Sasaran dan Tujuan Agroforestry

TINJAUAN PUSTAKA

  Agroforestry Agroforestry Pengertian

  Agroforestry menurut Huxley (dalam Suharjito et al.) merupakan salah

  satu sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya.

  Agroforestry telah menarik perhatian peneliti-peneliti teknis dan sosial

  akan pentingnya pengetahuan dasar pengkombinasian antara pepohonan dengan tanaman tidak berkayu pada lahan yang sama, serta segala keuntungan dan kendalanya. Penyebarluasan agroforestry diharapkan bermanfaat selain mencegah perluasan tanah terdegradasi, melestarikan sumber daya hutan, dan meningkatnya mutu pertanian serta menyempurnakan intesifikasi dari diversifikasi silvikultur (Hariah et al, 2003).

  Sejarah Perkembangan Agroforestry

  Pemikiran tentang pengkombinasian komponen kehutanan dengan pertanian sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Pohon-pohon telah dimanfaatkan dalam sistem pertanian sejak pertama kali aktivitas bercocok tanam dan memelihara ternak dikembangkan. Sekitar tahun 7000 SM terjadi perubahan budaya manusia dalam mempertahankan eksistensinya dari pola berburu dan mengumpulkan makanan ke bercocok tanam dan beternak. Sebagai bagian dari proses ini mereka menebang pohon, membakar serasah dan selanjutnya melakukan budidaya tanaman. Dari sini lahirlah pertanian tebas bakar yang merupakan awal agroforestry.

  Tradisi pemeliharaan pohon dalam bentuk kebun pada areal perladangan, pekarangan dan tempat-tempat penting lainnya oleh masyarakat tradisional itu dikarenakan nilai-nilainya yang dirasakan tinggi sejak manusia hidup dalam hutan. Menurut Hariah (2003) pada akhir abad XIX, pembangunan hutan tanam menjadi tujuan utama. Agroforestry dipraktekkan sebagai sistem pengelolaan lahan. Pada pertengahan 1800-an dimulai penanaman jati di sebuah daerah di Birma oleh Sir Dietrich Brandis. Penanaman jati dilakukan melalui taungya, diselang-seling atau dikombinasikan dengan tanaman pertanian. Kelebihan sistem ini bukan hanya dapat menghasilkan bahan pangan, tetapi juga dapat mengurangi biaya pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman yang memang sangat mahal. Selanjutnya taungya dikenal di Indonesia sebagai tumpangsari. Banyak ahli yang berpendapat bahwa sistem taungya adalah cikal bakal agroforestri modern.

  Agroforestry klasik atau tradisional sifatnya lebih polikultur dan lebih besar manfaatnya bagi masyarakat setempat dibandingkan agroforestry modern.

Agroforestry modern hanya melihat komuninasi antara tanaman keras atau pohon

  komersial dengan tanaman sela terpilih. Dalam agroforestry modern, tidak terdapat lagi keragaman kombinasi yang tinggi dari pohon yang bermanfaat atau juga satwa liar yang menjadi terpadu dari sistem tradisional (Hariah K et al, 2003)

  Ruang Lingkup Agroforestry

  Pada dasarnya agroforestry terdiri dari tiga komponen pokok yaitu : kehutanan, pertanian, dan peternakan. Masing-masing komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri-sendiri sebagai satu bentuk sistem penggunaan lahan. Hanya saja sistem-sistem tersebut umumnya ditujukan pada produksi satu komoditi khas atau kelompok produk yang serupa. Menurut Sa’ad (2002) Penggabungan tiga komponen tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan bentuk kombinasi yakni: 1.

  Agrosilvikultur merupakan kombinasi tanaman dan pohon, dimana penggunaan lahan secara sadar untuk memproduksi hasil-hasil pertanian dan kehutanan.

  2. Silvopastura merupakan kombinasi padang rumput (makanan ternak dan pohon), pengelolaan lahan hutan yang memproduksi hasil kayu dengan, dan sekaligus pemeliharaan ternak.

3. Agrosilvopastural merupakan kombinasi tanaman, padang rumput

  (makanan ternak dan pohon) pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak.

  4. Silvofishery merupakan kombinasi kegiatan kehutanan dan perikanan.

  5. Apiculture merupakan budi daya lebah madu yang dilakukan pada komponen kehutanan.

  6. Sericulture merupakan budi daya ulat sutra yang dilakukan pada komponen kehutanan.

  Dalam bahasa Indonesia , kata agroforestry dikenal dengan istilah wana

  

tani yang artinya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut De

  foresta dan Michon (dalam Hariah et al.) agroforestry dapat dikelompokkan menjadi dua sistem yakni :

  1. Agroforestry sederhana merupakan sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lainnya misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar.

  2. Agroforestry kompleks merupakan sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan, contohnya hutan dan kebun.

  Sasaran dan Tujuan Agroforestry Agroforestry merupakan bentuk dari sistem pertanian yang orisinil di

  daerah-daerah yang semula lahannya berupa hutan. Sistem agroforestry memiliki peluang yang menjanjikan dengan produksi tanaman semusim dan tahunan, tetapi juga mengintegrasikan usaha peternakan. Secara ekologis agronomis, ternyata dapat menunjukkan banyak manfaat yang tidak dijumpai pada sistem agroforestry maka secara umum pohon-pohon akan menyediakan struktur pemanenan di atas dan di bawah tanah bagi sistem tanam (Arief, 2001).

  Sebagaimana pemanfatan lahan lainnya, agroforestry dikembangkan untuk memberi manfaat kepada manusia atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

  

Agroforestry diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah pengembangan

  pedesaan dan sering kali sifatnya mendesak. Agroforestry utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem keberlanjutan ini dicirikan antara lain oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran lingkungan. Adapun yang menjadi tujuan dari pelaksanaan sistem agroforestry menurut Von Maydell (dalam Hariah et al.) yakni : menjamin dan memperbaiki kebutuhan pangan, memperbaiki penyediaan energi lokal khususnya produksi kayu bakar, meningkatkan dan memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi bahan mentah kehutanan maupun pertanian, memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan khususnya pada daerah dengan persyaratan hidup yang sulit di mana masyarakat miskin banyak dijumpai, memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan produksi dan jasa lingkungan setempat (Hariah et al , 2003).

  Reba juma Reba juma merupakan tanah adat yang letaknya berada di pekarangan

  rumah masyarakat (tidak jauh dari tempat tinggal masyarakat). Kata reba juma bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia bermakna ladang yang letaknya di pekarangan rumah. Dikatakan ladang karena pada umumnya masyarakat menanam beberapa jenis tanaman di tanah adat ini, yakni tanaman semusim yang ditumpangsarikan dengan tanaman pertanian, oleh karena itu termasuk salah satu sistem agroforestry (Ginting M, Komunikasi Pribadi 2008).

  Sistem Penggunaan Lahan ( Land Tenure System) Pengertian Tenure

  Kata tenure berasal dari kata dalam bahasa latin tenere yang mencakup arti memelihara, memilki. Menurut Wiradi (dalam Fauzi dan Dianto) istilah ini biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah yang mendasar dari aspek penguasaan sumber daya yaitu mengenai status hukumnya. Pada tenure

  

system , masing-masing hak termasuk setidaknya tiga komponen yakni :Subjek

hak, objek hak, jenis haknya (Fauzi, N. dan Dianto, 1999).

  Sistem Penguasaan Lahan ( Land Tenure System)

  Istilah land tenure system menunjuk pada suatu sistem penguasaan tanah atau lahan dalam suatau masyarakat, dimana lebih menggunakan pendekatan yuridis atau hukum meskipun tidak selalu dalam konteks hukum formal yang tertulis. Dalam menjalankan suatu proyek yang berhubungan dengan pemanfaatan suatu bidang tanah/ lahan atau satu kawasan hutan tertentu menjadi sangat penting untuk menentukan siapakah yang menguasai bidang tanah atau kawasan (atau sebagian dari kawasan) hutan tersebut untuk menghindari terjadinya konflik atau sengketa klaim yang dapat membuat proyek kehilangan materi atau penghargaan tertentu. Dalam hal ini, sistem tenurial setempat umumnya telah menentukan menurut aturan hukum setempat pula (hukum adat) siapa saja yang memilki dan atau menguasai sebidang tanah tertentu, termasuk kawasan-kawasan yang dinyatakan sebagai hutan, baik oleh sendiri maupun pihak lain (Fauzi dan Dianto, 1999).

  Sistem tenurial atas tanah dan sumber daya alam menurut FAO (dalam Ellisworth, 2002) dapat digolongkan ke dalam empat kategori umum kepemilikan yakni :

  1. Kepemilikan privat adalah hak yang diberikan kepada yang dapat terdiri dari satu orang (individu), suami-istri dari suatu keluarga, sekelompok orang, suatu lembaga baik perusahaan swasta ataupun lembaga nirbala.

2. Kepemilikan komunal adalah tanah golongan ini dimiliki secara komunal yang hanya dapat digunakan anggota dari masyarakat tertentu.

  3. Open acess yang pada dasarnya tidak ada yang dapat dikatakan sebagai pemilik tanah atau sumber alam tersebut, dengan demikian siapa saja dapat mengambil manfaatnya dari lahan tersebut.

  4. Kepemilikan publik atau negara adalah hak-hak yang diklaim oleh negara yang seringkali tanggung jawab kepengurusannya diserahkan pada sektor tertentu dalam pemerintahan. Penguasaan lahan (property rights) sangat penting dalam pelaksanaan

  

agroforestry . Apabila tidak ada kepastian penguasaan lahan, maka insentif untuk

  menanam pohon/agroforestikan menjadi sangat lemah, mengingat sistem

  agroforestry merupakan strategi usaha tani dalam jangka panjang. Investasi yang

  dilakukan dalam pembukaan lahan dan penanaman pohon akan dinikmati dalam waktu yang lebih panjang. Oleh karena itu diperlukan kepastian penguasaan lahan dan pohon untuk memberikan jaminan kepada petani untuk menikmati hasil panen (Suahardjito et al, 2003).

  Penelusuran Masyarakat Sekitar Hutan Pengertian Masyarakat Sekitar Hutan dan Pedesaan

  Menurut Sarjono (2004) masyarakat lokal adalah sekelompok orang, baik yang disebut masyarakat adat maupun pendatang (baik sedaerah ataupun di luar daerah) yang telah turun-temurun bertempat tinggal di dalam dan disekitar hutan sehingga memiliki keterkaitan kehidupan (termasuk teknologi dan norma budaya) serta penghidupan (meliputi subtensi dan pendapatan) bersama atas hasil hutan atau lahan hutan .

  Menurut Tjodronegoro (1999) masyarakat pedesaan adalah suatu masyarakat yang bersifat homogen, tertib, dan tentram dalam kehidupan sosialnya menerima keadaan dan hidup tanpa ada perselisihan serta menolak segala bentuk pembaruan, meskipun dalam kenyataannya anggapan-anggapan tersebut tidak selalu benar. Masyarakat pedesaan merupakan masyarakat tradisional dengan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

  1. Jumlahnya kecil, dengan tempat tinggal yang terpencil jauh dari keramaian kota.

  2. Relatif bersifat homogen dengan rasa yang kuat.

  3. Memiliki sistem sosial yang tertatur dengan perilaku tradisionalnya.

  4. Rasa persaudaraan yang sangat kuat.

  5. Taat pada ajaran-ajaran agama dan menurut kepada masyarakat

  Kultural Masyarakat Sistem dan Peranan kekerabatan Daliken Sitelu

  Kekerabatan adalah serangkain aturan-aturan yang mengatur penggolongan orang-orang sekerabat, yang membedakannya dengan orang-orang yang tidak mempunyai hubungan sebagai kerabat. Ketentuan mengenai siapa yang tergolong sebagai kerabat dari ego dibuat berdasarkan atas sistem kekerabatan yang berlaku dalam mastarakat yang bersangkutan dimana ego sebagai seorang warga.

  Masyarakat Batak dikenal dengan sistem kekerabatan patrineal atau

  

patriachal . Menurut Wisadirana (2005) sistem kekerabatan patrineal atau

patrialchal memiliki ciri-ciri :

  1. Hubungan kekerabatan diperhitungkan melalui garis ayah, anak menjadi hak ayah dan seorang ayah memegang peranan penting dalam pengaturan kehidupan keluarga.

  2. Hak milik diwariskan melalui suatu garis di dalam susunan kekerabatan yang ditentukan oleh para anggota kerabat dari pria.

  3. Pengantin baru bertempat tinggal atau hidup menetap pada pusat kediaman kekerabatan dari suami.

  4. Para pria mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kehidupan masyarakat Dalam masyarakat Karo yang termasuk bagian dari masyarakat Batak, sistem patrineal ini juga berlaku dengan didasari pada prinsip rakut sitelu yaitu

  :mehamat erkalimbubu, medes ersenina, metami er-anak beru. Mehamat man

  

kalimbubu artinya menghormati, mendengarkan dan menjalankan nasehat-nasehat

  kalimbubu. Medes ersenina artinya maau memperhatikan senina, menghindari sifat egois, tidak sombong dan angkuh, serta tidak membuat senina-nya sakit hati.

  

Metami er-anak beru artinya sabar setia membuat anak beru senang bahagia,

  bangga daan mengayomi tugas-tugas anak beru dan memberikan pujian kepada

  

anak beru karena pekejaan yang berat telah diselesaikan oleh anak beru, serta

mendoakan anak beru (Ginting, 1995).

  Hubungan kekerabatan masyarakat karo berdasarkan hubungan darah dan hubungan kerabat istri dan suami, dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis hubungan kekerabat, yaitu: senina, anak beru, dan kalimbubu, ketiga hubungan ini disebut dengan daliken sitelu, sangkep sitelu atau rakut si telu, dalam ketiga hubungan ini terbentuk sebuah sikap dasar masyarakat karo (Ginting, 1995).

  Senina (yang termasuk didalam sukut) adalah orang yang masih satu

  marga dan satu cabang atau masih satu keturunan (satu kakek) dan satu tempat tinggal. Kalimbubu adalah saudara laki-laki dari pihak; istri, ayah, kakek, anak, saudara (saudara laki-laki dari istri senina ). Anak beru adalah orang yang menikahi saudara perempuan kita atau keturunan dari saudara perempuan puhak kita (Ginting, 2005).

  Daliken sitelu memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat

  karo, termasuk dalam pembagian harta warisan. Pembagian harta warisan bagi masyarakat karo selalu didasarkan musyawarah di antara pihak-pihak anggota keluarga yang ada pertalian darah dengan pewaris. Tidak ada aturan tertulis dalam pembagian harta warisan pada masyarakat karo, sehingga kadang-kadang menimbulkan perselisihan di antara para keluarga yang bertalian dengan pembagian warisan. Menurut Sembiring (2005), peran daliken sitelu adalah ketika terjadi perselisihan dan menjadi saksi diantara pewaris. Ahli waris yang berhak menerima warisan pada masyarakat karo adalah :

  1. Anak laki-laki dari pewaris berhak menerima warisan secara rata atau mempunyai hak yang sama.

  2. Anak angkat mempuyai hak sama dalam memperoleh harta warisan sama dengan anak kandung dari pewaris, tetapi termasuk untuk harta pusaka keluarga.

  3. Kedua orang tua, saudara laki-laki pewaris apabila pewaris tidak mempunyai keturunan dan anak angkat.

  4. Keluarga terdekat kalau tidak mempunyai keturunan dan anak angkat, orang tua dan saudara laki-laki.

  5. Persatuan adat, persatuan marga mendapat hanaya warisan kalau tidak mempunyai keturunan (anak laki-laki), anak angkat, orang tua, dan keluarga .

  Peranan Agroforestry dalam Kultural Masyarakat

  Nilai-nilai kultural dari suatu aktivitas produksi hingga peran berbagai jenis pohon atau tanaman lainnya di lingkungan masyarakat lokal amatlah penting dalam rangka keberhasilan pemilihan desain dan kombinasi jenis pada bentuk- bentuk agroforestry modern yang akan diperkenalkan atau dikembangkan di suatu tempat. Selama berabad-abad masyarakat mengumpulkan informasi secara luas, keterampilan serta teknologi berbagai hal. Aspek pengetahuan tradisional amatlah penting dalam agroforestry, karena memang sistem penggunaan lahan ini berhubungan erat dengan kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia yang sebagian besar merupakan komunitas tradisional (Widianto et al, 2003).