PEMIKIRAN MACHIAVELLI TENTANG POLITIK da

PEMIKIRAN MACHIAVELLI TENTANG
POLITIK dan KEKUASAAN
Sejarah Pemikiran Machiavelli tentang Politik dan Kekuasaan.
Saat itu keluarga Medici telah menetapkan depotisme yangt relative lunak yang memberi
mereka substansi kekuasaan, namun sementara itu mengizinkan bentuk-bentuk republikan yang
lebih tua tetap ada. Tak satu pun dari keluarga Machiavelli yang mendukung Medici. Ayahnya
adalah ahli hukum (lawyer) dan ayahnya maupun Machiavelli menganggap diri mereka sebagai
republikan. Ia menenemukan ide-idenya di Roma dan membaca karya tokoh-tokoh Yunani
dalam terjemahan latin.
Machiavelli tumbuh dibawah hukum anggota dinasti Medici yang mendapat
gelar Lorenzo the Magnificent dari masyarakat Florentine, dan zaman Lorenzo sering dilukiskan
sebagai zaman Agustus dari Renaissance Italia. Lorenzo sendiri adalah humanis terhormat,
penyair dan menjadi panutan (patron) seniman maupun kalangan terpelajar.
Pada saat itu Machiavelli adalah sebagai ahli teori dan figur utama dalam realitas teori
politik, ia sangat disegani di Eropa pada masa renaissance. Dua buku yang terkenalnya
adalah Discorsi sopra la prima deca di tito livio (Diskursus tentang Livio) dan II Principe (Sang
Pangeran), awalnya ditulis sebagai harapan untuk memperbaiki kondisi pemerintahan di Italia
Utara, kemudian menjadi buku umum dalam berpolitik dimasa itu, karena karya Machiavelli
sendiri lebih berakar dalam pada zamannya karena ia bukan contoh pertama penulis atau pakar
teori, melaikan partisipan aktif dalam kehidupan politik yang tak stabil dan kacau di tempat
asalnya Florence. Ketika itu terjadi “pergolakan terus-menerus dengan kota-kota lebih kecil,

sebagaimana Florence melawan Pisa, yang sering mengakibatkan perang terbuka”. Machiavelli
(Trijaji, 2008: 175)
II Principe, atau Sang Penguasa menguraikan tindakan yang bisa atau perlu dilakukan
seseorang untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Nama Machiavelli, kemudian
disosiasikan dengan hal yang buruk yaitu, “untuk menghalalkan cara untuk mencapai tujuan”
Trijaji (2008: 175). Orang yang melakukan tindakan ini disebut Makiavelis.
Teori Politik Kekuasaan Niccolo Machiavelli.
Sebagaimana telah dicatat sebelumnnya, teori politik kekuasaan Niccolo Machiavelli dapat
dilihat sebagai penanda transisi dari dunia kuno ke modern yang sangat kontroversi. Melalui
karyanya yang berjudul The Prince tahun 1513 ia sering dituduh gurunya kejahatan karena
nasehat-nasehatnya yang amoral.
Isi dari teori Machaivelli ( Skinner,1985:4) sebagai berikut.

a. Untuk melakukannya, seorang penguasa yang bijak hendaknya mengikuti jalur
yang dikedepankan berdasarkan kebutuhan, kejayaan, dan kebaikan Negara.
Hanya memadukan machismo semangat keprajuritan, dan pertimbangan

politik,seorang penguasa barulah dapat memenuhi kewajiban kepada Negara
mencapai keabadian sejarah.


b. Penguasa bijak hendaknya memiliki hal-hal sebagai berikut
1) Sebuah kemampuan untuk menjadi baik sekaligus buruk, baik dicintai maupun di
benci
2) Watak-watak, seperti ketegasaan, kekejaman,kemandirian, disiplin, dan control
diri.
3) Sebuah reputasi menyangkut kemurahan hati,pengampunan, dapat dipercaya dan
tulus.

a. Seorang pangeran harus berani untuk melakukan apapun yang diperlukan,
betapa pun tampak tercela karena rakyat pada akhirnya hanya peduli dengan
hasilnya, yaitu kebaikan Negara.

Metode-Metode Pemerintahan yang Efektif dalam Beberapa bentuk
Kepenguasaan
Untuk mencapai sukses, seorang penguasa harus dikelilingi dengan menterimenteri yang mampu dan setia, Machiavelli memperingatkan penguasa agar
menjauhkan diri dari penjilat dan minta pendapat apa yang layak dilakukan. seorang
penguasa yang cermat tidak harus memegang kepercayaannya jika pekerjaan itu
berlawanan dengan kepentingannya.
“…Dia menambahkan, “Karena tidak ada dasar resmi yang menyalahkan seorang
Penguasa yang minta maaf karena dia tidak memenuhi janjinya,” karena “…

manusia itu begitu sederhana dan mudah mematuhi kebutuhan-kebutuhan yang
diperlukannya saat itu, dan bahwa seorang yang menipu selalu akan menemukan
orang
yang
mengijinkan
dirinya
ditipu.”http://media.isnet.org/iptek/index/Machiavelli.html.
Sebagai hasil wajar dari pandangan itu, Machiavelli menasihatkan sang penguasa
supaya senantiasa waspada terhadap janji-janji orang lain.
The Prince (Sang Pangeran) sering dijuluki orang “buku petunjuk untuk para diktator.”
Karier Machiavelli dan berbagai tulisannya menunjukkan bahwa secara umum dia cenderung
kepada bentuk pemerintahan republik ketimbang pemerintahan diktator.Machiavelli berpendapat
bahwa nilai-nilai yang tinggi, atau yang dianggap tinggi, adalah berhubungan dengan kehidupan
dunia, dan ini dipersempit pula hingga kemasyhuran, kemegahan, dan kekuasan belaka.
Machiavelli menolak adanya hukum alam, yang seperti telah diketahui adalah hukum yang
berlaku untuk manusia sejagat dan sesuai dengan sifat hukum, mengikat serta menguasai
manusia. Machiavelli menolak ini dengan mengemukakan bahwa kepatuhan pada hukum
tersebut, malah juga pada hukum apapun pada umumnya bergantung pada soal-soal apakah
kepatuhan ini sesuai dengan nilai-nilai kemegahan, kekuasaan, dan kemsyhuran yang baginya


merupakan nilai-nilai tinggi. Bahkan menurut pendapatnya inilah kebajikan. Machiavelli
mengatakan bahwa untuk suksesnya seseorang, kalau memang diperlukan, maka gejala seperti
penipuan dibenarkan. Misalnya, ia mengakui bahwa agama mendidik manusia menjadi patuh,
dan oleh sebab kepatuhan ini perlu untuk suksesnya seorang yang berkuasa, maka perlulah
agama tadi. Jadi agama itu diperlukan sebagai alat kepatuhan, bukan karena nilai-nilai yang
dikandung agama itu.
“Menurut Deliar Noer, kita jangan tergesa-gesa mengecap Machiavelli seperti
digambarkan diatas. Memang Machiavelli mengemukakan hal-hal tersebut, tetapi ini
dalam pengertian tertentu, yaitu mengenai keamiran atau kepangeranan, yaitu bentuk
negara yang telah korup, yang tidak akan mungkin lagi kecuali dengan kemauan,
ketabahan
dan
ketekunan
serta
kelihaian
seorang
pemimpin”. http://mahardhikazifana.com/religion-philosophy-agama-filsafat/gagasangagasan-politik-machiavelli.html
Jadi dapat kami simpulkan bahwa penipuan itu dilakukan terhadap musuh yang dianggap
dari negara atau penguasa tersebut yang dianggap mengganggu kekuasaan.
Gagasan kekuasaan machiavelli patut dikaji setidaknya karena dua alasan, yaitu :

1. Gagasannya telah menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering bagi banyak penguasa
sejak awal gagasan itu dipopulerkan sampai abad XX.
Banyak negarawan dan penguasa dunia yang secara sembunyi atau terus terang mengakui
telah menjadikan buku Machiavelli itu sebagai hand book (buku pegangan) mereka dalam
memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya. Misalnya Hitler dan Mussolini. Gagasan
yang sama telah menjadi basis intelektual bagi pelaksanaan diplomasi kaum realis
(realisme). Realisme sebagai suatu aliran penting dalam kajian diplomasi internasional,
banyak mendasarkan asumsinya pada pemikiran kekuasaan Machiavelli.
2. Dari pespektif sejarah pemikiran politik, gagasannya itu merupakan pemutusan hubungan
total masa kini dengan masa lalu, suatu ciri penting Abad Renaisans. Berbeda dengan para
pemikir abad Pertengahan seperti Santo Agustinus dan Thomas Aquinas yang mengaitkan
kekuasaan dan negara dengan agama dan Tuhan maupun moralitas, Machiavelli justru
berpendapat bahwa kekuasaan hendaknya dipisahkan dari semua itu. Tidak ada kaitan atau
relevansi antara kekuasaan dengan teologi Kristen, kecuali sejauh agaman atau moral itu
memiliki nilai utilitarianisme bagi kekuasaan dan negara.
Tidak seperti pemikir Abad Pertengahan, Machiavelli melihat kekuasaan sebagai tujuan
itu sendiri. Ia menyangkal asumsi bahwa kekuasaan adalah alat atau instrumen belaka untuk
mempertahankan nilai-nilai moralitas, etika atau agama. Bagi Machiavelli segala kebajikan,
agama, moralitas justru harus dijadikan alat untuk memperoleh dan memperbesar kekuasaan.
Bukan sebaliknya. Jadi kekuasaan haruslah diperoleh, digunakan, dan dipertahankan sematamata demi kekuasaan itu sendiri. Dengan pandangannya itu, Machiavelli menolak tegas doktrin

Aquinas tentang gambaran penguasa yang baik. Aquinas dalam karyanya The Government of
Princesberpendapat bahwa penguasa yang baik harus menghindari godaan kejayaan dan
kekayaan-kekayaan duniawi agar memperoleh ganjaran syurgawi kelak. Bagi Machiavelli justru

terbalik, penguasa yang baik harus berusaha mengejar kekayaan dan kejayaan karena keduanya
merupakan nasib mujur yang dimiliki seorang penguasa.
Bagi Machiavelli kekuasaan adalah raison d’etre negara (state). Negara juga merupakan
simbolisasi tertinggi kekuasaan politik yang sifatnya mencakup semua (all embracing) dan
mutlak. Bertolak dari pandangan-pandangan Machiavelli di atas beberapa sarjana berpendapat
bahwa Machiavelli memiliki obsesi terhadap negara kekuasaan (maachstaat) dimana yang
kedaulatan tertinggi terletak pada kekuasaan penguasa dan bukan rakyat dan prinsip-prinsip
hukum.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan seorang penguasa, Machiavelli membahas perebutan
kekuasaan (kerajaan). Bila seorang penguasa berhasil merebut suatu kerajaan maka ada cara
memerintah dan mempertahankan negara yang baru saja direbut itu.
1. Memusnahkannya sama sekali dengan membumihanguskan negara dan membunuh seluruh
keluarga penguasa lama. Tidak boleh ada yang tersisa dari keluarga penguasa lama sebab hal
itu akan menimbulkan benih-benih ancaman terhadap penguasa baru suatu saat kelak.
2. Dengan melakukan kolobisasi, mendirikan pemukiman-pemukiman baru dan menempatkan
sejumlah besar pasukan infantri di wilayah koloni serta menjalin hubungan baik dengan

negara-negara tetangga terdekat. Cara kolonisasi pernah dilakukan bangsa Romawi.
Dari kedua cara itu menurut Machiavelli cara pertama adalah cara yang paling efektif
meski bertentangan dengan aturan moralitas.
Dalam The Prince, Machiavelli juga menguraikan bahwa mereka yang menjadi penguasa
lewat cara-cara keji, kejam, dan jahat tidaklah dapat disebut memperoleh kekuasaan berdasarkan
kebajikan (virtue) dan nasib baik (fortune). Cara itu seperti dipraktekkan Agathocles yang
membunuh secara biadab senator Syarcuse demi menduduki tahta kekuasaan, memang bisa
menjadikan mereka penguasa negara. Tetapi kata Machiavelli penguasa itu tidak akan dihormati
dan dipuja sebagai pahlawan. Apalagi setelah berkuasa ia menjadikan kekerasan, kekejaman dan
perbuatan keji lainnya sebagai bagian dari kehidupan politik sehari-hari. Machiavelli
menyimpulkan bahwa cara-cara itu hanya akan menjadikan sang penguasa berkuasa tetapi tidak
menjadikannya terhormat, pahlawan atau orang besar.
Machiavelli menyarankan kalaupun seorang penguasa boleh melakukan kekejaman dan
menggunakan “cara binatang” hendaknya dilakukan tidak terlalu sering. Setelah melakukan
tindakan itu, ia harus bisa mencari simpati dan dukungan rakyatnya dan selalu berjuang demi
kebahagiaan mereka. Dia juga harus berusaha agar selalu membuat rakyat tergantung
kepadanya. Kearifan dan kasih sayang terhadap rakyat, kata Machiavelli , akan bisa meredam
kemungkinan timbulnya pembangkangan. Penguasa yang dicintai rakyatnya tidak perlu takut
terhadap pembangkangan sosial. Inilah menurut Machiavelli usaha yang paling penting yang
harus dilakukan seorang penguasa.


Dalam sejarah agama kuno, menurut machiavelli, hanya nabi-nabi bersenjata (the armed
prophets) dan memiliki kekuatan militer yang berhasil memperjuangkan misi kenabiannya.
Sedangkan para nabi yang tidak bersenjata, betapa baik dan sakralnya misi yang mereka bawa,
akan mengalami kekalahan karena tidak memiliki kekuatan militer . Atas dasar asumsi itu
machiavelli menilai keberadaan angkatan perang yang kuat sebagai suatu keharusan yang
dimilki negara. Machiavelli menyadari benar akan pentingnya angkatan bersenjata bagi seorang
penguasa negara. Angkatan bersenjata, menurut Machiavelli merupakan basis penting seorang
penguasa negara. Ia merupakan manifestasi nyata kekuasaan negara. Penguasa yang tidak
memiliki tentara sendiri akan mudah goyah dan diruntuhkan kekuasaannya. Menurut
Machiavelli sungguh berbahaya menggunakan tentara sewaan. Kalau seorang penguasa
mengandalkan tentara sewaan, ketenangan dan keamanan negara tidak bisa dijamin. Negara
mudah goyah. Machiavelli menyebutkan alasan-alasan mengapa demikian. Tentara sewaan
katanya tidak bisa disatukan, haus akan kekuasaan, tidak berdisiplin, tidak setia kepada
penguasa (yang menyewa mereka), tidak memiliki rasa takut kepada Tuhan, tidak memiliki
tanggung jawab, tidak setia terhadap sesama rekan mereka, dan menghindarkan diri dari
peperangan.
Kehancuran Italia pad masa hidup Machiavelli adalah karena negaranya mengandalkan
tentara sewaan itu selama bertahun-tahun dan tidak memiliki tentara sendiri. Pengalaman sejarah
membuktikan hanya para penguasa dan negara republik yang memiliki tentara kuat berhasil

baik, dan penggunaan tentara bayaran hanya mendatangkan kekalahan. Sejarah Romawi dan
Sparta menunjukkan kebenaran pendapat itu. Kedua negara itu mampu bertahan karena memiliki
tentara sendiri, sedangkan negara Chartago dikalahkan karena tidak memiliki tentara sendiri dan
mengandalkan tentara bayaran.
Gagasan Machiavelli ini, menurut hemat saya merupakan refleksi pengalaman
pribadinya menyaksikan ‘pengkhianatan’ pemimpin tentara bayaran Vitelli terhadap negaranya.
Begitu pentingnya militer bagi suatu negara dan usaha mempertahankan kekuasaan,
maka penguasa harus menjadikan keahlian kemiliteran sebagai barang miliknya yang paling
berharga. Ia juga harus senantiasa belajar ilmu perang dan bertempur. Oleh karena itu seorang
penguasa tidak boleh lengah untuk selalu memikirkan dan melatih dirinya dalam latihan perang
dan kemiliteran (exercise of war). Intensitasnya melakukan latihan perang di masa damai harus
lebih besar daripada di masa perang. Saat-saat damai hendaknya dijadikan persiapan untuk
menghadapi perang. Tidak ada perdamaian tanpa persiapan matang untuk perang.
Dalam latihan perang, penguasa dan tentaranya harus selalu disiplin dan terbiasa hidup
dengan cara keras. Dengan demikian tubuhnya akan terbiasa dengan penderitaan. Untuk
memenangkan peperengan mereka harus mengetahui ilmu tntang alam, tanah, dan sungaisungai. Maka dalam latihan perang tercakup pelajaran mengenai strategi bagaimana bisa tetap
hidup (how to survive), mendaki gunung dan lembah, menyusuri sungai-sungai dan rawa-rawa.
Semua pengetahuan ini menurut Machiavelli penting setidaknya untuk dua hal.
1. Tentara dan penguasa mengetahui persis keadaan negaranya.


2. Mengerti cara bagaimana mempertahankannya dari serangan musuh.
Dengan memiliki pengetahuan dan pengalaman menjelajahi bukit, gunung dan
menyusuri sungai maupun rawa-rawa pada suatu bagian tertentu di negaranya, maka ia akan
memahami kawasan-kawasan lain yang memiliki karakteristik serupa dengan kawasan yang
dipelajari dan ditelusurinya itu. Dengan mengetahui satu wilayah, ia akan mudah memahami
wilayah-wilayah di negara lainnya. Dengan memiliki pengetahuan itu juga tentara dan penguasa
akan mudah menemukan musuh-musuhnya dan merebut markas-markas tentara yang dikuasai
musuh-musuh mereka.
Untuk memahami segala seluk beluk mengenai perang dan tentara, Machiavelli juga
menyarankan kepada penguasa agar selalu belajar dari pengalaman penguasa atau kaisar-kaisar
lain di masa lalu. Misalnya mempelajari bagaimana cara bertempur yang baik, mempertahankan
diri dari serangan musuh, melakukan serangan balasan yang efektif dan cara-cara bagaimana
mereka memenangkan suatu peperangan dan sebagainya. Seorang penguasa tidak perlu malumalu untuk mencontoh keberhasilan-keberhasilan mereka. Menurut Machiavelli, cara belajar
demikianlah yang dilakukan Alexander Agung yang mencontoh Achilles, Caesar dan Scipio
Syrus. Inilah sumbangan penting pemikiran Machiavelli bagi perkembangan teori-teori perang
dan kemiliteran.
The Prince juga menguraikan tentang perlunya penguasa mempelajari sifat-sifat terpuji
dan yang tak terpuji. Dia harus berani melakukan tindakan tidak terpuji – kejam, bengis, khianat,
kikir – asalkan itu baik bagi negara dan kekuasaannya. Untuk mencapai tujuan, cara apapun bisa
digunakan (the ends justify the means). Oleh karena itu penguasa tidak perlu takut untuk tidak

dicintai,asalkan ia tidak dibenci rakyat.
Dengan kata lain, penguasa harus pandai-pandai menggunakan cara-cara manusia dan
cara binatang bila saat-saat tertentu dibutuhkan. Asumsi ini muncul di benak Machiavelli karena
menurutnya manusia memiliki dua sifat yang bertentangan, yaitu sifat manusia – tulus,
penyayang, baik, pemurah, tetapi juga memiliki sifat-sifat binatang atau sifat tak terpuji, jahat,
kikir, bengis, dan kejam. Kedua sifat manusia yang paradoksal ini membawa implikasi terhadap
cara menangani persoalan politik. Cara penanganan persoalan politik dengan ‘cara manusia’,
misalnya lewat prosedur hukum dan pengadilan, tidak efektif tanpa disertai ‘cra binatang’.
Tetapi bisa terjadi sebaliknya, cara binatang juga tidak efektif tanpa menggunakan cara manusia.
Kedua cara itu ibarat two sides of the same coin (dua sisi pada satu koin yang sama).
Machiavelli berpendapat bahwa penguasa negara bisa menggunakan cara binatang,
terutama ketika menghadapi lawan-lawan politiknya. Dalam The Princedikemukakan bahwa
seorang penguasa bisa menjadi singa (lion) di satu saat, dan menjadi rubah (fox) di saat lainnya.
Menghadapi musuhnya yang ganas bagai seekor serigala, penguasa hendaknya bisa berperangai
seperti singa, karena dengan cara itulah ia bisa mengalahkan lawannya. Tetapi penguasa harus
bersikap seperti rubah bila lawan yang dihadapinya adalah perangkap-perangkap musuh. Bukan
singa yang mampu mengendus perangkap-perangkap itu, melainkan rubah. Rubah amat peka
dengan perangkap yang akan menjerat dirinya.

Bertitik tolak dari premis itu, Machiavelli berpendapat bahwa seorang penguasa ideal
adalah Archilles yang belajar jadi penguasa dari Chiron. Chiron adalah mahluk
berkepala manusia berbadan dan berkaki kuda dalam mitologi Yunani kuno. Artinya,
seorang penguasa harus memiliki watak manusia dan watak kebinatangan pada saat
yang sama. Machiavelli menulis bahwa dengan belajar dari mahluk seperti Chiron,
penguasa diharapkan bisa mengetahui bagaimana menggunakan sifat manusia dan
sifat binatang. Menggunakan salah satu cara berkuasa tanpa cara lainnya tidak akan
berhasil.
Tentang Machiavelli dan Nasihat Machiavelli dalam Politik dan Kekuasaan
Niccolo Machiavelli adalah seorang diplomat dan politikus Italia dan juga seorang filsuf.
Selain itu juga dia dikenal sebagai penulis esai, sejarawan, penulis biografi, naskah
drama, novel, serta puisi. Trijali (2008: 173)
Machiavelli lahir tanggal 3 Mei 1469 di Florence, Italia, keturunan keluarga kuno
Tuscan. Ayahnya adalah seorang dokter dibidang hukum. Beliau menikah dengan Marietta
Corsini tahun 1501, dan punya lima anak selain itu juga Machiavelli belajar pada beberapa guru.
Niccolo Machiavelli, termasyhur karena nasihatnya yang blak-blakan bahwa:
“Seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya
haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan
penggunaan
kekejaman
penggunaan
kekuatan”http://media.isnet.org/iptek/index/Machiavelli.html.
The Prince dapat dianggap nasihat praktek terpenting buat seorang kepada negara.
Pikiran dasar buku ini adalah, untuk suatu keberhasilan, seorang Penguasa harus
mengabaikan pertimbangan moral sepenuhnya dan mengandalkan segala, sesuatunya
atas kekuatan dan kelicikan. Machiavelli menekankan di atas segala-galanya yang
terpenting adalah suatu negara mesti dipersenjatai dengan baik. Dia berpendapat,
hanya dengan tentara yang diwajibkan dari warga negara itu sendiri yang bisa
dipercaya; negara yang bergantung pada tentara bayaran atau tentara dari negeri lain
adalah lemah dan berbahaya.
Machiavelli menasihatkan sang Pangeran agar dapat dukungan penduduk, karena
kalau tidak, dia tidak punya sumber menghadapi kesulitan. Tentu, Machiavelli maklum
bahwa kadangkala seorang penguasa baru, untuk memperkokoh kekuasaannya, harus
berbuat sesuatu untuk mengamankan kekuasaannya, terpaksa berbuat yang tidak
menyenangkan warganya. Dia usul, meski begitu untuk merebut sesuatu negara, si
penakluk mesti mengatur langkah kekejaman sekaligus sehingga tidak perlu mereka
alami tiap hari kelonggaran harus diberikan sedikit demi sedikit sehingga mereka bisa
merasa senang.
Untuk mencapai sukses, seorang Pangeran harus dikelilingi dengan menteri-menteri
yang mampu dan setia Machiavelli memperingatkan Pangeran agar menjauhkan diri
dari penjilat dan minta pendapat apa yang layak dilakukan. Menurut Asvi Warman
Adam bahwa “Sejarah mengajarkan kepada kita apa yang tidak dapat kita lihat, untuk
memperkenalkan kita kepada penglihatan yang kabur sejak kita lahir”. Wineburg (2006:

vii) Namun menurut kami tujuan dari sejarah mengajarkan kita sebuah cara
menentukan pilihan untuk memptertimbangkan berbagai pendapat untuk membawakan
berbagai kisah dan meragukan sendiri bila perlu kisah-kisah yang kita bawakan.

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

HUBUNGAN IMPLEMENTASI PERAWAT TENTANG PATIENT SAFETY DENGAN RESIKO CEDERA PADA INFANT DAN TODDLER

38 264 22

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TENTANG DESAIN KEMASAN PRODUK DENGAN INTENSI MEMBELI

9 123 22

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91