IMPLEMENTASI KEARIFAN LINGKUNGAN DALAM BUDAYA MASYARAKAT ADAT KAMPUNG KUTA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS :Studi Etnografi Pada Masyarakat Adat Kampung Kuta dan Kajian PTK di SMP Negeri 1 Tambaksari Kabupaten Ciamis.

i

DAFTAR ISI

ABSTRAK ………………………………………………………………..

i

KATA PENGANTAR…………………………………………………….

ii

UCAPAN TERIMA KASIH………………………………………………

iii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………..

v

DAFTAR TABEL………………………………………………………...


x

DAFTAR BAGAN……………………………………………………….

xi

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………..

xii

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………..

xiii

BAB I

BAB II

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ……………………………………

1

B. Rumusan Masalah ………………………………………….

16

C. Tujuan Penelitian……………………………………………

16

D. Manfaat Penelitian………………………………………….

17

E. Klarifikasi Konsep ………………………………………...

17


F. Paradigma Penelitian……………………………………….

20

KEARIFAN LINGKUNGAN MASYARAKAT ADAT
KAMPUNG KUTA
A. Konsep Nilai dalam Kebudayaan…………………………

21

B. Nilai Budaya dalam Masyarakat Adat…………………….

25

C. Kearifan Lingkungan dalam Budaya Masyarakat Adat…..

33

D. Dinamika Sosial Budaya………………………………....


42

ii

E. Pendidikan Sebagai Proses Pembudayaan………………..

46

1. Hakikat Pendidikan……………………………………

46

2. Pendidikan Sebagai Proses Transformasi Budaya…….

50

F. Nilai Budaya dalam Pendidikan IPS……………………..

56


1. Filsafat Pendidikan IPS………………………………..

56

2. Hakikat Pendidikan IPS……………………………….

61

3. Pengertian Pendidikan IPS…………………………….

61

4. Tujuan Pendidikan IPS………………………………..

64

5. Karakteristik Mata Pelajaran IPS……………………...

66


6. Kurikulum……………………………………………..

69

7. Silabus…………………………………………………

72

8. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)……………

74

G. Implementasi Kearifan Lingkungan Sebagai Sumber
Pembelajaran IPS………………………………………….

76

1. Sumber Pembelajaran…………………………………

76


2. Kearifan Lingkungan sebagai Sumber Belajar ………..

85

BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian…………………………………………

89

B. Jenis Data, Teknik dan Instrumen Penelitian……………...

95

1. Jenis Data Penelitian……………………………………

95

2. Teknik Pengumpulan Data Penelitian………………….


97

C. Subjek dan LokasiPenelitian………………………………

104

1. Subjek Penelitian……………………………………….

104

iii

2. Lokasi Penelitian……………………………………….

104

D. Prosedur Penelitian………………………………………..

105


1. Tahap Persiapan………………………………………..

105

2. Tahap Pelaksanaan……………………………………..

107

3. Tahap Pelaporan………………………………………..

107

E. Analisis dan Validasi Data…………………………………

108

1. Analisis Data Penelitian………………………………..

108


2. Validasi Data Penelitian………………………………..

110

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN………………………
A. Analisis Temuan Penelitian Etnografis Tentang Nilai-Nilai

112

Budaya Kampung Kuta
1. Keadaan Lokasi dan Lingkungan Kampung Kuta……

112

2. Sejarah Kampung Kuta……………………………….

122

3. Kondisi Sosial Budaya……………………………….


129

4. Upacara Adat…………………………………………

174

5. Pola Pemukiman dan Rumah Adat…………………...

177

6. Nilai Kearifan Lingkungan Sebagai Sumber

B.

Pembelajaran IPS…………………………………….

180

Analisis Temuan Penelitian Tindakan………………….

184

1. Deskripsi Lokasi Penelitian…………………………..

184

a. Keadaan Sekolah………………………………….

184

b. Tujuan Sekolah……………………………………

186

c. Keadaan Guru dan Staf Tata Usaha Tahun

iv

Pelajaran 2010/ 2011………………………………

186

d. Keadaan Peserta Didik…………………………….

189

e. Hasil Belajar……………………………………….

189

2. Pembahasan Hasil Penelitian…………………………

192

a. Temuan Awal Penelitian…………………………..

192

b. Deskripsi Tindakan Kesatu………………………..

198

c. Deskripsi Tindakan Kedua………………………..

206

d. Deskripsi Tindakan Ketiga………………………..

212

e. Deskripsi Tindakan Keempat……………………..

219

f. Deskripsi Tindakan Kelima……………………….

223

g. Deskripsi Studi Pasca Penelitian………………….

227

3. Analisis Reflektif Implementasi Kearifan Lingkungan
Masyarakat Adat Kampung Kuta Sebagai Sumber
Pembelajaran IPS……………………………………..

230

a. Kebiasaan Guru dalam Pembelajaran IPS…………

230

b. Keefektifan Implementasi Kearifan Lingkungan
Sebagai Sumber Pembelajaran IPS………………..

236

c. Hambatan Implementasi Kearifan Lingkungan
Sebagai Sumber Pembelajaran IPS………………...
BAB V

239

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan………………………………………………..

251

B. Rekomendasi………………………………………………

252

DAFTAR PUSTAKA

v

LAMPIRAN-LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi

DAFTAR TABEL

No. Tabel

Halaman

4.1.

Luas Tanah Kampung Kuta Menurut Penggunaannya

117

4.2.

Penduduk Kampung Kuta Menurut Umur dan Jenis Kelamin

130

4.3.

Tingkat Pendidikan Penduduk Kampung Kuta

133

4.4.

Mata Pencaharian Penduduk Kampung Kuta

138

4.5.

Alat Penunjang Pendidikan Tahun Pelajaran 2010/ 2011

185

4.6.

Daftar Buku Paket Peserta Didik Tahun Pelajaran 2010/ 2011

186

4.7.

Keadaan Guru dan Staf Tata Usaha Tahun Pelajaran 2010/ 2011

187

4.8.

Hasil Belajar Peserta Didik Tahun Pelajaran 2008/2009 dan

189

2009/2010
4.9.

Hasil UN/US SMP Negeri 1 Tambaksari Tahun Pelajaran

190

2009/2010
4.10.

Nilai Raport Mata Pelajaran IPS Kelas VIII A Semester Ganjil

191

Tahun Pelajaran 2010/ 2011
4.11.

Nilai Ulangan Harian Mata Pelajaran IPS Kelas VIII A

191

Semester Genap Tahun Pelajaran 2010/ 2011
4.12.

Daftar Materi, Sumber dan Metode Pembelajaran Per-Siklus

198

vii

DAFTAR BAGAN

No. Bagan

Halaman

1.1.

Paradigma Penelitian

20

2.1.

Proses Transformasi dan Transmisi Budaya Pada Peserta

55

Didik
2.2.

Elemen-elemen dalam Model

67

3.1.

Model Spiral dari Kemmis dan Tagart

93

3.2.

Fase Observasi

99

3.3.

Analisis Data Model Interaktif

108

viii

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar

Halaman

4.1.

Peta Desa Karangpaningal

113

4.2.

Peta Kampung Kuta

116

4.3.

Jalan Menuju ke Hutan Keramat

118

4.4.

Kuncen ngarekeskeun Maksud Kedatangan Tamu

119

4.5.

Duplikat Piala Kalpataru

121

4.6.

Kaum Ibu Sedang Mengambil Bibit Padi Sebelum Tandur

134

4.7.

Bentuk Leuit Masyarakat Kuta

136

4.8.

Slogan Pelestarian Lingkungan

148

4.9.

Jamban keluarga Masyarakat Kuta

162

4.10.

Pentas Seni Terbang

164

4.11.

Pentas Seni Gondang

165

4.12.

Pentas Seni Tayub

165

4.13.

Rumah Adat Kampung Kuta

178

4.14.

Peserta Didik Bersiap Diri Melakukan Dialog dengan Kuncen

220

ix

DAFTAR LAMPIRAN

1.

Matrik Penelitian

2.

Panduan Observasi Penelitian Nilai Budaya Kampung Kuta

3.

Panduan Wawancara Penelitian Nilai Budaya Kampung Kuta

4.

Panduan Observasi Penelitian Tindakan

5.

Panduan Wawancara Penelitian Tindakan

6.

Daftar Responden

7.

Riwayat Hidup Penulis

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan bangsa yang memiliki keanekaragaman dalam
berbagai hal. Salah satunya adalah budaya yang berkembang dalam masyarakat
adat sebagai kekayaan nasional. Masyarakat adat secara tradisi terus berpegang
pada nilai-nilai lokal yang diyakini kebenaran dan kesakralannya serta menjadi
pegangan hidup anggotanya yang diwariskan secara turun temurun. Nilai-nilai
tersebut saling berkaitan dalam sebuah sistem. Koentjaraningrat (1989: 190),
mengatakan bahwa :
Dalam setiap masyarakat, baik kompleks maupun yang sederhana, ada
sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain berkaitan hingga merupakan
suatu sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal
dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan
warga masyarakatnya.
Kebudayaan itu sendiri mengalami dinamika baik secara internal (internalisasi,
sosialisasi, enkulturasi, inovasi dan discovery) maupun eksternal (akulturasi dan
asimilasi). Menghadapi dinamika sosial, tidak semua warga masyarakat dapat
mengikuti perubahan dengan baik. Koentjaraningrat (1989: 234) mengatakan :
Sudah tentu dalam suatu masyarakat ada pula individu yang mengalami
berbagai hambatan dalam proses internalisasi, sosialisasi, serta
enkulturasinya, yang menyebabkan bahwa hasilnya kurang baik. Individu
tidak dapat menyesuaikan peribadinya dengan lingkungan sekitarnya,
menjadi kaku dalam pergaulannya, dan condong untuk senantiasa
menghindari norma-norma dan aturan masyarakatnya.
Hambatan-hambatan individu dalam proses tersebut dapat

melahirkan

penyimpangan sosial. Termasuk dalam hal ini penyimpangan dari adat istiadat.

2

Walaupun

demikian,

Koentjaraningrat

(1989:

235)

mengatakan

bahwa

“penyimpangan dari adat yang lazim merupakan suatu faktor yang sangat penting,
karena merupakan sumber dari berbagai kejadian masyarakat dan kebudayaan
yang positif maupun yang negatif”. Penyimpangan positif dapat menyebabkan
perubahan budaya (culture change), seperti melahirkan

perubahan dan

pembaharuan adat istiadat yang kuno. Tidak semua budaya yang berkembang
dalam masyarakat harus dilestarikan apabila bertentangan dengan nilai yang
bersifat universal. Oleh karena itu, diperlukan seseorang yang berfungsi sebagai
agen perubahan. Sedangkan penyimpangan negatif dapat melahirkan konflik dan
disintegrasi sosial, penyakit jiwa dan sebagainya, sehingga penyimpangan ini
harus dicegah secara preventif, persuasif dan hukuman yang melibatkan berbagai
pranata sosial yang ada dalam masyarakat.
Kampung Kuta berdasarkan penelitian Praja (2009) sangat memperhatikan
kelestarian lingkungan, sehingga mampu menjaga sumber daya alam dari
eksploitasi yang berlebihan. Kepedulian masyarakat adat terhadap alam
menyebabkan kebudayaan yang berkembang tidak terpisahkan dari alam yang
mereka huni. Hal ini sejalan dengan teori ekologi budaya yang diperkenalkan oleh
Julian H. Steward (Susilo 2009:47). Inti dari teori ini adalah lingkungan dan
budaya tidak dapat dilihat secara terpisah, tetapi merupakan campuran (mixed
product) yang berproses lewat dialektika. Menurut Susilo (2009:47), “keduanya
memiliki peran besar dan saling mempengaruhi. Tidak dapat dinafikan bahwa
lingkungan memang memiliki pengaruh atas budaya dan perilaku manusia tetapi

3

pada waktu yang sama manusia juga mempengaruhi perubahan-perubahan
lingkungan”.
Sebagai sebuah kampung adat, Kampung Kuta memiliki sejarah atau lebih
tepatnya disebut asal usul. Asal-usul Kampung Kuta merupakan salah satu mitos
yang berkembang dalam masyarakat Ciamis. Mitos tersebut bersumber pada
tradisi lisan yang dituturkan secara turun temurun. Tradisi lisan merupakan salah
satu sumber

penulisan sejarah lokal dengan beragam kelemahannya. Walau

demikian, menurut Widja (1991: 63), “tradisi lisan bagaimana pun juga punya arti
penting dalam usaha merekonstruksi masa lampau suatu masyarakat atau
komunitas tertentu”. Hal itu didukung oleh Wildan dkk. (2005: 65), “adapun
mengenai benar atau tidaknya isi cerita atau mitos tersebut bukan suatu
permasalahan. Setidaknya mitos tersebut dihormati dan dipelihara oleh
masyarakatnya. Bukankah ilmu pengetahuan juga pada awalnya berkembang dari
bentuk pemikiran mitis”.
Dalam mitos Kampung Kuta berdasarkan hasil penelitian Praja (2009)
terdapat nilai luhur berupa kejujuran, kesederhanaan dan kecintaan tokoh adat
terhadap alam dan masyarakatnya. Hal ini harus direspon oleh para pengembang
dan pelaksana kurikulum dengan menjadikan sejarah lokal sebagai bagian dari
pembelajaran kurikuler IPS atau paling tidak ditempatkan dalam muatan lokal.
Termasuk dalam hal ini, menjadikan sejarah kampung adat Kuta sebagai salah
satu materi yang diberikan dalam Mata Pelajaran IPS.
Sebagai kesatuan hidup manusia, masyarakat adat memiliki nilai sosialbudaya yang dapat dikaji untuk dikembangkan dalam pembelajaran. Masyarakat

4

adat sangat kental dengan budaya kesetiakawanan sosial (solidaritas) dalam
melakukan segala aktivitas hidupnya.

Menurut Durkheim (Pasya, 1999: 20),

‘solidaritas ini menunjukkan suatu keadaan hubungan antara individu dengan/
atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut
bersama, diperkuat oleh pengalaman emosional bersama’. Selain memiliki
kesetiakawanan sosial yang tinggi, masyarakat adat memiliki budaya luhur lain
yang berupa gotong-royong, musyawarah, dan kerukunan. Perilaku prososial
(prosocial behavior) tersebut masih melekat kuat dibandingkan dengan
masyarakat dengan tingkat heterogenitas, aktivitas dan pertumbuhan ekonomi
yang lebih tinggi.
Masyarakat adat juga kaya dengan beragam budaya dalam bentuk kesenian
tradisional, baik berupa seni tari, seni suara maupun seni gamelan. Kekayaan seni
budaya yang dimiliki masyarakat adat tentu tidak boleh dibiarkan lenyap ditelan
arus globalisasi. Seni tarik suara maupun seni gamelan sangat kaya dengan nilai
yang berhubungan dengan kearifan manusia dalam membangun hubungan yang
harmonis antara manusia dengan alam dan antar manusia sebagai anggota
masyarakat. Nilai-nilai tersebut sangat bermakna bagi generasi muda dalam
mengarungi hidup di era global dengan beragam pengaruh, baik positif maupun
negatif.
Berkenaan dengan lingkungan, nilai luhur yang dapat dijadikan kajian dari
sebuah masyarakat adat adalah kearifan lokal (local wisdom) dalam melakukan
pengelolaan lingkungannya. Sebuah nilai penting yang dimiliki masyarakat adat
dalam aktivitas yang berhubungan dengan eksplorasi dan eksploitasi alam. Nilai

5

budaya yang berupa kearifan manusia dalam mengelola alam tersebutlah yang
kemudian diyakini merupakan cara yang paling ampuh dalam mengelola alam.
Dalam mengembangkan hubungan dengan alam, masyarakat adat telah
memiliki sistem pengetahuan dan teknologi lokal (SPTL) atau indigenous
knowledge. Adimihardja (2008: 1), mengatakan bahwa ”SPTL mudah dipahami
secara awam, dengan sederhana dapat dijelaskan sebagai suatu pengetahuan yang
tumbuh dan berkembang secara lokal, merupakan perkembangan dari bagian
keseluruhan tradisi masyarakat lokal itu”. Selanjutnya dijelaskan, “dasar-dasar
pengetahuan itu bersumber dari nilai-nilai tradisi dan adaptasinya dengan nilainilai dari luar”. Pendapat tersebut paling tidak mengandung dua makna; pertama,
masyarakat sesederhana apapun pasti memiliki kecerdasan dalam menjalani
kehidupannya. Kedua, tidak ada satu masyarakat pun yang tidak mengalami
dinamika.
Sistem pengetahuan dan teknologi lokal yang berkembang dalam
masyarakat adat salah satunya pengetahuan tentang cara bercocok tanam sesuai
dengan tanda-tanda alam. Sebagai contoh kapan mereka harus mulai menggarap
sawah yang mengacu pada perhitungan waktu katiga (musim kemarau), kapat
(musim hujan). Permulaan mengolah sawah dengan perhitungan waktu tersebut,
sekarang ini tentu telah mengalami perubahan dengan bergesernya musim yang
sulit diprediksi. Hal itu menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat mengalami
perubahan sesuai dengan tuntutan zaman.
Selain diwujudkan dalam sistem pengetahuan dan teknologi di atas,
kecerdasan lokal masyarakat adat ditunjukkan dengan menjadikan hutan sebagai

6

tempat yang dikeramatkan. Hutan dijaga dengan berbagai tabu yang berfungsi
sebagai pengendali segala aktivitas manusia yang berhubungan dengan tempat
tersebut. Ketaatan pada tabu yang diwariskan secara turun-temurun menjadikan
hutan

tetap

lestari.

Hutan

bagi

masyarakat

adat

merupakan

simbol

keberlangsungan kehidupannya.
Terlepas dari unsur mistis yang ada di dalamnya, pemahaman tentang nilainilai tersebut sangat penting dimiliki oleh peserta didik, kini dan masa yang akan
datang. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya masyarakat tradisional yang
dikembangkan dalam konteks kekinian, sangat penting untuk dijadikan kajian
dalam pembelajaran IPS sehingga terinternalisasi pada diri peserta didik. Tentu
setelah dikaji secara ilmiah, mengapa nilai-nilai tersebut harus diwarisi oleh
mereka.
Nilai-nilai budaya lokal yang mulai terabaikan dalam kehidupan masyarakat
dewasa ini adalah sebuah isu penting untuk diangkat dalam pembelajaran IPS. Hal
ini merupakan usaha untuk mencari solusi alternatif guna menyikapi dampak
globalisasi yang makin merambah ke segala sendi kehidupan masyarakat di mana
pun keberadaannya. Menghadapi globalisasi dengan segala dampaknya tentu
memerlukan berbagai pendekatan untuk menghadapinya. Dengan demikian
segenap potensi yang dimiliki oleh sebuah bangsa harus dioptimalkan, termasuk
kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat. “Sistem budaya lokal
merupakan modal sosial (social capital) yang besar, telah tumbuh-berkembang
secara turun-temurun yang hingga kini kuat berurat-berakar di masyarakat”
(Hikmat, 2010: 169).

7

Berhubungan dengan hal itu, Susilo (2008: 161) mengatakan bahwa
“penting untuk melembagakan kembali (reinstitusionalisasi) kearifan-kearifan
lokal tradisional, karena ia membantu penyelamatan lingkungan”. Lingkungan
hidup memang sedang mengalami degradasi sebagai dampak negatif dari
lompatan petumbuhan jumlah penduduk yang tidak terkendali serta globalisasi.
Ledakan penduduk menyebabkan kebutuhan akan ruang hidup semakin luas,
sehingga berdampak terhadap pengurangan ruang hijau yang berupa hutan dan
lahan pertanian karena dijadikan areal pemukiman. Jumlah populasi yang terus
meningkat mengakibatkan peningkatan jumlah kebutuhan dan konsumsi sumber
daya alam (SDA). Dalam beberapa kasus, luas hutan berkurang karena adanya
kejahatan yang berupa illegal logging, tetapi pengurangan luas areal hutan juga
tidak terlepas dari bertambahnya jumlah penduduk.
Globalisasi merupakan salah satu penyebab menurunya kualitas lingkungan.
Bahkan Capra (2009: 165) menjelaskan bahwa “kerusakan lingkungan tak hanya
efek samping, tetapi juga merupakan bagian integral dari rancangan kapitalisme
global”. Fokus utama globalisasi adalah peningkatan produktivitas ekonomi tetapi
mengabaikan keberlanjutan dan keseimbangan lingkungan. Susilo (2010: 69)
mengatakan,

“…antroposentris

yang

berinteraksi

dengan

industrialisme,

konsumerisme, modernisme, dan perkembangan pesat teknologi, menjadi sebab
kerusakan lingkungan” . Globalisasi telah membangun pandangan yang keliru
tentang pentingnya pelestarian alam. Ralph Metzner (Susilo, 2010: 70)
mengatakan, ‘paduan suara yang semakin berkembang menunjukkan bahwa akar
dasar malapetaka lingkungan terletak dalam sikap, nilai, persepsi, dan pandangan

8

dunia yang kita pegang’. Dapat disimpulkan, globalisasi telah menyebabkan
kerusakan lingkungan baik di daratan, perairan maupun udara. Salah satu
contohnya, daratan dengan penggundulan hutan, perairan dengan limbah industri,
dan udara dengan polusi udara baik karena industri maupun kendaraan bermotor.
Selain menimbulkan dampak negatif berupa kerusakan alam (ekologis),
globalisasi telah menimbulkan efek samping lain yang tidak diharapkan berupa
pengikisan nilai-nilai luhur budaya bangsa, digantikan dengan budaya asing yang
seringkali bertentangan dengan budaya yang dianut oleh peserta didik. Mereka
lebih hafal dan akrab dengan budaya Barat dari pada budaya bangsanya sendiri.
Kekaguman generasi muda terhadap budaya Barat terlihat dari berbagai bentuk
imitasi yang dilakukan mulai dari cara berpakaian hingga pola tingkah laku yang
sudah mendekati tradisi Barat tetapi sering mengabaikan makna yang terkandung
di dalamnya. Hal ini merupakan bentuk ketidakmampuan individu masyarakat
menghadapi dinamika sosial-budaya melalui proses belajar dari budaya asing
baik akulturasi maupun asimilasi. Dalam konteks global, fenomena ini seolah
merupakan tumbal sebuah zaman. Menurut Alma (2010: 143), “bagi Indonesia,
masuknya nilai-nilai Barat yang menumpang arus globalisasi… merupakan
ancaman bagi budaya asli yang mencitrakan lokalitas khas daerah-daerah di
negeri ini”. Oleh karena itu, kerarifan lokal merupakan hal penting yang harus
diwariskan kepada peserta didik sebagai generasi penerus bangsa.
Kearifan lokal menurut Atmodjo (1986: 37) merupakan kemampuan
penyerapan kebudayaan asing yang datang secara selektif, artinya disesuaikan
dengan suasana dan kondisi setempat. Kemampuan demikian sangat relevan

9

dengan tujuan pembelajaran IPS, sebab dengan kemampuan

tersebut akan

menyebabkan peserta didik dapat memilih dan memilah budaya mana yang sesuai
dengan karakteristik budaya sendiri. Kemampuan penyerapan kebudayaan asing
yang datang secara selektif tentu memerlukan pengalaman langsung dari
masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Hal itu dapat dilakukan dengan
menggunakan budaya masyarakat adat sebagai sumber belajar.
Peserta didik sebagai generasi penerus yang hidup dalam kurun sejarah lain
dengan masalah-masalah yang berbeda, tentu tidak begitu saja akan menerima
warisan itu. “Mereka akan melakukan pemilihan dan atau pengolahan kembali
nilai-nilai yang diwariskan dan mengambil yang menurutnya paling cocok serta
sesuai dengan kepentingan keselamatan dan kesejahteraan generasi berikut”
(Saini, 2004: 27-28). Seleksi tersebut akan terjadi dengan baik melalui
pembelajaran dengan menggunakan sumber belajar yang bermakna.

Mutakin

(2008: 74) mengatakan bahwa “atas dasar tersebut maka muncul pemaknaan
bahwa kebudayaan merupakan learned behavior, yang berarti bahwa kebudayaan
diperoleh seseorang individu harus dengan proses belajar”. Ini menunjukkan
bahwa hanya dengan pembelajaranlah nilai-nilai budaya dapat diwariskan kepada
peserta didik. Melalui pengalaman belajarnya, peserta didik akan mewarisi nilai
luhur suatu budaya dan melembagakan nilai tersebut dalam dirinya. Melalui
pengalaman belajar dari masyarakat, peserta didik dapat mencari, menemukan dan
membangun pengetahuannya. Suatu proses yang sangat penting dalam
pendidikan.

10

Berhubungan dengan lingkungan di mana di dalamnya hidup nilai-nilai
budaya, Wahab (2008: 137) mengatakan, “siswa hidup dalam masyarakat dan
karena itu siswa perlu mengenal kehidupan masyarakat”. Menurutnya, “salah satu
hal yang dihadapi oleh anggota masyarakat adalah isu-isu sosial”. Berbagai
permasalahan sosial tidak terlepas dari fenomena alam atau lingkungan fisik di
mana masyarakat tersebut hidup dan berinteraksi. Oleh karena itu Sumaatmadja
(2004: 18) mengatakan, “pengajaran IPS yang melupakan masyarakat sebagai
sumber dan objeknya, merupakan suatu bidang pengetahuan yang tidak berpijak
kepada kenyataan”. Sebagai contoh aplikatif, isu tentang global warming dapat
dikaji mulai dari dimensi lokal yang berupa nilai budaya suatu masyarakat adat
yang telah terbukti mampu menjaga kelestarian hutan. Kemudian isu tersebut
dikembangkan dalam dimensi global berupa pencegahan terhadap pemanasan
suhu bumi yang semakin meningkat. Mengadopsi pemikiran Naisbitt (1984: 91),
pembelajaran ini mencoba melahirkan peserta didik yang memiliki kemampuan
“think globally, act locally”.
Disadari atau tidak, seringkali bencana sosial dan kemanusiaan disebabkan
oleh ulah dan perilaku manusia dalam melakukan eksploitasi terhadap alam
sekitarnya. Berbagai bencana tidak terlepas dari kesalahan manusia dalam
mengelola dan memanfaatkan alam baik disengaja maupun sebagai efek
penggunaan teknologi yang tidak tepat sasaran. Beragam bencana alam
sesungguhnya adalah ujian sejauh mana manusia memiliki kecerdasan dalam
mengembangkan mitigasi bencana yang dapat mengeliminir resiko dari peristiwa
tersebut. Bagi masyarakat Indonesia hal ini penting mengingat secara geografis

11

wilayah Indonesia memang rentan terhadap bencana alam. Wilayah Indonesia
berada pada jalur pegunungan muda vulkanik, yaitu sirkum Pasifik dan
Mediterania serta tempat bertemunya tiga lempeng besar dunia, yaitu IndoAustralia, Eurasia, dan Pasifik.
Melalui proses pembelajaran, peserta didik belajar terhadap nilai-nilai
budaya lokal dalam konteks kehidupan sehari-hari saat ini. Bila masyarakat adat
memiliki kearifan terhadap lingkungan dengan mempertahankan hutan keramat,
dalam aplikasi yang sederhana, peserta didik dapat belajar menjaga kelestarian
alam sesusai dengan lingkungan yang mereka hadapi. Sehingga kebiasaan kecil
tetapi penuh makna ini melembaga dalam diri peserta didik dan dapat
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dari hal kecil dan lingkungan
terdekatlah peserta didik belajar. Berdasarkan teori kognitif dari Bruner (1996),
salah satu langkah penting dalam pembelajaran adalah :
Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi,
tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa serta mengatur topik-topik
pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak,
atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik. (Budiningsih, 2004: 50).
Implementasi nilai-nilai budaya masyarakat adat

Kampung Kuta,

khususnya kearifan terhadap lingkungan dalam pembelajaran IPS sesuai dengan
salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan menurut Undang-undang No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III, Pasal 1 (3)
pendidikan

diselenggarakan

sebagai

suatu

proses

pembudayaan

yaitu
dan

pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Hal ini didukung
oleh Sagala (2006: 237) yang mengatakan, bahwa “sebagai proses sosial budaya,

12

proses pendidikan tersebut merupakan bagian integral dari proses budaya dan
sosial yang berlangsung terus menerus tanpa akhir”.
Masih berhubungan dengan nilai budaya yang terdapat di lingkungan,
khususnya lingkungan adat, menurut Sudjana dan Rivai (2009: 208-209), banyak
keuntungan yang diperoleh dari kegiatan mempelajari lingkungan dalam proses
belajar, yaitu antara lain :
1) Kegiatan belajar lebih menarik dan tidak membosankan dimana siswa
duduk di kelas berjam-jam, sehingga motivasi belajar siswa akan lebih
tinggi, 2) Hakikat belajar akan lebih bermakna sebab siswa dihadapkan
dengan situasi dan keadaan yang sebenarnya atau bersifat alami, 3) Bahanbahan yang dapat dipelajari lebih kaya serta lebih faktual sehingga
kebenarannya lebih akurat, 4) Kegiatan belajar siswa lebih komprehensif
dan lebih aktif sebab dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti
mengamati,
bertanya
atau
berwawancara,
membuktikan
atau
mendemontrasikan, menguji fakta dan lain-lain, 5) Sumber belajar menjadi
lebih kaya sebab lingkungan yang dapat dipelajari dapat beraneka ragam
seperti lingkungan sosial, lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lainlain, dan 6) Siswa dapat memahami dan menghayati aspek-aspek kehidupan
yang ada di lingkungannya, sehingga dapat membentuk pribadi yang tidak
asing dengan kehidupan di sekitarnya, serta dapat memupuk cinta
lingkungan”
Walaupun keberadaanya sangat esensial, tetapi pembelajaran IPS hingga kini
belum banyak memberdayakan nilai-nilai lingkungan sebagaimana mestinya.
Sumber pembelajaran IPS masih terbatas pada buku teks dan dominasi guru
sebagai sumber belajar. Oleh karenanya, diperlukan usaha untuk mengembangkan
sumber pembelajaran berupa nilai-nilai budaya masyarakat dengan cara
mengintegrasikannya ke dalam bahan pembelajaran IPS.
Alma (2010: 143) mengatakan,

“kesalahan dalam merumuskan strategi

mempertahankan eksistensi budaya lokal dapat

mengakibatkan budaya lokal

semakin ditinggalkan masyarakat yang kini kian gandrung pada budaya yang

13

dibawa arus globalisasi”. Salah satu kesalahan dimaksud adalah mengabaikan
nilai budaya sebagai sumber belajar. Kesalahan ini juga masih terjadi dalam
pembelajaran IPS karena masih belum mendekatkan peserta didik dengan
budayanya. Peserta didik belum secara intensif diperkenalkan dengan nilai-nilai
budaya lokal sebagai sumber pembelajaran.
Dengan implementasi nilai-nilai budaya, khususnya kearifan lingkungan
sebagai sumber belajar diharapkan dapat memberikan pengalaman belajar yang
lebih bermakna bagi peserta didik. Implementasi nilai-nilai budaya masyarakat
dalam pembelajaran akan mendekatkan peserta didik dengan lingkungannya yang
bersifat konkrit. Sehingga, pembelajaran IPS memiliki tujuan yang lebih tinggi
yaitu menghasilkan peserta didik yang berbudaya. Peserta didik yang berbudaya,
menurut Sagala (2006: 243), adalah “anak yang berpengetahuan, berilmu,
mandiri, sportif, disiplin, terampil, mampu mengatasi masalah serta bersikap
dinamis dan oftimis,…”.
Pentingnya implementasi nilai-nilai budaya lokal dalam pembelajaran IPS
dapat

dikaji dari filsafat pendidikan yang mendasarinya yaitu Perenialisme.

Perenialisme memandang pendidikan sebagai proses yang sangat penting dalam
pewarisan nilai budaya terhadap peserta didik. Nilai-nilai budaya yang dimiliki
oleh masyarakat sangat penting ditransfromasikan dalam pendidikan, sehingga
diketahui, deterima dan dapat

dihayati oleh peserta didik. Perenialisme

memandang bahwa masa lalu adalah sebuah mata rantai kehidupan umat manusia
yang tidak mungkin diabaikan. Masa lalu adalah bagian penting dari perjalanan
waktu manusia dan memiliki pengaruh kuat terhadap kejadian masa kini dan masa

14

yang akan datang. Nilai-nilai yang lahir pada masa lalu adalah hal yang berharga
untuk diwariskan kepada generasi muda.
Walau demikian, pada praktiknya, berbagai aliran filsafat pendidikan secara
eklektik digunakan dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum pendidikan,
termasuk dalam pengembangan kurikulum di Indonesia. Dalam KTSP 2006 yang
berdasarkan filsafat rekonstruksionisme, pentingnya penanaman nilai budaya
lokal terlihat dari keharusan pengembang kurikulum memasukan muatan lokal
sebesar 20% dalam kurikulum yang disusunnya. Dengan demikian, filsafat
rekonstruksionisme dijadikan rujukan dalam pengembangan KTSP karena mampu
mengakomodir ketiga aliran filsafat pendidikan lainnya, baik perenialisme,
esensialisme maupun progresivisme.
Dalam pendidikan IPS, transformasi budaya bukan berarti melakukan
indoktrinasi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya melainkan mengkajinya
secara logis, kritis dan analitis sehingga peserta didik mampu memecahkan
masalah yang dihadapinya secara nyata. Pendidikan IPS tidak dapat menafikan
nilai-nilai yang berkembang pada masa lalu. Pendidikan IPS juga tidak dapat
mengabaikan masa yang akan datang. Dengan demikian, Pendidikan IPS harus
mengakomodir segala kebutuhan peserta didik, baik pewarisan nilai budaya,
pengembangan intelektual, serta mempersiapkan diri peserta didik untuk masa
depan yang lebih baik.
Berkenaan dengan implementasi nilai-nilai budaya masyarakat adat,
khususnya kearifaan lingkungan sebagai salah satu sumber pembelajaran IPS,
Wahab (2008: 13) mengatakan bahwa “dalam kebijakan kurikulum di Indonesia

15

telah dicanangkan pula adanya masukan berupa kurikulum muatan lokal, yaitu
kurikulum

bermuatan hal-hal yang secara spesifik merupakan kebutuhan

masyarakat setempat, local content curriculum”. Kebijakan tersebut lahir dari
kesadaran bahwa peserta didik jangan sampai dijauhkan dari akar budaya yang
dimilikinya.
Walau demikian kenyataan di lapangan menunjukkan, pengembang dan
implementor kurikulum masih sering salah menafsirkan muatan lokal. Muatan
lokal masih ditafsirkan terbatas dengan menjadikan bahasa daerah atau kesenian
tradisional sebagai mata pelajaran. Padahal pengertian muatan lokal dalam KTSP
tidak dapat direduksi seperti itu. Mulyasa (2010: 20) mengatakan bahwa “KTSP
harus dikembangkan sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi dan
karakteristik daerah, serta sosial budaya masyarakat dan peserta didik”. Bila hal
ini dilakukan,

Wahab (2008: 13) mengatakan, “hal itu akan membantu

melahirkan ‘the real curriculum’, juga mampu menutupi kesenjangan tentang
materi yang seharusnya ada dalam kurikulum”.
Berdasarkan hal uraian di atas kemudian diangkat dalam sebuah penelitian
yang berjudul “Implementasi Kearifan Lingkungan dalam Budaya Masyarakat
Adat Kampung Kuta Sebagai Sumber Pembelajaran IPS di SMP Negeri 1
Tambaksari”. Dengan demikian, proses penelitian dilakukan dalam dua tahap,
yaitu : Pertama, tahap eksplorasi dan identifikasi nilai-nilai budaya masyarakat
adat Kampung Kuta, khususnya mengenai nilai kearifan lingkungan. Kedua,
penelitian tindakan di SMP Negeri 1 Tambaksari untuk melihat sejauh mana
implementasi nilai budaya masyarakat Kuta bermakna bagi pembelajaran IPS

16

serta meningkatkan kinerja guru IPS di sekolah tersebut melalui penelitian yang
bersifat partisipatori.

B. Rumusan Masalah
1.

Bagaimana perkembangan nilai kearifaan lingkungan dalam budaya
masyarakat adat Kampung Kuta yang hidup berkembang hingga saat ini?

2.

Bagaimana pengaruh nilai kearifaan lingkungan dalam budaya masyarakat
adat Kampung Kuta terhadap pelestarian alam?

3.

Bagaimana potensi nilai kearifaan lingkungan dalam budaya masyarakat adat
Kampung Kuta dilihat dari perspektif pengembangan sumber pembelajaran
IPS di SMP Tambaksari?

4.

Bagaimana hasil pembelajaran melalui implementasi nilai kearifaan
lingkungan sebagai salah satu budaya masyarakat adat Kampung Kuta dalam
pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari?

C. Tujuan Penelitian
1.

Untuk mengetahui perkembangan nilai kearifaan lingkungan dalam budaya
masyarakat adat Kampung Kuta yang hidup berkembang hingga saat ini.

2.

Untuk mengkaji pengaruh nilai kearifaan lingkungan dalam budaya
masyarakat adat Kampung Kuta terhadap pelestarian alam.

3.

Untuk mengetahui potensi nilai kearifaan lingkungan dalam

budaya

masyarakat adat Kampung Kuta dilihat dari perspektif pengembangan sumber
pembelajaran IPS di SMP Tambaksari.

17

4.

Untuk mengetahui hasil pembelajaran melalui implementasi nilai kearifaan
lingkungan sebagai salah satu budaya masyarakat adat Kampung Kuta dalam
pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari.

D. Manfaat Penelitian
1.

Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah pengetahuan
tentang nilai-nilai budaya masyarakat adat Kampung Kuta sebagai salah satu
kampung adat yang masih tersisa di Jawa Barat.

2.

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan berupa
nilai-nilai budaya Masyarakat Kampung Adat Kuta khususnya kearifan
lingkungan

sebagai

sumber

belajar

untuk

meningkatkan

kualitas

pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari.

E. Klarifikasi Konsep
1.

Kearifan Lingkungan
Kearifan

lingkungan

atau

environmental

wisdom

adalah

kumpulan

pengetahuan, kepercayaan, dan kelembagaan masyarakat lokal (Amirullah,
2008)

2.

Budaya
Kata budaya dalam tulisan ini memiliki arti yang sama dengan kebudayaan.
Koentjaraningrat (1989: 181) mengatakan, “dalam istilah

antropologi-

budaya, perbedaan itu ditiadakan. Kata budaya di sini hanya dipakai sebagai

18

suatu singkatan saja dari kebudayaan dengan arti yang sama”. Kebudayaan
menurut Koentjaraningrat (1989: 180), adalah “keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar”.

3.

Masyarakat Adat
Terminilogi istilah, “masyarakat adat” berdasarkan hasil kongres Masyarakat
Adat Nusantara yang diselenggarakan di Jakarta, pada tanggal 15-22 Maret
1999. Hasil kongres tersebut menyatakan :
Masyarakat adat dimaksud sebagai kelompok masyarakat yang memiliki
asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu,
serta memiliki sistem nilai, idiologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan
wilayah sendiri”(Syafa’at, et.al. 2008: 28).

4.

Sumber Pembelajaran
Menurut Rohani (2004: 161), “sumber belajar adalah segala daya yang dapat
dipergunakan untuk kepentingan proses atau aktivitas pengajaran baik secara
langsung maupun tidak langsung, di luar peserta didik (lingkungan) yang
melengkapi diri mereka pada saat pengajaran berlangsung. Bahkan dalam
pembelajaran IPS, Sumaatmadja (2004: 13) mengatakan bahwa “segala
gejala, masalah, dan peristiwa tentang kehidupan manusia di masyarakat,
dapat dijadikan sumber dan materi IPS”.

19

F. Paradigma Penelitian
Paradigma sebagai konsep pertama kalinya dikemukakan oleh Thomas Kuhn
dalam bukunya “The Structure of Scientific Revolutions”. Dalam penelitian,
paradigma merupakan dasar untuk

menyeleksi masalah dan pola untuk

memecahkan masalah tersebut. Moleong (1989: 9) mengatakan, “paradigma
adalah sekumpulan longggar tentang asumsi yang secara logis dianut
bersama, konsep, atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan cara
penelitian”. Wiriaatmadja (2008: 85) mengatakan, “kerangka pemikiran atau
paradigma adalah pandangan dunia atau worldview dari peneliti untuk
memahami asumsi-asumsi metodologis sebuah studi secara ontologis,
epistemologis, dan aksiologis”.
Senada dengan dengan kedua pendapat di atas, Nasution (2003: 2)
mengatakan bahwa “paradigma adalah suatu perangkat kepercayaan, nilainilai, suatu pandangan tentang dunia sekitar. Paradigma mengarahkan
peneliti”. Dalam paradigma kualitatif

menurut Wiriaatmadja (2008: 10),

“asumsi-asumsi ontologi menunjukkan bahwa kenyataan seperti yang dilihat
oleh para peserta penelitian adalah subjektif dan majemuk, sedangkan secara
epistemologi, para peneliti berinteraksi dengan yang diteliti, secara aksiologi
sangat berbobot nilai, dan bias”.
Mengkaji rumusan-rumusan paradigma di atas, terlihat bahwa paradigma
penelitian sangat sentral untuk mewujudkan hasil penelitian yang kredibel.
Untuk itu dikembangkanlah paradigma penelitian yang dapat digambarkan
sebagai berikut :

20

Nilai-nilai Budaya
Masyarakat Adat
Kampung Kuta
Sumber Belajar

Seleksi

Kearifan Lingkungan
Masyarakat Adat Kuta

Metode
Pembelajaran
1. Filsafat PIPS
2. Hakikat PIPS
3. Tujuan PIPS
Bagan 1.1 :
Paradigma Penelitian

Pembelajaran
1, 2 Dst

1. Menghargai
Nilai Kearifan
Lingkungan
2. Adaptasi Nilai
Kearifan
Lingkungan
3. Aplikasi Nilai
Kearifan
Lingkungan

89

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan nilai-nilai budaya
masyarakat Kampung Adat Kuta yang melembaga hingga saat ini khususnya
kearifan lingkungan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai budaya
yang telah teridentifikasi kemudian dipilih untuk diimplementasikan sebagai
sumber pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari. Untuk itu maka
penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografi dan
Penelitian Tindakan. Pembahasan hasil penelitian etnografi disajikan pada Bab IV
dari halaman 112 s.d. 185 dan pembahasan hasil penelitian tindakan disajikan
dari halaman 185 s.d. 251.
Menurut Creswell (1985: 5) :
Qulaitative research is an inquiry process of understanding based on
distinct methodological tradistions of inquiry that explore a social or
human problem, the researcher builds a complex, holistic picture, analyzes
words, report detailed views of informants, and conducts, the study in a
natural setting.
Senada dengan itu, Lincoln dan Guba (1985: 39) mengatakan bahwa “penelitian
kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara
fundamental bergantung pada pengamatan manusia pada kawasannya sendiri dan
berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam
peristilahannya”.

90

Masih mengenai penelitian kualitatif, Nasution (1996: 5) menjelaskan bahwa
”pada hakikatknya penelitian kualitatif merupakan kegiatan mengamati orang
dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami
bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya”. Peneliti mengumpulkan
data dari subjek penelitian dengan prinsip kesetaraan. Kebenaran yang berasal
dari informan bersifat equal dengan kebenaran yang berasal dari peneliti.
Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang memadang
suatu kenyataan sosial sebagai sesuatu yang utuh, dinamis dan penuh makna.
Penelitian ini dilakukan pada setting yang alamiah (natural setting) bukan dalam
setting yang didesain sedemikian rupa seperti yang dilakukan pada penelitian
kuantitatif. Oleh karenanya, pendekatan penelitian ini juga sering disebut sebagai
penelitian naturalistik. Objek alamiah adalah objek yang berkembang apa adanya,
tidak dimanipulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak begitu mempengaruhi
dinamika pada objek tersebut.
Pada prakteknya, peneliti berbaur dengan masyarakat (subjek penelitian)
untuk mendapatkan data yang dibutuhkan. Untuk memahami sebuah budaya
masyarakat tentu harus dikaji secara utuh dan mendalam dalam suasana yang
alamiah. Berhubungan dengan penelitian ini, peneliti berusaha berbaur langsung
dalam situasi sosial masyarakat adat Kampung Kuta. Sebagai proses penelitian
kebudayaan maka berbaurnya peneliti dengan masyarakat yang diteliti adalah hal
yang tidak bisa dihindarkan, sehingga keakuratan data yang diperoleh bisa relatif
terjaga.

91

Tentang jenis tradisi kualitatif, Creswell (1998: 5) mengklasifikasikan lima
tradisi studi kualitatif, yaitu penelitian biografi, fenomenologi, grounded theory,
studi etnografi, dan studi kasus. Sesuai dengan tujuan, penelitian ini menggunakan
studi etnografi. Spradley (2007: 3) mengatakan bahwa “etnografi merupakan
pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan”. Senada dengan itu, menurut
Creswell (1998: 58) “An ethnography is a description and interpretation of a
culture or social group or system”. Lebih luas Wolcott (Thomas, 2003: 36)
mengatakan :
Ethnography means, literally, a picture of the “way of life” of some
identifiable group of people. Conceivable, those people could be any culture
bearing group, in any time place…Particular individuals, customs,
institutions, or event are anthropological interest as they relate to a
generalized description of the life-way of a social interacting group.
Dari definisi di atas, tradisi etnografi menurut Salim (2006: 128), memiliki
ciri-ciri berikut :
1) Menekankan eksplorasi tentang hakikat suatu fenomena sosial tertentu,
dan bukan menguji hipotesis tentang fenomena tersebut, 2) Kecenderungan
bekerja dengan data yang tidak terstruktur yakni data yang belum di-coding
di saat pengumpulannya, berdasarkan seperangkat kategori analisis yang
tertutup, 3) Investigasi terhadap sejumlah kecil kasus, bahkan sangat
memungkinkan hanya satu kasus, namun dilakukan secara rinci, dan 4)
Analisis data melibatkan penafsiran langsung terhadap makna dan fungsi
tindakan manusia. Hasil analisis ini umumnya mengambil bentuk deskripsi
dan penjelasan verbal. Pada saat yang sama kuantifikasi dan analisis statistik
memainkan peran yang sangat kecil.
Setelah nilai-nilai budaya masyarakat adat Kampung Kuta dapat
diidentifikasi kemudian peneliti mengadakan penelitian tindakan untuk melihat
sejauhmana implementasikan kearifan lingkungan sebagai sumber pembelajaran
IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari bermaknaan bagi pembelajaran IPS di sekolah
yang bersangkutan. Banyak penelitian yang telah membedah mengenai beragam

92

budaya lokal tetapi seringkali belum diimplemetasikan dalam pembelajaran,
sehingga kebermaknaan sumber pembelajaran tersebut belum bisa terlihat secara
nyata.
Menurut Purwadi (Sukidin et.al. 2008: 10), ‘PTK adalah suatu bentuk
penelitian yang dilaksanakan oleh guru untuk memecahkan masalah yang
dihadapi dalam melaksanakan tugas pokonya, yaitu mengelola pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar (KBM) dalam arti luas’. Penelitian Tindakan Kelas ini,
menurut Hopkins (Wiriaatmadja, 2008: 25), ‘bersifat emansipatoris dan
membebaskan karena penelitian ini mendorong kebebasan berpikir dan
berargumen pada pihak siswa, dan mendorong guru menggunakan kearifan dalam
mengambil keputusan atau judgement’.
PTK merupakan penelitian aksi yang melibatkan mitra peneliti guna
memperbaiki proses pembelajaran. Mc Niff (Sukidin et.al., 2008: 14),
memandang ‘PTK sebagai suatu bentuk penelitian reflektif yang dilakukan oleh
guru sendiri yang hasilnya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kurikulum,
pengembangan sekolah, pengembangan keahlian mengajar, dan sebagainya’.
Dengan demikian PTK memiliki manfaat yang sangat besar bagi peningkatan
kualitas belajar peserta didik serta kinerja guru itu sendiri.
Model Penelitian Tindakan Kelas yang digunakan dalam penelitian ini
adalah model Spiral dari Kemmis dan Tagart yang tergambar dari bagan berikut :

93

REFLECT

PLAN

OBSERVE

ACT

REFLECT

REVISED
PLAN

OBSERVE

ACT

Bagan 3.1:
Model Spiral dari Kemmis dan Tagart
(Wiriaatmadja, 2008: 62)
Rangkaian kegiatan penelitian tindakan yang dilakukan berdasarkan bagan di atas,
dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.

Orientasi (Orientation)
Pada tahap ini dilakukan studi pendahuluan untuk mengkaji tentang

berbagai permasalahan aktual yang terjadi dalam pembelajaran IPS di SMP
Negeri 1 Tambaksari. Dari berbagai temuan

yang didapatkan, kemudian

dijadikan indikator untuk menyusun rencana tindakan pada implementasi kearifan

94

lingkungan dalam pembelajaran IPS. Hasil temuan ini akan disesuaikan dengan
kajian teoritis yang relevan, sehingga dapat menampilkan program pembelajaran
yang bermakna bagi peserta didik.

2.

Merencanakan PTK (Plan)
Barangkat dari hasil orientasi, peneliti bersama mitra peneliti merencanakan

langkah-langkah penerapan pembelajaran implementasi kearifan lingkungan
dalam pembelajaran IPS. Rencana pembelajaran disusun dan dipilih dengan
mempertimbangkan kemungkinan yang bisa dilakukan oleh peneliti, mitra
peneliti, dan peserta didik. Peneliti dan mitra peneliti menyepakati tentang hal-hal
yang akan diobservasi, terdiri dari materi pembelajaran yang akan disampaikan,
metode, sumber, tempat dan waktu, kriteria penilaian serta sarana dan sarana
pembelajaran.

3.

Melaksanakan PTK (Act)
Tahap ini diisi dengan kegiatan pembelajaran sesuai rencana yang telah

dibuat sebelumnya yaitu implementasi kearifan lingkungan sebagai sumber
pembelajaran IPS. Dalam kegiatan pembelajaran, guru terlebih dahulu
menjelaskan indikator yang ingin dicapai, proses pembelajaran yang harus dilalui
oleh peserta didik dan menjelaskan tujuan pembelajaran yang diharapkan hingga
menutup kegiatan pembelajaran dengan menyampaikan kesimpulan dan
melalukan evaluasi pembelajaran.

95

4.

Melaksanakan Observasi (Observe)
Kegiatan observasi dilakukan untuk mengamati dan mengenali proses, hasil

serta pengaruh dan masalah yang muncul pada saat implementasi kearifan
lingkungan sebagai sumber pembelajaran IPS. Peneliti mencatat dan merekam
hal-hal tersebut untuk dijadikan bahan analisis dan dasar refleksi terhadap
tindakan yang telah dilakukan. Analisis dan refleksi dilakukan untuk melihat
kelemahan

dan

kekurangan

implementasi

kearifan

pembelajaran IPS sebagi dasar untuk membuat

lingkungan

dalam

rencana perbaikan pada

pembelajaran berikutnya.

5.

Melakukan Refleksi (Reflect)
Refleksi merupakan tahapan terakhir dari setiap tindakan yang berupa

kegiatan menganalisis tentang rencana dan tindakan yang sudah atau belum
dicapai pada suatu siklus. Pada tahap ini peneliti bersama mitra peneliti
mendiskusikan kekurangan-kekurangan serta kemajuan yang didapat setelah
melakukan tindakan. Berangkat dari refleksi tersebut, secara kolaboratif peneliti
dan mitra menyusun lagi rencana pembelajaran yang akan diterapkan

untuk

menghasilkan kualitas pembelajaran yang lebih baik.

B. Jenis Data, Teknik dan Instrumen Penelitian
1.

Jenis Data Penelitian
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif menurut Lofland dan Lofland

(Moleong, 1989: 122) adalah “kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data

96

tambahan seperti dokumen dan lain-lain”. Jenis data tersebut dibagi ke dalam
kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto, dan data statistik.

Masih

berhubungan dengan hal tersebut, peneliti juga merujuk pada pendapat Satori &
Komariah (2010: 220) yang mengatakan bahwa sumber data penelitian kualitatif
terdiri dari dua jenis yaitu :
a.

Unsur manusia sebagai instrumen kunci yaitu peneliti yang terlibat langsung
dalam observasi partisipasi dan unsur informan. Dalam penelitian ini, unsur
informan yang dimaksud terdiri dari atas Ketua Adat, Juru Kunci, tokoh
masyarakat, dan Kepala Dusun Kuta untuk penelitian etnografi. Sedangkan
untuk penelitian tindakan, unsur informan tersebut

terdiri dari Kepala

Sekolah, Guru (mitra peneliti) dan empat orang peserta didik, satu
diantaranya berasal dari Kampung Kuta. Penentuan informan atau responden
penelitian itu sendiri dilakukan dengan teknik pengambilan sampel
“purposive”

yaitu

pemilihan

responden

atau

informan

berdasarkan

pertimbangan atau penilaian peneliti. Peneliti menilai bahwa untuk
mengumpulkan data yang dibutuhkan, maka informan tersebutlah yang
dibutuhkan. Penentuan informan tidak dilakukan secara acak, melainkan
secara berantai dari informan pertama kepada informan selanjutnya.
b.

Unsur non manusia sebagai data pendukung penelitian. Manusia tidak berdiri
sendiri melainkan ada bersama lingkungannya baik hidup maupun mati. Dari
beragam unsur non manusia tersebut tentu banyak informasi yang bisa digali
guna melengkapi data penelitian yang didapat dari sumber manusia
(informan).

97

Berkenaan dengan pentingnya mendapatkan data yang tepat, Nasution
(2002: 106) menjelaskan, bahwa “peneliti kualitatif menyadari bahwa untuk
memperoleh data yang valid ia harus mengadakan seleksi atau sampling. Ia harus
memilih siapa yang akan diamati atau diwawancarai, demikian pula halnya
dengan peristiwa dan situasi yang harus dipilih untuk diamati”. Dengan pemilihan
informan atau sumber data yang tepat maka peneliti dapat melihat hubungan antar
data yang terkumpul serta menarik kesimpulan