PENDAHULUAN Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD dr. Sayidiman Magetan Tahun 2014.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Indonesia demam tifoid sering disebut dengan penyakit tifus. Penyakit
ini biasa dijumpai di daerah sub tropis terutama di daerah dengan sumber mata air
yang tidak mencukupi. Demam tifoid merupakan insiden yang paling sering
muncul di daerah endemik dan berkembang seperti di Indonesia. Sumber
penularannya terutama berasal dari makanan yang tercemari kuman Salmonella
Thypi (Mansjoer, 2001).

Menurut data World Health Organization (WHO)

diperkirakan terdapat 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan
insidensi 600.000 kasus kematian setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri kasus ini
tersebar merata diseluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan
385/100.000

penduduk/tahun

dan


di

daerah

perkotaan

760/100.000

penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dari 1,5 juta kasus per tahun (Prawito dkk,
2002). Tifoid klinis tersebar di seluruh kelompok umur dan merata pada umur
dewasa. Prevalensi tifoid klinis banyak ditemukan pada kelompok umur sekolah
(5 – 14 tahun), dan relatif lebih tinggi di wilayah pedesaan dibandingkan
perkotaan. Prevalensi tifoid ditemukan cenderung lebih tinggi pada kelompok
dengan pendidikan rendah dan tingkat pengeluaran RT per kapita rendah (Depkes
RI, 2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rampengan tahun 2013
menyebutkan pilihan antibiotik lini pertama untuk pengobatan demam tifoid pada
negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya.
Berdasarkan tiga aspek tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan

pertama pengobatan demam tifoid anak. Kloramfenikol masih merupakan pilihan
utama pengobatan demam tifoid karena efektif, mudah didapat, dan dapat
diberikan secara oral. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menimbulkan
berbagai permasalahan seperti timbulnya kegagalan terapi dan berbagai masalah
lain seperti ketidaksembuhan penyakit, meningkatkan resiko efek samping obat,
resistensi, supra infeksi, dan biaya pengobatan (Sastramiharja, 2001).
1

2
 

Penggunaan obat pada anak-anak tidak seperti pada orang dewasa pada
umumnya, mengingat anak-anak berbeda dengan orang dewasa (Prest, 2003).
Anggapan anak-anak sama dengan orang dewasa dalam ukuran kecil tidaklah
tepat. Hal ini dikarenakan penggunaan obat haruslah disesuaikan dengan
perkembangan organ, sistem tubuh dan enzim bertanggung jawab terhadap
metabolisme dan ekskresi obat. Oleh sebab itu dosis obat, dalam formulasi, hasil
pengobatan dan efek samping obat yang timbul sangat beragam sepanjang masa
anak-anak. Selain itu, kurangnya penelitian yang meluas tentang penggunaan obat
secara luas pada anak-anak juga menyebabkan hanya sebagian kecil obat yang

diberikan ijin untuk digunakan pada anak-anak. Oleh karena itu, maka perlu
dilakukan penelitian tentang penggunaan antibiotik pada anak-anak dengan
mengedepankan konsep 4T dan 1W. Tepat obat, tepat dosis, tepat indikasi, tepat
pasien dan waspada efek samping obat.
RSUD dr. Sayidiman Magetan merupakan rumah sakit terbesar di
Kabupaten Magetan dan merupakan rumah sakit rujukan untuk pasien demam
tifoid. Menurut data dari RSUD dr. Sayidiman Magetan pada tahun 2013, terdapat
828 kasus demam tifoid dan 228 kasus diantaranya terjadi pada anak-anak.
Demam tifoid juga termasuk kedalam 5 besar penyakit yang sering terjadi.
Mengingat cukup banyaknya kasus demam tifoid yang terjadi pada anak-anak
serta kurangnya penelitian tentang penggunaan obat pada anak-anak maka perlu
dilakukan evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik pada kasus demam tifoid di
RSUD dr. Sayidiman untuk mengetahui kerasionalan penggunaan antibiotik untuk
terapi demam tifoid.
 

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada penelitian
ini adalah apakah penggunaan antibiotik pada pasien anak demam tifoid di RSUD
dr. Sayidiman Magetan telah memenuhi syarat rasional yang meliputi tepat

pasien, tepat dosis, tepat obat, dan tepat indikasi menurut standar pelayanan medik
(SPM) RSUD dr.Sayidiman Magetan tahun 2011?

3
 

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penggunaan antibiotik pada pasien
anak demam tifoid di RSUD dr. Sayidiman Magetan telah memenuhi syarat
rasional yang meliputi tepat pasien, tepat dosis, tepat obat, dan tepat indikasi
menurut standar pelayanan medik (SPM) RSUD dr.Sayidiman Magetan tahun
2011.

D. Tinjauan Pustaka
1. Demam Tifoid
a. Definisi
Menurut Soedarmono (2002) demam tifoid adalah penyakit infeksi yang
bersifat akut disebabkan oleh Salmonella Typhi. Penyakit ini ditandai dengan
panas berkepanjangan, ditambah dengan bakterimia tanpa keterlibatan struktur

endothelial atau endokardial dan infeksi bakteri sekaligus multiplasi kedalam sel
fagosit mononuclear dari hati, limfa, kelenjar limfe usus dan Payer’s patch.
Dalam masyarakat penyakit ini dikenal dengan nama Tipes atau Thypus,
tetapi dalam dunia kedokteran disebut Typhoid fever atau Thypus abdominalis
karena berhubungan dengan usus di dalam perut. Penyakit tifoid perut (Thypus
abdominalis) merupakan penyakit yang ditularkan melalui makanan dan minuman
yang tercemar oleh bakteri Salmonella Typhi (food and water disease). Seseorang
yang

sering

menderita

penyakit

tifoid

menandakan

bahwa


ia

sering

mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh bakteri ini
(Zulkoni, 2010).
b. Patofisiologi
Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella Typhi. Penularan ke
manusia melalui makanan dan atau minuman yang tercemar dengan feses
manusia. Setelah melewati lambung kuman mencapai usus halus dan inflasi ke
jaringan limfoid (plak peyer) yang merupakan tempat predileksi untuk
berkembang biak. Melalui saluran limfe mesenterik kuman masuk aliran darah
sistemik (bakterimia 1) dan mencapai sel-sel retikulo endothelial dari hati dan

4
 

limfa. Fase ini dianggap fase inkubasi (7-14 hari). Kemudian dari jaringan ini
kuman dilepas ke sirkulasi sistemik (bakterimia 2) melalui duktus torasikus dan

mencapai organ-organ tubuh seperti limfa, usus halus dan kandung empedu
(Kemenkes RI, 2006).
Kemudian kuman berkembang biak dan bersama cairan empedu
diekskresikan secara “intermittent” ke dalam usus. Sebagian kuman dikeluarkan
melalui feses dan sebagian lagi masuk ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubungan makrofag telah teraktivasi dan
hiperaktif maka saat fagositosis Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler,
gangguan mental dan koagulasi (Widodo, 2007).
c. Diagnosis
Diagnosis ditetapkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang. Keluhan utama adalah badan panas sudah 1 minggu atau lebih. Panas
makin hari makin bertambah, terutama paa sore/malam hari, bisa disertai
menggigau, dan kejang. Anak mungkin mengeluh sakit perut disertai diare,
muntah, dan pada umur > 5 tahun biasanya terdapat konstipasi. Anak juga
mengeluh sakit kepala, tidak mau makan, dan badan lemas (Widagdo, 2012).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan
gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, maka
seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid. Diagnosis pasti

dapat ditegakkan melalui isolasi S. typhi dari darah. Prosedur ini sangat invasive
sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Maka dari itu perlu dilakukan
pemeriksaan serologis. Uji serologis widal suatu metode serologic yang
memeriksa antibody agutinasi terhadap antigen somatic (O), flagella (H) banyak
dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Pengambilan

angka titer O

agglutinin ≥ 1/40 menunjukkan nilai ramal positif. Apabila titer O aglutinasi ≥
1/200 atau terdapat kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat
ditegakkan (Soedarmono, 2002).

5
 

d. Gejala
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan no 364 pada tahun 2006 mengenai
pedoman pengendalian demam tifoid, gejala klinis demam tifoid meliputi:
1) Demam atau panas
2) Gangguan saluran pencernaan

3) Gangguan kesadaran
4) Hepatosplenomegali
5) Bradikardi relative
e. Pengobatan dan Perawatan
Menurut WHO (2003) pengobatan penderita demam tifoid dapat
mengunakan 2 cara umum yaitu :
1) Pengobatan Umum
Pengobatan yang paling utama dilakukan ketika ada pasien tifoid adalah
terapi supportif, seperti penggunaan antipiretika untuk demam, memberikan
cairan secara oral ataupun intravena jika ada indikasi dehidrasi serta dapat pula
ditambah pemberian nutrisi dan transfer darah jika diperlukan. Jika pasien sudah
menunjukkan tanda-tanda tifoid yang berat seperti terjadi muntah diare, serta
kejang perut maka pasien dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit serta diberi
pengobatan dengan menggunakan antibiotik.
2) Pengobatan menggunakan antibiotika
Pada pengobatan menggunakan antibiotika harus dipertimbangkan tentang
efikasi, ketersediaan serta harga terutama di negara yang berkembang. Pada
negara berkembang umumnya diresepkan antibiotika kloramfenikol untuk
pengobatan demam tifoid. Hal ini didasarkan atas ketersediaan obat tersebut,
harga yang terjangkau serta efikasi yang masih cukup baik. Selain kloramfenikol,

beberapa antibiotik juga dapat digunakan seperti ciprofloksasin, ampisilin,
amoxicillin, azitromicin serta golongan sefalosporin.
f. Penggunaan antibiotik
Menurut Kemenkes RI no 364 tahun 2006 untuk penggunaan antibiotik
harus mempertimbangkan :
1) Telah dikenal sensitif dan potensial untuk tifoid.

6
 

2) Mempunyai sifat farmakokinetik yang dapat berpenetrasi dengan baik ke
jaringan serta mempunyai afinitas yang tinggi menuju organ sasaran.
3) Berspektrum sempit.
4) Cara pemberian yang mudah.
5) Efek samping yang minimal.
6) Tidak mudah resisten dan efektif mencegah karier.
Menurut standar pelayanan medik (SPM) RSUD dr.Sayidiman Magetan
tahun 2011 yang berlaku untuk pasien demam tifoid secara umum tata laksana
penggunaan antibiotik pada demam tifoid meliputi :
1) Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgBB/hari, oral atau IV, dibagi

dalam 4 dosis selama 10-14 hari.
2) Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, oral atau IV selama 10 hari.
3) Kotrimoksasol 6 mg/kgBB/hari, oral selama 10 hari.
4) Seftriakson 80 mg/kgBB/hari, intravena atau intramuscular, sekali sehari,
selama 5 hari.
5) Sefiksim 10 mg/kgBB/hari, oral dibagi dalam 2 dosis selama 10 hari.

2. Pencegahan Demam Tifoid
Demam tifoid sangat erat hubungannya dengan kebersihan. Kebersihan
tersebut bisa meliputi kebersihan diri sendiri maupun lingkungan. Makanan dan
minuman yang di jajakan di pinggir jalan yang sudah tercemar bakteri Salmonella
thypi merupakan penyebab dari demam tifoid.
Menurut Kemenkes RI No 364 tahun 2006, pencegahan lebih baik dari
pada pengobatan dan dengan pengobatan yang baik berarti melaksanakan
pencegahan yang baik pula. Kedua ungkapan ini juga berlaku untuk tifoid karena
kegiatan pencegahan lebih efisien dan tanpa resiko yang membahayakan. Bila
pengobatan tifoid terlaksana dengan sempurna maka, dapat mencegah karier yang
merupakan sumber penularan di masyarakat. Pencegahan adalah segala upaya
yang dilakukan agar setiap anggota masyarakat tidak tertular oleh Salmonella
thypi. Ada tiga pilar strategis yang menjadi pilar pencegahan yaitu :
a. Mengobati secara sempurna pasien dan karier tifoid.

7
 

b. Mengatasi faktor-faktor yang berperan terhadap rantai penularan.
c. Perlindungan dini agar tidak tertular.
Ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam aspek pencegahan dan
pengendalian tifoid, diantaranya : (1) langkah-langkah pencegahan strategis,
relaps dan resistensi tifoid, (2) perbaikan sanitasi lingkungan, (3) peningkatan
hygiene makan dan lingkungan, (4) peningkatan hygiene perorangan, (5)
pencegahan dengan imunisasi, (6) surveilans, (7) definisi kasus, (8) sistem
pencatatan dan pelaporan, (9) penanggulangan kejadian luar biasa (KLB).
3. Penggunaan Antibiotik Rasional
Kerasionalan dalam penggunaan antibiotik perlu terjadi dalam proses
penyembuhan. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional menimbulkan berbagai
masalah negatif, antara lain menimbulkan efek toksisitas yang tidak perlu,
resisten, terjadi kegagalan terapi, serta meningkatnya biaya dalam pengobatan.
Kriteria penggunaan antibiotik yang rasional dapat dilihat dari indikasi yang tepat,
pemilihan obat yang tepat, dosis dan cara pemakaian yang tepat (Munaf, 2009).
Penggunaan antibiotik yang irrasional akan memberikan dampak negatif,
salah satunya adalah meningkatnya kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik.
Untuk itu penggunaan antibiotik yang rasional diharapkan dapat memberikan
dampak positif antara lain mengurangi morbiditas, mortalitas, kerugian ekonomi,
dan mengurangi kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik (Ozkurt et al, 2005)

E. Keterangan Empiris
Tingginya angka kejadian demam tifoid di daerah Kabupaten Magetan
menimbulkan banyaknya peresepan dengan menggunakan antibiotik. Seperti yang
dijelaskan di awal penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menimbulkan
beberapa masalah. Oleh karena itu diharapkan pada penelitian ini dapat
memberikan gambaran tentang penggunaan antibiotik yang rasional di RSUD dr.
Sayidiman Magetan tahun 2014 meliputi tepat obat, tepat pasien, tepat dosis, dan
tepat indikasi.

Dokumen yang terkait

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP RSAU ADI SOEMARMO Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Demam Tifoid Anak Di Instalasi Rawat Inap Rsau Adi Soemarmo.

0 5 10

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Demam Tifoid Anak Di Instalasi Rawat Inap Rsau Adi Soemarmo.

1 4 12

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEWASA DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Dewasa Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Pada Tahun 2014.

1 10 16

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEWASA DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Dewasa Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Pada Tahun 2014.

0 3 11

PENDAHULUAN Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Dewasa Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Pada Tahun 2014.

0 4 7

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD dr. Sayidiman Magetan Tahun 2014.

1 28 17

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD dr. Sayidiman Magetan Tahun 2014.

0 1 11

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP Dr. SOERADJI Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Tahun 2011.

0 3 13

KAJIAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD KAJIAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD dr. R. SOETRASNO REMBANG TAHUN 2010.

0 1 17

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA ANAK YANG MENDERITA DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA ANAK YANG MENDERITA DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD SUKOHARJO TAHUN 2009.

0 1 15