KONSTRUKSI EPISTEMOLOGI DALAM FILSAFAT ILLUMINASI SUHRAWARDI

KONSTRUKSI EPISTEMOLOGI DALAM FILSAFAT ILLUMINASI SUHRAWARDI

  Mohammad Muslih

  Institut Studi Islam Darussalam Gontor Madusari, Siman, Ponorogo, Jawa Timur, 63471 email: muslihisid.gontor.ac.id

  Abstract: This article elaborates philosophically the construction of

Suhrawardi’s Epistemology of Illumination, by exposing his arguments

about the scientific process. Specifically, it will show Suhrawardi’s cri- tique of Peripatetic logic and then position them in the extracting knowl-

edge process. Then uncover the Suhrawardi’s bid which claims can take

human beings acquire a real knowledge, with finding a provision for a

valid knowledge. This thought would certainly be an alternative scien- tific model in the middle of the patterned rationalistic scientific develop- ments. So, by uncovering the deeper elements, it could be this illumina-

tion knowledge model can be an alternative to crisis of modern science

currently. There are several issues were discussed, i.e. Suhrawardi’s

attention over the issue of knowledge validity and problems of logic,

then elaborate the basic method of Isyraqiyah Philosophy, and the most

basic it discusses fundamental structure of illumination logic. This ar-

ticle also shows the Suhrawardi’s epistemological consequences with

the thesis that God is the object of “’irfa>n” not object of “’ilm”.

  

ȅƽ ǁ ȁǂ ȀLjdz ơ ƨ Ȉ ǫ ơ ǂ Njȍơ ƨ Ǩ LjǴ Ǩ Ǵ dz ȆǨ LjǴ Ǩ dz ơ Ŀ ǂ Ǡ ŭ ơ ǵ ƯǜǼ dz ơ ƨ Ȉ Ǽ ƥ ƮƸƦ ƫ ƨ dz ƯǬ ŭ ơ ǽ ǀǿ ǎ ƼǴ Ǹdz ơ

ȆƟ Ưnjŭ ơ ǪǘǼ ŭ ơ ȄǴ ǟ ȅƽǁ ȁǂ ȀLjdz ơ Ʃơ ƽƯǨ Ƭ ǻ ơ ǂ Ȁǜƫ ȁ ƨ Ȉ Ǵ ǸǠ dz ơ ƨ Ȉ Ǵ ǸǠ dz ơ DZȂƷ Ǿ ƴƴƷ Ǧnjǰƥ

DzǸŹ ǹƗ ǺǰŻ Ǿ Ǹǟǃ ƾƷ ȄǴ ǟ ȅƽǁ ȁǂ ȀLjdz ơ ƨ dz ȁƯŰ Ǧnjǯ Ľ ƨ ǧ ǂ Ǡ ŭ ơ ƨ Ȉ Ǽ ƥ Ŀ ƯȀǼ Ƿ Ǧǫ Ȃŭ ơ ȁ

ƨ Ǡ Ȉ Ʀ ǘƥ ȁ ƨ ƴūơ ǽ ǀǿ ƨ ƸȈ Ƹǐdz ơ ƨ ǧ ǂ Ǡ ŭ ơ ƩƯƦ Ǵ ǘƬ Ƿ ƽƯŸȍ ƨ Ȉ Ǭ Ȉ Ǭ ūơ ƨ ǧ ǂ Ǡ ŭ ơ ư ƯLjƬ ǯơ ńơ DžƯǼ dz ơ

ǺǷ ƯȈ ǻ ȐǬ ǟ ƨ NjȂǬ Ǽ ŭ ơ ƨ Ȉ ǸǴ Ǡ dz ơ Ʃơ ǁ ȂǘƬ dz ơ ǖLJȁ Ŀ ƨ Ȉ ǸǴ ǟ ƨ Ǵ ȇ ƾƥ Ʊƿ ƯŶ ǹȂǰȇ ǹƗ ǺǰŻ DZƯūơ

ǺǰŻ ȁ ƨ ǧ ǂ Ǡ ǸǴ dz Ʊƿ ƯŶ ǹȂǰƫ ǹƗ ǺǰŻ ƨ Ȉ ǫ ơ ǂ Njȏơ ƨ Ǩ LjǴ Ǩ dz ơ ǺǷ ƨ Ǭ Ȉ ǸǠ dz ơ ǂ ǏƯǼ Ǡ dz ơ Ǧnjǯ DZȐƻ

ǪǴ ǫ ŘǠ ȇ ƪ njǫ Ȃǻ Ưȇ Ưǔǫ ƨ dz ƯǬ ŭ ơ ǽ ǀǿ Ŀ Ʈȇ ƾūơ ǂ ǐǠ dz ơ Ŀ ƨ Ȉ ǸǴ Ǡ dz ơ ƨ Ƿ ǃ Ȑdz Ȑȇ ƾƥ ǹȂǰƫ ǹƗ

ƨ Ȉ ǫ ơ ǂ Njȍơ ƨ Ǩ LjǴ Ǩ dz ơ ƨ Ǭ ȇ ǂ ǘdz ƨ njǫ ƯǼ ŭ ơ ȁ ƨ ǧ ǂ Ǡ ŭ ơ Ưȇ Ưǔǫ ƨ ƸǏȁ ƨ Ȉ Ǭ ǘǼ ŭ ơ ƨ Ǵ ǰnjŭ ơ ȄǴ ǟ ȅƽǁ ȁ ǂ Ȁ Ljdz ơ

  Al-Tahrir, Vol. 12, No. 2 November 2012 : 299-318

  300

  

Abstrak: Artikel ini mengkaji secara filosofis konstruksi epistemologi

  Filsafat Illuminasi Suhrawardi dengan mengungkap argume nnya tentang proses keilmuan. Secara lebih khusus, akan menun juk kan kritik Suhrawardi terhadap logika Peripatetik dan kemudian mem- posisikannya dalam proses penggalian ilmu. Kemudian mengungkap tawaran Suhrawardi yang ia klaim sebagai dapat mengantar manusia mem peroleh pengetahuan yang se benarnya, dengan menemukan syarat bagi suatu pengetahuan yang valid. Pemikiran demikian sudah tentu akan menjadi model ke ilmuan alternatif di tengah perkembang- an keilmuan yang bercorak rasiona listik. Dengan mengungkap anasir- anasir lebih dalam, bisa jadi pengetahuan model illuminasi ini dapat sebagai alternatif bagi krisis keilmuan modern saat ini. Ada beberapa per soalan yang di bahas, antara lain kegelisahan Suhrawardi atas problem logika dan persoalan validitas pengetahuan, lalu mengurai kan metode dasar Filsafat Isyraqiyah, dan yang paling pokok membahas struktur fundamental Logika Illuminasi. Tidak lupa artikel ini juga menunjukkan konsekuensi epistemologi Suhrawardi dengan tesis Tuhan itu merupakan objek “kenal” bukan objek “tahu”.

  Keywords: al-h} ikmah al­dhawqiyyah, al­h}ikmah al­bah}thiyyah, al­ ‘ilm al-s}

  ūri>, al-tas}awwur, al-qad}iyyah, al­istidlāl PENDAHULUAN Dewasa ini, setidaknya terdapat tiga persoalan keilmuan paling krusial.

  

Pertama, soal dampak negatif perkembangan ilmu pengetahuan modern,

  yang terdiri dari dampak militer, dampak ekologis, dampak sosiologis, 1 2 dan dampak psikologis. Kedua, soal bangunan episteme yang menjadi

  

dasar tumbuh kembangnya ilmu, yaitu rasionalitas melebihi wahyu, kritik

lebih dari sikap adaptif terhadap tradisi dan sejarah, progresivitas lebih

dari sekedar konservasi tradisi, dan universalisme yang melandasi tiga

3

elemen sebelumnya. Ketiga, seiring dengan universalisme itu, elemen-

  elemen episteme tersebut lalu menjadi kekuatan “hegemonik”, sehingga 1 Armahedi Mahzar,

  Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami, Revolusi Integralisme Islam (Bandung: Mizan, 2004), 221-222. 2 Michel Foucault lebih jauh melihat, episteme merupakan ‘medan’ penelusuran

  

Mohammad Muslih, Konstruksi Epistemologi 301

4

  tidak tersedia lagi ruang tafsir lain atas realitas. Krisis peradab an modern, banyak kalangan mengatakan, bermula dari persoalan bangun- an keilmuan itu. Keprihatinan mendalam para agamawan khusus nya dan pemeluk agama pada umumnya, terkait problem pengetahuan ini, adalah karena dominasi rasionalitas itu telah jauh meninggalkan agama. Ke yakinan adanya Tuhan dan peran-Nya sama sekali tidak di sentuh, bahkan dinafikan dalam proses pengetahuan.

  Tapi, benarkah Tuhan ikut berperan dalam proses pengetahu- an manusia? Persoalan seperti ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam tradisi agama-agama, seperti yang terjadi pada tradisi sufisme. Pada sisi yang lain, ketegangan, bahkan peperangan karena sentimen agama 5 kerap terjadi.

  “The Battle for God”, demikian ungkap Karen Armstrong.

  Benarkah Tuhan menghendaki perang? Secara epistemologis, sangat boleh jadi, tuhan yang diperjuangkan itu adalah tuhan yang ada pada konsepsi manusia (umat beragama), bukan tuhan

  in Himself; bukan

  tuhan yang mencipta manusia (dan alam semesta) tetapi tuhan yang di- cipta manusia dalam konsep-konsep nya itu. Bangunan keilmuan yang ber corak rasionalis jelas berujung pada pembentukan konsep, teori dan semacamnya. Ini merupakan ke lebihan sekaligus kelemahan model ke ilmuan yang bertumpu pada rumus-rumus mant}iqi>. Tetapi adakah alternatif lain, suatu bangunan keilmuan yang dapat mengantarkan “pengenalan” pada hakikat objek, termasuk Tuhan?

  Dalam tradisi Islam, menarik untuk dilihat percikan pemikir an logika illuminasi Suhrawardi sebagai satu varian epistemologi Islam yang bercorak intuitif sekaligus bersifat teologis. Dalam kerangka demikian, artikel ini akan menunjukkan keberatan Suhrawardi terhadap logika rasional Peripatetik dan mengungkap argumen filsafat illuminasi tentang proses keilmuan yang diklaim sebagai dapat mengantar 4 Lahirnya norma-norma ilmiah seperti pada Positivisme yang hanya mempercayai fakta

  

“positif” dan digali dengan “metodologi ilmiah”, lalu Positivisme Logis yang mengajukan

prinsip “verifikasi” untuk membedakan bahasa yang meaningfull dan meaningless, juga

Karl Popper yang menawarkan falsifikasi (error elimination) sebagai standar ilmiah. Lihat

Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi dasar, Paradigma, dan Kerangka

Dasar Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2003). 5 Karen Armstrong, The Battle for God, Fundamentalism in Judaism, Christianity,

  Al-Tahrir, Vol. 12, No. 2 November 2012 : 299-318

  302 manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya, serta menemukan relevansinya bagi keilmuan dewasa ini.

SUHRAWARDI DAN PROBLEM LOGIKA

  Suhrawardi dalam wacana pemikiran Islam tampaknya masih penuh “misteri”. Ia adalah seorang filosof Muslim besar. Pemikir- an filsafatnya dikenal dengan sebutan filsafat illuminasi atau al-h}

  

ikmah al­ishra>qiyyah. Menurut Hasan Hanafi, di tangan Suhrawardi,

6

  filsafat Islam mencapai puncaknya. Namun demikian, pembicara an tentang dirinya masih mencerminkan dua hal saja.

  Pertama, ia tampil

  sebagai tokoh ‘sejarah’, di mana perbincangannya masih sekitar nama, tempat dan tanggal lahir, nama guru dan pendidikan nya sampai tahun meninggalnya.

  Kedua, ia lebih ditampilkan sebagai tokoh sufi dan

  karenanya ia disejajarkan dengan al-H}alla>j, al-Ghaza>li>, Ibn ‘Arabi>, dan lain-lain. Menurut Hossein Ziai, para pemikir seperti Henry Corbin (dari Barat) dan Seyyed Hossein Nasr (dari kalangan Muslim) yang mem populerkan Suhrawardi, juga masih mengesankannya sebagai sosok sufi dan masih ber corak historis. Ajaran Suhrawardi, seperti juga tokoh-tokoh sufi tersebut, memang bercorak mistiko-filosofis, tetapi yang mengesan kan mengapa Suhrawardi disebut sebagai filosof (besar), sedang kan yang lain hanya tokoh sufi saja. Sudah tentu Suhrawardi punya kekhas an; tentang problematikanya, tawaran penyelesaiannya, metodologi nya, dll.

  Suhrawardi, nama lengkapnya adalah Shiha>b al-Di>n Yah}ya> ibn Habasy ibn Amirak, ia lahir pada tahun 549 H/1155 M di Suhraward, Mediterania kuno, Iran Barat Laut dan meninggal di Aleppo pada tahun 7 587 H/1191 M. Berarti ia meninggal dalam usia yang sangat muda (+

  38 tahun hijriah atau 36 tahun masehi). Dapat di bayangkan bahwa ia adalah seorang yang amat cerdas sekaligus mem punyai ‘pikiran nakal.’ 6 Kehadiran Suhrawardi dalam dunia pemikiran Islam itu sendiri merupakan penyambung

  

ujung-ujung kesempurnaan pemikiran. Dalam segi pemikiran ia hidup pada akhir fase pertama

perkembangan kebudayaan Islam, ketika filsafat mencapai kesempurnaannya di tangan Ibn

Rushd (1126-1198) dan tasawuf di tangan Ibn ‘Arabi> (1165-1240), kemudian pada abad

berikutnya ilmu kalam di tangan al-Iji> (w. 1388). Jadi Suhrawardi datang setelah pemilahan

metode penalaran dan dhawq mencapai puncaknya. Lihat H{asan H{anafi>, Dira>sa> t Isla>miyyah

  

Mohammad Muslih, Konstruksi Epistemologi 303

  Disebut cerdas, tidak saja karena al-Suhawardi telah menulis sekitar 50 judul buku dalam bahasa Arab dan Persia, dan sebagian besar telah 8 sampai kepada kita, meski masa hidupnya terbilang pendek, namun lebih dari itu buku-buku itu merupakan karya yang utuh. Disebut punya ‘pikiran nakal’, karena biasa nya para sufi hidupnya sederhana, men- jauhi gemerlap dunia, Suhrawardi malah tinggal di istana, memenuhi 9 undangan Malik al-Z}a>hir, seorang putra Sultan S}ala>h} al-Di>n al-Ayyu>bi>.

  Arti nya menjadi sufi tidak harus meninggalkan kehidupan keduniaan. 10 Tampaknya hal ini yang kemudian dilakukan Jala>l al-Di>n al-Ru>mi>.

  Ada sebuah teori bahwa pengetahuan intuitif atau lebih tepat nya ‘pilihan’ hidup sufistik itu adalah personal experience dalam arti peng- alaman pribadi. Jika pengalaman demikian ‘diberlakukan’ pada diri- nya sendiri dengan menyadari bahwa hal itu terjadi pada dirinya tanpa disangka-sangka, maka tidak akan menimbulkan per soalan, misal n ya apa yang dialami oleh Abu> Yazi>d al-Bast}ami>. Sebaliknya akan menjadi masalah besar, jika pengalaman itu kemudian disulap menjadi sebuah ajaran (kefilsafatan), bahkan dalam banyak kasus, nasib pelakunya kemudian berakhir di tiang gantungan atau tebasan pancung oleh penguasa, seperti yang di alami oleh al-H}alla>j, al-Sumatrani>, Syekh Siti Jenar, dan lain-lain. Inilah barangkali yang dialami juga oleh Suhrawardi, 11 makanya ia dijuluki al-Maqtu>l atau al-Shahi>d, yaitu hanya karena ajaran- ajarannya yang bercorak mistiko-filosofis (bahasa Azra) itu dianggap menyeleweng dari mainstream yang bersifat heterodoks (C.E. Farah)

  Kecuali personal experience seperti dinyatakan di atas, pilih an hidup mistik lahir sebagai efek samping dari ‘kejenuhan’ formalis- 8 Seyyed Hossein Nasr, 9 Three Muslem Sages (New York: Caravan Book), 56. 10 Ibid., 57.

  Mulyadhi Kertanegara, “Peran Agama dalam Memecahkan Problem Etniko-

Religius: Perspektif Islam”, makalah disampaikan pada Seminar Sehari “Reaktualisasi

Agama dalam Konteks Perubahan Soasial” UGM, Yogyakarta, 23 Agustus 2001. 11 Disebut demikian karena ia mati terbunuh atau dihukum mati. Menurut catatan

Seyyed Hossein Nasr. Ketika ia menerima tawaran Malik al-Z{a>hir untuk tinggal di istana.

  

Pamornya menjadi menurun, terutama di kalangan ulama. Mereka menuntut agar al-

Suhrawrdi> dihukum mati, tetapi Malik al-Z}a>hir menolak. Mereka lalu mendekati S}ala>h} al-

Di>n al-Ayyu>bi> yang kemudian mengancam akan menurunkan anaknya, kecuali jika ia mau

mengikuti aturan para ulama. Suhrawardi> kemudian dipenjarakan dan pada tahun 587/1191

  Al-Tahrir, Vol. 12, No. 2 November 2012 : 299-318

  304 me (Mukti Ali, Simuh, Annimarie Schimmel, dll mengakui hal ini). Jenuh, karena –seakan- hanya ada satu logika (dalam hidup ini) yang di sebut logika

  ‘monster’, yaitu suatu kerangka berpikir umum di mana

  seseorang sulit untuk menghindar dan melepaskan diri dari logika itu, se akan tidak ada pilihan lain, baik dalam berpikir, ber sikap maupun ber tindak. Jenuh dalam pengertian seperti inilah yang dialami oleh H} asan al-Bas}ri>. H}asan al-Basri, sebagaimana di maklumi, memilih hidup sebagai

  za>hid atau ‘a>bid karena ‘jenuh’ terhadap formalisme, dalam hal

  ini, perdebatan yang berlarut-larut di sekitar suksesi sepeninggal ‘Ali> ibn Abi< T{a>lib, yang sudah tentu disertai dengan klaim-klaim teologis 12 dan hukum.

  Dalam sejarah pemikiran Suhrawardi tampak jelas, logika Peripatetik rupanya merupakan satu-satunya model kerangka ber- pikir kala itu. Inilah logika monster itu. Bagi Suhrawardi logika ini mem punyai banyak kelemahan. Inilah yang menjadi keprihatin - an Suhrawardi. Meski perlu dipahami bahwa pemikiran Suhrawardi me miliki sejarah yang cukup panjang; perihal pendidikan, beberapa 13 14 guru, dan aliran filsafat yang mempengaruhinya, bahkan ia pun 15 me lakukan meditasi dan berkhalwat, namun harus diakui bahwa puncak dari semua itu adalah ingin mendobrak kejenuhan logika Peripatetik dengan segala karakteristiknya itu. Menurut Hossein Ziai, per soalan logika illuminasi --yang merupakan ‘penyerangan’ terhadap logika Peripatetik ini-- adalah persoalan paling krusial dalam filsafat 16 Ishra>qiyyah ini. “Mengkaji filsafat illuminasi tidak dapat mengabaikan 12 Simuh,

  Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Yogyakarta: Rajawali Press, 1997), 25 dan Annimarie Schimel,

  Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, et al. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 35. 13 Konon, mula-mula ia belajar di bawah bimbingan Majd al-Di>n Ji<li> di Maraghah, dan

kemudian belajar pada Z}a>hir al-Di>n di Isfahan serta Fakhr al-Di>n al-Mardini> (w. 1198), yang

diduga sebagai gurunya yang paling penting. Gurunya yang lain adalah Z}a>hir al-Fa>risi>, seorang

ahli logika dan al­bas}a>’ir. Suhrawardi> juga berguru pada ‘Umar ibn Sahla>n al-Sa>wi>, seorang filosof dan ahli logika. Lihat Muh}ammad ‘Ali> Abu> Rayya>n,

  Us}u>l al­Falsafah al­Ishra>qiyyah ‘inda Shiha>b al­Di>n al­Suhrawardi> (Iskandariyah: Da>r al-Ma’rifah al-Ja>mi’ah, t.t.), 19-20. 14 Tentang aliran filsafat yang mempunyai pengaruh terhadap pemikiran Suhrawardi,

mulai dari aliran filsafat Platonism, Aristotelianism, Peripatetik Ibn Si>na> sampai dengan

pengaruh al-Ghaza>li>, dll.

  Ibid., 71-119.

  

Mohammad Muslih, Konstruksi Epistemologi 305

17

  logika illuminasi,” demikian Ziai. Poin inilah yang menjadi fokus pembicaraan artikel ini.

  

DISKURSIF DAN INTUITIF: METODE DASAR FILSAFAT

  ISHRA>qIYYAH

  Filsafat diskursif merupakan sikap, metodologi, dan bahasa teknis filsafat, yang kebanyakan (tapi bukan semua) diasosiasikan dengan karya-karya Peripatetik. Istilah-istilah seperti

  bah}th, al­h}ikmah al­bah}thiyyah, t}ari>q al-mashsha> ’i>n, semua menunjuk pada filsafat ini. Yang signifikan bagi

  Suhrawardi bukanlah penolakan

  bah}th itu, tetapi justru peng gabung an

bah}th yang diformulasi dalam filsafat illuminasi dan di rekonstruksi-

18 nya. Inilah yang, menurut Suhrawardi, di ambil dari tradisi Peripatetik.

  Adapun filsafat intuitif, menurut Suhrawardi, adalah metode dan titik berangkat bagi rekonstruksi filsafat, termasuk sasaran filsafat illuminasi dan dimasukkan sebagai suatu sistem yang sempurna. Untuk menunjuk filsafat intuitif ini, istilah yang digunakan seperti

  dhawq, al­h}ikmah al­

dzawqiyyah, al­‘ilm al­h}ud}u>ri>, dan al­‘ilm al­shuhu>di>, meski ada beberapa

  per bedaan. Metode ini yang ‘diklaim’ Suhrawardi sebagai temuan nya 19 dan sekaligus melengkapi kekurang an metode 20 bah}th Peripatetik.

  Menurut Ziai, Suhrawardi secara jelas menegaskan bahwa filsafat diskursif adalah unsur penting filsafat intuitif; hanya dengan sebuah kombinasi yang sempurna dari dua metodologi itu yang akan mem- bimbing ke arah kebijaksanaan sejati (h}

  ikmah), yang menjadi tujuan

  filsafat illuminasi. Ciri utama metode diskursif Peripatetik adalah apa yang sekarang kita kenal dengan logika formal, yang menuntut ke- benaran proposisi. Menurut logika ini pengetahuan yang benar dapat 21 di cari (mat} meski tentang sesuatu yang tidak/belum tercerap

  lu>b),

  (

  

al­shay’ al­gha>’ib; absent thing). Aplikasi lebih jauh adalah dengan

22

  definisi, dalam arti essensialis (h} Singkat 17 add; essentialist definition). 18 Ibid., 115. 19 Ibid., 14 pada footnote 3. 20 Ibid. 21 Ibid., 22. 22 Ibid., 136.

  Ini juga di antara perombakan Suhrawardi bahwa yang selama ini disebut ta’ri>f oleh

kaum Peripatetik, sebenarnya adalah h}add, yang hanya menekankan kebenaran essensi

  Al-Tahrir, Vol. 12, No. 2 November 2012 : 299-318

  306 kata, sesuatu itu dapat diketahui, dengan cara mendefinisikannya dengan benar, maka ada dikenal syarat-syarat definisi yang benar).

  Inilah proses “tahu” menurut filsafat Peripatetik.

  Menurut Suhrawardi, dengan cara seperti itu pengetahu an mungkin 23 dapat dicari tapi belum tentu dapat diperoleh (h} Pengetahu an,

  us}u>l).

  baru dapat diperoleh, dengan terlebih dulu subjek menyadari tentang 24 ke-diri-annya ( dan menjalin hubung an

  ana’iyyah; self­consciousness)

  langsung (

  fus}u>l) dengan objek (al­shay’ al­h}a>d}ir). Dengan demikian,

  baik subjek maupun objek di syaratkan sama-sama hadir. Peroleh an ilmu semacam inilah yang dimaksud dengan

  ilmu h}ud}u>ri> (knowledge

by presence). Di samping itu, keduanya (subjek dan objek ‘tahu’) harus

  berada dalam terang cahaya (

  nu>r). Dengan metode seperti ini realitas

  dapat diperoleh apa adanya (what it is) atau kuiditas (ma>hiyyah) dengan keseluruhan maknanya sebagaimana adanya (as it is). Filsafat Ishra>qiyyah, dengan demikian, tidak sepenuhnya menolak teori-teori dalam filsafat Peripatetik, tetapi dengan melihat beberapa ke lemah an kemudian disempurnakan dengan metode intuitif. Per soalan nya, kapan metode diskursif itu digunakan dalam filsafat illuminasi?; dan penge- tahuan yang bagaimana yang dimaui oleh filsafat Isyraqiyah? Persoalan ini akan dijawab berikut ini.

PROBLEM VALIDITAS PENGETAHUAN

  

“Untuk pertama kalinya, saya tidak memperoleh (fisafat illuminasi)

ini dengan pikiran, namun melalui sesuatu yang lain” (Opera II, hal.

25

  10). Ini merupakan pernyataan metodologis Suhrawardi yang paling eksplisit, yang selanjutnya mengundang komentar dari para pen-syarah. Misalnya, Shams al-Di>n al-Shahrazuri> meng anggap “sesuatu yang lain” (amr a>

  khar) sebagai visi (mushāhadah) dan ilham pribadi (muka>shafah),

  Qut}b al-Di>n al-Shi>razi> meng anggapnya sebagai ilham dan intuisi (dhawq atau rasa) personal khas para filosof illuminasi, dan Muh}ammad Shari<f Niz{a>m al-Di>n al-Harawi> menilainya sebagai inspirasi, ilham, dan intuisi 26 personal. Dari beberapa komentar di atas jelas bahwa dalam filsafat illuminasi, pengetahuan dapat diperoleh dengan meng gunakan metode 23 24 Ibid., 141.

  Ibid., 117.

  

Mohammad Muslih, Konstruksi Epistemologi 307

  intuitif. Perolehan ilmu demikian inilah yang kemudian dapat dijelas kan dengan menggunakan metode diskursif.

  Pengetahuan, menurut Suhrawardi, adalah pengetahuan yang 27 benar-benar tahu. Istilah yang dipakainya adalah yaqini> atau h}aqiqi>

  ,

penge tahuan yang sudah sampai pada tingkat h}aqq al-yaqi>n, bukan ‘ayn

al-yaqi> n, apalagi ‘ilm al-yaqi>n. Sementara penge tahuan yang hanya

  sampai pada ‘ilm al-yaqi>n bukanlah penge tahuan dalam arti ‘ilm, tetapi hanya idra>

  k (persepsi). Meskipun idrak sendiri mempunyai beberapa 28

  tingkatan, yaitu idra> Klaim Suhrawardi

k bi al­h}iss dan idra>k bi al­‘aql.

bahwa pengetahuan yang dicari melalui definisi, sebagaimana pada metode diskursifnya Peripatetik, hanyalah sampai pada idra> 29

  k, belum

‘ilm. Kebijaksanaan, pada dasar nya diperoleh melalui illmuninasi

  (

Ishra>qiyyah) dan sebagian di bimbing dengan memperkenalkan logika.

Karenanya, dalam pandang an ini intuisi, inspirasi, dan wahyu adalah alat-alat yang di ketahui sebelum investasi logis dan sebagai dasar bagi elaborasi penge tahuan selanjutnya, dan lebih jauh berperan sebagai 30 langkah pertama dalam membangun ilmu yang benar.

  Suhrawardi menegaskan bahwa kognisi (konsepsi/pemikiran) atau persepsi atas sesuatu yang tidak ada (

  al­shay’ al­gha>’ib) bisa

  saja terjadi, yaitu ketika idea realitas sesuatu itu sudah diperoleh, 31 yaitu oleh subjek mengetahui. Ketika idea sesuatu diperoleh, kesan atau pengaruh yang nampak dalam wujud seseorang yang me mahami, 32 memantulkan keada an pengetahuan yang dicapainya. Di sinilah sekali lagi perbedaan antara Peripatetik yang menghasilkan penge- tahuan formal (al-‘ilm al-s}

  u>ri>) dengan illuminasi yang menekan kan 33

  ke hadiran (al-‘ilm al-ishra>qi> al-h} Penge tahuan illuminasi, ud}u>ri>).

  • berbeda dengan pengetahuan model Peripatetik yang meng ambil bentuk
  • 27 konsepsi kemudian konfirmasi-- bukan lah pengetahuan 28 Ibid., 54.

      Abu> Rayya<>n, Us}u>l, 306 dan 316; dan ada beberapa literatur yang menyebut idra>k bi al-h}iss, idra> 29 k bi al­fahm, dan idra>k bi al­‘aql.

      Argumen Suhrawardi: Ȃ ǿ ƯǸǯ ǽ ƾǿƯnjȇ ȏ ǺǸdz Ǿ Ǩ ȇ ǂ Ǡ ƫ ǺǰǸȇ ȏ , lihat Ziai, 30 Knowledge, 133. 31 Ibid., 44

      ǮȈ ǧ Ǿ Ƭ Ǭ Ȉ Ǭ Ʒ DZƯư Ƿ DZȂǐƸƥ ǭơ ǁ ƽơ Ȃǿ 32 Ibid., 140 dan terutama footnote 4: Ibid., 61.

      Al-Tahrir, Vol. 12, No. 2 November 2012 : 299-318

      308 34 predikatif. Pengetahuan illuminasi didasar kan pada adanya hubung- an yang diperoleh, dengan tanpa ekstensi waktu atau terjadi dalam waktu yang sangat singkat, antara “objek” yang hadir dan “subjek” yang mengetahui, dan ini diyakini Suhrawardi sebagai jalan yang paling valid bagi pengetahuan.

      Suhrawardi menganggap pengetahuan bergantung pada hubung an antara subjek dan objek. Argumentasinya, bahwa esensi se suatu pertama- tama harus diperoleh oleh subjek, baru kemudian se suatu dapat diketahui, jika tidak demikian, keadaan subjek ber arti men dahului dan sesudah itu menjadi sama, yang tak sesuatu pun dapat disebut telah diperoleh. Karena- nya, keadaan (respon psikologis) subjek terhadap objek merupakan salah satu faktor yang mem batasi apakah pengetahuan itu diperoleh atau tidak. Kondisi subjektif atas pengetahuan dengan pengalaman, kehadiran dan intuisi ini sebenar nya bukan merupakan bagian dari teori predikatif dan 35 formal Peripatetik tentang pengetahuan. Harus terdapat korespondensi yang sempurna antara “idea” yang diperoleh dalam subjek dan objek. Hanya korespondensi itu yang dapat menunjukkan bahwa pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya dapat diperoleh. Ini berarti, untuk memperoleh pengetahuan, maka suatu bentuk “kesatuan” harus dibangun antara subjek dan objek, dan keadaan psikologis subjek merupakan faktor yang menentukan dalam membangun kesatuan ini. Kesatuan subjek dan objek diperoleh dalam diri orang yang mengetahui dengan melakukan penyadaran diri, dan ini dapat terjadi karena tidak ada keterpisahan dalam realitas, tetapi hanya gradasi manifestasi esensi. Dengan kata lain, pengetahuan illuminasi didasarkan pada kesatu an antara subjek dan objek dengan cara “idea” 36 objek diperoleh dalam ke sadaran-diri subjek.

    STRUKTUR FUNDAMENTAL LOGIKA ILLUMINASI

      Seperti dijelaskan di atas, bahwa pengetahuan tentang sesuatu tidak akan dapat diperoleh dengan cara mendefinisikannya, dalam arti esensialis. Apa yang dilakukan kaum Peripatetik hanyalah reduksi atau pembatas an terhadap genus (

      jins). Suatu organisme mustahil di ketahui hanya dengan

      mendekatkan antara yang substansi dan yang aksidensi; antara genus (

      jins)

      dengan diferensia (fas}l) karena

      ta’ri>f hanya bisa terjadi dengan perantara

      

    Mohammad Muslih, Konstruksi Epistemologi 309

      benda-benda yang meng khususkan totalitas suatu benda ( 37 ijtima>), yaitu ke seluruhan organik. Menurut Suhrawardi, “bahkan kesulitan itu 38 juga diakui oleh guru kaum Peripatetik sendiri (Aristoteles).” Sejalan dengan itu, untuk dapat mendefinisikannya, maka sesuatu itu harus lebih dulu dispesifikasi, yaitu sesuai dengan sesuatu yang nampak lebih 39 jelas. Inilah sebagian gagasan epistemologi illuminasi tentang menge- tahui sesuatu berdasarkan “melihat” sesuatu sebagaimana ada nya, maka logika Illuminasi tidak hanya benar secara formal tetapi juga material.

      Pengetahuan model mant}iqi> Peripatetik yang digali dari proses h}

      

    add (pembatasan), meningkat ke proposisi (al-qad}iyyah), lalu silogisme

      (al-istidla>l) ternyata hanya sampai pada persepsi. Dengan kerangka keilmuan seperti itu ternyata esensi objek belum ter tangkap, sekali- pun objek fisik, apalagi objek metafisik. Sebaliknya, filsafat illuminasi Suhrawardi bertumpu pada “kesadaran diri” atau yang di sebutnya dengan ana>

      ’iyah (ke-aku-an) yang juga bersifat intuitif. Bersandar kan

      pada ana>

      ’iyah yang bersifat intuitif itu, Suhrawardi mengkritik model

      pengetahuan diskursif-rasionalistik Peripatetik. Menurut Suhrawardi, dengan cara seperti itu pengetahuan mungkin dapat “dicari” tapi 40 belum tentu dapat “diperoleh”. Pengetahuan, baru dapat diperoleh, dengan terlebih dulu subjek menyadari tentang kediriannya (ana> 41 ’iyah; dan menjalin hubung an langsung (

      

    self­consciousness) fus}ūl) dengan

      objek (

      al­shay’ al­h}a>d}ir). Dengan demikian, baik subjek maupun objek

      di syaratkan sama-sama hadir. Perolehan ilmu semacam inilah yang dimaksud dengan ilmu h}

      ud}ūri> (knowledge by presence). Di samping itu,

      keduanya (subjek dan objek ‘tahu’) harus berada dalam terang cahaya (

      

    nūr). Dengan metode ini, realitas diperoleh apa adanya atau kuiditas

    dengan keseluruhan maknanya sebagaimana adanya.

      Berbeda dengan pengetahuan Peripatetik, yang mengambil bentuk

      konsepsi kemudian konfirmasi, pengetahuan illuminasi bukan- 42

      lah pengetahuan predikatif. Pengetahuan illuminasi didasarkan pada adanya hubungan yang diperoleh, dengan tanpa ekstensi waktu atau terjadi dalam waktu yang sangat singkat, antara “objek” yang hadir 37 38 Ibid. 39 Ibid., 78 dikutip dari Suhrawardi, Opera II, 21.

      Ibid., 65.

      Al-Tahrir, Vol. 12, No. 2 November 2012 : 299-318

      310 dan “subjek” yang mengetahui, dan ini diyakini Suhrawardi sebagai jalan yang paling valid bagi pengetahuan.

      Suhrawardi menganggap pengetahuan bergantung pada hubung- an antara subjek dan objek. Argumentasinya, bahwa essensi se suatu pertama-tama harus diperoleh oleh subjek, baru kemudian sesuatu dapat diketahui, jika tidak demikian, keadaan (

      hāl) subjek ber arti men-

      dahului dan sesudah itu menjadi sama, yang tak sesuatu pun dapat disebut telah diperoleh. Karenanya, keadaan (respon psikologis) subjek terhadap objek merupakan salah satu faktor yang mem batasi apakah pengetahuan itu diperoleh atau tidak. Kondisi subjektif atas penge- tahuan dengan pengalaman, kehadiran dan intuisi ini sebenar nya bukan merupakan bagian dari teori predikatif dan formal Peripatetik tentang 43 pengetahuan. Harus terdapat korespondensi yang sempurna antara “idea” yang di peroleh dalam subjek dan objek: hanya korespondensi itu yang dapat menunjukkan bahwa pengetahuan tentang sesuatu se bagaimana ada nya dapat diperoleh. Ini berarti, untuk memperoleh penge tahuan, suatu bentuk “kesatuan” harus dibangun antara subjek dan objek, dan ke adaan psikologis subjek merupakan faktor yang menen tukan dalam mem bangun kesatuan ini. Kesatuan subjek dan objek diperoleh dalam diri orang yang mengetahui dengan melakukan penyadaran diri, dan ini dapat terjadi karena tidak ada ke terpisahan dalam realitas, tetapi hanya gradasi manifestasi esensi. Dengan kata lain, pengetahuan illuminasi didasarkan pada kesatu an antara subjek dan objek dengan 44 cara “idea” objek diperoleh dalam “kesadaran diri-subjek”. Prinsip yang diajukan Suhrawardi adalah bahwa untuk dapat di- ketahui, sesuatu harus terlihat (dalam arti

      mushāhadah) sebagaimana

      adanya ( kama> huwa), khususnya jika sesuatu itu benda tunggal (basi>t}). Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh seseorang yang me- lihat sesuatu sebagaimana adanya akan memungkinkan nya tidak

      45

      me merlukan lagi definisi, istaghna>

       ‘an al­ta’rīf, dalam arti “bentuk

      46

    sesuatu dalam pikiran adalah sama bentuknya dalam persepsi indra.”

    Argumen ini memberikan suatu perubahan antara apa yang disebut

    43 44 Ibid., 142.

      Ibid., 143.

      

    Mohammad Muslih, Konstruksi Epistemologi 311

    pendekatan mental terhadap pengetahuan dengan pendekatan yang

    menekankan “visi” langsung terhadap esensi se suatu yang nyata dan

    menegaskan bahwa pengetahuan disebut valid hanya jika objek­objek­

      47

    nya “dirasakan.” Kesatuan antara subyek tahu dan objek tahu dalam

    kesadaran intuitif yang ber sifat mental disertai visi inilah sebenar nya

    prinsip pengetahuan fenomenologi dalam terang ilmu h}ud}u>ri>.

      Sejalan dengan itu, untuk dapat mendefinisikannya, sesuatu itu harus lebih dulu dispesifikasi, yaitu sesuai dengan sesuatu yang 48 nampak lebih jelas. Maka konsep sesuatu, “kursi” misalnya, se- bagaimana diakui oleh Peripatetik, tidak pernah ada. Karena itu tidak lebih dari konsep formal yang diciptakan dengan menyingkir- kan sifat partikularnya. Berbeda dengan itu, logika Illuminasi tidak ter batas oleh kategori (ten categories) dan sebaliknya menekan- kan pada tangkapan essensi sesuatu itu. Oleh karena itu, menurut penulis, manusia tidak mungkin mengetahui “kursi”, tetapi mereka menge tahui “kursi ini” atau “kuda balap”, dan lain-lain. Inilah yang di maksud dengan “mengkhususkan totalitas sesuatu”.

      Untuk dapat mempunyai pengetahuan yang meyakinkan (al-

      

    ma’rifah al­mutayaqqinah) tentang sesuatu, keseluruhan esensi (al-

    jami>’ al­dha>tiyyat) harus diketahui. Ini tidak dapat dilakukan hanya

      dengan proses mengurangi secara khas esensi-esensi (diferensia) sesuatu, karena bisa jadi masih terdapat berbagai sifat ‘tersembunyi” (

      

    ghayr z}a>hirah) yang berhubungan dengan sesuatu, karena tidak

    49

      mungkin membuat uraian yang sempurna. Hal inilah yang tidak dilakukan oleh Peripatetik. Seperti tampak dengan konsep “manusia”, mereka mendefinisikannya dengan “hewan yang berakal.” Menurut Suhrawardi, kemampuan manusia menalar adalah aksidental dan

      

    posterian terhadap realitas manusia, dan karenanya “hewan yang ber-

      fikir” tidak menunjukkan esensi manusia. Ini berarti bahwa formula bagi definisi esensialis tentang manusia hanya valid secara formal, dan hanya sesuai dengan kaum Peripatetik. Kenyataan nya, formula ini adalah sebuah

      tautologi, dan tanpa nilai nyata (real value) bagi

      sese orang yang berusaha mengetahui wujud manusia, yang diketahui, 50 yaitu idea “manusia.” 47 Ibid., 133 dikutip dari Suhrawardi, Opera II, 42, 134-135.

      Al-Tahrir, Vol. 12, No. 2 November 2012 : 299-318

      312 Suhrawardi mengemukakan dasar-dasar pandangannya mengenai bagaimana pengetahuan diperoleh. Sesuatu yang tunggal, yaitu se suatu yang esensinya satu dan tidak tersusun dari dua unsur atau lebih, bagi Peripatetik, adalah hal-hal yang tidak diketahui, namun bagi penganut illuminasi hal itu dapat diketahui. Menurut Ziai, Suhrawardi meng awali dengan sebuah contoh. “Hitam,” tegas nya adalah “suatu wujud tunggal” (

      

    shay’ wa>h}id basi>t}) yang jika di ketahui sebagaimana adanya, tidak mem-

      punyai bagian-bagian. “Hitam” tidak dapat didefinisi kan sama sekali 51 oleh orang yang tidak me lihat sebagaimana adanya. Arti nya, jika benda tunggal “hitam” tersebut terlihat, ia dapat diketahui; se baliknya jika tidak, maka tidak ada definisi tentangnya yang dapat menggambar kan penge tahuan tentangnya secara keseluruhan atau secara benar. Tuntut an Suhrawardi bahwa hal ini merupakan entitas tunggal, bukan majemuk adalah sesuai dengan pandangan Peripatetik. Tetapi pandangan nya yang men syaratkan subjek harus memahami ke seluruhan objek agar dapat di ketahui ini berasal dari proposisi umum bahwa pengetahuan tentang sesuatu terletak pada hubungan antara objek dan subjek yang menge- tahui dan seterusnya.

      Pengetahuan ini menuntut subjek yang mengetahui berada dalam posisi tempat pengetahuan tersebut; memahami benda

      secara langsung,

      dengan cara menghubungkan pandangan, sebagai suatu pertemuan aktual antara subjek yang melihat dan objek yang ter lihat; suatu hubung an antara dua hal tanpa halangan apa pun, dan yang diperoleh adalah hubungan antara keduanya. Jenis “hubungan illuminasi” (id}

      āfah

    ishra>qiyyah) inilah yang mencirikan pandang an Suhrawardi mengenai

      dasar pengetahuan.

      Bagi Suhrawardi, sesuatu yang tidak memerlukan definisi dan pen jelasan maka berarti sesuatu itu jelas, terang dengan sendirinya. Dalam kenyataannya, tidak ada sesuatu yang lebih terang dan lebih 52 jelas daripada cahaya. Dalam pandangan Suhrawardi, cahaya tidak me merlukan definisi, sebab tujuan dari pemberian definisi adalah untuk menerangkan sesuatu. Suhrawardi membagi cahaya ke dalam dua bagian: cahaya temaram ( 51 nu>r al­’a>rid{) dan cahaya murni (nu>r al-

      Ȃǿ ƯǸǯ ǽ ƾǿƯnjȇ ȏ ǺǸdz Ǿ Ǩ ȇ ǂ Ǡ ƫ ǺǰǸȇ ȏ (tidak mungkin mengenalnya bagi orang yang tidak menyaksikan sebagaimana adanya).

      

    Ibid.

      

    Mohammad Muslih, Konstruksi Epistemologi 313

    53 Adapun sesuatu yang bukan cahaya dibagi mujarrad, nu>r al-mahd}i>).

      ke dalam al­jawhar al­jisma>ni> al-gha>siq dan al­hay’ah az}­z}ulma>niyyah. Cahaya temaram ialah cahaya yang tidak man diri. Ia berhajat kepada lokus lain, seperti

      al­’anwa>r al­mujarrada>t al­’aqliyyah, atau jasad-jasad

      yang memiliki cahaya, sedang kan cahaya murni ialah cahaya yang ber- diri sendiri, mandiri dengan dzatnya sendiri. Adapun yang dimaksud al-

      

    jawhar al­jisma>ni> al-gha>siq ialah sesuatu yang tidak memiliki cahaya

      dalam dirinya

      , jasad gelap yang tidak memiliki cahaya, terangnya bukan karena dzatnya, melainkan karena datangnya cahaya dari yang lain.

      Sementara

      al­barzakh adalah pembatas antara dua hal. Jasad yang tebal

      dapat dijadikan sebagai pembatas, sehingga 54 al­jism dinamakan juga al-

    barzakh yang dapat dikenali posisinya. Al­jism merupakan barzakh,

    sedangkan

      barzakh sendiri ialah sesuatu yang tidak mempunyai cahaya

      dalam dirinya. Karena itu, 55 al­jism senantiasa memerlukan cahaya murni.

      Menurut Suhrawardi, setiap cahaya yang ada pada dirinya merupakan cahaya murni

      . Setiap individu yang mengetahui dzatnya

      sendiri maka ia merupakan

      nur al­mujarrad. Setiap orang tentu tidak

      pernah lalai akan ke diriannya, ia selalu sadar akan dirinya, dan tiap orang berdiri sendiri dalam mengetahui dzatnya sendiri, tanpa me lalui 56 citra dirinya pada dirinya sendiri. Tidak terbayangkan bagi se seorang untuk mengetahui dirinya melalui sesuatu yang melekat pada diri- nya sendiri, karena sesuatu itu merupakan sifatnya sendiri. Jika setiap sifat merupakan bagian dari dzatnya sendiri, (sifat) tahu atau (sifat- sifat) yang lainnya merupakan dzatnya sendiri, maka sese orang akan mengetahui dzatnya sendiri sebelum dia mengetahui sifat- sifat dan hal-hal yang lain, dan seseorang tidak mengetahui dzat nya sendiri me- 57 lalui sifat-sifat yang ada pada dirinya.

      Tiap individu mengetahui dirinya dengan dirinya sendiri, sebab di dalamnya terdapat cahaya murni

      . Jadi, pengetahuan yang sebenar-

      nya ialah pengetahuan yang datang dari dalam, bukan dari luar diri - nya, yaitu pengetahuan mandiri, tanpa campur tangan apa pun selain 53 54 Ibid., 107.

      Ibid., 108. Lihat juga Shams al-Di>n Muh}ammad Shahrazuri>, Sharh} H}ikmah al­Ishra>q, dalam Hossein Ziai (ed.) (Tehran: Institute for Cultural Studies and Research. 1993), 288.

      Al-Tahrir, Vol. 12, No. 2 November 2012 : 299-318

      314 diri nya sendiri. Tiap individu yang mengetahui dzat nya adalah

      nu>r mah}d}, dan tiap nu>r mah}d} adalah terang bagi diri nya dan ia menyadari

      dirinya sendiri, oleh karenanya, yang menge tahui, yang diketahui, dan pengetahuan itu sendiri, di sini menyatu menjadi satu, seperti halnya, akal, yang berpikir, yang dipikirkan, dan pikiran itu sendiri, 58 semuanya adalah satu.

      TUHAN, OBJEK “KENAL” BUKAN OBJEK “TAHU”

      Problem ketuhanan atau lebih tepatnya

      ma’rifatullah merupakan klimaks