T PD 1009632 Chapter1

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang memegang peranan penting terhadap dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. IPA mempelajari alam dan seisinya baik yang hidup maupun tak hidup. Pada hakikatnya, IPA dapat dipandang dari segi produk, proses dan pengembangan sikap ilmiah (Sulistyorini, 2007), artinya, IPA memiliki dimensi produk, proses, dan sikap yang saling terkait. Dimensi produk dalam IPA merupakan fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori IPA. Dimensi proses adalah proses mendapatkan IPA yang disusun dan diperoleh melalui metode ilmiah. Winaputra (Samatowa, 2006) mengemukakan bahwa IPA tidak hanya merupakan kumpulan pengetahuan tentang benda atau mahluk hidup tetapi merupakan cara kerja, cara berpikir dan cara memecahkan masalah.

Tampak jelas bahwa IPA baik sebagai produk, proses, sikap, cara berpikir, cara memecahkan masalah, merupakan instrumen terpenting yang dapat membantu manusia dalam memudahkan mengarungi kehidupannya. Dalam kehidupannya manusia akan selalu menghadapi masalah yang harus dicari solusinya, dan dalam mencari solusi tentu manusia harus berpikir dan harus menempuh langkah-langkah kerja yang sistematis, teliti, komprehensif dan obyektif. IPA sebagai produk memberi landasan keilmuan untuk berpikir dan IPA sebagai proses memberi arahan langkah-langkah kerja yang sistematis dalam wujud metode ilmiah.

Atas dasar kepentingan itu IPA perlu dipahami dan dikuasai dengan baik oleh manusia. Perlu ada pengenalan dan pembekalan IPA secara utuh kepada segenap umat manusia. Dalam rangka itu IPA dijadikan salah satu mata pelajaran yang diselenggarakan di berbagai jenjang pendidikan formal, bahkan sejak level


(2)

sekolah dasar (SD). Tujuannya tiada lain agar siswa dapat mengenal IPA sejak dini.

Dalam kurikulum pendidikan formal di Indonesia, pelajaran IPA juga termasuk salah satu mata pelajaran yang diselenggarakan sejak level SD. Pembelajaran IPA di sekolah dasar ditujukan untuk memupuk rasa ingin tahu dan sikap positif terhadap alam, kebendaan yang sistematis yang tersusun secara teratur. Aspek pokok dalam pembelajaran IPA adalah anak dapat menyadari keterbatasan pengetahuan siswa, memiliki rasa ingin tahu untuk menggali berbagai pengetahuan baru dan akhirnya dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Secara lebih spesifik, menurut Depdiknas (2006) pembelajaran IPA di sekolah dasar memiliki tujuan yang harus dicapai peserta didik sebagai berikut

(1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa

berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya; (2) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang

bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari; (3)

Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat; (4) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan; (5) Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam; dan (6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.

Pada tujuan pembelajaran IPA di sekolah dasar nomor 2 dan 4 secara eksplisit dinyatakan bahwa tujuan pembelajaran IPA adalah mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan. Sebagaimana telah dipaparkan di muka, kedua hal ini amatlah penting untuk dikuasai peserta didik karena akan memberikan landasan pengetahuan untuk berpikir dan langkah-langkah kerja sistematis dalam mencari solusi atas persoalan yang mereka hadapi dalam kehidupannya.


(3)

Agar kedua aspek tersebut dapat dicapai oleh siswa dengan baik, tentu dalam pembelajarannya harus dipilih model, strategi, metode dan pendekatan yang tepat, sehingga dalam prosesnya terjadi pembekalan kemampuan kognitif dan pelatihan keterampilan proses sains tersebut. Karena IPA merupakan ilmu yang ditemukan oleh para ilmuwan atas dasar pengamatan empiris terhadap gejala alam yang dilanjutkan dengan segenap langkah kerja ilmiah (penyelidikan) hingga sebuah konsep, hukum, azas, dan prinsip dapat dikonstruk, maka dalam mempelajari IPA sebaiknya siswa difasilitasi untuk beraktivitas sebagaimana yang dilakukan para ilmuwan dalam membangun suatu konsep IPA, tentu dalam batas-batas kewajaran. Minimal ada dua keuntungan yang dapat diraih siswa jika pembelajaran dilakukan secara demikian, yaitu siswa dapat menguasai produk dan proses IPA sekaligus.

Pembelajaran IPA yang mendorong untuk menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah ketika mereka difasilitasi untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya, dikenal sebagai pembelajaran IPA yang menggunakan pendekatan inkuiri ilmiah (scientific inquiry). Dengan pendekatan inkuiri siswa diberikan kesempatan untuk mencari sendiri tentang apa yang ingin mereka ketahui melalui pengamatan dan observasi menggunakan seluruh panca indera (penglihatan, pendengaran, penciuman dan perabaan). Pendekatan Inkuiri ilmiah sangat cocok digunakan dalam proses pembelajaran untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting dari kecakapan hidup (Depdiknas, 2006).

Sayangnya pendekatan inkuiri masih sangat jarang digunakan dalam pembelajaran IPA di sekolah Dasar di negara kita. Keadaan ini setidaknya teramati dari hasil observasi pelaksanaan pembelajaran IPA di salah satu SD Negeri di kota Metro, yang menunjukkan bahwa 1).Proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru lebih dominan adalah metode ceramah, dimana guru berperan sebagai pusat pembelajaran; 2) Jarang sekali siswa terlibat aktif selama proses pembelajaran, terutama untuk aktivitas penyelidikan ilmiah 3) Pembelajaran IPA lebih dominan berorientasi pada produk dan bukan pada proses.


(4)

Dengan pembelajaran seperti itu sudah dapat ditebak hasilnya, jangankan dalam tataran aplikasi dan keterampilan proses dalam hal pengetahuan saja hasil belajar IPA mereka masih tergolong rendah. Hal ini tercermin dari rendahnya hasil tes kemampuan kognitif dan keterampilan proses siswa di SD tersebut pada saat studi lapangan dilakukan.

Kondisi tersebut di atas dapat terjadi dengan beberapa faktor penyebab, bisa faktor keengganan dari guru untuk menggunakan metode-metode pembelajaran IPA yang sesuai hakikat IPA atau ketidaktahuan guru-guru akan metode-metode pembelajaran IPA seperti itu. Jika penyebabnya adalah faktor kedua, maka perlu diperkenalkan metode-metode pembelajaran IPA yang sesuai hakikat IPA, tentu perlu disertai dengan gambaran hasil studi empirisnya yang membuktikan keampuhan metode tersebut dalam membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran IPA, agar mereka lebih tertarik.

Salah satu model pembelajaran yang memungkinkan membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa mengkonstruksi pengetahuan sendiri secara inkuiri ilmiah adalah model pembelajaran kontekstual CTL (Contextual Teaching and Learning) (Nurhadi, 2002 dalam Rusman, 2011). Menurut Yamin (2011), model pembelajaran CTL sebagai suatu model pembelajaran yang memberikan fasilitas kegiatan pembelajaran bagi siswa untuk mencari, mengolah, dan menemukan pengalaman belajar yang bersifat lebih konkret (terkait dengan kehidupan nyata) melalui keterlibatan aktivitas siswa dalam mencoba, melakukan, dan mengalami sendiri. Dengan demikian, pembelajaran tidak sekedar dilihat dari sisi produk, akan tetapi yang terpenting adalah proses (Rusman, 2011).

Siswa diberikan kesempatan untuk langsung terlibat dalam aktivitas dan pengalaman ilmiah seperti apa yang dilakukan / dialami oleh ilmuwan. Dengan demikian siswa dididik dan dilatih untuk terampil dalam memperoleh dan mengolah informasi melalui aktivitas berpikir dengan mengikuti prosedur (metode) ilmiah, seperti terampil melakukan pengamatan, pengukuran, pengklasifikasian, penarikan kesimpulan, dan pengkomunikasian hasil temuan.


(5)

Pada model pembelajaran CTL terdapat ada 7 asas penting yang dikembangkan yaitu konstruktivisme, inkuiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, penilaian sebenarnya. Dari 7 asas ini dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan kognitif dan keterampilan proses sains. Model

pembelajaran kontekstual (CTL) merupakan suatu model pembelajaran yang

mengaitkan antara subyek materi (konten/ isi) dengan keterampilan intelektual yang dimilikisiswa dalam situasi dan kondisi yang disesuaikan dengan psikologi kognitif siswa dan kebutuhan lingkungan (Komalasari, 2011). Penelitian terkait penggunaan model kontekstual salah satu nya penelitian Hayati, Supardi, dan Miswadi (2013) yang mengembangkan model kontekstual berbasis proyek untuk meningkatkan hasil belajar dan keterampilan proses sains siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan keterampilan proses sains dan terdapat peningkatan hasil belajar kognitif siswa. Pembelajaran kontekstual berbasis proyek cukup berpotensi meningkatkan keterampilan proses sains siswa, yaitu siswa akan terbiasa menumbuhkan keterampilan kinerja ilmiah dan keterampilan memecahkan masalah. Keuntungan pembelajaran kontekstual diantaranya adalah siswa diberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan kompleks, misalnya pemecahan masalah, berpikir tingkat tinggi, kolaborasi, komunikasi yang siswa akan terlibat langsung dan memiliki tanggung jawab besar pada pembelajaran mereka sendiri.

Beberapa penelitian terkait penggunaan model CTL dalam pembelajaran IPA serta gambaran pengaruhnya terhadap hasil belajar telah dilaporkan, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Anak Agung Oka (2011) menemukan bahwa pembelajaran CTL dapat meningkatkan aktivitas belajar dan mempertahankan daya ingat siswa terhadap materi-materi pelajaran yang telah dipelajari dalam pembelajaran sains. Penelitian yang dilakukan oleh Suryanti, dkk (2006) menyimpulkan bahwa model pembelajaran kontekstual dengan pendekatan inkuiri dengan setting kelompok kooperatif dapat meningkatkan aktivitas siswa di kelas dalam hal bertanya, mengemukakan pendapat/ide serta mendengarkan dengan aktif, serta dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pokok panas. Sementara penelitian yang dilakukan Dewi Ratnasari (2011) menunjukkan


(6)

bahwa penerapan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL dapat lebih meningkatkan penguasaan konsep dan kemampuan komunikasi siswa dibandingkan penerapan pendekatan konvensional.

Atas dasar paparan di atas penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian tentang implementasi model pembelajaran CTL dalam pembelajaran IPA di sekolah dasar untuk mencari bukti empirik tentang potensi model CTL dalam membangun kemampuan kognitif dan keterampilan proses sains siswa sekolah dasar dengan diberi judul : Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif dan Keterampilan Proses Sains Siswa Sekolah Dasar.

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut “Apakah terdapat pengaruh penerapan model kontekstual terhadap peningkatan kemampuan kognitif dan keterampilan proses sains dibandingkan dengan pembelajaran model konvensional?”.

Untuk memperjelas rumusan masalah, maka perumusan di atas diuraikan dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah peningkatan kemampuan kognitif siswa yang mendapatkan

pembelajaran dengan model kontekstual (CTL) dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model konvensional?

2. Apakah peningkatan keterampilan proses sains siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model kontekstual (CTL) dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model konvensional?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang pengaruh penerapan model contextual teaching and learning (CTL) terhadap peningkatkan kemampuan kognitif dan keterampilan proses sains sekolah dasar. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:


(7)

1. Mendapatkan gambaran tentang peningkatan kemampuan kognitif siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model contextual teaching and learning

(CTL) dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model konvensional.

2. Mendapatkan gambaran tentang peningkatan keterampilan proses sains siswa

yang mendapatkan pembelajaran dengan model contextual teaching and learning (CTL) dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model konvensional.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bukti empiris

tentang potensi model contextual teaching and learning (CTL) dalam

meningkatkan kemampuan kognitif dan keterampilan proses sains siswa, yang nantinya dapat memperkaya hasil-hasil penelitian dalam kajian sejenis dan dapat digunakan sebagai rujukan, pembanding atau pendukung oleh berbagai pihak yang berkepentingan seperti guru, peneliti, mahasiswa calon guru, dan lain-lain.

E. Definisi Operasioal

Untuk menghindari kesalahan dalam mengartikan istilah-istilah penting yang digunakan dalam penelitian ini, maka diadakan pendefinisian secara operasional atas istilah-istilah yang digunakan sebagai berikut :

1. CTL didefinisikan sebagai pembelajaran yang membantu siswa menemukan makna dalam pelajaran dengan cara menghubungkan materi akademik dengan kehidupan konteks mereka, yang menekankan bekerja secara ilmiah dapat memecahkan masalah dengan pengalaman yang diperoleh dalam lingkungan sekolah yang diterapkan dalam lingkungan nyata di luar sekolah, dengan mengkonstruksi sendiri pemahaman siswa. Tahapan-tahapan pembelajaran CTL dari penelitian meliputi: invitasi, eksplorasi, penjelasan dan solusi, dan pengambilan tindakan (Sa’ud, 2008). Keterlaksanaan tahapan-tahapan model pembelajaran CTL diterapkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Proses pembelajaran model CTL dilakukan dalam tiga kali


(8)

pertemuan. Pertemuan pertama membahas pengungkit, pertemuan kedua membahas bidang miring, dan pertemuan ketiga membahas katrol.

2. Peningkatan keterampilan proses sains didefinisikan sebagai perubahan keterampilan proses sains ke arah yang lebih tinggi dari sebelum pembelajaran ke setelah pembelajaran. Peningkatan ini dihitung dengan menggunakan rumus N-Gain (Normalized gain) yang dikembangkan oleh Hake pada tahun 1999. Keterampilan proses sains ini diklasifikasikan menurut Rezba (1995) yang membagi keterampilan proses sains menjadi keterampilan dasar proses sains meliputi mengamati, mengkomunikasikan,

mengklasifikasi, mengukur, menyimpulkan, dan memprediksi dan

keterampilan proses sains yang terintegrasi meliputi mengidentifikasi variabel, membuat tabel data, menggambarkan grafik, menjelaskan hubungan antar variabel, mengumpulkan dan menganalisis data, menganalisis investigasi, membuat hipotesis, mendefinisikan variabel secara operasional, mendesain eksperimen, dan melakukan eksperimen. Dari kedua aspek yang diklasifikasikan oleh Rezba (1995) terdapat enam aspek yang ditinjau dalam penelitian ini yaitu merumuskan percobaan materi pengungkit, bidang miring, dan katrol, bertanya materi pengungkit, bidang miring, dan katrol, merumuskan hipotesis materi pengungkit, bidang miring, dan katrol, merencanakan percobaan materi pengungkit, bidang miring, dan katrol, menarik kesimpulan dan memprediksi untuk materi pengungkit, bidang miring, dan katrol. Keterampilan proses sains siswa diukur dari melalui pemberian tes pilihan ganda yang mencakup indikator-indikator keterampilan proses sains.

3. Peningkatan kemampuan kognitif didefinisikan sebagai perubahan kearah yang lebih tinggi dari sebelum pembelajaran ke setelah pembelajaran. Peningkatan ini dihitung dengan menggunakan rumus N-Gain (Normalized

gain) yang dikembangkan oleh Hake pada tahun 1999. Kemampuan kognitif

siswa pada penelitian ini berdasarkan kepada dimensi kognitif Anderson dan Krathwohl (2001). Dari enam ranah kognitif meliputi hafalan (C1), pemahaman (C2), aplikasi (C3), analisis (C4), evaluasi (C5), dan membuat


(9)

(C6) dari keenam ranah kogntif hanya empat ranah yang diteliti dalam penelitian ini hanya mencakup aspek hafalan (C1) materi pengungkit, bidang miring, dan katrol, pemahaman (C2) materi pengungkit, bidang miring, dan katrol, aplikasi (C3) materi pengungkit, bidang miring, dan katrol, dan analisis (C4) materi pengungkit, bidang miring, dan katrol. Kemampuan kognitif siswa diukur menggunakan tes kemampuan kognitif dalam bentuk tes jenis pilihan ganda yang mengukur empat aspek kognitif yang ditinjau.

4. Menurut Bennet (1976) dalam Yamin (2011) pembelajaran konvensional

didefinisikan sebagai proses pembelajaran guru sebagai penyalur ilmu pengetahuan, penekanan pada ingatan, dan proses pembelajaran konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan. Sejak dahulu guru dalam usaha menularkan pengetahuannya pada siswa, ialah secara lisan atau ceramah.


(1)

Dengan pembelajaran seperti itu sudah dapat ditebak hasilnya, jangankan dalam tataran aplikasi dan keterampilan proses dalam hal pengetahuan saja hasil belajar IPA mereka masih tergolong rendah. Hal ini tercermin dari rendahnya hasil tes kemampuan kognitif dan keterampilan proses siswa di SD tersebut pada saat studi lapangan dilakukan.

Kondisi tersebut di atas dapat terjadi dengan beberapa faktor penyebab, bisa faktor keengganan dari guru untuk menggunakan metode-metode pembelajaran IPA yang sesuai hakikat IPA atau ketidaktahuan guru-guru akan metode-metode pembelajaran IPA seperti itu. Jika penyebabnya adalah faktor kedua, maka perlu diperkenalkan metode-metode pembelajaran IPA yang sesuai hakikat IPA, tentu perlu disertai dengan gambaran hasil studi empirisnya yang membuktikan keampuhan metode tersebut dalam membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran IPA, agar mereka lebih tertarik.

Salah satu model pembelajaran yang memungkinkan membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa mengkonstruksi pengetahuan sendiri secara inkuiri ilmiah adalah model pembelajaran kontekstual CTL (Contextual Teaching and Learning) (Nurhadi, 2002 dalam Rusman, 2011). Menurut Yamin (2011), model pembelajaran CTL sebagai suatu model pembelajaran yang memberikan fasilitas kegiatan pembelajaran bagi siswa untuk mencari, mengolah, dan menemukan pengalaman belajar yang bersifat lebih konkret (terkait dengan kehidupan nyata) melalui keterlibatan aktivitas siswa dalam mencoba, melakukan, dan mengalami sendiri. Dengan demikian, pembelajaran tidak sekedar dilihat dari sisi produk, akan tetapi yang terpenting adalah proses (Rusman, 2011).

Siswa diberikan kesempatan untuk langsung terlibat dalam aktivitas dan pengalaman ilmiah seperti apa yang dilakukan / dialami oleh ilmuwan. Dengan demikian siswa dididik dan dilatih untuk terampil dalam memperoleh dan mengolah informasi melalui aktivitas berpikir dengan mengikuti prosedur (metode) ilmiah, seperti terampil melakukan pengamatan, pengukuran, pengklasifikasian, penarikan kesimpulan, dan pengkomunikasian hasil temuan.


(2)

Pada model pembelajaran CTL terdapat ada 7 asas penting yang dikembangkan yaitu konstruktivisme, inkuiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, penilaian sebenarnya. Dari 7 asas ini dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan kognitif dan keterampilan proses sains. Model pembelajaran kontekstual (CTL) merupakan suatu model pembelajaran yang mengaitkan antara subyek materi (konten/ isi) dengan keterampilan intelektual yang dimilikisiswa dalam situasi dan kondisi yang disesuaikan dengan psikologi kognitif siswa dan kebutuhan lingkungan (Komalasari, 2011). Penelitian terkait penggunaan model kontekstual salah satu nya penelitian Hayati, Supardi, dan Miswadi (2013) yang mengembangkan model kontekstual berbasis proyek untuk meningkatkan hasil belajar dan keterampilan proses sains siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan keterampilan proses sains dan terdapat peningkatan hasil belajar kognitif siswa. Pembelajaran kontekstual berbasis proyek cukup berpotensi meningkatkan keterampilan proses sains siswa, yaitu siswa akan terbiasa menumbuhkan keterampilan kinerja ilmiah dan keterampilan memecahkan masalah. Keuntungan pembelajaran kontekstual diantaranya adalah siswa diberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan kompleks, misalnya pemecahan masalah, berpikir tingkat tinggi, kolaborasi, komunikasi yang siswa akan terlibat langsung dan memiliki tanggung jawab besar pada pembelajaran mereka sendiri.

Beberapa penelitian terkait penggunaan model CTL dalam pembelajaran IPA serta gambaran pengaruhnya terhadap hasil belajar telah dilaporkan, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Anak Agung Oka (2011) menemukan bahwa pembelajaran CTL dapat meningkatkan aktivitas belajar dan mempertahankan daya ingat siswa terhadap materi-materi pelajaran yang telah dipelajari dalam pembelajaran sains. Penelitian yang dilakukan oleh Suryanti, dkk (2006) menyimpulkan bahwa model pembelajaran kontekstual dengan pendekatan inkuiri dengan setting kelompok kooperatif dapat meningkatkan aktivitas siswa di kelas dalam hal bertanya, mengemukakan pendapat/ide serta mendengarkan dengan aktif, serta dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pokok panas. Sementara penelitian yang dilakukan Dewi Ratnasari (2011) menunjukkan


(3)

bahwa penerapan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL dapat lebih meningkatkan penguasaan konsep dan kemampuan komunikasi siswa dibandingkan penerapan pendekatan konvensional.

Atas dasar paparan di atas penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian tentang implementasi model pembelajaran CTL dalam pembelajaran IPA di sekolah dasar untuk mencari bukti empirik tentang potensi model CTL dalam membangun kemampuan kognitif dan keterampilan proses sains siswa sekolah dasar dengan diberi judul : Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif dan Keterampilan Proses Sains Siswa Sekolah Dasar.

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut “Apakah terdapat pengaruh penerapan model kontekstual terhadap peningkatan kemampuan kognitif dan keterampilan proses sains dibandingkan dengan pembelajaran model konvensional?”.

Untuk memperjelas rumusan masalah, maka perumusan di atas diuraikan dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah peningkatan kemampuan kognitif siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model kontekstual (CTL) dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model konvensional?

2. Apakah peningkatan keterampilan proses sains siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model kontekstual (CTL) dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model konvensional?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang pengaruh penerapan model contextual teaching and learning (CTL) terhadap peningkatkan kemampuan kognitif dan keterampilan proses sains sekolah dasar. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:


(4)

1. Mendapatkan gambaran tentang peningkatan kemampuan kognitif siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model contextual teaching and learning (CTL) dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model konvensional.

2. Mendapatkan gambaran tentang peningkatan keterampilan proses sains siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model contextual teaching and learning (CTL) dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model konvensional.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bukti empiris tentang potensi model contextual teaching and learning (CTL) dalam meningkatkan kemampuan kognitif dan keterampilan proses sains siswa, yang nantinya dapat memperkaya hasil-hasil penelitian dalam kajian sejenis dan dapat digunakan sebagai rujukan, pembanding atau pendukung oleh berbagai pihak yang berkepentingan seperti guru, peneliti, mahasiswa calon guru, dan lain-lain.

E. Definisi Operasioal

Untuk menghindari kesalahan dalam mengartikan istilah-istilah penting yang digunakan dalam penelitian ini, maka diadakan pendefinisian secara operasional atas istilah-istilah yang digunakan sebagai berikut :

1. CTL didefinisikan sebagai pembelajaran yang membantu siswa menemukan makna dalam pelajaran dengan cara menghubungkan materi akademik dengan kehidupan konteks mereka, yang menekankan bekerja secara ilmiah dapat memecahkan masalah dengan pengalaman yang diperoleh dalam lingkungan sekolah yang diterapkan dalam lingkungan nyata di luar sekolah, dengan mengkonstruksi sendiri pemahaman siswa. Tahapan-tahapan pembelajaran CTL dari penelitian meliputi: invitasi, eksplorasi, penjelasan dan solusi, dan pengambilan tindakan (Sa’ud, 2008). Keterlaksanaan tahapan-tahapan model pembelajaran CTL diterapkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Proses pembelajaran model CTL dilakukan dalam tiga kali


(5)

pertemuan. Pertemuan pertama membahas pengungkit, pertemuan kedua membahas bidang miring, dan pertemuan ketiga membahas katrol.

2. Peningkatan keterampilan proses sains didefinisikan sebagai perubahan keterampilan proses sains ke arah yang lebih tinggi dari sebelum pembelajaran ke setelah pembelajaran. Peningkatan ini dihitung dengan menggunakan rumus N-Gain (Normalized gain) yang dikembangkan oleh Hake pada tahun 1999. Keterampilan proses sains ini diklasifikasikan menurut Rezba (1995) yang membagi keterampilan proses sains menjadi keterampilan dasar proses sains meliputi mengamati, mengkomunikasikan, mengklasifikasi, mengukur, menyimpulkan, dan memprediksi dan keterampilan proses sains yang terintegrasi meliputi mengidentifikasi variabel, membuat tabel data, menggambarkan grafik, menjelaskan hubungan antar variabel, mengumpulkan dan menganalisis data, menganalisis investigasi, membuat hipotesis, mendefinisikan variabel secara operasional, mendesain eksperimen, dan melakukan eksperimen. Dari kedua aspek yang diklasifikasikan oleh Rezba (1995) terdapat enam aspek yang ditinjau dalam penelitian ini yaitu merumuskan percobaan materi pengungkit, bidang miring, dan katrol, bertanya materi pengungkit, bidang miring, dan katrol, merumuskan hipotesis materi pengungkit, bidang miring, dan katrol, merencanakan percobaan materi pengungkit, bidang miring, dan katrol, menarik kesimpulan dan memprediksi untuk materi pengungkit, bidang miring, dan katrol. Keterampilan proses sains siswa diukur dari melalui pemberian tes pilihan ganda yang mencakup indikator-indikator keterampilan proses sains.

3. Peningkatan kemampuan kognitif didefinisikan sebagai perubahan kearah yang lebih tinggi dari sebelum pembelajaran ke setelah pembelajaran. Peningkatan ini dihitung dengan menggunakan rumus N-Gain (Normalized gain) yang dikembangkan oleh Hake pada tahun 1999. Kemampuan kognitif siswa pada penelitian ini berdasarkan kepada dimensi kognitif Anderson dan Krathwohl (2001). Dari enam ranah kognitif meliputi hafalan (C1), pemahaman (C2), aplikasi (C3), analisis (C4), evaluasi (C5), dan membuat


(6)

(C6) dari keenam ranah kogntif hanya empat ranah yang diteliti dalam penelitian ini hanya mencakup aspek hafalan (C1) materi pengungkit, bidang miring, dan katrol, pemahaman (C2) materi pengungkit, bidang miring, dan katrol, aplikasi (C3) materi pengungkit, bidang miring, dan katrol, dan analisis (C4) materi pengungkit, bidang miring, dan katrol. Kemampuan kognitif siswa diukur menggunakan tes kemampuan kognitif dalam bentuk tes jenis pilihan ganda yang mengukur empat aspek kognitif yang ditinjau.

4. Menurut Bennet (1976) dalam Yamin (2011) pembelajaran konvensional didefinisikan sebagai proses pembelajaran guru sebagai penyalur ilmu pengetahuan, penekanan pada ingatan, dan proses pembelajaran konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan. Sejak dahulu guru dalam usaha menularkan pengetahuannya pada siswa, ialah secara lisan atau ceramah.