PANDANGAN EPISTEMOLOGI DALAM FILSAFAT IL (1)

PANDANGAN
EPISTEMOLOGI DALAM
FILSAFAT ILMU

1. Pengertian Epistemologi
Epistemologi merupakan bentukan dari
dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu :
 Episteme yang berarti pengetahuan,
dan
 Logos yang juga berarti pengetahuan
atau informasi.
Jadi epistemologi adalah pengetahuan
tentang
pengetahuan.

2. Beberapa Pandangan Epistomologi
2.1 Aliran Filsafat dan Epistemologi
Science Modern
2.2 Landasan Al Quran dan Epistemologi
Islami
2.3 Perbandingan Epistemologi

2.4 Pengujian Kebenaran Ilmiah

2.1 Aliran Filsafat dan Epistemologi
Science Modern
1)

Empirisme
 Secara radikal empirisme berpendirian bahwa
sebenarnya kita
hanya bisa memperoleh pengetahuan melalui
pengalaman
dengan menggunakan indra ilmiah.
 Thomas Hobbes, salah seorang penganut empirisme
mengemukakan bahwa empiris (pengalaman)
adalah awal
dari segala pengetahuan. Karena itu semua
diturunkan dari pengalaman.








Tokoh empiris lain adalah John Locke. Ia terkenal dengan teori
Tabula Rasanya. Menurut Locke, rasio manusia pada mulanya
sebagai lembaran kertas putih (as white paper). Apa yang
kemudian mengisinya, seluruhnya berasal dari pengalaman, baik
pengalaman lahiriah (sensation) maupun pengalaman batiniah
(reflection).
George Barkeley adalah tokoh lain empiris yang mengemukakan
teori immaterialisme atas dasar prinsip empirisisme. Menurutnya
sama sekali tidak ada substansi yang bersifat material. Yang ada
hanyalah ciri-ciri yang dapat diamati, atau dengan kata lain,
yang ada hanyalah pengalaman dalam jiwa saja (being is being
perceived).
David Hume tidak menerima konsep mengenai substansi, sebab
menurutnya, apa yang dialami manusia hanyalah kesan-kesan
tentang beberapa ciri yang selalu terdapat bersama-sama


2) Rasionalisme
 Penganut rasionalisme berpandangan bahwa
ia dapat dicapai dengan menggunakan akal
budi (intellect) sebagai sumber utama. Hal
ini didasarkan pada pandangan bahwa pada
dasarnya pengetahuan adalah suatu sistem
dedukatif yang dapat dipahami secara
rasioanal dengan ukuran kebenaran adalah
konsistensi logis.
 Penganut rasionalisme meyakini bahwa
metode rasional yang dedukatif, rasional,
matematis dan inferensial dapat digunakan
untuk mencapai pengetahuan.

3) Kritisisme
 Kritisisme adalah suatu aliran filsafati, yang dalam
epistemologi berupaya menunjukkan jalan untuk
mencapai pengetahuan tanpa harus terjebak dalam
ekstrimitas empirisme dan rasionalisme.
 Menurut Kant, memang benar bahwa kita punya

pengalaman inderawi, tapi sama benarnya juga
bahwa kita mempunyai pengetahuan yang
menghubungkan hal-hal, yang untuk mencapainya,
kita harus keluar menembus pengalaman.
 Bagi Kant, pengetahuan manusia pada dasarnya
terjadi alas unsur-unsur aposteriori (sesudah
pengalaman) dan apriori (mendahului pengalaman)

2.2 Landasan Al Quran dan
Epistemologi Islami
1) Landasan Al Quran
2) Dasar Epistemologi Qurani
Pemikiran dedukatif sederhana mengenai epistemologi Qurani
adalah sebagai berikut :
 Sumber ilmu satu-satunya hanya Allah. Karena pada
hakikatnya hanya Dia yang mengetahui baik alam nyata
maupun alam gaib, dan Dia Maha Pengasih dan Penyayang
(Al Hasyr 22).
 Manusia tidak lahir dalam kedaan berpengetahuan, namun
pada dirinya terkandung potensi internal berpengatuhan

yang dikaruniakan Allah padanya (An Nahl 78).
 Allah Yang Maha Pengasih menciptakan manusia
mengajarkannyaAl Quran, dan mengajarkannya Al Bayaan
(penjelasan-penjelasan) (Ar Rahman 1-4).
 Manusia diperintahkanNya membaca dengan menjadikan
petunjukNya sebagai petunjuk utama sebagai proses
manusia diajarkan ilmu olehNya (Al’Alaq 3-5).

 Bayan atau kejelasan-kejelasan ayat-ayat Allah potensi diperoleh
manusia apabila ia memanfaatkan potensi akalnya (Ali Imran 118).
 Yang memiliki potensi berakal adalah qalb (hati) demikian pula yang
memiliki potensi mengindera secara non-fisik (Al Haj 46).
 Alam semesta dan diri manusia adalah ayat-ayat Allah yang padanya
terkandung potensi pengetahuan yang perlu diperhatikan (Az Zariat
21).
 Alam semesta diperlihatkan oleh Allah kepada manusia hingga jelas
bagi mereka kebenaran yang terkandung dalam Al Quran. Artinya ada
hubungan antara kebenaran yang dinyatakan dalam Al Quran dengan
kebenaran yang dinyatakan dalam alam semesta serta diri manusia
(Fushshilat 53).

 Dalam rangka memperoleh pengetahuan, Allah mengakui keberadaan
orang-orang yang telah memperoleh pengetahuan, yang
pengetahuannya dapat dijadikan acuan untuk pengembangan lebih
lanjut (Al Anbiya 7).
 Manusia diperintahkan agar membaca segala obyek bacaan dengan
berlandaskan Isim RububiyahNya, sehingga setiap fenomena yang
dibaca dapat dimaknai menurut hukum-hukum yang diturunkan dari
sifat RububiyahNya itu (Al Alaq 1-3).

3) Epistemologi Qurani
 Merujuk pada AL Quran untuk membangun suatu pandangan
epistemologi adalah merupakan konsistensi pandangan filsafati
mengenai sumber pengetahuan, yakni Allah adalah Sumber
Pengetahuan. Al Quran adalah petunjuk dari Sumber
Pengetahuan yang ditujukan pada manusia untuk berilmu.
 Allah dengan kemahapemurahanNya, mengajarkan
pengetahuan kepada manusia dengan perantaraan qalam (Q.S
Al Alaq 1-5). Secara epistemologis hal ini dapat dipahami bahwa
manusia potensial memperoleh pengetahuan karena
kepemurahan Allah.

 Al Quran mempertegas adanya fuad sebagai indra batiniah ini,
misalnya melaui, ayat 11 Surah An Najm yang artinya “
Tiadalah berdusta fuad (hati) terhadap apa yang dilihatnya.”
 Ayat tersebut menegaskan kebenaran penginderaan fuad Nabi
Muhammad SAW ketika mengindera dengan cara “melihat”
berbagai fenomenal dari realitas alam gaib, yaitu malaikat Jibril,
Sidratul Muntaha dan Jannatul Ma’wa.

Penginderaan fuad dan penginderaan
indera fisik sebagai berikut :
1.Indera lahiriah mempersepsi fenomena
alam sebagai fenomena fisik, misalnya
benda, unsur, warna dan sebagainya.
2.Fuad sebagai indera qalbu
mempersepsi terwujudnya kualitas dari
sifat-sifat Allah “pada obyek alam fisik
tersebut.

Peranan Akal adalah sebagai berikut :
1. Akal mengarahkan perhatian untuk memahami suatu obyek pemahaman

Pengarahan akal tersebut diterima oleh sistem saraf pusat yang kemudian
mementahkan indera fisik melakukan tindak mempersepsi.
2. Hasil persepsi indera fisik diterima kembali oleh sistem saraf pusat atas
pengarahan akal dan mensistematisirnya dalam kerangka kemungkinan
penalaran untuk kemudia dibuat hubungan-hubungan logisnya.
3. Pemahaman yang terjadi dari hubungan-hubungan logis dilakukan oleh akal.
Artinya, pada tingkat kerja akal (aql, qalb) itulah sesungguhnya pemahaman
itu difinalkan sebagai suatu pengetahuan logis, yaitu pengetahuan yang
menjelaskan seluk-beluk hubungan satuan-satuan konsep pembentuk
pengetahuan.
Dari penjelasan tersebut terlihat betapa perbedaan pengertian mengenai akal
dalam
filsafat science modern dengan filsafat ilmu islami. Jika dalam filsafat science
modern
akal diidentikkan dengan otak, maka dalam filsafat ilmu islami akal adalah qalb
(hati)
yang khusus untuk fungsi pengakalannya disebut aql, dimana otak dipandang
sebagai
pengkonstruksi satuan-satuan pemahaman.


Potensialitas berpengatuhan manusia menurut landasan Al Quran
adalah sebagai berikut :
• Tuhan sebagai Sumber Pengetahuan
• Al Quran sebagai Otoritas Utama
• Indera-Indera Lahir sebagai Alat
• Qalb sebagai Alat dengan 3 potensi :
1. Fuad sebagai “alat” yang bersifat tidak lahiriah, dengan potensi
penginderaannya mengindera dan mempersepsi realitas nonlahiriah.
2. Aql sebagai alat yang bersifat tidak lahiriah dengan potensi
untuk melakukan penalaran terhadap hasil persepsi indera-indera
lahir dan fuad.
3. Lubb sebagai alat yang bersifat tidak lahiriah, dengan potensi
pemahaman untuk memahami dan menghayati makna dalam
totalitas pandangan ontologis, epistemologis dan aksiologis.
• Obyek Pengetahuan itu sendiri
• Manusia lain sebagai Otoritas Kedua

2.3 Perbandingan Epistemologi
 Secara sangat jelas epistemologi science modern
meletakkan pandangan bahwa pencapaian pengetahuan

ilmiah semata-mata merupakan fungsi dari bekerjanya
indera dan akal manusia. Hal ini ditunjukkan oleh filsafat
rasionalisme dan empirisme secara sendiri-sendiri, maupun
oleh kritisisme secara bersama-sama.
 Filsafat science modern hanya meletakkan pengetahuan
ilmiah (ilmu pengetahuan sains) secara sempit dalam
wilayah keterjangkauan indera lahiriah dan/atau
kemampuan rasional manusia.
 Pandangan epistemologi Islami sebenarnya juga meletakkan
pandangan bahwa pengetahuan ilmiah dapat dicapai antara
lain dengan indera dan akal. Akan tetapi penggunaan indera
dan akal tidak ditetapkan secara mutlak berlaku untuk
seluruh obyek pengetahuan, dan indera serta akal itu
sendiri mempunyai pengertiannya yang berbeda secara
mendasar dengan pandangan epistemologi science modern.

 Pertama mengenai indera. Dalam hal ini epistemologi Islami
meletakkan pandangan adanya dua kategori indra yaitu
indera lahiriah dan indera batiniah (indera kalbu) atau fuad.
Indera batiniah (fuad) inilah yang tidak dikenal dalam

epistemologi science modern. Padahal dalam rangka
berpengatahuan, peranan indera batiniah ini sangat jelas,
yaitu untuk mempersepsi realitas non fisik.
 Selanjutnya mengenai akal. Filsafat science modern
mengenai akal identik dengan otak pada manusia dengan
keseluruhan fungsi sistem sarafnya. Apa yang dipahami
science modern sebagai yang masuk akal atau rasional
adalah hubungan-hubungan logis (dedukatif maupun
induktif) yang kemudian dikembangkan pemahamannya.
 Dalam Konsep epistemologi Islami yang telah dikemukakan
di atas, akal adalah sekedar sebuah benda secara
terminologis yang sesungguhnya menunjuk pada qalb
(hati).

2.4 Pengujian Kebenaran Ilmiah
Dalam dunia ilmu dikenal tiga pandangan mengenai pengujian
kebenaran
ilmiah sebagai berikut :
1. Teori Koresponden (Uji Persamaan dengan Fakta)
Menurut teori ini, suatu pernyataan pengetahuan (sepertinya yang
dinyatakan dalam hipotesis) bisa diterima kebenarannya secara
ilmiah apabila ia dapat dibuktikan bersesuaian kebenarannya
dengan obyek empirik yang dinyatakannya.
2. Teori Koherensi (Uji Konsistensi)
Teori ini menyatakan suatu pernyataan pengetahuan dapat
diterima kebenarannya secara ilmiah apabila pernyataan
pengetahuan tersebut menunjukkan koheren dengan teori-teori
ilmiah yang kebenarannya telah diterima sebelumnya.
3. Teori Pragmatik (Uji Kemanfaatan)
Teori ini menilai kebenaran suatu pernyataan pengetahuan secara
ilmiah apabila pernyataan pengetahuan tersebut memang
potensial digunakan untuk memecahkan berbagai permasalahan
kehidupan secara berguna.