BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Skrining Alkaloid dari Tumbuhan Alstonia scholaris - ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA ALKALOID DARI DAUN PULE (Alstonia scholaris L.R.Br) SERTA UJI AKTIVITAS ANTIPLASMODIAL SECARA IN VITRO TERHADAP Plasmodium falciparum Re
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Skrining Alkaloid dari Tumbuhan Alstonia scholaris
Serbuk daun (10 g) diekstraksi dengan amonia pekat selama 2 jam pada suhu kamar kemudian dipartisi dengan diklorometan. Ekstrak diklorometan selanjutnya ditambahkan HCl 5 % sehingga terbentuk dua lapisan yaitu fraksi diklorometan dan fraksi asam. Terhadap fraksi asam ditambahkan dua tetes pereaksi Meyer dan terbentuk endapan putih yang menunjukkan ekstrak tersebut mengandung senyawa alkaloid. Perlakuan yang sama terhadap fraksi asam ditambahkan pereaksi Dragendorf ditandai dengan terbentuknya endapan coklat kemerahan. .
4.2. Ekstraksi Senyawa Alkaloid
Serbuk daun A.scholaris sebanyak 1,1 kg diekstraksi dengan amonia pekat selama dua jam kemudian dipartisi dengan diklorometan pada suhu kamar. Ekstrak diklorometan disaring, kemudian filtrat diuapkan pelarutnya menggunakan rotavapor vacum sehingga diperoleh ekstrak diklorometan sebanyak 310 g. Ekstrak diklorometan diasamkan dengan larutan HCl 5% (pH 3-4) sehingga diperoleh dua lapisan, lapisan atas (air) dan lapisan bawah (diklorometan). Fraksi air diulangi, diekstraksi dengan diklorometan sampai senyawa non alkaloid terekstraksi semuanya.
42 Selanjutnya terhadap fasa air ditambahkan amonia pekat (pH 9-10) dan fraksi tersebut dipartisi dengan diklorometan yang mengandung alkaloid total sebanyak 13 gram.
4.3 Isolasi dan Pemurnian Senyawa Alkaloid
Ekstrak alkaloid sebelum dilakukan pemisahan dengan kromatografi kolom, terlebih dahulu dilakukan pemilihan berbagai perbandingan eluen pada kromatografi lapis tipis (KLT) dan menghasilkan eluen eluen terbaik, yaitu campuran diklorometan-metanol 9:1. Komposisi campuran diklorometan-metanol tersebut digunakan untuk proses pemisahan selanjutnya, yakni kromatografi kolom grafitasi. Monitoring adanya spot senyawa alkaloid pada analisis KLT ditentukan dengan lampu UV dan pereaksi Dragendorf. Hasil monitoring tersebut menghasilkan adanya alkaloid yang memberikan perpendaran berwarna biru di bawah lampu UV dan memberikan spot coklat kemerahan pada pereaksi Dragendorf.
Ekstrak alkaloid sebanyak 13 g selanjutnya dilakukan pemisahan dengan kromatografi kolom grafitasi dengan eluen diklorometan, dan campuran diklorometan-metanol yang kepolaranya ditingkatkan secara gradien menghasilkan tiga fraksi utama, yakni fraksi A (0,1676 g), fraksi B (0,1764 g), dan fraksi C (0,1398 g) seperti tercantum pada Gambar-4.1.
Fraksi B (0,1764 g) selanjutnya dilakukan pemisahan dengan metode yang sama seperti di atas dan kondisi eluen yang sama menghasilkan senyawa alkaloid yang berwujud serbuk berwarna kuning, selanjutnya dilakukan uji kemurnian dengan berbagai eluen seperti terlihat pada Gambar-4.2. Senyawa alkaloid hasil isolasi tersebut diidentifikasi berdasarkan analisis spektroskopi.
Gambar-4.1. Analisis KLT hasil kromatografi kolom grafitasi Kloroform: methanol diklorometana: methanol Aseton: n-heksana
9,5 : 0,5 9,5 : 0,5 8 : 2 Gambar-4.2. Uji kemurnian senyawa alkaloid dengan analisis KLT
Alkaloid murni yang diuji spektroskopi Alkaloid murni Padatan kuning
Alkaloid murni Padatan kuning
4.3.1 Identifikasi Titik Leleh Senyawa murni
Penentuan titik leleh senyawa murni merupakan salah satu penentuan sifat fisik dari suatu senyawa murni. Berdasarkan penentuan titik leleh untuk senyawa murni fraksi B, diperoleh serbuk berwarna kuning kecoklatan dengan titik leleh 159-
o
160 C.
4.4 Analisis Spektroskopi
4.4.1 Analisis spektroskopi ultraviolet senyawa hasil isolasi
Spektroskopi ultraviolet merupakan satu metode spektroskopi yang memberikan informasi mengenai ikatan rangkap terkonjugasi dan adanya suatu gugus aromatik. Berdasarkan hasil analisis spektroskopi UV-Vis, senyawa alkaloid hasil isolasi dalam pelarut diklorometan memberikan puncak serapan maksimum maks 230
λ nm. Puncak serapan memberikan indikasi bahwa senyawa hasil isolasi merupakan kromofor alkaloid indol . Gugus kromofor indol pada alkaloid
- indol terletak pada panjang gelombang maksimum 228-230 nm (Feng, et al., 2009)
, yakni transisi π ke π
4.4.2 Analisis spektroskopi inframerah senyawa hasil isolasi
Analisis spektroskopi inframerah bertujuan untuk menentukan gugus fungsi pada senyawa alkaloid hasil isolasi yang memberikan pita serapan pada rentang
- 1 -1
bilangan gelombang 4000 cm – 450 cm . Hasil dari spektrum inframerah meberikan
- 1
indikasi adanya gugus NH amina pada bilangan gelombang 3459,36 cm , gugus OH
- 1
dengan bilangan gelombang 3626,46 cm , C=O karbonil pada bilangan gelombang
- 1
- 1
1644,61 cm , C=C aromatik pada bilangan gelombang 1633,60 cm , dan gugus C-O
- 1 eter pada bilangan gelombang 1219,65 cm .
4.4.3 Analisis spektroskopi NMR senyawa hasil isolasi
1 Analisis spektroskopi H-NMR senyawa alkaloid hasil isolasi dengan pelarut
CDCl
3 memperlihatkan adanya empat proton aromatik yang saling terkopling satu
sama lain, yakni kopling orto, kopling meta, dan kopling para yang sangat kecil pada δH 7,54 (dd, J = 2,4Hz, 3,6Hz; 6Hz; 9Hz; H-9); 7,13 (m, J = 2,4 Hz; 6Hz, 9Hz; H- 10) 6,77 (t, J = 3,6Hz, 9Hz; H-11);, dan 7,71 ppm (dd, J = 2,4Hz, 3,6Hz; 6Hz, 9Hz ;H-12) yang mengindikasikan bahwa senyawa alkaloid hasil isolasi tersebut merupakan alkaloid indol yang tidak mempunyai substituen pada cincin aromatik (Rahman, 1986).
Pada spektrum 1H-NMR seperti terlihat pada Tabel-4.1 memperlihatkan pergeseran kimia pada H 7,71 ppm (H- H 7,13 ppm (H-10) menunjukkan dua δ 9) dan δ proton aromatik yang terletak pada posisi orto (J= 6-9Hz), pergeseran kimia 7,71
H
δ ppm (H-9, J= 3,6Hz H 7,54 ppm (H-11, J= 3,6Hz) menunjukkan dua proton ) dan δ aromatik yang terletak pada posisi meta, H 7,13 ppm (H-10, J= pergeseran kimia δ
9Hz) dan H 7,54 ppm (H-11, J=6-9Hz) yang menunjukkan dua proton aromatik yang δ terletak pada posisi orto, dan pergeseran kimia . H 7,13 ppm (H-10, J= 2,4 Hz) dan
δ 6,77 ppm (H-12, J= 3,6) yang menunjukkan dua proton aromatik yang terletak
H
δ pada posisi meta.
Ha
HbHc N
H
Hd
Gambar 4.3. Kerangka indolAdanya gugus metin yang terkonyugasi pada H 5,82 ppm pergeseran kimia δ (H- H 7,44 ppm (H-21) merupakan ciri khas alkaloid indol dari turunan
19) dan δ aspidodasikarpin. Tiga sinyal singlet pada H 3,61, 3,97 dan 1,90 ppm merupakan δ sinyal metil dari gugus ester, sinyal metoksi, dan sinyal metil yang merupakan sinyal dari monoterpen sekologanin. Sinyal metin dan metilen senyawa alkaloid hasil isolasi dapat dilihat Tabel-4.1.
13 Analisis spektrum C-NMR (Percobaan Apt) memperlihatkan senyawa
alkaloid mempunyai 23 atom karbon, dimana sinyal yang sefasa dengan pelarut CDCl
3 merupakan sinyal metilen, dan C kuartener sedangkan yang berlawanan fasa
merupakan metil dan metin. Adanya sinyal karbon metin dari kerangka indol terlihat pada pergeseran karbon δC 127,2 (C-9), 127,7 (C-10), 128,1 (C-11), dan 119,4 ppm
(C-12). Sementara atom C kuartener kerangka monoterpen indol tersebut terlihat pada 196,9 (C-2), 139,4 (C-8), dan 143,9 ppm (C-13). Atom C kuartener karbonil dari
3
gugus ester terlihat pada
2 ) sp yang terletak
δC 171,9 ppm. Dua gugus metilen (CH pada pergeseran kimia δC 38,7 ppm (C-6) dan 29,5 ppm (C-14). Adanya gugus metil (CH
3 ) terlihat pada pergeseran kimianya sebesar δC 11,0 ppm (C-18).
1 H-NMR dan
Tabel 4.1 Data spektrumsenyawa narelin Posisi
1 H-NMR
senyawa B
1 H-NMR
senyawa narelin Posisi
13 C-NMR
senyawa B
13 C-NMR
senyawa narelin Ha( H-9) 7,71; dd 7,77; d Ca(C-9) 127,2 125,0
Hb(H-10) 7,13; m 7,29; t Cb(C-10) 127,7 125,6 Hc(H-11) 7,54; dd 7,45; t Cc(C-11) 128,0 128,5 Hd(H-12) 6,77; t 7,66; d Cd(C-12) 119,4 119,8
13 C-NMR Alkaloid indol senyawa B dengan
1 H-NMR monoterpen indol senyawa B dengan senyawa
1 H-NMR
senyawa B
1 H-NMR
senyawa alschomine Posisi
1 H-NMR
senyawa B
1H-NMR senyawa alschomine
H-2 - - H-16 2,62; s 2,66; d H-3 4,23; m 4,28; t H-17 - - H-5 5,01; dd 5,01; d H-18 1,90; s 1,80; d H-6 3,73; m 2,72; d H-19 5,82; m 6,12; q H-7 - - H-20 - - H-8 - - H-21 7,44; s 7,49; s
H-13 - - COOMe 3,74; s 3,74 H-14 2,36; t 2,30; dt OMe 3,90 3,40 H-15 3,5; s 3,34; brs - - -
alschomine Posisi
Tabel 4.2 Data spektrum1
13 Berdasarkan hasil pengukuran H dan C-NMR senyawa alkaloid hasil isolasi
merupakan alkaloid dari jenis kerangka aspidodasikarpin yang mana alkaloid indol pada senyawa B memiliki kemiripan dengan senyawa narelin dan kerangka monoterpen indol senyawa B yang memiliki kemiripan dengan senyawa alschomin sehingga struktur senyawa B dimungkinkan memiliki kerangka seperti pada Gambar- 4.3 akan tetapi untuk memastikan struktur molekul senyawa tersebut MASIH diperlukan pengukuran spektrum massa serta spektrum korelasi 2D HMQC, dan HMBC.
H
1 7 CO CH 2 3 1 69
6 H
8
5 1 0 O OCH O 3
2
1
N 1 1 1 3 N 2 1H
4 1 2 H
3 2 0 1 4 1 9
1 5 H 1 8
Gambar 4.4 Kerangka molekul senyawa fraksi B4.5 Hasil Uji Aktivitas Antiplasmodial
Uji aktivitas antimalaria secara in vitro dengan menggunakan metode Candle
jar , Plasmodium falciparum dibiakkan dalam media RPMI 1640, HEPES, larutan
natrium bikarbonat, dan serum manusia, di inkubasi dalam eksikator yang berisi lilin (candle jar) atau dalam inkubator dengan CO
2 5% pada suhu 37 C. Dalam uji aktivitas antimalaria diperlukan parasit dengan stadium yang sama yaitu pada stadium cincin yang dalam biakannya akan berkembang menjadi skizon, sehingga diperlukan proses sinkronisasi dalam larutan 5% sorbitol untuk membunuh parasit yang berumur lebih dari 18 jam. Satu siklus aseksual (skizogoni) Plasmodium
falciparum berlangsung selama 48 jam.
Setelah diinkubasi selama 48 jam, dibuat hapusan darah tipis dan diwarnai dengan giemsa. Hapusan tersebut diamati dengan mikroskop dengan pembesaran 1000 kali dan dihitung jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit malaria tiap 5000 eritrosit. Pada inkubasi 48 jam, biakan isolat Plasmodium falciparum yang semula berbentuk cincin akan tumbuh membentuk skizon.
Uji aktivitas antimalaria dari ekstrak alkaloid terhadap P. falciparum dikategorikan kuat apabila IC
50 yang dihasilkan sebesar 2,00
μg/ml dan ekstrak dikatakan aktif jika nilai IC
50 <
50 μg/ml (Kohler, et al,. 2002). Kontrol positif yang digunakan adalah kloroquin difosfat dengan nilai IC
50
sebesar 1,03 μg/ml. Hubungan antara Dosis Pemberian Ekstrak Alkaloid Alstonia scholaris vs % penghambatan P.
falciparum dapat dilihat pada Gambar-4.5.
Gambar 4.5 Grafik Hubungan Antara Dosis Ekstrak Alkaloid Daun Alstonia scholaris dengan Prosentase Penghambatan P.falciparum.Dari grafik 4.5 dapat terlihat untuk replikasi 1 maupun replikasi 2 yang mengindikasikan bahwa semakin bertambahnya kadar larutan bahan uji yang diberikan terhadap parasit maka bertambah pula prosentase penghambatannya dan semakin kuat bahan uji dalam menekan laju pertumbuhan parasit.
Pada pembanding (kloroquin difosfat), pertumbuhan cincin dan skizon pada inkubasi 48 jam terlihat adanya penurunan bahkan ada bentukan cincin dan skizon yang terhambat/mati, hal ini terlihat dengan jumlah parasit yang sangat sedikit pada eritrosit.
Perhitungan aktivitas antimalaria digunakannya analisis probit untuk mengetahui nilai IC
50
dari sampel uji. Nilai IC
50
ini menunjukkan besarnya sampel uji yang dapat menghambat 50% pertumbuhan parasit. Sampel uji yang digunakan adalah ekstrak alkaloid total daun A.scholaris bukan senyawa murni hasil isolasi. Hal 0.01 0.1 1 10 20 30 40 50 60 70 80
% P en gh am batan P ar as it Dosis Ekstrak Alkaloid Daun Alstonia scholaris Replikasi 1 Replikasi 2 Rata-rata penghambatan ini dikarenakan jumlah senyawa murni yang tidak mencukupi setelah penggunaannya dalam analisis spektroskopi. Dari perhitungan hasil uji antimalaria, diperoleh rata-rata nilai IC
50 sebesar 1,926
μg/ml. Ekstrak suatu senyawa dari tumbuhan memiliki keaktifan sebagai antimalaria apabila memiliki nilai IC
50
kurang dari 50 μg/ml (Kohler, et al,. 2002) atau kurang dari 5μg/ml (Fidock dan David, 2004). Sedangkan untuk pembandingnya yaitu kloroquin difosfat, memiliki nilai IC
50 sebesar 1,03
μg/ml. Hal ini menunjukkan bahwa kloroquin difosfat lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan parasit malaria dibanding dengan ekstrak alkaloid daun
A.scholaris.
Ekstrak alkaloid daun A.scholaris kurang efektif dibandingkan dengan kloroquin difosfat, namun dengan nilai IC
50
yang kurang dari 50 μg/ml memiliki potensi yang besar sebagai alternatif antiplasmodial dalam menghambat pertumbuhan
Plasmodium falciparum. Semakin kecil nilai IC 50 yang diperoleh dalam analisis
perhitungan aktivitas malaria, semakin toksik suatu bahan dalam menghambat pertumbuhan parasit.