Respon Negara negara Asia Tenggara terha (1)
BAB 2
2.1. Pembajakan Kapal: Selayang Pandang
Pembajakan kapal dalam lingkup global bukan merupakan cerita
baru, berdasarkan sejarahnya, kasus pembajakan kapal pertama yang tercatat
dalam tulisan terjadi abad ke-14 Sebelum Masehi (SM) di perairan
Mediterania sekitar wilayah Aegean, Yunani. (Maritime-connector.com,
2016). Sejak saat itu, pembajakan kapal terus berkembang seiring dengan
semakin pesatnya intensitas perdagangan melalui laut di daerah Mediterania.
Julius Cesar, kaisar Romawi, bahkan pernah menjadi korban dari pembajakan
kapal di wilayah tersebut ketika kapalnya ditahan oleh pembajak dari Sisilia
pada tahun 75 SM. (Time.com, 2008). Pada saat itu, banyak pembajak kapal
merupakaan orang pesisir yang menghadang kapal yang sedang berlayar
untuk meminta ransum dan melepaskan kapal tersebut jika sudah
mendapatkan apa yang mereka minta atau ketika tidak ada sama sekali. Hal
ini tentu berbeda dengan pembajakan kapal kontemporer dimana beberapa
pelaku pembajakan akan menahan kapal tersebut selama beberapa waktu
tertentu jika kapal tidak memiliki barang berharga di tempat seperti yang
dilakukan perompak Somalia terhadap kapal MV. Sinar Kudus milik
Indonesia di tahun 2011 dan MV. Maersk Alabama yang terkenal di tahun
2013 yang kemudian diangkat menjadi film layar lebar.
Secara etimologi, pembajakan berawal dari kata ‘bajak’ dalam
bahasa Indonesia dan ‘pirate’ dalam bahasa Inggris. Pirate sendiri merupakan
berasal dari bahasa latin ‘pirata’ yang berarti pelaut atau pencuri laut dan
bahasa Yunani ‘peiratēs’ yang secara harfiah diartikan sebagai “seseorang
yang menyerang kapal” (Perseus.tufts.edu, 2016).
Sedangkan secara definitif, dalam penelitian ini penulis akan
menggunakan definisi yang telah ditetapkan oleh International Maritime
Bureau di tahun 1992. Definisi ini menjelaskan bahwa tujuan utama dari
pembajakan kapal adalah untuk mencuri barang dengan naik ke atas kapal
baik yang sedang berlayar maupun yang sedang berhenti. (Beckman, GrundyWarr, Forbes & Schofield, 1995: 5) Dengan definisi ini, maka seluruh
aktivitas penahanan dan pencurian barang di atas kapal dapat didefinisikan
sebagai pembajakan tanpa melihat lokasi atau tempat kejadian perkara.
Karena definisi yang digunakan tidak seperti definisi yang ditetapkan oleh
United Nations Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) (1982) dimana
dalam definisi UNCLOS, pembajakan kapal adalah ketika aktivitas tersebut
dilakukan di laut lepas/ internasional.
Aktivitas pembajakan kapal mecapai ‘Masa Keemasan’-nya pada
abad pertengahan terutama pada abad 16 hingga abad 19 di wilayah-wilayah
seperti laut Mediterania, perairan Eropa Barat, laut Karibia, hingga laut Cina
Selatan. (Shiddique, 2009) Puncak dari masa keemasan pembajakan kapal ini
terjadi sepanjang tahun 1650an hingga 1730an dimana pada saat itu terjadi
ledakan pembajakan kapal yang cukup masif karena banyak yang mengakui
status hukum pembajak kapal demi kepentingan negara seperti Inggris dan
Perancis. Pada rentang waktu tersebut, Inggris dan Perancis sedang dalam
persaingan dagang dengan Spanyol sehingga Inggris
dan Perancis
mengeluarkan letter of marque (surat otoritas) kepada pembajak kapal untuk
membajak kapal-kapal Spanyol. Di awal dekade 1680an, hampir seluruh
negara kolonial Eropa memiliki surat otoritas kepada pembajak kapal di
wilayah Karibia untuk saling menghancurkan kapal negara lainnya. (Roland,
2007)
Penurunan aktivitas pembajakan kapal terjadi pada awal abad ke 18,
terutama sejak tahun 1713 ketika Perjanjian Utrecht ditandatangani oleh
negara-negara kolonial Eropa, diantaranya Inggris, Spanyol, Perancis,
Portugal, dan Belanda. (Encyclopedia Britannica, n.d.) Setelah perjanjian
Utrect, negara Eropa sangat tidak toleran terhadap aksi pembajakan, mereka
meningkatkan militer laut mereka untuk mengamankan kapal dagangnya dari
pembajakan. Hal ini menandai selesainya Masa Keemasan pembajakan kapal
hingga akhirnya pembajakan kapal pun bertransformasi menjadi pembajakan
modern di masa kontemporer.
Dari penjabaran diatas dapat terlihat suatu perubahan pola pikir
kerajaan atau pun negara pada saat itu dalam memandang aktivitas
pembajakan kapal. Interaksi antar subjek, dalam hal ini negara/ kerajaan
dengan aktivitas pembajakan kapal, yang dinamis dari waktu ke waktu juga
berbanding lurus dengan identitas yang diberikan negara/ kerajaan dalam
memandang kasus pembajakan ini.
Pada awal perkembangan aktivitas pembajakan kapal yang terpusat
di laut Mediterania, para pembajak kapal yang sebagian besar berasal dari
daerah Sisilia (sekarang Italia) diidentifikasikan sebagai subjek yang
mengganggu
kelangsungan
perdagangan
antar
kerajaan
terutama
mengganggu hegemoni kekaisaran Romawi di perairan tersebut. Hal ini
dibuktikan Irving (2012) dalam tulisannya dimana pada saat itu kekaisaran
Romawi pada akhirnya memberikan label “communes hostes gentium”
(musuh dari semua umat manusia) terhadap pembajak kapal. Pemberian label
tersebut menunjukkan bahwa kekaisaran Romawi sudah ‘menyekat’ definisi
in-group dan out-group antara Roma dengan pembajak Sisilia dan
menganggap pembajakan kapal merupakan suatu hal yang salah dan perlu
penanganan khusus.
Seiring dengan kejatuhan Romawi dan mulai berkembangnya
negara-bangsa di wilayah Eropa, dapat terlihat pula perubahan identitas yang
disematkan terhadap pembajak kapal. Pada abad Pertengahan, pembajakan
kapal dianggap sebagai suatu hal yang lumrah dan bahkan diizinkan oleh
negara/ kerajaan. Inggris sebagai contoh, telah memberikan izin resmi
kerajaan kepada pembajak kapal yang dikenal dengan nama privateer untuk
membajak kapal-kapal dagang dari negara lain yang merupakan rival mereka
seperti Spanyol, Perancis, dan Belanda. (Isil, 2016)
Inggris bahkan beberapa kali memberikan gelar Sir (gelar
kebangsawanan) kepada privateer seperti Sir Francis Drake dan Sir Henry
Morgan atas jasa mereka terhadap kerajaan. (Isil, 2016). Dari kebijakan ini
dapat terlihat bahwa pembajakan kapal tidak lagi diidentifikasikan sebagai
suatu hal yang mengancam, tetapi dilihat sebagai suatu hal yang heroik.
Konstruksi sosial pada abad Pertengahan menganggap bahwa seseorang/
kelompok akan menjadi in-group dari suatu lembaga seperti negara atau
kerajaan jika melakukan pembajakan kapal terhadap musuh dari negara atau
kerajaan lain.
Pemaknaan ‘positif’ terhadap pembajak kapal yang terjadi selama
abad 15 ini tidak berlangsung lama. Perubahan pola pikir komunitas
internasional pada tahun 1713 kembali mengubah identitas yang dimiliki oleh
para pelaku pembajakan. Setelah berpuluh-puluh tahun negara di Eropa
menggunakan jasa privateer, mereka mulai berpikir untuk mengurangi
pembajak kapal karena sudah terlalu banyak jumlah pembajak kapal di
perairan yang menjadi jalur perdagangan yang malah membahayakan
keselamatan kapal dagang dari negara mereka sendiri. (Golden-age-ofpiracy.com, 2016) Proses sekuritisasi berlangsung hingga akhirnya negaranegara tersebut membuat perjanjian damai Utrecht. Hasil dari pernjanjian ini
membuat pembajakan kapal kembali dianggap sebagai hal yang melanggar
aturan internasional dan perlu dikurangi keberadaannya.
Pada abad 19, negara –negara Eropa kembali melakukan proses
sekuritisasi terhadap segala jenis aktivitas pembajakan terutama aksi
privateering melalui pertemuan “The Paris Declaration Respecting Maritime
Law” pada tanggal 16 April 1856 dengan pernyataan yang dikutip oleh
Natalino dalam bukunya “The Law of Naval Warfare: A Collection of
Agreements and Documents with Commentaries” (1988: 64) bahwa
privateering telah, dan akan tetap, dihilangkan dalam peperangan antara
negara-negara penandatangan deklarasi. Hingga saat ini, pembajakan kapal
tetap dikonstruktikan sebagai aktivitas ilegal seiring dengan menguatnya
norma internasional untuk mencegah dan mengecam aktivitas tersebut.
Namun demikian, pembajakan kapal tidak pernah benar-benar hilang,
terutama di wilayah Afrika dan Asia
2.2. Pembajakan Kapal Kontemporer (1990an – sekarang)
Akhir dekade 1990an menjadi titik kembalinya aktivitas pembajakan
kapal di beberapa kawasan terutama perairan Afrika dan beberapa wilayah di
Asia. Kali ini, isu pembajakan kapal menjadi salah satu isu utama dalam
pembuatan kebijakan luar negeri karena 80% kargo perdagangan global
dikirim melalui laut dan di saat yang sama, laut memiliki peraturan
internasional yang lebih ‘anarki’ dibandingkan darat dan udara. (Luft and
Korin, 2004) Selain itu, pembajak kapal juga melakukan inovasi dalam
melakukan aktivitasnya. Pada Masa Keemasan-nya dulu, pembajak kapal
menggunakan kapal besar yang mirip dengan kapal perang negara-negara
untuk menyeimbangi kemampuan kapal lawan saat menyerang. Namun
sekarang, aktivitas pembajakan kapal dilakukan dengan menggunakan kapal
motor kecil (small speed boat) yang memiliki kecepatan hingga 15-25 knot
tergantung dengan kondisi perairan.1
Dalam perkembangannya,
aktivitas
pembajakan
kontemporer
tertinggi masih terjadi di laut lepas/ international water, namun angka ini
terkonsentrasi di Teluk Aden (Tanduk Afrika), perairan India Barat dan laut
Arab dimana pembajak kapal Somalia yang melakukan aktivitas pembajakan
di laut internasional dengan menargetkan kapal-kapal tanker dengan
pelayaran internasional. (Kraska, 2011: 35) Sedangkan, di wilayah lain seperti
Asia terutama di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, aktivitas pembajakan
terjadi di dalam laut territorial negara pesisir atau ketika kapal sedang
berlabuh. (Kraska, 2011: 37) Secara trennya sejak dekade 1990, terdapat 3
wilayah yang menjadi hotspot bagi aktivitas ini, yaitu perairan Tanduk Afrika,
perairan India Barat, dan perairan Asia Tenggara. Dalam penelitian ini,
peneliti akan membahas lebih detil terhadap 2 wilayah; perairan Tanduk
Afrika dan laut di Asia Tenggara. Perairan India Barat tidak termasuk dalam
penelitian karena pelaku pembajakan di wilayah tersebut adalah pembajak
berasal dari Somalia yang juga melakukan aktivitas di Tanduk Afrika.
2.1.1
Perairan Afrika Barat (Teluk Aden dan Laut Arab)
1 Walaupun kecepatan rata rata kapal motor kecil (small speedboat) dapat
mencapai 25 knot, hingga saat ini belum ada pembajak kapal yang berhasil
menaiki kapal yang berlayar dengan kecepatan lebih dari 18 knot. Oleh
karena itu, kapal disarankan untuk berlayar dengan kecepatan maksimum
(Full sea speed) atau setidaknya melebihi 18 knot.
Dapus
Golden-age-of-piracy.com. (2016). Golden Age of Piracy. [online] Available at:
http://www.golden-age-of-piracy.com/golden-age-of-piracy/post-spanishsuccession-period.php [Accessed 8 Jun. 2016].
Perseus.tufts.edu. (2016). Henry George Liddell, Robert Scott, A Greek-English
Lexicon. [online] Available at: http://www.perseus.tufts.edu/hopper/ text?
doc=Perseus%3Atext%3A1999.04.0057%3Aentry%3D
%2380341&redirect=true [Accessed 8 Jun. 2016].
Maritime-connector.com. (2016). History of piracy. [online] Available at:
http://maritime-connector.com/wiki/history-of-piracy/ [Accessed 8 Jun.
2016].
Irving, J. (2012). Pirates in the Ancient Mediterranean. [online] Ancient History
Encyclopedia. Available at: http://www.ancient.eu/Piracy/ [Accessed 8 Jun.
2016].
Isil, O. (2016). Piracy and Privateering with Elizabethan Maritime Expansion.
[online]
Nps.gov.
Available
https://www.nps.gov/fora/learn/education/piracy-and-privateering-withelizabethan-maritime-expansion.htm [Accessed 8 Jun. 2016].
at:
Roland, J. (2007). Letters of Marque and Reprisal. [online] Constitution Society.
Available at: http://www.constitution.org/mil/lmr/lmr.htm [Accessed 8 Jun.
2016].
Shiddique, H. (2009). From ancient Greece to Hollywood: a brief history of
piracy.
The
Guardian,
[online]
p.2.
Available
at:
http://www.theguardian.com/news/blog/2009/aug/12/piracy-history-arcticsea [Accessed 8 Jun. 2016].
TIME.com. (2008). Top 10 Audacious Acts of Piracy - TIME. [online] Available
at:
http://content.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,1860715_18
60714,00.html [Accessed 8 Jun. 2016].
Encyclopedia Britannica. (n.d.). treaties of Utrecht. [online] Available at:
http://www.britannica.com/topic/treaties-of-Utrecht [Accessed 8 Jun. 2016].
Luft, G. and Korin, A. (2004). Terrorism Goes to Sea. [online] Foreign Affairs.
Available
at:
https://www.foreignaffairs.com/articles/oceans/2004-11-
01/terrorism-goes-sea [Accessed 16 Jun. 2016].
Winn, P. (2014). Strait of Malacca Is World's New Piracy Hotspot. [online] NBC
News. Available at: http://www.nbcnews.com/news/world/strait-malaccaworlds-new-piracy-hotspot-n63576 [Accessed 16 Jun. 2016].
2.1. Pembajakan Kapal: Selayang Pandang
Pembajakan kapal dalam lingkup global bukan merupakan cerita
baru, berdasarkan sejarahnya, kasus pembajakan kapal pertama yang tercatat
dalam tulisan terjadi abad ke-14 Sebelum Masehi (SM) di perairan
Mediterania sekitar wilayah Aegean, Yunani. (Maritime-connector.com,
2016). Sejak saat itu, pembajakan kapal terus berkembang seiring dengan
semakin pesatnya intensitas perdagangan melalui laut di daerah Mediterania.
Julius Cesar, kaisar Romawi, bahkan pernah menjadi korban dari pembajakan
kapal di wilayah tersebut ketika kapalnya ditahan oleh pembajak dari Sisilia
pada tahun 75 SM. (Time.com, 2008). Pada saat itu, banyak pembajak kapal
merupakaan orang pesisir yang menghadang kapal yang sedang berlayar
untuk meminta ransum dan melepaskan kapal tersebut jika sudah
mendapatkan apa yang mereka minta atau ketika tidak ada sama sekali. Hal
ini tentu berbeda dengan pembajakan kapal kontemporer dimana beberapa
pelaku pembajakan akan menahan kapal tersebut selama beberapa waktu
tertentu jika kapal tidak memiliki barang berharga di tempat seperti yang
dilakukan perompak Somalia terhadap kapal MV. Sinar Kudus milik
Indonesia di tahun 2011 dan MV. Maersk Alabama yang terkenal di tahun
2013 yang kemudian diangkat menjadi film layar lebar.
Secara etimologi, pembajakan berawal dari kata ‘bajak’ dalam
bahasa Indonesia dan ‘pirate’ dalam bahasa Inggris. Pirate sendiri merupakan
berasal dari bahasa latin ‘pirata’ yang berarti pelaut atau pencuri laut dan
bahasa Yunani ‘peiratēs’ yang secara harfiah diartikan sebagai “seseorang
yang menyerang kapal” (Perseus.tufts.edu, 2016).
Sedangkan secara definitif, dalam penelitian ini penulis akan
menggunakan definisi yang telah ditetapkan oleh International Maritime
Bureau di tahun 1992. Definisi ini menjelaskan bahwa tujuan utama dari
pembajakan kapal adalah untuk mencuri barang dengan naik ke atas kapal
baik yang sedang berlayar maupun yang sedang berhenti. (Beckman, GrundyWarr, Forbes & Schofield, 1995: 5) Dengan definisi ini, maka seluruh
aktivitas penahanan dan pencurian barang di atas kapal dapat didefinisikan
sebagai pembajakan tanpa melihat lokasi atau tempat kejadian perkara.
Karena definisi yang digunakan tidak seperti definisi yang ditetapkan oleh
United Nations Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) (1982) dimana
dalam definisi UNCLOS, pembajakan kapal adalah ketika aktivitas tersebut
dilakukan di laut lepas/ internasional.
Aktivitas pembajakan kapal mecapai ‘Masa Keemasan’-nya pada
abad pertengahan terutama pada abad 16 hingga abad 19 di wilayah-wilayah
seperti laut Mediterania, perairan Eropa Barat, laut Karibia, hingga laut Cina
Selatan. (Shiddique, 2009) Puncak dari masa keemasan pembajakan kapal ini
terjadi sepanjang tahun 1650an hingga 1730an dimana pada saat itu terjadi
ledakan pembajakan kapal yang cukup masif karena banyak yang mengakui
status hukum pembajak kapal demi kepentingan negara seperti Inggris dan
Perancis. Pada rentang waktu tersebut, Inggris dan Perancis sedang dalam
persaingan dagang dengan Spanyol sehingga Inggris
dan Perancis
mengeluarkan letter of marque (surat otoritas) kepada pembajak kapal untuk
membajak kapal-kapal Spanyol. Di awal dekade 1680an, hampir seluruh
negara kolonial Eropa memiliki surat otoritas kepada pembajak kapal di
wilayah Karibia untuk saling menghancurkan kapal negara lainnya. (Roland,
2007)
Penurunan aktivitas pembajakan kapal terjadi pada awal abad ke 18,
terutama sejak tahun 1713 ketika Perjanjian Utrecht ditandatangani oleh
negara-negara kolonial Eropa, diantaranya Inggris, Spanyol, Perancis,
Portugal, dan Belanda. (Encyclopedia Britannica, n.d.) Setelah perjanjian
Utrect, negara Eropa sangat tidak toleran terhadap aksi pembajakan, mereka
meningkatkan militer laut mereka untuk mengamankan kapal dagangnya dari
pembajakan. Hal ini menandai selesainya Masa Keemasan pembajakan kapal
hingga akhirnya pembajakan kapal pun bertransformasi menjadi pembajakan
modern di masa kontemporer.
Dari penjabaran diatas dapat terlihat suatu perubahan pola pikir
kerajaan atau pun negara pada saat itu dalam memandang aktivitas
pembajakan kapal. Interaksi antar subjek, dalam hal ini negara/ kerajaan
dengan aktivitas pembajakan kapal, yang dinamis dari waktu ke waktu juga
berbanding lurus dengan identitas yang diberikan negara/ kerajaan dalam
memandang kasus pembajakan ini.
Pada awal perkembangan aktivitas pembajakan kapal yang terpusat
di laut Mediterania, para pembajak kapal yang sebagian besar berasal dari
daerah Sisilia (sekarang Italia) diidentifikasikan sebagai subjek yang
mengganggu
kelangsungan
perdagangan
antar
kerajaan
terutama
mengganggu hegemoni kekaisaran Romawi di perairan tersebut. Hal ini
dibuktikan Irving (2012) dalam tulisannya dimana pada saat itu kekaisaran
Romawi pada akhirnya memberikan label “communes hostes gentium”
(musuh dari semua umat manusia) terhadap pembajak kapal. Pemberian label
tersebut menunjukkan bahwa kekaisaran Romawi sudah ‘menyekat’ definisi
in-group dan out-group antara Roma dengan pembajak Sisilia dan
menganggap pembajakan kapal merupakan suatu hal yang salah dan perlu
penanganan khusus.
Seiring dengan kejatuhan Romawi dan mulai berkembangnya
negara-bangsa di wilayah Eropa, dapat terlihat pula perubahan identitas yang
disematkan terhadap pembajak kapal. Pada abad Pertengahan, pembajakan
kapal dianggap sebagai suatu hal yang lumrah dan bahkan diizinkan oleh
negara/ kerajaan. Inggris sebagai contoh, telah memberikan izin resmi
kerajaan kepada pembajak kapal yang dikenal dengan nama privateer untuk
membajak kapal-kapal dagang dari negara lain yang merupakan rival mereka
seperti Spanyol, Perancis, dan Belanda. (Isil, 2016)
Inggris bahkan beberapa kali memberikan gelar Sir (gelar
kebangsawanan) kepada privateer seperti Sir Francis Drake dan Sir Henry
Morgan atas jasa mereka terhadap kerajaan. (Isil, 2016). Dari kebijakan ini
dapat terlihat bahwa pembajakan kapal tidak lagi diidentifikasikan sebagai
suatu hal yang mengancam, tetapi dilihat sebagai suatu hal yang heroik.
Konstruksi sosial pada abad Pertengahan menganggap bahwa seseorang/
kelompok akan menjadi in-group dari suatu lembaga seperti negara atau
kerajaan jika melakukan pembajakan kapal terhadap musuh dari negara atau
kerajaan lain.
Pemaknaan ‘positif’ terhadap pembajak kapal yang terjadi selama
abad 15 ini tidak berlangsung lama. Perubahan pola pikir komunitas
internasional pada tahun 1713 kembali mengubah identitas yang dimiliki oleh
para pelaku pembajakan. Setelah berpuluh-puluh tahun negara di Eropa
menggunakan jasa privateer, mereka mulai berpikir untuk mengurangi
pembajak kapal karena sudah terlalu banyak jumlah pembajak kapal di
perairan yang menjadi jalur perdagangan yang malah membahayakan
keselamatan kapal dagang dari negara mereka sendiri. (Golden-age-ofpiracy.com, 2016) Proses sekuritisasi berlangsung hingga akhirnya negaranegara tersebut membuat perjanjian damai Utrecht. Hasil dari pernjanjian ini
membuat pembajakan kapal kembali dianggap sebagai hal yang melanggar
aturan internasional dan perlu dikurangi keberadaannya.
Pada abad 19, negara –negara Eropa kembali melakukan proses
sekuritisasi terhadap segala jenis aktivitas pembajakan terutama aksi
privateering melalui pertemuan “The Paris Declaration Respecting Maritime
Law” pada tanggal 16 April 1856 dengan pernyataan yang dikutip oleh
Natalino dalam bukunya “The Law of Naval Warfare: A Collection of
Agreements and Documents with Commentaries” (1988: 64) bahwa
privateering telah, dan akan tetap, dihilangkan dalam peperangan antara
negara-negara penandatangan deklarasi. Hingga saat ini, pembajakan kapal
tetap dikonstruktikan sebagai aktivitas ilegal seiring dengan menguatnya
norma internasional untuk mencegah dan mengecam aktivitas tersebut.
Namun demikian, pembajakan kapal tidak pernah benar-benar hilang,
terutama di wilayah Afrika dan Asia
2.2. Pembajakan Kapal Kontemporer (1990an – sekarang)
Akhir dekade 1990an menjadi titik kembalinya aktivitas pembajakan
kapal di beberapa kawasan terutama perairan Afrika dan beberapa wilayah di
Asia. Kali ini, isu pembajakan kapal menjadi salah satu isu utama dalam
pembuatan kebijakan luar negeri karena 80% kargo perdagangan global
dikirim melalui laut dan di saat yang sama, laut memiliki peraturan
internasional yang lebih ‘anarki’ dibandingkan darat dan udara. (Luft and
Korin, 2004) Selain itu, pembajak kapal juga melakukan inovasi dalam
melakukan aktivitasnya. Pada Masa Keemasan-nya dulu, pembajak kapal
menggunakan kapal besar yang mirip dengan kapal perang negara-negara
untuk menyeimbangi kemampuan kapal lawan saat menyerang. Namun
sekarang, aktivitas pembajakan kapal dilakukan dengan menggunakan kapal
motor kecil (small speed boat) yang memiliki kecepatan hingga 15-25 knot
tergantung dengan kondisi perairan.1
Dalam perkembangannya,
aktivitas
pembajakan
kontemporer
tertinggi masih terjadi di laut lepas/ international water, namun angka ini
terkonsentrasi di Teluk Aden (Tanduk Afrika), perairan India Barat dan laut
Arab dimana pembajak kapal Somalia yang melakukan aktivitas pembajakan
di laut internasional dengan menargetkan kapal-kapal tanker dengan
pelayaran internasional. (Kraska, 2011: 35) Sedangkan, di wilayah lain seperti
Asia terutama di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, aktivitas pembajakan
terjadi di dalam laut territorial negara pesisir atau ketika kapal sedang
berlabuh. (Kraska, 2011: 37) Secara trennya sejak dekade 1990, terdapat 3
wilayah yang menjadi hotspot bagi aktivitas ini, yaitu perairan Tanduk Afrika,
perairan India Barat, dan perairan Asia Tenggara. Dalam penelitian ini,
peneliti akan membahas lebih detil terhadap 2 wilayah; perairan Tanduk
Afrika dan laut di Asia Tenggara. Perairan India Barat tidak termasuk dalam
penelitian karena pelaku pembajakan di wilayah tersebut adalah pembajak
berasal dari Somalia yang juga melakukan aktivitas di Tanduk Afrika.
2.1.1
Perairan Afrika Barat (Teluk Aden dan Laut Arab)
1 Walaupun kecepatan rata rata kapal motor kecil (small speedboat) dapat
mencapai 25 knot, hingga saat ini belum ada pembajak kapal yang berhasil
menaiki kapal yang berlayar dengan kecepatan lebih dari 18 knot. Oleh
karena itu, kapal disarankan untuk berlayar dengan kecepatan maksimum
(Full sea speed) atau setidaknya melebihi 18 knot.
Dapus
Golden-age-of-piracy.com. (2016). Golden Age of Piracy. [online] Available at:
http://www.golden-age-of-piracy.com/golden-age-of-piracy/post-spanishsuccession-period.php [Accessed 8 Jun. 2016].
Perseus.tufts.edu. (2016). Henry George Liddell, Robert Scott, A Greek-English
Lexicon. [online] Available at: http://www.perseus.tufts.edu/hopper/ text?
doc=Perseus%3Atext%3A1999.04.0057%3Aentry%3D
%2380341&redirect=true [Accessed 8 Jun. 2016].
Maritime-connector.com. (2016). History of piracy. [online] Available at:
http://maritime-connector.com/wiki/history-of-piracy/ [Accessed 8 Jun.
2016].
Irving, J. (2012). Pirates in the Ancient Mediterranean. [online] Ancient History
Encyclopedia. Available at: http://www.ancient.eu/Piracy/ [Accessed 8 Jun.
2016].
Isil, O. (2016). Piracy and Privateering with Elizabethan Maritime Expansion.
[online]
Nps.gov.
Available
https://www.nps.gov/fora/learn/education/piracy-and-privateering-withelizabethan-maritime-expansion.htm [Accessed 8 Jun. 2016].
at:
Roland, J. (2007). Letters of Marque and Reprisal. [online] Constitution Society.
Available at: http://www.constitution.org/mil/lmr/lmr.htm [Accessed 8 Jun.
2016].
Shiddique, H. (2009). From ancient Greece to Hollywood: a brief history of
piracy.
The
Guardian,
[online]
p.2.
Available
at:
http://www.theguardian.com/news/blog/2009/aug/12/piracy-history-arcticsea [Accessed 8 Jun. 2016].
TIME.com. (2008). Top 10 Audacious Acts of Piracy - TIME. [online] Available
at:
http://content.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,1860715_18
60714,00.html [Accessed 8 Jun. 2016].
Encyclopedia Britannica. (n.d.). treaties of Utrecht. [online] Available at:
http://www.britannica.com/topic/treaties-of-Utrecht [Accessed 8 Jun. 2016].
Luft, G. and Korin, A. (2004). Terrorism Goes to Sea. [online] Foreign Affairs.
Available
at:
https://www.foreignaffairs.com/articles/oceans/2004-11-
01/terrorism-goes-sea [Accessed 16 Jun. 2016].
Winn, P. (2014). Strait of Malacca Is World's New Piracy Hotspot. [online] NBC
News. Available at: http://www.nbcnews.com/news/world/strait-malaccaworlds-new-piracy-hotspot-n63576 [Accessed 16 Jun. 2016].