FILSAFAT ILMU DALAM KONTEKS FILSAFAT SEJ

FILSAFAT ILMU DALAM KONTEKS FILSAFAT SEJARAH

A. PENDAHULUAN
Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia dewasa ini, tidak terlepas
dari peran ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu
sesungguhnya berjalan seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu.
Tahap-tahap itu kita menyebut dalam konteks ini sebagai priodesasi sejarah
perkembangan ilmu; sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern
dan zaman kontemporer. Kemajuan ilmu dan teknologi dari masa ke masa ibarat
mata rantai yang tidak terputus satu sama lain. Semua kemajuan tersebut adalah
buah dari perkembangan ilmu pengetahuan yang tak pernah surut dari pengkajian
manusia.
Pengetahuan berawal dari rasa ingin tahu kemudian seterusnya berkembang
menjadi tahu. Manusia mampu mengembangkan pengetehuan disebabkan oleh
dua hal utama; yakni, pertama manusia mempunyai bahasa yang mampu
mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi
tersebut.

Kedua, yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan

pengetahuannya dengan cepat adalah kemampuan berfikir menurut suatu alur

kerangka berfikir tertentu, (Husnan Sulaiman, & Munasir, 2009).
Filsafat itu adalah sebuah proses berfikir. Namun tidak semua berfikir bisa
disebut filsafat. Sebab, inti filsafat adalah pemikiran yang mengunakan nalar.
Filsafat juga dapat diisebut pandangan hidup seseorang atau kelompok orang
yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat
juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam
memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dalam segi yang
luas yang menyeluruh dengan segala hubungan, (Suwardi Endaswra, 2012, Hal :
1).
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran
manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak
didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan,
tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu,

memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari
proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika, (Irmayanti
Meliono, dkk, 2007:1)
Berdasarkan konsepsi tersebut di atas, maka penulis berpandangan bahwa
filsafat itu sebagai upaya menjinakan akal budi untuk hakekat akhir dan nyata
yang ada. Bisa pula diartikan, sebagai upaya spekulatif yang menyajikan

pandangan yang benar, sismatis, lengkap untuk seluruh realitas dunia dan isinya.
Pandang dari filsafat diamaksudkan agar setiap orang dapat bijaksana dalam
memandang kebenaran ilmu pengetahuan dengan akal dan pikiran mereka secara
sehat. Namun dalam pandangan yang dimaksud dalam tulisan ini, bukan hanya
filsafat dipandang dalam pandangan ilmu atau dalam istilah spesifikasi filsafat
disebut filsafat ilmu, tetapi akan dipandang pula dari segi filsafat ilmu dalam
konteks filsafat sejarah.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Filsafat
Secara etimologi, kata filsafat berasal dari kata pilo atau filein yang
berarti cinta, dan Sophia atau shopos yang berarti kebijaksanaan atau cinta
kebenaran. Jadi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau cinta kebenaran.
Kebijaksanaan disini tidaklah mempunyai arti yang persis sama dengan

kebenaran dalam pengertian sehari-hari. Kebijaksanaan artinya kebenaran
yang diambil berdasarkan pertimbangan yang mendalam, sismatis, dan
komprehensip; kebenaran yang didalamanya ada unsur kearifan (wisdom);
kebenaran yang tidak hanya hasil pikiran yang jernih, tetapi juga dilandasi
pertimbangan suara hati (kalbu) atau insan kamil. Demikian pula dengan

cinta. Cinta maksudnya ialah menghendaki, ingin menyatu dengannya,
bahkan merindukan dan melindunginya.
Sedangakan secara terminologi

(istilah)

sebagimana

yang

dikemukanakan Poedjawijatna, bahwa filsafat adalah pengetahuan yang
berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatau yang
berdasarkan akal pikiran belaka.” Sementara itu, Hasbullah Bakry,
mengatakan, filsafat adalah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala
sesuatu yang mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia
sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya
sejauh yang dapat dicapai akal manusia, dan sikap manusia seharusnya setelah
mencapai pengetahuan itu.” (Abd. Rahman Pilang, 2003:1-2).
Dari kedua pendapat ahli tersebut menjelaskan suatu hal yang penting
bahwa filsafat adalah pengetahuan yang diperoleh dari berfikir. Memang cirri

khas filsafat adalah pengetahuan yang diperoleh dari berfikir (yang logis,
tetapi tidak empiris).

2. Filsafat Ilmu
Ahmad Supardi Hasibuan (2010), Filsafat Ilmu sebagaimana dimaksud
di atas adalah bertugas memberi landasan filosofis untuk minimal memahami
berbagai konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu, sampai membekalkan
kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Secara substantif fungsi
pengembangan tersebut memperoleh pembekalan dari disiplin ilmu masingmasing, agar dapat menampilkan substantif. Selanjutnya secara teknis
diterapkan dengan dibentuk metodologi, pengembangan ilmu dapat

mengoperasionalkan pengembangan konsep tesis, dan teori ilmiah dari
disilpin ilmu masing-masing.
Dengan demikian maka Filsafat Ilmu akan sangat menambah wawasan
bagi yang menggelutinya, artinya orang yang mendalami filsafat ilmu akan
berwawasan luas, baik dalam arti filosofik, teoritik, metodologic, maupun
teknis operasional.
3. Filsafat Sejarah
Dikatakan oleh Ibn Khaldun bahwa dalam hakekat sejarah, terkandung
pengertian observasi (nadzar), usaha untuk mencari kebenaran (tahqiq), dan

keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal benda maujudi, serta
pengertian dan pengetahuan tentang substansi, essensi, dan sebab-sebab
terjadinya peristiwa. Dengan demikian, sejarah benar-benar terhunjam berakar
dalam filsafat, dan patut dianggap sebagai salah satu cabang filsafat.
Selanjutnya pada bagian yang lain, yaitu pada bagian satu kitab al-Ibar,
Ibn Khaldun mengatakan: Ketahuilah, bahwa pembicaraan tentang persoalan
ini adalah barang baru, luar biasa, dan sangat berguna. Penelitian dan
penyelidikan yang mendalam telah menemukan ilmu tersebut. Ilmu
pengetahuan ini tidak ada hubungannya dengan sama sekali dengan retorika,
yaitu seni bicara yang meyakinkan dan berguna untuk mempengaruhi orang
banyak. Juga tidak ada hubungannya dengan ilmu politik, sebab ilmu politik
berbicara tentang mengatur rumah tangga atau kota, sesuai dengan ajaran
etika dan hikmah-hikmah kebijaksanaan, supaya masyarakat mau mengikuti
jalan menuju ke78 arah pemeliharaan keturunan. Dua jenis ilmu pengetahuan
ini memang menyerupai ilmu pengetahuan kita ini dalam soal yang
dibahasnya, tetapi kedua pengetahuan itu berbeda dengannya. Ia agaknya ilmu
yang baru tumbuh. Sungguh aku belum pernah tahu seorang pun pernah
membincangkannya dengan berbagai aspek yang dimilikinya (Ibn Khaldun,
1986: 63).
Ilmu baru yang dimaksudkan oleh Ibn Khaldun, seperti dikatakan Zainab

al-Khudairi adalah filsfat sejarah, yang di Eropa baru dikenal beberapa abad

kemudian. Memang cikal bakalnya telah bersemi sejak zaman purba,
misalnya dalam karya Aristoteles, Politics dan karya Plato Republic, akan
tetapi bahkan termino-loginya sendiri terumuskan baru pada abad ke delapan
belas (Zainab al-Khudairi, 1987: 43).
Filsafat Sejarah, dalam pengertian yang paling sederhana, seperti
dikemukakan oleh al-Khudairi adalah tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa
historis secara filosofis untuk mengetahui faktor-faktor essensial yang
mengendalikan perjalanan peristiwa-peristiwa historis itu, untuk kemudian
mengikhtisarkan hukum-hukum umum yang tetap, yang mengarahkan
perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam berbagai masa dan generasi
(Zainab al-Khudairi, 1987: 54).
Ada beberapa penulis yang berpendapat bahwa sejarah berjalan sesuai
dengan suatu kerangka tertentu dan bukannya secara acak-acakan, dan filsafat
sejarah adalah upaya untuk mengetahui kerangka tersebut yang diikuti sejarah
dalam perjalanannya, atau arah yang ditujunya, atau pun tujuan yang hendak
dicapainya.

Menurut


F.

Laurent,

sebagaimana

dikutip

al-Khudairi,

menyatakan bahwa sejarah tidak mungkin hanya merupakan seperangkat
rangkaian peristiwa yang tanpa tujuan atau makna. Dengan demikian, sejarah
sepenuhnya tunduk kepada kehendak Tuhan seperti halnya peristiwa-peristiwa
alam yang tunduk pada hukum-hukum yang mengendalikannya.
Sementara itu, menurut W.H. Walsh (W.H. Walsh, 1967: 16) dalam
bukunya yang berjudul An Intoduction to Phillosophy of History, menyatakan
bahwa sebelum mendefinisikan filsafat sejarah hendaknya memperhatikan
pengertian kata sejarah. Sejarah kadang-kadang diartikan sebagai peristiwaperistiwa yang terjadi pada masa lalu (the totality of past human actions) atau
history as past actuality, dan kadang-kadang diartikan pula dengan penuturan

kita tentang pertistiwa-peristiwa tersebut (the narrative or account we
construct of them now) atau history as record. Namun demikian, hingga abad

XIX, apa yang disebut Walsh sebagai filsafat sejarah spekulatif pada dasarnya
adalah satu-satunya filsafat sejarah.
Dua arti dari kata sejarah tersebut penting karena dengan demikian
membuka dua kemugkinan terhadap ruang lingkup atau bidang kajian filsafat
sejarah.
Pertama, adalah suatu studi dalam bentuk kajian sejarah tradisional, yaitu
perjalanan sejarah dan perkembangannya dalam pengertian yang aktual.
Kedua, adalah suatu studi mengenai proses pemikiran filosofis tentang
perjalanan dan perkembangan sejarah itu sendiri.
Dalam kasus yang kedua, filsafat sejarah mengandung arti studi
mengenai jalannya peristiwa sejarah, atau studi terhadap asumsi dan metode
para sejarawan. Ketika seseorang berpikir tentang asumsi dan metode para
sejarawan, kata Walsh, maka ketika itu ia sedang bergumul dengan filsafat
sejarah kritis atau analitis. Dalam kaitan dengan filsafat sejarah ini,
pembagian Walsh ke dalam filsafat sejarah kritis dan spekulatif telah diterima
secara luas (Marnie Hughes-Warrington, 2008: 660).
Filsafat sejarah mengandung dua spesialisasi. Pertama, sejarah yang

berusaha untuk memastikan suatu tujuan umum yang mengurus dan
menguasai semua kejadian dan seluruh jalannya sejarah. Usaha ini sudah
dijalankan berabad-abad lamanya. Kedua, sejarah yang bertujuan untuk
menguji serta menghargai metode ilmu sejarah dan kepastian dari kesimpulankesimpulannya. Dalam kajian-kajian modern, filsafat sejarah menjadi suatu
tema yang mengandung dua segi yang berbeda dari kajian tentang sejarah.
Segi yang pertama berkenaan dengan kajian metodologi penelitian
ilmu ini dari tujuan filosofis. Ringkasnya, dalam segi ini terkandung
pengujian yang kritis atas metode sejarawan. Pengujian yang kritis ini
termasuk dalam bidang kegiatan analitis dari filsafat, yakni kegiatan yang
mewarnai pemikiran filosofis pada zaman modern dengan cara khususnya, di
mana si pemikir menaruh perhatian untuk menganalisis apa yang bisa disebut
dengan sarana-sarana intelektual manusia. Ia mempelajari tabiat pemikiran,

hukum-hukum logika, keserasian dan hubungan-hubungan antara pikiranpikiran manusia dengan kenyataan, tabiat, realitas, dan kelayakan metode
yang dipergunakan dalam mengantarkan pada pengetahuan yang benar.
Dari segi yang lain, filsafat sejarah berupaya menemukan komposisi
setiap ilmu pengetahuan dan pengalaman umum manusia. Di sini perhatian
lebih diarahkan pada kesimpulan dan bukannya pada penelitian tentang
metode atau sarana-sarana yang digunakan seperti yang digunakan dalam
metode analitis filsafat. Dalam kegiatan konstruktif, filosof sejarah bisa

mencari pendapat yang paling komprehensif yang bisa menjelaskan tentang
makna hidup dan tujuannya.

4. Filsafat Ilmu Dalam Kontek Filsafat Sejarah
Filsafat Ilmu memiliki empat obyek telaahan. Dua obyek menelaah
substansinya, dan dua obyek lainnya menelaah instrumentasinya. Dua yang
pertama (telaah substansi) adalah Fakta atau kenyataan; dan kebenaran.
Sedangkan dua yang terakhir (telaah instrumentasi) adalah Uji konfirmasi;
dan Logika Inferensi.
Telaah subtansi dalam filsafat ilmu yang dimaksukan adalah fakta atau
kenyatan dan kebenaran, juga menjadi bagian dari telah filsafat sejarah.
Antara filsafat ilmu dan filsafat sejarah kedua-duanya mengaji tentang alam,
manusia, dan segala tindakanya. Sebuah fakta yang bisa dijadikan sumber
kebenaran sejarah dan dapat menjadi ilmu pengetahuan, jika telah mempunyai
metode dan metodologi. Olehnya itu, suatu ilmu dalam pandangan filsafat bila
memenuhi tiga kreteria:
Pertama, aspek antologi, yakni berkaitan dengan hakekat yang dikaji dalam
objek formal dan objek material. Objek formal ialah manusia. Apapun yang
dilakukan manusia adalah objek material. Sama seperti halanya dalam kajian
sejarah objeknya adalah manusia dan tindakanya.


Kedua, aspek epistimologi yakni, yakni cara mendapatkan pengetahuan.
Rekonstruksi mengenai kejadian dimasa lampau dilakukan secara sismatis
melalui heuristic, kritik (internal dan ekternal), interpertasi, dan histografi.
Cara atau metode ini tidak dapat saling dipertukakarkan urutan kerjanya.
Dengan cara itu, rekonstruksi masa lalu dapat dilakukan.
Ketiga, aspek aksiologi guna atau manfaat suatu pengetahuan yang
dikatakan sebagai suatu ilmu. Tujuan suatu ilmu dalam krangka ini bukan
semata untuk ilmu itu sendir, melaingkan lebih luas yakni dapat member
manfaat bagi kepentingan kemanusiaan. Apek ini sering menjdi bahan
perdebatan, bahwa masa lalu kurang atau bahkan tidak punya konstribusi
terhadap masa depan unmat manusia, (Abdurahman Hamid & Muhamad
Saleh Majid, 2011: 86).
Ilmu sejarah dan ilmu filsafat merupakan dua ilmu yang berbeda, akan
tetapi keduanya saling membutuhkan satu sama lain, ilmu sejarah berbicara
mengenai masa lalu, sedangkan ilmu filsafat berbicara mengenai bagaimana
berfikir secara rasional, analisis dan kritis, kedua ilmu ini akan sangat
bersinergi dalam memecahkan masalah-masalah yang bermunculan di zaman
kontemporer ini, ilmu sejarah memberikan gambaran dari masa lalu, yang
mana pada masa lalu pernah terjadi bebagai macam persoalan-persoalan, baik
persoalan yang meliputi masalah politik, pemerintahan, masalah sosial,
ekonomi maupun masalah yang bersifat religius Sebahagian orang
mengharapkan masa lalu dapat menjelaskan atau bahkan memberikan
pembenaran terhadap apa yang terjadi sekarang, sebahagian yang lain
berharap, dari sejarah dapat dicari akar-akar identitas bahkan orientasi kemasa
depan, harapan ini termasuk fungsi sosial dari sejarah yaitu“ mengorganisasi
masa lalu sebagai fungsi dari masa sekarang”
Ilmu filsafat memberikan sentuhan pemikiran yang mendorong manusia
untuk berfikir secara kritis setiap kejadian sejarah yang kemudian
menjabarkan bagaimana menjadikan masa lalu tersebut menjadi sebuah ibrah

atau pelajaran dimasa sekarang yang terkait dengan permasalah yang tidak
jauh berbeda dengan yang terjadi pada masa lampau, dengan demikin manusia
mampu memetik sebuah pesan kontemporer dalam rangka membina
kehidupan manusia moderen yang ideal.
Dengan demikian kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa tugas
filsafat dalam sejarah adalah menggerakkan pemikiran manusia agar
merekontruksi masa lalu sebagai pelajaran atau hikmah dimasa sekarang, dan
merancang masa depan.
Menurut Murtadha Mutahhari (1986:65), sejarah dapat didefinisikan
dalam tiga cara:
Pertama, pengetahuan tentang kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa,
dan keadaan-keadaan kemanusiaan di masa lampau dalam kaitannya dengan
kejadian-kejadian masa kini. Semua situasi, keadaan, peristiwa, dan episode
yang terjadi pada masa kini, dinilai, dilaporkan, dan dicatat sebagai hal-hal
yang terjadi hari ini oleh surat kabar-surat kabar. Namun demikian, begitu
waktunya berlalu, maka semua hal itu larut bersama masa lalu dan menjadi
bagian sejarah. Jadi, sejarah adalah pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa,
kejadian-kejadian, dan keadaan-keadaan kemanusiaan di masa lampau.
Biografi-biografi, catatan-catatan tentang peperangan dan penaklukan, dan
semua babad semacam itu, yang disusun pada masa lampau, atau di masa kini,
adalah termasuk dalam kategori ini.
Pengertian sejarah seperti dikemukakan di atas, apabila ditelusuri lebih
jauh meliputi empat hal: (1) sejarah merupakan pengetahuan tentang sesuatu
berupa pengetahuan tentang rangkaian episode pribadi atau individu, bukan
merupakan pengetahuan tentang serangkaian hukum dan hubungan umum; (2)
sejarah merupakan suatu telaah atas riwayat-riwayat dan tradisi-tradisi, bukan
merupakan disiplin rasional; (3) sejarah merupakan pengetahuan tentang
mengada (being), bukan pengetahuan tentang menjadi (becoming); dan (4)
sejarah berhubungan dengan masa lampau, bukan masa kini. Tipe sejarah ini

menurut Mutahhari disebut sebagai sejarah tradisional (tarikh naqli) atau
sejarah yang ditransmisikan (transmitted history).
Kedua, sejarah merupakan pengetahuan tentang hukum-hukum yang
tampak menguasai kehidupan masa lampau, yang diperoleh melalui
penyelidikan dan analisis atas peristiwa-peristiwa masa lampau. Dalam hal
ini, bahan-bahan yang menjadi urusan sejarah tradisional, yakni peristiwaperistiwa dan kejadian-kejadian masa lampau, adalah bahan dasar untuk
kajian ini. Kajian atau telaah terhadap sejarah dalam pengertian ini, yang
berupa peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian, adalah sama halnya dengan
bahan-bahan yang dikumpulkan oleh seorang ilmuwan, yang selanjutnya
dianalisis dan diselidiki di laboratorium guna menemukan hukum-hukum
umum tertentu.
Sejarawan dalam

upaya menganalisis ini, berusaha mengungkapkan

sifat sejati peristiwa-peristiwa sejarah tersebut serta hubungan sebabakibatnya, dan akhirnya dapat menemukan hukum-hukum yang bersifat
umum dan berlaku pada semua peristiwa yang serupa. Sejarah dalam
pengertian ini menurut Mutahhari disebut sebagai sejarah ilmiah.
Meskipun obyek penelitian dan bahan pokok sejarah ilmiah adalah
episode-episode dan peristiwa-peristiwa masa lampau, tetapi hukum-hukum
yang disimpulkannya tidak hanya terbatas pada masa lampau. Hukum-hukum
tersebut dapat digeneralisasikan sehingga dapat diterapkan pada masa kini dan
mendatang. Segi sejarah ini menjadi sangat bermanfaat dan menjadi salah satu
sumber

pengetahuan

bagi

manusia

untuk

memproyek-sikan

dan

memperkirakan masa depan.
Perbedaan tugas seorang peneliti dalam bidang sejarah ilmiah dan tugas
seorang peneliti dalam ilmu pengetahuan alam sangat jelas. Bahan penelitian
seorang ilmuwan dalam bidang kealaman adalah berupa rantai kejadian nyata
dan dapat dibuktikan. Oleh karena itu, seluruh penyelidikan, analisis, dan
hasilnya, dapat dilihat. Sementara itu, bahan kajian penelitian seorang
sejarawan ada di masa lampau dan tidak ada di masa sekarang. Bahan yang

dikaji seorang sejawaran adalah setumpuk catatan tentang rangkaian peristiwa
masa lampau. Seorang sejarawan adalah seperti seorang hakim di pengadilan,
yang memutuskan suatu perkara atas dasar bukti-bukti dan petunjuk-petunjuk
yang ada padanya. Dengan demikian, analisis seorang sejarawan bersifat logis
dan rasional, bukan berdasarkan bukti-bukti dari luar yang dapat diuji
kebenarannya.
Seorang sejarawan melakukan analisisnya di laboratorium pikiran dan
akalnya, dengan peralatan logika dan penyimpulan, bukan di laboratorium
fisik lahiriah dengan penelitian observasi dan pengukuran. Karena itu,
pekerjaan seorang sejarawan lebih dekat dengan pekerjaan seorang filosuf
ketimbang pekerjaan seorang ilmuwan. Apa yang dikatakan Mutahhari ini
sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Croce ketika mengatakan
bahwa sejarah adalah bentuk tertinggi dari filsafat. Bagi Croce, perbuatan
berpikir adalah filsafat dan sekaligus sejarah pada waktu yang bersamaan.
Karenanya, sejarah identik dengan tindakan berpikir itu sendiri. Dari
paradigma ini kemudian lahirlah rumusan tentang identiknya sejarah dengan
filsafat (Ahmad Syafii Maarif, 2003: 35).
Ketiga, filsafat sejarah (kesejarahan) didasarkan pada pengetahuan
tentang perubahan-perubahan bertahap yang membawa masyarakat bergerak
dari satu tahap ke tahap yang lain. Filsafat sejarah membahas tentang hukumhukum yang menguasai perubahan-perubahan ini. Dengan kata lain, filsafat
sejarah adalah ilmu tentang proses menjadinya (becoming) masyarakat, bukan
hanya tentang maujudnya (being) saja.
Spengler Toynbee mengemukakan sejarah sebagai perkembangan yang
sesuai dengan putaran-putaran perubahan yang tetap dan selalu kembali,
sementara sejarawan lain mengatakan sejarah sebagai suatu keseluruhan
laporan mengenai masa lalu manusia yang memperlihatkan bahwa masa lalu
tersebut membentuk diri sesuai dengan prinsip-prinsip tertentu yang sah
secara universal.

Pendapat lain tentang sejarah dikemukakan oleh Hugiono dan
Poerwantara bahwa dalam penulisan sejarah perlu dibedakan terlebih dahulu
antara sejarah dalam kerangka ilmiah, dan sejarah dalam kerangka filosofis.
Sejarah dalam kerangka ilmiah adalah sejarah sebagai ilmu, artinya sejarah
sebagai salah satu bidang ilmu yang meneliti dan menyelidiki secara
sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa
lampau beserta seluruh kejadian-kejadian, dengan maksud untuk menilai
secara kritis seluruh hasil penelitian dan penyelidikan tersebut, untuk akhirnya
dijadikan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah
program masa depan. Sejarah dalam kerangka filosofis adalah sejarah dalam
pengertian sebagai filsafat sejarah.

C. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
Endaswra, Suwardi, 2012. Filsafat Ilmu Konsep, Sejarah, dan Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, Jogjakarta: (Cet-1), Caps.
Hamid, Abdurahman & Muhamad Saleh Majid, 2011. Pengangar Ilmu Sejarah,
Yogyakarta: (Cet-1), Ombak.
Pilang, Abd. Rahman, 2003. Filsafat Ilmu, Makassar: Badan Penerbit UNM.
Irmayanti Meliono, dkk. 2007. MPKT Modul 1. Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI.