Analisis Finansial dan Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Pendapatan Sistem Agroforestry (Studi Kasus Sistem Agroforestry di Nagari Koto Malintang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat)

(1)

ANALISIS FINANSIAL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

BERPENGARUH TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN

SISTEM AGROFORESTRY

(Studi Kasus Sistem Agroforestry Parak di Nagari Koto

Malintang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam,

Sumatera Barat)

HASIL PENELITIAN

Oleh :

WILDA SARTIKA

031201022

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N 2 0 0 7


(2)

Judul Skripsi : Analisis Finansial dan Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Pendapatan Sistem Agroforestry (Studi Kasus Sistem Agroforestry di Nagari Koto Malintang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat)

Nama : Wilda Sartika

NIM : 031201022

Program Studi : Manajemen Hutan Minat Studi : Sosial Ekonomi

Disetujui Oleh :

Komisi Pembimbing

Nurdin Sulistiyono, S.Hut, M.Si Khairida, SP, M.Si Ketua Anggota

Mengetahui :

DR. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S Ketua Jurusan


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan dan melimpahkan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian yang berjudul Analisis Finansial dan Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Pendapatan Sistem

Agroforestry.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Nurdin Sulistiyono, S.Hut, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing serta Ibu Khairida, SP, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing atas bimbingannya selama penyelesaian usulan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga atas semua bentuk dukungannya. Serta bantuan dan doa dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan hasil penelitian ini.


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah... 2

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Hutan Rakyat dan Agroforestry ... 4

Pengertian Agroforestry ... 5

Fungsi Agroforestry ... 6

Klasifikasi Sistem Agroforestry ... 8

Keuntungan dan Kelemahan Agroforestry ... 11

Analisis Finansial Agroforestry ... 14

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19

Populasi dan Sampel Penelitian ... 19

Pengumpulan Data ... 20

Pengolahan data ... 21

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas ... 25

Topografi, Tanah dan Iklim ... 25

Sarana dan Prasarana ... 26

Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat ... 26

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden ... 27

Sistem Agroforestry di Nagari Koto Malintang ... 31

Pendapatan dan Faktor-faktor yang berpengaruh Terhadap Tingkat Pendapatan Sistem agroforestry...47.

Kelayakan Finansial Sistem agroforestry ... 51

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 58

Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 60 LAMPIRAN


(5)

DAFTAR TABEL

1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur ... .27

2. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... ... 28

3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian ... ... 29

4. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga .. ... 30

5. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja ... ... 33

6. Distribusi Responden Berdasarkan Luas Lahan Agroforestry... 34

7. Distribusi Responden Berdasarkan Status Lahan Agroforestry .. ... 35

8. Jenis-jenis Tanaman Penyusun Agroforestry... ... 36

9. Volume Produksi dan Harga Komoditi Parak di Nagari Koto Malintang ... ... 41

10.Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan ... ... 42

11.Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Rumah Tangga dengan Pendapatan yang Diperoleh dari Parak ... ... 43

12.Peran Serta Pemerintah dalam Pengelolaan Parak ... ... 45

13.Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Petani Agroforestry di Nagari Koto Malintang... ... 47

14.Nilai Payback Period, Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Internal Rate of Return (IRR)... ... 51

15.Analisis Sensitivitas dengan Kenaikan Cost Sebesar 10 % ... ... 52


(6)

DAFTAR GAMBAR

1. Responden Berdasarkan Umur ... 27

2. Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 28

3. Responden Berdasarkan Jenis Mata pencaharian ... 30

4. Responden Berdasarkan Jumlah Anggota keluarga ... 30

5. Responden Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja ... 34

6. Responden Berdasarkan Luas Lahan Agroforestry ... 35

7. Responden Berdasarkan Pendapatan dari Sistem Agroforestry .. 42

8. Responden Berdasarkan Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Rumah Tangga dengan Pendapatan yang Diperoleh dari Parak ... 44

9. Responden Berdasarkan Peran Serta Pemerintah dalam Pengelolaan Parak ... 45


(7)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Karakteristik dan Pendapatan Petani Responden 2. Tabulasi Frekuensi dan Crosstabs

3. Skoring Hasil Quisioner dengan Petani Responden 4. Hasil Regresi dengan Menggunakan SPSS

5. Net Present Value (NPV), Net B/C Ratio. dan Internal Rate of Return (IRR) Usaha Parak di Nagari Koto Malintang

6. Analisis Usaha Tani Parak di Nagari Koto Malintang 7. Analisis Sensitivitas dengan Kenaikan Cost Sebesar 10 % 8. Analisis Sensitivitas dengan Penurunan Harga Jual sebesar 10% 9. Contoh Kuisioner Penelitian


(8)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan adalah penerapan sistem agroforestry. Agroforestry

didefinisikan sebagai suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat (Arief, 2001).

Agroforestry merupakan suatu kebudayaan bertani yang sudah lama

dipraktekkan oleh masyarakat di Indonesia. Salah satunya adalah Parak di daerah Koto Malintang. Petani Koto Malintang telah mengembangkan Parak (kebun

campuran) yang sangat mengesankan, berisi perpaduan tanaman pohon komersil dan spesies-spesies hutan yang dikelola yang mendominasi bentang alam kawasan pertanian. Kebun-kebun ini sudah dikembangkan sejak lama, berawal dari upaya bekas tegakan hutan yang ditanami kembali dengan pepohonan setelah ditanami padi.

Sistem agroforestry tersebut telah lama dilakukan oleh masyarakat sebagai suatu tradisi yang turun temurun dan kegiatan ini dilakukan dalam upaya masyarakat untuk mengelola lahan secara optimal untuk mendatangkan pendapatan yang besar dari hasil penjualan komoditi agroforestry. Informasi yang menyajikan tentang tipe/bentuk, kelayakan secara finansial dan faktor-faktor yang


(9)

mempengaruhi tingkat pendapatan sistem agroforestry di Nagari Koto Malintang masih sangat sedikit.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan kajian untuk mengkaji tipe/bentuk, kelayakan finansial dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan sistem agroforestry di Nagari Koto Malintang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah setempat dan masyarakat di dalam maupun di luar hutan dalam pengelolaan sumber daya hutan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat guna tercapai kelestarian hutan.

Perumusan Masalah

Perumusan masalah yang dipakai dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana tipe/ bentuk agroforestry yang diterapkan oleh petani di Nagari Koto Malintang ?

2. Jenis tanaman/komoditi apa yang menyusun Parak di Nagari Koto

Malintang ?

3. Bagaimana kelayakan finansial dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat pendapatan sistem agroforestry di Nagari Koto Malintang ?


(10)

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui komponen/komoditi penyusun Parak di Nagari Koto Malintang.

2. Mengklasifikasikan sistem agroforestry yang terdapat di Nagari Koto Malintang berdasarkan struktur (komponen-komponen penyusunnya). 3. Mengetahui kelayakan finansial dan faktor-faktor yang mempengaruhi

tingkat pendapatan sistem agroforestry di Nagari Koto Malintang.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Memberikan masukan bagi pemerintah setempat dan masyarakat yang terdapat di Nagari Koto Malintang agar dapat mengelola sumber daya hutan dengan memperhatikan prinsip kelestarian hutan.

2. Meningkatkan pengetahuan dan wawasan dari para pembaca tentang kelayakan finansial dan pengaruh sistem agroforestry terhadap

pendapatan masyarakat sekitar dan di dalam hutan. 3. Sebagai masukan bagi para pembuat kebijakan.


(11)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Rakyat dan Agroforestry

Hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan ekosistem kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan usahatani semusim, peternakan, barang dan jasa, serta rekreasi alam (Awang, dkk, 2002).

Hutan rakyat merupakan salah satu model pengelolaan sumberdaya alam yang berdasarkan inisiatif masyarakat. Hutan rakyat di Indonesia pada umumnya dikembangkan pada lahan milik masyarakat. Di Indonesia, hutan rakyat banyak yang berhasil dikembangkan oleh masyarakat sendiri. Demikian pula halnya dengan sumbangan produksi kayu dari hutan rakyat di banyak tempat menunjukkan signifikan yang nyata, seperti di Jawa. Dalam hutan rakyat biasanya ditanami jenis-jenis jati, mahoni, buah-buahan, nangka, kelapa dan sengon. Bentuk dan pola hutan rakyat di Indonesia antara lain hutan rakyat sengon, hutan rakyat jati, hutan rakyat suren di Bukit Tinggi (disebut Parak ) dan hutan adat campuran (Fahmi, dkk, 2003).

Dalam pengelolaan hutan rakyat dikenal juga istilah usaha tani rakyat yaitu menanam tanaman kayu-kayuan bercampur dengan tanaman lain di tanah milik, namun yang menjadi tanaman pokok adalah tanaman kayu-kayuan guna meningkatkan kesuburan tanah dan lebih disukai oleh masyarakat. Pembangunan hutan rakyat secara swadaya merupakn alternatif yang dipilih untuk mengatasi


(12)

masalah sosial ekonomi dan lingkungan hidup, selain itu dampak positif yang lain adalah terpeliharanya sumberdaya alam (konservasi tanah dan air) sehingga meningkatkan daya dukung lahan bagi penduduk dan ikut serta dalam pengelolaan daerah aliran sungai, mengurangi terjadinya kerusakan hutan akibat penebangan liar dan penyerobotan tanah. Kombinasi berbagai jenis tanaman memungkinkan pemetikan hasil secara terus menerus dan memungkinkan terbentuknya stratifikasi tajuk sehingga mencegah erosi tanah dan hempasan air hutan (Arief, 2001).

Pola pengelolaan hutan rakyat cukup bervariasi, dengan model agroforestry dengan pola campuran antara tanaman pangan, tanaman

buah-buahan, tanaman keras, tanaman perkebunan, palawija, tanaman obat-obatan dan lain-lain. Dengan demikian sistem hutan rakyat telah secara nyata menggambarkan model-model ekosistem sumberdaya alam yang stabil bagi alamnya sendiri dan stabil pula untuk kepentingan sosial dan ekonomi rakyat pedesaan (Awang, dkk, 2002).

Pengertian Agroforestry

Konsepsi agroforestry dirintis oleh suatu tim dari Canadian International

Development Centre, yang bertugas untuk mengindentifikasi prioritas-prioritas pembangunan di bidang kehutanan di negara-negara berkembang dalam tahun 1970-an. Oleh tim ini dilaporkan bahwa hutan-hutan di negara tersebut belum cukup dimanfaatkan. Penelitian yang dilakukan dibidang kehutanan sebagian besar hanya ditujukan kepada dua aspek produksi kayu, yaitu eksploitasi secara selektif di hutan alam dan tanaman hutan secara terbatas. Menurut tim, kegiatan-kegiatan tersebut perlu dilanjutkan, namun perlu ada perhatian pula terhadap


(13)

masalah-masalah yang selama ini diabaikan, yaitu sistem produksi kayu bersamaan dengan komoditi pertanian, dan /atau peternakan, serta merehabilitasi lahan-lahan kritis. Di lain pihak ditemukan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada pengrusakan lingkungan, yang seakan-akan tidak dapat dikendalikan lagi. Kecenderungan pengrusakan lingkungan ini perlu dicegah dengan sungguh-sungguh, dengan cara pengelolaan lahan yang dapat mengawetkan lingkungan fisik secara efektif, tetapi sekaligus dapat memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan sandang bagi manusia (Anonimus, 2001).

Agroforestry adalah suatu nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan

lahan teknologi, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu, jenis-jenis palm, bambu, dan sebagainya) ditanam bersamaan dengan tanaman pertaian, dan/atau hewan, dengan suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal, dan di dalamnya terdapat interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi diantara berbagai komponen yang bersangkutan (Nair, 1989).

Agroforestry atau wanatani atau agrohutani merupakan istilah kolektif

untuk beberapa praktek penggunaan lahan, dimana tumbuhan parennial berkayu ditanam secara sengaja pada sebidang lahan bersama-sama dengan tanaman semusim dan atau ternak, baik dalam tatanan spesial dalam waktu yang bersamaan ataupun sekuensial (Arief, 2001).

Fungsi Agroforestry

Fungsi agroforestry ditinjau dari aspek biofisik dan lingkungan pada skala bentang lahan (skala meso) adalah kemampuannya untuk menjaga dan mempertahankan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, khususnya


(14)

terhadap kesesuaian lahan antara lain: (a) Memelihara sifat fisik dan kesuburan tanah; (b) Mempertahankan fungsi hidrologi kawasan; (c) Mempertahankan cadangan karbon; (d) Mengurangi emisi gas rumah kaca; dan (e) mempertahankan keanekaragaman hayati (Lahjie, 2004).

Fungsi agroforestry terhadap aspek sosial, budaya dan ekonomi antara

lain:(a) Kaitannya dengan aspek tenurial, agroforestry memiliki potensi di masa kini dan masa yang akan datang sebagai solusi dalam memecahkan konflik menyangkut lahan negara (misal pada hutan lindung; contoh pada kasus HL. Sungai Wain di Balikpapan, Kalimantan Timur) yang dikuasai oleh para petani penggarap; (b) Upaya melestarikan identitas kultural masyarakat, pemahaman akan nilai-nilai kultural dari suatu aktivitas produksi hingga peran berbagai jenis pohon atau tanaman lainnya di lingkungan masyarakat lokal dalam rangka keberhasilan pemilihan desain dan kombinasi jenis pada bentuk-bentuk agroforestry modern yang akan diperkenalkan atau dikembangkan di suatu

tempat, (c) Kaitannya dengan kelembagaan lokal, dengan praktek agroforestry

lokal tidak hanya melestarikan fungsi dari kepala adat, tetapi juga norma, sanksi, nilai, dan kepercayaan (unsur-unsur dari kelembagaan) tradisional yang berlaku di lingkungan suatu komunitas; (d) Kaitannya dalam pelestarian pengetahuan tradisional, salah satu ciri dari agroforestry tradisional adalah diversitas komponen terutama hayati yang tinggi (polyculture). Sebagian dari tanaman tersebut sengaja ditanam atau dipelihara dari permudaan alam guna memperoleh manfaat dari beberapa bagian tanaman sebagai bahan baku pengobatan. Meskipun hampir di seluruh kecamatan di Indonesia sudah tersedia Puskesmas atau Puskesmas Pembantu (Pusban), tetapi masyarakat masih banyak yang


(15)

memanfaatkan lingkungannya sebagai ‘tabib’ bilamana mereka sakit. Sebagai contoh pada masyarakat Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung di Kalimantan Timur mengenal berbagai macam tumbuhan obat, di antaranya tanaman berkayu yang tumbuh dalam sistem kebun pekarangan dan kebun hutan mereka (budidaya lembo); (e) Menyediakan lapangan kerja, sistem agroforestry membutuhkan

tenaga kerja yang tersebar merata sepanjang tahun selama bertahun-tahun (Widianto, dkk, 2003).

Klasifikasi Sistem Agroforestry

Berbagai tipe agroforestry telah banyak diinventarisir dan dikembangkangkan dengan bentuk yang beragam tergantung kondisi wilayah, lokasi dan tujuan agroforestry itu sendiri. Namun demikian, keragaman agroforestry tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat dasar utama, yaitu:

(1) Berdasarkan strukturnya (Structural Basis) yang berarti penggolongan dilihat dari komposisi komponen-komponen penyusunnya (tanaman pertanian, hutan, pakan, dan/atau ternak). Agroforestry dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Agrisilvikultur (Agrisilvicultural Systems)

Sistem agroforestry yang mengkombinasikan komponen kehutanan (atau tanaman berkayu/woody plants) dengan komponen pertanian (atau tanaman non-kayu). Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur panjang (tree crops) dan tanaman non-kayu dari jenis tanaman semusim (annual crops).

b. Silvopastura (Silvopastural Systems)

Sistem agroforestry yang meliputi komponen kehutanan (atau tanaman berkayu) dengan komponen peternakan (atau binatang ternak/pasture).


(16)

Kedua komponen dalam silvopastura seringkali tidak dijumpai pada ruang dan waktu yang sama (misal: penanaman rumput hijauan ternak di bawah tegakan pinus, atau yang lebih ekstrim lagi adalah sistem ‘cut and carry’ pada pola pagar hidup/living fences of fodder hedges and shrubs; atau pohon pakan serbaguna/multipurpose fodder trees pada lahan pertanian yang disebut ‘protein bank’).

c. Agrosilvopastura (Agrosilvopastural Systems)

Merupakan pengkombinasian komponen berkayu (kehutanan) dengan pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan/binatang pada unit manajemen lahan yang sama. Contoh: berbagai bentuk kebun pekarangan (home-gardens), kebun hutan (forest-gardens), ataupun kebun desa (village-forest-gardens), seperti sistem Parak di Maninjau (Sumatera Barat) atau

Lembo dan Tembawang di Kalimantan.

(Sardjono, dkk, 2003).

(2) Berdasarkan masa perkembangannya, agroforestry dapat dibedakan menjadi : a. Agroforestry tradisional/klasik yaitu setiap sistem pertanian, di mana

pohon-pohonan baik yang berasal dari penanaman atau pemeliharaan tegakan/tanaman yang telah ada menjadi bagian terpadu, sosial-ekonomi dan ekologis dari keseluruhan sistem (agroecosystem).

b. Agroforestry modern umumnya hanya melihat pengkombinasian antara

tanaman keras atau pohon komersial dengan tanaman sela terpilih. Contoh: berbagai model tumpangsari (baik yang dilaksanakan oleh Perhutani di hutan jati di Jawa atau yang coba diperkenalkan oleh beberapa pengusaha Hutan Tanaman Industri/HPHTI di luar Jawa).


(17)

(3) Berdasarkan sistem produksi, agroforestry dibedakan menjadi :

a. Agroforestry berbasis hutan adalah bentuk agroforestry yang diawali

dengan pembukaan sebagian areal hutan dan/atau belukar untuk aktivitas pertanian (agroforest).

b. Agroforestry berbasis pada pertanian yaitu produk utama tanaman

pertanian dan atau peternakan tergantung sistem produksi pertanian dominan di daerah tersebut. Komponen kehutanan merupakan elemen pendukung bagi peningkatan produktivitas dan/atau sustainabilitas.

c. Agroforestry berbasis pada keluarga adalah agroforestry yang

dikembangkan di areal pekarangan rumah (homestead agroforestry). (Sardjono, dkk, 2003).

(4) Berdasarkan orientasi ekonomi, agroforestry dibedakan atas :

a. Agroforestry komersial (Commercial Agroforestry) yaitu pengelolaannya

dimaksudkan untuk menghasilkan produk bernilai ekonomis tinggi melebihi sistem monokultur.

b. Agroforestry subsisten (Subsistence Agroforestry) yaitu agroforestry

yang dikelola dengan tanpa mempertimbangkan input dan output, berbasis tenaga keluarga dan umumnya merupakan dampak dari sistem perladangan berpindah.

c. Agroforestry semi komersial (Semi-Commercial Agroforestry) yaitu

sistem agroforestry yang memiliki sifat di antara komersil dan subsisten

dengan tingkat pengelolaan dan pencapaian produksi medium dan tetap mempetimbangkan input meski pada tingkat yang tidak maksimal.


(18)

Keuntungan dan Kelemahan Sistem Agroforestry

Penerapan sistem agroforestry mendatangkan keuntungan dan kelemahan yang berpengaruh pada ekologi atau lingkungan, ekonomi dan sosial. Keuntungan secara ekologi dapat berupa :

1. Secara ekologis agronomis, sistem agroforestry ternyata dapat menunujukkan banyak manfaat yang tidak dijumpai pada sistem pertanaman lainnya. Apabila pada lahan miring penggunaan sistem agroforestry, maka secara umum pohon-pohon akan menyediakan struktur

permanen di atas dan di bawah tanah bagi sistem pertanaman. Dengan cara ini, pergerakan air dan tanah akan dihambat dan kehilangan akibat erosi tanah dapat berkurang banyak

2. Sistem agroforestry juga mampu memberikan dampak posotif terhadap

kesuburan tanah, terutama jika menggunakan pohon dan perdu dari jenis legume yang menyediakan mekanisme penyediaan nitrogen melalui fiksasi bioligis

3. Sisem agroforestry mempengaruhi populasi invertebrata dan

mikroorganisme, sehingga mampu berperan lebih banyak dalam agroekosistem

4. Agroforestry juga merupakan salah satu sarana pentung untuk

merehabilitasi lahan kritis, terutama di daerah hulu DAS (Arief, 2001).

Secara ekonomis, agroforestry memberikan keuntungan yang cukup

berarti bagi petani, masyarakat, daerah atau negara. Keuntungan-keuntungan ini dapat meliputi :


(19)

1. Peningkatan kesinambungan hasil-hasil pangan, pakan ternak, kayu bakar, pupuk dan kayu pertukangan

2. Mengurangi terjadinya kegagalan total tanaman pertanian yang biasanya terjadi pada tanaman jenis tunggal atau sistem monokultur

3. Meningkatkan jumlah pendapatan pertanian karena peningkatan produktifitas dan kesinambungan produksi.

Selain manfaat ekonomi, juga terdapat manfaat-manfaat sosial melalui peningkatan hasil produksi pohon dan tanaman serta peningkatan kelestarian hasil-hasil. Manfaat-manfaat ini meliputi :

1. Peningkatan standar kehidupan di pedesaan melalui penyediaan lapangan kerja berkelanjutan dan pendapatan yang lebih tinggi

2. Peningkatan gizi dan kesehatan karena meningkatnya kualitas dan keanekaragaman hasil dan pangan

3. Stabilisasi dan peningkatan pada masyarakat dataran tinggi dengan menghapuskan kebutuhan untuk memindahkan ladang dalam kegiatan pertanian.

(Lahjie, 2004).

Selain keuntungan tersebut di atas, sistem agroforestry juga memiliki

kelemahan-kelemahan, baik secara ekologi atau lingkungan, maupun secara sosial ekonomi. Kelemahan dari aspek lingkungan antara lain : (1) Kemungkinan terjadinya persaingan sinar matahari, air tanah dan hara antara tanaman pohon (hutan) dengan tanaman pertanian/pangan dan pakan ; (2) Kerusakan tanaman pangan pada saat dilakukan pemanenan tanaman pohon (terutama saat penebangan kayu); (3) Tanaman pohon secara potensial dapat menjadi inang bagi


(20)

hama dan penyakit tanaman pertanian; dan (4) Relatif lamanya regenerasi tanaman pohon menyebabkan penyempitan lahan untuk tanaman pangan sejalan dengan semakin besarnya tanaman pohon. Kelemahan dari segi sosial ekonomi antara lain: (1) Terbatasnya tenaga kerja yang berminat di bidang pertanian, khisusnya dalam membangun sistem agroforestry; (2) Terjadinya persaingan

antara tanaman pohon dengan tanaman pangan yang dapat menurunkan hasil tanaman pangan (sumber gizi keluarga) dibandingkan pada penanaman dengan sistem monokultur; (3) Waktu yang cukup lama untuk menunggu panen tanaman pohon dapat mengurangi produksi sistem agroforestry tersebut; (4) Sistem

agroforestry diakui lebih kompleks sehingga lebih sulit diterapkan apalagi dengan

pengetahuan petani yang terbatas dibandingkan pada sistem pertanian monokultur yang biasa digunakan; dan (5) Keengganan sebagian besar petani untuk menggantikan tanaman pertanian/pangan dengan tanaman pohon atau sebaliknya, yang lebih bernilai ekonomis (Chundawat and Gautam, 1993).

Dengan tingkat pengetahuan yang memadai, sebenarnya kelemahan-kelemahan sistem agroforestry tersebut di atas dapat dikendalikan atau seluruhnya dengan jalan : (1) Penggunaan pohon kacang-kacangan atau tanaman berbuah polong yang sedikit dalam menghambat sinar matahari, sehingga kebutuhan cahaya untuk tanaman pangan dapat terpenuhi; (2) Pemilihan tanaman pohon dengan sistem perakaran yang dalam sehingga mengurangi persaingan hara dan air dengan tanaman pangan di sekitar permukaan atau tanah lapisan atas; (3) Jarak tanaman pohon yang dibuat lebih besar, sehingga mengurangi persaingan cahaya matahari, hara dan air tanah dengan tanaman pangan


(21)

Analisis Finansial Agroforestry

Pendapatan dalam kegiatan agroforestry adalah pendapatan bersih petani (penerimaan dikurang biaya produksi) dalam satu periode panen dari setiap komponen agroforestry. Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan yang

diperoleh dari usaha dengan biaya yang dikeluarkan untuk usaha tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dalam penerapan sistem agroforestry antara lain luas lahan, status kepemilikan lahan, jumlah tenaga kerja,

umur petani, pendidikan petani, komposisi jenis tanaman dan sistem agroforestry yang digunakan.

Penerapan sistem agroforestry yang menghasilkan bermacam-macam

produk dapat meningkatkan pendapatan petani karena tidak bergantung pada satu komoditi saja, misalnya salah satu komoditi yang ditanam gagal panen, masih ada alternatif komoditi lain yang dapat menghasilkan keuntungan. Pencampuran tanaman semusim/pangan dan pohon dalam jangka panjang akan menjaga penurunan kesuburan lahan dan produksi tanaman pangan sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani.

Keberadaan pohon dalam agroforestry mempunyai dua peranan utama. Pertama, pohon dapat mempertahankan produksi tanaman pangan dan

memberikan pengaruh positif pada lingkungan fisik, terutama dengan memperlambat kehilangan hara dan energi, dan menahan daya perusak air dan angin. Kedua, hasil dari pohon berperan penting dalam ekonomi rumah tangga

petani. Pohon dapat menghasilkan: (1) Produk yang digunakan langsung seperti pangan, bahan bakar, bahan bangunan; (2) Input untuk pertanian seperti pakan


(22)

ternak, mulsa; serta (3) Produk atau kegiatan yang mampu menyediakan lapangan kerja atau penghasilan kepada anggota rumah tangga.

Sistem produksi agroforestry memiliki suatu kekhasan, di antaranya: a. Menghasilkan lebih dari satu macam produk

b. Pada lahan yang sama ditanam paling sedikit satu jenis tanaman semusim dan satu jenis tanaman tahunan/pohon

c. Produk-produk yang dihasilkan dapat bersifat terukur (tangible) dan tak terukur (intangible)

d. Terdapat kesenjangan waktu (time lag) antara waktu penanaman dan pemanenan produk tanaman tahunan/pohon yang cukup lama

Analisis ekonomi terhadap suatu sistem agroforestry harus memperhatikan ciri-ciri sistem agroforestry tersebut di atas. Pada kondisi nyata di lapangan,

produksi dari suatu sistem agroforestry membutuhkan jangka waktu lama untuk dapat menghasilkan produk dari spesies tanaman tahunan. Selain itu manfaat keberadaan sistem agroforestry terhadap lingkungan tidak bisa dilihat dalam waktu pendek. Oleh karena itu analisis jangka panjang dianggap lebih tepat untuk melihat keseluruhan keuntungan yang dapat diberikan oleh suatu sistem agroforestry.

Sistem agroforestry menghasilkan bermacam-macam produk yang jangka waktu pemanenannya berbeda, di mana paling sedikit satu jenis produknya membutuhkan waktu pertumbuhan yang lebih dari satu tahun. Untuk melihat sejauh mana suatu usaha agroforestry memberikan keuntungan, maka analisis

yang paling sesuai untuk dipakai adalah analisis proyek yang berbasis finansial. Analisis finansial pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui seberapa besar


(23)

manfaat yang diperoleh, biaya yang dikeluarkan, berapa keuntungannya, kapan pengembalian investasi terjadi dan pada tingkat suku bunga berapa investasi itu memberikan manfaat. Melalui cara berpikir seperti itu maka harus ada ukuran-ukuran terhadap kinerjanya.Ukuran-ukuran-ukuran yang digunakan umumnya adalah :

a. Payback Period

b. Net Present Value (NPV)

c. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) atau Rasio Keuntungan Biaya dan

d. Internal Rate of Return (IRR).

Berdasarkan data-data pendapatan (penerimaan), pengeluaran (biaya) dan keuntungan bersih maka dapat dilakukan perhitungan-perhitungan NPV dan Net

B/C untuk digunakan sebagai alat pengambilan keputusan dalam menanamkan

investasi. Ukuran-ukuran seperti itu diperlukan untuk mengetahui prospek usaha suatu sistem agroforestry secara finansial serta untuk membandingkan antara usaha tani dengan pola agroforestry dengan usaha tani pola monokultur. Analisis finansial melalui perhitungan dan kriteria investasi yang meliputi:

a. Payback Period

Merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui jangka waktu kembalinya investasi yang telah dikeluarkan. Keuntungan dari analisis ini adalah mudah dimengerti dan dihitung, namun memiliki beberapa kelemahan diantaranya tidak dapat mengukur keuntungan dari suatu usaha. Dengan model formulasi sebagai berikut :

Payback Period = Cost Konstruksi Jumlah Net Benefit / n tahun (Lahjie, 2004).


(24)

b. Net Present Value (NPV)

Yaitu nilai saat ini yang mencerminkan nilai keuntungan yang diperoleh selama jangka waktu pengusahaan dengan memperhitungkan nilai waktu dari uang atau time value of money. Karena jangka waktu kegiatan suatu usaha agroforestry cukup panjang, maka tidak seluruh biaya bisa dikeluarkan pada saat

yang sama, demikian pula hasil yang diperoleh dari suatu usaha agroforestry dapat berbeda waktunya. Untuk mengetahui nilai uang di masa yang akan datang dihitung pada saat ini, maka baik biaya maupun pendapatan agroforestry di masa yang akan datang harus dikalikan dengan faktor diskonto yang besarnya tergantung kepada tingkat suku bunga bank yang berlaku di pasaran. Dengan model formulasi sebagai berikut :

NPV =

=

= +

n t

t

t

i Ct Bt

0 (1 )

Di mana:

NPV = Nilai bersih sekarang

Bt = Benefit (aliran kas masuk pada periode-t)

Ct = Biaya total

i = Interest (tingkat suku bunga bank yang berlaku)

t = Periode waktu

Dengan kriteria apabila NPV > 0 berarti usaha tersebut menguntungkan,


(25)

c. Benefit Cost Ratio (B/C Rasio)

Yaitu perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran selama jangka waktu pengusahaan (dengan memperhitungkan nilai waktu dari uang atau time value of money). Dengan model formulasi sebagai berikut :

Net B/C =

= = = = +− +− n t t t n t t t i Ct Bt i Ct Bt 0 0 ) 1 ( ) 1 (

Dengan kriteria Net B/C rasio > 1 dinyatakan usaha tersebut layak

diusahakan dan sebaliknya jika Net B/C rasio < 1 berarti usaha tersebut tidak

layak diusahakan.

d. Internal Rate of Returns (IRR)

Menunjukkan tingkat suku bunga maksimum yang dapat dibayar oleh suatu proyek/usaha atau dengan kata lain merupakan kemampuan memperoleh pendapatan dari uang yang diinvestasikan. Dalam perhitungan, IRR adalah tingkat suku bunga apabila Net B/C yang terdiskonto sama dengan nol. Usaha agroforestry akan dikatakan layak apabila nilai IRR lebih besar dari tingkat

suku bunga yang berlaku di pasar pada saat tersebut. Dengan model formulasi sebagai berikut :

IRR = i1 + 2 1

1 2 1 i i NPV NPV NPV − × −

Dimana : i1 = Discount Factor (tingkat bunga) pertama dimana diperoleh

NPV Positif.

i2 = Discount Factor (tingkat bunga) kedua dimana diperoleh

NPV Negatif. (Suharjito, 2003).

Bt – Ct > 0


(26)

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Nagari Koto Malintang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan April 2007.

Populasi dan Sampel Penelitian

Jumlah penduduk di Nagari Koto Malintang sebanyak 707 KK (Sumber:

Kantor Kelurahan/Wali Nagari Koto Malintang, 2006), tetapi yang menjadi

populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh Kepala Keluarga di Nagari Koto Malintang yang memiliki lahan agroforestry yaitu sebanyak 319 KK (Sumber:

Kantor Kelurahan/Wali Nagari Koto Malintang, 2006). Jumlah sampel dalam

penelitian ini adalah 15 % dari populasi yang memiliki lahan agroforestry yaitu 50 KK. Menurut Arikunto (1996), bahwa apabila populasinya lebih kecil dari 100 sebaiknya diambil semua, tetapi bila populasinya besar dari 100 maka dapat diambil 10 %-15 % saja.

Metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara Purposive Sampling (sampel bertujuan). Menurut Soekartawi (1995), dalam purposive sampling,

pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri atau sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Metode purposive sampling ini digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dalam suatu penelitian.


(27)

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah : 1. Data primer

Data primer yang diperlukan adalah :

a. Karakteristik responden : nama, umur, mata pencaharian, jumlah anggota keluarga dan pendidikan.

b. Sistem agroforestry di Nagari Koto Malintang.

c. Pendapatan dan Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pendapatan sistem agroforestry.

d. Kelayakan finansial sistem agroforestry

2. Data Sekunder

Data sekunder yang diperlukan adalah data umum yang ada pada instansi pemerintah desa, kecamatan, dinas kehutanan dan perkebunan, BPS dan lembaga-lembaga lain yang terkait.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara : 1. Kuisioner

Kuisioner merupakan suatu set pertanyaan yang ditujukan kepada seluruh sampel dalam penelitian. Data yang diperlukan adalah data primer. Adapun contoh kuisioner yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 9.


(28)

2. Wawancara Mendalam (Deep Interview)

Wawancara ditujukan untuk melengkapi data lainnya yang berkaitan dengan penelitian.

3. Observasi

Survey langsung ke lapangan dengan melihat kehidupan sehari-hari masyarakat dan kondisi lahan agroforestry.

4. Studi Pustaka

Dilakukan untuk mendapatkan data-data sekunder yang diperlukan dalam penelitian.

Pengolahan Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif dan statistik. Analisis-analisis yang digunakan adalah :

1. Analisis Deskriptif

Menurut Nazir (1988), metode deskriptif digunakan untuk mengetahui dan menganalisis data yang terkumpul dari hasil kuisioner, wawancara mendalam, observasi dan studi pustaka. Data yang terkumpul dari hasil kuisioner dinyatakan dalam bentuk tabel (tabulasi) frekuensi silang yang berupa data karakteristik responden yang meliputi umur, pendidikan, mata pencaharian, jumlah anggota keluarga, data bentuk pengelolaan yang meliputi jumlah tenaga kerja, luas lahan, status lahan, komponen penyusun, bentuk atau tipe agroforestry, dianalisis secara deskriptif berdasarkan tabulasi.


(29)

2. Analisis Regresi Berganda

Sistem agroforestry telah lama dikembangkan oleh masyarakat di Nagari Koto Malintang sebagai suatu tradisi yang turun temurun dan kegiatan ini dilakukan dalam upaya masyarakat untuk mengelola lahan secara optimal untuk mendatangkan pendapatan yang besar dari hasil penjualan komoditi agroforestry. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pendapatan sistem agroforestry digunakan analisis regresi berganda dengan metode stepwise. Metode stepwise yaitu metode dimana adanya pemisahan variabel bebas yang layak masuk dalam model regresi dengan variabel bebas yang tidak layak masuk dalam regresi akan dikeluarkan (elimination). Secara sistematis regresi linear berganda dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut :

Y = a0 + a1 X1 + a2 X2 + a3 X3 + a4 X4 + a5 X5 + a6 X6

Dimana : Y = Pendapatan a0 = Intercept

a1 = Koefisien penduga dari xi (i = 1,2,3,4,5)

X1 = Luas lahan

X2 = Umur

X3 = Jumlah tenaga kerja

X4 = Pendidikan

X5 = Status kepemilikan lahan

X6 = Tipe/bentuk agroforestry

3. Analisis Finansial

Untuk melihat sejauh mana suatu usaha agroforestry memberikan keuntungan, maka analisis yang paling sesuai untuk dipakai adalah analisis proyek yang berbasis finansial. Analisis finansial pada dasarnya dilakukan untuk


(30)

mengetahui seberapa besar manfaat yang diperoleh, biaya yang dikeluarkan, berapa keuntungannya, kapan pengembalian investasi terjadi dan pada tingkat suku bunga berapa investasi itu memberikan manfaat.

Data yang diperoleh dari kuisioner dan wawancara mendalam yang meliputi kegiatan pengelolaan Parak, biaya produksi, produksi/volume hasil, harga jual komoditi, dan pendapatan dinyatakan dalam bentuk tabulasi. Kemudian di analisis finansialnya dengan menghitung besarnya nilai Payback Period, NPV, Net B/C dan IRR dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

1. Payback Period = Cost Konstruksi

Jumlah Net Benefit / n tahun

2. Net Present Value (NPV) =

= = + − n t t t i Ct Bt

0 (1 )

3. Net B/C =

= = = = +− +− n t t t n t t t i Ct Bt i Ct Bt 0 0 ) 1 ( ) 1 (

4. Internal Rate of Returns (IRR) = i1 + 2 1 1 2 1 i i NPV NPV NPV − × − Di mana:

NPV = Nilai bersih sekarang

Bt = Benefit (aliran kas masuk pada periode-t)

Ct = Biaya total

Bt – Ct > 0


(31)

i = Interest (tingkat suku bunga bank yang berlaku)

t = Periode waktu

i1 = Discount Factor (tingkat bunga) pertama dimana diperoleh NPV

Positif.

i2 = Discount Factor (tingkat bunga) kedua dimana diperoleh NPV

Negatif.

Suatu usaha dikatakan layak secara finansial dengan kriteria sebagai berikut :

1. Jika nilai NPV > 0

2. Jika nilai Net B/C Rasio > 1


(32)

0 10 20 30 40 50

20 - 30 31 - 40 41 – 50 51 - 60 > 61 Umur (tahun) J u m la h R e s p o n d e n ( o ra n g ) Jumlah Responden Frekuensi (orang) Jumlah Responden Proporsi (%)

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. Karakteristik Responden

Karakteristik responden merupakan salah satu unsur yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat pendapatan petani agroforestry. Karakteristik responden yang dianalisis dalam penelitian ini antara lain: umur, pendidikan, mata pencaharian, dan jumlah anggota keluarga. Rata-rata umur petani responden berkisar antara umur 25 – 65 tahun. Distribusi responden berdasarkan umur disajikan dalam Tabel 1 dan Gambar 1..

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur No. Kelompok Umur

(Tahun)

Frekuensi Proporsi (%)

1 20 – 30 5 10

2 31 – 40 19 38

3 41 – 50 15 30

4 51 – 60 8 16

5 > 61 3 6

Jumlah 50 100

Sumber : Data Primer, 2007

Gambar 1. Responden Berdasarkan Umur

Tabel 1 dan Gambar 1 di atas memperlihatkan bahwa konsentrasi umur responden berada dalam kelompok usia antara 31 – 40 tahun (38%), menyusul


(33)

0 10 20 30 40 50 60 Tidak Sekolah

SD SLTP SLTA PT

Tingkat Pendidikan J u m la h R e s p o n d e n ( o ra n g ) Jumlah Responden Frekuensi (orang) Jumlah Responden Proporsi (%)

kelompok usia antara 41 – 50 tahun (30%), kelompok usia antara 51 – 60 tahun (16%), kelompok usia antara 20 – 30 tahun (10%) dan kelompok usia < 61 tahun (6%). Rata-rata umur responden adalah 38 tahun. Umur responden tersebut tergolong pada usia produktif yaitu berada antara 15 – 64 tahun, sehingga dapat dikatakan bahwa tenaga kerja responden masih potensial untuk mengelola usahataninya. Umur akan menunjukkan kemampuan fisik. Pada umur tertentu seorang pekerja mencapai titik optimal, kemudian dengan penurunan umur maka kemampuan fisik seseorang akan menurun. Untuk petani responden yang berusia muda pada umumnya menjadi petani karena warisan dari orang tuanya atau karena tidak mempunyai keterampilan lain selain bertani.

Karakteristik responden selanjutnya adalah tingkat pendidikan dan mata pencaharian. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan disajikan dalam Tabel 2 dan Gambar 2.

Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan No. Tingkat Pendidikan Frekuensi Proporsi (%)

1 Tidak Sekolah 2 4

2 S D (SD/SR/MI) 4 8

3 S L T P (SMP/MTs) 25 50

4 SLTA(SMA/SMU/SMK/MA) 14 28

5 Perguruan Tinggi (D1, D2, D3, Akademi, Sarjana Muda, Sarjana)

5 10

Jumlah 50 100

Sumber : Data Primer, 2007


(34)

Tingkat pendidikan formal berperan terhadap proses untuk meningkatkan pendapatan karena dengan pendidikan akan diperoleh keahlian teknik budidaya dan kemampuan terhadap penyerapan teknologi. Tabel 2 dan Gambar 2 di atas menunjukkan tingkat pendidikan responden di Nagari Koto Malintang pada umumnya kebanyakan responden berlatar belakang pendidikan SLTP yaitu 25 orang (50%), diikuti pendidikan SLTA sebanyak 14 orang (28%), Perguruan Tinggi sebanyak 5 orang (10%), SD sebanyak 4 orang (8%) dan Tidak Sekolah sebanyak 2 orang (4%). Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa pendidikan responden relatif masih rendah. Tingkat pendidikan petani ini sangat berpengaruh terhadap wawasan dan cara berpikir petani dalam menentukan tindakan usahataninya. Menurut Djamali (2002), tingkat pendidikan sejalan dengan tingkat produktivitas dan efisiensi kerja. Semakin tinggi kompleksitas suatu pekerjaan, maka semakin tinggi tingkat pendidikan yang dibutuhkan.

Pada umumnya pekerjaan utama para petani responden adalah bertani. Adapun karakteristik responden berdasarkan jenis mata pencaharian disajikan dalam Tabel 3 dan Gambar 3.

Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian No. Jenis Mata Pencaharian Frekuensi Proporsi (%)

1 Petani 39 78

2 Pedagang 3 6

3 Wiraswasta 2 4

4 PNS 6 12

Jumlah 50 100


(35)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Petani Ped agang Wiras was ta PNS

Je nis Mata Pe ncaharian

Ju m la h R es p o n d en ( o ra n g ) Jumlah Responden Frekuensi (orang) Jumlah Responden Proporsi (%) 0 10 20 30 40 50 60

1 – 3 4 – 6 7 – 9 > 9

Jum lah Anggota Ke luarga (orang)

Ju m la h R es p o n d en ( o ra n g )

Jumlah Responden Frekuensi (orang)

Jumlah Responden Proporsi (%)

Gambar 3. Responden Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian

Berdasarkan Tabel 3 dan Gambar 3 di atas menunjukkan mata pencaharian petani responden pada umumnya adalah bertani (78%). Selain dibidang usaha tani, responden juga bekerja diluar usaha tani antara lain sebagai pedagang (6%), wiraswasta (4%) dan PNS (12%).

Sebagian besar petani responden memiliki jumlah anggota keluarga rata-rata 4 – 6 orang. Distribusi responden berdasarkan jumlah anggota keluarga disajikan dalam Tabel 4 dan Gambar 4.

Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga

No. Jumlah Anggota Keluarga (Orang) Frekuensi Proporsi (%)

1 1 – 3 9 18

2 4 – 6 25 50

3 7 – 9 15 30

4 > 9 1 2

Jumlah 50 100

Sumber : Data Primer, 2007


(36)

Besar kecilnya jumlah anggota keluarga akan sangat berpengaruh terhadap pengurangan dan peningkatan produksi usaha tani, karena semakin besarnya anggota keluarga akan mencerminkan ketersediaan tenaga kerja yang bekerja untuk meningkatkan usaha tani, namun dilain pihak dengan besarnya anggota keluarga akan mempengaruhi terhadap pendapatan karena besarnya biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi rumah tangga lebih banyak sehingga dituntut untuk menghasilkan produk usaha tani lebih besar. Tabel 4 dan Gambar 4 di atas menunjukkan bahwa konsentrasi jumlah anggota keluarga berada dalam kelompok interval antara 1 – 3 orang (18%), menyusul kelompok interval antara 4 – 6 orang (50%), kelompok interval 7 – 9 orang (30%) dan kelompok interval > 9 orang (2%). Kondisi ini menggambarkan keadaan anggota keluarga responden termasuk dalam kategori keluarga kecil, sehingga ketersediaan tenaga kerja dari dalam keluarga sangat kecil.

II. Sistem Agroforestry di Nagari Koto Malintang

Sistem agroforestry yang ada di Nagari Koto Malintang merupakan sistem agroforestry kompleks, yaitu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak

jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan. Di dalam sistem ini selain terdapat beraneka jenis pohon juga terdapat tanaman perdu, tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah yang banyak.


(37)

Nagari Koto Malintang memiliki ciri kebudayaan yang tua dengan beragam sistem pertanian perpaduan sawah beririgasi dan bermacam tanaman keras. Petani Koto Malintang telah mengembangkan kebun campuran pepohonan (Parak) yang sangat mengesankan. Kebun-kebun ini sudah dikembangkan sejak dahulu kala, berawal dari upaya bekas tegakan hutan yang ditanami kembali dengan pepohonan setelah ditanami padi.

Berdasarkan keterangan penduduk setempat pada tahun 1901 masyarakat sudah memulai menanam durian untuk dikonsumsi lokal. Pohon durian selain berfungsi sebagai pencegah tanah longsor juga mempunyai nilai ekonomi dan bermanfaat bagi anak cucu keturunannya. Tahun 1935 masyarakat mulai menanam kayu manis. Jadi jelas bahwa sistem agroforestry telah lama diterapkan oleh masyarakat di Nagari Koto Malintang secara turun temurun.

Terbentuknya sistem agroforestry di Nagari Koto Malintang berawal dari pengusahaan lahan bekas hutan alam atau semak belukar yang diawali dengan penebangan dan pembakaran semua tumbuhan. Pada awal musim penghujan, lahan ditanami padi gogo yang disisipi tanaman semusim lainnya (jagung, cabe) untuk satu dua kali panen. Setelah dua kali panen tanaman semusim, intensifikasi penggunaan lahan ditingkatkan dengan menanam pepohonan, misalnya surian, bayur atau tanaman keras lainnya. Pada periode awal ini, terdapat perpaduan sementara antara tanaman semusim dengan pepohonan. Pada saat pohon sudah dewasa, petani masih bebas memadukan bermacam-macam tanaman tahunan lain yang bermanfaat dari segi ekonomi dan budaya, misalnya penyisipan pohon durian, kopi, dan coklat. Tanaman semusim sudah tidak ada lagi. Tumbuhan asli hutan yang bermanfaat bagi petani tetap dibiarkan kembali tumbuh secara alami


(38)

dan dipelihara di antara tanaman utama, misalnya surian, bayur, kayu manis. Tebang pilih akan dilakukan bila tanaman pokok mulai terganggu atau bila pohon terlalu tua sehingga tidak produktif lagi.

Petani responden menerapkan praktik pertanian konvensional (menanam, menyiangi, memupuk, menebang) dan berusaha mengintegrasikan proses alami bahan organik, perputaran unsur hara, dan regenerasi vegetasi dalam mengelola Parak. Dalam pengelolaan Parak hanya tenaga keluarga yang dipakai. Masa

paling sibuk dalam pekerjaan ialah pada musim durian, dan pada masa panen kayu manis. Suami menebang pohon, istri dan anak-anak mengelupas kulit dan membawanya ke rumah. Sebagian besar kegiatan pengelolaan kebun campuran tidak tertentu waktunya dan bila perlu dapat diatur bergiliran. Pengumpulan kayu bakar dan penyiangan biasanya dilakukan oleh perempuan, penanaman oleh laki-laki, sedangkan pemetikan buah-buahan dikerjakan oleh seluruh anggota keluarga.

Rata-rata petani responden menggunakan tenaga kerja sekitar 3 – 4 orang. Tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja keluarga. Distribusi responden berdasarkan jumlah tenaga kerja disajikan dalam Tabel 5 dan Gambar 5.

Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja No. Jumlah Tenaga Kerja (Orang) Frekuensi Proporsi (%)

1 1 – 2 14 28

2 3 – 4 35 70

3 > 4 1 2

Jumlah 49 100


(39)

0 10 20 30 40 50 60 70 80

1 – 2 3 – 4 > 4

Jum lah Te naga Ke rja (orang)

Ju m la h R es p o n d en ( o ra n g )

Jumlah Responden Frekuensi (orang)

Jumlah Responden Proporsi (%)

Gambar 5. Responden Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja

Tenaga kerja yang bekerja pada lahan agroforestry pada umumnya adalah tenaga kerja keluarga. Tabel 5 dan Gambar 5 di atas menunjukkan jumlah tenaga kerja terbanyak berkisar antara 3- 4 orang (70%), tenaga kerja 1 – 2 orang (28%) dan yang paling sedikit tenaga kerja > 4 orang (2%). Kegiatan pengelolaan Parak tidak tertentu waktunya dan dapat diatur secara bergiliran. Tenaga kerja yang bekerja di Parak adalah tenaga kerja keluarga. Pengumpulan kayu bakar dan penyiangan biasanya dilakukan oleh perempuan, penanaman dilakukan oleh laki-laki, sedangkan pemetikan buah-buahan dikerjakan oleh seluruh anggota keluarga. Masa paling sibuk dalam pekerjaan ialah pada musim durian dan pada masa panen kayu manis. Biasanya sesama petani saling membantu, misalnya pada masa panen kayu manis yang laki-laki menebang pohon, perempuan mengelupas kulit dan membawanya ke desa.

Luas lahan adalah luas lahan agroforestry yang diusahakan oleh petani responden. Distribusi responden berdasarkan luas lahan agroforestry disajikan dalam Tabel 6 dan Gambar 6.

Tabel 6. Distribusi Responden Berdasarkan Luas Lahan Agroforestry No. Luas Lahan (Ha) Frekuensi Proporsi (%)

1 < 1 Ha 16 32

2 1 – 2 Ha 28 56

3 ≥ 3 Ha 6 12

Jumlah 50 100


(40)

0 10 20 30 40 50 60

< 1 1 – 2 ≥ 3

Luas Lahan Agroforestry (Ha)

Ju m la h R es p o n d en ( o ra n g )

Jumlah Responden Frekuensi (orang)

Jumlah Responden Proporsi (%)

Gambar 6. Responden Berdasarkan Luas Lahan Agroforestry

Tabel 6 dan Gambar 6 menunjukkan frekuensi terbanyak terdapat pada kelompok petani yang mempunyai lahan 1 – 2 hektar yaitu 28 orang (56%). Kelompok berikutnya adalah petani yang mempunyai lahan < 1 hektar yaitu 16 orang (32%). Kelompok terakhir adalah petani yang mempunyai lahan ≥ 3 hektar yaitu 6 orang (12%). Perbedaan golongan petani berdasar luas lahan ini akan berpengaruh terhadap sumber dan distribusi pendapatannya. Pada luasan lahan yang dimiliki petani tersebut di atas petani responden akan berusaha seoptimal mungkin untuk mengusahakan usaha taninya agar dapat berhasil dan mencukupi kebutuhan rumah tangga mereka.

Lahan agroforestry di Nagari Koto Malintang adalah milik sendiri yang diperoleh dari warisan keluarga. Distribusi responden berdasarkan status kepemilikan lahan Agroforestry disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7. Distribusi Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan Agroforestry

No. Status Lahan Frekuensi Proporsi (%)

1 Milik Sendiri 50 100

2 Sewa 0 0

Jumlah 50 100

Sumber : Data Primer, 2007

Adat istiadat penduduk Nagari koto Malintang khas seperti keseluruhan masyarakat Minangkabau. Sifat masyarakat Minang adalah matrilinial, dengan


(41)

satuan sosial keluarga luas. Biasanya, parak dibagi di antara anak perempuan yang sudah kawin. Parak diusahakan oleh anak perempuan dan keluarganya tetapi lahan tersebut tidak dapat dijual. Pengambilan keputusan mengenai penjualan atau penggadaian sebidang tanah atau pohon harus dibuat bersama. Sistem kepemilikan tanah ini merupakan jaminan yang baik terhadap fragmentasi lahan secara berlebihan, pembagian lahan produktif, dan penumpukan pemilikan tanah oleh orang-orang kaya. Hal ini juga mengurangi kemungkinan perubahan mendadak dalam sistem pertanian karena lahan tidak dapat dijual atau diubah peruntukkannya dan pohon tidak dapat ditebang atas dasar keputusan perorangan.

Tipe/bentuk agroforestry yang diterapkan petani responden di Nagari

Koto Malintang adalah agrisilvikultur yaitu sistem agroforestry yang

mengkombinasikan komponen kehutanan (atau tanaman berkayu/woody plants) dengan komponen pertanian (atau tanaman non-kayu). Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur panjang (tree crops) dan tanaman non-kayu dari jenis tanaman semusim (annual crops). Jenis tanaman yang ada di lahan agroforestry dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu tanaman musiman (annual crop) dan tanaman tahunan (parenial crop). Jenis-jenis tanaman penyusun agroforestry disajikan dalam Tabel 8.

Tabel 8. Jenis-jenis Tanaman Penyusun Agroforestry Jenis Tanaman (Nama Lokal) Nama Ilmiah

Tanaman Musiman (Annual Crop)

Singkong Manihot esculenta

Jagung Zea Mays

Tebu Saccharum officinarum


(42)

Pisang Musa paradisiaca

Terung Solanum melongena

Kunyit Curcuma domestica

Nenas Ananas comosus

Pepaya Carica papaya

Markisah Passiflora quadrangularis

Temulawak Curcuma xanthorriza

Pinang Areca catechu

Tanaman Tahunan (Tanaman Perkebunan, Buah-buahan,dan Kayu)(Parenial Crop)

Durian Durio zibethinus

Kayu Manis Cinnamomum burmanii

Surian Toona sinensis

Bayur Pterospermum javanicum

Pala Myristica fragrans

Cengkeh Syzygium aromaticum

Jati Tectona grandis

Kopi Coffea Arabica

Coklat Theobroma cacao

Kelapa Cocos nucifera

Medang Litsea ferrunginea

Sumber : Data Primer, 2007

Tanaman tahunan (parenial crop) yang banyak dibudidayakan petani responden yaitu :

Durian (Durio zibethinus)

Karakteristik pohonnya besar dengan ketinggian sampai 40 m, merupakan komponen kanopi Parak dan spesies paling utama di Koto Malintang. Durian berbuah pada bulan Juli-Agustus sejak berumur 7 tahun. Buahnya dijual kepada pedagang setempat dan juga untuk konsumsi sendiri. Durian berasal dari biji yang


(43)

dikumpulkan dari buah paling besar dan enak, dan ditanam di tempat yang terpilih di dalam kebun. Pohon ini tidak memerlukan pemeliharaan khusus, tetapi sebelum musim berbuah vegetasi lapisan terbawah perlu dibersihkan untuk memudahkan pengumpulan buah yang jatuh. Pohon-pohon durian tua dibiarkan mati secara alami dan seringkali tumbang sewaktu ada angin kencang dan kayunya diambil untuk bangunan. Pohon durian menghasilkan kayu berwarna merah yang baik sebagai dinding rumah.

Surian (Toona sinensis)

Pohon surian berasal dari hutan setempat, berukuran sedang dan tumbuh

sampai setinggi 35 m. Pohon surian memberi naungan yang penting bagi kopi dan pala, dan menghasilkan kayu yang bagus untuk lantai atau dinding rumah dan perabotan rumah. Anakan pohon ini didapat dari semaian pada lahan yang dibersihkan di bawah pohon-pohon tua. Kayunya dipanen pada sekitar umur 30 tahun.

Bayur (Pterospermum javanicum)

Pohon besar yang bisa mencapai tinggi 35 – 40 m ini merupakan jenis pohon kanopi yang penting di agroforestryt. Bayur ditemukan tumbuh berdampingan dengan durian. Pohon bayur yang cepat pertumbuhannya ditanam untuk menghasilkan kayu bangunan. Bayur dapat dipanen setelah berumur 15 – 25 tahun. Bayur menghasilkan kayu berwarna merah yang cocok untuk lantai dan dinding rumah.


(44)

Kayu Manis (Cinnamomum burman)

Pohon kayu manis adalah salah satu tanaman ekspor utama Sumatera Barat, dan sejak berabad-abad yang lalu telah dibudidayakan di Maninjau. Dalam kebun campuran pohon ini merupakan salah satu spesies tumbuhan bawah yang utama. Pohon kayu manis ditanam di bawah tegakan durian, bayur dan spesies lain yang rapat, dari semaian yang dikumpulkan dari kebun dan dipelihara di persemaian selama setahun. Kulit pohon dapat dipanen bila pohon telah berumur 8-10 tahun; diameter batangnya lebih dari 10 cm dan tingginya sampai 15 m. Untuk memanennya pohon ditebang dan kulit batang serta dahannya diambil. Satu pohon sebesar ini rata-rata dapat menghasilkan 8 kg kulit kering. Sedangkan kayu yang kulitnya telah dikelupas diambil sebagai kayu bakar untuk dipakai sendiri atau dijual. Kerapatan rata-rata tegakan kayu manis di kebun bervariasi antara 800 dan 1500 pohon per ha tergantung dari tipe perpaduannya dengan pohon atas dan dengan spesies lapisan bawah yang lain. Cara panen dapat dipilih yaitu tegakan dipanen sekaligus lalu ditanami kembali seluruhnya, atau dipanen secara teratur 10 sampai 20 pohon ditebang bergiliran, sehingga memungkinkan regenerasi dengan tumbuhnya tunas baru.

Pala (Myristica fragrans)

Pohon ini berukuran sedang, tinggi sampai 20 m, berasal dari kepulauan bagian timur Indonesia. Pohon pala ditumbuhkan dari biji yang dipelihara di persemaian selama satu tahun, semaian ditanam di bawah kanopi pohon durian dan surian yang agak jarang. Pala dapat berdampingan juga dengan tegakan kayu manis. Kerapatan pala bervariasi antara 300 sampai 500 pohon per ha. Pada umur enam tahun pohon ini mulai berbuah dan dapat tetap menghasilkan sampai 50-70


(45)

tahun. Pohon pala berbuah sepanjang tahun, tetapi puncaknya jatuh pada bulan Juli dan Januari. Hasil bervariasi antara 10 sampai 30 kg biji pala kering per pohon per tahun, dan arilus (selaput biji) kering juga diambil dan dijual sebagai ‘bunga pala’.

Kopi (Coffea canephora)

Tanaman kopi merupakan komponen dominan di dalam sistem kebun campuran sampai tahun 1940, saat budidayanya mulai ditinggalkan. Akhir-akhir ini kopi mulai ditanam kembali. Kopi ditanam di bawah kanopi durian yang kurang rapat. Bibitnya diambil dari kebun-kebun telantar di bagian atas lereng. Selama tahun-tahun awal pertumbuhannya, kopi muda ditanam berdampingan dengan pisang dan pepaya; pada saat yang sama tanaman muda surian, demikian pula bayur, dan jenis-jenis kayu yang lain juga ditanam di antara tegakan kopi. Tanaman kopi sering dipupuk dengan kulit durian yang telah membusuk. Pemangkasan kopi umumnya tidak dilakukan. Tingkat produksi kopi di sini umumnya rendah, rata-rata 120 kg biji kering per ha per tahun. Puncak produksi jatuh pada bulan Juli-Agustus, meskipun masa berbuah kadang-kadang berlangsung sepanjang tahun. Di dalam kebun campuran tidak ada yang hanya berisi tegakan kopi. Setelah penurunan secara drastis nilai ekonomi kopi pada tahun 1930an, petani semakin terdorong memadukan kopi (dan tanaman komersial lain) dengan tanaman buah-buahan dan kayu-kayuan. Pohon-pohon ini berperan sebagai naungan kopi dan meningkatkan hasil keseluruhan kebun.

Tanaman musiman (annual crop) yang banyak dibudidayakan petani responden, yaitu : pisang (Musa paradisiaca), cabai (Capsicum annuum), terung (Solanum melongena), jagung (Zea mays), pepaya (Carica papaya), Singkong


(46)

(Manihot esculent), Tebu (Saccharum officinarum), Kunyit (Curcuma domestica), Nenas (Ananas comosus), Markisah (Passiflora quadrangularis), Temulawak (Curcuma xanthorriza), dan Pinang (Areca catechu). Tanaman umbi-umbian dihindari karena adanya gangguan babi hutan yang luar biasa.

Hasil dari Parak ada yang di jual dan ada yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, misalnya untuk bahan bumbu dapur, kayu bakar, dan bahan bangunan. Distribusi hasil produksi dan harga jual komoditi disajikan dalam Tabel 9.

Tabel 9. Volume Produksi dan Harga komoditi Parak di Nagari Koto Malintang

No Jenis Komoditi

Intensitas Panen

Volume Produksi Harga Jual (Rp) 1 Singkong 1 kali/ 4 bln 50 – 100 kg/ ha 700/kg

2 Jagung 1 kali/ 4 bln - 1500/kg

3 Cabai 1 kali/ mgg 40 kg 15.000/kg

4 Pisang 1 kali/ 4 bln - 5000/tandan

5 Terung 1 kali/ bln 1 kg/ phn 1000/kg

6 Kunyit 1 kali/ 4 bln 10 – 50 kg/ ha 2000/kg 7 Pepaya 2 kali/ bln 2 – 3 buah/ btg 2000/buah

8 Markisah 1 kali/ bln 1 kg/ rumpun 3000/kg

9 Pinang 4 kali/ thn 10 – 50 kg/ ha 4000/kg

10 Temulawak 1 kali/ 4 bln 5 – 20 kg/ ha 3500/kg 11 Durian 1 kali/ thn 100 – 200 buah 5000/buah 12 Kulit Manis 1 kali/ thn 10 – 60 kg/ ha 2500/kg 13 Surian 1 kali/ 10 thn 2 m3/ phn 1.500.000/m3 14 Bayur 1 kali/ 10 thn 1 m3/ phn 900.000/m3

15 Pala 1 kali/ thn 10 – 20 kg/ phn 25000/kg

16 Cengkeh 2 kali/ thn 10 – 20 kg/ phn 30.000/kg 17 Kopi 1 kali/ 3 bln 10 – 60 kg/ thn 3500/kg 18 Coklat 1 kali/ thn 10 – 30 kg/ thn 8000/kg 19 Kelapa 1 kali/ 4 bln 100 – 200 buah/ 4 bln 1000/buah 20 Medang 1 kali/ 10 thn 2 m3/ phn 900.000/m3 Sumber : Data Primer, 2007

Fungsi Parak bagi masyarakat Nagari Koto Malintang sebagian besar

bukan sebagai penghasil bahan pangan saja, melainkan sebagai sumber pemasukan uang dan modal, misalnya kebun kayu manis dan durian. Bahkan


(47)

0 5 10 15 20 25 30 < 50 0000 500000 - 70

0000

750000 - 90

0000

950000 - 12

0000 0 > 12 0000 0 Pendapatan (Rp) J u m la h R e s p o n d e n ( o ra n g ) Jumlah Responden Frekuensi (orang) Jumlah Responden Proporsi (%)

Parak seringkali menjadi satu-satunya sumber uang tunai bagi keluarga petani.

Pendapatan petani Parak berkisar antara Rp 300.000 – Rp 1.500.000. Distribusi responden berdasarkan pendapatan disajikan dalam Tabel 10 dan Gambar 7.

Tabel 10. Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan

No. Pendapatan (Rp)/tahun Frekuensi Proporsi (%)

1 < Rp 500000 2 4

2 Rp 500000 - Rp 700000 8 16

3 Rp 750000 - Rp 900000 14 28

4 Rp 950000 - Rp 1200000 14 28

5 > Rp 1200000 12 24

Jumlah 50 100

Sumber : Data Primer, 2007

Gambar 7. Responden Berdasarkan Pendapatan dari Sistem Agroforestry

Berdasarkan Tabel 10 dan Gambar 7 di atas memperlihatkan bahwa tingkat pendapatan responden berkisar antara Rp 750.000 – Rp 900.000 (28%), menyusul pendapatan berkisar antara Rp 950.000 – Rp 1.200.000 (28%), Pendapatan > Rp 1.200.000 (24%), pendapatan antara Rp 500.000 – Rp 700.000 (16%), dan pendapatan < Rp 500.000 (4%). Pendapatan tersebut diperoleh dari penjualan hasil-hasil yang dapat dipanen secara teratur, misalnya kunyit, pisang, pinang, cabai rawit, pepaya, coklat, dan kayu manis. Selain itu parak juga dapat membantu menutup pengeluaran tahunan dari hasil-hasil yang dapat dipanen


(48)

secara musiman seperti pala dan durian. Komoditas-komoditas lain seperti kayu bahan bangunan juga dapat menjadi sumber uang yang cukup besar, meskipun tidak tetap dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak.

Menurut petani responden parak merupakan kebun bukan hutan. Parak merupakan warisan sekaligus modal produksi. Sumberdayanya, baik yang tidak maupun sengaja ditanam, dimanfaatkan dengan selalu mengingat kelangsungan dan kelestarian kebun. Pohon di hutan dianggap tak ada yang memiliki, sehingga pohon tersebut tidak mendapat perlindungan yang lebih efektif daripada yang terdapat di hutan negara. Komponen pohon (sumberdaya) hutan di dalam Parak dengan demikian turut berperan dalam mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam karena terhindar dari pencurian dan pembalakan liar.

Pendapatan yang diperoleh dari Parak umumnya dapat memenuhi kebutuhan petani responden di Nagari Koto Malintang. Distribusi responden berdasarkan tingkat pemenuhan kebutuhan rumah tangga dengan pendapatan yang diperoleh dari Parak disajikan dalam Tabel 11 dan Gambar 8.

Tabel 11. Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Rumah Tangga dengan Pendapatan yang Diperoleh dari Parak

No. Jenis Frekuensi Proporsi (%)

1 Tidak terpenuhi 10 20

2 Terpenuhi 40 80

Jumlah 50 100


(49)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Tdk terpenuhi Terpenuhi Jenis Ju m la h R es p o n d en ( o ra n g ) Jumlah Responden Frekuensi (orang) Jumlah Responden Proporsi (%)

Gambar 8. Responden Berdasarkan Tingkat Pemenuhan

Kebutuhan Rumah Tangga dengan Pendapatan yang Diperoleh dari Parak

Berdasarkan Tabel 11 dan Gambar 8 di atas memperlihatkan bahwa tingkat pemenuhan kebutuhan rumah tangga dengan pendapatan yang diperoleh dari Parak, yang terpenuhi sekitar 40 orang (80%) dan yang tidak terpenuhi

sekitar 10 orang (20%). Petani Parak yang merasa pendapatan yang diperoleh dari Parak tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan rumah tangganya disebabkan oleh

kecilnya luasan lahan yang dimilikinya serta pekerjaan di luar Parak yang lebih memberikan pendapatan yang tinggi dibanding dengan pengelolaan Parak menyebabkan mereka tidak terlalu peduli dengan Parak tersebut sehingga pengusahaan Parak tidak maksimal.

Keseragaman tanaman melindungi petani dari ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan harga satu komoditas, spesies ini dapat dengan mudah ditelantarkan saja, hingga suatu saat pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak menimbulkan gangguan ekologi terhadap sistem kebun. Petak kebun tetap utuh dan produktif dan spesies yang ditelantarkan akan tetap hidup dalam struktur kebun, dan selalu siap dipanen sewaktu-waktu tanpa merombak sistem produksi yang ada.


(50)

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Tidak ada peran Ada peran

Jenis Ju m la h R es p o n d en ( o ra n g ) Jumlah Responden Frekuensi (orang) Jumlah Responden Proporsi (%)

Peranan pemerintah terhadap Parak di Nagari Koto Malintang dirasakan masih kurang oleh petani responden. Hal ini ditunjukkan dari hasil distribusi responden berdasarkan peran serta pemerintah dalam pengelolaan Parak pada Tabel 12 dan Gambar 9.

Tabel 12. Peran Serta Pemerintah dalam Pengelolaan Parak

No. Jenis Frekuensi Proporsi (%)

1 Ada peran 16 32

2 Tidak ada peran 34 68

Jumlah 50 100

Sumber : Data Primer, 2007

Gambar 9. Responden Berdasarkan Peran Serta Pemerintah dalam Pengelolaan Parak

Berdasarkan Tabel 12 dan Gambar 9 di atas memperlihatkan bahwa peran serta pemerintah dalam pengelolaan Parak, responden yang menyatakan ada peran sebanyak 16 orang (32%) dan yang menyatakan tidak ada perannya sebanyak 34 orang (68%). Peranan pemerintah hanya terbatas pada pemberian bibit-bibit tanaman tahunan (parenial crop) seperti bibit jati dan medang. Padahal masyarakat mengharapkan bantuan lain seperti pemberian bibit tanaman buah-buahan, tanaman musiman atau dana untuk meningkatkan produktivitas Parak

mereka. Bantuan bibit pun diberikan tidak kepada semua petani Parak. Ada ketentuan dan syarat khusus sehingga menyulitkan petani, seperti petani yang memiliki luas lahan lebih dari 2 Ha dan Parak yang letaknya berbatasan langsung dengan hutan lindung. Serta tidak adanya wadah yang disediakan pemerintah


(51)

untuk menampung hasil panen mereka sehingga mereka terpaksa menjual langsung kepada pembeli yang datang ke Parak mereka untuk mengurangi biaya angkut. Kurangnya penyuluhan dari instansi terkait, baik dinas pertanian maupun dinas kehutanan, sehingga penyerapan teknologi dan adopsi inovasi berjalan lambat.

Tidak adanya bantuan teknis yang diberikan kepada petani Parak. Petugas penyuluhan hanya dilatih menangani kayu manis, pala, atau kopi sebagai tanaman monokultur. Percobaan-percobaan untuk pemuliaan atau pemberantasan hama hanya dilakukan pada tegakan monokultur, dan kenyataan penggabungan tanaman seperti yang dipraktekkan petani tidak diperhitungkan. Hal ini juga berlaku pada aspek administrasi yang berhubungan dengan budidaya kebun (khususnya mencakup pajak untuk tanah dan hasil bumi); pajak untuk kayu dan hasil hutan disetorkan kepada instansi kehutanan, komoditi ekspor kepada instansi perkebunan, dan hasil buah-buahan kepada instansi pertanian. Hal ini mempengaruhi kompleksitas pengelolaan dan menyebabkan kesalahpengertian mengenai sistem Parak oleh pejabat administrasi dan penyuluhan. Hal ini juga merugikan petani karena mereka harus membayar pajak kepada instansi yang berbeda-beda, dan kadang-kadang harus membayar pajak dua kali untuk barang yang sama.


(52)

III. Pendapatan dan Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Tingkat

Pendapatan Sistem agroforestry

Model regresi linear berganda digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani agroforestry. Variabel-variabel yang diestimasi adalah variabel luas lahan (X1), umur (X2), jumlah tenaga kerja (X3), pendidikan (X4), status kepemilikan lahan (X5) dan tipe/bentuk agroforestry (X6) sebagai varibel bebas dan pendapatan (Y) sebagai variabel terikat.

Analisis data dilakukan menggunakan SPSS dengan metode stepwise. Hasil analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani agroforestry di Nagari Koto Malintang dapat dilihat pada Tabel 13. Hasil

selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.

Tabel 13. Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Petani Agroforestry di Nagari Koto Malintang Variabel Koefisien

regresi

T-hitung Sig Keterangan

Luas Lahan (X1) 1,371 9,447 0,000 Signifikan Umur (X2) -0,005 -0,063 0,950 Tdk Signifikan Tenaga Kerja (X3) 0,525 2,757 0,008 Signifikan Pendidikan (X4) 0,132 1,707 0,095 Tdk Signifikan

F-hitung 57,076 (df = 47) Signifikan

F-tabel α = 5% 3,23 RSquare (R2) 0,708 Sumber : Hasil Penelitian.

Hasil estimasi persamaan regresi dapat ditulis sebagai berikut : Y = 0,139 + 1,371X1 + 0,525X3


(53)

Dari persamaan regresi di atas dapat diketahui bahwa secara serempak luas lahan (X1) memberikan pengaruh positif terhadap pendapatan petani agroforestry, yang berarti jika luas lahan bertambah 10 % maka akan menambah pendapatan petani sebesar 13,71 %. Demikian juga dengan variabel tenaga kerja (X3) juga memberikan pengaruh positif terhadap pendapatan. Yang berarti jika tenaga kerja ditambah 10 %, maka pendapatan akan bertambah 5,25 %. Menurut Soekartawi (1999) bahwa luas lahan pertanian akan mempengaruhi skala usaha, dan skala usaha ini pada akhirnya akan mempengaruhi efisien atau tidaknya suatu usaha pertanian. Dicken dan Vergara (1990) menegaskan, dengan adanya sistem agroforestry akan memberikan manfaat untuk meningkatkan pemanfaatan lahan, sehingga menambah produksi biomassa sebagai bahan organik, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah dan menambah produktivitas lahan. Oleh karena itu penting bagi petani untuk memanfaatkan lahan mereka secara optimal untuk meningkatkan pendapatan dengan model agroforestry yang sesuai. Untuk variabel status kepemilikan lahan (X5) dan tipe/bentuk agroforestry (X6) tidak

berpengaruh karena tidak memiliki korelasi disebabkan oleh keseragaman hasil, yaitu petani responden menerapkan sistem agrisilvikultur dan status kepemilikan lahannya adalah milik sendiri.

a. Uji R2 (Koefisien Determinasi)

Nilai R2 mempunyai interval antara 0 sampai 1 (0 ≤ R 2 ≤ 1). Semakin besar R2 (mendekati 1), semakin baik hasil untuk model regresi tersebut dan semakin mendekati 0, maka variabel independen secara keseluruhan tidak dapat mrenjelaskan variabel dependen. Pada Tabel 13 nilai R sebesar 0,842. Artinya, hubungan keempat variabel tersebut sangat kuat. Korelasi positif menunjukkan


(54)

bahwa hubungan antara luas lahan, jumlah tenga kerja dan pendidikan dengan pendapatan searah. Nilai R2 sebesar 0,708 yang menunjukkan bahwa keempat variabel bebas (luas lahan, umur, tenaga kerja, dan pendidikan) yang dipergunakan dalam model telah mampu menjelaskan keragaman variabel pendapatan sebesar 70,8%, sedangkan sisanya sebesar 29,2% dijelaskan oleh faktor-faktor penyebab lainnya yang berasal dari luar model regresi ini, seperti status kepemilikan lahan dan sistem/pola agroforestry.

b. Uji Regresi Secara Parsial (t-Test)

Hasil analisis regresi pada Tabel 13 menunjukkan bahwa koefisien regresi dari variabel bebas yaitu luas lahan, tenaga kerja, dan pendidikan adalah bertanda positif. Hal ini berarti ada hubungan positif antara pendapatan dengan luas lahan, tenaga kerja, dan pendidikan. Sedangkan untuk variabel umur bertanda negatif. Hal ini berarti semakin tua umur petani maka pendapatan semakin berkurang karena berkurangnya tenaga dan keterampilan.

Hasil uji statistik secara parsial diperoleh bahwa variabel luas lahan berpengaruh nyata terhadap pendapatan pada tingkat signifikan α = 5%. Hal ini disebabkan hasil uji statistik dari t-hitung untuk variabel luas lahan lebih besar dari t-tabel yaitu sebesar 9,447 pada tingkat signifikan α = 5%. Luas lahan agroforestry petani responden memiliki koefisien regresi sebesar 1,371. Maka

setiap penambahan 100 % luas lahan akan diikuti dengan kenaikan pendapatan sebesar 137,1 %. Petani yang memiliki lahan yang luas biasanya memiliki keberanian untuk mengambil resiko tinggi karena mereka dapat mencoba beberapa pola sekaligus tanpa merasa terancam keamanan pangannya sehingga dari usaha tersebut akan meningkatkan pendapatan mereka.


(55)

Umur berpengaruh tidak nyata terhadap pendapatan pada tingkat signifikan α = 5%. Hal ini disebabkan hasil uji statistik dari t-hitung untuk variabel umur lebih kecil dari t-tabel yaitu sebesar -0,063 pada tingkat signifikan

α = 5%. umur responden memiliki koefisien regresi sebesar -0,005. Hal ini disebabkan semakin tinggi umur seseorang, maka tenaga dan ketrampilannya semakin berkurang.

Tenaga Kerja berpengaruh tidak nyata terhadap pendapatan pada tingkat signifikan α = 5%. Hal ini disebabkan hasil uji statistik dari t-hitung untuk variabel tenaga kerja lebih kecil dari t-tabel yaitu sebesar 2,757 pada tingkat signifikan α = 5%. Tenaga Kerja memiliki koefisien regresi sebesar 0,525. Hal ini disebabkan karena rata-rata petani responden memiliki jumlah tenaga kerja yang hampir sama, yaitu 2 sampai 3 orang. Penambahan tenaga kerja dilakukan hanya pada waktu-waktu tertentu, seperti pada waktu panen.

Pendidikan berpengaruh tidak nyata terhadap pendapatan pada tingkat signifikan α = 5%. Hal ini disebabkan hasil uji statistik dari t-hitung untuk variabel pendidikan lebih kecil dari t-tabel yaitu sebesar 1,707 pada tingkat signifikan α = 5%. Pendidikan responden memiliki koefisien regresi sebesar 0,132. Hal ini disebabkan karena pada umumnya responden yang memiliki pendidikan tinggi lebih cenderung untuk berusaha dibidang lain dan merantau ke luar daerah. Hal ini menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan tidak berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat yang mengusahakan agroforestry.

c. Uji Koefisien Regresi Secara Serempak (F-Test)

Faktor luas lahan, umur, tenaga kerja, dan pendidikan secara serempak mempengaruhi pendapatan petani agroforestry (n=50). Nilai F hitung yang


(56)

diperoleh dari model di atas adalah 57,076 lebih besar dari nilai F tabel hanya sebesar 3,23 pada derajat bebas (df) = 47 dan tingkat kepercayaan α = 5%. Hal ini berarti bahwa variabel bebas yang digunakan dalam estimasi model analisis ini yaitu luas lahan, umur, tenaga kerja, dan pendidikan secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan petani agroforestry.

IV. Kelayakan Finansial Sistem agroforestry

Berdasarkan perhitungan nilai Payback Period, Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), dan Internal Rate of Return (IRR) sistem

agroforestry di Nagari Koto Malintang disajikan dalam Tabel 14. Sementara hasil

perhitungan dapat dilihat pada lampiran 5.

Tabel 14. Nilai Payback Period, Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Internal Rate of Return (IRR)

Payback Period

Net Present Value (NPV)

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)

Internal Rate of Return (IRR)

2,85 Tahun Rp 2.825.645 1,08 23,09 %

Sumber : Hasil Penelitian

Dari analisis biaya dan pendapatan usahatani Parak selanjutnya dapat dilihat pada lampiran 6. Pengusahaan agroforestry di Nagari Koto Malintang

ternyata mampu memberikan prospek finansial yang cukup baik, dilihat dari parameter NPV, BCR dan IRR pada tingkat suku bunga riil yang berlaku yaitu 18 %. Besarnya tingkat keuntungan bersih per hektar lahan usaha tersebut (Net Present Value) adalah Rp 2.825.645. Untuk nilai BCR sebesar 1,08 artinya

manfaat ekonomi investasi ini adalah 1,08 kali lebih besar daripada nilai biaya total pada tingkat suku bunga 18%. Artinya setiap Rp 1 yang diinvestasikan akan


(57)

memberi hasil sebesar Rp 1,08. Karena Net B/C Ratio > 1 maka investasi ini layak secara ekonomis. Sedangkan untuk nilai IRR sebesar 23,09 %, artinya karena pada interest rate = 23.09 % nilai NPV= 0, berarti IRR > suku bunga yang berlaku

18%, sehingga usaha ini layak secara finansial.

Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kepekaan sebuah kegiatan (proyek) terhadap adanya perubahan-perubahan. Perubahan yang dimaksud baik berupa perubahan nilai input maupun nilai output serta perubahan tingkat suku bunga. Analisis tersebut, bukan saja dapat dipakai untuk mengetahui kepekaan proyek yang bersangkutan, tetapi juga dapat digunakan untuk membandingkan antar alternatif proyek. Sedangkan resiliensi menunjukkan daya tahan usaha agroforestry terhadap berbagai perubahan.

Pada usaha Parak, dilakukan analisis sensitivitas dengan adanya perubahan yaitu: apabila biaya (Cost) dinaikkan sebesar 10%. Hasil analisis sensitivitasnya dapat dilihat pada tabel 15. Sementara hasil perhitungannya dapat dilihat pada lampiran 7.

Tabel 15. Analisis Sensitivitas dengan Kenaikan Cost Sebesar 10 % Payback

Period

Net Present Value (NPV)

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)

Internal Rate of Return (IRR)

5,82 Tahun - Rp 1.785.603 0,95 12,69 %

Sumber : Hasil Penelitian

Dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa dengan meningkatnya biaya ternyata usaha Parak memiliki nilai BCR < 1,08 yaitu 0,95 dengan nilai NPV < Rp

2.825.645 yaitu - Rp 1.785.603. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan biaya (cost) sebesar 10% mempengaruhi secara signifikan terhadap kelayakan finansial usaha Parak. Maka dapat dikatakan usaha Parak sensitiv, hal ini ditunjukkan oleh


(58)

nilai NPV yang lebih kecil dari 0. Artinya pada tingkat suku bunga yang berlaku sekarang yaitu 18 %, usaha Parak menjadi sensitiv terhadap perubahan. Usaha Parak akan menjadi stabil dengan kenaikan biaya (cost) sebesar 10 % apabila

suku bunga yang berlaku adalah 15,49% dan jika perubahan yang terjadi terhadap kenaikan biaya (cost) adalah sebesar 8 % dengan tingkat suku bunga yang berlaku sebesar 18 %.

Kenaikan biaya (cost) dapat disebabkan oleh kurangnya tenaga kerja yang bekerja di lahan sehingga pengolahan lahan kurang efektif dan efisien karena membutuhkan waktu yang lebih banyak. Kurangnya tenaga kerja yang bekerja di Parak disebabkan sebagian besar pemuda pedesaan yang berpendidikan formal

lebih cenderung tidak memilih sektor pertanian sebagai lapangan kerja utama. Mereka mengharapkan pendapatan yang lebih tinggi melebihi jumlah yang mereka terima jika mereka bekerja di sektor pertanian. Serta adanya tradisi dalam masyarakat minang, bagi pemuda untuk merantau ke luar daerah.

Petani parak juga pada umumnya masih menggunakan metode pertanian tradisional dalam pengelolaan Parak. Hal ini disebabkan karena terbatasnya

penguasaan teknologi dan adopsi inovasi oleh petani. Tingkat pendidikan yang masih rendah dan kurangnya penyuluhan dari instasi terkait menjadi penyebab terbatasnya penguasaan teknologi dan adopsi inovasi oleh petani Parak. Menurut Mubyarto (1989), bahwa penyuluhan berfungsi menjembatani sumber informasi dan teknologi dengan penggunanya/ petani. Kurangnya penyuluhan kepada petani menyebabkan kurangnya informasi dan teknologi baru.


(1)

Lampiran 9. Contoh Kuisioner Penelitian

KUISIONER PENELITIAN

Hari/Tanggal : ………...

No. Responden : ………..

I. Identitas Responden

Nama : ………... Alamat : ………... Umur : ………tahun

Mohon Bapak/Ibu menjawab kuisioner ini dengan memilih salah satu jawaban dengan memberi tanda x pada jawaban yang tersedia

1. Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan

2. Status Perkawinan : a. Belum kawin b. Kawin c. Duda/ janda

3. Suku : a. Minang b. Melayu c. Jawa d. Aceh e. Batak

4. Pendidikan : a. Tidak Sekolah b. S D (SD/SR/MI)

c. S L T P (SMP/MTs)

d. SLTA (SMA/SMU/SMK/MA)

e. Perguruan Tinggi (D1, D2, D3, Akademi, Sarjana Muda, Sarjana)

5. Pekerjaan Pokok : a. Petani b. Pedagang c. Karyawan d. Wiraswasta e. P N S/ pensiunan f. Tidak bekerja

6. Jumlah anggota : a. 1 – 3 orang c. 7 – 9 orang keluarga b. 4 – 6 orang d. > 9 orang


(2)

7..Jumlah tanggungan keluarga/ : a. 1- 3 orang bersekolah b. 4 – 6 orang

c. 7 – 9 orang d. > 9 orang 8. Penghasilan per bulan : a. < 500.000

b. 500.000 – 700.000 c. 750.000 – 900.000 d. 950.000 – 1.200.000 e. > 1.200.000

9. Pekerjaan Sampingan : ... 10. Penghasilan per bulan : Rp...

II. Pengelolaan Agroforestry dan Kontribusinya Terhadap Sosial Ekonomi

1. Berapa luas lahan Kebun Campuran (Parak) yang Anda miliki ? ……….Ha

2. Berapa jauh (jarak) lahan Kebun Campuran dengan rumah Anda ? …………m

3. Bagaimanakah status kepemilikan lahan Kebun Campuran (Parak) Anda?... 4. Jenis tanaman semusim (Pertanian) apa saja yang Anda tanam pada lahan

Kebun Campuran (Parak) ?

a. ……… f. ………..

b. ……….... g. ………..

c. ……… h. ………..

d. ……… i. ………...

e. ……… j. ………...

5. Jenis tanaman keras (Kehutanan) apa saja yang Anda tanam pada lahan Kebun Campuran (Parak) ?

a. ……… f. ………..

b. ……….... g. ………..

c. ……… h. ………..

d. ……… i. ………...

e. ……… j. ………...

6. Apa yang Anda ketahui tentang Kebun Campuran (Parak)

……… 7. Apakah kebutuhan rumah tangga Anda sudah terpenuhi dengan pendapatan

yang diperoleh dari Kebun Campuran (Parak) a. Ya, terpenuhi


(3)

8. Pola Agroforestry apa yang Anda terapkan pada lahan Kebun Campuran (Parak) ?

a. Agrisilvikultur : sistem agroforestry yang mengkombinasikan

komponen kehutanan (atau tanaman keras) dengan komponen pertanian (atau tanaman musiman)

b. Silvopastura : sistem agroforestry yang meliputi komponen kehutanan (atau tanaman keras) dengan komponen peternakan (atau binatang ternak)

c. Agrosilvopastura : pengkombinasian komponen berkayu (kehutanan)

dengan pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan/binatang pada unit manajemen lahan yang sama.

9. Berapa orang jumlah anggota keluarga Anda yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan Kebun Campuran (Parak) ? ………..orang 10.Siapa saja anggota keluarga Anda yang terlibat ?

a. Suami b. Istri c. Anak

d. Seluruh Anggota keluarga

11. Bagaimana jadwal keterlibatan masing-masing komponen pilihan di atas ? a. 1 (satu) hari penuh

b. Setengah hari c. Pulang sekolah

d. Sewaktu-waktu bila diperlukan

12. Apakah ada peran pemerintah dalam pengembangan Kebun Campuran (Parak) ?

a. Ada b. Tidak ada

13.Berapakah Volume produksi tahunan dari Kebun Campuran (Parak) ?

Tabel 4. Hasil ProduksiKebun Campuran (Parak) No Jenis

Tanaman Produksi/ Volume Hasil (Kg) / Frekuensi Panen / Thn Harga/ Satuan (Rp) Pendapatan (Rp) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10


(4)

14.Bagaimana sistem pengelolaan Kebun Campuran (Parak) Anda?

Tabel 3. Pengelolaan Kebun Cmapuran (Parak)

No Uraian Volume Harga

Satuan


(5)

15.Apakah Anda memelihara hewan ternak di lahan kebun Campuran (Parak) ? ………. Jika Ya, hewan apa saja, berapa jumlahnya dan berapa hasil per tahunnya ?

Tabel 6. Komponen Peternakan

No Jenis Hewan Jumlah Hasil

Tahunan (Rp)

Keterangan Anak Dewasa

1 2 3 4


(6)

Lampiran 10. Dokumentasi Penelitian

Parak di Nagari Koto Malintang

Sarana Perhubungan Berupa Jalan Aspal


Dokumen yang terkait

Faktor -Faktor Yang Berhubungan Dengan Risiko Kejadian ISPA Pada Balita Di Desa Koto Kaciak Kecamatan Bonjol Kabupaten Pasaman Propinsi Sumatera Barat Tahun 2000

2 43 107

Kontribusi Penyadapan Getah Pinus (Pinus merkusii) Terhadap Tingkat Pendapatan Penyadap

18 166 77

Analisis Finansial Kemiri Rakyat Dalam Sistem Agroforestry (Studi Kasus: Desa Perbesi Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)

14 164 82

Penerapan Hukum Adat Dalam Pengelolaan Sistem Agroforestri Parak (Studi Kasus Di Kanagarian Koto Malintang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat)

9 104 77

Analisis Finansial Budi Daya Kemenyan Rakyat dalam Sistem Agroforestry (Studi Kasus di Desa Pangurdotan, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara)

0 69 77

Hubungan Tingkat Pendapatan Dengan Konsumsi Karyawan PTPN III Kebun Gunung Para.

0 38 97

Pengaruh Penjualan Pakaian Bekas Terhadap Tingkat Pendapatan Pedagang Pakaian Bekas di Kota Tanjung Balai (Studi Kasus Pajak TPO Tanjung Balai)

17 180 103

Proses Restrukturisasi Sistem Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat (Studi Kasus : di Nagari Tigo Balai, Kecamatan Matur, Kabupaten Agam, Sumatera Barat)

0 3 149

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA TANI PADA KAWASAN I AGROFORESTY KABUN BUNGO DI NAGARI KOTO MALINTANG KECAMATAN TANJUNG RAYA KABUPATEN AGAM.

0 0 11

OPTIMALISASI ALOKASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA KEBUN CAMPURAN "PARAK" (AGROFORESTRY)DENGAN METODE ANALISIS LINEAR PROGRAMMING (Studi Kasus Kawasan Kabun Bungo Nagari Koto Malintang Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam).

0 0 12