GERAKAN DAN GAGASAN FEMINISME ISLAM R.A. KARTINI (1891-1904).
GAGASAN DAN GERAKAN FEMINISME ISLAM R.A. KARTINI (1891-1904)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Program Strata Satu (S-1)
Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)
Oleh:
ROISATUL HIKMAH NIM: A02212098
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA 2016
(2)
(3)
(4)
(5)
BSTRAK
Skripsi ini berjudul “Gagasan dan Gerakan Feminisme Islam R.A. Kartini
(1891-1904)”. Fokus penelitian yang dibahas dalam skripsi adalah (1) Bagaimana
kedudukan perempuan dalam masyarakat Jawa sebelum masa R.A Kartini? (2) Bagaimana gerakan feminisme R.A Kartini terhadap kaum perempuan? (3)Bagaimana gerakan feminisme R.A Kartini terhadap kaum perempuan?.
Penelitian ini menggunakan sebuah metode Sejarah dan Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan historis. Dalam kerangka teoritik yang digunakan berasal dari wacana gender, yaitu perspektif liberal(kesetaraan gender) dan teori Fatimah Mernissi tentang feminisme Islam.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa (1) Kedudukan seorang perempuan Jawa sebelum adanya R.A Kartini sangat memprihatinkan bahwa seorang perempuan tidak mempunyai hak apapun, mereka terkungkung karena adanya sebuah adat yang membelenggu mereka, perempuan pada zaman itu tidaksama sekali mengenyam sebuah pendidikan. (2) Pemikiran feminisme Kartini dipengaruhi oleh wacana Islam dapat di buktikan dalam sebuah surat-suratnya bahwa ia melakukan sebuah dobrakan tentang relasi perempuan, tetap dengan cara Islam yang menyesuaikan fitrah seorang perempuan. (3) Pemikiran dan gerakan Kartini yang ingin menjunjung derajat seorang perempuan melalui sebuah pembaharuan pemikiran melalui sebuah pendidikan. Dia merupakan tokoh feminisme liberal yang ingin mendobrak sebuah pemikiran perempuan Jawa tentang adat istiadat yang dapat membelenggu mereka dalam sebuah kebodohan. Kartini juga memberikan banyak sebuah pencerahan tentang hak perempuan sesuai dengan peraturan Islam yang sebenarnya melalui surat-suratnya. Seperti yang dikatakan oleh Fatimah Mernissi tentang relasi antara lelaki dan perempuan di dalam Islam. Pada dasarnya kemitrasejahtraan antara laki-laki dan perempuan
telah tercantum di dalam Al Qur’an yang berbanding balik dengan fenomena perempuan di Jawa yang mengalami sebuah keterpurukan.
(6)
x ABSTRACT
The title of tesis is "The idea and the Movement of Islamic Feminism RA Kartini (1891-1904) ". The focus of the research discussed in the thesis are (1) How is the position of women in the Java community before the RA Kartini? (2) How feminism RA Kartini against women? (3) How does the feminist movement RA Kartini against women?.
This study uses a method of History and the approach used in this thesis is the historical approach. In the theoretical framework used comes from gender discourse, namely the liberal perspective (gender equality) and Fatima Mernissi theories about Islamic feminism.
Results of this study stated that (1) The position of a Javanese woman before the RA Kartini is very worrying that a woman does not have any rights, they are confined because of a custom that imprison them, the women of that era tidaksama once mengenyam an education. (2) Thought feminism Kartini was influenced by Islamic discourse can be proved in a letters that he did a breakthrough on the relation of women, stick with the way Islam is to adjust the nature of woman. (3) of thought and movement Kartini who want to uphold the degree of a woman through a renewal of thought through a education. He is a liberal feminist leaders who want to break a Javanese woman thinking about customs that can imprison them in a folly. Kartini also provide a lot of insight about women's rights in accordance with Islamic rules actually through his letters. As said by Fatima Mernissi about the relationship between men and women in Islam. Basically kemitrasejahtraan between men and women has been stated in the Qur'an that is directly behind the phenomenon of women in Java, which experienced a slump.
(7)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbincangan tentang feminisme pada umumnya merupakan perbincangan tentang bagaimana pola relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, serta bagaimana hak, status, dan kedudukan perempuan disektor domestik dan publik. Feminisme memiliki sifat keperempuanan dalam sejarah, gerakan feminisme itu lahir dari awal kebangkitan perempuan untuk menggeser status sebagai makhluk kedua setelah lelaki di dunia ini. Gerakan feminisme berkembang pada abad pertengahan Eropa, yaitu pada abad 16-19 M.1
Pada periode awal ini perempuan dianggap tidak rasional yang selalu menggunakan perasaan sebagai tolak ukur dan laki-laki hanya untuk melindungi saja, tidak harus bekerja mencari nafkah. Sedangkan yang harus mencari nafkah hanya perempuan saja. Keadaan ini membuat beberapa filsuf Eropa memulai mengkritik terhadap kebijakan-kebijakan gereja yang diskriminatif. Isu-isu kesetaraanpun mulai merebak dan menjadi perdebatan di Eropa.2
Pada saat itu perempuan juga secara diam-diam memulai gerakan-gerakan kecil untuk menentang dominasi laki-laki. Namun tuntutan atau kesetaraan derajat antara perempuan dan laki-laki bisa mereka wujudkan pada
1
Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam (Jakarta: Gema Insani, 2004), 19.
2
(8)
21
awal abad ke 17 di Inggris. Tokoh-tokoh macam Susan B. Anthony dan Elisabeth Cady Staton melopori gerakan-gerakan kebangkitan perempuan melalui surat kabar the revolution.3
Dalam perspektif feminis, spesifikasi peran manusia laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dipandang timpang tidak egaliter. Artinya konstruksi sosial selama ini dianggap sangat berpihak kepada lelaki dan pada saat yang sama sangat menyudutkan kaum hawa menurut kaum feminis, hegemoni laki-laki atas perempuan ini memperoleh legitimasi dari nilai-nilai sosial, agama, hukum negara, dan sebagainya serta tersosialisasikan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.4
Para kaum feminis dalam pemikirannya mempunyai kesadaran yang sama tentang adanya ketidakadilan terhadap perempuan di dalam keluarga maupun masyarakat, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menganalisis sebab-sebab terjadinya ketidakadilan serta target dan bentuk perjuangan mereka.5 Pandangan feminisme terhadap perbedaan peran jender laki-laki dan perempuan secara umum dapat dikatagorikan kepada tiga kelompok seperti: 1. Feminisme Liberal
Seorang perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, ciri dari gerakan ini tidak mengusulkan perubahan struktur secara
3
Dadang S. Anshori dan Engkos Kosasih, Membincangkan Feminisme (Bandung:Pustaka Budaya, 1997), 125.
4
Sri Suhandjati, Pemahaman Islam dan tantangan Keadilan Jender (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 161.
5
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Tranformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 66.
(9)
22
fundamental, melainkan memasukan wanita kedalam struktur yang ada berdasarkan prinsip kesetaraan dengan laki-laki.
Feminisme Liberal mengatakan bahwa subordinasi perempuan karena adanya setting budaya dan hukum yang membatasi akses dan
aktualisasi perempuan di sektor publik, karena itu segala hukum dan budaya yang berasaskan patriarki harus diganti dengan yang berkesetaraan gender.
2. Feminisme Radikal
Feminis radikal lebih menekankan kebalikan dari feminis liberal, jika sebelumnya kaum feminis mengusulkan kesetaraan kaum hawa dengan kaum adam maka radikal tidak demikian, hal ini dapat dilihat dari usulan bahwasannya hak antara laki-laki dan hak perempuan harus dibedakan. Misalnya wanita dan laki-laki mengkonseptualkan kekuasaan secara berbeda, bila laki-laki lebih pada mendominasi dan mengontrol orang lain maka perempuan lebih tertuju dalam berbagi dan merawat keakuasaannya.
Feminis ini menyatakan bahwasannya adanya keteransingan yang dialami kaum perempuan karena diciptakan oleh unsur politik maka transformasi personal lebih kepada aksi-aksi radikal.
3. Feminisme sosialis dan Marxix
Konsep dasar dari feminisme marxis dan sosialis didasarkan pada teori Marx, yang memandang bahwa manusia baru bermakna apabila mereka melakukan kegiatan berproduksi, sehingga dapat dikatakan
(10)
23
bahwa manusia lewat berproduksi menciptakan masyarakat yang kemudian menciptakan atau membentuk mereka. Dari sudut pandang teori ekonomi dipandang bahwa sistem kapitalisme hanya mendasarkan hubungan pertukaran hubngan dan pertukaran kekuasaan yang nantinya mengharapkan surplus value dari hubungan employer. Sehingga manusia tidak memiliki kebebasan untuk memilih sebab mereka sebagai pekerja yang tertindas.6
Dalam pemikiran feminisme yang bermunculan di Eropa
mempengaruhi salah satu pemikiran pejuang Kartini yang ingin menyuarakan gerakan perempuan. Dalam pemikiranya menurut paham feminisme Kartini masuk dalam gelombang liberalisme, gerakan perempuan di Indonesia mulai menyeruak kepermukaan setelah terbit buku kompilasi surat-menyurat Kartini dengan teman-teman Belandanya. Dalam surat-suratnya, Kartini bercerita tentang kegetiran dan nestapa yang dialaminya sebagai anak wanita seorang priyayi, Ia selalu ditempatkan sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya. Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.
Dalam surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Pejuang Kartini juga menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin perempuan memiliki kebebasan menuntut
6
(11)
24
ilmu dan belajar. Pandangan-pandangan kritis lainnya yang diungkap oleh Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik tentang agamanya. Ia mempertanyakan mengapa Al-Qur’an wajib dihafalkan dan dilafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami.7
Dari surat-surat Kartini terhadap sahabatnya dapat dianalisis, awal pemikiran Kartini merupakan suatu bentuk feminis liberal, dimana feminis liberal menganggap bahwa seorang perempuan terjadi karena adanya setting hukum dan budaya sehingga harus adanya rekonstruksi hukum dan budaya.8 Feminis liberal juga mengiginkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga baik secara perlakuan maupun sopan santun. Terlihat dari isi surat Kartini yang menandakan bahwa Kartini seorang feminis liberal.9
Perjuangan Kartini dilatar belakangi kehidupan para perempuan pada zamannya yang pada umumnya hanya menjalankan kehidupan sebagai ibu rumah tangga. Apa yang dikerjakan ibu rumah tangga pada waktu itu juga terbatas pada tugas menjalankan fungsi sebagai istri, mengasuh anak, mengurus dapur, dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Kartini adalah potret tragis perempuan di awal abad ke-20, riwayat hidupnya menggambarkan penderitaan perempuan Jawa yang terpasung dalam tembok tradisi dan adat istiadat.
Kartini ingin mendobrak tradisi yang menghambat kemajuan kaumnya menuju masa depan yang lebih cerdas, bebas, cemerlang dan merdeka. Untuk itu pendidikan mutlak diperlukan demi mengangkat derajat perempuan dan
7
Anshori, Membincangkan Feminisme, 209.
8
Irwan Abdullah, Peran Gender (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 22. 9
(12)
25
martabat Indonesia sebagai bangsa. Sebab, pengajaran kepada perempuan secara tidak langsung akan meningkatkan martabat bangsa.
R.A.Kartini sebagai seorang putri di zamanya telah menyuarakan jeritan dan tuntutan bangsa serta agamanya. Pemandangan hidup pada awal abad 20 merupakan produk tatanan adat dan penjajah masa belanda yang tidak sejalan dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan, menjadikan Kartini merasa hidup dalam kegelapan yang menyeramkan apa dan bagaimana cara kiranya Al-Qur’an merupakan cahaya terang yang melepaskan dirinya dalam kegelapan.10
Kartini melihat para perempuan pada waktu itu tidak memiliki hak dan kebebasan yang sama dengan kaum lelaki untuk mengenyam pendidikan tinggi. Dalam kondisi seperti itu Kartini juga melihat adanya kesenjangan intelektual diantara suami istri dalam hal pendidikan. Padahal untuk bisa membentuk keluarga yang baik, terutama dalam mendidik anak, selain diperlukan seorang ayah yang berpendidikan tinggi, juga diperlukan seorang ibu yang juga berpendidikan tinggi.11
Dari latar belakang sejarah perjuangan Kartini sudah jelaslah bahwa arah perjuangan Kartini adalah memajukan kaum perempuan yang dimulai dari pendidikan. Kartini tidak pernah menganggap pekerjaan sebagai ibu rumah tangga sebagai pekerjaan yang lebih rendah daripada pekerjaan yang dilakukan oleh kaum lelaki. Dibalik tembok kebangsawanan, Kartini mengungkapkan kegelisahan intelektualnya dan penderitaan ribuan
10
Krisna Bayu Adji, Istri-istri Raja Jawa (Yogyakarta: Araska, 2013), 111.
11
Saparinah Sadli dan Djohan Effendi, Muslimah Perempuan pembaru keagamaan Reformasis (Bandung: Mizan Media Utama, 2005), 273.
(13)
26
perempuan yang senasib, dan yang paling menyedihkan, masyarakat memaklumi kenyataan ini.
Nilai dan tradisi telah membelenggu perempuan, dalam posisi tidak berdaya, tergantung dalam kesewenang-wenangan kaum pria. Diskriminasi perempuan yang disaksikan Kartini adalah sistem budaya yang tidak egaliter.12 Realitas sosio-kultural pada saat itu mencermikan kekentalan usur-unsur feodalisme dan kolonialisme, yang sangat mengesankan keyataan sejarah ini adalah jalan keluar yang diambil oleh Kartini. Realitas keterbelakangan dan kebodohaan kaum perempuan menjadi sebab utama terjadinya perlakuan diskriminatif ini.
Maka masalah keterlibatan perempuan hendaknya diletakkan dalam rangka transformasi bangsa. Selaras dengan tuntutan zaman dan perubahan yang sedang terjadi, perjuangan feminis perempuan merupakan satu upaya untuk meningkatkan kualitas kaum perempuan itu sendiri.
Dengan demikian, gerakan feminisme di Indonesia merupakan upaya memperkuat kepercayaan diri kaum perempuan dalam mengaktualisasi peranan tanggung jawabnya, ditengah masyarakat yang sedang berubah ini, khususnya di masa yang akan datang. Implikasinya, peran-peran sosial kemasyarakatan wanita merupakan pilihan yang terbuka dan tidak bergantung.
Sudah saatnya kita sadar, bahwa tidak ada satu alasan yang membuat kaum muslim harus ikut-ikutan mengadopsi dan mempropagandakan bahkan
12
(14)
27
memperjuangkan ide feminisme. Hal ini disebabkan Islam telah memiliki pandangan yang unik tentang keberadaan laki-laki dan perempuan, sekaligus mengenai hubungan keduanya serta bentuk kehidupan masyarakat yang hendak dibangun di atas landasan akidah dan aturan-aturannya.
Islam memandang bahwa Allah Swt telah menciptakan manusia dengan jenis laki-laki dan perempuan dengan memberikan seperangkat potensi yang sama pada keduanya, berupa akal yang berfungsi untuk memahami sesuatu, serta potensi hidup (naluri dan kebutuhan jasmani) dan cara pemenuhannya. Dan hal ini bukan karena adanya kesetaraan jender, tetapi karena memang demikianlah aturan Allah. Akhir-akhir ini gerakan yang memperjuangkan perubahan tersebut secara luas disebut feminisme Islam, ada juga yang menganggap bahwa Islam menyulitkan seorang dalam melakukan sesuatu.
Peneliti mengambil tahun 1891 sampai dengan 1904 karena ketika itu Kartini telah pulang dari tempat pembelajarannya di Belanda, dan dia kembali ke Indonesia untuk menjalani sebuah pingitan, dari sebuah kejadian itu Kartini mulai merasa dirinya mendapatkan diskriminasi ketika menjadi seorang perempuan.
Dari tahun 1891 Kartini mulai mencoba menorehkan pemikirannya dan dia mulai menulis surat-surat tentang kehidupannya yang begitu terkungkung akibat adat-istiadat yang membelenggu perempuan pribumi.
Adanya rasa ingin tahu yang tinggi tentang feminisme, penulis merasa sangat tertarik untuk meneliti Islam dan feminisme di Era Kartini Tahun
(15)
28
1891-1904. Melihat kenyatan yang ada, menjadikan masalah ini sangat menarik untuk dikaji, bagaimana perkembangan feminisme di masa Kartini serta feminisme dalam pandangan Islam. Karena dalam kenyataanya bahwa Kartini sangat mempengaruhi pergerakan perempuan saat ini, ia memberikan inspirasi pada era kemoderenan. Skripsi ini akan membahas dalam bentuk penelitian yang berjudul “Gagasan dan Gerakan Feminisme Islam
R.A.Kartini (1891-1904)”.
B. Rumusan Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan jelas pokok permasalahannya, maka perlu adanya batasan seputar Islam dan feminisme di era Kartini. Selanjutnya untuk memudahkan dalam penulisan proposal ini, perlu melakukan kualifikasi bahasan dan masalah dalam satu spesifikasi berdasarkan tingkat kebutuhan menopang dalam penyusunan tulisan ini, yaitu dengan membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan perempuan dalam masyarakat Jawa sebelum masa R.A.Kartini?
2. Bagaimana pemikiran feminisme Islam R.A.Kartini?
3. Bagaimana gerakan feminisme R.A.Kartini terhadap kaum perempuan?
C. Tujuan Penelitian
Dengan melakukan penelitian sehubungan dengan judul diatas, mempunyai tujuan:
(16)
29
1. Untuk mengetahui kedudukan perempuan dalam Jawa sebelum masa R.A.Kartini?
2. Untuk mengetahui pemikiran feminisme Islam R.A.Kartini
3. Untuk mengetahui gerakan feminisme R.A.Kartini terhadap kaum perempuan
D. Kegunaan Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Secara akademis
Untuk memperluas ilmu pengetahuan di lingkungan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, khususnya untuk menambah referensi bagi kajian kita sebagai mahasiswa, dimana penulis sangat berharap agar penelitian skripsi ini memberikan gambaran dengan jelas mengenai gagasan dan gerakan feminisme Islam R.A.Kartini (1891-1904).
2. Secara praktis
Dengan skripsi ini diharapkan penulis dapat menyelesaikan skripsi, jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab UIN Sunan Ampel Surabaya.
E. Penelitian Terdahulu
Sebuah sejarah yang menerangkan tentang sebuah biografi R.A. Kartini, Ia adalah seorang tokoh perjuangan perempuan. Dalam hal ini
(17)
30
banyak dari sudut pandang Kartini yang menarik untuk dibahas, banyak penelitian yang menjelaskan tentang sebuah perjuangan dan pemikiranya, seperti yang dibahas oleh beberapa orang ini seperti:
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muh. Aniqul wafa
dengan judul “Pergerakan dan Perjuangan R.A. Kartini dalam Dunia Pendidikan” penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pergerakan dan perjuangan Kartini dalam pendidikan untuk para perempuan pribumi agar tidak tertindas dan lebih meningkatkan kualitas diri.
Selain menggambarkan perjuangan Kartini, penelitian yang dilakukan oleh Aniqul Wafa juga menjelaskan tentang pendidikan yang dibuat oleh Kartini di Semarang. Penelitian ini lebih menekankan seorang perempuan yang mengeluarkan ide-ide pembaharuan melalui pendidikan agar suatu saat bangsanya mencapai kejayaan dan kemenangan.
Penelitian yang dilakukan Widiyani Nurul Islami Hati yang berjudul "Revalansi Pemikiran Pendidikan R.A. Kartini dengan Konsep Feminisme dalam Pendidikan Islam”. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Widiyani, pembahasan yang di ulasnya menjelaskan tentang sebuah revelansi tentang feminisme dalam sebuah pendidikan Kartini, bagaimana sebuah konsep feminisme dalam pendidikan Islam yang sebenarnya, pendidikan Islam yang tidak untuk lelaki saja, namun perempuan juga berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Penelitian ini lebih terfokus terhadap pendidikan dalam konsep feminisme Islam, dengan mengambil sampel Kartini, penelitian ini
(18)
31
menjelaskan konsep pemikiran Kartini yang ketika itu dia merupakan tokoh feminis.13
Penelitian ini juga dilakukan oleh Luky Asmaningsi yang berjudul
“Pemikiran dan Perjuangan R.A Kartini dalam Islam” yang menjelaskan tentang sebuah kehidupan Kartini dan asal-usul Katini yang diusut secara detail, Penelitian ini menjelaskan sebuah pemikiran seorang Kartini dan perjuanganya terhadap sebuah negara.14
Jika karya-karya diatas lebih memfokuskan pada asal-usul Kartini dan perjuangan seorang perempuan tangguh yang dilakukan oleh Kartini maka berbeda dengan penelitian penulis yang terfokus dalam feminisme Kartini yang lebih memperluas gambarannya dalam berbagai perjuangan yang disangkut pautkan terhadap sebuah feminis Islamnya, tidak hanya dalam pendidikan saja. Selain memahami perjuangannya dalam konteks feminisme penulis juga menjelaskan feminisme dalam posisi Islam menurut telaah surat-surat Kartini yang telah ditorehkanya.
F. Pendekatan dan Kerangka Teori
Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini yaitu pendekatan sosiologi yang masuk dalam konsep-konsep penerapan tentang masyarakat pada kedudukan seorang perempuan, dan perubahan seorang wanita setelah
13
Widiyani Nurul Islami Hati, "Revalansi Pemikiran Pendidikan R.A. Kartini dengan Konsep Feminisme dalam Pendidikan Islam”, (Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah, 2008).
14Luky Asmaningsi, “Pemikiran dan Perjuangan R.A. Kartini dalam Islam”, (Skripsi jurusan Ilmu
(19)
32
adanya Kartini.15 Melalui pendekatan sosiologi ini diharapkan bisa memahami gagasan dan gerakan seorang Kartini dalam pandangan feminisme.
Dalam pendekatan ini, peneliti menggunakan teori feminisme liberal sesuai dengan gejala yang ada pada pembahasan penulis. Teori feminis liberal dasar pemikirannya bahwa semua manusia laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan semestinya tidak terjadi penindasan antara satu dan dengan lainya.16
Feminisme liberal diinspirasi oleh prinsip-prinsip pencerahan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kekhususan-kekhususan tertentu. Teori ini berpendapat bahwa kebebasan dan keseimbangan berakar pada rasionalitas, pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, dasar perjuangan mereka adalah menuntut kesempatan dan hak yang sama bagi setiap individual termasuk perempuan atas dasar kesamaan keberadaanya sebagai makhluk rasional.
Bagi mereka pusat masalahnya adalah perbedaan antara pola-pola tradisional dan modern. Kehidupan modern menuntut karakter manusia yang ekspresif yaitu rasional, kompetitif, dan mampu mengubah keadaan dan lingkunganya sementara kehidupan tradisional ditandai dengan karakter yang sebaliknya.
Penyebab perempuan terbelakang adalah karena salah perempuan sendiri, yaitu karena kebodohan dan sikap irasional mereka dalam berpegang
15
Dudung Abdurrahman, Metodelogi Penelitian Sejarah (Yogyakarta:Ar-Ruz Media, 2007), 5. 16
(20)
33
teguh pada nilai-nilai tradisional seperti agama, tradisi, dan budaya yang mengungkung perempuan dalam dunia domestik yang statis tidak produktif. Nilai-nilai tradisional inilah yang membuat mereka tidak dapat bersaing dengan kaum laki-laki, karena potensi perempuan dibatasi dari dunia publik yang senantiasa produktif dan dinamis.
Dalam pandangan Islam tentang feminisme Islam yang dianut oleh perempuan muslim yaitu Fatimah Mernissi bahwa dalam pemikirannya seputar tentang sebuah kedudukan seorang perempuan dan laki-laki.17 Dia mencoba memberontak hingga akhirnya mampu menghasilkan karya-karya yang sanggup membuka mata dunia tentang perempuan dan Islam yang terlupakan. Pemikiran seorang Mernissi keinginan untuk melawan semua ketertindasan perempuan.
Tokoh feminis muslim Fatimah Mernissi dalam kajiannya yang dikembangkan melalui beberapa tahapan: yakni melakukan penafsiran-penafsiran al-Qur’an dan hadis, riset sejarah, kemudian memberikan tafsiran alternatif terhadap ayat dan hadis yang dianggapnya berbau misoginis, untuk mensejajarkan antara perempuan dan laki-laki telah melahirkan beberapa konsep, diantaranya:
Menurut Mernissi bahwa derajat manusia dihadapan Allah adalah sama kecuali yang membedakan adalah kesalehan dan ketakwaan manusia itu sendiri. Begitu pula tentang kedudukan perempuan dalam Islam seharusnya setara dan sejajar dengan laki-laki. Akan tetapi tradisi dan doktrin agama
17
(21)
34
dibuat seolah perempuan adalah makhluk yang inferior. Ironisnya yang memposisikan perempuan seperti ini adalah kaum lelaki dalam tardisi patriarki.
Konsep Fatimah Mernissi yang lain adalah tentang relasi antara laki-laki dan perempuan di dalam Islam. Pada dasarnya kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan telah tercantum dalam al-Qur’an, akan tetapi tradisi dan masyarakat Islam sendiri yang menyebabkan antara keduanya tidak terjalin kemitraan, sehingga dalam kondisi ini perempuanlah yang selalu dirugikan hampir dari segala lini.
Dari situ dapat dilihat dari pandangan Islam yang dianut tokoh feminisme muslim dalam memperjuangkan seorang perempuan, sebuah karya-karya dan pemikirannya menfokuskan pada kesetaraan perempuan dan laki-laki. Begitu juga pula teori feminis liberal dapat disangkut pautkan dengan fenomena Kartini yang terlihat dalam memperjuangkan hak dan menitikberatkan pada ide yang tertera dalam surat-surat Kartini.
Fenomena yang terjadi pada kondisi perempuan saat itu dapat dianalisis melalui teori feminis liberal dan pandangan Islam menurut pemikir muslim yaitu Fatimah Mernissi yang dapat menjelaskan bagaimana keadaan dan gagasan seorang Kartini tentang sebuah feminisme dan sebuah pandangan islam tentang fenomena femisme Islam yang ada dalam pemikiran seorang pejuang wanita R.A.Kartini.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika R.A.Kartini mengalami pergolakan terutama terhadap seorang perempuan di Indonesia,
(22)
35
perempuan di masa Kartini mengalami hal yang sangat tragis seperti orang-orang pribumi tidak mendapatkan keadilan dalam pendidikan. Jadi dalam fenomena yang terjadi bahwa perempuan masa Kartini mengalami ketidakadilan dalam hal pendidikan, dan tradisi yang mengekang seorang perempuan di masa itu, Kartini membuat sebuah pergerakan dan perjuangan untuk wanita yang bisa disebut dengan feminisme dan pemikirannya dalam Islam terhadap wanita ketika itu.
G. Metode Penelitian
Metode Penelitian ini memegang peranan penting dalam mencapai tujuan dalam suatu penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian sejarah dengan metode yang dilakukan adalah metode sejarah yaitu meliputi tentang analisis. Gagasan pada masa lampau untuk merumuskan generalisasi yang berguna dalam usaha untuk memahami kenyataan dan kebenaran sejarah.18 Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:
1. Pemilihan topik
Dalam penelitian ini, peneliti memilih topik tentang ”Gagasan dan Gerakan Feminisme Islam R.A.Kartini (1891-1904)” yang menjelaskan tentang pergerakan dan perjuangan dan pandangan feminisme Islam oleh R.A.Kartini.
2. Heuristik (pengumpulan data)
18
(23)
36
Pada tahap ini peneliti akan melakukan penelitian literatur dalam pengumpulan sumber terhadap karya-karya ilmiah ini, terutama ada kaitannya dengan pokok bahasan dalam skripsi ini. Proses dalam melakukan pencarian sumber-sumber melalui data-data primer dan sekunder. Penulis juga mendatangi badan arsip jawa timur untuk mengumpulkan bukti-bukti agar penelitian dapat di pertanggung jawabkan.
Beberapa sumber primer yang dapat peneliti kumpulkan:
a. Dokumen berupa surat-surat adik Kartini yang telah dibukukan.
b. Sumber primer yang dijadikan sebuah rujukan Karya R.A.Kartini “Habis
gelap terbitlah terang” berupa kumpulan surat-surat yang berisikan lebih
dari 150 pucuk surat yang dibukukan oleh Ny Abendanon. c. Dokumen tentang foto Kartini pada masa perjuangannya
d. Dalil Al-Qur’an yang menerangkan tentang laki-laki dan perempuan (Q.S Al-Qamar/54-59), (Q.S Al-Nisa/4-32) dll.
Sumber sekunder yang dapat mem bantu peneliti untuk meneliti diantaranya yaitu buku-buku yang “membincangkan feminisme” dalam karya Dadang S. Anshori, Engkos Kosasih Dkk, “Pemahaman Islam dan
Tantangan Keadilan Jender” yang ditulis oleh Sri Suhandjati Sukri, dan karya yang dibuat oleh Saparinah Sadli, Djohan Effendi dalam buku
“Muslimah Perempuan Pembaharu Keagaman Reformis”, karya Siti
Muslikhati dalam buku “Feminisme dan pemberdayaan perempuan dalam timbangan Islam”, Karya Nassarudin Umar “Argumen Kesetarran Gender
(24)
37
Perspektif Al-Qur’an”. Karya Soemondari Soeroto “Kartini Sebuah Biografi”, karya Elisabeth keesing “ Betapa Besar Pun Sebuah Sangkar
Hidup, Suratan dan Karya Kartini”.
3. Verifikasi (Kritik sumber)
Data diperoleh penulis berusaha melakukan kritik sumber. Pada proses ini penulis akan memilah-milah sumber. Sumber-sumber yang telah penulis kumpulkan merupakan sumber pencarian tentang semua yang terkait tentang feminisme pada saat Kartini, Peneliti akan mencoba memilah sumber sekunder dan primer yang sesuai dengan judul yang diteliti.
4. Interpretasi (Penafsiran)
Aplikasi beberapa teori untuk menganalisis masalah. Pada langkah ini penulis akan menggunakan teori konflik. Peneliti akan menafsirkan fakta-fakta agar suatu peristiwa dapat direkonstruksi dengan baik, yakni dengan jalan menyeleksi, menyusun, mengurangi tekanan, dan menempatkan fakta dalam urutan kausal. Penulis juga akan mencoba untuk bersikap se-objektif mungkin terhadap penyusunan penelitian ini.
5. Historiografi (Penulisan Sejarah),
Tahap ini merupakan bentuk penulisan, pemaparan atau pelaporan
hasil penelitian yang telah dilakukan sebagai penelitian sejarah yang menekankan aspek kronologis masa lampau, menjelaskan tentang
(25)
38
Tahap ini akan menjelaskan bagaimana pandangan Islam dan Kartini dalam sebuah konsep feminisme.
H. Sistematika Pembahasan
Pembahasan dalam kajian ini diuraikan menjadi beberapa bab serta sub bab untuk memudahkan dalam penulisan dan mudah untuk dipahami secara runtut. Kerangka penulisannya tersistematika sebagai berikut:
Bab pertama pendahuluan, meliputi latar belakang yang merupakan deskripsi singkat dari penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teoritik, penelitian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua menerangkan tentang bagaimana kedudukan perempuan Jawa pada masa sebelum dan sesudah R.A. Kartini sehingga memunculkan sebuah ide untuk memperjuangkan perempuan pada saat itu.
Bab ketiga menjelaskan tentang feminisme Islam dalam pandangan Kartini, dan bagaiman kondisi perempuan pada masa Kartini yang disebut juga feminisme yang memperjuangkan hak perempuan pada saat itu.
Bab Keempat, memberikan penjelasan Peran feminisme di Era Kartini dan mengurai tentang pemikiran dan perjuangnnya.
Bab kelima merupakan bab terakhir sebagai bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
(26)
20
BAB II
KEDUDUKAN PEREMPUAN SEBELUM DAN PADA MASA R.A. KARTINI
A. Kedudukan Perempuan Jawa Sebelum Kartini
Jika orang Barat ingin mengerti benar akan kedudukan hukum perempuan dalam pergaulan hidup Indonesia di Hindia Belanda, maka pertama-tama harus disadari adanya kenyataan, bahwa pergaulan hidup Indonesia di Hindia Belanda memberikan gambaran yang berbeda sekali serta mempunyai ciri yang sama sekali berbeda dari pada pergaulan hidup Barat.
Pergaulan hidup di Jawa yang berbeda itu telah mengakibatkan, bahwa kedudukan perempuan dalam pergaulan hidup tersebut berlainan dari pada kedudukan wanita Eropa dalam pergaulan hidup Barat.1 Kedudukan seorang perempuan pada zaman kolonial sebelum adanya tokoh perjuangan perempuan Kartini sungguhlah begitu memprihatinkan, begitu banyak perempuan yang buta akan pendidikan dan terkengkang karena kebijakan pihak penjajah yang sangat membatasi pendidikan untuk perempuan.2
Kedudukan seorang perempuan ketika masa itu sebelum adanya Kartini sangat begitu mengharuhkan terutama masyarakat pribumi yang dibedakan dalam bidang pendidikan. Anak-anak perempuan pribumi boleh dikatakan tidak punya kesempatan menempuh pendidikan formal saat itu. Dikalangan pribumi, hanya anak kaum bangsawan/pamong praja yang bisa bersekolah, itu pun biasanya hanya yang laki-laki saja.
1
Holleman, Kedudukan Hukum Wanita Indonesia dan Perkembanganya di Hindia Belanda, 9.
2Vickers, Sejarah Indonesia Modern
(27)
21
Pada tahun 1799 terjadi perubahan besar di Indonesia, yakni adanya pergantian kekuasan dari pemerintahan VOC kepada pemerintahan Hindia Belanda yang disebabkan VOC mengalami keruntuhan akibat dari kekosongan kas negara dan hutang yang besar. Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mengangkat Gubernur Jendral yang baru untuk Indonesia yaitu Johannes Van den Bosch yang dikenal dengan sistem kebijakan Tanam Paksa
(cultuurstelsel), kebijakan tersebut dianggap dapat medatangkan pemasukan
yang besar bagi pemeritahan Hindia Belanda.3
Dengan adanya program Tanam Paksa yang diciptakan oleh pemerintah Hindia Belanda telah memaksa pemerintah untuk memberikan pendidikan kepada orang-orang bumiputra. Pada dasarnya sistem Tanam Paksa merupakan sistem eksploitasi dimana setiap penduduk diwajibkan menanam tanaman untuk komoditi ekspor serta harus mempekerjakan sejumlah besar orang bumiputra sebagai pegawai rendahan yang murah guna menjaga agar perkebunan pemerintah berjalan lancar. Pegawai rendahan yang dimaksud sedapat mungkin dipilih dari anak-anak kaum ningrat yang telah memiliki kekuasaan tradisional untuk menjamin keberhasilan kekuasaan.
Van Den Bosch sebagai pencipta Tanam Paksa ketika menjadi gubernur Jendral mulai dapat merasakan bahwa, tanpa bantuan penduduk bumiputra yang terdidik baik untuk administarasi pemerintahan maupun pekerja bawahan, pembangunan ekonomi di Hindia Belanda tidak akan
3
(28)
22
berhasil. pendirian sekolah bagi anak bumiputra meskipun pada awalnya hanya terbatas untuk anak-anak kaum ningrat.4
Sistem pendidikan bagi penduduk Indonesia mengalami perkembangan yang lebih pesat baru tampak selama zaman Liberal. Di mana pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1870 menerapkan sistem politik liberal yang membawa pengaruh dalam komposisi masyarakat Jawa, juga membawa pengaruh dalam situasi dan kondisi ekonomi bagi masyarakat Jawa.5
Pada waktu itu selain mengusahakan sekolah-sekolah bagi laki-laki dulu mengusahakan pendidikan bagi kaum perempuan. Karena kaum perempuan masih terasa sulit untuk dapat mengenyam pendidikan yang setara dengan laki-laki. Bagi perempuan, situasinya benar-benar berbeda, dimana dikemukakan pendidikan yang belum merata pada kaum wanita Jawa.
Disebutkan bahwa pendidikan para ”gadis Jawa” hanya memikirkan anak -anak perempuan dari kalangan bangsawan atau priyayi bukannya gadis-gadis miskin di desa atau di kampung, yang bekerja di sawah sejak subuh hingga senja dan hanya memiliki sedikit waktu untuk menikmati indahnya pendidikan.6
Salah satu faktor penghambat lainnya adalah dimana tidak meratanya pendidikan bagi perempuan Jawa ketika banyak sekolah-sekolah yang mayoritas peserta didiknya anak laki-laki yang lebih besar jumlahnya dari pada anak perempuan. Hal ini disebabkan keberatan orang tua Jawa jika anak
4
Idrus, Wanita Dulu Sekarang dan Esok, 45. 5
Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia, 43.
6
(29)
23
perempuan mereka satu kelas dengan anak laki-laki. Sehingga semakin sulit bagi wanita Jawa untuk dapat menikmati pendidikan.7
Masa penjajahan orang asing yang datang ke Indonesia begitu banyak peraturan yang mengekang warga Indonesia sehingga menciptakan sebuah klas-klas tertentu, salah satu dari peraturan bahwa seorang yang terpandang yang menjabat sebagai pemimpin harus menikahi seorang yang berdarah ningrat, dari sini dapat disimpulkan ada kelas-kelas tertentu yang mempunyai keistimewaan, sedangkan para kaum pribumi yang tak mempunyai kekuasaan hanya dapat menerima apa yang di tentukan oleh pihak penjajah.8
Ketika itu ibu dari seorang Kartini yang dari keluarga biasa di nikahi seorang pemimpin, dalam peraturan awal telah tertera bahwa harus menikah dengan orang yang mempunyai derajat lebih tinggi, dan secara tidak langsung ayah Kartini harus menikah lagi dengan orang yang sebanding dengan dia, dinilai dengan kekuasaan dan kekayaan, dan akhirnya dampak yang tragis kembali lagi kepada perempuan yang akhirnya di poligami.
Mengenai kedudukan sosial kaum perempuan Indonesia pada masa kolonial, ternyata sangat memprihatinkan. Mereka dianggap sebagi kaum yang lemah. Tidak mengherankan jika dalam status sosial masyarakat feodal, kedudukan perempuan berada di bawah kaum laki-laki. Rendahnya status sosial perempuan tersebut diperburuk oleh adat, khususnya yang menyangkut budaya pingitan yang menutup ruang gerak mereka. Perlakuan lainnya adalah poligami yang dapat menyudutkan kedudukan kaum perempuan. Apalagi
7
Taruna, Ciri Budaya Manusia Jawa, 34.
8
(30)
24
kalau poligami itu dipaksakan (kawin paksa) untuk dijadikan selir dan perkawinan muda. Poligami pada waktu itu tidak hanya dijadikan istri ke-2, 3, atau 4, melainkan lebih dari itu. Ketika Indonesia memasuki masa penjajahan, kedudukan perempuan Indonesia sampai akhir abad ke-19 belum membawa perubahan berarti. Bahkan, kebijakan kolonial juga seolah membedakan antara kedudukan perempuan dan laki-laki.9
Dalam konstruk budaya Jawa peranan perempuan hanya berkisar pada tiga kawasan yaitu di sumur (mencuci dan bersih-bersih), di dapur (memasak) dan di kasur (melayani suami). Atau dengan perkataan lain peranan perempuan adalah macak, masak dan manak. Lebih jauh gambaran perempuan Jawa adalah sebagai konco wingking, yaitu sebagai pembantu yang melayani suami untuk urusan belakang. Karena peranannya yang marjinal tersebut maka perempuan tidak perlu mendapatkan pendidikan yang tinggi.10
Keadaan perempuan Indonesia, khususnya di Jawa sebelum adanya Kartini bahwa hampir tidak ada atau sedikit sekali gadis-gadis yang pergi ke sekolah, Semua kebebasan yang dimiliki gadis-gadis hilang lenyap pada usia menjelang kawin, yaitu pada usia sepuluh atau dua belas tahun. Ketika itu Perempuan sangat terkekang dalam adat budaya Jawa yang harus di anut, dari situ adat budaya Jawa memunculkan sedemikian kuat sebuah ketidakadilan gender yang berdampak pada perempuan seolah-olah perempuan tidak
9
Vickers, Sejarah Indonesia Modern , 65.
10
(31)
25
mempunyai peran penting dan hanya bisa melakukan kegiatan yang sesuai dengan peraturan budaya Jawa.11
Semakin luasnya kekuasaan kolonial di Indonesia maka untuk mempertahankan dan menjalankan struktur dan tugasnya, pemerintah kolonial memanfaatkan potensi manusia Indonesia. Kebutuhan akan tenaga kerja manusia yang profesional, setidaknya tenaga kerja yang bisa membaca dan menulis semakin dibutuhkan. Keadaan tersebut semakin diperkuat keberadaannya setelah adanya tuntutan perbaikan nasib bangsa, terutama dalam bidang pendidikan dan wawasan bangsa Indonesia dari golongan humanis, akhirnya mendorong pemerintah kolonial untuk mengadakan pendidikan bagi kaum pribumi.12
Pelaksanaan politik pendidikan oleh pemerintah kolonial pada awalnya bertujuan untuk menyiapkan individu yang bisa membaca dan menulis, sehingga nantinya bisa dipekerjakan pada perkebunan-perkebunan atau perusahaan-perusahaan industri. Tenaga kerja yang bisa membaca dan menulis ini biasanya ditempatkan sebagai mandor yang mengawasi para pekerja atau buruh lainnya. Meskipun kebijakan seperti itu para penjajah hanya ingin mengambil keuntungan dan masyarakat Indonesia dianggap sebagai budak mereka.
Seorang perempuan yang semakin terjajah ketika masa itu hanya dapat di arahkan sebagai buruh oleh penjajah, karena tidak mendapatkan pendidikan
11
Chodijah, Rintihan Kartini, 57.
12
(32)
26
yang layak dan ketika masa itu masyarakat pribumi memang masih di kelabui oleh tradisi-tradisi yang ada di tempat tinggalnya.
kaum perempuan Indonesia dibelenggu dengan aturan-aturan tradisi dan adat yang cenderung membatasi peran mereka dalam kehidupan masyarakat. Kaum perempuan Indonesia lebih banyak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pelayan suami di rumah. Kebebasan perempuanpun sangat terbatas, mulai dari tutur kata, gerak gerik, bahkan sampai dengan pemikiran pun turut dibatasi dengan tidak mengijinkan seorang wanita untuk duduk di bangku sekolah.13 Dunia mereka hanyalah sebatas tembok rumah. Masih dengan masa yang dahulu, dimana seorang perempuan juga selalu berada dibawah ketidakadilan bahkan hampir tidak diakui keberadaannya. Hal ini semacam diskriminasi gender antara seorang wanita dan seorang pria.
Perempuan pada waktu itu tidak mendapatkan hak untuk mengenyam pendidikan. Pendidikan yang mereka peroleh hanya terbatas pada usaha untuk mempersiapkan diri untuk menjadi seorang ibu. Kaum perempuan Indonesia juga tidak memiliki kebebasan untuk menentukan masa depannya sendiri. Peran wanita sangat terbatas bahkan terpinggirkan. Hanya sekedar sebagai ibu rumah tangga, melayani suami bahkan dikalangan ningrat terkenal dengan
tradisi “pingit”.14
Budaya poligami, pingitan, perjodohan dan berbagai perlakuan tidak adil lainnya dialami oleh mereka. Sistem adat yang syarat dengan ideologi
13
Adji, Istri-istri Raja Jawa, 124.
14
(33)
27
patriarki membuat perempuan Jawa menjadi kaum yang tertindas. Di Indonesia terdapat 3 sistem adat kekerabatan yakni: sistem matrilineal, sistem patrilineal dan sistem bilineal. Semua sistem kekerabatan itu bersintesis dengan Islam dan kemudia memproduksi hukum untuk mengatur perempuan dalam perkawinan. Ketiga sistem adat itu sama-sama menempatkan
perempuan sebagai “penjaga rumah”, tetapi tidak berarti mempunyai
pengambilan keputusan atas properti, yakni harta kekayaan, termasuk anak, yang memberi status social sebuah keluarga.15
Terdapat dua permasalahan yang cukup krusial bagi kaum perempuan. Pertama, berhubungan dengan berbagai soal di seputar perkawinan dan yang kedua berkenaan dengan tidak adanya hak untuk mengenyam pendidikan. Titik krusial dari urusan perkawinan tersebut adalah poligami dan hak perempuan yang tersingkir jauh dari pengambilan keputusan untuk kawin, cerai dan pewarisan. Terdapat asumsi bahwa jika perempuan bersekolah maka usia perkawinannya dapat ditunda dan sekaligus mereka tahu dimana kedudukannya dalam hukum perkawinan.16 Problem itulah yang mengawali pertumbuhan organisasi perempuan pada awal abad ke-20 pada saat itu.
Sejak dulu laki-laki adalah kaum yang diproritaskan daripada kaum wanita karena kaum laki-laki dianggap memiliki kemampuan berpikir yang lebih baik dan dianggap lebih layak melakukan pekerjaan yang membutuhkan pemikiran. Sedangkan perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap kehidupan semata, perempuan hanya dianggap sebagai budak yang harus
15
Stuers, Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaianya, 97.
16
Alwi. As, Jawaban Terhadap Alam Fikiran Barat yang Keliru Tentang Islam (Bandung: CV Diponegoro, 1981), 129.
(34)
28
menurut kata suami dan diam di dapur tanpa didengar aspirasinya, pernyataannya maupun ide-idenya.
Sehingga menyebabkan mereka harus terkurung dan terkucilkan dari dunia luar dan menerima apa yang diperintahkan kepada mereka. Perempuan juga harus rela menyia-nyiakan masa sekolah mereka untuk memenuhi kodrat mereka sebagai seorang perempuan yang diartikan oleh masyarakat dulu sebagai budak suami yaitu seorang wanita yang harus menuruti setiap perkataan suami tanpa kecuali. Mereka harus rela diam di dapur untuk membantu ibu mereka tanpa mengetahui bagaimana cara membaca dan menulis yang dipelajari oleh kaum laki-laki. Mereka tidak mengetahui bagaimanakah keadaan dunia luar yang akan menunggu mereka dan permasalahan-permasalahan yang mungkin saja dapat terpecahkan oleh ide-ide wanita yang cerdas dan dianggap sebelah mata oleh kaum lelaki ini.17
Dari sini bahwa ketika kondisi perempuan yang memprihatinkan membutuhkan figur seseorang yang dapat mendobrak dialah Raden Ajeng Kartini yang sontak menggegerkan pemerintah kolonial Hindia Belanda karena perjuangannya melawan diskriminasi terhadap kaumnya. Belanda bingung, mengapa seseorang yang dibesarkan oleh kultur budaya patriarki dan berada dibawah jajahannya, bisa memiliki pemikiran semodern dan semaju itu. Tapi, itulah Kartini yang dapat menjunjung tinggi derajat perempuan dan menginspirasiakan perempuan masah kini.18
17
Maria Ulfa Subadio, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia (Yogyakarta: Anggota IKAPI, 1994), 97.
18
F.D Holleman, Kedudukan Hukum Wanita Indonesia dan Perkembangan di Hindia Belanda ( Jakarta: Bharatara Jakarta, 1971), 41.
(35)
29
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan.
A. Kedudukan perempuan pada masa Kartini
Kartini adalah seorang tokoh perjuangan perempuan, ia merupakan Tokoh perempuan yang sangat terkenal di Indonesia. Karena mampu berbahasa Belanda, Kartini menulis surat pada teman-teman korespondensinya yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran-koran, dan majalah-majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Dari bacaan-bacaan yang di lahapnya, hasrat Kartini untuk memajukan perempuan pribumi yang berada pada status sosial rendah itu mulai timbul.19
Kartini banyak membaca surat kabar semarang, De Locomotief, yang di asuh oleh Pieter Brooshooft. Kartini juga menerima Leestrommel, paket majalah yang diedarakan toko buku pada pelanggan. Diantaranya, terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat serta majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie dan dimuatnya.20
Dari Surat-suratnya terkesan kalau Kartini telah membaca apa saja dengan penuh kecermatan. Perhatiannya bukan sekedar persoalan perempuan, namun juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan perempuan agar
19
Chodijah, Rintihan Kartini, 68.
20
(36)
30
memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang di baca Kartini sebelum berumur 20 tahun, antara lain: Max Havelaar, “Surat-surat Cinta” karya Multatuli, De Stille Kraacht Louis Coperus, serata karya dari Van Eeden, Augusta de Witt, Goekoop de-jong Van Bee, dan Berta Voin Suttner.21
Kartini menikah dengan Bupati Rembang yakni Adipati Ario Singgih Djojo Adiningrat pada 12 November 1903. Oleh suaminya, Kartini diberi kebebasan dan didukung untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang yang kini dijadikan sebagai gedung pramuka. Berkat kegigihan Kartini, kemudian didirikan sekolah perempuan oleh Yayasan Kartini.
Setelah Kartini wafat (1904), Abendon mengumpulkan surat-surat yang di kirimkan Kartini pada teman-temanya di Eropa. Terbitnya surat-surat Kartini sangat menarik perhatian bagi masyarakat Belanda. Melalui surat-surat Kartini tersebut mulai dapat mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menginspirasi batokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, semisal W.R Supratman yang menciptakan lagu berjudul
“Ibu Kita Kartini.22
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikiran tentang kondisi sosial, terutama kondisi perempuan pribumi saat itu. Sebagian surat-suratnya berisi keluhan-keluhan dan gugatan terhadap budaya di Jawa yang dipandang
21
Imron Rosyadi, R.A Kartini Biografi Singkat 1879-1904 (Yogyakarta: Garasi, 2010), 10.
22
Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial Sebuah Pengantar Studi Perempuan (Jakarta: Kalyanamitra, 1997), 57.
(37)
31
sebagai penghambat kemajuan perempuan. Kartini menginginkan wanita memiliki kebebasan dalam belajar dan menuntut ilmu. Gagasan dan cita-cita Kartini tersebut terangkum dalam Zelf-ontwikkeling, Zelf onderricht, Zelf
Vertrouwen, Zelf werkaanmheid, dan Solidariteit.23
Pandangan-pandangan lain yang diungkap Kartini melalui surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Kartini mempertanyakan mengapa kitab suci harus dihafalkan tanpa wajib dipahami. Kartini mengungkapkan pandanganya, bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami.24
Kartini adalah gambaran tragis perempuan di awal abad ke-20, ketika harkat perempuan dimaknai sebatas kanca wingking, yang berkutat di sumur, dapur, dan kasur. Riwayat hidupnya menggambarkan penderitaan perempuan Jawa yang terpasung dalam tembok tradsi dan adat istiadat masyarakat feodal-patriarkal Jawa yang begitu angkuh dan kukuh serta membatasi ruang gerak mereka, mulai dari pelarangan belajar, adanya pingitan, hingga harus siap poligami dan tunduk pada seorang suami yang telah dinikahinya.25
Kartini ingin mendobrak tradisi feodal-patriarkal yang menghambat kemajuan kaumnya menuju masa depan yang lebih cerdas, bebas, aktif, dan merdeka sebagai wanita yang tidak terjajah. Untuk itu pendidikan mutlak diperlukan perempuan untuk mengangkat derajat seorang perempuan agar
23
Rosyadi, R.A Kartini biografi singkat 1879-1904, 54.
24
Asvi Warman Adam, Seabad Kontroversi Sejarah (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2007), 15.
25
(38)
32
tidak terjajah dan dapat berfikiran maju dan dapat mengangakat martabat Indonesia sebagai bangsa, pengajaran kepada perempuan secara tidak langsung akan meningkatkan derajat bangsa.
Kedudukan seorang perempuan ketika muncul seorang pejuang Kartini sungguhlah sangat membantu dalam sebuah kemajuan seorang wanita, dalam sebuah bait-bait suratnya ia menuliskan sebuah pemikiran modern yang ingin mendobrak sebuah pemikiran para wanita yang ada pada masa itu, karena ketika itu perempuan sangat dibedakan dalam hal apapun dengan lelaki, wanita kala itu hanya dapat mengikuti dan menurut dalam adat Jawa, yang benar-benar mengekang perempuan sehingga tidak bisa berfikir maju dan ujungnya wanita hanya menjadi sebuah bawahan lelaki.26
Dengan adanya Kartini kala itu, sedikit demi sedikit perubahan terjadi karena keinginan Kartini ingin memajukan dan mengangkat derajat perempuan sehingga memunculkan sebuah pemikiran bahwa Kartini adalah tokoh perjuangan wanita yang dapat disebut dengan feminisme. Di Indonesia sendiri feminisme sudah berkembang sebelum kemerdekaan Indonesia melalui perjuangan Kartini yang mengusung tema emansipasi wanita. Perjuangan Kartini secara tidak langsung membuat banyak perempuan terinspirasi olehnya dan mulai memunculkan gerakan-gerakan yang mengusung kesetaraan gender.27 Gagasan-gagasan Kartini yang mengiginkan pendidikan
26
Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia, 403. 27
Syahfitri Anita,” Gerakan Perempuan: Tinjauan Sejarah (Sebagai Pengantar Diskusi Lingkar
(39)
33
bagi wanita, Karena menurut Kartini ketika wanita itu bisa dikatakan merdeka disaat wanita mengenyam pendidikan yang layak.28
Kartini adalah seorang perempuan Jawa yang senantiasa gelisah berada didalam kerangkeng budaya patriarkhi kaum priayi. Semangat untuk memperjuangkan emansipasi di kalangan perempuan yaitu melalui dunia pendidikan Kartini menaruh harapan untuk kemajuan kaum perempuan. Untuk merombak kultur feodal patriarki yang selama berabad-abad membelenggu kaum perempuan, dimana kaum hawa hanya dibatasi pada sektor domestik, antara dapur, sumur, dan kasur. Kaum perempuan sangat sulit sekali menduduki bangku sekolah sehingga perempuan tidak bisa mengembangkan kemampuannya, ini semua adalah stereotip masyarakat yang menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah hanya sebagai pendamping laki-laki.29
Kartini merupakan satu diantara sekian banyak tokoh wanita Indonesia yang telah mendapat perhatian. Hal ini karena semata-mata beliau meninggalkan pemikiran-pemikiran yang dapat dianalisa dari surat-suratnya yang telah dibukukan. Perjuangannya yang begitu gigih untuk memerdekan perempuan sangatlah tidak mudah, Kartini mencoba memberikan pandangan terhadap kaum perempuan agar dapat keluar dari sebuah kungkungan adat dan lebih berfikir maju dengan cara mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.
28
Sitisoemandiri Soeroto, Kartini Sebuah Biografi (Jakarta: PT Gunung Agung, 1984), 320.
29
Rosalin Horton dan Sally Simmons, Wanita-wanita yang Mengubah Dunia (London: Erlangga, 2006), 216.
(40)
34
B. Faktor Pendorong Perjuangan R.A Kartini
Sebuah keadaan yang sangat memprihatinkan pada kala itu terhadap wanita muncullah seorang Kartini yang ingin memperjuangan perempuan agar tidak ketinggalan zaman dan dapat berfikiran maju seperti wanita di Eropa yang dapat berfikir modern dan bisa mengenyam pendidikan yang sesuai. Dalam sebuah kejadian pada masa itu terjadi sebuah konflik yang sangat signifikan menurut Kartini dalam diri seorang perempuan ketika itu, seperti konflik yang dalam pemikiran Kartini adalah ketidakadilan terhadap perempuan atau ketidaksetaraan gender dalam hal seperti aspek pendidikan, sosial, budaya. Dari situlah sebuah pendorong Kartini ingin mendobrak dan menjunjung tinggi martabat seorang perempuan.
Faktor yang mendorong Kartini ingin memperjuangkan hak seorang perempuan karena yang pertama para wanita pada zaman itu tidak mendapat pendidikan yang layak sehingga wanita hanya menurut dan tak berfikiran maju yang hanya mengadalkan sebuah adat istiadat yang di anut oleh para kaum pribumi.30 Hal lain yang menjadi perhatian Kartini tentang ketidakadilan terhadap wanita adalah berkembang suburnya poligami.
Kartini berpendapat bahwa poligami merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan pria terhadap wanita. Kartini melihat, dan merasakan betapa besar penderitaan dan pengorbanan kehidupan wanita yang dimadu oleh suaminya, hal ini pun dilakukan oleh orang tuanya. Menurut Kartini, gadis-gadis tersebut tidak dapat dipersalahkan karena pada umumnya mereka
30
(41)
35
merupakan anak-anak dari keluarga yang melarat yang terdiri dari petani dan buruh pabrik.
Mereka berangan-angan mendapat kemewahan, kehormatan, dan kenikmatan duniawi lainnya. Dikawini oleh bangsawan merupakan anugerah yang membuka jalan bagi mereka untuk mobilitas sosial secara vertikal. Mereka akan menjadi putri-putri kabupaten, kepangeranan, atau kesultanan yang bergelimang dengan kemewahan. Kartini melihat dan mencatat kejadian-kejadian tersebut dalam hati sanubarinya. Ia merasakan betapa getir nasibnya nanti apabila dirinya akan mengalami nasib seperti gadis-gadis tersebut.
Faktor lain dalam perjuangan Kartini adalah Kartini berkorespodensi langsung dengan tokoh feminis Belanda Stella Zeehandelaar secara tidak langsung telah terpengaruh oleh konsep-konsep feminisme liberal.31 Hal ini dapat dilihat dari program utamanya yaitu membebaskan perempuan dari kebutaan pendidikan atau pengetahuan dengan mendirikan sekolah khusus, agar hak perempuan untuk mengikuti pendidikan setara dengan hak pendidikan.
Kartini menyadari bahwa untuk membuat bangsanya maju, khususnya kaum wanita, maka tidak bisa tidak dengan jalan belajar dari dunia Barat. Peradaban Barat yang demikian gemilang menyilaukan semangat Kartini untuk belajar demi pembebasan dari kungkungan feodalisme budaya yang timpang itu.
31
(42)
36
Dijadikannya R.A. Kartini sebagai pahlawan bangsa Indonesia dilatar belakangi oleh faktor pendorong Kartini yang ingin memperjuangkan hak-hak wanita seperti pemikiran-pemikiran dan perjuangan terhadap kaumnya.32
Pribadinya yang lembut dan santun, tanpa meninggalkan sifat
keperempuanannya (Feminim) mencoba mendobrak keterbelengguan yang mengungkung dirinya dan kaum perempuan pada masa itu.
Sebagai catatan bagi kita bahwa beliau tidak bergerak dengan sifat-sifat kelelakian (maskulin), seperti halnya perempuan-perempuan Barat, namun beliau bergerak dengan kelembutan dan penanya. Dengan penanya, Kartini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang dituangkan dalam tulisan-tulisan tangannya. Adapun pemikiran-pemikiran tersebut menceritakan tentang kondisi sosial pada waktu itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi.
Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan, dan bersedia dimadu, sehingga Kartini mengklaim bahwa budaya Jawa dianggap sebagai penghambat kemajuan perempuan. Pergerakan yang dilakukan untuk melepas kungkungan adat tersebut, bisa dipahami dari cita-citanya yang luhur yaitu menggagas pembebasan perempuan, dengan mendirikan sekolah bagi para perempuan Bumi Putra kala itu.33
Kartini begitu sangat antusias ingin memajukan pendidikan di Indonesia terutama kepada perempuan, ia seorang pejuang yang berfikiran
32
Kuncoro Hadi dan Sustianingsih, Pahlawan Nasional (Yogyakarta: Familia, 2013), 76.
33
(43)
37
modern, sangat jarang seorang perempuan mempunyai pemikiran seperti itu. Kartini ingin melihat seorang perempuan pribumi seperti orang-orang perempuan yang ada di Barat yang sangat berfikiran maju, ia selalu membaca buku-buku dan majalah tentang dunia luar dan buku-buku orang luar, sehingga dia terinpirasi mempunyai pemikiran semodern itu sampai dia dalam bait-bait suratnya menjelaskan tentang pergolakanya terhadap budaya Jawa yang mengukung keberadaan perempuan.34
Dia sebenarnya menentang budaya Jawa karena menurut dia budaya Jawa tersebut sangat mengekang kehidupan seorang perempuan sehingga memunculkan ketidaksetaraan gender, Kartini bermaksud mengubah adat lama yang menghalangi kemajuan bagi kaum perempuan, ia mengawalinya dengan meperjuangkan kemajuan dan kedudukan perempuan bangsawan karena perempuan golongan biasa dengan sendirinya akan meniru kemajuan perempuan bangsawan. Dalam mengejar cita-citanya Kartini mendirikan sekolah untuk gadis bangsawan, dengan maksud para gadis pribumi di kemudian hari dapat memperbaiki kedudukan kaum perempuan. Cita-cita dan semangatnya tertuang dalam surat-surat yang ditulis dan dikirimkanya kepada sahabat-sahabatnya sejak umur 20 tahun, termasuk kepada pasangan Abendon.
Perempuan Indonesia memiliki peranan dan kedudukan sangat penting sepanjang perjalanan sejarah. Kiprah perempuan di atas panggung sejarah tidak diragukan lagi. Gerakan kebangkitan nasional berhubungan dengan politik etis Hindia-Belanda yang memberi kesempatan bagi para Bumi Putera
34
(44)
38
untuk bersekolah.35 Sebenarnya maksud pemerintah Hindia Belanda adalah untuk menghasilkan buruh-buruh terdidik, guru-guru, birokrat rendahan yang cukup terdidik, dokter-dokter yang mampu menangani penyakit menular pada bangsa pribumi. Tindakan ini dilakukan karena Hindia Belanda harus menekan biaya operasional tanah jajahan Indonesia yang terlalu mahal bila menggunakan tenaga impor dari Belanda.
Meskipun yang diizinkan memasuki sekolah Belanda saat itu hanyalah kaum bangsawan, priyayi, dan kaum elit. Seorang pejuang perempuan, yaitu R.A. Kartini (1879-1904). Beliau adalah pelopor dan pendahulu perjuangan untuk pendidikan perempuan dan persamaan hak perempuan. Kartini berpendapat bahwa bila perempuan ingin maju dan mandiri, maka perempuan harus mendapat pendidikan. Kartini selama ini kita kenal sebagai seorang pejuang emansipasi perempuan, terutama di bidang pendidikan. Kartinilah yang membangun pola pikir kemajuan, dengan cara menggugah kesadaran orang-orang sejamannya, bahwa kaum perempuan harus bersekolah. Tidak hanya di Sekolah Rendah, melainkan harus dapat meneruskan ke sekolah yang lebih tinggi, sejajar dengan saudara-saudaranya yang laki-laki.36
Bagi Kartini, perempuan harus terpelajar sehingga dapat bekerja sendiri, mencari nafkah sendiri, mengembangkan seluruh kemampuan dirinya, dan tidak tergantung pada siapa pun, termasuk suaminya. Mengingat suasana pada waktu itu, ketika adat feodal masih sangat kental di sekeliling R.A. Kartini, maka dapat kita bayangkan, betapa maju dan progresifnya pikiran
35
Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia, 24.
36
(45)
39
R.A. Kartini tersebut. Selain itu, meskipun dalam situasi pingitan, terisolasi, dan merasa sunyi, Kartini mampu membangun satu gagasan politik yang progresif pada zaman itu, baik untuk kepentingan kaum perempuan maupun bagi para kawula miskin di tanah jajahan.37
Faktor pendorong yang telah dijelaskan di atas yang sangat mengugah sanubari Kartini terhadap seorang perempuan tidaklah sia-sia Kartini telah membuka jendela pemikiran para gadis ketika itu agar serentak memajukan pola pikir mereka terutama dalam pendidikan, karena di situlah dapat merubah kehidupan seorang perempuan menjadi lebih baik agar tidak memprihatinkan dan tragis yang dialami sebelum-belumnya. Telah banyak terjadi perubahan kepada para perempuan saat itu, ketika Kartini mencoba untuk membuka sebuah pemikiran baru dan mendobrak pemikiran perempuan Jawa pada saat itu, yang hanya terpaku pada suatu adat yang menjadi panutan mereka.
37
(46)
40
BAB III
PEMIKIRAN FEMINISME ISLAM KARTINI A. Biografi Kartini
1. Riwayat Kartini
Dialah Raden Ajeng Kartini atau dikenal sebagai R.A Kartini, dia dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional yang teramat tangguh memperjuangkan emansipasi perempuan kala ia hidup. Mengenai biografi dan profil R.A Kartini, beliau sendiri lahir pada tanggal 21 April tahun 1879 di Kabupaten Jepara, hari kelahirannya itu kemudian diperingati sebagai Hari Kartini untuk menghormati jasa-jasanya pada bangsa Indonesia.1
Kartini lahir ditengah-tengah keluarga bangsawan. Ayahnya bernama R.M. Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV. Ayah Kartini merupakan seorang bangsawan yang menjabat sebagai bupati Jepara. R.M. Sosroningrat merupakan orang yang terpandang sebab posisinya kala itu sebagai bupati Jepara kala Kartini lahir. 2Ibunya bernama M.A. Ngasirah, beliau ini merupakan anak seorang kyai atau guru agama di Telukawur, Kota Jepara. Ibu R.A Kartini M.A. Ngasirah bukan keturunan dari bangsawan, melainkan hanya rakyat biasa saja, karena peraturan kolonial Belanda ketika itu mengharuskan seorang Bupati menikah dengan bangsawan juga, maka akhirnya ayah Kartini kemudian
1
Rosyadi, R.A Kartini Biografi Singkat 1879-1904, 10.
2Andi Prasetya, “Biografi R.A Kartini”, dalam
(47)
41
mempersunting seorang perempuan bernama Raden Adjeng Woerjan yang merupakan seorang keturunan langsung dari Raja Madura ketika itu.3
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari seluruh saudara kandungnya, Kartini merupakan anak perempuan tertua. Kakeknya Ario Tjondronegoro diangkat sebagai bupati saat berusia 25 tahun. Kakak kandungnya Sosrokartono, seorang ahli dalam bidang bahasa.4
Oleh orang tuanya Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, Raden Adipati Joyoningrat yang sudah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Kartini diberikan kebebasan mendirikan sekolah perempuan disebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang yang kini digunakan sebagai gedung Pramuka.
Anak pertama sekaligus terakhir R.M. Soesilat, lahir pada tanggal 13 September 1904 selang beberapa hari kemudian tanggal 17 Sertember 1904 Kartini meninggal pada usia 25 tahun, Kartini dimakamkan di desa Bulu, Rembang. 5
Berkat kegigihannya Kartini kemudian didirikan sekolah perempuan oleh yayasan Kartini di Semarang pada 1912, kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun Cirebon dan daerah lainnya, nama
sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartni ini didirikan oleh keluarga Van Deventer seorang tokoh politik etis.
3
Horton, Perempuan-perempuan yang Mengubah Dunia, 214.
4
Rosyadi, R.A Kartini biografi singkat 1879-1904, 10.
5
(48)
42
2. Sekilas Pendidikan Kartini
Kartini adalah seorang anak terpandang ia mempunyai keistimewaan untuk belajar di Europese Lagere Scholl (ELS). Di sekolah
itu, Kartini belajar bahasa Belanda. Namun sewaktu berusia 12 tahun pada tahun 1892, ia pun harus meninggalkan bangku sekolah. Masuk dalam pingitan, ayahnya yang dalam beberapa hal boleh dikatakan berpikiran maju, ternyata belum dapat melepaskan tardisi bangsawan kuno untuk memingit putrinya di dalam rumah sampai tiba saatnya nanti seorang pria datng melamarnya.
Betapa sedihnya Kartini dapat dibayangkan dalam surat-suratnya yang telah ditorehkannya, Seperti surat berikut ini yang di tulisnya kepada Nyonya Abendon, 8 tahun sesudahnya:
“Gadis itu telah berusia 12 tahun. Waktu itu telah tiba baginya untuk mengucap selamat tinggal pada masa kanak-kanak, dan meninggalkan bangku sekolah, tempat di mana ia ingin terius tinggal. Meninggalkna sahabat-sahabat Eropanya, di tengah mana ia selalu ingin terus berada. Ia tahu, sangat tahu bahkan, pintu sekolah yang memberinya kesenangan yang tak berkeputusan telah
tertutup baginya. Berpisah dengan gurunya yang telah
mengucapkan kata perpisahan yang begitu manis. Berpisah dengan teman-temanya yang menjabat tanganya erat-erat dengan air mata yang berlinang. Dengan menangis-nangis ia memohon kepada ayahnya agar diijinkan untk turut bersama abang-abangnya meneruskan sekolah ke HBS di Semarang. Ia berjanji akan belajar sekuat tenaga agar tidak mengecewakan orang tuanya. Ia berlutut dan menatap wajah ayahnya. Denagn berdebar-debar ia menanti jawab ayahnya yang kemudian denagn penuh kasih sayang
membelai rambutnya yang hitam. “Tidak!” jawab ayahnya lirih dan tegas. Ia terperanjat. Ia tahu apa arti “tidak” dari ayahnya. Ia
berlari. Ia bersembunyi di kolong tempat tidur. Ia hanya ingin sendiri dengan kesedihanya. Dan menangis tak berkeputusan. Telah berlalu! Semunya telah berlalu! Pintu sekolah telah tertutup di belakangnya dan rumah ayah menerimanya dengan penuh kasih
(49)
43
sayang. Rumah itu besar. Halamanya pun luas sekali. Tetapi begitu tebal dan tinggi tembok yang mengelilinginya."6
Kartini harus tinggal di rumah untuk dipingit dan Ia pun harus menutup cita-citanya untuk bersekolah di Belanda. Namun Kartini tidak berhenti disitu saja, Kartini setelah pulang dari Belanda ia sedikit-sedikit bisa bahasa Belanda di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensinya yang berasal dari Belanda salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku Koran dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul kemauan untuk memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah. Kartni banyak membaca surat kabar Semarang
De Locomotief yang diasuh Pieter Broos Hooft, ia juga menerima
Leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada
langganan).7
Kartini tetap memperjuangkan keberadaan perempuan meskipun ia masuk dalam sebuah pingitan. Ia tetap memperjuangkan kehidupan perempuan pada waktu itu. Kartini berekeinginan untuk memajukan pemikiran perempuan dengan cara memberikan pendidikan yang layak bagi mereka. Meskipun melalui jeritan-jeritan surat-suratnya dengan sahabat-sahabatnya.
6
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2011), 57. 7
(50)
44
3. Sahabat-Sahabat R.A. Kartini
Sebuah riwayat seorang perempuan pejuang yang teramat tangguh, Ia meskipun terpasung dalam sebuah kungkungan adat istiadat ia tetap berkreasi melalui sebuah coretan-coretan tanganya. Surat-surat Kartini yang menyeruakan hatinya tentang bagaiamana kehidupanya dan kehidupan perempuan ketika itu yang hanya menjadi makhluk nomer dua dibandingkan laki-laki.
Keinginan untuk mendobrak dan bebas dari semua perturan yang dapat membodoi seorang perempuan, keinginian ini bisa dapat dikatakan sebuah gerakan Kartini dan gagasan yang disebut dengan Feminisme, dalam artian perempuan ingin merebut haknya sesuai dengan apa yang diperoleh perempuan dan mengenyam pendidikan sesuai, keinginan-keinginan tesebut dicurahkan melalui surat kepada sahabatnya yang diberikan, diantaranya:
a. J.H. Abendanon
J.H. Abendanon datang ke Hindia Belanda pada tahun 1900, ia ditugaskan oleh Nederland untuk melaksanakan politik etis. Tugasnya adalah sebagai direktur depertemen pendidikan, agama dan kerajinan. Untuk memulai tugasnya Abendanon banyak meminta nasihat dari teman sehaluan politiknya Snouck Hurgronje seorang orientalis yang terkenal sebagai arsitek perancang kemenangan Hindia Belanda dalam Perang Aceh.
(51)
45
Hurgronje mempuyai konsepsi yang disebut politik
Asosiasi yaitu suatu usaha agar generasi muda Islam mengidentifikasikan dirinya dengan Barat. Hurgronje Menyarankan Abendanon untuk mendekati Kartini, dan untuk tujuan itulah Abendanon menjalin hubungan baik dengan Kartini. Abendanon yang paling gigih menghalangi Kartini untuk belajar ke Nederland, ia tidak ingin Kartini lebih maju lagi. E.E. Abendanon (Ny.Abendanon) ia adalah pendamping setia suaminya dalam menjalankan tugasnya mendekati Kartini. Sampai menjelang hayatnya Kartini masih menjalin hubungan korespondensi dengannya.
a. Dr. Adriani
Keluarga Abendanon pernah mengundang keluarga Kartni ke Batavia. Di Batava Inilah Ny. Abendanon memperkenalkan Kartini dengan Dr. Adriani, ia seorang ahli bahasa dan pendeta yang bertugas menyebarkan Kristen di Toraja, Sulawesi Selatan. Dr. Adriani berada di Batavia dalam rangka 27 perlawatannya keliling Jawa dan Sumatera. Untuk selanjutnya Dr. Adriani menjadi teman korespondensi Kartini yang intim.
b. Annie Glasse
Ia adalah seorang guru yang memiliki beberapa akta pengajaran bahasa, ia mengajarkan bahasa perancis secara privat kepada Kartini tanpa memungut bayaran. Glasser diminta oleh
(52)
46
Abendanon ke Kabupaten Jepara untuk mengamati dan mengikuti perkembangan pemikiran Kartini. Tidak mengherankan jika Abendanon kelak dapat mematahkan rencana Kartini untuk berangkat belajar ke Nederland, dengan menggunakan diplomatis psikologis tingkat tinggi, hal ini sangat mudah dilakukan oleh Abendanon karena ia menempatkan Annie Glasser sebagai mata-matanya.
c. Stella (Estelle Zeehandelaar)
Sewaktu dalam pingitan (lebih kurang empat tahun), Kartini banyak menghabiskan waktunya untuk membaca. Kartini tidak puas hanya mengikuti perkembangan pergerakan perempuan di Eropa melalui buku dan majalah saja beliau ingin mengetahui keadaan yang sesungguhnya.
Beliau memasang iklan disebuah majalah yang terbit di
Belanda “HollanscheLelie”. Melalui iklan itu Kartini menawarkan diri sebagai sahabat pena untuk perempuan Eropa. Dengan segera iklan Kartini tersebut disambut oleh Stella seorang perempuan yahudi Belanda. Stella adalah anggota militan pergerakan feminis di negara Belanda saat itu ia bersahabat dengan tokoh sosialis Ir. Van Koll wakil ketua SDAQ (partai sosialis Belanda) di Twede Kamer (parlemen).
(53)
47
d. Ir. Van Kol Van Kol
Ia pernah tinggal di Hindia Balanda selama 16 tahun, selain sebagai seorang insinyur, ia juga seorang ahli dalam masalah colonial, Stella lah yang selalu memberi informasi tentang Kartini kepadanya, sampai pada akhirnya ia berkesempatan datang ke Jepara dan berkenalan langsung dengan Kartini.
Van Kol mendukung dan memperjuangkan kepergian Kartini ke negeri atas biaya pemerintah Belanda. Van Kol berharap dapat menjadikan Kartini sebagai saksi hidup kebobrokan pemerintah kolonial Hindia Belanda, semua ini untuk memenuhi ambisinya dalam memenangkan partainya (sosialis) di parlemen. e. Nellie Van Kol (Ny. Van Kol)
Ia adalah seorang penulis yang memiliki pendirian humanis dan progresif. Dialah orang yang paling berperan dalam mendangkalkan akidah Kartini. Pada awalnya ia bermaksud mengkristenkan Kartini, dengan kedatangannya seolah-olah sebagai penolong yang mengangkat Kartini dari ketidakpedulian terhadap agama.
Setelah perkenalannya dengan Ny. Van Kol, Kartini mulai peduli dengan agamanya yaitu agama Islam. Sekarang kami merasakan badan kami lebih kokoh, segala sesuatu tampak lain sekarang. Sudah lama cahaya itu tumbuh dalam hati sanubari kami, kami belum tahu waktu itu, dan Ny. Van Kol yang menyibak tabir
(54)
48
yang tergantung dihadapan kami, kami sangat berterima kasih kepadanya. (surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 12 Juni 1902). Setelah Kartini kembali menaruh perhatian pada masalah-masalah agama, mulailah Nellie Van Kol melancarkan misi kristennya. Ny. Van Kol banyak menceritakan kepada kami tentang Yesus yang tuan muliakan itu, tentang rasul-rasul Petrus dan Paulus. (surat Kartini kepada Dr. Adriani, 5 Juli 1902).
f. Nyonya M.C.E. Ovink Soer Ialah
Nyonya asisten resident Jepara yang kemudian digantikan oleh tuan Gongrijp. Dari situ isi surat-surat kepada Nyonya itu diketahuilah betapa karibnya R.A. Kartini dengan dia sampai disebutnya ibu.
g. Tuan Prof.Dr G.K. Anton dan Nyonya di Jena (Jerman)
Pernah mengunjungi pulau Jawa dan singgah di Jepara. Kenalan yang lain adalah Nyonya H. G. de Booij- Boissevain.8
B. Pemahaman Ajaran Islam Kartini
Kartini adalah seorang anak Priyayi yang harus menurut dengan adat-istiadat yang dianut oleh keluarga bangsawanya. Ia lahir dari keluarga nigrat jawa. Tampaklah bahwa Kartini adalah seorang priyayi, pada ssaat yang sama
8
Wardah Fajri, “Persahabatan Kartini Dengan Perempuan Belanda, Pintu Ruang Emansipasi”, dalam http://swaramuslim.net/ more.php?id=1773-0-1-0-M 34 (18 oktober 2015)
(55)
49
ia memiliki “darah pesantren”. Ngasirah putri dari Nyai Hajjah Siti Ami ah
dan Kayi Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara.9
Pembicaraan Kartini seakan-akan tidak pernah habis-habisnya. Berbagai penulis di luar dan dalam negeri menyorotinya dari berbagai aspek dengan berbeda perspektif dan kepentingan. Aspek spirtual keagamaan tokoh emansipasi ini bisa di lihat dari sisi kejawen, Islam, dan Kristen. Dalam surat Nyonya Van Kol Agustus 1901, Kartini menyebut bahwa derita neraka yanag dialami oleh kaum perempuan itu disebabkan oleh ajaran Islam yang disampaikan oleh para guru agama pada saat itu. Agama Islam seolah membela egoisme laki-laki, menempatkan lelaki dalam hubungan yanag mat enak dengan kaum perempuan, sedangkan kaum perempuan harus menanggungkan segala kesusahanya. Perkawinan cara Islam yang berlaku pada masa itu, dianggap tidak adil oleh Kartini.
Kebencian Kartini terhadap adanya sebuah poligami sangat begitu menggebu karena menurut dia bahwa sebuah poligami sangat menyiksa dalam kehidupan perempuan. Namun seiring berjalanya waktu ia jugapun akhirnya merasakan seperti itu, ia mengalami pingitan dan poligami. Namun tidak seperti yang dibayangkan suami Kartini sangat mendukung dalam sebuah pemikiranya dan gagasanya.10
Kritik Kartini yang keras terhadap poligami mengesankan ia anti Islam. Tetapi sebetulnya tidak demikian, ujar Haji Agus Salim,
9
Rosyadi, R.A Kartini Biografi Singkat 1879-1904, 71. 10
(1)
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah di paparkan dalam bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya yaitu:
1. Kedudukan seorang perempuan pada masa itu mereka tidak mendapat pendidikan secara layak karena pada zaman itu merupakan zaman penjajahan Hindia Belanda yang mengatur tentang sebuah pendidikan di Indonesia. Di samping itu adanya kawin paksa merupakan beban menjadi seorang perempuan, dalam adat Jawa perempuan ketika menjadi seorang istri hanya bisa melakukan kegiatan sebagai istri saja tidak yang lainya. 2. Kartini merupakan tokoh feminisme yang ingin menjunjung tinggi
keberadaan perempuan di Jawa, ia merupakan tokoh feminisme yang beraliran liberal, namun dari catatan-catatan Kartini mempunyai pembatasan-pembatasan tertentu dalam melakukan sebuah gerakan untuk mengangkat derajat perempuan. Ia dalam memberikan sebuah gagasan di akhir-akhir hayatnya, ia mulai mendalami tentang Islam dalam masalah Al-Qur’an, dari pendalaman tersebut Kartini mulai mencoba menorehkan sebuah krikan terhadap Al-Qur’an, dan ia mencoba berpendapat bahwa perempuan boleh dalam melakukan seperti apa yang di lakukan oleh seorang lelaki namun dalam batasan tertentu dan sesuai dengan fitrah masing-masing.
(2)
87
3. Kartini dalam mengatasi sebuah ketertindasan adalah dengan pendidikan. Kartini menyadari bahwa kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan dan lain-lain berakar dari ketidaktahuan masyarakat tentang cara menghadapinya. Mereka tidak tahu harus berbuat apa untuk meningkatkan derajat hidupnya. Oleh karenanya pendidikan mutlak dibutuhkan untuk membuka cakrawala pemikiran bangsa ini dan sekaligus memberdayakan rakyat untuk kesejahteraan dan kemakmurannya sendiri. Kartini kemudian sangat antusias mendirikan sekolah khususnya sekolah wanita.
(3)
88
B. Saran
Dengan refleksi semangat dan pemikiran Kartini, kita sebagai perempuan Indonesia juga bisa meneruskan perjuangannya untuk mengangkat harkat martabat kaum perempuan. Masih banyak hal yang bisa dilakukan tentunya dengan melihat potensi yang ada pada diri kita. Tidak hanya dalam rumah tangga, lingkungan sekitar kita, tapi juga dalam organisasi dan ruang kerja kita.
Hendaknya umat Islam mengetahui bahwa tidak ada kesetaraan gender, bahwasannya di mata Allah Swt semua manusia itu derajatnya sama dan sejajar. Yang jelas kaum perempuan saat ini tidak harus minder atau malu dengan keterbatasan, tapi lebih biasa untuk mengebangkan potensi sebagai perempuan.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Komandoko. Kisah 124 Pahlawan dan Pejuang Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2007.
Tjokrowinoto, Moeljarto. Pembanguan Dilema dan Tantangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Sadli: Saparinah, Effendi: Djohan (eds.). Muslimah Perempuan pembaharu
keagamaan Reformisi, Bandung: Mizan Media Utama, 2005.
Umar, Nassarudin. Argumen Arahan Jender Perspektif Al-Qur’an. jakarta: Paramadina, 2001.
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Tranformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Anshori: Dandang S, Kosasih: Engkos (eds.). Membincangkan Feminisme, bandung:Pustaka Budaya, 1997.
Abdullah, Irwan. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Muslikhati, Siti. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam
Timbangan Islam. jakarta: Gema Insani, 2004.
Suhandjati, Sri. Pemahaman Islam dan tantangan Keadilan Jender. Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
Abdurrahman, Dudung. Metodelogi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007.
Soeroto, Sitisoemandiri. Kartini Sebuah Biografi. Jakarta: Djambatan, 2001. Vickers Adrian, Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: PT Pustaka Insan
Madani, 2005.
AS Alwi, Jawaban Terhadap Alam Fikiran Barat yang Keliru Tentang Islam. Bandung,: Dipenogoro, 1981.
Katoppo Aristides, Satu Abad Kartini. Jakarta: Sinar Harapan, 1979.
Asvi Warman Adam, Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2007.
(5)
Kurzman Cahrles, Wacana Islam Liberal. Jakarta: Paramadina, 2003.
Cora Vreede-de Stuers, Sejarah perempuan Indonesia Gerakan dan
Pencapaianya. Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.
Holleman F.D, Kedudukan Hukum Wanita Indonesia dan Perkembangan di
Hindia Belanda. Jakarta: Bharatara Jakarta, 1971.
Hajjah Ani Idrus, Wanita Dulu Sekarang dan Esok. Medan: Waspada, 1980. Geertz Hilderd, Keluarga Jawa. Jakarta : Grafiti Pers, 1983.
Chodijah Idjah, Rintihan Kartini. Jakarta: Ikhwan Jakarta, 1986.
Rosyadi Imron, R.A Kartini biografi singkat 1879-1904. Yogyakarta: Garasi, 2010.
Krisna Bayu Adji, Istri-istri Raja Jawa. Yogyakarta: Arasaka, 2013.
Kuncoro Hadi dan Sustianingsih, Pahlawan Nasional. Yogyakarta: Familia, 2013.
Maria Ulfa Subadio, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia. Yogyakarta: Anggota IKAPI, 1994.
Poesponegoro dan Marwati Djoened, Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang. Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2011.
Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial
Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Kalyanamitra,
1997.
Soeroto Sitisoemandari, Kartini Sebuah Biografi. Jakarta: Anggota IKAPI, 1984.
Sulam Solichin, Arti Kartini dalam Sejarah Nasional Indonesia. Surabaya: Surya Murthi Publishing, 1981.
Taruna dan Tukiman, Ciri Budaya Manusia Jawa. Yogyakarta: Kanisius, 1987.
(6)
Internet:
Wardah Fajri, “Persahabatan Kartini Dengan Perempuan Belanda, Pintu Ruang Emansipasi”. Dalam http://swaramuslim.net/ more.php?id=1773-0-1-0-M 34 (18 oktober 2015).
Andi Prasetya, “Biografi R.A Kartini”. Dalam
http://infobiografi.blogspot.co.id/2010/04/biografi-raden-ajeng-kartini.html(12 Oktober 2015).
Artikel:
Syahfitri Anita,” Gerakan Perempuan: Tinjauan Sejarah (Sebagai Pengantar Diskusi Lingkar Studi Perempuan,”Jakarta (2006), hal. 3.
Skripsi:
Widiyani Nurul Islami Hati, "Revalansi Pemikiran Pendidikan R.A. Kartini dengan Konsep Feminisme dalam Pendidikan Islam”, (Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah, 2008).
Luky Asmaningsi, “Pemikiran dan Perjuangan R.A. Kartini dalam Islam”, (Skripsi jurusan Ilmu Sejarah dan Kebudayaan Fakultas Adab, 1997).