwa dengan sejarahnya, manusia
memperbaiki pendidikannya.
Oleh karena itu mari kita kembali melirik sejarah panjang perjalanan
pendidikan bangsa ini. Kita mencoba memahami dan mengkaji permasalahan
pendidikan bangsa ini dengan tidak hanya melihatnya dari sudut pandang saja.
Namun, serta merta kita mencoba mengkajinya dengan sudut lain. Pihak pemerintah
misalnya, tidak pernah sekalipun bermaksud untuk melakukan pembiaran terhadap
fenomena dikotomis ini, meskipun pada awalnya memang dikotomis ini sebenarnya
diciptakan oleh pemerintah itu sendiri yang saya kira itu masih dalam masa transisi
dalam menyikapi pengaruh feodalisme kolonial terhadap pendidikan. Namun, atas
alasan yang mendasar, untuk dan demi pengembangan pendidikan secara
konprehensif dalam menghadapi tuntutan modern pemerintah terus berusaha
melakukan integrasi keilmuan tersebut. Pemerintah sadar bahwa agama adalah hal
yang penting sebagai landasan hidup dalam bebangsa dan bernegara. Sejak
kemerekaan pemerintah sudah memperlihatkan keseriusannya dalam mencari jalan
keluar atas permasalahan ini. Modernisasi pendidikan Islam, dengan tujuan
memperkecil ketertinggalan pendidikan umum modern, terus dilakukan pemerintah
dengan berulang-ulang mencoba menemukan dan mempersatukan pendidikan
Indonesia. Upaya ini patut dan layak kita apresiasi meskipun dalam perjalanannya
terus menuai kritik. Namun, lagi-lagi kritik itu sangat dibutuhkan. Sehingga fenomena
hari ini upaya integrasi tersebut, kita akui atau tidak, sudah memperlihatkan titik
terang. 13
Dilain pihak, banyak para pemikir Islam dan pembaharu Islam di Indonesia
maupun pembaharu islam internasional yang menyajikan pemikirannya untuk
menawarkan upaya penyelesaian dikotomis ini. Seperti misalnya, ide “Interkoneksitas” yang disajikan oleh M. Amin Abdullah dalam bukunya Islamic Studies Di
13 Upaya-upaya pemerintah ini dapat dilihat lebih lanjut di Fuad Jabali & Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di
Indonesia (Ciputat : Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 119-127

Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif, beliau mencoba menawarkan
ide tersebut sebagai satu solusi yang diharapkan mampu mengurangi ketegangan
yang terjadi antara “normativitas” dan historisitas” yang beragam didalam berbagai
Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia. Beliau, melalui paradigma keilmuannya dalam analisis problem tersebut mencoba menyajikan dan menawarkan
paradigma

tersebut, yang

menurutnya lebih produktif

dalam penyelesaian

kompleksitas yang terjadi.
Upaya-upaya itu sudah cukup berpengaruh untuk kajian-kajian keislaman dalam
mencapai dan menjawab dilema pendidikan Indonesia kontemporer . Penulis menilai
semua upaya itu secara epistemologi sudah sangat “mengiurkan” untuk dikonsumsi.
Namun, mereka cendrung melupakan kajian dengan pendekatan sejarah. Meskipun
ada, itu hanya berorientasi pada kajian sejarah pada wilayah historisitas ilmu-ilmu
ke-Islaman saja, tidak melakukan kajian dengan pendekatan sejarah Indonesia.
Dimana hal tersebut disini menjadi perhatian utama penulis dengan melihat
bagaimana permasalahan itu semua dengan melirik sejarah pendidikan islam
Indonesia. Lebih-lebih kita sekarang bicara dikotomi pendidikan di Indonesia.
b. Solusi
Jika intergrasi itu sudah terlihat dan dirasakan. Lalu bagaimana dengan
fenomena wajah pendidikan Indonesia dan tingkah laku anak didik yang
memprihatinkan sebagaimana sudah kita jelaskan di permulaan. Penulis melihat
bahwa sebenarnya sumber masalah terjadinya fenomena kualitas pendidikan yang
kurang baik bahkan secara SDM-nya buruk itu bukanlah serta merta diakibatkan
oleh dikotomis pendidikan di Indonesia. Sebab, saya melihat Upaya integrasi
dikotomi pendidikan sudah maksimal dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakankebijakan dengan basis tujuan modernisasi pendidikan. Begitu juga para pemikir dan
pembaharu pendidikan Islam Indonesia, mereka juga sudah banyak melakukan
kajian epistemology dengan aneka ide kritis mereka.
Tetapi penulis melihat masalahnya bersumber pada beberapa hal:
1) Masih terjadinya “communication gap” antara sesama intelektual/pemikir
Muslim maupun.14 Para pemikir atau intelektual muslim klasik dan modern
masih susah disatukan dalam memandang hal ini. Masih banyak pemikir

Istilah ini penulis pinjam dari dari Ahmad Wahib dalam bukunya Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian
Ahmad Wahib (Jakarta : LP3ES Indonesia, 2003).” Communication Gap” yang penulis maksud adalah adanya celah serta
jurang pemisah komunikasi yang begitu jauh dan susah untuk dipertemukan dan cendrung apatis satu sama lain.
14

dan tokoh islam yang menaruh curiga dan apatis terhadap paham
modernisasi pendidikan. Tentu sikap itu lahir justru dikarenakan para
pemikir ide modernisasi belum mampu sepenunya mendekati para tokohtokoh klasik.
2) Begitu juga yang terjadi antara intelektual Islam dengan pemerintah.
Pemerintah cendrung terlihat masih diskriminatif terhadap pendidikan
Islam. Meski posisinya sudah terintegrasi dengan sistem pendidikan
nasional, tetapi pada perolehan anggaran pembiyaan hak sekolah-sekolah
jauh lebih rendah ketimbang anggaran yang diberikan kepada sekolah
yang dibawahi Departemen Pendidikan. Ditambah problematik anggaran
pendidikan sesuai Undang-Undang yang belum maksimal direalisasikan.
Begitu juga dengan kurikulum pendidikan yang terus berganti secara politis
setiap kabinet berganti. Apa yang disajikan pemerintah seperti yang pernah
disampaikan

oleh

Ahmad

Syafii

Maarif

bahwa

pendidikan

yang

diselenggarakan tidak lagi mengacu kepada dan mengantisipasi zaman
yang sedang berubah dan bergulir.
Tentu saya melihat dua hal inilah yang menjadi perhatian serius oleh intelektual
klasik maupun modern dan juga pemerintah. Hal Inilah yang saya lihat luput dari
perhatian kita bersama. Upaya-upaya pembaharuan yang ditawarkan oleh banyak
pembaharu Islam di Indonesia seperti sekularisasri, Islamisasi atau Modernisasi
akan menemukan titik kesulitan aplikatif jika sumber permasalah tidak mendapat titik
temu. Orang-orang yang berada di Kementrian Agama sebagai refresentatif dari
intelektual muslim saya kira masih kurang mampu meyakinkan pemerintah terhadap
formulasi pendidikan yang ditawakan para pembaharu muslim saat ini. Posisi politis
itu, lagi-lagi, menghambat idealisme mereka dalam menawarkan dan menyajikan
konsepsi pendidikan Islam yang diinginkan. Sehingga keberanian intelektual
Musliam yang fazrul Rahan tawarkan harus diangkat kepermukaan. Hanya dengan
mempertemukan pandangan antara intelektual muslim dan pemerintah selaku
pemangku kebijakan yang akan menjadi bola salju untuk memecah kebuntuan dan
dilema dikotomi pendidikan tersebut. Jika diktomi ini terus terjadi, maka kita tidak
hanya akan berada pada peringkat 110 tapi bisa lebih rendah dari itu.

C. KESIMPULAN
Islam sebenarnya tak pernah mengenal dikotomi. Pada masa kejayaannya,
pendidikan islam menguasai dan mewarnai dunai Islam dengan bermunculannya
disiplin ilmu yang integrated. Namun, di Indonesia pasca kemerdekaan dan
dikarenakan factor politis pendidik islam mengalami dikotomisasi. Sekarang
pemerintah memang terus berusaha melakukan “interkonektif” tersebut. Melakukan
modernisasi pendidikan agar bisa terus mengikuti perkembangan modern. Begitu jua
para pemikir atau intelektual muslim juga terus berupaya menemukan dan
mengajukan ide-ide untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan bangsa ini.
Kemerosotan akhlak anak didik, perilaku anarkis dan jauh dari budaya Indonesia
dan Islam sebagai agama terbesar di Indonesia, diperkirakan akibat dikotomi
tersebut.
Tetapi penulis melihat bahwa dikotomi itu bukanlah sebab yang sebenarnya,
sebab diktomi pendidikan tersebut sudah perlahan terintegrasi oleh kebijakan
pemerintah yang yang terus melakukan perbaikan-perbaikan. Ditambah lagi upaya
para intelektual muslim yang terus juga berusaha menawarkan format pendidikan
yang tepat. Terlihat banyaknya lahir dan muncul Universitas-universitas Islam
dibanyak bagian di Indonesia. Ini sudah merupakan cukup bukti bahwa pendidikan
islam sudah mengalami perkembangan seiring berkembangnya zaman.
Namun, justru yang menjadi semua itu masih belum maksimal adalah terjadinya
“communication gap” antara sesame intelektual muslim klasik dan modern dan juga
dengan pemerintah. Ditambah lagi pemerintah yang masih setengah hati dan
terkesan deskriminatif terhadap pendidikan islam.

DAFTAR PUSTAKA
Achmadi,

Ideologi

Pendidikan

Islam;

Paradigma

Humanisme

Teosentris,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2012.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
http://www.anneahira.com/skripsi-sejarah.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Indonesia
Jabali, Fuad & Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia, Ciputat : Logos
Wacana Ilmu, 2002.
Rahman,Fazrul, Islam and Modernity: Transformation of An Intellectual Tradition,
Chicago & London: The University of Chicago Press, 1982.
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2007.
Wahib, Ahmad, Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib (Jakarta
: LP3ES Indonesia, 2003)