BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sindrom Down - Gambaran Status Karies Gigi dan Status Gizi pada Anak Sindrom Down Usia 12-18 Tahun di SLB C Kota Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindrom Down

  John Langdon adalah seorang dokter dari Inggris yang pertama kali menggambarkan kumpulan gejala dari sindrom Down pada tahun 1866. Namun sebelumnya Esquirol pada tahun 1838 dan Seguin pada tahun 1846 telah melaporkan

  1 seorang anak yang mempunyai tanda-tanda mirip dengan sindrom Down.

  Gambar 1. Kromosom pada Sindrom

  13 Down

  Sindrom Down merupakan kelainan genetik (pada kromosom 21/trisomi 21) yang terjadi pada masa pertumbuhan janin dengan gejala yang sangat bervariasi mulai dari gejala minimal sampai muncul tanda khas berupa keterbelakangan mental. Anak dengan sindrom Down adalah individu yang dapat dikenali dari fenotipnya dan mempunyai kecerdasan terbatas yang terjadi akibat adanya jumlah kromosom 21 yang berlebih (Gambar 1). Materi genetik yang berlebih diperkirakan terletak pada bagian lengan bawah dari kromosom 21 dan interaksinya dengan fungsi gen lainnya yang menghasilkan suatu perubahan homeostasis yang memungkinkan terjadinya penyimpangan perkembangan fisik dan susunan saraf pusat.

  1,2

2.1.1. Etiologi

  Etiologi sindrom Down berkaitan dengan masalah non-disjunctional meliputi:

  1 1.

  Genetik. Bukti yang mendukung teori ini adalah berdasarkan atas hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan adanya peningkatan risiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan sindrom Down.

  2. Radiasi. Pada tahun 1981, Uchida menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan sindrom Down pernah mengalami radiasi didaerah perut sebelum terjadinya konsepsi.

  3. Infeksi.

  4. Autoimun. Pada penelitian Fialkow tahun 1966 mengemukakan bahwa adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang melahirkan anak dengan sindrom Down dengan ibu kontrol yang umurnya sama.

  5. Umur ibu. Perubahan endokrin seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan peningkatan secara tajam kadar Lueteinizing

  

Hormon (LH) dan Follicular Stimulating Hormon (FSH) secara tiba-tiba sebelum dan

selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya non-disjunction.

  6. Umur ayah. Penelitian sitogenetik pada orang tua dari anak dengan sindrom Down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya.

  Namun korelasinya tidak setinggi dengan umur ibu.

  Faktor lain seperti gangguan intragametik, organisasi nukleolus, bahan kimia,

  1 dan frekuensi koitus masih didiskusikan sebagai penyebab dari sindrom Down juga.

2.1.2. Kondisi Fisik

  Anak sindrom Down ditandai dengan kranium kecil, bagian anteroposterior yang mendatar, jembatan hidung yang datar, lipatan epikantus, ruas-ruas jari pendek, jarak yang lebar antara jari tangan dan kaki pertama dan kedua, dan retardasi mental sedang sampai berat. Selain itu pada anak sindrom Down juga ditemukan adanya keterbatasan intelektual, pertumbuhan yang lambat, masalah pada penglihatan dan

  

3,14

pendengaran serta gangguan pada jantung.

  Kecepatan pertumbuhan fisik anak dengan sindrom Down lebih rendah bila dibandingkan dengan anak normal (Gambar 2). Perlu dilakukan pemantauan pertumbuhan secara berkelanjutan karena pada anak sindrom Down sering disertai adanya hipotiroid. Jika pertumbuhannya kurang dari yang diharapkan, sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar hormon tiroid. Selain itu pada anak sindrom Down juga disertai masalah pada saluran pencernaan atau dengan penyakit jantung bawaan yang berat serta badan yang lebih pendek bila dibandingkan dengan anak sindrom Down

  1 yang tanpa komplikasi.

  Perkembangan anak sindrom Down juga cenderung lebih lambat dari anak yang normal. Beberapa faktor seperti kelainan jantung kongenital, hipotonia yang berat, serta masalah biologis atau lingkungan lainnya dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan motorik dan keterampilan untuk menolong diri sendiri. Sebaliknya anak yang mendapat program intervensi dini, orang tua yang memberi lingkungan yang mendukung, serta tanpa adanya kelainan jantung bawaan, maka

  1 perkembangan anak menunjukkan kemajuan yang relatif pesat.

  Perilaku anak sindrom Down pada awal kehidupannya tidak menunjukkan temperamen yang berbeda dengan anak yang normal. Demikian pula perilaku sosial anak sindrom Down mempunyai pola interaksi yang sama dengan anak normal seusianya. Walaupun tingkat responnya berbeda secara kuantitatif tetapi polanya

  1 hampir sama.

  (a) (b)

  1 Gambar 2.Rata-rata (a) Tinggi Badan dan (b) Berat Badan Anak Sindrom Down

2.1.3. Kondisi Rongga Mulut

  Adapun karakteristik khas pada rongga mulut anak sindrom Down antara lain adanya gigitan terbuka, macroglossia, bibir dan lidah yang berfisur, angular cheilitis, terlambatnya erupsi gigi, oligodontia, microdontia, bruxism, kebersihan rongga mulut yang buruk, tingginya insidensi penyakit periodontal, dan rendahnya insidensi karies gigi. Bell, Kaidonis, dan Towsend melaporkan bahwa atrisi dan erosi gigi cenderung

  15 lebih besar terjadi pada anak sindrom Down daripada anak normal.

  Anak sindrom Down yang bebas karies memiliki jumlah Streptococcus

  

mutans yang cenderung lebih rendah dan jumlah saliva yang cenderung lebih tinggi

  sehingga konsentrasi IgA pun tinggi. Rendahnya prevalensi karies pada anak sindrom Down dihubungkan terhadap keterlambatan erupsi gigi permanen, kehilangan gigi akibat kongenital, pH saliva yang tinggi, mikrodonsia, adanya jarak antar gigi, dan

  16,17 fisur yang dangkal.

2.2 Karies Gigi

  Karies gigi adalah suatu proses kronis dan regresif yang dimulai dengan larutnya mineral enamel sebagai akibat terganggunya keseimbangan antara enamel dan sekelilingnya yang disebabkan oleh pembentukan asam mikrobial dari substrat

  (medium makanan bagi bakteri). Kemudian timbul destruksi komponen-komponen

  19,20 organik dan akhirnya terjadi kavitas (pembentukan lubang).

  Beberapa jenis karbohidrat makanan seperti sukrosa dan glukosa dapat diragikan oleh bakteri tertentu dan membentuk asam sehingga pH plak akan menurun sampai di bawah 5 dalam tempo 1-3 menit. Penurunan pH yang berulang-ulang dalam waktu tertentu akan mengakibatkan demineralisasi permukaan gigi yang rentan dan proses karies pun dimulai. Paduan keempat faktor penyebab tersebut digambarkan sebagai suatu lingkaran yang bersitumpang (Gambar 4). Karies hanya

  20 dapat terjadi hanya kalau keempat faktor tersebut ada.

  Gambar 3. Empat Lingkaran yang Menggambarkan Paduan Faktor

  20 Penyebab Karies

  20 Adapun faktor risiko terjadinya karies meliputi: 1.

  Pengalaman karies. Penelitian epidemiologis telah membuktikan adanya hubungan antara pengalaman karies dengan perkembangan karies di masa mendatang. Prevalensi karies pada gigi sulung dapat memprediksi karies pada gigi permanennya.

  2. Penggunaan fluor. Pemberian fluor yang teratur baik secara sistemik maupun lokal merupakan hal yang penting diperhatikan dalam mengurangi terjadinya karies karena fluor dapat meningkatkan remineralisasi.

  3. Oral hygiene. Insiden karies dapat dikurangi dengan melakukan penyingkiran plak secara mekanis dari permukaan gigi. Peningkatan oral hygiene dapat dilakukan dengan menggunakan alat pembersih interdental yang dikombinasikan dengan pemeriksaan gigi secara teratur.

  4. Jumlah bakteri.

  5. Saliva. Saliva berguna untu membersihkan sisa-sisa makanan dan mempunyai efek buffer di dalam rongga mulut. Pada individu dengan fungsi saliva yang berkurang akan menyebabkan aktivitas karies meningkat secara signifikan.

  6. Pola makan. Pengaruh pola makan dalam proses karies umumnya lebih bersifat lokal daripada sistemik terutama dalam hal frekuensi mengonsumsi makanan.

  7. Umur. Penelitian epidemiologis menunjukkan terjadi peningkatan prevalensi karies sejalan dengan bertambahnya umur. Gigi yang paling akhir erupsi lebih rentan terhadap karies. Kerentanan ini meningkat karena sulitnya membersihkan gigi yang sedang erupsi sampai gigi tersebut mencapai dataran oklusal dan beroklusi dengan gigi antagonisnya.

  8. Jenis kelamin. Perempuan mempunyai nilai DMFT yang lebih tinggi daripada pria. Umumnya oral hygiene perempuan lebih baik sehingga komponen gigi yang hilang (missing) yang lebih sedikit daripada pria.

  9. Sosial ekonomi. Skor filling lebih banyak dijumpai pada kelompok pendidikan tinggi, sedangkan skor decayed dan missing lebih banyak pada kelompok pendidikan rendah.

2.2.1. Indeks Karies

  Indeks karies adalah ukuran yang dinyatakan dengan angka dari keadaan suatu golongan/kelompok terhadap karies gigi. Ukuran-ukuran ini dapat digunakan untuk mengukur derajat keparahan karies gigi mulai dari yang ringan sampai berat. Ada beberapa indeks karies yang biasa digunakan seperti indeks Klein dan indeks WHO, namun belakangan ini diperkenalkan indeks Significant Caries (SiC) untuk melengkapi indeks WHO sebelumnya. Pada penelitian ini akan digunakan indeks DMFT WHO.

21 Indeks DMFT WHO bertujuan untuk menggambarkan pengalaman karies

  seseorang atau suatu populasi. Semua gigi diperiksa kecuali gigi molar tiga karena biasanya gigi tersebut sudah dicabut dan kadang-kadang tidak berfungsi. Indeks ini dibedakan atas indeks DMFT yang digunakan untuk gigi permanen pada orang dewasa dan deft untuk gigi sulung pada anak-anak. Pemeriksaan harus dilakukan dengan menggunakan kaca mulut datar.

  21

2.3 Status Gizi

  2. Akseptabilitas (daya terima), menyangkut penerimaan atau penolakan terhadap makanan yang terkait dengan cara memilih dan menyajikan makanan.

  3. Prasangka buruk pada bahan makanan tertentu, seperti anggapan yang keliru bahwa terong dapat berdampak buruk karena menyebabkan tubuh lemas.

  Produk pangan (jumlah dan jenis makanan).

  5. Kesukaan terhadap jenis makanan tertentu.

  6. Kebiasaan makan.

  7. Selera makan.

  8. Sanitasi makanan (penyiapan, penyajian, penyimpanan).

  9. Pengetahuan gizi.

  22 1.

  Status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi:

  4. Pantangan pada makanan tertentu.

  Gangguan gizi dapat disebabkan oleh faktor primer maupun sekunder. Faktor primer meliputi susunan makanan seseorang yang salah dalam kuantitas dan atau kualitas yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, kurang baiknya distribusi pangan, kemiskinan, dan sebagainya. Faktor sekunder meliputi semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai ke sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi yaitu faktor-faktor yang menyebabkan terganggunya pencernaan seperti

  23 gigi-geligi yang tidak baik, kelainan struktur saluran cerna, dan kekurangan enzim.

2.3.1 Pemeriksaan Antropometri

  Secara umum antropometri berarti ukuran tubuh manusia. Jika ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot,

  24 dan jumlah air dalam tubuh.

  Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter merupakan ukuran tunggal dari tubuh manusia meliputi: 1.

  Umur. Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat menjadi tidak berarti bila tidak disertai

  24 dengan penentuan umur yang tepat.

2. Berat badan.

  Berat badan dapat menggambarkan jumlah protein, lemak, air, dan mineral pada tulang. Berat badan digunakan sebagai indikator untuk mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang anak, sensitif terhadap perubahan, pengukuran objektif, dan dapat menggunakan timbangan apa saja yang relatif murah, mudah, serta tidak memerlukan banyak waktu. Indikator berat badan memiliki kelemahan yaitu tidak

  1,24 sensitif terhadap proporsi tubuh seperti pendek gemuk atau tinggi kurus.

  3. Tinggi badan. Ukuran tinggi badan pada masa pertumbuhan meningkat terus sampai mencapai tinggi maksimal. Keuntungan indikator tinggi badan ini adalah pengukurannya yang objektif dan dapat diulang, alat dapat dibuat sendiri, murah, dan mudah dibawa. Tinggi badan juga merupakan indikator yang baik untuk gangguan pada masa pertumbuhan fisik yang sudah lewat (stunting) dan sebagai perbandingan terhadap perubahan-perubahan relatif seperti terhadap nilai berat badan dan lingkar lengan atas. Kerugian indikator tinggi badan adalah perubahan tinggi badan yang relatif lambat, sukar mengukur tinggi badan yang tepat, dan kadang-kadang

  1 diperlukan lebih dari seorang tenaga.

  4. Lingkaran lengan atas. Lingkaran lengan atas mencerminkan tumbuh kembang jaringan lemak dan otot yang tidak terpengaruh banyak oleh keadaan cairan tubuh dibandingkan dengan

  1 berat badan.

  5. Lingkaran kepala. Lingkaran kepala mencerminkan volume intrakranial. Parameter ini

  1 digunakan untuk memperkirakan pertumbuhan otak.

  6. Lipatan kulit. Tebalnya lipatan kulit pada daerah triseps dan subskapular merupakan refleksi tumbuh kembang jaringan lemak di bawah kulit yang mencerminkan kecukupan

  1 energi.

2.3.2 Indeks Antropometri

  Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), lingkaran lengan atas menurut umur (LLA/U), indeks massa tubuh (IMT), dan sebagainya. Pada penelitian ini indeks antropometri yang digunakan adalah indeks massa tubuh (IMT)

  24 anak yaitu indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U).

  Indeks massa tubuh (IMT) merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi seseorang khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat

  24

  badan. Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut: Berat Badan (kg)

  Indeks Massa Tubuh = Tinggi Badan (m) × Tinggi Badan (m)

  Ambang batas IMT/U ditentukan dengan merujuk Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2010 yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan usia 5-18 tahun. Ambang batas IMT/U ini dengan memperhatikan Z scores atau standar deviasi (SD). Z scores merupakan indeks antropometri yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi dan pertumbuhan

  25,26 yang dinyatakan dalam satuan standar deviasi (SD) populasi rujukan.

  Tabel 1. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks

  

25

Massa Tubuh menurut Umur

  Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z scores) Indeks Massa Sangat Kurus <-3 SD Tubuh menurut Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD Umur (IMT/U) Normal -2 SD sampai dengan 1 SD Anak Umur 5-18

  Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD Tahun

  Obesitas >2 SD

2.4 Kerangka Teori

  Anak Sindrom Down Kondisi Rongga Mulut Kondisi Fisik

  Maloklusi Karakteristik Fisik Jaringan Lunak Perkembangan Anak

  Jaringan Keras Gigi Pertumbuhan Fisik Status Karies Gigi Status Gizi

2.5 Kerangka Konsep

  Status Karies Indeks DMFT WHO

  • Sindrom Down Usia -

  Jenis Kelamin

  • Status Gizi Indeks Massa Tubuh menurut Umur -