Makam Gus Dur dalam perspektif agama-agama : studi tentang ziarah makam Gus Dur di desa cukir kecamatan diwek kabupaten Jombang.

(1)

AGAMA DAN HAM

(Studi Kasus tentang Kolom Agama dalam Kartu Tanda Penduduk)

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhir guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

Muh. Kholid Ismatulloh E92213058

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

PROGRAM STUDI

STUDI AGAMA-AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah analisis terhadap kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk. Kolom agama telah menjadi polemik sejak diberlakukan pada 1967. Hingga saat ini, perdebatan mengenai manfaat dan masalah akibat kolom agama masih terjadi. Kasus-kasus pelanggaran HAM atas nama agama dalam kurun waktu 2011-2016 diantaranya adalah pelarangan jemaat Ahmadiyah, tragedi aliran kepercayaan di Aceh, pembiaran terhadap Suku Anak Dalam di Jambi, kasus Syiah Sampang, serta kasus diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan korelasi antara pencantuman kolom agama dalam KTP dengan hak-hak kewarganegaraan dan pelanggaran kebebasan beragama. Melalui metode studi kasus, muncul asumsi awal bahwa kolom agama di KTP merupakan sebab terjadinya kasus pelanggaran HAM atas nama agama. setelah dilakukan penelitian, dapat diambil kesimpulan bahwa 1) Negara telah menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan warganya dan melindunginya demi hukum. Berbagai pasal dan undang -undang mengenai kebebasan beragama mulai gencar dibentuk sejak pasca reformasi, termasuk ratifikasi kovenan internasional HAM. Kasus pelanggaran HAM tidak diakibatkan oleh kolom agama, namun membuka potensi diskriminasi terhadap kelompok aliran kepercayaan dan minoritas keagamaan. 2) kolom agama dalam KTP tidak menjadi masalah dalam kehidupan keberagamaan di Indonesia secara umum. Kolom agama menekan eksistensi kelompok aliran kepercayaan dan minoritas keagamaan, dan berpotensi terhalangnya hak kebebasan beragama bagi kelompok tersebut.


(7)

DAFTAR ISI

Sampul Depan... i

Sampul Dalam ... ii

Abstrak ... iii

Persetujuan Pembimbing ... iv

Pengesahan Skripsi ... v

Pernyataan Keaslian ... vi

Motto ... vii

Kata Pengantar... viii

Daftar Isi ... xi

Daftar Tabel ... xiii

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Telaah Kepustakaan ... 7

F. Metode Penelitian ... 11

G. Metode Analisis Data ... 14

H. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II: LANDASAN TEORI ... 20

A. Konsep Dasar Hak Asasi Manusia... 20


(8)

C. Teori Kebebasan Beragama ... 29

D. Islam dan Hak Asasi Manusia ... 42

BAB III: KASUS PELANGGARAN HAM DI INDONESIA ... 47

A. Pendahuluan ... 47

B. Kasus Pelanggaran HAM Nasional ... 48

1. Kasus Pelarangan Ahmadiyah ... 56

2. Tragedi Aliran Kepercayaan di Aceh ... 61

3. Konversi Agama Suku Anak Dalam ... 70

C. Kasus Pelanggaran HAM Jawa Timur ... 80

1. Konflik Syiah Sampang ... 80

2. Kasus Pernikahan Tionghoa Surabaya ... 85

3. Diskriminasi terhadap Penghayat Kepercayaan ... 87

D. Kesimpulan... 95

BAB IV PRO DAN KONTRA ... 98

A. Pendahuluan ... 98

B. Setuju terhadap Penghapusan Kolom Agama ... 105

C. Tidak Setuju terhadap Penghapusan Kolom Agama ... 118

D. Kesimpulan... 124

BAB V PENUTUP ... 128

A. Kesimpulan... 128

B. Saran ... 129

Daftar Pustaka ... 131


(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perlindungan dan pengakuan terhadap kepastian status pribadi dan status hukum penduduk merupakan hak setiap warga negara. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan baru dibentuk di Era Reformasi. Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, pengaturan tentang Administrasi Kependudukan, termasuk di dalamnya pengaturan tentang Kartu Tanda Penduduk (KTP) diatur oleh peraturan peninggalan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (Staatsblad) dan setingkat peraturan Menteri.

Pentingnya administrasi kependudukan bagi setiap individu yang menetap di suatu negara, seperti Negara Republik Indonesia, menjadi salah satu alasan kuat para Penghayat Kepercayaan terus memperjuangkan hak-hak mereka untuk mendapatkan dokumen-dokumen kependudukan. Sebelum berlakunya Undang- undang Nomor 23 Tahun 2006 yang telah dilakukan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 serta Peraturan Pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007, demi mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau demi mendapatkan Akta Perkawinan, para Penghayat Kepercayaan terpaksa untuk berpura-pura menganut salah satu agama mayoritas yang diakui di Indonesia.


(10)

2

Kolom agama di KTP mereka pun tercantum salah satu agama mayoritas, walaupun mereka tidak meyakininya. Setelah berlakunya kedua peraturan perundang-undangan tersebut, terdapat ketentuan di dalam Pasal 64 ayat (5) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 yang mengatakan bahwa:

Keterangan tentang agama sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi Penghayat Kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kolom agama dalam KTP seorang Penghayat Kepercayaan tidak lagi diisi dengan salah satu agama yang diakui oleh Negara, yaitu Islam, Kristen Protestan, Khatolik, Hindu, Budha ataupun Konghucu, namun dikosongkan atau diberi tanda (-). Akan tetapi hak-hak sipil yang diterima oleh Penghayat Kepercayaan sama dengan yang diterima oleh penganut agama lainnya dan tidak boleh dibedakan, serta hal tersebut harus dijamin oleh Pemerintah Negara Republik Indonesia.

Masalah kolom agama ini sudah cukup lama diperdebatkan. Hal ini menandakan bahwa masalah ini bukan masalah sepele. Masalah kolom Agama juga memiliki fungsi yang cukup besar dalam menciptakan perdamaian.

Masalah kolom agama yang tidak segera ditindaklanjuti akan memicu sebuah konflik besar. Bahkan konflik agama yang belum pernah terjadi sebelumnya. Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos kepada VOA hari Senin


(11)

3

(10/11/14) menilai hal tersebut sebagai bentuk diskriminasi administrasi.1 Selain itu,

langkah tersebut kata Bonar memperlihatkan tidak adanya pengakuan yang setara terhadap agama dan kepercayaan yang ada di luar enam agama resmi. Sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, lembaganya sangat tidak menyetujui adanya kolom agama di KTP.

Menurut Bonar, semua negara harus setara, tidak boleh ada diskriminasi agama tertentu. Negara, kata Bonar, sebaiknya mengambil jarak dari agama dan kepercayaan termasuk masalah administrasi kependudukan. Lebih lanjut dia menjelaskan dalam sejarahnya, pada tahun kepemimpinan Soekarno-Hatta Indonesia pernah tidak mencantumkan kolom agama dalam KTP. Pencantuman kolom agama dilakukan pada masa orde baru. Menurutnya pencantuman dilakukan untuk menekan paham komunisme dan juga sebagai bentuk kontrol. Bonar mengatakan:

Ke-identitasan sosial kita kan ke-Indonesiaan, selama kita menjadi Indonesia berarti hak-hak kita sebagai warga negara diperlakukan sama. Kedua, kalau ada kolom agama itu berarti ada semacam pembedaan-pembedaan. Dalam pelayanan publik kan juga tidak menjadi penting apa yang disebut dengan identitas keagamaan. Apakah karena agama kamu X, (maka) kamu mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan yang lebih dari agama lain, kan tidak kan? Dihapuskan sama sekali tetapi kemudian dicantumkan ke dalam data kependudukan jadi dokumen kependudukan lain yang ada di kelurahan dan kecamatan atau kalau mau mencantumkan semua agama dan kepercayaan di Indonesia berdasarkan pilihan warga negara."2

Masalah penghapusan kolom agama menjadi penting karena kehidupan masyarakat Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara yang memiliki

1FathiyahWardah, “Pengosongan Agama di KTP Dinilai sebagai Bentuk Diskriminasi”,

http://www.voaindonesia.com/a/pengosongan-agama-di-ktp-diskriminasi/2515027.html (Jumat, 10 Maret 2017, 13.28).

2


(12)

4

keberagaman suku, bangsa, agama, dan masyarakat. Berbagai suku bangsa yang berbeda mendiami wilayah Indonesia yang terdiri dari 13.466 pulau.3 Dengan

keberagaman tersebut, Indonesia seharusnya bisa menjadi Negara yang bertoleransi dan menghargai pluralisme. Indonesia memiliki enam agama4 yang diakui sebagai

agama resmi. Banyak aliran serta kepercayaan lain yang tidak termasuk agama resmi tersebar di wilayah Indonesia.

Sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”, serta

dipertegas pula dengan sila pertama Pancasila yang menekankan kebebasan bagi pemeluk agama yang dianut warga negara, Indonesia telah memiliki dasar sebagai Negara yang menjunjung tinggi pluralism. Apalagi semboyan Negara Indonesia yang berbunyi Bhineka Tunggal Ika menjadi bukti kuat nilai pluralisme telah diperkenalkan di Indonesia sejak lama.

Pluralisme agama sendiri adalah pemahaman yang tunggal dalam menghadapi kenyataan yang jamak.5 Konsep pluralisme (kemajemukan) inilah yang

harusnya dikembangkan di Indonesia. Pluralitas (khususnya agama) merupakan potensi dan mempunyai peranan yang sangat besar dalam proses integrasi maupun

3

Article 55, UN Convention on the Law of The Sea (Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional) Tahun 1982.

4Keppres No.6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967.

5Suhermanto Ja’far, Filsafat Perenial dan Titik Temu Agama-Agama, (Surabaya: Elkaf, 2007),


(13)

5

pembangunan bangsa, mengingat setiap agama mewajibkan umatnya untuk mencintai sesama dan hidup rukun.6

Namun, agama sebagai sebuah keyakinan privat harus berhadapan dengan keyakinan lain yang juga mengusung prinsip kebenaran mutlak. Karena hal inilah, seringkali muncul sikap taassub (fanatisme) yang akhirnya menjadi paham absolutisme. Paham inilah yang akhirnya menimbulkan truthclaim di kalangan penganut agama.

Pemaksaan-pemaksaan kehendak itulah yang akhirnya akan menimbulkan konflik. Apalagi jika hal tersebut dilakukan oleh pihak mayoritas kepada pihak minoritas. Konflik sendiri adalah sebuah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai, dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan.

Hubungan dan interaksi pemeluk agama, baik dengan sesama agama maupun antaragama sering terjadi di Indonesia. Agaknya, hal inilah yang menimbulkan konflik agama. Seperti pada kolom agama pada kartu tanda penduduk di Indonesia.

Persaingan mayoritas dan minoritas sangat terlihat dalam penentuan kolom agama tersebut. Satu sisi menginginkan kolom tetap ada dengan dalih bahwa agama merupakan identitas diri yang penting untuk diketahui orang lain. Sedangkan disisi lain orang tidak setuju dengan adanya kolom agama tersebut. Alasannya

6


(14)

6

adalah, agama merupakan urusan pribadi individu. Agama juga dianggap merupakan sumber dari ketidakadilan dan konflik karena identitas tersebut melabelkan diri seseorang dengan mayoritas atau minoritas secara tidak langsung.

B.Rumusan Masalah

Dalam penyusunan penelitian ini, agar terhindar dari penyimpangan masalah yang dibahas, perlu dipertegas masalah-masalah yang akan dianalisis, sehingga sesuai dengan judul yang diajukan.

1. Adakah hubungan antara pencantuman kolom agama di KTP dengan

pelanggaran hak kebebasan beragama?

2. Apa ide dibalik pro dan kontra mengenai kolom Agama dalam KTP?

C.Tujuan Penelitian

Penelitian ini diadakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

1. Untuk mengetahui hubungan antara pencantuman kolom Agama dalam KTP dengan pelanggaran hak kebebasan beragama.

2. Untuk mengetahui ide dibalik pro dan kontra mengenai kolom Agama dalam KTP.


(15)

7

D.Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis dari penelitian ini berkaitan dengan teori yang disampaikan Thomas Aquinas dan John Locke mengenai human rights7sebagai hak

dan kewajiban sipil merupakan akibat langsung dari teori hukum berdasarkan kekuasaan, pada hak untuk mempertahankan hidup. Penelitian ini akan diarahkan untuk memberikan sumbangan teori mengenai penerapan teori oleh Thomas Aquinas dan John Locke terhadap kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.

Sedangkan manfaat praktis akan diwujudkan dalam penyelesaian masalah di Indonesia. Hingga saat ini, berbagai konflik dan masalah agama terjadi di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh agama dan kesenjangan antara mayoritas dan minoritas. Kesenjangan tersebut diperburuk dengan pelabelan agama dalam KTP masyarakat. Hasil dari penelitian ini dapat disumbangkan sebagai salah satu solusi pencegahan konflik untuk mencapai win-win solution.

E.Telaah Kepustakaan

Dalam penyusunannya, riset dilakukan dengan pengkajian beberapa penelitian terdahulu sebagai salah satu sumber data. Riset tersebut diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Anisah Mundari yang berjudul Analisis Yuridis

7Andrew Altman, "Civil Rights", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2013

Edition), Edward N. Zalta (ed.); International Covenant on Civil and Political Rights. (General Assembly of the United Nations, 19 Desember 1966).


(16)

8

Pencantuman Agama dalam E-KTP (KTP Elektronik).8 Dalam penelitian ini, riset

dilakukan dengan konsentrasi studi mengenai efektifitas kolom Agama dalam Kartu Tanda Penduduk ditinjau dari Administrasi Kependudukan. Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar. Objek penelitiannya adalah Kementrian Agama, Kantor Catatan Sipil, Kecamatan Biringkanaya, Kecamatan Wajo dan Kecamatan Tamalate.

Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 hanya mengakui enam agama yaitu Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Pengakuan negara terhadap agama tertentu memang dibolehkan dan tidak melanggar hak asasi manusia. Sayangnya pengakuan negara terhadap enam agama tersebut menimbulkan dampak terlanggarnya beberapa hak asasi manusia, khususnya para penganut aliran kepercayaan dan agama-agama selain agama resmi yang diakui negara. Dampak yang timbul dari pengakuan negara terhadap agama -agama tertentu tersebut adalah pembubaran aliran-aliran yang dianggap sesat, pencantuman agama di dalam KTP yang kemudian menjadi pintu masuk pembatasan hak-hak para penganut aliran kepercayaan dan agama yang tidak diakui negara.

Penelitian oleh Dwi Jatmiko yang berjudul Kualitas Pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dalam Meningkatkan Kepuasan Masyarakat (Studi Di Kecamatan Grobogan Kabupaten Grobogan)9. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

8

Anisah Mundari, “Analisis Yuridis Pencantuman Agama dalam E-KTP (KTP Elektronik)” (Skripsi tidak diterbitkan, Program Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 2016)

9Dwi Jatmiko, “Kualitas Pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dalam Meningkatkan Kepuasan Masyarakat (Studi Di Kecamatan Grobogan Kabupaten Grobogan)”, (Skripsi tidak


(17)

9

dengan mengangkat topik permasalahan tentang efektivitas pelayanan aparat terkait faktor kepemimpinan kepala desa, Penelitian yang bersifat survey explanatory, yaitu untuk menjelaskan hubungan variabel dan menguji hipotesanya ini dilakukan di lingkungan Kantor Desa Sobo Kecamatan Geyer Kabupaten Grobogan. Sebagai populasi adalah seluruh penduduk di Desa Sobo Kecamatan Geyer Kabupaten Grobogan dan sebagai sampelnya 116 orang. Elemen dari 20 % dari jumlah KK.Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil yang menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan kepala desa terhadap efektivitas pelayanan aparat pada masyarakat di desa Sobo kecamatan Geyer kabupaten Grobogan.

Penelitian oleh M. Syafi’ie yang berjudul Ambiguitas Hak Kebebasan Beragama di Indonesia dan Posisinya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi.10 Dalam

penelitian ini menyoroti beberapa regulasi tentang hak asasi manusia di Indonesia khususnya pada pasal 28I ayat 1. Penelitian ini membahas tentang hak kebebasan beragama di tengah maraknya kekerasan yang atas nama agama mendorong beberapa LSM dan tokoh demokrasi untuk melakukan judicial review terhadap UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Undang-Undang tersebut dianggap bertentangan dengan jaminan hak beragama yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Dalam konteks tersebut, Mahkamah

diterbitkan, Program Studi Ilmu Administrasi NegaraJurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, 2012)

10M. Syafi’ie, “Ambiguitas Hak Kebebasan Beragama di Indonesia dan Posisinya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”, Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia, (14 September 2011).


(18)

10

Konstitusi menolak seluruh permohonan judicial review UU tersebut, walaupun terdapat disenting opinion dari salah satu hakim konstitusi. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi, identitas hak beragama di Indonesia menjadi lebih terang, yaitu bisa dikurangi dan dibatasi. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak menjadi kabar gembira bagi para pemohon, karena UU. No. 1/PNPS/1965 bagi mereka adalah salah satu alat kelompok tertentu untuk membenarkan kekerasan atas nama agama kontemporer.

Posisi riset ini dipusatkan kepada efektifitas kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk. Efektifitas yang dimaksud adalah usaha untuk mendapatkan jawaban masyarakat yang selama ini menghadapi dua isu besar, kolom agama yang dianggap efektif dalam pengenalan identitas warga Negara dan pengakuan yang sah terhadap agama yang dianut. Serta isu bahwa kolom agama tidak efektif dicantumkan dalam Kartu Tanda Penduduk karena dapat menimbulkan diskriminasi sosial terhadap warga yang tidak menganut enam agama resmi Indonesia.

Riset ini lebih lanjut dapat digunakan sebagai salah satu referensi pemutusan Rancangan Undang-Undang mengenai kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk jika diperlukan. Jika riset yang digunakan Dwi Jatmiko berfokus kepada pelayanan pemerintah kepada penduduk, riset ini berfokus kepada objek benda Kartu Tanda Penduduk itu sendiri. Sebagai wujud barang pengenalan identitas diri yang sah, meneliti menganggap bahwa riset ini penting dilakukan karena fungsi objek riset yang serbaguna dan penting dalam kaitannya dengan urusan negara.


(19)

11

Penelitian M. Syafi’ie berfokus kepada Undang-Undang, sejarah, serta posisi

Kartu Tanda Penduduk pasca Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai judicial review, sedangkan riset ini berfokus kepada masyarakat terdampak dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Masyarakat terdampak yang dimaksud adalah masyarakat yang memiliki masalah dengan kolom agama. antara lain adalah masyarakat yang ditolak karena dianggap memiliki aliran sesat, masyarakat yang memiliki status agama ganda, masyarakat yang tidak diakui agamanya oleh warga negara lainnya, serta masyarakat yang memiliki masalah lain mengenai kolom agama sehingga secara administrasi Kartu Tanda Penduduknya tidak dapat diterbitkan.

F. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Moleong mendefinisikan penelitian kualitatif ini sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurutnya pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistic (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagian dari suatu keutuhan.11

11


(20)

12

Artinya, data yang dikumpulkan bukan merupakan data angka-angka, melainkan dari hasil naskah wawancara, catatan lapangan, dokumentasi, catatan pribadi, memo, dan dokumen resmi lainnya. Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empiris di balik fenomena secara mendalam, rinci, dan tuntas. Oleh karena itu penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokkan teori yang berlaku dengan menggunakan metode deskriptif.12

Pertimbangan digunakan metode kualitatif ini sebagaimana diungkapkan oleh Moleong adalah:13

a. Menyesuaikan metode penelitian kualitatif lebih mudah apabila dihadapkan dengan kenyataan ganda.

b. Metode ini secara tidak langsung merupakan hakikat antara penelitian dan responden.

c. Metode ini lebih peka dan menyesuaikan diri dengan pengaruh terhadap pola -pola nilai yang dihadapi.

2. Data dan Sumber Data

Menurut S Nasution, data primer adalah data langsung yang dapat diperoleh dari lapangan atau tempat penelitian.14 Dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan wawancara dan observasi untuk mendapat data primer. Wawancara

12Ibid., 131. 13Ibid., 138. 14


(21)

13

dan observasi dilakukan terhadap pihak-pihak tertentu yang memiliki kewenangan dalam masalah yang terjadi di Indonesia secara keseluruhan.

Pihak-pihak yang dianggap terkait adalah lembaga-lembaga masyarakat yang berperan dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk yaitu pemerintahan. Pihak lainnya adalah para elit agama bersamaan dengan elit pemerintahan serta tokoh yang dianggap berpengaruh. Observasi lapangan juga akan dilakukan dengan wawancara kepada responden yang diambil secara acak.

Data sekunder adalah data-data yang diperoleh melalui bahan bacaan dan sumber-sumber lainya yang terdiri dari surat-surat pribadi, catatan-catatan, hingga surat-surat resmi dari instansi pemerintahan. Dalam penelitian ini, sumber sekunder diperoleh dari data-data berbagai media baik cetak maupun elektronik yang membahas mengenai penghapusan kolom agama dalam KTP. Beberapa dokumentasi mengenai observasi langsung peneliti kepada masyarakat juga dilampirkan.

3. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data, digunakan metode wawancara. Wawancara ditujukan kepada para ahli agama dan tokoh-tokoh masyarakat yang concern terhadap isu terkait. Wawancara juga dilakukan kepada korban terdampak kebijakan pencantuman kolom agama. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas atau free interview.15 Sedangkan pengumpulan sumber data dilakukan dengan teknik

15Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka


(22)

14

snowball. Metode ini digunakan karena dapat dengan mudah memperoleh informasi dari informan sebab memiliki rasa kebersamaan dan saling percaya.

Proses wawancara dan survei dilakukan sekaligus pengumpulan data melalui dokumentasi. Survei dilakukan pada tiga lokasi, pertama di desa Manislor Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Kedua di forum lintas agama di Batu, Malang. Ketiga, wawancara dilakukan di Kota Surabaya.

Dokumentasi dilakukan dengan melihat dan menelaah data-data yang telah dikumpulkan melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Metode library research juga dilakukan guna menguatkan data yang diperoleh.

G. Metode Analisis Data

Analisis data kualitatif dilakukan apabila data empiris yang diperoleh adalah data kualitatif berupa kumpulan berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka serta tidak dapat disusun dalam kategori-kategori/struktur klasifikasi.

Menurut Miles dan Huberman, kegiatan analisis terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Terjadi secara bersamaan berarti reduksi data , penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi sebagai sesuatu yang saling menjalin merupakan proses siklus dan interaksi pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk sejajar yang membangun wawasan umum yang disebut “analisis”.16

16


(23)

15

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif mencakup transkrip hasil wawancara, reduksi data, analisis, interpretasi data dan triangulasi. Dari hasil analisis data yang kemudian dapat ditarik kesimpulan.

berikut ini adalah teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti: 1. Reduksi Data

Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstraksian, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Kegiatan reduksi data berlangsung terus-menerus, terutama selama proyek yang berorientasi kualitatif berlangsung atau selama pengumpulan data.

Selama pengumpulan data berlangsung, terjadi tahapan reduksi, yaitu membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, dan menulis memo.

Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan diverifikasi.

Reduksi data atau proses transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun. Jadi dalam penelitian kualitatif dapat disederhanakan dan ditransformasikan dalam aneka macam cara: melalui seleksi ketat, melalui ringkasan atau uraian singkat, menggolongkan dalam suatu pola yang lebih luas, dan sebagainya.


(24)

16

2. Triangulasi

Selain menggunakan reduksi data peneliti juga menggunakan teknik Triangulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan data. Dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian.17

Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda18

yaitu wawancara, observasi dan dokumen. Triangulasi ini selain digunakan untuk mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk memperkaya data. Menurut Nasution, selain itu triangulasi juga dapat berguna untuk menyelidiki validitas tafsiran peneliti terhadap data, karena itu triangulasi bersifat reflektif.

Denzin membedakan empat macam triangulasi diantaranya dengan memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Pada penelitian ini, dari keempat macam triangulasi tersebut, peneliti hanya menggunakan teknik pemeriksaan dengan memanfaatkan sumber.19

Triangulasi dengan sumber artinya membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Adapun untuk mencapai kepercayaan itu, maka ditempuh langkah sebagai berikut :

17

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), 330.

18 M. A. Nasution, Metode Research, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2003), 115. 19


(25)

17

a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara

b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.

c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.

d. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan masyarakat dari berbagai kelas.

e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Sementara itu, dalam catatan Tedi Cahyono dilengkapi bahwa dalam riset kualitatif triangulasi merupakan proses yang harus dilalui oleh seorang peneliti disamping proses lainnya, dimana proses ini menentukan aspek validitas informasi yang diperoleh untuk kemudian disusun dalam suatu penelitian. teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.

Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lain. Model triangulasi diajukan untuk menghilangkan dikotomi antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif sehingga benar-benar ditemukan teori yang tepat. 3. Menarik Kesimpulan

Kegiatan analisis ketiga adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Ketika kegiatan pengumpulan data dilakukan, seorang penganalisis kualitatif mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi.


(26)

18

Kesimpulan yang mula-mulanya belum jelas akan meningkat menjadi lebih terperinci. Kesimpulan-kesimpulan “final” akan muncul bergantung pada besarnya kumpulan-kumpulan catatan lapangan, pengkodeannya, penyimpanan, dan metode pencarian ulang yang digunakan, dan kecakapan peneliti. Tetapi seringkali kesimpulan itu telah dirumuskan sebelumnya sejak awal.

H. Sistematika Penulisan

Mengawali tulisan ini adalah bab pertama yang merupakan pendahuluan. Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, manfaat diadakannya penelitian ini baik secara teoritis maupun praktis, metodologi penelitian yang digunakan, serta sistematika penulisan. Dilanjutkan dengan bab kedua yang berupa landasan teori. Dalam bab ini akan dibahas beberapa teori yang berkaitan dengan penghapusan kolom agama.

Teori utama yang akan diajukan berasal dari Thomas Aquinas. Kemudian dilakukan pengembangan teori tersebut oleh John Locke. Sedangkan bab ketiga mengidentifikasi beberapa contoh kasus pelanggaran hak asasi manusia atas nama agama di Indonesia, pembahasan dilanjutkan dengan beberapa kasus yang terjadi di Jawa Timur. Identifikasi kasus juga dilengkapi dengan pendapat para korban dalam wawancara untuk mendapatkan beberapa sudut pandang sekaligus demi tercapainya metode penelitian. Beberapa kasus yang lain dilengkapi dengan kutipan pendapat para ahli yang concern terhadap isu terkait. Identifikasi tersebut dimaksudkan agar pembahasan di bab selanjutnya dapat lebih fokus.


(27)

19

Sedangkan bab keempat berisi pembahasan mengenai pendapat-pendapat dan sikap yang telah dihimpun dari bab ketiga, serta akan dilakukan teknik triangulasi dan komparasi dengan DUHAM dan teori John Locke jika dimungkinkan. Dengan demikian, himpunan berbagai sudut pandang tersebut akan mengarahkan kepada tujuan penelitian sehingga didapatkan kesimpulan. Kesimpulan mengenai hasil studi kasus pada bab-bab sebelumnya serta menarik kesimpulan mengenai keterkaitan antara kolom agama dalam KTP dengan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia atas nama agama. Faktor-faktor tersebut dianalisa melalui teori tentang Civil Society Engagement dan teori lain yang sesuai.

Bab kelima, yang menjadi bab terakhir berisi penutup. Penutup terdiri dari kesimpulan penelitian dan saran-saran.


(28)

20

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Dasar Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia merupakan hak yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa semata-mata karena ia manusia. Hak ini melekat pada setiap diri manusia dan bersifat tidak dapat dicabut (inalienable). Hak ini bukan merupakan hukum positif atau pemberian masyarakat terhadap satu individu atau dapat dibedakan dengan individu yang lain. Oleh karena itu, apapun alasan perbedaan suku, bahasa, ras, keyakinan, warna kulit, negara, maupun seseorang melakukan kejahatan paling berat sekalipun, seseorang tidak akan kehilangan martabatnya dan hak asasi sebagai manusia.1

Gagasan mengenai Hak Asasi Manusia bersumber dari teori hukum kodrati (natural law theory) Thomas Aquinas. Ia membedakan hukum menjadi empat hal, yaitu: a. lex aeterna (hukum rasio tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancar indera manusia). b. lex divina (hukum rasio tuhan yang dapat ditangkap oleh pancar indera manusia). c. lex naturalis (hukum alam, yaitu penjelmaan lex aeterna ke dalam

1


(29)

21

rasio manusia). d. lex positivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia di dunia).2

Menurut Hugo De Groot atau Grotius, sumber hukum adalah tolak ukur yang membedakan sifat-sifat manusia dengan makhluk lain, yaitu dengan kemampuan akal yang dimilikinya. Sedangkan hukum alam adalah hukum yang muncul sebagai kodrat manusia melalui akalnya, tetapi tuhan yang memberikan kekuatan dan mengikatnya.3

Grotius membuat landasan-landasan pembatasan terhadap hukum yang dibuat manusia. Pembatasan tersebut dilakukan dengan pembentukan tiang hukum alam yaitu: semua prinsip kupunya dan kau punya. Milik orang lain harus dijaga; prinsip kesetiaan pada janji; prinsip ganti rugi dan prinsip perlunya hukuman karena pelanggaran atas hukum alam. Dengan demikian hukum akan ditaati karena hukum akan memberikan suatu keadilan sesuai dengan porsinya.

Pada perkembangan di masa selanjutnya, John Locke dalam bukunya “The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration” Locke mengajukan pemikiran bahwa semua individu dikaruniai hak yang melekat untuk hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut oleh negara.4

Holocaust Nazi sebagai salah satu pelanggaran berat terhadap hak asasi yang saat itu belum dideklarasikan. Serta masa perang dunia II sebagai pelanggaran berat

2e-dokumen.kemenag.go.id/files/WE8qkJdK1346383974.pdf (Rabu, 10 Mei 2017, 11.59), 2. 3 Ibid,.

4 John Locke, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration, (Oxford: Oxford University Press, 1964), 4.


(30)

22

terhadap kemanusiaan selama masa sejarahnya. Davidson mengatakan bahwa gerakan untuk kembali menghidupkan kembali hak kodrati dengan dirancangnya instrumen Evolusi Pemikiran dan Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia Internasional yang utama mengenai hak asasi manusia.5

Hal ini diwujudkan dengan dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai wadah penyatuan pemikiran antarbangsa serta pencegahan pelanggaran hak asasi manusia kembali terjadi di masa mendatang. Dalam Preamble Piagam PBB disebutkan

“menegaskan kembali kepercayaan terhadap hak asasi manusia, terhadap martabat dan

kemuliaan manusia, terhadap kesetaraan hak-hak laki-laki dan perempuan, dan

kesetaraan negara besar dan kecil”.

Dalam forum inilah dimulainya pemahaman secara universal mengenai gagasan hak asasi manusia. Masyarakat internasional bersepakat menjadikan hak

asasi manusia sebagai “suatu tolok ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan

semua bangsa” (“a commond standard of achievement for all peoples and all nations”).

Hal ini ditandai dengan diterimanya ssuatu rezim hukum hak asasi manusia internasional yang disiapkan oleh PBB atau apa yang kemudian lebih dikenal dengan

International Bill of Human Rights”.

Dari penjelasan tersebut jelas bahwa teori hak-hak kodrati memiliki kontribusi yang sangat besar dalam menyiapkan landasan bagi suatu sistem hukum yang

5 Scott Davidson, Hak Asasi Manusia: Sejarah Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994). 40.


(31)

23

dianggap lebih tinggi dari hukum nasional suatu negara, yaitu norma hak asasi manusia internasional.

Lahirnya hak-hak kodrati dalam hukum internasional yang berkaitan langsung dengan masyarakat akhirnya melampaui substansi dasar mengenai hak sipil dan politik, namun kemudian juga berkembang pada hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak-hak “baru”, yang

disebut “hak-hak solidaritas”. Dalam konteks keseluruhan inilah seharusnya makna

hak asasi manusia dipahami saat ini.

B. Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia

Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia merupakan landasan orientasi berpikir dalam penegakan hak asasi manusia secara universal. Dalam hampir semua perjanjian internasional, prinsip-prinsip ini diaplikasikan ke dalam hak-hak yang lebih luas. Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip kesetaraan, pelarangan diskriminasi dan kewajiban positif yang dibebankan kepada setiap negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu.6

1. Prinsip Kesetaraan

Satu gagasan tertinggi dalam hak asasi manusia adalah meletakkan setiap individu di dunia ini dalam satu tingkatan yang sama dalam penghormatan terhadap martabatnya. Setiap orang terlahir tanpa ikatan kewajiban apapun dan memiliki hak

6


(32)

24

asasi yang sama dalam kehidupannya sebagai manusia. Hal ini mensyaratkan bahwa setiap manusia dalam kondisi yang sama harus diperlakukan secara sama.

Namun kemudian muncul perdebatan berbanding terbalik, apakah jika situasi yang dihadapi berbeda, maka perlakuan juga harus berbeda. Walau kedua situasi memiliki satu substansi rumit yang ternyata memiliki kesamaan. Atau ketika seseorang berasal dari posisi yang berbeda tetapi diperlakukan secara sama. Jika perlakuan yang sama ini terus diberikan, maka tentu saja perbedaan ini akan terjadi terus menerus walaupun standar hak asasi manusia telah ditingkatkan.

Tindakan afirmatif mengizinkan negara melakukan perlakuan yang berbeda terhadap kelompok tertentu yang tidak terwakili. Seperti laki-laki dan perempuan dengan kualifikasi dan pengalaman kerja yang sama. Tindakan afirmatif dilakukan dengan mengizinkan perempuan yang diterima semata-mata karena lowongan tersebut memiliki jumlah pekerja yang kebanyakan laki-laki dengan jumlah perempuan terlalu sedikit, sehingga tidak proporsional7. Contoh tersebut sebagai aplikasi pada Pasal 4

CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women)8 yang berbunyi:

1. Penerapan tindakan-tindakan khusus sementara oleh Negara-negara Peserta yang ditujukan untuk mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan tidak dianggap sebagai diskriminasi sebagaimana didefinisikan dalam Konvensi ini, tetapi tidak boleh mengakibatkan dipertahankannya standar-standar yang tidak setara atau terpisah ini seterusnya; tindakan-tindakan ini harus dihentikan bilamana tujuan kesetaraan dalam kesempatan dan perlakuan telah dicapai.

7 Ibid,.

8 Persatuan Bangsa Bangsa, Kovenan Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Pasal


(33)

25

2. Penerapan tindakan-tindakan khusus oleh Negara-negara Peserta, termasuk tindakan-tindakan yang tercantum dalam Konvensi ini, yang ditujukan untuk melindungi kehamilan tidak dianggap sebagai diskriminasi.

Contoh lain, beberapa negara mengizinkan masyarakat adat untuk mengakses pendidikan yang lebih tinggi dengan berbagai kebijakan yang membuat mereka diperlakukan secara lebih (favourable) dibandingkan dengan orang-orang non-adat lainnya dalam rangka untuk mencapai kesetaraan. Seperti di Indonesia, sebagai upaya untuk melestarikan suku anak dalam, pemerintah melayani anak-anak suku anak dalam untuk mendapatkan akses sekolah gratis.

2. Prinsip Diskriminasi

Prinsip diskriminasi seolah merupakan antitesis dari prinsip kesetaraan. Namun jika ditelaah lebih lanjut. Kedua prinsip memiliki perbedaan. Dalam kesetaraan, semua orang diharapkan memiliki derajat yang sama, namun jika terdapat manusia yang memiliki derajat yang berbeda, tidak ada tindakan apapun terhadap orang tersebut.

Sedangkan dalam pembahasan prinsip anti-diskriminasi, merupakan

tanggapan dari tesis “Jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan

yang diskriminatif” (selain tindakan afirmatif yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan). Penekanan dilakukan kepada subyek bawah, bukan subyek yang menjadi mayoritas.

Diskriminasi digolongkan dalam dua kelompok besar; Diskriminasi Langsung dan Diskriminasi Tidak Langsung. Diskriminasi langsung adalah ketika seseorang baik


(34)

26

langsung maupun tidak langsung diperlakukan dengan berbeda (less favourable) daripada lainnya. Seperti sikap seseorang yang menganggap orang yang berkulit hitam adalah suku pedalaman. Atau mencerca seseorang yang berpenampilan jelek.

Sedangkan diskriminasi tidak langsung muncul ketika dampak dari hukum atau dalam praktek hukum merupakan bentuk diskriminasi, walaupun hal itu tidak ditujukan untuk tujuan diskriminasi. Misalnya, pembatasan pada hak kehamilan jelas akan berpengaruh lebih besar kepada perempuan daripada kepada laki-laki. Atau pengosongan kolom agama bagi agama yang tak diakui menjadi sebab perbedaan pelayanan administrasi kependudukan.

Diskriminasi sering kali dilakukan seseorang atau kelompok orang kepada orang lain yang dianggap memiliki perbedaan yang menjadikan martabatnya lebih rendah. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyebutkan beberapa alasan diskriminasi antara lain ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau opini lainnya, nasional atau kebangsaan, kepemilikan akan suatu benda (property), kelahiran atau status lainnya.9 Semua hal itu merupakan alasan yang

tidak terbatas dan semakin banyak pula instrumen yang memperluas alasan diskriminasi termasuk di dalamnya orientasi seksual, umur dan cacat tubuh.

3. Kewajiban Positif untuk Melindungi Hak-Hak Tertentu

Dalam DUHAM, suatu negara diasumsikan memiliki kewajiban positif untuk secara aktif memenuhi hak-hak dan kebebasan warganya. Negara dilarang melakukan

9


(35)

27

pembiaran terhadap warganya sehingga sikap pasif ini menyebabkan hak asasi warganya dilanggar.10

Hak yang dimaksud adalah hak asasi manusia, sedangkan kebebasan yang dimaksud adalah segala hal yang menjadi kebolehan perlakuan tanpa ada sanksi tertentu terhadapnya. Hak dibagi menjadi hak yang bisa dibatasi (derogable rights) serta hak yang tidak dapat dibatasi (non-derogable rights).11

Pembatasan hak yang dimaksud diatas dapat berupa pembatasan yang digunakan untuk melakukan kontrol, karena dengannya negara berada pada kondisi damai demi memberikan hak yang lebih tinggi bagi warganya. Sedangkan hak yang tidak dibatasi, karena memang hak tersebut benar-benar tidak dapat dibatasi, seperti hak untuk berkeyakinan dan berpikir. Atau hak yang memang jika tidak dibatasi tidak akan terindikasi menyebabkan pelanggaran hak terhadap hak lain.

4. Hak Sipil dan Kewarganegaraan

Hak asasi manusia adalah upaya untuk memperlakukan semua orang sesuai martabatnya. Istilah kesetaraan gencar dipromosikan demi mewujudkan hal tersebut. Kesetaraan yang menandakan bahwa setiap manusia memiliki porsi masing-masing untuk penghargaan dan perlakuan yang pantas atas kehidupannya. Perlakuan sesuai martabat ini yang kemudian mendorong dihindarinya sikap diskriminatif yang membeda-bedakan semua orang berdasar jenis kelamin, kelas sosial, agama dan etnis.

10 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 39. 11


(36)

28

Dorongan untuk mematuhi dan menjalankan HAM ini seringkali terbentur oleh kebijakan diskriminatif. Diantaranya adalah kebijakan politik yang memperlakukan satu negara dengan negara lain lewat kriteria ekonomi. Salah satu kovenan yang sangat penting dan seringkali dilanggar adalah hak sipil dan politik. Hak yang memberikan jaminan sekaligus perlindungan bagi sikap politik maupun dalam cara berorganisasi.

Timbulnya hak sipil dan politik ini sebagian didasari oleh keinginan untuk terhindar dari kekuasaan diktator. Suatu kekuasaan yang menutup iklim demokrasi. Jenis kekuasaan yang enggan untuk berbagi dan bertanggung jawab terhadap publik.

Dalam kovenan sipil dan politik memang banyak sekali pengaturan yang di satu sisi kebebasan sekaligus pembatasan pada kuasa negara. Kovenan ini dalam penyusunannya memang menghadapi banyak persoalan. Terutama bagaimana mengatasi kepentingan diantara beberapa negara yang berbeda. Di satu pihak gagasan mengenai hak asasi manusia meliputi semua hak yang melekat dalam setiap individu dan tidak menerima persyaratan apapun. Sedang di pihak lain ada banyak negara yang sulit untuk menerima pemberlakuan ini secara mutlak, apalagi jika tanpa prasyarat apapun. Persoalan pilihan ini juga membayangi di sejumlah negara yang akan meratifikasi kovenan ini.

Indonesia dianggap masih kontroversial dalam memaknai pemberlakuan HAM ini. Meskipun Indonesia sudah meratifikasi anak dari kovenan hak sipil dan politik, seperti kovenan anti penyiksaan, kovenan anak dan kovenan perempuan tapi negara masih kurang maksimal memenuhi kebutuhan mereka.


(37)

29

Jaminan hukum atas Hak Asasi Manusia dimuat secara utuh dalam UU No 39 tahun 1999. Dalam kaitan dengan perlindungan atas kelompok rentan yang sering kali menjadi sasaran kebijakan. Kelompok rentan itu diantaranya adalah kaum difabel.12

Upaya Represif yang diperkenankan lewat undang-undang harus mempertimbangkan, pertama adalah perlindungan dari segala tindakan kekerasan, kedua jikalau tindakan kekerasan diambil itu selalu merupakan langkah terakhir setelah berbagai upaya ditempuh dan ketiga tindakan represif itu tidak membahayakan nyawa dan keselamatan orang. Tidak ada pelanggaran HAM yang muncul tanpa didahului oleh struktur dan sistem yang tidak menjamin diakui dan ditegakkannya nilai HAM. Penghormatan atas HAM dapat dikerjakan jika institusi mengawalinya terlebih dulu.

C. Teori Kebebasan Beragama

Berbagai perjanjian dan deklarasi kebebasan beragama dalam sejarahnya tidak dapat menciptakan peluang langsung untuk memberikan pengakuan hak mengubah agama, dasar-dasar kebebasan beragama dan memberikan dukungan kepada mereka yang percaya bahwa kebebasan beragama merupakan Hak Sipil. Kebebasan beragama tidak dapat dipisahkan dari kebebasan untuk mengubah agama. Artinya, dalam banyak kasus seseorang diperbolehkan untuk memilih agama mana yang sesuai dengan keyakinannya. Bukan untuk menciptakan keyakinan agama dengan

12


(38)

30

benar sesuai pemikirannya. Lebih lanjut, hal ini menimbulkan kontrak sosial dalam hukum untuk menentukan agama mana yang seharusnya ada dan tidak seharusnya ada. Sepanjang tahun 1986, Elisabeth Odio Benito menulis laporan pengamatan Deklarasi dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik dari tahun 1948 hingga 1981. Dalam laporannya dia menyimpulkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk meninggalkan agama atau kepercayaannya untuk mengadopsi kepercayaan lain, atau tetap dalam kepercayaannya tanpa sama sekali memaknai itu.

Dalam komentar umumnya mengenai pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Manusia Komite Hak mencapai kesimpulan yang sama. Ini mengamati bahwa kebebasan untuk "memiliki atau mengadopsi" sebuah agama atau keyakinan tentu memerlukan kebebasan untuk memilih agama atau keyakinan, termasuk hak untuk mengganti salah satu agama atau kepercayaan satu dengan yang lain atau untuk mengadopsi pandangan ateistik, serta hak untuk mempertahankan agama atau kepercayaan seseorang. Oleh karena itu Pelapor Khusus dalam OHCHR menekankan hak mengubah agama sebagai aspek penting secara hukum kebebasan beragama.

Manusia memiliki hak untuk mendapatkan kebebasan percaya pada apa pun yang mereka inginkan, agama atau sebaliknya, serta praktik dan berbagi keyakinan-keyakinan dalam pengaturan swasta dan publik. Manusia harus mendapatkan kebebasan ini sebagai warga negara di bawah aturan hukum. Artinya, pemerintah juga memastikan bahwa kebebasan ini tidak dimanfaatkan untuk melanggar hak sesama


(39)

31

warga. Mereka memiliki hak untuk membawa keyakinan untuk pembahasan mengenai isu masyarakat, pemerintahan, dan urusan global.

Dengan kata lain, kebebasan beragama berkelanjutan adalah hukum yang dilindungi serta budaya yang harus diterima sebagai kesempatan untuk memilih, merubah, membiarkan, atau menolak keyakinan apapun, termasuk yang religius, serta untuk membawa keyakinan mereka dalam diskusi publik.

Strategi untuk melindungi dan mempromosikan kebebasan beragama di luar negeri mengambil dua bentuk dasar (meskipun berbagai variasi hybrid mungkin dilakukan). Strategi yang menganjurkan kebebasan beragama cenderung ke arah proses publik. Pendekatan ini menghasilkan kesadaran tentang kebebasan beragama, membangun kebebasan beragama: teori perubahan, pelanggaran, sekaligus menciptakan ruang untuk mengambil kebijakan. Keterlibatan dan kesempatan untuk mendapatkan secara ilegal mengenai kebebasan menentukan agama dan kepercayaan dapat berujung pada penahanan hingga kurungan penjara.

Segala tindakan hukum yang diambil baik dalam melakukan tindakan hukum berupa pembuatan peraturan perundang-undangan (regeling) maupun penerbitan ketetapan atau keputusan (beschiking), mensyaratkan bahwa seseorang secara independen tanpa paksaan apapun dapat menentukan pilihan terhadap agama yang diyakininya serta mendapat perlindungan hukum atasnya.

Hak kebebasan beragama diakui Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang diadopsi PBB tahun 1966, kemudian diratifikasi atau disahkan menjadi Undang-Undang


(40)

32

Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional13 Tentang

Hak-Hak Sipil Dan Politik dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa: Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.14

Dalam Deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan yang diadopsi PBB tahun 1981, pada Pasal 1 juga dinyatakan bahwa :

setiap orang bebas untuk memilih dan menganut agama, dan memanifestasikannya secara pribadi dan berkelompok, baik dalam beribadat, pengamalan, maupun pengajarannya15

Pengaturan mengenai hak beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia diatur juga dalam ketentuan pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa :

(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Serta ketentuan pasal 28 I ayat (1) yang menyebutkan bahwa

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

13

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional.

14 Persatuan Bangsa Bangsa, Kovenan Sipil dan Politik, Pasal 18.

15 Persatuan Bangsa-Bangsa, Deklarasi tentang Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan


(41)

33

Hal itu juga diatur dalam ketentuan pasal 29 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.16

Dari pengaturan dalam ketentuan pasal 28E ayat (1) dan (2), serta ketentuan pasal 28I ayat (1), dan pasal 29 ayat (2) UUD Tahun 1945, maka secara konstitusional Indonesia menetapkan hak beragama merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dijamin, dihormati dan dilindungi baik oleh masyarakat maupun pemerintah, sehingga perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan pasal 28I ayat (4) UUD Tahun 1945: Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.17

Di Indonesia ditetapkan UUD Tahun 1945 telah mengatur juga tentang jamin negara terhadap hak beragama sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Pasal 29 UUD 1945 menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan bahwa negara menjamin kebebasan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Pada tahun 1965, dengan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965, yang kemudian ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-undang Nomor 5

16 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, pasal 29, ayat 2. 17


(42)

34

Tahun 1969, dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 1 Undang-undang tersebut. terdapat 6 agama yang hidup dan berkembang di Indonesia, yaitu: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Tetapi tidaklah berarti bahwa hanya 6 agama itu yang boleh hidup di Indonesia, karena pada paragraf berikutnya dari Penjelasan Pasal 1 itu dinyatakan bahwa hal itu tidaklah berarti bahwa agama-agama lainnya, seperti Zoroaster, Shinto, dan Tao dilarang di Indonesia.18

Selain pengaturan mengenai hak beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia dalam konstitusi sebagaimana disebutkan diatas yaitu dalam ketentuan pasal 28E ayat (1) (2), dan pasal 28 I ayat (1), serta pasal 29 ayat (2) UUD Tahu n 1945, maka dalam tataran Undang-Undang terdapat sejumlah ketentuan yang mengatur mengenai hak beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia diantaranya dalam ketentuan pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran

dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

18 Republik Indonesia, Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965; Republik Indonesia,


(43)

35

Lebih lanjut dalam ketentuan pasal 22 Undang-undang Nomor 39 Tahun 199919 disebutkan bahwa :

(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Selain itu dalam ketentuan pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik20 (International Covenant on Civil and Political Rights) yang menyebutkan

bahwa:

Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.

Menurut Chris Seiple, terdapat berbagai strategi untuk menjunjung hak kebebasan beragama.21 Strategi terburuk adalah "name, blame, and shame".

Pemerintah khususnya menganggap bahwa isu ini benar-benar tidak berpengaruh dan selalu berusaha untuk menutup mulut orang-orang yang akan secara terbuka membuka kedok pemerintahannya.

Strategi yang membangun kebebasan beragama cenderung menuju proses kerja pribadi dari dalam ke luar yang melibatkan pejabat pemerintah dan pemimpin

19 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.

20 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan

Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

21


(44)

36

agama di negara tertentu. Strategi pelaksanaannya adalah dikembangkan bersama-sama dengan terus mengubah lingkungan sehingga terbatas untuk satu golongan tertentu. Masyarakat ditanamkan nilai negara tradisi iman sebagai hal paling penting untuk kesejahteraan negara secara keseluruhan. Kebebasan beragama digunakan oleh pemerintah sebagai potongan propaganda untuk membuat kesan bahwa tidak ada masalah di negaranya.

Strategi yang lain adalah pembangunan kebebasan beragama "a think-and-do mentality" Akal tanpa kehendak merupakan kelemahan, dan kehendak tanpa akal adalah berbahaya. kebebasan beragama harus dipahami dan dilindungi, dipromosikan dalam konteks perbandingan tren lingkungan global dan lokal. filsafat politik dan teologi harus menyentuh lapisan terbawah, bermakna kemitraan praktis di tengah kebebasan untuk memiliki keyakinan yang tak terdamaikan.22

Mentalitas seperti itu harus dibentuk dan diinformasikan oleh "A Global Network of Scholar-Practitioners" Memahami universalitas kebebasan beragama lokal membutuhkan pengembangan ulama lokal dan praktisi agama (termasuk didalamnya pemerintah dan pemimpin agama) yang dapat menjembatani pemikiran lokal dan global, dan melakukan seminar pelatihan lokal tentang kebebasan beragama. Perubahan yang berkelanjutan dimulai hanya dari pendidikan yang dapat mengubah pola pikir. Oleh karena itu perilaku seperti jaringan membawa "Perbandingan Perspektif & Pendekatan Interdisipliner". Kebebasan beragama yang terbaik adalah

22


(45)

37

belajar dalam perbandingan lokal. Konteks global yang memberikan contoh kebebasan beragama ini memungkinkan untuk membuka jaringan keterkaitan dengan isu-isu lainnya.23

Sebuah diskusi memungkinkan munculnya kebijakan baru seperti “Integrated Citizens" sebagai kondisi untuk mengasimilasi kelompok minoritas yang secara eksplisit maupun implisit mengharapkan/menyarankan bahwa minoritas apapun terlihat dan bertindak seperti budaya mayoritas. Sebuah demokrasi yang berkelanjutan didefinisikan sebagai sebuah lapangan umum yang mengintegrasikan semua orang sebagai sesama warga akuntabel di bawah aturan hukum. Kebebasan untuk membawa esensi dari identitas seseorang untuk diskusi apapun tidak hanya ditoleransi tetapi dirayakan.24

Identitas dikembangkan dan diimplementasikan secara simultan dan transparan dari top-down dan bottom-up, demi kebebasan beragama. Karakteristik ini inheren, menuntut kapasitas negara untuk rekonsiliasi praktis dan kolaborasi.

1. Pembatasan Hak Beragama

Hak beragama dijamin sepenuhnya oleh negara melalui perundang-undangan sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi manusia. Hak tersebut secara otomatis wajib dihormati oleh negara. Namun, pemenuhan tersebut memiliki batasan dalam pelaksanaannya. Pembatasan tersebut dilakukan jika terindikasi membahayakan ketentraman, ketertiban, dan keselamatan umum, moralitas publik, kesehatan

23 Ibid. 24


(46)

38

publik, kepentingan keadilan, dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokrasi.

Dengan alasan diatas. Negara diperkenankan, atau bahkan diwajibkan untuk melakukan pembatasan atau larangan pelaksanaan kebebasan beragama. Hal ini di dasarkan pada ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa:

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata- mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Atas dasar pengaturan tersebut maka hak beragama juga dilakukan pembatasan. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Nomor 12 tahun 2005 menyebutkan bahwa:

Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan dasar orang lain

Pada pasal 29 Deklarasi HAM dan pasal 18 ayat (3) Kovenan Sipol seperti telah dijelaskan di atas mempunyai pendekatan berbeda di dalam membatasi hak atas kebebasan beragama. Pasal 29 Deklarasi HAM25 mensyaratkan

dua hal agar pembatasan tersebut legal yaitu :

1. Pembatasan diatur oleh hukum, tentu tidak sembarangan hukum yang bisa mengatur pembatasan atas kebebasan beragama, pembatasan tersebut harus dirumuskan menurut istilah-istilah yang umum dan objektif , untuk membedakan dengan sebuah putusan pengadilan. Biasanya keputusan untuk membatasi hak manifestasi agama dikeluarkan oleh pemerintah dan dijalankan oleh sebuah badan administrasi pemerintah dengan memperhatikan scope kewenangannya;

2. Pembatasan harus sesuai dengan salah satu alasan (justifikasi) yaitu untuk mengamankan dan menghomati hak dan kebebasan orang lain, dan sesuai dengan

25


(47)

39

moralitas, ketertiban umum dan kesejahteraan umum di dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Pembatasan hak atas kebebasan beragama di dalam DUHAM PBB dengan pasal 18 ayat (3) Kovenan Hak Sipol memiliki sedikit perbedaan. Pasal 18 ayat (3) Kovenan Sipol menekankan pembatasan hanya terhadap right to manifest religion, bukan right to maintain/to change religion. Sementara Deklarasi HAM PBB me-generalisir pembatasan untuk seluruh hak dan kebebasan beragama.

Menurut Archot Krishnaswami ini bisa terjadi karena ada perbedaan di dalam metode penyusunannya. Pembatasan yang ada di dalam pasal 18 ayat (3) Kovenan Sipol ditujukan secara langsung terhadap pasal-pasal spesifik yang menjabarkan hak-hak yang substantif, sehingga secara alami pembatasan yang ada di dalam pasal 18 (3) lebih tepat dibandingkan dengan pasal 29 Deklarasi HAM yang mana ditempatkan pasal yang paling akhir.26

Elemen hak kebebasan beragama dibagi menjadi dua hak berbeda. Pertama, yaitu hak untuk pindah agama (right to change and maintain religion). Dalam hal ini intervensi yang ilakuan dari luar dianggap sebagai hal yang tidak dapat dilakukan (illegitimate) atau bahkan bisa dikatakan tidak mungkin. Right to change/manifest religion tidak memiliki batasan tertentu. Tidak boleh ada paksaan yang akan

26 Archot Krishnaswami, Study of Discrimination in The Matter of Religious Rights and Practices, (New York: United Nations), 16.


(48)

40

melanggar right to change/manifest religion. Inti dari paksaan adalah adanya batasan right to change/manifest religion.27

Hak atas manifest atau maintain agama tidak boleh dilanggar, sehingga kebebasan harus dijamin, akan tetapi jika ada konflik dengan suatu agama atau kepercayaan yang menyebabkan sikap acuh tak acuh, maka di dalam suatu masyarakat yang menganut banyak agama, pembatasan praktek keagamaan atau kebiasaan keagamaan perlu dilakukan sebagai proses rekonsiliasi kepentingan berbagai kelompok baik mayoritas maupun minoritas. Proses tersebut tidak dapat dilakukan dengan mengunggulkan satu agama tertentu dan merendahkan agama yang lain. Pelaksanaan pembatasan kebebasan beragama harus fair dengan asas kesetaraan dan kebutuhan pemenuhan atas kepentingan bersama.

Agama memiliki dua sisi yang berbeda. Secara pribadi, agama mampu membentuk karakter manusia sesuai dengan apa yang diyakininya secara sungguh-sungguh. Secara sosial, agama mampu menyatukan kelompok orang yang sama sekali tidak memiliki kesamaan atau keterikatan untuk bersatu.

Kebebasan beragama merupakan salah satu perwujudan dari kebebasan untuk berkumpul secara damai, berserikat dan berorganisasi

Kovenan Sipol sendiri hanya membatasi hak atas kebebasan beragama yang manifest (eksternal), dengan persyaratan (kumulatif) sebagai berikut :

27


(49)

41

1. Diatur oleh hukum, dan perlu untuk melindungi keamanan masyarakat, ketertiban umum, kesehatan atau moral, atau hak dan kebebasan orang lain yang fundamental;

2. Pembatasan harus dihubungkan dan proporsional dengan kebutuhan yang spesifik; 3. Pembatasan tidak boleh dengan maksud dan cara-cara yang diskriminatif;

4. Pembatasan atas dasar melindungi moral tidak boleh didasarkan secara eklusif atas dasar moral tunggal;

5. Pembatasan akan permissible apabila didasarkan hukum yang tidak diskriminatif (pasal 2, 3 dan 26 Kovenan Hak Sipol), dan tidak menegasikan hak-hak yang diakui oleh pasal 18 Kovenan Hak Sipol.

6. Pembatasan yang ada di dalam pasal 18 ayat (3) harus ditafsirkan secara sensu stricto (terbatas).28

PBB sudah menyetujui Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Atas Dasar Agama pada tahun 1981. Lengkap dengan hak untuk memanifestasikan agamanya termasuk dalam hal beribadah, ketaatan, pengajaran, dan praktik ajaran agama yang diyakininya.

Dalam deklarasi ini juga diatur mengenai pelarangan koersi yang melanggar hak kebebasan beragama. Termasuk praktek diskriminasi atas dasar agama. hal ini dicontohkan seperti bentuk pembatasan (restriction), pembedaan (distinction), eklusivisme (exclusion) dan referensi atas dasar agama (reference).

28


(50)

42

D. Islam dan Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri setiap orang sejak ia dilahirkan. Hak ini merupakan anugerah Allah. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada kekuatan apapun yang bisa mengurangi atau mencabut hak tersebut. Menurut Abed al-Jabiri, istilah al ‘Alamiyyyah atau universal mengandung arti bahwa hak-hak tersebut ada dan berlaku bagi semua orang di mana saja, tanpa membedakan jenis kelamin, ras, status sosial, agama, dan sebagainya. Oleh sebab itu, HAM tidak terpengaruh oleh kebudayaan dan peradaban apapun, melintasi batas ruang dan waktu. HAM adalah hak setiap manusia karena dia melekat pada diri manusia.29

Salah satu hak paling asasi yang dimiliki oleh manusia sebagai anugerah Allah adalah kebebasan untuk memilih agama berdasarkan keyakinannya. Beragama adalah hal yang membedakan antara manusia dengan makhluk lain. Manusia diberi keleluasaan oleh Allah, apakah akan mengikuti petunjuk jalan-Nya atau jalan yang lain. Berdasarkan pilihannya, manusia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Prinsip kebebasan ini secara tegas disebutkan dalam QS. Al- Kahfi: 29.







































































29. dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang

29


(51)

43

gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.30

Inti paling utama dari Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diketahui adalah penghormatan martabat manusia, kemerdekaan (kebebasan) dan kesetaraan manusia. Penyataan mengenai poin-poin tersebut terkandung dalam al-Qur’an.

Pertama, tentang kehormatan martabat manusia. Al-Qur’an menegaskan:

































































70. dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.31

Mengenai prinsip manusia yang memegang kebebasan. Al-Qur'an menyebut manusia sebagai pemegang amanat Allah. (QS. al-Baqarah: 30, QS. al-Ahzab: 72). Dengan potensi akal pikiran inilah manusia menjadi makhluk yang bebas untuk menentukan sendiri nasibnya di dalam menjalani kehidupannya di dunia ini. Manusia menciptakan peradaban dan kebudayaan. Akan tetapi bersamaan dengan itu manusia juga harus menanggung risiko dan bertanggung jawab atas segala tindakannya. Ini menunjukkan bahwa kebebasan selalu mengandung makna tanggung jawab dan bersifat moral.

30 al-Qur’an, 18:29. 31


(1)

132

Ja’far, Suhermanto. Filsafat Perenial dan Titik Temu Agama-Agama. Surabaya: Elkaf, 2007.

Jatmiko, Dwi. “Kualitas Pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dalam

Meningkatkan Kepuasan Masyarakat (Studi Di Kecamatan Grobogan Kabupaten Grobogan)”, Skripsi tidak diterbitkan (Semarang: Universitas 17 Agustus 1945, 2012).

Khotimah, Darul. “Gerakan Jema’at Ahmadiyah Pasca Fatwa MUI dan SKB Tiga

Menteri”, Skripsi tidak diterbitkan (Surabaya: Unesa, 2011).

Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama, 1994.

Krishnaswami, Archot. Study of Discrimination in The Matter of Religious Rights and Practices. New York: United Nations,t.t.

Liliweri, Alo. Prasangka & Konflik; Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat

Multikultur. Yogyakarta: LKiS, 2005.

Locke, John. The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration. Oxford: Oxford University Press, 1964.

Manuaba, I. B. Putera. “Memahami Teori Konstruksi Sosial”, dalam Masyarakat

Kebudayaan dan Politik, Vol. 21 No. 3, 2008.

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004.

Mundari, Anisah. “Analisis Yuridis Pencantuman Agama dalam E-KTP (KTP

Elektronik)”, Skripsi tidak diterbitkan (Makassar: Program Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,2016).

Nasution, M. A. Azas-Azas Kurikulum. Bandung: Penerbit Terate, 1964. Nasution, M. A. Metode Research. Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2003.

Nurdjana, IGM. Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia.

Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Pierson,C. The Modern State: Second edition. London: Routledge,t.t.


(2)

133

Regina, Patty. “Penghapusan Kolom Agama dalam KTP”, Makalah tidak diterbitkan

(Jakarta,Universitas Indonesia, 2015).

Seiple, Chris. “Building Religious Freedom: A Theory of Change”, dalam The

Review of Faith & International Affairs (Fall 2012). t.k.: t.p.,2012. Silalahi, Ulber. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama, 2009.

Smith, Rhona K.M. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008.

Soetomo, Muntholib. Orang Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat

Terasing di Makekal, Provinsi Jambi, Skripsi tidak diterbitkan (Bandung: Universitas Padjadjaran, 1995).

Syafi’ie,M. “Ambiguitas Hak Kebebasan Beragama di Indonesia dan Posisinya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”, dalam Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia, t.k.: t.p., 2011.

Yentriyani, Andy. Laporan Hasil Pemantauan tentang Diskriminasi dan Kekerasan

terhadap Perempuan dalam Konteks Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Penghayat Kepercayaan/Penganut Agama Leluhur dan Pelaksana Ritual Adat. Jakarta: Komnas Perempuan, 2016. Ant,

http://nasional.harianterbit.com/nasional/2014/11/10/11203/0/20/Ombudsman-Pengosongan-Kolom-Agama-Bikin-Masalah-Baru “Ombudsman:

Pengosongan Kolom Agama Bikin Masalah Baru” (Kamis, 13 Juli 2017)

Arifin, Samsul. http://beritajatim.com/politik_pemerintahan/273294/mahfud_md:

_pancasila_berpaham_religious_nation_state.html “Mahfud MD: Pancasila

Berpaham Religious Nation State” (Selasa, 11 Juli 2017).

Bielefeldt, Heiner. http://www2.ohchr.org/english/issues/religion/ RapporteursDigest FreedomReligionBelief.pdf “Rapporteur’s Digest on Freedom of Religion or

Belief” (Selasa, 21 Maret 2017).Abdul Aziz, Deden.

http://www.tempo.co/read/news/2012/09/14/058429511/Warga-

Ahmadiyah-Diminta-TakCantumkan-Islam-di-KTP?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter “Warga Ahmadiyah

Diminta Tak Cantumkan Islam di KTP” (Senin, 10 Juli 2017).

e-dokumen.kemenag.go.id/files/WE8qkJdK1346383974.pdf (Rabu, 10 Mei 2017).

Gatra, Sandro. http://nasional.kompas.com/read/2013/09/30/1933299/Menag.

Tuding.Banyak.yang.Bermain.di.Islah.Sampang “Menag Tuding Banyak


(3)

134

Harsaputra, Indra dan Wahyoe Boediwardana. http://www.thejakartapost.com/news/

2012/05/23/sampang-court-rejects- shiite-cleric-s-objection.html “Sampang

court rejects Shiite cleric’s objection” (Senin, 10 Juli 2017).

Hidayat, Yayan

https://kumparan.com/yayan-hidayat/harapan-palsu-negara-dan-problem-pindah-keyakinan-suku-anak-dalam-sad “Harapan Palsu Negara

dan Problem Pindah Keyakinan Suku Anak Dalam (SAD)” (Selasa, 11 Juli 2017).

Hilmy, Masdar https://core.ac.uk/download/pdf/34212271.pdf “Agama dan Teologi

Tata kelola” (Selasa, 11 Juli 2017).

http://advokasi.elsam.or.id/assets/2015/09/000000_Kebebasan-Beragama-Berkeyakinan-Perspektif-Legal_Uli.pdf (Rabu, 10 Mei 2017).

http://metrotvnews.com/read/news/2012/02/11/81585/Tiga-Gereja-di-Bekasi-Disegel/6 “Tiga Gereja di Bekasi Disegel” (Senin, 10 Juli 2017)

http://setara-institute.org/wp-content/uploads/2015/09/Data-Pelanggaran-Hak-Asasi-Manusia-di-Indonesia.pdf (Senin, 10 Juli 2017).

http://www.bbc.com/indonesia/majalah-40304342 “Orang Rimba di Jambi: Masuk

Islam untuk dapat KTP” (Selasa, 11 Juli 2017)

http://www.kemendagri.go.id/news/2014/11/11/pemerintah-tidak-berniat-hapus-kolom-agama-di-e-ktp “Pemerintah tidak berniat hapus kolom agama di E

-KTP” (Selasa, 11 Juli 2017)

http://www.mediaindonesia.com/read/2012/01/25/293947/293/14/Menag-Tegaskan-Syiah-Bertentangan-dengan-Islam “Menag Tegaskan Syiah Bertentangan

dengan Islam” (Senin, 10 Juli 2017)

https://todaysworldnewsinfo.blogspot.co.id/2011/08/churches-cant-be-built-in-streets-with.html?m=0 “Churches Can’t Be Built in Streets With Islamic

Names: Bogor Mayor” (Senin, 10 Juli 2017)

Idris, Yusmandin.

http://www.tribunnews.com/regional/2012/11/17/dituduh-ajarkan-aliran-sesat-tgk-aiyub-hangus-dibakar-massa “Dituduh Ajarkan Aliran

Sesat, Tgk Aiyub Hangus Dibakar Massa” (Selasa, 11 Juli 2017).

Kemal Fasya, Teuku.


(4)

135

Malau, Ita Lismawati F. dan Riza Nasser. https://www.nahimunkar.com/siapakah-tgk- aiyub-penyebar-aliran-yang-diduga-sesat-di-bireuen-aceh-hingga-dibakar-massa/ “Siapakah Tgk Aiyub, Penyebar Aliran yang Diduga Sesat di Bireuen

Aceh hingga Dibakar Massa?” (Kamis, 3 Agustus 2017).

Marsuni, Lauddin.

http://rakyatsulsel.com/agama-dalam-perspektif-hukum-tata-negara.html “Agama Dalam Perspektif Hukum Tata Negara” (Rabu, 12 Juli 2017).

Mulia, Musdah. http://mujahidahmuslimah.com/beranda/images/upload/dok/

dehumanisme-politik-agama-di-Indonesia.pdf “Dehumanisme Politik

Agama di Indonesia” (Selasa, 11 Juli 2017).

Nivada, Aryos. http://www.imparsial.org/?option=com_kunena&Itemid=56&

direction=DESC&func=userlist&orderby=username “Desentralisasi Asimetris; Politik Aceh dan Papua” (Selasa, 11 Juli 2017).

Purnama, Deffan. http://www.tempo.co/read/news/2012/09/02/176426999

“Ahmadiyah dan Sunda Wiwitan Tidak Bisa Ikut E-KTP” (Senin, 10 Juli 2017).

Rochman, Fatchur.

https://constituendum.wordpress.com/2016/01/21/penghapusan-kolom-agama-dalam-ktp/ “Penghapusan Kolom Agama dalam KTP”

(Selasa, 11 Juli 2017).

Romli, Guntur, https://www.academia.edu/5965772/AHMADIYAH_DIMATA_NU “Ahmadiyah di Mata NU” (Rabu, 12 Juli 2017).

Taufiq, Fatkhurrohman

https://m.tempo.co/read/news/2012/08/27/058425750/rektor-iain-surabaya-syiah-sampang-bukan-aliran-sesat “Rektor IAIN Surabaya:

Syiah Sampang Bukan Aliran Sesat” (Rabu, 12 Juli 2017).

Taufiq, Rohman

https://m.tempo.co/read/news/2010/08/10/180270279/massa-fpi-dan-guib-surabaya-serang-masjid-ahmadiyah “Massa FPI dan GUIB Surabaya

Serang Masjid Ahmadiyah” (Rabu, 12 Juli 2017).

The Wahid Institute. http://wahidinstitute.org/v1/News/Detail/?id=447/hl=id/Menag_

Tegaskan_Syiah_Bertentangan_Dengan_Islam “Menag Tegaskan Syiah

Bertentangan dengan Islam” (Senin, 10 Juli 2017).

Wardah, Fathiyah.

http://www.voaindonesia.com/a/pengosongan-agama-di-ktp-diskriminasi/2515027.html “Pengosongan Agama di KTP Dinilai sebagai Bentuk Diskriminasi” (Jumat, 10 Maret 2017).


(5)

136

Persatuan Bangsa Bangsa. Kovenan Sipil dan Politik, Pasal 18.

Persatuan Bangsa-Bangsa. 1982. Article 55, UN Convention on the Law of The Sea (Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional) Tahun 1982.

Persatuan Bangsa-Bangsa. Deklarasi tentang Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agarna atau Kepercayaan.

Persatuan Bangsa-Bangsa. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, pasal 29. Republik Indonesia. 1945. Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28 E, 28 I. Jakarta. Republik Indonesia. 1945. Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28D, ayat 3. Jakarta. Republik Indonesia. 1945. Undang-Undang Dasar 1945, pasal 29, ayat 2. Jakarta. Republik Indonesia. 1945. Undang-Undang Dasar, pasal 29, ayat 1. Jakarta.

Republik Indonesia. 1945. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, pasal 1, ayat 3. Jakarta.

Republik Indonesia. 1945. Undang-Undang Dasar 1945, pasal 27, ayat 1. Jakarta. Republik Indonesia. 1965. Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965. Jakarta. Republik Indonesia. 1969. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969, penjelasan pasal

1. Jakarta.

Republik Indonesia. 1974. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Jakarta. Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Jakarta.

Republik Indonesia. 2000. Keppres No.6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967. Jakarta.

Republik Indonesia. 2000. Peraturan Pemerintah Nomor 6/2000 tentang pencabutan Inpres No. 14/1967 tentang pembatassan Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat China. Jakarta.

Republik Indonesia. 2005. Undang-undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Jakarta. Republik Indonesia. 2006. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam

Negeri (PBM) No. 9/2006, No. 8/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan


(6)

137

Umat Beragama dan Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama. Jakarta.

Republik Indonesia. 2006. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Jakarta.

Republik Indonesia. 2007. Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah. Jakarta.

Republik Indonesia. 2008. Surat Keputusan Bersama 3 Menteri No. 3/2008, No. 199 dan Kep-033/A/JA/6/2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau anggota anggota pengurus Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Jakarta.

Republik Indonesia. 2009. Peraturan Bersama. Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Nomor 43 Tahun 2009, Nomor 41 Tahun 2009. Jakarta.

Republik Indonesia. 2009. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 140/PUU-VII/2009. Jakarta.

Republik Indonesia. 2011. MPU, Surat Keputusan Nomor 451.5/002/2011 tentang kegiatan kelompok Tgk Aiyub Syahkubat. Jakarta.

Republik Indonesia. 2011. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor : 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia Di Jawa Barat. Bandung.

Republik Indonesia. 2011. Peraturan Walikota No. 40 Tahun 2011 tentang Pelarangan Kegiatan Ahmadiyah di Kota Bekasi. Bekasi.

Republik Indonesia. 2011. Surat Keputusan Gubernur nomor 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktivitas Ahmadiyah di Jawa Timur. Surabaya.

Republik Indonesia. 2012. Putusan PN SAMPANG Nomor 69/PID.B/2012/PN.Spg

Tahun 2012. Jakarta.

Republik Indonesia. 2013. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013. Jakarta. Republik Indonesia. 2013. UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU