Religiusitas dan Sikap Terhadap Penerapa (1)
TERHADAP PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI KOTA LANGSA – PROPINSI ACEH MUHAMMAD ANSOR, MA ZUBIR, MA DR. MUHAMMAD ABU BAKAR, MA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) ZAWIYAH COT KALA LANGSA TAHUN ANGGARAN
ABSTRAK
Penelitian ini membahas hubungan antara religiusitas dan sikap terhadap penerapan syariat Islam di Langsa. Metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Peneliti melakukan wawancara terhadap 305 responden yang tersebur di 28 Gampong di Kota Langsa. Lokasi desa dipilih secar acak, setelah dilakukan proporsi populasi dimasing- masing kecamatan. Responden yang dimaksud dalam survei ini adalah penduduk yang punya hak pilih dalam pemilihan umum sekarang, yakni berumur 17 tahun atau lebih, atau telah menikah, yang dilakukan secara multistage random sampling. Pemilihan responden ditingkat KK menggunakan sistem Kish Gird. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak ada korelasi antara unsur religiusitas dengan unsur sikap penerapan syarait Islam. Orang Langsa dapat dikategorikan sebagai religius ketika religiusitas didefinisikan sebagai intensitas melaksanakan ibadah wajib dan ibadah sunnah. Namun meskipun tergolong religius dan memiliki komitmen keagamaan yang tinggi, ternyata unsur religiusitas ini tidak mempengaruhi sikap orang Langsa terkait dengan penerapan syariat Islam.
Penelitian ini menemukan bahwa faktor-faktor yang berkorelasi dengan sikap penerapan syariat Islam adalah ideologi Islamisme, intoleransi dan keacehan. Hampir semua unsur Islamisme berkorelasi positif dan signifikan terhadap sikap penerapan syariat Islam. Semakin setuju seseorang dengan ideologi Islamisme, maka semakin kuat dukungannya terhadap penerapan syariat Islam melalui pendekatan kenegaraan. Beberapa unsur terkait dengan toleransi tidak berkorelasi tetapi sebagian besar berkorelasi signifikan, tetapi sebagian besar unsur tersebut memiliki korelasi yang signifikan. Semakin kuat intoleransi, maka semakin positif dukungan atas penerapan syariat Islam. Adapun terkait dengan demografi, tidak semua unsur yang dirumuskan berkorelasi dengan sikap penerapan syariat Islam, hanya item keacehan yang berkorelasi kuat dan meyakinkan terhadap penerapan syariat Islam. Adapun item seperti unsur pendapatan, pekerjaan, umur, dan desa-kota; tidak berpengaruh.
Meskipun religius dan dukungannya terhadap penerapan syariat Islam sangat kuat, penelitian ini menemukan bahwa perilaku politik orang Langsa dalam pemilihan umum bersifat sekular. Studi ini tidak menemukan korelasi antara religiusitas dan sikap terhadap syariat Islam dengan preferensi politik orang Langsa dalam pemilihan umum. Analisa ini pararel dengan bukti empirik berupa kemenangan Partai Golkar pada pemilu 2004 dan kemenangan Partai Aceh yang disusul Partai Demokrat dan Partai Golkar dalam pemilu 2009. Hal ini bagaimanapun memperlihatkan sifat sekular orientasi politik Orang Langsa dalam Pemilihan Umum. Karena semua partai-partai yang memiliki kekuatan dominan ini, bukan partai-partai Islam atau mengusung ideologi sekular, melainkan partai-partai yang dikategorikan mengusung ideologi sekular, setidaknya ketika sekular dimaknai dengan penolakan atas penerapan syariat melalui pendekatan kenegaraan. []
KATA PENGANTAR
Studi hubungan antara religiusitas dengan sikap terhadap penerapan syariat Islam di Kota Langsa, dimaksudkan untuk mengidentifikasi perilaku keagamaan masyarakat terkait dengan penerapan syariat Islam. Terkecuali itu, studi ini juga dimaksudkan menganalisa pengaruh religiusitas dan sikap penerapan syariat Islam terhadap perilaku politik masyarakat di Langsa.
Ini barangkali studi yang pertama kali dilakukan dalam skala Langsa dengan topik pembahasan dan pendekatan yang serupa. Karena itu, diharapkan temuan-temuan dalam studi ini memberikan manfaat, setidaknya memberikan relevansi teoritis menyangkut penelitian agama dan masyarakat.
Tim Peneliti yang terdiri dari Muhammad Ansor, Zubir, dan Muhammad Abu Bakar mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan selama pelaksanaan penelitian hingga laporan kemajuan ini tersusun. Kepada Bapak DR. Zulkarnaini, MA atas kesediaannya menjadi konsultan bagi penelitian ini. Terimakasih disampaikan pula kepada LP3EM yang telah memberikan dukungan moral dan finansial untuk kegiatan ini.
Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada pihak-pihak terkait yang telah membantu tim peneliti terutama dukungan data. Mahasiswa kelas Metodologi Hukum Islam merupakan pihak yang paling banyak memeberikan bantuan terutama terkait dengan pengumpulan data untuk penelitian ini. Atas dedikasi dari pihak-pihak tersebut kami dapat meyelesaikan salah satu tahapan penelitian.
Harapan kita semua semoga hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi pemetaan kondisi masyarakat di Langsa terkait dengan perilaku keagamaan mereka. Pandangan masyarakat terkait dengan penerapan syariat Islam yang dirangkum dalam laporan ini diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Bagi akademisi, diharapkan studi ini memberikan sumbangan teoritis dalam model studi tentang agama dan perilaku politik. Kami menyadari sangat memungkinkan sekali dalam proses penelitian ini terdapat kekurangan termasuk dalam proses penulisan laporan ini, untuk itu, masukan, kritik dan saran yang konstruktif sangat berguna bagi perbaikan laporan penelitian ini.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Proyek Islamisasi di Propinsi Aceh, sejak penerapan syariat Islam diresmikan pada tahun 2002, cenderung berfokus pada keharusan kesalehan individu atau ungkapannya di depan umum. Penerbitan Qanun (Peraturan-peraturan Daerah) yang berkaitan dengan penerapan Syariat Islam di Aceh seperti Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Larangan Maisir (Perjudian), Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Larangan Khamar, dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Larangan Khalwat, cukup memperlihatkan kecenderungan itu.
Meskipun sesungguhnya secara historis pelaksanaan Syariat Islam di Aceh bukan hal asing bagi masyarakatnya, namun penerapannya melalui intervensi Negara mendapat respon yang beragam dari masyarakat. Betapapun, penyataan ini harus segera disusul anggapan yang meluas di masyarakat bahwa secara statistik, kelompok yang menolak pelembagaan syariat melalui Negara memang tidak sebanding dengan pendukungnya yang memang mayoritas di Aceh.
Pemberitaan media massa tentang operasi perempuan berpakaian ketat di Aceh Barat yang menuai protes sebagian kalangan masyarakat sipil misalnya, menandakan bahwa respon masyarakat terhadap dominasi Negara terkait implementasi syariat Islam ini tidaklah tunggal. Syamsul Rizal dalam penelitiannya tentang perilaku keagamaan remaja di Kota Langsa mengatakan bahwa perilaku berpacaran para remaja di kota ini yang menggejala, sebagai ekspresi perlawanan atau protes sosial warga atas dominasi Negara
sebagaimana dituangkan dalam Qonun 14/2003 tentang Larangan Khalwat. 1 Demikian pula kehadiran kelompok diskusi anak muda Banda Aceh sebagaimana yang mereka
diekspresikan melalui website www.acehinstitute.com yang cenderung bersikap kritis terhadap penerapan Syariat Islam di Aceh memperkuat argumen diversitas respon masyarakat Aceh terhadap agenda ini.
Ilustrasi yang cukup jernih untuk menjelaskan adanya variansi respon terhadap proyek Islamisasi melalui Negara di NAD adalah penundaan pengesahan Draft Qanun
Aceh tentang Hukum Acara Jinayat. Bagian krusial di dalam rancangan tersebut yang memantik kontroversi di masyarakat antara lain terkait dengan diperkenalkannya hukuman cambuk dalam pelanggaran pidana di Aceh. Pro dan kontra antara kelompok yang mendukung dan menolak rancangan Qanun yang baru ini memperlihatkan adanya suara yang tidak tunggal terkait implementasi Syariat Islam.
Aceh secara historis memang menyediakan perbendaharaan melimpah mengenai keragaman pandangan menyangkut visi Islam dan campur tangan Negara dalam penegakan syariat. Perdebatan yang menyejarah antara dua tokoh sufi, Abdul Rauf Sinkily dengan Hamzah Fansuri mengenai konsep relasi Tuhan dan manusia yang berakhir dengan vonis hukuman mati Fansuri oleh otoritas negara karena dinilai mengembangkan ajaran sesat, menandakan bahwa keragaman visi Islam di daerah ini memiliki akar historis yang sudah sangat lama. Hal lain yang dapat dipetik dari kisah Sinkily dan Fansuri ini adalah kenyataan bahwa dukungan Negara terhadap model praktik ke-Islaman di Aceh selalu tampil menjadi pemenang dalam pertarungan antara pelbagai mainstream ke-Islaman.
Kota Langsa, sebuah kota di bagian Aceh Timur yang secara geografis berbatasan dengan wilayah administrasi Propinsi Sumatera Utara, menghadirkan “varian lain” dari visi ke-Islaman di propinsi ini. Kota Langsa dihadapkan pada tarik menarik dua identitas ganda: di satu sisi sebagai bagian dari wilayah administratif Propinsi Aceh, muncul wajah religious kota ini. Namun, kedekatan Kota Langsa secara geografis dengan Sumatera Utara yang multikultural dan plural secara sosial, mengakibatkan resonansi budaya di daerah ini cukup dirasakan di Langsa.
Menyangkut model berpacaran dan gaya berpakaian anak muda di Kota Langsa misalnya, sebagaimana ditunjukkan penelitian Samsul Rizal (2008), lebih merepresentasikan daerah relatif kosmopolitan. Praktik keseharian masyarakat juga memperlihatkan tarik menarik antara arus visi sosial keagamaan Banda Aceh dan Medan. Dalam soal implementasi syariat Islam melalui Negara, Kota Langsa merepresentasikan contoh yang relatif kurang bersemangat dalam menjalankan visi keislaman melalui pendekatan kenegaraan ini. Paling tidak hal inilah yang sementara ini terlihat dari fenomena penerapan syariat Islam di Langsa.
1 Syamsul Rizal, “Perilaku Pacaran Anak Muda Kota Langsa – Aceh: Dalam Bayang-bayang Syariat”, dalam Irwan Abdullah, Ibn Mujib dan M Iqbal Ahnaf, Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global,
(Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM dan Pustaka Pelajar, 2008), h. 2008:399-400
Beberapa orang berpandangan bahwa lemahnya dukungan terhadap pelaksanaan syariat Islam berkorelasi positif dengan rendahnya religiusitas atau kesalehan masyarakat Muslim. Menggunakan ungkapan yang berbeda, masyarakat kurang mendukung penegakan syariat Islam dikarenakan belum memahami secara baik dan benar mengenai apa yang didefinisikan sebagai syariat Islam, terutama tujuan kemaslahatan yang akan didapatkan. Kemungkinan lain, dinginnya respon atas penerapan syariat Islam dikarenakan rendahnya tingkat religiusitas masyarakat. Perlu disampaikan bahwa pernyataan yang terakhir ini lebih bersifat hipotesis dibandingkan dengan sesuatu yang telah diverifikasi dengan pembuktian empirik.
Ada hal menarik di Langsa, meskipun secara umum masyarakat muslim di daerah ini memperlihatkan komiten keislaman yang kuat dalam kehidupan sehari-hari, namun preferensi politik masyarakatnya bersifat sekular. Di katakan demikian karena dalam momen-momen pemilihan umum, atau momen pemilihan kepala daerah, Langsa dalam beberapa dasarwarsa terakhir, merupakan daerah yang selalu dimenangkan Partai Golkar. Paling tidak hal tersebut yang terlihat dari hasil Pemilu DPRD Langsa pada tahun 2004. Demikian Pemilu 2009 yang dimenangkan oleh Partai Aceh disusul oleh Partai Demokrat dan Partai Golkar. Partai Aceh, betatapun merupakan dikelompokkan dalam Partai Lokal, secara ideologis bukan merupakan Partai Islam. Karena itu kemenangan partai-partai politik yang tidak berbasis agama di satu pihak, di tengah masyarakat dengan komitmen keislaman yang kuat, memantik keingintahuan tentang perilaku politik orang Langsa. Menurut peneliti akan menarik apabila analisa mengenai hal ini dikaitkan dengan religiusitas dan sikap mereka terhadap penerapan syaraiat Islam.
Peneliti tertarik untuk menguji kebenaran tesis tersebut, dan menjadikan masyarakat Kota Langsa sebagai area lokasi melakukan pembuktian. Terkait sikap terhadap penerapan syariat Islam, bisa saja bukan faktor pemahaman atau pun tingkat religiusitas seseorang yang mempengaruhi dukungan atau penolakan penerapan syariat melalui Negara. Karena ditemukan kasus seseorang menolak pemberlakuan syariat dikarenakan pandangan yang menolak campur tangan Negara dalam soal keagamaan, dan muncul dari kalangan berlatar- belakang pendidikan pesantren. Demikian pula, biasa saja Muslim Langsa yang memiliki komitmen keislaman yang kuat dalam perilaku politiknya berorientasi sekular, seperti halnya gambaran tentang perilaku politik Muslim Indonesia yang selalu memberikan suara Peneliti tertarik untuk menguji kebenaran tesis tersebut, dan menjadikan masyarakat Kota Langsa sebagai area lokasi melakukan pembuktian. Terkait sikap terhadap penerapan syariat Islam, bisa saja bukan faktor pemahaman atau pun tingkat religiusitas seseorang yang mempengaruhi dukungan atau penolakan penerapan syariat melalui Negara. Karena ditemukan kasus seseorang menolak pemberlakuan syariat dikarenakan pandangan yang menolak campur tangan Negara dalam soal keagamaan, dan muncul dari kalangan berlatar- belakang pendidikan pesantren. Demikian pula, biasa saja Muslim Langsa yang memiliki komitmen keislaman yang kuat dalam perilaku politiknya berorientasi sekular, seperti halnya gambaran tentang perilaku politik Muslim Indonesia yang selalu memberikan suara
Kota Langsa, merupakan daerah yang menarik diamati untuk menjelaskan tesis tersebut. Seperti dikemukakan, dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Propinsi Aceh, pelaksanaan syariat Islam di Kota Langsa tampaknya lebih longgar. Saat beberapa kabupaten/kota di Aceh mulai memberlakukan hukuman cambuk bagi Muslim yang terbukti melakukan pelanggaran syariat Islam seperti perjudian dan khalwat, praktik terhadap kebijakan yang sama belum ditemukan di Kota Langsa. Sepanjang pemberlakuan sanksi hukum cambuk misalnya, berbeda dengan mayoritas kabupaten/kota di Propinsi Aceh, Langsa belum pernah mempraktikkan hukuman cambuk kepada orang yang terbukti melakukan pelanggaran syariah, seperti judi, khalwat, ataupun minum minuman beralkohol.
Kenyataan secara geografis Kota Langsa berada di area fontier—perbatasan antara kultur Aceh dengan Sumatera Utara—mungkin salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut. Tetapi menganalisa hal ini dengan berlandaskan pertimbangan geo- politik-kultural tersebut tampaknya sikap akademis yang kurang berhati-hati dalam membaca dinamika keagamaan di Kota Langsa. Karena itu, survey perilaku keagamaan masyarakat Kota Langsa dengan menekankan pada hubungan religiusitas dengan sikap terhadap penerapan syariat Islam, diharapkan dapat menjelaskan dinamika keagamaan sekaligus perilaku politik masyarakat di daerah ini.
1.2. Rumusan Masalah
Penelitian ini akan difokuskan pada hubungan antara keberagamaan (religiusitas) masyarakat Kota Langsa dengan perilaku politik atau sikap mereka terkait penerapan syariat Islam. Untuk memudahkan pembahasan, pertanyaan-pertanyaan penelitian ini dirumuskan sebagaimana berikut :
1. Bagaimana hubungan antara religiusitas masyarakat Muslim dengan sikap terhadap penerapan syariat Islam?
2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi sikap masyarakat Muslim Kota Langsa terhadap penerapan syariat Islam?
3. Bagaimana pengaruh religiusitas dan sikap penerapan syariat Islam terhadap perilaku politik masyarakat Kota Langsa.
1.3. Pembatasan Masalah
Syariat Islam merupakan topik yang amat luas. Definisi kata syariat sendiri bahkan merupakan wilayah yang diperebutkan antara kelompok yang menyetujui implementasi Syariat Islam melalui Negara dengan kelompok yang menentangnya. Tentu bukan di sini tempatnya membahas perdebatan konseptual tersebut.
Namun, syariat Islam yang dimaksudkan dalam penelitian ini dibatasi pada peraturan-peraturan (Qanun) pemerintah Propinsi Aceh mengenai pelaksanaan Syariat Islam. Qanun tentang pelaksanaan Syariat Islam sebagaimana dimaksud adalah (1) Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’ah Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam; (2) Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Larangan Khamar dan sejenisnya; (3) Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Larangan Maisir (Judi); (4) Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat (Mesum). Draft Qanun Jinayat Aceh.
Artinya, sikap terhadap penerapan syariat Islam sebagaimana dimaksudkan penelitian ini adalah sikap atas regulasi sebagaimana tertuang dalam qanun-qanun tentang pelaksanaan syariat Islam sebagaimana disebutkan di atas. Rancanan Qanun (yang belum disahkan), seperti halnya Raqan Hukum Acara Jinayat, tidak dijadikan subyek penelitian, karena materi hukum masih bersifat rancangan, belum menjadi ketetapan.
1.4. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui hubungan antara religiusitas masyarakat dengan sikap terhadap penerapan syariat Islam.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sikap masyarakat Langsa terhadap penerapan syariat Islam.
3. Bagaimana pengaruh religiusitas dan sikap penerapan syariat Islam terhadap perilaku politik masyarakat Kota Langsa.
1.5. Signifikansi Penelitian
1. Penelitian ini berguna untuk mengetahui hubungan antara religiusitas masyarakat Kota Langsa terhadap penerapan Syariat Islam.
2. Memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah Kota Langsa, khususnya dan Propinsi NAD umumnya terkait harapan masyarakat dalam penerapan Syariat Islam.
3. Memberikan sumbangan teoritis model analisa religiusitas (perilaku keagamaan) dan hubungannya dengan perilaku politik-keagamaan masyarakat Kota Langsa.
1.6. Hipotesa Penelitian
Tingkat religiusitas masyarakat Kota Langsa berkorelasi dengan sikap terhadap pelembagaan atau penerapan syariat Islam. Semakin tinggi religiusitas masyarakat maka dukungan terhadap penerapan syariat Islam semakin kuat. Sebaliknya semakin rendah religiusitas masyarakat, dukungan terhadap penerapan syariat Islam di daerah ini melalui pendekatan kenegaraan semakin lemah. Meski demikian, religiusitas dan sikap terhadap syariat Islam tidak berkorelasi dengan preferensi politik orang Langsa dalam memilih partai politik dalam pemilihan umum. Untuk membuktikan hipotesa tersebut, peneliti membuat sejumlah indikator terkait dengan variabel penelitian sebagaimana dipaparkan dalam kerangka teoritik di bab II laporan penelitian ini.
1.7. Kajian Riset Terdahulu
Studi tentang perilaku keagamaan masyarakat Aceh dan Indonesia umumnya yang dilakukan dengan menggunakan menggunakan pendekatan kuantitatif masih relatif sedikit. Pendekatan kuantitatif dalam membahas perilaku keagamaan orang Islam di Aceh memang belum menjadi kecenderungan di kalangan intelektual Muslim di Indonesia. Memang akhir-akhir ini, terutama pada era pasca reformasi berkembang tradisi penelitian kuantitatif terutama di ranah perilaku politik, tetapi model penelitian tersebut belum banyak dimanfaatkan untuk melihat perilaku keagamaan Muslim di Indonesia.
Bahkan di Indonesia pun studi model ini masih belum banyak yang melakukan. Salah satu yang patut disebutkan terkait dengan pendekatan ini adalah studi Saiful Mujani berjudul Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Mujani dalam studinya memfokuskan pada relasi antara muslim dan Demokrasi di Indonesia. Buku tersebut membahas tentang perilaku politik Muslim di Indonesia terutama dalam merespon demokrasi. Meskipun Mujani pada bagian tertentu dari buku itu membahas sikap Muslim terkait dengan Syariat Islam, dia tidak Bahkan di Indonesia pun studi model ini masih belum banyak yang melakukan. Salah satu yang patut disebutkan terkait dengan pendekatan ini adalah studi Saiful Mujani berjudul Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Mujani dalam studinya memfokuskan pada relasi antara muslim dan Demokrasi di Indonesia. Buku tersebut membahas tentang perilaku politik Muslim di Indonesia terutama dalam merespon demokrasi. Meskipun Mujani pada bagian tertentu dari buku itu membahas sikap Muslim terkait dengan Syariat Islam, dia tidak
Studi perilaku keagamaan masyarakat Aceh pada era modern antara lain studi John Bowen berjudul Muslims Through Discourse. 3 Studi ini menggunakan pendekatan
antropologi, dengan lokasi masyarakat Suku Gayo di Tekengon. Bowen tidak membahas implementasi Syariat Islam melalui pendekatan Negara, tetapi berbicara tentang praktik keseharian masyarakat Muslim di lokasi penelitian, Tekengon.
Praktik pelembagaan syariat Islam di Aceh merupakan subyek studi yang menarik, karena menggambarkan dinamika keagamaan di kawasan yang secara resmi memberlakukan syariat Islam. Menurut Munawar A Jalil, “sejauh ini belum ada satu kajian khusus dan komprehensif mengenai pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, kecuali hanya penelitian-penelitian kecil yang dilakukan oleh beberapa peneliti di Aceh dan beberapa buah buku yang dibuat oleh para guru besar di Aceh serta artikel-artikel singkat yang
dimuat di surat kabar”. 4 Namun, selama ini studi tentang Aceh didekati dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif diharapkan akan menghasilkan perspektif baru dalam
analisa sosial masyarakat Muslim di kawasan ini.[]
2 Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia, 2007)
3 Bowen, John R., Muslims through Discourse: Relogion and Ritual in Gayo Society, (Princeton: Princeton University Press, 1993)
4 Munawar A. Djalil, “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh: Menjawab Mitos dan Mengungkap Realitas”, dalam Jurnal Jurisprudensi, Vol. 02. Tahun 2010, STAIN Zawiyah Cot Kala.
BAB II KERANGKA TEORITIK DAN METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Kerangka Teoritik
Para ilmuan sosial secara umum melihat agama sebagai sebuah sistem nilai melalui satu atau dua strategi. Yang pertama memahaminya sebagai sebuah “fenomena mental”, sedangkan yang kedua memahaminya sebagai “fenomena sosial”. Yang pertama berhubungan dengan masalah keyakinan (believing), dan yang kedua berhubungan dengan masalah anutan atau kepemelukan (belonging). Pendekatan-pendekatan seperti ini sejalan dengan pembedaan antara pemahaman agama yang bersifat subyektif-pribadi, yang menekankan keimanan dan ketaatan individu, perspektif kolektif sosial yang menekankan
dasar komunitas dari identitas dan ekspresi keagamaan. 1 Pendekatan pertama berasal dari karya Max Weber, yang menekankan kemampuan
sistem-sistem kepercayaan untuk memberi petunjuk dan mengarahkan perlaku sekuler dengan mengganjar perilaku yang benar dan memberikan sanksi perilaku yang melanggar norma-norma yang diajarkan. Sementara pendekatan yang kedua menekankan pencerminan Durkheim pada pentingnya kelompok dalam agama dan bagian-bagian
behavioral dari komponen rasa keanggotaan dari agama. 2 Menurut Kenneth D. Wald, sebagaimana dilansir Mujani, agama adalah fenomena
mental yang meliputi kayakinan dasar, ide, norma dan simbol yang berhubungan dengan tradisi agama, termasuk apa yang disebut dengan teologi atau sistem keyakinan. 3 Stretegi
penelitian yang agama dengan model yang ini menekankan isi spesifik dari ajaran-ajaran agama maupun kumpulan nilai dan perilaku yang dapat diterima yang diajarkan oleh tradisi keagamaan. Ada beberapa pengandaian yang terkait dengan pendekatan ini. Pertama, bahwa pemikiran dan perilaku manusia diatur secara dominan oleh proses kognitif. Kedua, bahwa individu terkait dengan dunia sekitar mereka secara otomatis dan
1 Wald, Kenneth D. dan Corwin E. Smidt, “Strategi-strategi Pengukuran dalam Studi Agama dan Politik”, dalam Agama dan Politik di Amarika, David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, penerjemah:
Debbide A. Lubis dan A Zaim Rofiqi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Freedom Institute: 2006), h. 53 2 Wald, Kenneth D. dan Corwin E. Smidt, h. 54
3 Mujani, Saiful, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 40 3 Mujani, Saiful, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 40
Gerhard Lenski, sebagaimana dikutip Mujani, menunjukkan sifat multidi-mensional dari satu agama—orientasi, komunalisme, dan asosiasionalisme—yang sejajar dengan dimensi teologis, sosial dan organisasional. Orientasi mencakup penerimaan doktrin agama dan intensitas hubungan individual dengan Yang Maha Kuasa. Komunalisme merujuk pada komunalitas keagamaan di kalangan keluarga, kerabat dan lingkungan sosial yang
mengitari. Asosionalisme berhubungan dengan keanggotaan dalam organisasi keagamaan. 5 Untuk lebih jelasnya, sebagai sebuah agama, Islam terdiri dari keyakinan dan
identitas kelompok atau rasa memiliki (belonging), dan dua hal ini dalam praktiknya saling berinteraksi. Seperti umum diketahui, Islam tidak dapat dibayangkan tanpa iman. Pada tingkat yang paling dasar, orang Islam pada umumnya memahami Islam sebagai sebuah kesatuan antara keyakinan dan praktik keagamaan menurut norma tertentu yang diterima secara kolektif sehingga ia berkembang menjadi entitas sosial. Pada tingkat iman, seorang Muslim memercayai bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah. Percaya bahwa Muhammad utusan Allah berarti mempercayai bahwa Tuhan mewahyukan al-Qur’an. Isi al-Qur’an secara bervariasi dipercayai sebagai ajaran, nilai, norma atau hukum Tuhan.
Agama Islam apa yang disebut dengan lima rukun Islam. Di samping iman, seorang Muslim wajib melaksanakan shalat lima waktu, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan pergi haji ke Mekkah apabila mampu. Rukun Islam ini pada dasarnya merefleksikan kesatuan antara iman atau keyakinan dan identitas kolektif keagamaan, iman dan amal, iman dan ibadah, iman dan ritual, dan sering pula dikatakan iman dan Islam, meskipun keduanya secara konseptual dapat dibedakan. Tingkat intensitas dan kedalaman dalam meyakini, membenarkan dan mempraktikkan ajaran tersebut yang dalam studi ini dikonseptualisasi sebagai religiusitas.
Pararel dengan Gerhard Lenski, Riaz Hasan dalam Faitlines: Muslim Conception of Islam and Society menyebutkan bahwa agama bersifat multidimensional. 6 Hasan mencoba
mengatasi tantangan begaimana mengidentifikasi dimensi keberagamaan yang berbeda dan
4 Wald, Kenneth D. dan Corwin E. Smidt, h. 54 5 Saiful Mujani, h. 41
6 Riaz Hasan, Keragaman Iman: Studi Koparatif Masyarakat Muslim, (Jakarta: Rajawali, Press, 2006), h. 45 6 Riaz Hasan, Keragaman Iman: Studi Koparatif Masyarakat Muslim, (Jakarta: Rajawali, Press, 2006), h. 45
diungkapkan oleh orang lain. 7 Menurut Stark dan Glock, meski terdapat perbedaan dasar dalam ungkapan
keagamaan, ada juga persamaan yang penting dalam agama-agama tersebut dalam hal bagaiana rasa keberagamaan harus diwujudkan. Stark dan Glock mengidentifikasi lima dimensi inti keberagamaan di mana manifestasi keagamaan dari agama-agama yang berbeda dapat dilaksanakan. Mereka menyebut dimensi ideologis, ritual, pengalaman,
intelektual, dan konsekuensi. 8 Dimensi idelogis tercipta berkat adanya kepercayaan pokok di mana seseorang yang beragama diharapkan atau sering dituntut untuk percaya. Dimensi
ritual ini terdiri dari kewajibab-kewajiban ibadah tertentu yang dilakukan oleh para penganutnya untuk mengungkapkan komitmen keagamaan mereka. Seringkali hal tersebut berupa ibadah bersama atau komunal, bisa juga berupa ibadah individual.
Setiap agama memiliki tuntutan-tuntutan tertentu, akan tetapi setiap orang yang beragama, bila harus dikatakan, pada suatu waktu akan mendapatkan pengetahuan langsung mengenai realitas tertinggi, atau mengalami emosi agama. Ini mencakup semua perasaan, persepsi, dan sensasi yang dirasakan oleh orang atau kelompok agama, yang melibatkan bentuk-bentuk komunikasi dengan Tuhan atau zat yang transendal. Stark dan Glock menyebut ini sebagai suatu diensi ekspresiensial.
Dimensi intelektual merujuk pada harapan dimana orang yang beragama akan mendapatkan pengetahuan mengenai dasar-dasar keimanannya dan kitab sucinya. Dimensi ini berhubungan erat dengan dimensi idelologis, karena pengetahuan tentang iman merupakan syarat mutlak untuk mendapatkannya. Namun iman tidak harus berasal dari pengetahuan, dan tidak semua pengetahuan agama mengharuskan adanya iman. Adapun dimensi konsekuensi meliputi pengaruh sekular sekular terhadap kepercayaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan agama yang menjelaskan apa yang harus dilakukan
seseorang, dan sikap apa yang harus dimiliki sebagai konsekuensi agama yang dianutnya. 9
7 Riaz Hasan, h. 45-46 8 Riaz Hasan, h. 46-47 9 Riaz Hasan, h. 46-47
2.2. Indikator Religiusitas
Penelitian ini menggunakan indikator yang disusun Mujani dalam mengukur religiusitas. Religiusitas pertama-tama diukur dari intensitas keimanan (syahadah) dan pelaksanaan ibadah wajib. Iman adalah syahadah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Ibadah wajib terbatas pada pada pelaksanaan shalat lima waktu dan puasa Ramadan. Total skor dari intensitas ibadah membentuk indek ibadah atau ritual wajib, yang berkisar pada tidak pernah (1), pernah (2), sering (3) dan sangat sering (4). Zakat dan menunaikan ibadah haji tidak disertakan dalam pengukuran ini, karena kedua parameter ini mengandung bias sosial-ekonomi sehingga mereduksi religiusitas (keberagamaan) seseorang ke dalam faktor tersebut.
Selain sebagai ibadah wajib, Islam dapat didefinisikan sebagai seperangkat ibadah sunnah. Ibadah yang tidak wajib ini, sifatnya sangat bervariasi. Memperbesar variasi dalam mengukur religiusitas seseorang Muslim, sangat penting untuk kepentingan analisis. Ibadah sunnah, yang dimaksudkan dalam studi ini adalah intensitas membaca doa sebelum bekerja, membaca al-Qur’an atau mengaji, shalat berjamaah, menghadiri pengajian atau majlis taklim, memberi sedekah, melaksanakan puasa sunnah, dan melaksanakan shalat sunnah. Masing-masing item ini mencakup empat skala, dari tidak pernah (1), pernah (2), sering (3), dan sangat sering (4). Ketujuh item ini ditambahkan untuk membentuk indeks ibadah sunnah yang terdiri dari empat skala, mulai dari tidak pernah (1), pernah (2), sering (3), dan sangat sering (4).
Ibadah wajib dan ibadah sunah tersebut diakui oleh semua yang beragama Islam. Namun masyarakat Islam tertentu memiliki ibadah tambahan yang unik yang menentukan corak religiusitas orang tersebut. Dalam kontek orang Islam Indonesia, ada kelompok tertentu yang menganjurkan seperangkat ibadah tertentu. Misalnya dalam kelompok NU (Nahdlatul Ulama), biasa dilakukan ibadah atau ritual seperti haulan (perayaan tahunan atas kematian seseorang), tujuh harian untuk kematian seseorang, tahlilan, mohon berkah dari kyai/tengku, dan ziarah kubur. Total skor intensitas melakukan ritual ini membentuk indeks ibadah kaum NU, yang berkisar dari tidak pernah (1), pernah (2), sering (3), dan sangat sering (4).
Sebagai fenomena sosial, Islam dilembagakan dalam berbagai organisasi-sosial keagamaan. Keterlibatan dalam organisasi Islam menentukan secara sosial tingkat religiusitas seseorang. Mereka terlibat dalam kehidupan sosial Islam. Keterlibatan ini juga Sebagai fenomena sosial, Islam dilembagakan dalam berbagai organisasi-sosial keagamaan. Keterlibatan dalam organisasi Islam menentukan secara sosial tingkat religiusitas seseorang. Mereka terlibat dalam kehidupan sosial Islam. Keterlibatan ini juga
Di samping pengelompokan di atas, dalam masyarakat Islam juga dikenal corak keberislaman (religiusitas) yang menekankan pada aspek substantiasi nilai-nilai Islam dalam tatanan kehidupan politik-kenegaraan, dan ada kelompok yang menekankan pada aspek simbolisme Islam. Kontestasi antara kedua kelompok ini dapat didentifikasi dengan mengukur bagaimana seseorang meresponi isu-isu tertentu dalam diskursus keislaman, seperti dalam soal (1) sikap terhadap pemerintahan teokrasi; (2) sikap terhadap pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan sosial politik oleh pemerintah; (3) sikap terhadap hak-hak kaum perempuan; (4) sikap terhadap kebebasan berpikir; dan (5) sikap terhadap gagasan tolerasi dan pluralisme agama. Untuk mengukur corak religiusitas masyarakat Muslim di Kota Langsa, studi ini akan memecah lima indikator di atas ke dalam sejumlah item pertanyaan yang akan membentuk corak keberagamaan masyarakat.
2.3. Indikator Sikap terhadap Implementasi Syari’at
Pada bagian selanjutnya, untuk mengukur sikap terhadap pelembagaan syariat melalui hukum positif, studi ini akan memerinci garis besar pelaksanaan syariat Islam sebagaimana yang telah ditetapkan melalui Qanun (Peraturan Daerah) pemerintah Propinsi Aceh terkait dengan pelaksanaan syariat Islam. Adapun Qanun yang ditetapkan pemerintah propinsi Aceh terkait pelaksanaan Syariat Islam antara lain : (1) Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’ah Islam bidang’ Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam; (2) Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Larangan Khamar dan sejenisnya; (3) Qanun Nomor
13 Tahun 2003 tentang Larangan Maisir (Judi); dan (4) Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat (Mesum).
Kebijakan pemerintah Propinsi Aceh tentang pelaksanaan syariat Islam sebagaimana dituangkan dalam Qanun tersebut seperti hukum cambuk bagi pelaku zina, larangan berkhalwat bagi pasangan non-muhrim, kewajiban berjilbab bagi perempuan di tempat umum, larangan berpakaian ketat, dan ketentuan lain yang mengatur tentang pelaksanaan syariat akan ditanyakan kepada masyarakat untuk mengukur sikap mereka atas kebijakan Kebijakan pemerintah Propinsi Aceh tentang pelaksanaan syariat Islam sebagaimana dituangkan dalam Qanun tersebut seperti hukum cambuk bagi pelaku zina, larangan berkhalwat bagi pasangan non-muhrim, kewajiban berjilbab bagi perempuan di tempat umum, larangan berpakaian ketat, dan ketentuan lain yang mengatur tentang pelaksanaan syariat akan ditanyakan kepada masyarakat untuk mengukur sikap mereka atas kebijakan
Untuk melihat sikap masyarakat terhadap penerapan syariat Islam, penelitian juga mengembangkan indikator yang dikembangkan dari teori prilaku politik. Terkait hal ini, peneliti mengidentifikasi persepsi masyarakat atas kinerja institusi-institusi publik yang berurusan dengan pelaksanaan syariat. Institusi-institusi publik diaksud seperti DPR Aceh, pemerintah propinsi, DPRD, pemerintah kota, ormas keagamaan, sekolah atau Perguruan Tinggi dan pesantren atau dayah. Hal ini dimaksudkan untuk memperdalam studi tentang sikap terhadap syariat Islam dan ekspektasi mereka dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi terkait dengan syariat Islam di Langsa.
2.4. Indikator Pendamping: Islamisme, Toleransi Keagamaan dan Sosial Demografi
Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai hubungan antara religiusitas dan sikap terhadap penerapan syariat Islam, peneliti mengajukan beberapa indikator pendamping, yakni (1) Islamisme, (2) Toleransi keberagamaan, dan (3) Faktor sosial demografi dan ekonomi. Untuk mengukur indeks Islamisme, peneliti merumuskan beberapa indikator yang dikembangkan dari agenda-agenda gerakan kalangan Islamis selama ini. Responden diminta untuk melaporkan pandangan mereka berdasarkan skala empat, yakni sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Indikator-indikator tersebut adalah :
Tabel 2.1. Indikator Indeks Islamisme No
Indikator
1. Pemerintahan Islam, yakni pemerintahan yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah di bawah kepemimpinan ulama adalah yang terbaik bagi Aceh atau Langsa. 2. Negara mewajibkan pelaksanaan Syariat Islam bagi semua Muslim dan Muslimah dan menetapkan sanksi bagi yang melanggar ketentuan syariat Islam. 3. Pemilihan umum seharusnya hanya untuk memilih wakil-wakil rakyat yang mengerti dan memperjuangkan tegaknya Syariat Islam di Aceh dan atau Kota Langsa 4. Metode gerakan atau organisasi Islam seperti Front Pembela Islam (FPI) untuk menegakkan syariat Islam dalam pemerintahan dan masyarakat sejalan dengan ajaran Islam 5. Metode perjuangan gerakan Islamisme seperti yang dilakukan alm. Nor Din M Top, Azhari dkk., al-Qaida dan sejenisnya sesuai dengan ajaran Islam
6. Seorang muslim/muslimah wajib membuka rekening tabungan diperbankan Islam, atau haram hukumnya memiliki rekening di bank konvensonal 7. Pada umumnya laki-laki lebih unggul daripada perempuan dalam berbagai hal 8. Dalam satu keluarga ada dua anak, anak laki-laki dan anak perempuan, sementara kemampuan ekonomi untuk mengkuliahkan hanya satu anak. Dalam kasus seperti ini, yang harus dikuliahkan adalah anak laki-laki. 9. Jika seorang perempuan mendapatkan lebih banyak uang dibandingkan suaminya, hampir dipastikan timbul masalah dalam keluarga tersebut. 10. Dalam pembagian harta waris dari orang tua, anak-anak perempuan harus mendapat separuh dari bagian anak laki-laki.
Terkait toleransi, ada delapan indikator yang digunakan, dan responden diminta untuk melaporkan pandangan mereka atas indikator-indikator tersebut, apakah sangat setuju, setuju, tidak setuju atau sangat tidak setuju. Adapun indikator yang digunakan untuk mengukur toleransi terlihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.2. Indikator Indeks Toleransi Keberagamaan No
Indikator
1. Membina hubungan persaudaraan dengan orang yang berbeda agama mengurangi iman dan ketakwaan 2. Nilai budaya masyarakat non Islam tidak boleh mempengaruhi budaya masyarakat Muslim 3. Seorang muslim yang baik harus percaya bahwa hanya Islamlah agama yang benar, sementara agama lain salah 4. Dalam membangun mesjid dibenarkan menerima sumbangan dana dan barang dari umat non-muslim 5. Orang Islam diperbolehkan memberi ucapan selamat kepada pemeluk agama lain yang sedang merayakan hari besar agamanya
6. Orang muslim diperbolehkan belajar di sekolah/universitas yang dikelola umat non- Muslim 7. Bisa memahami kalau di gampong tempat tinggal saya dibangun gereja, apabila memang ada sedikitnya 60 orang Kristen yang tinggal di gampong ini 8. Orang yang berdarah asli Aceh (atau beretnis Aceh) yang keluar dari agama Islam pantas tidak diakui sebagai orang Aceh.
Agar lebih realistis dalam mengukur variable hubungan antara corak religiusitas dan dukungan terhadap pelembagaan syariat, studi ini juga akan memasukkan variable non- agama yang secara teoritis relevan dalam penelitian ini, yakni faktor-faktor demografi (gender, umur, suku bangsa, kedaerahan), dan sosial ekonomi (pedesaan versus perkotaan). Di samping itu faktor ekonomi politik juga disertakan dalam analisis nanti. Faktor ini mencakup penilaian egotropis-sosiotropis dan resptropeksi-prospektif mengenai kondisi ekonomi.
Signifikansi teoritis dari dimasukkannya faktor-faktor non-agama dalam pengukuran ini adalah untuk mengonfirmasi diskursus modernisasi yang mengklaim bahwa agama merupakan fenomena masyarakat tradisional yang akan cenderung kehilangan peran seiring dengan perkembangan industri masyarakat modern. Akar-akar agama dipandang terdapat di pedesaan dan dalam masyarakat kelas sosial bawah. Pengukuran ini diyakini berguna untuk melacak faktor-faktor non-agama yang mempengaruhi corak keberagamaan (religiusitas) masyarakat Kota Langsa, dan implikasinya terhadap dukungan atas politik pelembagaan syariat di daerah ini.
2.5. Metode Penelitian
Penelitian ini pada dasarnya merupakan penelitian kuantitatif, dengan menggunakan metode survey opini publik. Area penelitian ini Kota Langsa, salah satu kota administratif di propinsi Aceh. Langsa dipilih selain didasarkan pertimbangan teknis-ekonomi dimana peneliti berdomisili di kota ini; yang lebih penting adalah respon masyarakat di kota ini terhadap implementasi pelaksanaan syariat Islam tampaknya lebih bervariansi dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Propinsi Aceh.
2.5.1. Teknik Penentuan Sampel
Khusus pada pengumpulan data melalui survei perilaku keagamaan masyarakat, Primary Sampling Unit (PSU) adalah desa/kelurahan di Kota Langsa yang dipilih secara proporsional dari segi populasi desa-kota, gender dan kecamatan. Sedangkan responden yang dimaksud dalam survei ini adalah penduduk yang punya hak pilih dalam pemilihan umum sekarang, yakni berumur 17 tahun atau lebih, atau telah menikah, yang dilakukan secara multistage random sampling.
Jumlah sampel bersih untuk dianalisis diusahakan tidak kurang 400 orang, dengan marjin eror 5,5%. Dalam prakteknya tidak pernah 100% bersedia diwawancarai, dan tidak pernah 100% menjawab semua pertanyaan. Maka jumlah sampel harus lebih besar dari 400 responden. Pengalaman selama ini respond rate survei sekitar 98%, maka diperlukan sekitar 420 responden untuk proxy net sampel sebesar 400 responden itu.
Total desa/kelurahan di Kota Langsa adalah 51 desa/kelurahan. Sampel penelitian di
30 Desa/Kelurahan. Di tiap desa/kelurahan akan diwawancarai sebanyak delapan (14) 30 Desa/Kelurahan. Di tiap desa/kelurahan akan diwawancarai sebanyak delapan (14)
Untuk proporsi gender adalah 1:1 atau 50:50%; Tiak ada perbendingan pemilihan sampel mengenai variabel desa/kelurahan mengingat semua desa/kelurahan di Kota Langsa akan dijadikan sampel penelitian. Untuk nama-nama desa/kelurahan di kecamatan juga akan merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) 2009 dan Data Pemilih yang dikeluarkan KPUD Kota Langsa.
Untuk memilih responden di tingkat desa/kelurahan digunakan lewat prosedur random sistematik berikut: mendaftar RT (atau Dusun/Kampung/Lorong atau sederajatnya sebagai unit sosial terkecil di atas KK), memilih RT secara acak; di tiap RT terpilih didaftar Kartu Keluarga (KK), dengan tujuan memilih 10 KK di setiap desa/kelurahan. Di tiap KK terpilih dengan menggunakan Kish Grid didaftar anggota KK yang berumur 17 tahun atau lebih, atau telah menikah, dan kemudian dipilih satu orang laki-laki/perempuan untuk diwawancarai. Random sistematik ini dilakukan dengan bantuan sistem acak komputerisasi.
Tabel 2.3. Rencana Kerja dalam Penentuan dan Pengambilan Sampel No
Uraian
Keterangan
1. Jumlah Responden
420 responden
2. Jumlah Desa
30 desa/kelurahan
3. Tipe responden Laki-laki/perempuan berumur 17 tahun ke atas, atau sudah menikah.
4. Tenaga Pewawancara 30 surveyor, 5 orang telemonitoring, 3 orang spot-cheker. 5. Marjin eror
5,5 persen
Wawancara dilakukan oleh tenaga surveyor lapangan (pewawancara, mahasiswa) dengan menggunakan instrumen kuesioner yang disediakan. Seluruh surveyor terlebih dahulu dibekali dengan pengetahuan metodologis melalui workshop survei, termasuk pemahamannya mengenai prinsip-prinsip penelitian survei, metode pemilihan sampel, pemahaman terhadap setiap pertanyaan dalam kuesioner dan kemampuan teknis dalam melakukan wawancara tatap muka secara benar.
Dalam wawancara (interview) tatap muka di lapangan, ada responden yang tak bersedia diwawancarai, ada hasil wawancara yang cacat, ada proses pemilihan responden Dalam wawancara (interview) tatap muka di lapangan, ada responden yang tak bersedia diwawancarai, ada hasil wawancara yang cacat, ada proses pemilihan responden
Untuk memastikan wawancara benar-benar dilakukan sebaik-baiknya oleh pewawancara, dilakukan kendali kualitas (quality control system) dalam bentuk telemonitoring dan spotcheck oleh peneliti. Telemonitoring dilakukan dengan menelpon responden pada saat sedang melakukan pengambilan data lapangan, guna memastikan para surveyor di lapangan mewawancarai responden sesuai dengan metode sampling yang ditetapkan. Dalam telemonitoring, peneliti secara acak juga akan melakukan wawancara singkat dengan responden yang sedang ditemui tim surveyor. Sedangkan spotcheck ini akan dilakukan terhadap 10% dari jumlah desa/kelurahan yang menjadi Primary Sampling Unit (PSU), paling lama seminggu setelah tim surveyor selesai melakukan wawancara lapangan.
Proses penentuan desa dan responden yang akan diwawancarai berdasarkan system penghitungan sabagaimana terlihat dalam tabel berikut ini. Pembagian proporsi desa sampel didasarkan data yang disediakan BPS tahun 2009. Ini data paling mutakhir yang didapatkan saat penentuan sampel dilakukan. Komposisi desa yang diwawancara sebanyak delapan desa di kecamatan Langsa Kota (112 responden), tiga desa di Langsa Timur (42) responden, lima desa di Langsa Lama (70 responden), delapan desa di Langsa Baru (112 responden), dan enam desa di Langsa Barat (84 responden).
Tabel 2.4. Proses dalam Penentuan Sampel Penelitian
NO Kecamatan
% Kuota Resp
1 Langsa Kota
10 7.6 8 112 2 Langsa Timur
8.84 35.34 35 14 2.5 3 42 3 Langsa Lama
16.68 66.72 67 9 4.8 5 70 4 Langsa Baro
9 7.8 8 112 5 Langsa Barat
* Sumber : Berdasarkan Data BPS 2009
Nama desa dipilih berdasarkan tabel acak yang telah disediakan oleh komputer secara sistematis. Demikian pula metode yang digunakan dalam pemilihan responden di Nama desa dipilih berdasarkan tabel acak yang telah disediakan oleh komputer secara sistematis. Demikian pula metode yang digunakan dalam pemilihan responden di
2.5.2. Teknik Analisa Data
Analisa data hasil survey opini publik dilakukan secara kuantitatif. Analisa data kuantitatif dilakukan melalui program SPSS dan berdasarkan tabel-tabel distribusi frekwensi, klasifikasi, korelasi, table, dan diagram yang dihasilkan melalui program tersebut. Hanya sedikit data yang dianalisa dengan menggunakan rumus korelasi rank order (spearmen’s rho rank order correlations). Ini terutama untuk menganalisa hubungan antara indeks religiusitas dengan sikap penerapan syariat Islam.
2.6. Proses Pengumpulan Data dan Kendala
Memilih pendekatan kuantitatif dengan responden yang bersifat kolosal dalam situasi keterbatasan dana bukan merupakan keputusan yang bisa diambil dengan mudah. Biasanya, survey yang peneliti lakukan dengan menggunakan pendekatan serupa dalam lingkup administratif tingkat kabupaten atau kota membutuhkan dana minimal sepuluh kali dari yang dianggarkan untuk penelitian ini. Karena itu, sejumlah persoalan yang sudah dibayangkan pada saat memutuskan menggunakan pendekatan ini, hampir sepenuhnya ditemukan pada proses pengumpulan data.
Hanya 305 responden di 28 desa/kelurahan yang berhasil diwawancarai. Kendala muncul karena keterbatasan logistik penelitian sehingga kesulitan untuk mendapatkan tenaga pewancara yang memadai untuk pengumpulan data penelitian ini. Berdasarkan data ini analisa kuisioner dilakukan dalam penelitian ini. Untuk lebih detail, secara umum profil responden yang diwawancarai dalam penelitian ini terlihat dalam lampiran laporan penelitian ini.
BAB III POTRET RELIGIUSITAS DAN KOMITMEN KEAGAMAAN MUSLIM LANGSA
3.1. Religiusitas dan Identitas Muslim
Agama merupakan identitas muslim yang esensial. Ada perdebatan penting di kalangan orang Islam mengenai sifat dan komitmen keagamaan (religiusitas) yang harus ditunjukkan dan dianut oleh seorang Muslim agar ia dikatakan sebagai seorang mukmin yang saleh. Pengujian atas sejauh mana religiusitas seseorang dapat diukur, merupakan diskursus yang belum selesai. Beberapa orang berkeyakinan bahwa religusitas merupakan sesuatu yang bersifat personal, dan karenanya, tidak dapat dikuantifikasi. Sementara sebagian lainnya, terutama ilmuan sosial berkeyakinan sebaliknya bahwa religiusitas seseorang bukan sesuatu yang mustahil diukur secara kuantitatif. Peneliti lebih cenderung pada pandangan yang kedua bahwa religiusitas bukan sesuatu yang strelis dari pengukuran kuantitatif, dan karena itu pula akan mencoba mengukur religiusitas Muslim di Langsa.