Tinjauan Yuridis Terhadap Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Finance) Dikaitkan Dengan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

BAB II
ASPEK HUKUM MENGENAI PERJANJIAN SECARA UMUM DAN
PERLINDUNGAN KONSUMEN

A.

Tinjauan Umum tentang Perjanjian

1.

Pengertian dan Syarat Sah Perjanjian
Perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang

lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.” 22
Perjanjian atau bisa disebut juga dengan persetujuan bentuknya berupa rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan ataupun
ditulis. Artinya pihak-pihak yang saling berjanji setuju untuk melakukan sesuatu.
Para pihak yang mengadakan perjanjian adalah agar antar mereka berlaku suatu
perikatan hukum sehingga mereka terikat satu sama lain karena janji yang telah
mereka berikan.
Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai

berikut :
“Perjanjian adalah Suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang

lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal” 23
Menurut M. Yahya Harahap perjanjian adalah:
“Sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak,
dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu

22

R.Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Intermasa, 2001), hal. 36
(selanjutnya disebut sebagai R.Subekti 1)
23
R.Subekti, Hukum Perjanjian, (Bandung : PT. Intermasa, 1987), hal. 9 (selanjutnya
disebut sebagai R.Subekti 2)

Universitas Sumatera Utara

hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut
pelaksanaan janji itu.” 24

Menurut Wirjono Projodikioro, yang dimaksud dengan perjanjian adalah :
“Perjanjian atau verbintenis mengandung suatu hubungan hukum kekayaan
atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada
satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain
untuk menunaikan prestasi.” 25
Setiap defenisi yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut tetap
mencantumkan secara tegas bahwa dalam perjanjian terdapat pihak-pihak yang
menjadi subjek dan objek dari perjanjian tersebut yaitu adanya hubungan hukum
yang terjadi diantara para pihak yang menyangkut pemenuhan prestasi dalam
bidang kekayaan.
Pengertian perjanjian juga diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yang selanjutnya disebut KUH Perdata menyebutkan: “Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Ada beberapa kelemahan dari pengertian perjanjian yang diatur dalam
ketentuan di atas, seperti yang dinyatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman (dkk)
dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan bahwa:
“Definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUH
Perdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, tidak lengkap karena yang
dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu

dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan di dalam
lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjian
24

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1986), hal. 6
Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung : Sumur, 1981), hal.
9 (selanjutnya disebut sebagai Wirjono Projodikoro 1)
25

Universitas Sumatera Utara

juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUH
Perdata Buku III, perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III
kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan
uang.” 26
Atas dasar alasan-alasan yang dikemukakan di atas maka perlu dirumuskan
kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Dari beberapa pengertian di
atas, tergambar adanya beberapa unsur perjanjian, antara lain:
a.


Adanya pihak-pihak yang sekurang-kurangnya dua orang
Pihak-pihak yang dimaksudkan di sini adalah subyek perjanjian yang
dapat berupa badan hukum dan manusia yang cakap untuk
melakukan perbuatan hukum menurut undang-undang. Dalam suatu
perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak
yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang
berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak
tersebut dapat terdiri dari satu orang atau lebih orang, bahkan dengan
berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut juga dapat terdiri dari
satu atau lebih badan hukum. 27
1) Adanya persetujuan atau kata sepakat
Persetujuan atau kata sepakat yang dimaksudkan adalah
konsensus antara para pihak terhadap syarat-syarat dan obyek
yang diperjanjikan.

26

Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, (Jakarta : Citra
Aditya Bakti, 2001), hal. 65 (selanjutnya disebut sebagai Mariam Darus 2)
27

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan (Perikatan yang
Lahir dari Perjanjian), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 92

Universitas Sumatera Utara

2) Adanya tujuan yang ingin dicapai
Tujuan yang ingin dicapai dimaksudkan di sini sebagai
kepentingan para pihak
perjanjian. 28

Dengan

yang

membuat

akan diwujudkan
perjanjian,

melalui


pihak

yang

mengadakan perjanjian, secara “sukarela” mengikatkan diri untuk
menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat
sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap
siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau
tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan
dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian atau yang telah
mengikatkan diri tersebut. Dengan sifat sukarela, perjanjian harus
lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan
maksud dari pihak yang membuat perjanjian.
b.

Adanya prestasi atau kewajiban yang akan dilaksanakan
Prestasi yang dimaksud adalah sebagai kewajiban bagi pihak-pihak
untuk melaksanakannya sesuai dengan apa yang disepakati.
Perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap

orang lain, ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau
prestasi dari satu orang atau lebih orang (pihak) kepada satu atau
lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut. 29

28
29

Wirjono Prodjodikoro (1), Op.cit., hal. 84
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., hal. 2

Universitas Sumatera Utara

c.

Adanya bentuk tertentu.
Bentuk tertentu yang dimaksudkan adalah perjanjian yang dibuat
oleh para pihak harus jelas bentuknya agar dapat menjadi alat
pembuktian yang sah bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Untuk beberapa perjanjian tertentu, undang-undang menentukan
suatu bentuk tertentu, yaitu bentuk tertulis sehingga apabila bentuk

itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian,
bentuk tertulis tidaklah hanya semata-mata hanya merupakan
pembuktian saja, tetapi juga syarat untuk adanya perjanjian itu. 30

d.

Adanya syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat tertentu yang dimaksud adalah substansi perjanjian
sebagaimana yang telah disepakati oleh para pihak dalam
perjanjian. 31

Selain pengertian perjanjian, syarat sahnya sebuah perjanjian juga harus
dipahami, suatu perjanjian dikatakan mengikat atau tidak terhadap para pihak
yang membuatnya tergantung kepada sah atau tidak sahnya perjanjian yang dibuat
oleh para pihak.
Dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata dinyatakan: “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya, dan selanjutnya dalam Ayat (3) dinyatakan: “Suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik.” Artinya bila suatu perjanjian dibuat secara sah,
maka perjanjian tersebut akan menjadi undang-undang dan secara serta merta

30
31

Mariam Darus Badrulzaman (1), Op.cit., hal. 66
Wirjono Prodjodikoro (1), Op.cit., hal. 84

Universitas Sumatera Utara

akan mengikat para pihak yang mengikatkan diri di dalamnya. Selain itu,
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik agar kedudukan para pihak
menjadi seimbang antara yang satu dengan yang lainnya.
Untuk membuat suatu perjanjian yang sah menurut hukum harus memenuhi
empat syarat sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1320 KUH Perdata,yang
berbunyi:
a.

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan
pada para pihak, kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1)
KUH Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah

persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih
dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah penyataannya, karena
kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui oleh orang lain. Ada lima
cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:
bahasa yang sempurna dan tertulis;
1) Bahasa yang sempurna secara lisan;
2) Bahasa yang tidak sempurna tetapi dapat diterima oleh pihak
lawan.
3) Bahasa isyarat tetapi dapat diterima oleh pihak lawannya;
4) Diam atau membisu, tetapi dapat dipahami atau diterima pihak
lawan. 32

Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu
dengan bahasa yang sempurna secara tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara

32

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Rineka
Cipta, 1997), hal. 7 (selanjutnya disebut sebagai Sudikno Mertokusumo 1)


Universitas Sumatera Utara

tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat
bukti yang sempurna, di kala timbul sengketa di kemudian hari.
b.

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Maksudnya adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan
perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan
menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan
perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai
wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang
ditentukan oleh undang-undang. Orang yang cakap dan berwenang
untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah
dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun atau
sudah kawin dan tidak dibawah pengampuan.

c.

Suatu hal tertentu
Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau
mengenai bendanya. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata, suatu hal
tertentu artinya barang yang menjadi objek perjanjian paling
sedikit harus dapat ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak
menjadi soal asalkan dapat ditentukan kemudian. 33
Hal tertentu mengenai objek hukum benda itu oleh pihak-pihak
ditegaskan di dalam perjanjian mengenai : 34
1) Jenis barang,
2) Kualitas dan mutu barang,
3) Buatan pabrik dan dari Negara mana,
33

Komariah, Hukum Perdata, (Malang : UMM Press, 2008) , hal. 175
C.S.T Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, (Jakarta
: Pradnya Paramita, 2006), hal. 227
34

Universitas Sumatera Utara

4)
5)
6)
7)
8)

Buatan tahun berapa,
Warna barang,
Ciri khusus barang tersebut,
Jumlah barang,
Uraian lebih lanjut mengenai barang itu.

Dengan demikian, perjanjian yang objeknya tidak tertentu atau jenisnya
tidak tertentu maka dengan sendirinya perjanjian itu tidak sah. Objek atau jenis
objek merupakan syarat yang mengikat dalam perjanjian.
d.

Suatu sebab yang halal
Sebab yang dimaksudkan undang-undang adalah isi perjanjian itu
sendiri. Jadi sebab tidak berarti sesuatu yang menyebabkan
seseorang membuat perjanjian yang dimaksud. 35

Menurut Subekti, “Sebab harus dibedakan dengan motif atau desakan jiwa
yang mendorong seseorang untuk membuat suatu perjanjian.” 36 Menurut Pasal
1337 KUH Perdata, suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undangundang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Akibat
hukum dari perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal, mengakibatkan
perjanjian itu batal demi hukum.
Syarat-syarat diatas mutlak harus dipenuhi oleh para pihak yang akan
mengadakan perjanjian karena apabila tidak terpenuhinya salah satu syarat maka
akan terdapat dua opsi atas perjanjian tersebut yaitu pembatalan oleh salah satu
pihak atau dapat batal demi hukum.

35
36

Komariah, Op.Cit., hal. 175
R. Subekti (1), loc.cit.

Universitas Sumatera Utara

2.

Jenis-Jenis Perjanjian
Perjanjian dapat dibedakan atas beberapa jenis yaitu:
a. Perjanjian Atas Beban dan Perjanjian Cuma-Cuma
Pasal 1314 KUH Perdata membedakan antara perjanjian yang dibuat
dengan cuma-cuma dan perjanjian atas beban, dan memberikan
perumusan perjanjian cuma-cuma sebagai berikut :
”Suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan
mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang
lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.”
Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan
keuntungan bagi salah satu pihak saja, misalnya : hibah.
Adapun perjanjian atas beban menurut Pasal 1314 KUH Perdata adalah:
”Suatu perjanjian atas beban, adalah perjanjian yang mewajibkan
masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak
berbuat sesuatu”.
Perjanjian atas beban adalah persetujuan dimana terhadap prestasi yang
satu selalu ada kontra prestasi pihak lain, dimana kontra prestasinya
bukan sematamata merupakan pembatasan atas prestasi yang satu hanya
sekedar menerima kembali prestasinya sendiri. 37

37

J.Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1992) hal. 33

Universitas Sumatera Utara

b. Perjanjian Sepihak dan Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian sepihak yaitu perjanjian dimana salah satu pihak saja yang
dibebani suatu kewajiban. Misal: dalam perjanjian pemberian hibah,
hanya satu pihak saja yang mempunyai kewajiban. 38
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajibankewajiban (dan karenanya hak juga) kepada kedua belah pihak, dan hak
serta kewajiban itu mempunyai hubungan yang satu dengan lainnya.
maksudnya, bahwa bila mana dalam perikatan yang muncul dari
perjanjian tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak yang lain
berkedudukan sebagai pihak yang memikul kewajiban. 39
c. Perjanjian Konsensuil, Perjanjian Riil dan Perjanjian Formil
Perjanjian Konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah
terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian.
Perjanjian Riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi
barangnya harus diserahkan. Misalnya perjanjian penitipan barang pasal
1741 KUH Perdata dan perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754 KUH
Perdata.
Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat
tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat
dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh
pejabat umum notaris atau PPAT. Misalnya jual beli tanah, undang-

38
39

Achmad Busro, Hukum Perikatan, (Semarang : Oetama, 1985), hal. 4
J. Satrio, Op.Cit., hal. 37

Universitas Sumatera Utara

undang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta PPAT,
perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris. 40
d. Perjanjian Obligatoir
Perjanjian Obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat,
mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada
pihak lain. Menurut KUH Perdata perjanjian jual beli saja belum lagi
mengakibatkan beralihnya hak milik atas suatu benda dari penjual
kepada pembeli. Fase ini baru merupakan kesepakatan (konsensual) dan
harus diikuti dengan perjanjian penyerahan (perjanjian kebendaan)
e. Perjanjian Kebendaan
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang
menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang
membebankan kewajiban (oblige) pihak itu untuk menyerahkan benda
tersebut kepada pihak lain (levering, transfer). Penyerahannya itu
sendiri merupakan perjanjian kebendaan. Dalam hal ini perjanjian jual
beli benda tetap, maka perjanjian jual belinya disebutkan juga
perjanjian jual beli sementara (voorlopig koopcontrak). 41
f. Perjanjian Bernama dan Tidak Bernama
Perjanjian bernama (benoemd)
Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama
sendiri, maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur

40

Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung : Alfabeta, 2003),

hal. 82
41

Moch. Chidir Ali & Ahmad Samsudin Mahmud, Pengertian-Pengertian Elementer
Hukum Perjanjian Perdata, (Bandung : Mandar Maju, 1993), hal. 134

Universitas Sumatera Utara

dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang berdasarkan tipe yang
paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian bernama terdapat dalam
Bab V s/d bab XVIII KUH Perdata yaitu:
1) Bab V tentang Jual-Beli (Pasal 1457-1540)
2) Bab VI tentang Tukar-Menukar (Pasal 1541-1546)
3) Bab VII tentang Sewa-Menyewa (Pasal 1548-1617)
4) Bab VIII tentang Persekutuan (Pasal 1618-16520)
Perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst) Di luar
perjanjian bernama, tumbuh pula perjanjian tidak bernama, yaitu
perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam KUH Perdata, tetapi
terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas
dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang
mengadakannya, lahirnya perjanjian ini berdasarkan asas kebebasan
berkontrak yang berlaku dalam hukum perjanjian, seperti perjanjian
sewa beli, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan, dan lain-lain. 42
g. Perjanjian Campuran (contractus sui generis)

43

Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur
perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa
menyewa) tetapi juga menyajikan makanan (jual-beli), dan juga
memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu, ada berbagai
paham antara lain:

42
43

Mariam Darus Badrulzaman (2), Op.cit., hal. 66-69
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

1) Paham pertama menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai
perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur
dari perjanjian khusus tetap ada (contractus sai generalis).
2) Paham kedua menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang dipakai
adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan
(teori absorbsi).
3) Paham ketiga menyebutkan bahwa ketentuan-ketentuan undangundang yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah
ketentuan undang-undang yang berlaku untuk itu (teori kombinasi).

3.

Asas-Asas Perjanjian
Dalam khasanah hukum perjanjian di kenal beberapa asas yang menjadi

dasar para pihak di dalam melakukan tindakan hukum guna melahirkan suatu
perjanjian. Asas perjanjian itu harus merupakan suatu kebenaran yang bersifat
fundamental, disamping itu asas semestinya tidak dapat ditimpangi, kecuali ada
hal-hal yang dianggap

luar

biasa dan lebih

jelas kandungan meteri

kebenarannya. 44
Pada hukum perjanjian berlaku beberapa ketentuan mengenai asas-asas
yang merupakan dasar keberlakuan hukum perjanjian. Asas-asas tersebut antara
lain:
a.

Asas Kebebasan Berkontrak
Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting
dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini merupakan perwujudan dari
kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia. 45 Dengan kebebasan
berkontrak berarti orang dapat menciptakan hak-hak perseorangan
yang tidak diatur dalam Buku III KUH Perdata, tetapi diatur sendiri
44

Chairuman Pasaribu dan Suhra Wardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam
(Jakarta : Sinar Grafika, 1994), hal. 68
45
Mariam Darus Badrulzaman (2), Op.cit., hal. 86

Universitas Sumatera Utara

dalam perjanjian. Pasal-pasal di dalam Buku III KUH Perdata baru
mengikat terhadap mereka, jika mereka tidak mengatur sendiri
kepentingannya atau mengaturnya dalam perjanjian, tetapi tidak
lengkap sehingga soal-soal yang tidak diatur tersendiri itu
diberlakukan pasal-pasal hukum perikatan. Kebebasan berkontrak
memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara
bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, di
antaranya: 46
1) bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau
tidak;
2) bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
3) bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;
4) bebas menentukan bentuk perjanjian;
5) kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.

Asas Itikad Baik (geode trouw)

b.

Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata yang berbunyi: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan
iktikad baik”.
Dengan rumusan iktikad baik adalah bahwa suatu perjanjian yang
dibuat hendaknya dari sejak perjanjian ditutup, perjanjian tersebut
sama sekali tidakm dimaksudkan untuk merugikan kepentingan
debitur maupun kreditur, maupun pihak lain atau pihak ketiga

46

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung : Alumni,

2004), hal. 15

Universitas Sumatera Utara

lainnya di luar perjanjian. 47 Di dalam hukum perjanjian, itikad baik
mempunyai dua pengertian, yaitu:
1) Iktikad baik dalam pengertian yang subyektif, dapat diartikan
sebagai kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada
seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum.
2) Itikad baik dalam pengertian obyektif adalah bahwa pelaksanaan
suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatuhan atau
apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam
masyarakat.48
Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)

c.

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian
hukum berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt
servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh
para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam pasal
1338 ayat (1) KUH perdata, yang berbunyi : “Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. 49
Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi
kontrak tersebut karena kontra tersebut mengandung janji-janji yang

47

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., hal. 80
A. Qiram Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya, (Yogyakarta : Liberty, 1985), hal. 19
49
Salim, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2003), hal. 9
48

Universitas Sumatera Utara

harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana
mengikatnya undang-undang. 50
d.

Asas persesuaian kehendak (konsensualisme)
Pada mulanya, suatu perjanjian atau kesepakatan harus ditegaskan
dengan sumpah, namun pada abad ke-13 pandangan tersebut telah
dihapus oleh gereja kemudian terbentuklah paham bahwa dengan
adanya kata sepakat di antara para pihak, suatu perjanjian sudah
memiliki kekuatan mengikat. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal
1320 KUH Perdata yang mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai
syarat

sahnya

diperhatikan

suatu

bahwa

perjanjian,
terhadap

meskipun

asas

demikian

konsensualisme

perlu

terdapat

pengecualian, yaitu dalam perjanjian riil dan perjanjian formil yang
mensyaratkan adanya penyerahan atau memenuhi bentuk tertentu
yang disyaratkan oleh undang-undang. 51
e.

Asas Berlakunya Suatu Perjanjian
Asas ini dimaksudkan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku bagi
para pihak yang membuatnya. Pada asasnya semua perjanjian itu
hanya berlaku bagi para pihak, pihak ke tigapun tidak bisa mendapat
keuntungan karena adanya suatu perjanjian tersebut, kecuali yang
telah diatur dalam undang-undang.
Asas berlakunya suatu perjanjian ini diatur dalam Pasal 1315 KUH
Perdata, yang berbunyi “Umumnya tidak seorangpun dapat
50

Riduan Syahrani, Op.cit., hal. 5
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 29
51

Universitas Sumatera Utara

mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya
suatu janji daripada untuk dirinya sendiri”. Kemudian diatur juga
dalam Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi “Persetujuan-persetujuan
hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuanpersetujuan ini tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak
ketiga; tidak dapat pihak Ketiga mendapat manfaat karenanya; selain
dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317. 52
f.

Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas
persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi
dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui
kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk
melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik. Kedudukan
kreditur

yang

kuat

diimbangi

dengan

kewajibannya

untuk

memperhatikan iktikad baik sehingga kedudukan kreditur dan debitur
seimbang.
g.

Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata, asas kepatutan
di sini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas
kepatutan ini harus dipertahankan karena melalui asas ini ukuran

52

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., hal. 46

Universitas Sumatera Utara

tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam
masyarakat.53
h.

Asas Kepastian Hukum
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian sebagai
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

i.

Asas Obligator
Dimaksudkan dalam asas Obligator perjanjian yang dibuat oleh
pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban
saja, belum memindahkan hak milik. Hak milik baru berpindah
apabila dilakukan dengan perjanjian yang bersifat kebendaan
(zakelijke overeenkomsi) yaitu melalui penyerahan (livering). 54

j.

Asas Moral
Asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata.
Asas-asas tersebut diatas merupakan asas-asas yang menjadi dasar
dari keberlakuan hukum perjanjian, jadi setiap perjanjian harus
memenuhi asas tersebut agar sah dan dapat dipertahankan secara
hukum. 55

B.

Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen

1.

Pengertian dan Batasan Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum Perlindungan Konsumen menurut Az. Nasution adalah

53

Mariam Darus Badrulzaman (2), Op.cit., hal. 87-89
Subekti, Jaminan Untuk Pemberian Perjanjian Menurut Hukum Indonesia
(Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1999), hal. 61
55
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, loc.cit.
54

Universitas Sumatera Utara

“hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat
mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan
konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asasasas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah
antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa
konsumen di dalam pergaulan hidup.” 56
Pengertian Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 Angka 1 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, selanjutnya
disingkat UUPK 8/1999 adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.
Hukum perlindungan konsumen tidak sebatas diatur didalam Undang Undang Perlindungan Konsumen saja. Hukum perlindungan konsumen juga
terdapat dalam hukum umum dan undang - undang lain misalnya Undang Undang No. 5 Tahun 1999 Tentaang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Undang - Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal,
dan Undang - Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Hal tersebut
ditegaskan dalam ketentuan Pasal 64 Undang - Undang Perlindungan Konsumen
yaitu: 57
“Segala ketentuan peraturan perundang - undangan yang bertujuan
melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang - undang ini diundangkan,
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak
bertentangan dengan undang - undang ini.”
Ada beberapa pakar yang menyebutkan bahwa hukum perlindungan
konsumen merupakan cabang dari hukum ekonomi. Alasannya, permasalahan
56
57

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Grasindo, 2000), hal. 9
Indonesia, Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

Pasal 64

Universitas Sumatera Utara

yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan
barang/jasa. Ada pula yang mengatakan bahwa hukum konsumen digolongkan
dalam hukum bisnis atau hukum dagang karena dalam rangkaian pemenuhan
kebutuhan barang/jasa selalu berhubungan dengan aspek bisnis atau transaksi
perdagangan. Serta ada pula yang menggolongkan hukum konsumen dalam
hukum perdata, karena hubungan antara konsumen dan produsen/pelaku usaha
dalam aspek pemenuhan barang/jasa yang merupakan hubungan hukum perdata.58
Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak
yang mengadakan hubungan atau bermasalah dalam bermasyarakat itu tidak
seimbang. Dengan adanya hukum yang secara khusus mengatur mengenai
perlindungan konsumen, maka terwujudnya kepastian hukum dalam hal
pemberian perlindungan kepada konsumen akan terjamin. 59
Mengingat sifatnya yang seringkali berhubungan dengan bidang atau
cabang hukum lainnya, hukum perlindungan konsumen dapat memasuki baik
ranah hukum publik, maupun hukum privat. 60
Wilayah hukum privat yang dimasuki hukum perlindungan konsumen
adalah: 61
a. Hukum perdata, khususnya mengenai perikatan, yakni mengenai aspekaspek kontraktual antara konsumen dan pelaku usaha.

58

Happy Susanto, Hak - Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta : Visimedia, 2008),

hal. 19
59

Az. Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi, dan Hukum pada
Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 66-67
(selanjutnya disebut Az. Nasution 1)
60
N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab
Produk, (Jakarta : Panta Rei, 2005), hal. 34
61
Intan Nur Rahmawanti dan Rukiyah Lubis, Win – Win Solution Sengketa
Konsumen, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2014), hal. 27

Universitas Sumatera Utara

b. Hukum bisnis atau hukum perdata niaga, khususnya mengenai
pengangkutan, hak atas kekayaan intelektual (HAKI), monopoli,
persaingan usaha, asuransi, dan lain-lain.
Adapun wilayah hukum publik yang dimasuki hukum perlindungan
konsumen adalah: 62
a. Hukum pidana, dalam hal kriminalisasi dalam berbagai ketentuan
standar, isi, takaran, label, etiket, pengelabuan dalam promosi, iklan,
lelang, pencantuman klausula baku, dan lain-lain.
b. Hukum administrasi, dalam hal ketentuan sanksi administratif.
c. Hukum tata usaha negara, dalam hal kewenangan pejabat-pejabat
perizinan dan pengawasan.

2.

Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Didalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menyatakan, “Perlindungan Konsumen berasaskan
manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta
kepastian hukum.” Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang ini menguraikan,
perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5
(lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu:

63

a. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar - besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku
usaha secara keseluruhan.
b. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
c. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangn
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti
materiil dan spritual.
d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
62

Ibid.
M. Sadar, dkk, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung :
Akademia, 2012), hal. 19-20
63

Universitas Sumatera Utara

dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan.
e. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
menyelenggarakan perlindungan konsumen serta negara menjamin
kepastian hukum.
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan
substansinya, dapat dibagikan menjadi 3 (tiga) asas yaitu: 64
a. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan
keselamatan konsumen,
b. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan
c. Asas kepastian hukum.
Setelah melihat asas-asas dalam hukum perlindungan konsumen, tentunya
terdapat juga tujuan dalam hukum perlindungan konsumen. Hal ini dapat dijumpai
dalam Pasal 3 UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang
bertujuan untuk :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak - haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang mejamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

64

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 26

Universitas Sumatera Utara

Keenam tujuan diatas merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam
pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen. Keenam
tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan diatas bila dikelompokkan
kedalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan
keadilan terlihat dalam rumusan huruf c dan e. Sementara tujuan untuk
memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a dan b termasuk
huruf c dan e serta f. Tujuan khusus yang diarahkan untuk kepastian hukum
terlihat dalam rumusan huruf d. Tujuan dalam perlindungan konsumen itu semata
- mata untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

C.

Hubungan Hukum antara Konsumen dan Pelaku Usaha
Hubungan hukum (rechtbetrekkingen) adalah hubungan antara dua subyek

hukum atau lebih mengenai hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan
hak dan kewajiban pihak yang lain. 65 Hubungan hukum dapat terjadi antara
sesama subyek hukum dan antara subyek hukum dengan benda. Hubungan antara
sesama subyek hukum dapat terjadi antara orang, orang dengan badan hukum, dan
antara sesama badan hukum. Hubungan hukum antara subyek hukum dengan
benda berupa hak apa yang dikuasai oleh subyek hukum itu atas benda tersebut,
baik benda berwujud, benda bergerak, atau benda tidak bergerak. 66 Hubungan

65

Soeroso R, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2006), hal.

66

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Prenada Media Grup,

269
2012), hal. 254

Universitas Sumatera Utara

hukum memiliki syarat-syarat yaitu adanya dasar hukum dan adanya pristiwa
hukum. 67
Secara umum, hubungan antara pelaku usaha (produsen) dengan konsumen
merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan itu
terjadi karena para pihak saling menghendaki dan mempunyai tingkat
ketergantungan yang tinggi antara pihak yang satu dengan yang lainnya. 68 Saling
ketergantungan tersebut merupakan fakor kuat yang menyebabkan hubungan
antara pelaku usaha dan konsumen itu berlangsung secara terus menerus, sesuai
dengan tingkat ketergantungan dan kebutuhan yang tidak terputus-putus.
Hubungan antara konsumen dan pelaku usaha terjadi sejak proses produksi,
distribusi di pemasaran dan penawaran. Rangkaian perbuatan dan perbuatan
hukum yang tidak mempunyai akibat hukum dan mempunyai akibat hukum baik
terhadap semua pihak maupun terhadap pihak-pihak tertentu saja.
Hubungan hukum antara produsen dan konsumen yang tercipta secara
individual dipengaruhi oleh berbagai keadaan, antara lain : 69
1. Kondisi, harga dari suatu jenis komoditas tertentu;
2. Penawaran dan syarat perjanjian;
3. Fasilitas yang ada, sebelum dan purna jual, dan sebagainya;
4. Kebutuhan para pihak pada rentang waktu tertentu
Secara garis besar, dalam pengalihan barang dari satu pihak ke pihak lain,
ada dua kelompok pihak yang terlibat, yaitu :

70

67

Soeroso, Op.Cit., hal. 271
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2009), hal. 9
69
Ibid., hal. 11
68

Universitas Sumatera Utara

1. Kelompok penyedia barang atau penyelenggara jasa
Pada umumnya, pihak ini berlaku sebagai :
a. Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa
(investor);
b. Penghasil atau pembuat barang/jasa (produsen);
c. Penyalur barang atau jasa
2. Kelompok konsumen
Pihak ini terbagi dalam dua kelompok, yaitu :
a. Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa dengan tujuan
memproduksi (membuat) barang atau jasa lain atau mendapatkan
barang atau jasa itu untuk dijual kembali (tujuan komersial);
b. Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya
(tujuan nonkomersial)
Secara umum, hubungan hukum antara produsen dengan konsumen dapat
dibagi menjadi dua, antara lain : 71
1. Hubungan langsung
Dimana hubungan antara produsen dengan konsumen terikat secara
langsung dengan perjanjian
2. Hubungan tidak langsung
Dimana hubungan antara produsen dengan konsumen tidak secara
langsung terikat dengan perjanjian, karena ada pihak lain diantara
konsumen dengan produsen. Hal ini tidak berarti bahwa pihak
konsumen yang dirugikan tidak berhak menuntut ganti rugi kepada
produsen yang tidak memiliki hubungan perjanjian dengan dirinya.
Untuk menuntut produsen pada hubungan ini dapat dilakukan dengan
alasan produsen telah melakukan perbuatan melanggar hukum dan
adanya kesalahan produsen.
Hubungan antara produsen dan konsumen menimbulkan tahapan transaksi
untuk mempermudah dalam memahami akar permasalahan dan mencari
penyelesaian. Dalam praktik sehari-hari, terjadi beberapa tahap transaksi
konsumen sebagai berikut : 72

70

Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia,
(Jakarta : Rajawali Pers, 2013), hal. 24
71
Ibid., hal. 34-35.
72
Az. Nasution (1), Op.cit., hal. 39-56

Universitas Sumatera Utara

1. Tahap Pra-Transaksi Konsumen
Pada tahap ini, transaksi (pembelian, penyewaan, peminjaman,
pemberian hadiah komersial, dan sebagainya) belum terjadi. Konsumen
masih mencari keterangan dimana barang atau jasa kebutuhannya dapat
diperoleh, syarat-syarat yang harus dipenuhi, serta pertimbangan
fasilitas atau kondisi dari transaksi yang diinginkan. Informasi tentang
barang atau jasa memiliki peranan penting pada tahap ini. Informasi
yang bertanggung jawab (informative information) merupakan
kebutuhan pokok konsumen sebelum dapat mengambil suatu keputusan
untuk mengadakan, menunda atau tidak mengadakan transaksi dalam
kebutuhan hidupnya. Keputusan konsumen mengenai pilihan barang
dan jasa yang dibutuhkan (informed choice) sangat tergantung pada
kebenaran dan pertanggungjawaban informasi yang disediakan oleh
pihak-pihak yang berkaitan dengan barang atau jasa konsumen.
2. Tahap Transaksi Konsumen
Pada tahap ini, transaksi konsumen sudah terjadi. Jual beli atau sewa
menyewa barang telah terjadi. Syarat peralihan kepemilikan, cara-cara
pembayaran atau hak dan kewajiban merupakan hal-hal pokok bagi
konsumen.
3. Tahap Purna-Transaksi Konsumen
Pada tahap ini, transaksi telah terjadi dan pelaksanaan telah
diselenggarakan. Keadaan barang atau jasa setelah mulai digunakan
atau mulai dinikmati kemudian, ternyata tidak sesuai dengan deskripsi
oleh produsen, baik tentang asal produk, keadaan, sifat, jumlahnya, atau
jaminan/garansi merupakan masalah pada tahap ini. Dalam hal asal
produk konsumen, mutu, sifat, keadaan, jumlah, garansi dan hal-hal
yang berkaitan dengan itu sesungguhnya sudah termasuk masalah
pertanggungjawaban pelaku usaha atau tanggung jawab produk.

D.

Hak dan Kewajiban Konsumen serta Pelaku Usaha

1.

Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak adalah “suatu kewenangan atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum

atau suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum baik pribadi maupun umum.”
Maka dapat diartikan bahwa hak adalah sesuatu yang patut atau layak diterima.
Sudikno Martokusumo dalam bukunya Mengenal Hukum, Suatu Pengantar,
menyatakan bahwa:

Universitas Sumatera Utara

“dalam pengertian hukum, hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi
oleh hukum. Kepentingan itu sendiri berarti tuntutan yang diharapkan untuk
dipenuhi.” Sehingga dapat dikatakan bahwa hak adalah suatu tuntutan yang
pemenuhannya dilindungi oleh hukum”. 73
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki beberapa hak dan
kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang
bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika
ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan
menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk
memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja
ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha. 74
Secara umum, ada 4 (empat) hak dasar konsumen yang diakui secara
internasional, yaitu : 75
Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety)

a.

Aspek ini ditujukan pada perlindungan konsumen dari segi
pemasaran barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan
konsumen. Berkaitan dengan hal ini, intervensi, tanggung jawab dan
peranan pemerintah dalam rangka menjamin keselamatan dan
keamanan konsumen sangat penting. Oleh karena itu, pengaturan dan
regulasi perlindungan konsumen sangat dibutuhkan untuk menjaga

73

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, (Yogyakarta :
Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2003), hal. 50 (selanjutnya disebut sebagai Sudikno
Mertokusumo 2)
74
Ibid.
75
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Kencana, 2013), hal. 47-48

Universitas Sumatera Utara

konsumen dari perilaku produsen yang berdampak dapat merugikan
dan membahayakan keselamatan konsumen.
b.

Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)
Bagi konsumen, hak memilih merupakan hak prerogatif yang
dimiliki konsumen apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu
barang

dan/atau

jasa.

Apabila

tanpa

ditunjang

hak

untuk

mendapatkan informasi yang jujur, tingkat pendidikan yang patut,
dan penghasilan yang memadai, maka hak ini tidak akan
berarti.Apalagi dengan meningkatnya teknik penggunaan pasar,
terutama lewat iklan, sehingga hak untuk memilih ini lebih banyak
ditentukan oleh faktor-faktor di luar diri konsumen.
c.

Hak untuk memilih (the right to choose)
Hak ini memiliki arti yang sangat fundamental bagi konsumen jika
dilihat dari sudut kepentingan dan kehidupan ekonominya. Setiap
keterangan atau informasi mengenai suatu barang yang akan
dibelinya atau akan mengikat dirinya, haruslah diberikan secara
lengkap dan dengan penuh kejujuran. Informasi baik secara langsung
maupun secara umum

melalui

berbagai

media komunikasi

seharusnya disepakati bersama agar tidak menyesatkan konsumen.
d.

Hak untuk didengar (the right to be heard)
Hak

ini

dimaksudkan

kepentingannya
kebijaksanaan

harus

untuk

menjamin

diperhatikan

pemerintah,

termasuk

dan
turut

konsumen

bahwa

tercermin

dalam

didengar

dalam

Universitas Sumatera Utara

pembentukan kebijaksanaan tersebut. Selain itu, setiap keluhan
maupun harapan konsumen dalam mengonsumsi barang dan/atau
jasa yang dipasarkan oleh produsen harus didengar.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menambahkan satu hak
lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat, sehingga keseluruhan dari hak tersebut
dikenal sebagai “Panca Hak Konsumen”. 76
Pasal 4 UUPK menyebutkan bahwa hak-hak yang diterima seorang
konsumen adalah:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturam perundang-undangan
lainnya.

76

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal. 31

Universitas Sumatera Utara

Di samping hak-hak konsumen yang tercantum dalam Pasal 4 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, adapun dua hak
konsumen yang berkaitan dengan pertanggungjawaban produk, antara lain : 77
a. Hak untuk mendapatkan barang yang memiliki kuantitas dan kualitas
yang baik serta aman.
Dengan adanya hak ini berarti konsumen harus dilindungi untuk
mendapatkan barang dengan kuantitas dan kualitas yang bermutu.
Ketidaktahuan konsumen atas suatu produk yang dibelinya sering kali
diperdaya oleh pelaku usaha.
b. Hak untuk mendapat kerugian.
Jika barang yang dibelinya itu terdapat cacat, rusak, atau telah
membahayakan konsumen, maka ia berhak mendapatkan ganti kerugian
yang pantas. Akan tetapi, jenis ganti kerugian yang diklaimnya untuk
barang yang terdapat cacat atau rusak, harus sesuai dengan ketentuan
yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak, artinya
konsumen tidak dapat menuntut secara berlebihan dari barang yang
dibelinya dan harga yang dibayarnya, kecuali barang yang
dikonsumsinya itu menimbulkan gangguan pada tubuh atau
mengakibatkan cacat pada tubuh konsumen, maka dengan kondisi
tersebut, tuntutan konsumen dapat melebihi harga barang yang
dibelinya.
Hak tersebut di atas pada intinya adalah untuk meraih kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen. Sebab masalah tersebut merupakan hal
yang paling utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang
penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, tidak aman atau membahayakan
keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Juga
untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa yang dikehendakinya
berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur.
Setiap hubungan hukum di bidang perdagangan barang dan/atau jasa pasti
melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihaknya. Selain ada hak, konsumen juga
memiliki beberapa kewajiban. Kewajiban adalah “suatu beban atau tanggungan
77

Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 51

Universitas Sumatera Utara

yang bersifat kontraktual”. Dengan kata lain kewajiban adalah sesuatu yang
sepatutnya diberikan.
UUPK tidak hanya mengatur hak konsumen tetapi juga kewajibankewajibannya. Pasal 5 UUPK menyebutkan mengenai kewajiban-kewajiban
konsumen, yaitu:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
b. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.78
Kewajiban ini dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil
yang optimum atas perlindungan dan/atau kepastian hukum bagi dirinya. 79
2.

Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pelaku Usaha menurut Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen memberi pengertian tentang pelaku usaha:
“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
Penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menjelaskan: “pelaku usaha yang diikat oleh undangundang ini adalah para pengusaha yang berada di Indonesia, melakukan usaha di
Indonesia.” Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan,
78

Indonesia, Undang - Undang No. 8 Tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen,

Pasal 5
79

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, cet
2 , (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal 30

Universitas Sumatera Utara

korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain. Pelaku
usaha disini dilarang memperdagangkan sediaan informasi dan pangan yang
rusak, cacat, atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi
secara lengkap dan benar. 80
UUPK tidak hanya mengatur hak-hak konsumen tetapi juga mengatur
perilaku pelaku usaha sehingga secara tidak langsung juga akan turut
mempengaruhi perilaku dunia usaha untuk melakukan persaingan yang lebih sehat
dan jujur. Untuk mengatur perilaku pelaku usaha, maka Pasal 6 UUPK telah
mengatur hak-hak dan kewajiban pelaku usaha yang diatur sebagai berikut:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
Hak ini menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih
banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikannya kepada
konsumen tidak atau kurang memadai menuntut harga berlaku pada
umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktek yang
biasa terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah
daripada barang serupa, maka para pihak perlu menyepakati harga yang
lebih murah. Dengan demikian hak ini adalah harga yang wajar.
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beriktikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
Menyangkut hak pelaku usaha pada butir b, c, d merupakan hak-hak
yang lebih banyak berhubungan dengan pihak aparat pemerintah
dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen/pengadilan dalam
tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Melalui hak-hak tersebut
diharapkan perlindungan konsumen secara berlebihan

Dokumen yang terkait

Aspek Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Perjanjian Jual-Beli Perumahan Properti Dengan BP.Group Medan Ditinjau Dari UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

2 90 91

Tinjauan Yuridis Terhadap Klausula Baku Dalam Hubungan Kontrak Perjanjian Penyediaan Jasa Khususnya Bidang Pendidikan Berdasarkan Perspektif Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

2 4 44

Perlindungan Konsumen Terhadap Pencantuman Klausula Baku Dihubungkan Dengan Asas - Asas Perjanjian Berdasarkan Kitab Undang - Undang Hukum Perdata Dan UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

0 0 2

Tinjauan Yuridis Terhadap Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Finance) Dikaitkan Dengan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

0 1 8

Tinjauan Yuridis Terhadap Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Finance) Dikaitkan Dengan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

0 1 1

Tinjauan Yuridis Terhadap Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Finance) Dikaitkan Dengan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

0 0 18

Tinjauan Yuridis Terhadap Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Finance) Dikaitkan Dengan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Chapter III VI

0 0 51

Tinjauan Yuridis Terhadap Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Finance) Dikaitkan Dengan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

0 0 6

TINJAUAN PENERAPAN KLAUSULA BAKU PADA PE

1 2 108

Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen - Repository Unja

0 0 13