BAB II RESTORATIVE JUSTICE DAN DIVERSI - Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

BAB II RESTORATIVE JUSTICE DAN DIVERSI MENURUT SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012

  • A. Pengertian Restorative Justice dan Diversi Menurut Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

1. Restoratife Justice

  Konsep asli praktek keadilan restorative berasal dari praktik pemelihara perdamaian yang digunakan suku bangsa Maori, penduduk asli Selandia Baru Menurut Helen Cowie keadilan restorative pada intinya terletak pada konsep

  53

  komunitas yang peduli dan inklusif. Bilamana timbul konflik, praktek restorative justice akan menangani pihak pelaku, korban, dan para stakebolders komunitas

  54 tersebut, yang secara kolektif memecahkan masalah.

  Peradilan anak model restorative juga berangkat dari asumsi bahwa anggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensi anak tidak efektif tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat.

  Prinsip yang menjadi dasar adalah bahwa keadilan paling baik terlayani apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan

  55 dalam proses peradilan.

53 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hlm.196

  Helen Cowie dan Dawn Jennifer mengidentifikasikan aspek-aspek utama keadilan restoratife sebagai berikut

  56

  :

  a. Perbaikan , bukanlah tentang memperoleh kemenangan atau menerima kekalahan, tudingan, atau pembalasan dendam, tetapi tentang keadilan.

  b. Pemulihan hubungan , bukan bersifat hukuman para pelaku criminal memikul tanggung jawab atas kekeliruan dan memperbaikinya dengan sejumlah cara , tetapi melalui proses komunikasi yang terbuka dan langsung, antara korban dan pelaku criminal, yang berpotensi mengubah cara berhubungan satu sama lain.

  c. Reintegrasi, pada tingkatnya yang terluas, memberikan arena tempat anak dan orang tua dapat memperoleh proses yang adil. Maksudnya agar mereka belajar tentang konsekuensi kekerasan dan kriminalias serta memahami dampak perilaku mereka terhadap orang lain.

  Howar Zehr membedakan retributive justice dengan restorative justice sebagai berikut:

57 Dalam Retributive Justice:

  2. Fokus pada menjatuhkan hukuman

  11. Proses sangat rasional Dalam Restorative Justice

  5. Pelaku di dorong untuk bertanggung jawab 56 Ibid. 57 Rena Yulia, Viktimologi: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu,

  4. Hak dan kebutuhan korban diperhatikan

  3. Memperbaiki kerugian

  2. Fokus pada pemecahan masalah

  1. Kejahatan adalah perlukaan terhadap individu dan/atau masyarakat

  58 :

  10. Proses bergantung pada aparat

  3. Menimbulkan rasa bersalah

  9. Tidak di dukung untuk menyesal dan dimaafkan

  8. Stigma tidak terhapuskan

  7. Respon terpaku pada prilaku masa lalu pelaku

  1. Kejahatan adalah pelanggaran sistem

  5. Pelaku pasif

  4. Korban diabaikan

  6. Pertanggung jawaban pelaku adalah hukuman

  6. Pertanggung jawaban pelaku adalah menunjukan empati dan menolong untuk memperbaiki kerugian.

  7. Respon terpaku pada prilaku menyakitkan akibat prilaku-prilaku

  8. Stigma dapat hilang melalui tindakan yang tepat

  9. Didukung agar pelaku menyesal dan maaf dimungkinkan untuk diberikan oleh korban

  10. Proses bergantung pada keterlibatan orang-orang yang terpengaruh oleh kejadian.

  11. Dimungkinkan proses menjadi emosional Model keadilan restorative lebih pada upaya pemulihan hubungan pelaku dan korban, misalnya, seseorang mencuri buku professor, proses keadilannya adalah begaimana cara dan langkah apa agar persoalan bisa selesai sehingga hubungan baik antara orang tersebut dan professor berlangsung seperti semula tanpa ada yang

  59

  dirugikan. Keadilan retributive, masyarakat tidak dilibatkan karena sudah diwakilkan pengacara, sementara alam keadilan restrorative masyarakat dilibatkan melalui tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kewibawaan dalam lingkungan

  60 tersebut, misalnya tokoh agama, orang berpengaruh, dan sebagainya.

  Menurut Agustinus Pohan, Restorative Justice adalah sebuah pendekatan untuk membuat pemindahan dan pelembagaan menjadi sesuai dengan keadilan.

  

Restorative Justice dibangun atas dasar nilai-nilai tradisional komunitas yang positif

  61 dan sanksi-sanksi yang dilaksanakan menghargai hak asasi manusia (HAM).

  Prinsip-prinsip Restorative Justice adalah, membuat pelaku bertanggung jawab untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya sebaik dia mengatasi rasa bersalahnya dengan cara yang konstruktif, melibatkan korban, orang tua, keluarga, 59 Hadi Supeno, op.cit., hlm.165. sekolah atau teman bermainnya, membuat forum kerja sama, juga dalam masalah

  62 yang berhubungan dengan kejahatan untuk mengatasinya.

  Watchel dan McCold yang banyak melakukan praktik keadilan restorative di lingkungan sekolah, mengonseptualkan kerangka kultur yang adil dan setara beradasarkan hubungan yang positif dan penuh kepedulian, sebagaimana ditunjukkan dalam skema 1 tentang Pembuatan Kerangka bagi Praktek Keadilan Restoratif.

  63

  . Pembuatan Kerangka bagi Praktik Keadilan Restoratife

   Tinggi Bersifat memulihkan Bersifat Menghukum (Kolaboratif/integrasi) (otoriter/mencela aib) Kontrol (penetapan

  batasan,akuntabilitas)

   Bersifat Lalai Bersifat Membebaskan (acuh tak-acuh/pasif) (terapeutik/melindungi)

Rendah Tinggi

  Gambar tersebut, tentang poros vertical merujuk pada batas yang perlu guna mempertahankan struktur yang baik dalam komunitas (sekolah, masyarkat) seutuhnya sementara pada poros horizontal merujuk pada dukungan emosi dan pengasuhan yang

  64 dibutuhkan komunitas dan individu di dalamnya.

a. Praktik yang kekurangan struktur dan dukungan dianggap sebagai lalai (tidak melibatkan siapa pun ketika terjadi delikuensi anak).

  b. Praktik yang memiliki pengendalian yang tinggi , tetapi dukungan rendah, bersifat menghukum (menerapkan kekuasaan terhadap orang banyak dengan cara menuduh para peserta dalam kekerasan dan dengan demikian melanggengkan kultur menyalahkan dan mencela aib.

  c. Praktik yang pengendaliannya rendah dan dukungannnya tinggi dirasakan sebagai sesuatu yang bersifat pasrah ( melakukan hal-hal bagi orang,tetapi pada saat sama tidak memberdayakan merekan dan tidak menantang mereka, jadi mereka tidak belajar secara proaktif dalam menantang

  65 kekerasan).

  d. Praktik yang mempertahankan standar perilaku dan batasan yang tinggi, dan pada saat yang bersamaanjuga bersifat mendukung, dirasakan sebagai

  restoratif (disini sekolah bekerja sama dengan orang dan dengan demikian

  turut menciptakan kultur kerja sama dan memfasilitasi perasaan tanggung

  66 jawab dan kepemilikan pada komunutas).

64 Ibid.

  Muladi mengungkapkan bahwa dalam keadilan restrorative korban diperhitungkan martabatnya. Pelaku harus bertanggung jawab dan diintegrasikan kembali kedalam komunitasnya. Pelaku dan korban berkedudukan seimbang dan

  67 saling membutuhkan karena itu harus dirukunkan.

  Mantan Ketua Mahkamah Agung RI Bagir Manan berpandangan, dalam keadilan restoratife perkara harus diubah, bukan lagi demi kepentingan ketertiban, melainkan demi kepentingan korban beserta pemulihan segi materi dan psikisnya. Intinya, bagaimanana menghindarkan pelaku dari pemenjaraan, tetapi tetap

  68 bertanggung jawab.

  Menurut Pasal 1 angka (6) Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak , Keadilan Restoratif adalah penyelesain perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama

  • –sama mencari penyelesaian yang adil dengan

  69 menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

  Peradilan pidana anak dengan keadilan restoratif bertujuan untuk: 1) Mengupayakan perdamaian antara korban dan anak; 2) Mengutamakan penyelesaian di luar proses peradilan; 3) Menjauhkan anak dari pengaruh negative proses peradilan;

67 Muladi, KKR dan Keadilan Restoratif ,”Kompas Cyber Media, 21 April 2005.

  4) Menanamkan rasa tanggung jawab anak; 5) Mewujudkan kesejahteraan anak; 6) Menghindarkan anak dari perampasan kemedekaan; 7) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; 8) Meningkatkan keterampilan hidup anak.

  Sebenarnya dalam UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, sudah ada upaya pengubahan paradigma pemidanaan anak di Indonesia, yang bukan lagi di tujukan intuk memberikan pembalasan (dalam pandangan retributif), tetapi lebih

  70 diarahkan pada proses pembinaan agar masa depannya menjadi lebih baik.

  Paradigma ini dirasakan tidak cukup karena perkembang lebih jauh dari aturan dalm undang-undang pengadilan anak dimana paradigma yang berkembang kemudian bukan lagi sekedar mengubah jenis pidana menjadi jenis pidana yang bersifat mendidik, tetapi seminimal mungkin memasukkan anak ke dalam proses peradilan anak.

  Pemahaman bahwa menjauhkan anak dari proses peradilan pidana menjadi lebih penting karena hal ini merupakan bagian upaya perlindungan hak asasi anak yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak pasal 37 (b) The Beijing Rules (Butir 13.1 dan 2). Pasal 40 dan Beijing Rules (Butir 6 dan Butir 11. 1, 2, 3 dan 4) diberikan

  71 peluang bagi dilakukannya diversi.

  Pengalihan perkara oleh polisi dan penuntut umum serta pejabat lain yang berwenang untuk menjauhkan anak dari proses peradilan formil, penahanan, atau pemenjaraan. Program divesi ini dilakukan dengan menempatkan anak dibawah pengawasan badan - badan sosial tertentu yang membantu pelaksanaan sistem

  72 peradilan pidana anak sebagaimana disebut dalam Undang - Undang.

  Pasal 5 Ayat (1) Undang- undang No 11 Tahun 2012” Sistem Peradilan Pidana

  73 Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.

  Ide mengenai restorative justice masuk dalam Pasal 5, bahwa sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif ayat (1), yang meliputi :

  a. Penyidikan dan penututan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang - undang ini;

  b. Persidangan anak dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum;

  c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana, tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.

2. Pengertian Diversi Dalam Undang

  71 – Undang Nomor 11 Tahun 2012 Ibid.

  Ide diversi pada mulanya dirancangkan dalam United Nations Standard

  

Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) yang disebut The

  Beijing Rules. Prinsip-prinsip Diversi Menurut The Beijing Rule 11 adalah

  74

  :

  a. Diversi dilakukan setelah melihat pertimbangan yang layak, yaitu penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan lembaga lainnya) diberi kewenangan untuk menangani pelanggar - pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal.

  b. Kewenangan untuk menentukan Diversi diberikan kepada aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan lembaga lain yang sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing- masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam The Beijing Rules.

  c. Pelaksanaan Diversi harus dengan persetujuan anak, atau orang tua walinya, namun demikian keputusan pelaksanaan Diversi setelah ada kajian oleh pejabat yang berwenang atas permohonan Diversi tersebut.

  d. Pelaksanaan Diversi memerlukan kerja ama dan peran masyarakat,sehubungan dengan adanya program Diversi seperti : Pengawasan, bimbingan sementara, pemulihan, dan ganti rugi kepada korban.

  Diversi, merupakan pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan - tindakan kebijaksanaan dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal antara lain menghentikan atau tidak meneruskan, melepaskan dari proses peradilan pidana atau mengembalikan, menyerahkan kepada masyarakat.

  75 Dan dapat diserahkan

  kepada tempat - tempat sosial atau pelayanan sosial lainnya. Penerepan Diversi dapat diterapkan di semua tingakat pemeriksaan, dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatife keterlibatan anak dalam proses peradilan tersebut

  Di Indonesia, istilah Diversi pertama kali dimunculkan dalam perumusan hasil seminar nasional peradilan anak yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum

  76 Universitas Padjajaran Bandung tanggal 5 Oktober 1996. Perumusan hasil seminar

  tersebut tentang hal- hal yang disepakati,antara lain”Diversi”, yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau mengalihkan atau tidak meneruskan pemeriksaan perkara

  77

  dan pemeriksaan terhadap anak selam proses pemeriksaan di muka sidang, Kebijakan legislative tentang perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengn hukum melalui diversi dalam sistem peradila anak adalah dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Diversi dalam

  78 sistem peradilan pidan anak.

  Diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada tanggal 30 Juli 2012, maka Indonesia sudah secara sah memiliki suatu peraturan yang memberi perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan denagn hukum dengan salah satu metodenya adalah

79 Diversi. Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum

  menerapkan lembaga Diversi dalam rumusannya. Menyebabkan banyak perkara pidana bermuara dari tindak kenakalan anak yang sifatnya Juneville Delinquency semata, yang seharusnya tidak perlu proses sampai ke ranah pidana .

  76 77 Romli Atmasasmita,op.cit.,hlm.201 Ibid.

  Undang-Undang NO.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Diversi sudah merupakan suatu kesatuan dalam proses pidana anak. Hal ini menarik karena sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) banyak menangani kasus anak dan sudah menggunakan ide Diversi ini sebagai salah satu cara

  80 penyelesaian kasus anak sebelum Undang-Undang No.11 Tahun 2012 berlaku.

  KPAI menggunakan dasar Undang - Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagai dasar melaksanakan Diversi.

  Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak piada tertentu dari proses pidana formal ke penyelesain damai antara tersangka, terdakwa, pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan atau masyarakat, Pembimbingan Kemasyarakatan Anak, polisi, jaksa

  81 atau hakim.

  Pada pasal 6 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan tujuan diversi, yakni antara lain : a. Mencapai perdamain antara korban dan anak;

  b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan

  c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;

  d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

  Tujuan diversi tersebut merupakan implementasi dari keadilan restoratif yang berupaya mengembalikan pemulihan terhadap sebuah permasalahan, bukan sebuah pembalasan yang selama ini dikenal dalam hukum pidana.

  Kewajiban mengupayakan diversi dari mulai penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri, dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

  82 a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun.

  83 b. bukan merupakan pengulanagn tindak pidana.

  Ketentuan ini menjelaskan bahwa anak yang melakukan tindak pidana yang ancamannya lebih dari 7 (tujuh) tahun dan merupakan sebuah pengulangan maka tidak wajib diupayakan diversi, hal ini memang penting mengingat kalau ancaman hukuman lebih dari 7 (tujuh tahun) tergolong pada tindakan pidana berat,dan merupakan suatu pengulanagn, artinya anak pernah melakukan tindak pidana baik itu sejenis maupun tidak sejenis termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui diversi. Pengulangan tindak pidana oleh anak, menjadi bukti bahwa tujuan diversi tidak tercapai yakni menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang berupa tindakan pidana. Upaya diversi terhadapnya bisa saja tidak wajib diupayakan.

  Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua atau walinya, korban dan atau orang tua atau walinya, pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan

84 Restoratif. Musyawarah tersebut juga dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan atau masyarakat.

  

85

Proses diversi sendiri wajib memperhatikan:

  a. kepentingan korban;

  b. kesejahteraan dan tanggung jawab anak;

  c. penghindaraan stigma negative;

  d. penghindaran pembalasan;

  e. keharmonian masyarakat;dan f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

  Pada proses penegakan hukum pidana anak, maka aparat baik itu penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan kategori tindak pidana , umur anak, hasil pnelitian kemasyarakatan dari Bapas dan

  86 dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

B. Analisis Yuridis Putusan Nomor : 06/PID.SUS- ANAK/2014/PN.MDN

  Putusan yang dijatuhkan hakim terhadap Muhammad Fadil Als Rangga yang melakukan tindak pidana penggelapan yang berusia 17 Tahun dijatuhi hukuman 11 bulan oleh Pengadilan Negeri Medan , pada tanggal 1 September 2014. Pasal yang 84 Pasal 8 ayat (1) UU Sistem Peradilan Pidana Anak dilanggar adalah Pasal 372 KUHP tentang tindak pidana penggelapan , dengan ancaman maksimal 4 tahun sebagai pelaku tindak pidana.

  Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU SPPA disebutkan bahwa Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan

  87 semula, dan bukan pembalasan.

  Pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Keadilan

  88 restoratif yang dimaksud dalam UU SPPA adalah kewajiban melaksanakan Diversi.

  Dalam pasal 7 UU SPPA disebutkan bahwa : Ayat (1) “Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi”.

  Ayat (2) “Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan : 1. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan 2. bukan merupakan pengulang an tindak pidana”.

  Terkait dengan itu, dalam mengakomodir prinsip-prinsip perlindungan anak terutama prinsip non diskriminasi yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disingkat UU SPPA) yang merupakan pergantian terhadap Undang- undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah mengatur secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigma terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan si anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

  Putusan yang dijatuhkan hakim sama sekali tidak menerapkan adanya Restoratif Justice dan Diversi yang tercantum dalam Pasal 1 angka (6) dan Pasal 7 ayat (2) Undang

  • – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem peradilan Anak, pada tahap awal hingga ke persidangan konsep diversi dalam UU SPPA belum diterapkan dan vonis hakim tetap mempergunakan pendekatan UU Pengadilan Anak, ini menunjukkan bahwa konsep keadilan restoratif juga masih belum sepenuhnya dipahami oleh penegak hukum. Penerapan diversi merupakan suatu kewajiban, maka menjadi penting bagi pejabat dalam setiap tingkat pemeriksaan untuk benar-benar memahami bagaimana mekanisme penerapan diversi tersebut.

  Hambatan Tidak diterapkannya Pendekatan Restoratif Justice dan Diversi (Putusan Nomor : 06/PID.SUS-ANAK/2014/PN.MDN), walaupun keadilan Restoratif Justice dan Diversi sudah mulai dikenal sebagai alternatif penanganan anak berhadapan dengan hukum dari peradilan pidana dan mulai mendapatkan dukungan banyak pihak masih banyak hambatan yang dihadapi oleh sistem peradilan anak.

  Terdapat faktor – faktor penghambat terhadap upaya implementasi restoratife justice dan diversi dalam sistem peradilan pidana anak Indonesia saat ini.

  89

1. Hambatan Internal dalam putusan Nomor : 06/PID. SUS.ANAK/2014/ PN.MDN

  Terdapat hambat Internal belum diterapkannya konsep keadilan restoratif justice dan diversi dalam putusan Nomor : 06/PID.SUS.ANAK/2014/PN.MDN a. Kebutuhan yang semakin meningkat tidak sebanding dengan sumber daya (baik personel maupun fasilitas).

  b. Pemahaman yang berbeda dalam penanganan anak berhadapan dengan hukum dan korban di antara aparat penegak hukum.

  c. Kurangnya kerja sama antara pihak yang terlibat (aparat penegak hukum dan pekerja sosial anak).

  d. Permasalahan etika dan hambatan birokrasi dalam penukaran data dan informasi antara aparat penegak hukum.

  e. Koordinasi antara aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat, Bapas, Rutan, Lapas) masih tersendat karena kendala ego sektoral atau belum adanya sosialisasi terhadap Restoratif Justice dan Diversi. f. Belum ada persamaan persepsi antar-aparat penegak hukum mengenai penanganan anak berhadapan dengan hukum untuk kepentingan terbaik bagi anak.

  g. Terbatasnya sarana dan prasarana penanganan anak berhadapan dengan hukum selama proses pengadilan (pra dan pasca putusan pengadilan) .

  h. Kurangnya kebijakan formulasi untuk melaksanakan proses rehabilitasi sosial anak nakal dalam hal ini Departemen social atau Organisasi sosial kemasyarakat yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja sehingga dapat dikirim ke panti sosial untuk dibina secara khusus diberi pemulihan mental dan perilaku. i. Kurangnya perlindungan anak yang melakukan tindak pidana namun kehendak demikian tidaklah mudah dilakukan karena kerena ketentuan dalam sistem pemasyakatan anak saat ini tidak memberi peluang yang demikian. j. Pandangan penegak hukum sisem peradilan pidana anak masih berpangkal pada tujuan pembalasan atas perbuatan jahat pelaku anak, sehingga hakim akan menjatuhkan pidana semata – mata diharapkan agar anak jera dan tidak mengulanginya lagi.

2. Hambatan Eksternal dalam Putusan Nomor : 06/PID.SUS-ANAK/2014/ PN.MDN

  

Penerapkan sistem Restoratif Justice dan Diversi masih banyak hambatan a. Ketiadaan Payung Hukum Belum adanya payung hukum menyebabkan tidak semua pihak memahami implementasi keadilan restorative dengan tujuan pemulihan bagi pelaku, korban, dan masyarakat. Akibatnya sering ada pihak-pihak yang mengintervensi jalanya proses mediasi. Banyak pihak yang belum memahami prinsip dalam ketentuan pasal 16 ayat (3) Undang – Undang tentang perlindungan anak yang menyebutkan bahwa penangkapan, penahanan, penjatuhan hukuman pidana bagi anak adalah upaya terakhir. Selain itu Undang

  • – Undang tentang Pengadilan Anak saat ini tidak memberikan ruang yang cukup bagi implementasi ide diversi. Namun demikian sebenarnya jika melihat pada Undang – Undang Hak Asasi Manusia, Undang –

  Undang Perlindungan Anak, dan Keputusan Presiden tentang Pengesahan Hak – Hak Anak, terdapat ketentuan yang mengarah dan menghendaki implementasi diversi.

  Patut disayangkan karena penegak hukum cenderung melalaikan hal tersebut.

  b. Inkonsistensi penerapan peraturan Belum adanya payung hukum sebagai landasan dan pedoman bagi semua lembaga penegak hukum, inkonsistensi penerapan peraturan di lapangan dalam penanganan anak berhadapan dengan hukum masalah yang paling sederhana dapat dilihat pada beragamnya batasan yang menjadi umur minimal seorang anak pada peraturan-peraturan yang terkait. Akibatnya aparat penegak hukum membuat putusan yang tidak konsisten dalam kasus anak berhadapan dengan hukum yang memiliki kemiripan unsur-unsur perbuatan. c. Kurangnya dukungan dan kerjasama antar lembaga Masalah ini merupakan hambatan yang lain yang masih banyak terjadi dalam menegakkan suatu ketentuan hukum, termasuk penanganan anak berhadapan dengan hukum banyak kalangan professional hukum yang masih menganggap mediasi sebagai metode pencarian keadilan kelas dua dengan berpandangan bahwa mediasi tidak berhasil mencapai keadilan sama sekali karena tidak lebih dari hasi kompromi pihak

  • – pihak yang terlibat, padahal saat ini hakim adalah satu-satu pihak yang bisa memediasi perkara anak yang berhadapan dengan hukum tidak seperti mediasi perdata yang memperbolehkan non-hakim menjadi mediator di pengadilan .

  d. Pandangan masyarakat perbuatan tindak pidana Ide diversi masih terhalang adanya pandangan masyarakat yang cenderung dendam dan ingin melakukan pembalasan terhadap pelaku kejahatan, termasuk pada pelaku anak.

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN TEORI 2.1 Rancangan Percobaan - Analisis COD (Chemical Oxygen Demand) padakualitas air sungai Krueng Tamiang di Kabupaten Aceh Tamiang

0 0 11

BAB II TI NJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Kepemimpinan 2.1.1.1 Defenisi Kepemimpinan - Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Kecerdasan Emotional Terhadap Keberhasilan Usaha pada Studi Foto

0 0 35

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Kecerdasan Emotional Terhadap Keberhasilan Usaha pada Studi Foto

0 0 8

BAB II DESKRIPSI LOKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1 Sejarah dan Perkembangan FISIP USU - Hubungan Media Metro Tv Terhadap Pendidikan Politik Mahasiswa Fisip Usu(Studi Tentang Peran Media Metro Tv Dalam Sosialisasi Ta

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN 1. latar Belakang - Hubungan Media Metro Tv Terhadap Pendidikan Politik Mahasiswa Fisip Usu(Studi Tentang Peran Media Metro Tv Dalam Sosialisasi Tahapan Pilpres 2014)

0 0 34

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 F.nucleatum sebagai salah satu bakteri yang terdapat pada infeksi endodonti - Efek Antibakteri Kitosan Blangkas Molekul Tinggi Sebagai Perancah Dengan Ekstrak Batang Kemuning Terhadap Fusobacterium Nucleatum Sebagai Alternatif B

0 0 12

Efek Antibakteri Kitosan Blangkas Molekul Tinggi Sebagai Perancah Dengan Ekstrak Batang Kemuning Terhadap Fusobacterium Nucleatum Sebagai Alternatif Bahan Medikamen Saluran Akar(In Vitro)

0 0 14

Lampiran 1.1 Kontribusi Sub-Sektor Pertanian Terhadap PDRB Provinsi Aceh Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Miliar Rupiah) Tahun 2004-2012 Sub-Sektor Pertanian 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Jumlah Rata-rata

0 0 181

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Komparasi Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap Pdrb Antar Provinsi Di Indonesia

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN - Analisis Komparasi Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap Pdrb Antar Provinsi Di Indonesia

0 0 9