TINJAUAN PENERAPAN KLAUSULA BAKU PADA PE

TINJAUAN PENERAPAN KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN USAHA JASA LAUNDRY CENTRAL PURWOKERTO BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SKRIPSI

Disusun Oleh :

HASUDUNGAN SIMANIHURUK E1A008111 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis naikkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Tinjauan Penerapan Klausula Baku Pada Perjanjian Usaha Jasa Laundry Central Purwokerto Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, oleh karena itu penulisan mengucapkan terima kasih kepada :

1) Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S, selaku pembimbing skripsi I yang telah banyak memberi nasihat serta menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini;

2) Bapak I Ketut Karmi Nurjaya, S.H., M.Hum, selaku pembimbing skripsi II yang telah banyak memberi nasihat serta menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini serta selaku pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman;

3) Bapak Suyadi, S.H., M.Hum, selaku dosen penguji yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan masukan kepada Penulis;

4) Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman;

5) Bapak Edi Waluyo, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman;

6) Segenap dosen yang selama ini telah mengajar penulis selama penulis menjalankan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang 6) Segenap dosen yang selama ini telah mengajar penulis selama penulis menjalankan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang

7) Orang Tua penulis, yaitu Bapa B.Simanihuruk dan Mama R.Simanjuntak, kakak penulis yaitu Dame Martha, Novita Suryana, Yuni Artha dan seluruh keluarga besar penulis yang telah penuh cinta kasih memberikan banyak dukungan yang tiada terhingga kepada penulis baik secara materiil maupun moril;

8) Teman-teman seperjuangan FH Unsoed angkatan 2008, Rio, Friska, Maria, Chandra, Mario, Benny, Erni, Flora, Karol, Karisma, Gideon, Maxes, Anita, Bertha, Tiara serta teman-teman lainnya yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih untuk doa dan semangatnya selama bersama di kampus FH Unsoed;

9) Teman-teman penghuni kost “sletink doll”, Agung, Herlan, Kimpul, Mamat, Vani, Anwar, Bagus, Yislam, Mada, Bapak Bowo serta teman-teman lainnya yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih untuk doa dan semangatnya selama bersama di kost;

10) Maria Ulfa yang selalu ada di saat senang maupun susah serta tidak berhenti menyemangati dan mendoakan penulis agar dapat menyelesaikan tugas akhir;

11) Momo “Geisha” yang selalu menginspirasi saya dalam pembuatan tugas akhir;

12) Keluarga Besar PMK Fakultas Hukum Unsoed yang mengadakan doa bersama agar tugas akhir berjalan lancar, juga ALSA, JEC, UMAKA, yang sudah banyak memberi ilmu di kampus Unsoed;

13) Seluruh Pihak Laundry Central Purwokerto, atas bantuan dalam mencari data- data terkait.

14) Seluruh jajaran civitas akademik Fakultas Hukum Unsoed yang tidak dapat penulis sebutkan semuanya yang telah banyak membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini;

15) Segenap pihak yang telah membantu penulis.

Akhir kata Penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Purwokerto, 26 Agustus 2013

Hasudungan Simanihuruk

ABSTRAK

Skripsi ini membahas secara normatif mengenai penerapan klausula baku dalam perjanjian usaha jasa laundry yang terdapat dalam nota pembayaran Laundry Central Purwokerto. Beberapa klausula baku tersebut merupakan klausula yang mengalihkan tanggungjawab dan resiko kerugian Laundry Central Purwokerto kepada pengguna jasa Laundry Central Purwokerto. Latar belakang penulisan skripsi ini berawal dari klausula baku yang oleh undang undang tidak diperkenankan untuk dicantumkan dalam perjanjian, tetapi dalam prakteknya klausula tersebut masih selalu digunakan dalam perjanjian yang banyak ditemukan dalam nota pembayaran Laundry Central Purwokerto.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan yang bersifat kualitatif dengan metode yuridis normatif. Pengumpulan data melalui penelitian terhadap sejumlah literatur, diinvetarisasi menurut relavansinya dengan pokok masalah yang diteliti dan kemudian dipelajari sebagai satu kesatuan. Teknik menyajian data disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis sebagai satu kesatuan yang utuh, yang didahului dengan pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan diteruskan dengan analisa data dan hasil pembahasan serta diakhiri dengan simpulan.

Hasil penelitian yang mengacu pada ketentuan yang berlaku, penerapan klausula baku yang nampak dalam ketentuan yang tertuang dalam nota pembayaran yang dikeluarkan oleh Laundry Central Purwokerto belum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta dalam ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata. Oleh karena itu klausula tersebut batal demi hukum dan pihak Laundry Central Purwokerto wajib menyesuaikan klausula-klausula baku tersebut dengan aturan UUPK.

Kata kunci : Klausula Baku, Perjanjian, Laundry

ABSTRACT

This thesis discuss in normative about the application of the standart contract in the laundry service agreement which contained in the payments note of Central Laundry Purwokerto. Some of those standart contract were a clause which redirect responsibility and loss risk of Central Laundry Purwokerto to the service users of Central Laundry Purwokerto. The background of this thesis writing starting from standart contract which by law are not allowed to be listed in the agreement,but in practice the clause was always used in the agreement are found in the payments note for new admissions Central Laundry.

Method of approach used in this study is a qualitative approach to regulations with normative juridical method. The collection of data through research literature,in groups according to their relevance to the subject matter which is examined and then studied as a whole.Technique of presentation of data presented in the form of narrative texts are arranged systematically as one unified whole,that is preceded by an introduction which contains background, research objectives, a review of the literature, research methods and data analysis and the results of the discussion and concludes with a summary.

The results of research that refers to the prevailing regulation, the application of raw klausula visible in the provisions stipulated in a payments note that is issued by Central Laundry Purwokerto has not been conducted in accordance with the provisions of the act of number 8 year 1999 on consumer protection as well as in the provision as regulated in the act of civil law. Hence clause is void for the sake of law and the Central Laundry Purwokerto shall be obliged to adjust the clauses raw with the rules of the constitution consumer protection.

Keywords: Standart Contract, Agreement, Laundry

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Jasa mencuci pakaian atau laundry sangat dibutuhkan di daerah perkotaan. Saat ini kegiatan mencuci dan setrika pakaian bisa menjadi hal yang sepele namun sangat merepotkan bagi sebagian orang yang tinggal di perkotaan dan juga bagi mahasiswa yang waktunya disibukkan oleh jadwal kuliah yang padat. Bergesernya gaya hidup dan semakin sulitnya mencari pembantu rumah tangga merupakan alasan orang untuk menggunakan jasa laundry. Adanya jasa laundry, akan membantu meringankan pekerjaan selain itu agar tenaga dan waktu lebih efisien.

Adanya perusahaan jasa laundry ini telah banyak membantu masyarakat untuk meringankan pekerjaan mereka dan biaya pun terjangkau menjadikan masyarakat bergantung pada perusahaan laundry. Masalah efisiensi waktu memang teratasi namun masalah pun juga muncul seperti konsumen mengalami kerugian akibat kelalaian pelaku usaha dalam proses penglaundryan. Bentuk kerugian yang seringkali dialami oleh konsumen adalah karena adanya cacat barang konsumen, hilangnya barang konsumen atau tertukarnya barang konsumen dengan barang konsumen lainnya.

Saat ini, pelaku usaha laundry sudah banyak membanjiri daerah perkotaan untuk membuka bisnisnya dan menjalankan usaha laundry sebagai lahan mencari Saat ini, pelaku usaha laundry sudah banyak membanjiri daerah perkotaan untuk membuka bisnisnya dan menjalankan usaha laundry sebagai lahan mencari

Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya di bakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak

mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan 1 .

Perjanjian semacam itu cenderung secara substansi hanya menuangkan dan menonjolkan hak-hak yang ada pada pihak yang berkedudukan lebih kuat sedangkan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan itu karenanya

posisinya yang lemah 2 .

Klausula baku biasanya dibuat oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat, yang dalam kenyataan biasa dipegang oleh pelaku usaha. Isi klausula baku seringkali merugikan pihak yang menerima klausula baku tersebut, yaitu pihak konsumen karena dibuat secara sepihak. Bila konsumen menolak klausula baku tersebut ia tidak akan mendapatkan barang ataupun jasa yang dibutuhkan, karena klausula baku serupa akan ditemuinya di tempat lain. Hal tersebut menyebabkan konsumen lebih sering setuju terhadap isi klausula baku walau memojokkan. Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis dan cepat tidak bertele-tele. Tetapi bagi konsumen justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu

menerima walaupun dengan berat hati 3 . Ciri-ciri perjanjian baku adalah sebagai berikut 4 :

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat.;

2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu;

1 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.139.

2 Rahman Hasanudin, Legal Drafting. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,2000, hal.134. 3 Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 6.

4 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hal.50.

3. Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian tersebut;

4. Bentuknya tertulis;

5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara masal atau individual. Ciri-ciri perjanjian baku ini mengikuti dan menyesuaikan dengan

perkembangan tuntutan masyarakat. Ciri-ciri tersebut mencerminkan prinsip ekonomi dan kepastian hukum yang berlaku di negara-negara yang bersangkutan. Dengan adanya pembakuan syarat-syarat perjanjian, kepentingan ekonomi pengusaha lebih terjamin karena konsumen hanya menyetujui syarat-syarat yang diberikan oleh pengusaha.

Pelaku usaha laundry pada prakteknya tidak segan-segan mencantumkan klausula eksonerasi yang isinya mengurangi tanggung jawab akan tetapi sering kali membebaskan diri dari tanggung jawab atau pengalihan tanggung jawab yang tujuannya adalah mengarah kepada perolehan keuntungan sehingga terabaikan hak-hak konsumen.

Permasalahan ini menarik untuk ditelaah dan dibahas karena dalam praktek kehidupan sehari-hari, banyak konsumen terlibat dalam klausula baku tanpa disadarinya. Walaupun sadar, seringkali ia tidak berdaya mengatasi hambatan-hambatan dalam mempertahankan dan melindungi haknya karena ada kalanya pemenuhan kebutuhannya tidak dapat ditangguhkan.

Istilah perjanjian sering kita jumpai dalam hukum perdata, yaitu satu pihak mengikatkan diri dengan pihak lain untuk melaksanakan sesuatu sebagaimana yang telah diperjanjikan, hal ini bisa disamakan dengan seorang konsumen yang Istilah perjanjian sering kita jumpai dalam hukum perdata, yaitu satu pihak mengikatkan diri dengan pihak lain untuk melaksanakan sesuatu sebagaimana yang telah diperjanjikan, hal ini bisa disamakan dengan seorang konsumen yang

Salah satu usaha jasa laundry yang ternama di Purwokerto, yaitu Laundry Central Purwokerto dalam nota pembayarannya mencantumkan secara tertulis klausula baku yang isinya antara lain:

a. Jika terjadi pertikaian sehubungan jumlah pakaian atau barang-barang yang dalam tanggung jawab kami, maka perhitungan seperti tercantum pada bukti penyerahan kami adalah benar;

b. Kami tidak bertanggung jawab atas menyusutnya pakaian, lunturnya warna atau hilangnya benda-benda berharga yang tertinggal bersama pakaian/barang;

c. Keluhan mengenai kerusakan hanya bisa diterima pada saat pengambilan barang/cucian;

d. Tanggung jawab kami terhadap kehilangan maupun kerusakan pakaian/barang terbatas sampai 5 kali biaya pencucian pakaian/barang yang bersangkutan;

e. Barang yang tidak diambil dalam waktu 90 hari tidak menjadi tanggung jawab kami; e. Barang yang tidak diambil dalam waktu 90 hari tidak menjadi tanggung jawab kami;

g. Pengambilan cucian harus disertai nota asli. Sebelum menyinggung klausula baku yang ada dari 7 (tujuh) point yang

tercantum dalam nota pembayaran tersebut, perlu dijelaskan bagaimana hubungan hukum yang terjadi. Dalam hal ini, hubungan hukum yang terjadi antara pelaku usaha jasa Laundry Central Purwokerto dengan konsumen adalah perjanjian untuk melakukan jasa-jasa yang subjek hukumnya yaitu pelaku usaha dan konsumen sedangkan objeknya yaitu jasa. Perjanjian ini dapat dilihat sebagai suatu perjanjian dimana pihak yang satu (Pelaku Usaha Jasa Laundry Central Purwokerto) menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan dari pihak lawannya (konsumen) yang bersedia membayar upah atas jasa yang diberikan dalam jangka waktu tertentu.

Dalam klausula baku pertama merupakan ketentuan yang dibuat oleh pelaku usaha untuk menjamin kepada konsumen bahwa segala hal yang tercantum pada nota adalah benar dan tidak dapat diubah serta harus sesuai dengan yang terjadi saat penyerahan dan penghitungan pakaian. Dalam klausula baku yang kedua juga merupakan ketentuan yang berisi pelaku usaha tidak berkewajiban untuk bertanggung jawab terhadap resiko pada pakaian setelah dilakukannya pencucian dan barang yang hilang bersama pakaian bukan merupakan tanggung jawab pelaku usaha melainkan konsumen yang menanggungnya. Dalam klausula baku yang ketiga juga menegaskan terhadap konsumen untuk lebih teliti kepada

konsumen dalam memeriksa pakaian yang sudah dilaundry. Bila ada keluhan terhadap hasil dari jasa laundry akan menjadi hak konsumen untuk memberitahukan kepada pelaku usaha apa yang menjadi kerugian atau keluhan yang didapat serta pelaku usaha hanya melayani keluhan pada saat pengambilan saja jika ada keluhan sesudah masa pengambilan cucian, sudah bukan merupakan kewajiban pelaku usaha untuk bertanggung jawab melayani keluhan dari konsumen. Kemudian pada klausula keempat, menegaskan adanya pembatasan tanggung jawab bagi pelaku usaha untuk mengganti kerugian yang diakibatkan hilangnya pakaian atau resiko kerusakan yang dialami oleh pakaian serta konsumen mempunyai hak untuk meminta ganti kerugian yang dialaminya. Pelaku usaha hanya mengganti kerugian dengan melakukan pembayaran senilai 5 kali dari biaya pencucian yang dapat dikatakan belum tentu sebanding dengan nilai dari pakaian tersebut atau nilai kerugian yang dialami konsumen. Klausula baku yang kelima menggambarkan pelaku usaha melepaskan tanggung jawab yang seharusnya menjadi kewajibannya untuk bertanggung jawab terhadap pakaian konsumen jika pakaiannya tersebut tidak diambil oleh konsumen dalam jangka waktu yang ditentukan oleh pelaku usaha yaitu 90 hari. Pada klausula keenam pelaku usaha tidak bertanggung jawab terhadap resiko atas barang cucian dari konsumen bila terjadi force majure yang dialami oleh pelaku usaha laundry. Klausula yang terakhir pelaku usaha menegaskan kepada konsumen untuk membawa nota asli dari Laundry sebagai bukti pengambilan barang cucian.

Pelaku usaha dalam mencantumkan klausula baku pada saat menjalankan usahanya seharusnya memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum positif dan norma-norma hukum yang berlaku di Indonesia.

Klausula baku menurut Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Mengingat pengertian klausula baku di dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen maka dapat dinyatakan bahwa klausula baku merupakan bagian dari hukum perlindungan konsumen dan secara umum dapat dikatakan suatu perjanjian.

Menurut Janus Sidabalok dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia memberi pengertian perlindungan konsumen sebagai berikut: 5

Perlindungan konsumen adalah perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri.

Berdasarkan mengenai paparan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perlindungan konsumen adalah suatu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Dengan demikian dapat diartikan bahwa perlindungan konsumen mengandung aspek perlindungan hukum. Adapun materi yang mendapat perlindungan bukan hanya fisik investor selaku konsumen produk dan jasa investasi, melainkan juga pada hak-haknya yang bersifat abstrak. Hak-hak konsumen ini merupakan suatu bentuk cerminan

5 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2006, hal.9 5 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2006, hal.9

kepada konsumen sekaligus haknya. 6 Dilihat dari cakupan materinya, yang mempersoalkan masalah standar

kontrak (klausula baku) dan tanggung jawab produk, maka hukum perlindungan konsumen masuk ke dalam hukum privat karena kedua masalah tersebut mempersoalkan hak-hak privat (hak keperdataan) dari konsumen yang timbul sehubungan dengan memperoleh dan memakai produk. Akan tetapi, dilihat dari konteks hidup bernegara yang berwawasan pembangunan yang menuju kesejahteraan bersama (welfare state), maka norma-norma hukum publik pun ikut dipertahankan sebab bagaimanapun juga seorang konsumen yang juga adalah warga negara, merupakan sumber daya pembangunan yang perlu dijaga kualitas hidupnya sehingga mampu melanjutkan kesinambungan pembangunan suatu negara, Oleh karena itu, hukum perlindungan konsumen juga masuk

ke dalam hukum publik 7 . Sebagai hak keperdataan, konsumen harus memperjuangkan sendiri

haknya melalui saluran-saluran hukum dan institusi hukum perdata yang disediakan oleh negara. Jelasnya jika konsumen dilanggar haknya dan karena itu menimbulkan kerugian baginya, konsumen itu dapat mengajukan tuntutan (gugatan) secara perdata untuk mempertahankan atau mendapatkan kembali haknya itu. Tuntutan (gugatan) diajukan ke pengadilan menurut ketentuan hukum yang berlaku. Misalnya, seorang konsumen menderita kerugian setelah memakai/mengonsumsi suatu produk. Karena itu, ia berhak mendapatkan penggantian kerugian. Persoalan untuk mendapatkan kerugian adalah masalah hukum perdata dan pemenuhannya ditempuh melalui peradilan perdata. Ini erat kaitannya dengan upaya atau cara yang ditempuh konsumen untuk mendapatkan produk kebutuhannya. Umumnya produk sampai ke tangan konsumen melalui suatu peristiwa hukum yang disebut perjanjian (kontrak). Karena itulah, hukum perlindungan konsumen dapat dimasukkan ke dalam

kelompok hukum perdata. 8

6 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2004, hal.19.

7 Shidarta, Op.Cit., hal.55. 8 Ibid, hal.58.

Sesuai uraian diatas, maka penelitian mengenai penerapan klausula baku pada perjanjian usaha jasa Laundry Central Purwokerto berdasar kepada hukum perlindungan konsumen yang tergolong dalam kelompok hukum perdata khususnya mengenai perikatan yakni mengatur aspek-aspek kontraktual antara konsumen dan pelaku usaha.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang diatur di Indonesia tampak muncul sedikit harapan dalam terwujudnya kepastian dan keadilan dalam hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha pada penerapan klausula baku Laundry, dan jika ada kerugian yang timbul karena kelalaian oleh pelaku usaha maka harus diminta pertanggungjawabannya kepada pihak yang salah dan juga memberikan sanksi yang tegas menurut hukum.

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan di atas,

maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan skripsi dengan judul “Tinjauan Penerapan Klausula Baku Pada Perjanjian Usaha Jasa Laundry Central Purwokerto berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen”, dengan tujuan mendapatkan pemahaman yang lebih jelas atas permasalahan dalam hubungan hukum yang ada antara pelaku

usaha laundry dengan konsumen sebagai pemanfaat jasa laundry yang akan dibahas dalam penelitian ini.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut :

Bagaimana penerapan klausula baku pada perjanjian usaha jasa laundry Central Purwokerto berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ?

3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan klausula baku pada perjanjian usaha jasa laundry Central Purwokerto berdasarkan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

4. Kegunaan Penelitian

4.1 Kegunaan Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya di bidang perlindungan konsumen.

4.2 Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran dan memperluas wawasan serta pertimbangan bagi para pelaku usaha dalam pembuatan perjanjian dengan pihak konsumen.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Klausula Baku

Manusia dalam hidup bermasyarakat membutuhkan manusia yang lain untuk memenuhi kepentingannya. Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa dalam memenuhi kepentingannya, manusia menghadapi bahaya, dengan hidup bermasyarakat diharapkan akan lebih kuat kedudukannya dalam menghadapi bahaya terhadap kepentingannya dan akan lebih terjamin dalam kesejahteraannya.

Manusia mengharapkan kepentingan-kepentingannya dilindungi dari konflik, gangguan, bahaya yang mengancam, serta kepentingan dirinya dalam kehidupan bersama. Dalam hidup bermasyarakat ada interaksi atau hubungan satu sama lain, lalu mengingat banyaknya kepentingan dapat dimungkinkan terjadi konflik. Konflik dapat terjadi apabila pelaksanaan kepentingan seseorang telah merugikan kepentingan orang lain sedangkan dalam posisi tersebut manusia membutuhkan rasa aman dalam melaksanakan kepentingannya agar dapat melaksanakannya dengan tenang.

Hal tersebut diatas apabila dilihat dari sisi lain yaitu terkait masalah kesadaran pelaku usaha untuk bertanggungjawab atas produk atau jasa yang diberikan kepada masyarakat masih kurang, dan masyarakat masih segan memperjuangkan hak-haknya. Masyarakat konsumen seperti menerima nasib berada di bawah kendali para pelaku usaha. Ketidakberdayaan ini makin jelas dengan munculnya format-format perjanjian yang dibakukan (standarized Hal tersebut diatas apabila dilihat dari sisi lain yaitu terkait masalah kesadaran pelaku usaha untuk bertanggungjawab atas produk atau jasa yang diberikan kepada masyarakat masih kurang, dan masyarakat masih segan memperjuangkan hak-haknya. Masyarakat konsumen seperti menerima nasib berada di bawah kendali para pelaku usaha. Ketidakberdayaan ini makin jelas dengan munculnya format-format perjanjian yang dibakukan (standarized

Perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum (pemenuhan syarat subjektif) untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat luas (pemenuhan syarat objektif). Namun, ada kalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam negosiasi tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak. Dalam praktek dunia usaha juga menunjukkan bahwa “keuntungan” kedudukan tersebut sering terjadi penyalahgunaan dengan pembuatan perjanjian baku dan/atau klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang “lebih dominan” dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat “baku” karena, baik perjanjian maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin ditawar dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya. Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini, c enderung merugikan pihak yang “kurang dominan” tersebut. Terlebih lagi dengan sistem pembuktian yang berlaku di negara Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah bagi pihak yang cenderung dirugikan tersebut untuk membuktikan Perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum (pemenuhan syarat subjektif) untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat luas (pemenuhan syarat objektif). Namun, ada kalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam negosiasi tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak. Dalam praktek dunia usaha juga menunjukkan bahwa “keuntungan” kedudukan tersebut sering terjadi penyalahgunaan dengan pembuatan perjanjian baku dan/atau klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang “lebih dominan” dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat “baku” karena, baik perjanjian maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin ditawar dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya. Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini, c enderung merugikan pihak yang “kurang dominan” tersebut. Terlebih lagi dengan sistem pembuktian yang berlaku di negara Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah bagi pihak yang cenderung dirugikan tersebut untuk membuktikan

Banyak terdapat penyebutan terhadap perjanjian baku dalam bahasa asing diantaranya yaitu Standard Contract, Standard Vourrwarden, Standard Konditionen , ataupun Standarised Contract dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengenal adanya klausula baku.

1.1. Pengertian Klausula Baku

“Klausula” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu ketentuan tersendiri dari suatu perjanjian, yang salah satu pokok atau pasalnya diperluas atau dibatasi; yang memperluas atau membatasi. Sedangkan “Baku” yaitu standar atau ukuran tertentu yang menjadi patokan. Menurut kamus Wikipedia

Indonesia “Klausula Baku” adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh

pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula baku aturan sepihak yang dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli tidak boleh merugikan konsumen.

Perlindungan bagi manusia itu dapat dicapai dengan terciptanya peraturan atau pedoman hidup yang menentukan bagaimana manusia harus bertingkah laku baik dalam masyarakat agar tidak merugikan kepentingan orang lain dan kepentingan dirinya sendiri. Melihat kenyataannya saat ini bargaining position konsumen pada prakteknya jauh di bawah para pelaku usaha, maka

Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen merasakan perlunya pengaturan mengenai ketentuan perjanjian baku dan/atau pencatuman klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha.

Perjanjian standar (baku), sebenarnya dikenal sejak jaman Yunani Kuno. Plato (423-347 SM), misalnya pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihak oleh si penjual, tanpa memperhatikan

tersebut. Dalam perkembangannya, tentu saja penentuan secara sepihak oleh produsen/penyalur produk (penjual), tidak lagi sekedar masalah harga, tetapi mencakup syarat-syarat yang lebih detail. Selain itu, bidang-bidang yang diatur dengan perjanjian standar pun makin bertambah luas. Perjanjian standar tidak selamanya berkonotasi negatif. Tujuan dibuatnya perjanjian standar untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi para

pihak yang bersangkutan. 9 Tentu saja fenomena demikian tidak selamanya berkonotasi negatif.

Tujuan dibuatnya perjanjian standar untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, bertolak dari tujuan itu, Mariam Badrulzaman lalu mendefinisikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam

formulir. 10 Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa perjanjian baku

memiliki karakter sebagai berikut: 11

a. Ditentukan sepihak;

b. Berbentuk formulir;

c. Mengandung syarat eksonerasi, yaitu syarat dari pihak kreditur untuk mengelakkan dirinya dari tanggung jawab yang seharusnya menjadi kewajibannya;

d. Dicetak dengan huruf kecil;

e. Disodorkan kepada konsumen sebagai “take it or leave it contract’s”. Menurut Sutan Remy Sjahdeni, yang dimaksud dengan perjanjian baku

adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah

9 Shidarta, Op.Cit, hal. 146. 10 Ibid.

11 Ibid., hal.147.

dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. 12

Abdulkadir Muhammad mendefinisikan perjanjian baku adalah perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang distandarisasikan atau dibakukan meliputi model, rumusan, dan

ukuran. 13

Dalam hukum Indonesia peraturan yang secara tegas menyebutkan definisi dari perjanjian baku memang tidak ditemukan, namun dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang pencantuman klausula baku dalam setiap perjanjian sehingga dari undang-undang tersebut dapat diketahui pengertian dari klausula baku.

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memberi definisi : Klasula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat

yang telah dipersiapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Pengaturan mengenai pencantuman klausula baku dimaksudkan oleh undang- undang sebagai usaha untuk menempatkan kedudukan konsumen secara setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.

12 Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia , Institut Bankir Indonesia,Jakarta, 1993,

hal.66. 13 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hal.5.

1.2. Macam-Macam Perjanjian Baku

Klausula baku dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu : 14

1.2.1. Perjanjian Baku Sepihak Merupakan perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai kedudukan ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua belah pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian kerja kolektif.

1.2.2. Perjanjian Baku yang Ditetapkan oleh Pemerintah Merupakan perjanjian yang mempunyai objek berupa hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria, misalnya Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan.

1.2.3. Perjanjian Baku yang Ditentukan di Lingkungan Notaris atau Advokat Merupakan perjanjian yang sudah sejak semula disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan Notaris atau Advokat yang bersangkutan.

1.3. Ciri-Ciri Klausula Baku

Ciri-ciri klausula baku adalah sebagai berikut : 15

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat dari debitur;

2. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian tersebut;

3. Terdorong oleh kebutuhan, debitur terpaksa menerima perjanjian tersebut;

4. Bentuknya tertulis;

5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual. Ciri-ciri tersebut mencermikan prinsip ekonomi dan kepastian hukum yang

berlaku di negara-negara yang bersangkutan. Prinsip ekonomi dan kepastian hukum dalam bentuk perjanjian atau klausula baku tersebut, dilihat dari kepentingan pengusaha, bukan dari kepentingan konsumen. Dengan pembakuan syarat-syarat perjanjian, maka kepentingan ekonomi pengusaha lebih terjamin karena konsumen hanya menyetujui syarat-syarat

yang ditawarkan oleh pengusaha. 16

14 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal.50 15 Ibid., hal.52.

16 Ibid. ,., hal.53.

1.4. Akibat Hukum Perjanjian Yang Berbentuk Baku

Pengaturan mengenai pencantuman klausula baku terdapat dalam pasal 1 ayat (10) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pengaturan mengenai pencantuman klausula baku tersebut dimaksudkan oleh undang-undang sebagai usaha untuk menempatkan kedudukan konsumen secara setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.

Pencantuman klausula baku dalam hal hubungan pelaku usaha dan konsumen harus memperhatikan ketentuan pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen di atas, larangan penggunaan standar kontrak dikaitkan dengan dua hal, yaitu isi dan bentuk penulisannya. Dari segi isinya, dilarang menggunakan standar kontrak yang memuat klausula- klausula yang tidak adil, sedangkan dari segi bentuk penulisannya, klausula-klausula itu harus dituliskan dengan sederhana, jelas, dan terang

sehingga dapat dibaca dan dimengerti dengan baik oleh konsumen. 17 Setiap perjanjian dalam hal hubungan antara pelaku usaha dengan

konsumen, yang mencantumkan klausula baku di dalamnya, wajib memperhatikan ketentuan dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut.

Konsekuensi terhadap pelanggaran pasal 18 adalah batal demi hukum terhadap perjanjiannya, kecuali apabila dicantumkan klausula severability of provisions , maka yang batal demi hukum hanyalah klausula yang bertentangan dengan pasal 18 saja. Sedangkan terhadap perjanjian lain di luar hubungan

pelaku usaha dan konsumen, pencantuman klausula baku adalah sah-sah saja. 18

Klausula severability of provisions yaitu persyaratan dalam kontrak yang menyatakan bahwa setiap pasal dari kontrak merupakan pasal-pasal yang berdiri sendiri (independent), sehingga seandainya pengadilan membatalkan salah satu persyaratan kontrak, maka persyaratan-persyaratan yang lain akan tetap dianggap sah. Klausula ini menentukan bahwa apabila satu atau beberapa

17 Janus Sidabalok, Op. Cit., hal..27. 18 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., Hal.55.

pasal di dalam perjanjian ini ternyata tidak sah atau tidak valid menurut peraturan perundang-undangan, maka klausul yang lain (yang sah) dapat tetap dijalankan atau berlaku seolah-olah klausula yang tidak valid tersebut tidak pernah ada.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka apabila suatu perjanjian yang mencantumkan klausula baku di dalamnya telah dibuat dengan memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan memenuhi pula hal-hal dalam Pasal 1338 Kitab Undang- undang Hukum Perdata, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa suatu perjanjian yang mencantumkan klausula baku di dalamnya adalah sah sepanjang terpenuhinya unsur formil dan materiil dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut.

1.5. Klausula Eksonerasi

Klausula baku tidak sama dengan klausula eksonerasi. Melihat kepada ketentuan Pasal 18 Ayat (1) UUPK, dapat diperoleh jawaban sementara bahwa kedua isitilah itu berbeda. Artinya, klausula baku adalah klausula yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah kepada eksonerasi. Pasal 18 Ayat (2) mempertegas pengertian tersebut, dengan mengatakan bahwa klausula baku harus diletakkan pada tempat yang mudah terlihat dan dapat jelas dibaca dan mudah dimengerti. Jika hal-hal yang disebutkan dalam Ayat (1) dan (2) itu tidak dipenuhi, maka klausula baku itu menjadi batal demi hukum. Di sini dinyatakan, yang batal demi hukum itu adalah klausula baku tersebut, bukan perjanjiannya secara keseluruhan. Tentu saja hal ini harus dicermati karena jika klausula baku itu terkait dengan unsur esensialia yang tunduk pada ketentuan hukum yang bersifat memaksa, maka sangat mungkin keberadaannya akan

membatalkan seluruh perjanjian. 19

19 Shidarta, Op. Cit., hal.151.

Menurut Prof. Miriam Darus Badrulzaman klausula eksonerasi diartikan sebagai klausula yang berisi pembatasan pertanggungjawaban dari

kreditur. 20

Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa klausula eksonerasi adalah syarat khusus membebaskan pengusaha dari tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan, yang timbul dari pelaksanaan perjanjian. Klausula

eksonerasi dapat berasal dari rumusan undang-undang. 21 Menurut DR. Sutan Remy Sjahdeni, S.H, klausula eksonerasi / klausula

eksemsi adalah klausula yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggungjawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya

melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam perjanjian tersebut. 22

Klausul-klausul eksonerasi ini dapat muncul dalam berbagai bentuk misalnya pembebasan sama sekali dari tanggung jawab yang harus dipikul oleh pihaknya apabila terjadi ingkar janji (wanprestasi), pembatasan jumlah ganti rugi bagi orang yang dirugikan untuk dapat mengajukan

gugatan atau ganti rugi. 23

Klausula eksonerasi hanya dapat digunakan dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik. Eksonerasi terhadap kerugian yang timbul karena kesengajaan pengusaha adalah bertentangan dengan kesusilaan. Oleh karena itu pengadilan dapat mengesampingkan klausula eksonerasi

tersebut. 24 Dalam suatu perjanjian dapat saja dirumuskan klausula eksonerasi karena

keadaan memaksa, karena perbuatan para pihak dalam perjanjian. Perbuatan para pihak tersebut dapat mengenai kepentingan pihak kedua

21 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal.52 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hal.20.

22 Sutan Remy Sjahdeni, Op. Cit., hal.75. 23 Ibid. hal.77. 24 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hal.21.

dan pihak ketiga. Dengan demikian ada tiga kemungkinan eksonerasi yang dapat dirumuskan dalam syarat-syarat perjanjian. 25

Dalam suatu perjanjian dapat saja dirumuskan klausula eksonerasi karena keadaan memaksa, karena perbuatan para pihak dalam perjanjian. Perbuatan para pihak tersebut dapat mengenai kepentingan pihak kedua dan pihak ketiga. Dengan demikian ada tiga kemungkinan eksonerasi yang

dapat dirumuskan dalam syarat-syarat perjanjian: 26

1. Eksonerasi karena keadaan memaksa (force majeur) Kerugian yang timbul karena keadaan memaksa bukan tanggung jawab para pihak, tetapi dalam syarat-syarat perjanjian dapat dibebankan kepada konsumen sehingga pengusaha dibebaskan dari beban tanggung jawab. Misal dalam perjanjian jual beli, barang objek perjanjiannya musnah karena terbakar. Dikarenakan kebakaran bukan kesalahan para pihak, tetapi dalam hal ini pembeli diwajibkan melunasi harga yang belum dibayar lunas berdasarkan klausula eksonerasi.

2. Eksonerasi karena kesalahan pengusaha yang merugikan pihak kedua dalam perjanjian

Kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha seharusnya menjadi tanggung jawab pengusaha. Hal ini dapat terjadi karena tidak baik atau lalai melaksanakan prestasi terhadap pihak kedua. Tetapi dalam syarat-syarat perjanjian, kerugian dibebankan kepada konsumen, dan pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab. Misalnya dalam perjanjian pengangkutan ditentukan bahwa bawaan yang rusak atau hilang bukan merupakan tanggung jawab pembeli.

3. Eksonerasi karena kesalahan pengusaha yang merugikan pihak ketiga Kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha seharusnya menjadi tanggung jawab pengusaha, namun dalam syarat-syarat perjanjian, kerugian yang timbul dibebankan kepada pihak kedua, yang ternyata menjadi beban pihak ketiga. Dalam hal ini pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab, termasuk juga terhadap tuntutan pihak ketiga.

2. Perjanjian

Perikatan menunjukkan suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua atau lebih orang atau pihak, dimana hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban kepada salah satu pihak yang terlibat dalam hubungan hukum tersebut. Perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan sehari ‐hari. Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat ditemui dalam ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang ‐Undang Hukum Perdata (KUHP)

26 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hal.22-23. Ibid.

yang menyatakan “Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang 27 ‐undang”.

Adapun sumber-sumber perikatan yakni perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan yang lahir dariundang-undang karena suatu

perbuatan orang. 28

2.1. Hubungan Antara Perikatan dan Perjanjian

Menurut Prof. Subekti, S.H., yang dimaksud dengan perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain,

dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. 29 Dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih

orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut yang merupakan perikatan yang harus dipenuhi oleh orang atau subjek hukum tersebut. Dengan demikian, rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak merupakan pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya merupakan pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur).

Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. 30 Perjanjian adalah sumber

perikatan. Pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan perikatan yang bersifat sepihak (dimana hanya satu pihak yang wajib berprestasi) dan perikatan yang

27 Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.12.

29 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2004, hal.1 Ibid.

30 Subekti, Op.Cit., hal.2.

bertimbal balik (dengan kedua belah pihak saling berprestasi). Dengan demikian, dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari satu perikatan dengan kewajiban berprestasi yang saling bertimbal balik. Debitur pada satu sisi menjadi kreditur pada sisi yang lain pada saat bersamaan.

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perjanjian itu merupakan sumber perikatan yang terpenting. Dari apa yang diterangkan dapat dilihat bahwa perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak, maksudnya adalah bahwa perikatan bersifat tidak kasat mata, yang mana hanya dapat dibayangkan dalam alam pikiran kita. Sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa, yang mana dapat dilihat atau dibacanya suatu perjanjian tersebut ataupun mendengarkan perkataan-

perkataannya. 31

J. Satrio, mengemukakan pendapatnya tentang pengertian perjanjian sebagai berikut: 32

Perjanjian adalah peristiwa yang menimbulkan dan berisi ketentuan- ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak. Atau dengan perkataan lain, perjanjian berisi perikatan. Adapun pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan

sebagai berikut: Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25