Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Revitalisasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara untuk Pendidikan Karakter Bangsa T1 152008025 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Era globalisasi semakin menyuguhkan dinamika perubahan yang
berkembang pesat. Perubahan yang terjadi bukan saja berkaitan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tetapi juga menyentuh pada
perubahan dan pergeseran aspek nilai moral yang terjadidalam kehidupan
bermasyarakat.
Perilaku amoral jika terus terjadi maka benar-benar akan berujung pada
keterpurukan bangsa maupun krisis multidimensi yang pada hakekatnya
bersumber dari jati diri, dan kegagalan dalam dunia pendidikan. Mengapa ini
bisa terjadi pada bangsa kita, yang sebelumnya dikenal dengan sebagai bangsa
yang ramah, suka bergotong-royong, bertoleransi, hidup dalam kerukunan,
persatuan dan kesatuan?
Tujuan pendidikan yang termuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), adalah untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3).
Dalam kenyataannya, justru banyak warga negara yang tidak berakhlak mulia

(aksi pornografi, penyalahgunaan narkoba, dan kekerasan), kurang mandiri
(konsumtif), tidak bertanggung jawab, dan kasus lain yang justru bertentangan

1

dengan tujuan pendidikan nasional (Haryanto, 2011 : 2). Problem moral yang
kini menjangkiti tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan bukti
nyata gagalnya pendidikan kita ( Ajad Sudrajat, Kedaulatan Rakyat Edisi 50 : 8
November 2011)
Beberapa kasus diatas menunjukkan bahwa memang pendidikan kita
belum mampu membangun karakter bangsa. Dalam konteks pendidikan formal
di sekolah, salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih
menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif dan kurang
memperhatikan aspek afektif, sehingga hanya tercetak generasi yang pintar,
tetapi tidak memiliki karakter yang dibutuhkan bangsa ( Kristi Wardani, 2010 :
230). Nilai-nilai luhur yang seharusnya ditanamkan dan disosialisasikan lewat
sekolah, tampaknya tidak masuk dan tidak berkembang dalam diri peserta didik.
Padahal orangtua dan masyarakat telah mempercayakan pendidikan anak-anak
mereka sepenuhnya pada sekolah. Situasi pendidikan kita kurang menumbuhkan
kesadaran akan nilai-nilai luhur (aspek rohani), yang menjadi motor penggerak

perkembangan peserta didik ke arah hidup yang manusiawi ( Y. B Adimassana,
2000 : 30-31).
Mungkin masih segar dalam ingatan kita bahwa “Pendidikan Karakter
untuk Membangun Keberadaban Bangsa” adalah sebuah tema yang diusung
Kementerian Pendidikan Nasional dalam memperingati hari Pendidikan
Nasional 2010. Sejak saat itu banyak ahli pendidikan, pengamat pendidikan, dan
praktisi pendidikan mencoba menterjemahkan pendidikan karakter menurut
versinya masing-masing. Lembaga pendidikan (baik sekolah maupun perguruan

2

tinggi), berlomba untuk menterjemahkan pendidikan karakter itu dalam praktik
pendidikan di lembaganya masing-masing. Sekolah mencirikan pendidikan
karakter dengan pendidikan budi pekerti. Perguruan tinggi melakukan kajiankajian ilmiah dan mendalam tentang apa, mengapa, dan bagaimana pendidikan
karakter dalam praktik pendidikan (Haryanto, 2011 : 1).
Begitu pula pada peringatan hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei
2011 dengan tema “Pendidikan Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa” dan
subtema “Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti”. Dalam kesempatan ini
Kementrian Pendidikan Nasional telah mencanangkan pendidikan karakter
melalui gerakan pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai persiapan

menyambut 100 tahun kemerdekaan Indonesia serta mengkomunikasikan
kebijakan dari hasil pembangunan pendidikan nasional. Sayangnya ini masih
berupa pencanangan, perencanaan tanpa desain dan model rujukan yang jelas
dan tegas dari Kemendiknas. Tidak heran bila di beberapa sekolah, pendidikan
karakter masih hanya sebatas bumbu penyedap untuk ditaburkan ke aneka mata
pelajaran.

Sementara

itu,

sekolahnya

sendiri

tetap

pada

paradigma


memprioritaskan prestasi akademis dan kognitif dalam wujud angka-angka yang
fantastis di rapor dan Ujian Akhir Nasional (UAN).
Isu pendidikan karakter seharusnya menjadi mengedepan bukan
hanya karena menjadi tema peringatan hari Pendidikan Nasional 2010 dan 2011
saja, melainkan lebih disebabkan oleh keprihatinan kita terhadap praktik
pendidikan yang semakin hari semakin tidak jelas arah dan hasilnya (Haryanto,
2011 : 1). Pertanyaan yang sering muncul dan coba kita jawab adalah apa yang

3

salah dengan sistem pendidikan kita? Mengapa sistem pendidikan nasional kita
belum mampu menunjang tumbuhnya bangsa yang berkarakter kuat?.
Selama masalah pendidikan dibiarkan menggelinding bebas, di mana
siapapun boleh dan berhak mengulas masalah pendidikan dengan versinya
masing-masing tanpa landasan falsafah yang memadai, maka potret pendidikan
kita akan semakin carut-marut (Haryanto, 2011 : 2). Lalu seperti apa teori dan
praktik pendidikan nasional yang akan kita gunakan untuk menghidupkan
kembali karakter bangsa yang telah pudar?.
Berdasar permasalahan-permasalahan diatas, maka kajian terhadap

persoalan pendidikan karakter dari pandangan bapak Pendidikan Nasional kita
(Ki Hadjar Dewantara) menjadi rujukan yang amat penting untuk ditelaah. Kita
harus memberi perhatian yang khusus kepadanya, oleh karena ia banyak
memakai asas-asas sekolah yang baru, yang dianggapnya sebagai pemulihan
kembali pendidikan yang bersifat Indonesia (Sugarda Purbakawatja, dkk. 1962 :
101). Ki Hadjar Dewantara adalah juga sosok utama sebagai peletak dasar
konsep pendidikan karakter pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Beliau telah mengusahakan pendidikan yang paling cocok untuk anak-anak
Indonesia (Darsiti Soeratman, 1983 : 1). Pendidikan karakter, moral dan budaya
sebenarnya sudah dirintisnya dalam tri pusat pendidikan yang dimulai dari
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan sosial.
Tulisan ini mengkaji pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang
pendidikan karakter yang masih relevan untuk digunakan dalam sistem
pendidikan era modern ini dan menggali aneka kemungkinan atau alternatif

4

untuk melakukan revitalisasi pendidikan karakter yang difokuskan pada
tingkatan Sekolah Dasar (SD) selaku aras pendidikan formal yang awal dan
mendasar dalam usaha pendidikan karakter bangsa.


B. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, permasalahan yang diteliti dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Apa saja pemikiran Ki Hadjar Dewantara untuk pendidikan karakter?
2. Bagaimana cara merevitalisasi pemikiran Ki Hadjar Dewantara untuk
pendidikan karakter di sekolah dasar?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendiskripsikan pemikiran Ki Hadjar Dewantara untuk pendidikan
karakter.
2. Mendiskripsikan cara merevitalisasi pemikiran Ki Hadjar Dewantara
untuk pendidikan karakter di sekolah dasar.

5

D. Manfaat Penelitian
Agar penulisan skripsi ini memiliki sasaran pencapaian yang jelas dan
terarah, penulis mengarahkan tujuan penulisan dalam skripsi ini, yaitu:

1. Memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi ilmu pendidikan;
memberi gambaran akan pemikiran dan konsep pendidikan karakter
bangsa menurut Ki Hadjar Dewantara beserta masukan tentang cara
merevitalisasinya.
2. Memperkaya khasanah dalam ilmu sejarah yakni sejarah pemikiran Ki
Hadjar Dewantara tentang pendidikan karakter dalam usaha mencapai
kebangkitan bangsa baik pra maupun pasca kemerdekaan.
3. Memberikan masukan yang bermanfaat bagi masyarakat khususnya
para guru, pendidik, orang tua dan generasi muda untuk menghayati
pentingnya karakter bangsa yang kuat dalam masing-masing individu
guna menjaga kelangsungan hidup bangsa dalam rangka mengisi
kemerdekaan.

6