BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Dukungan Keluarga 2.1.1 Pengertian Dukungan Keluarga - Hubungan Dukungan Keluarga dan Depresi dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan Tahun 2014

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

2.1 Dukungan Keluarga

2.1.1 Pengertian Dukungan Keluarga

  Keluarga merupakan kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional, dimana masing-masing mempunyai peranan didalamnya (Hurlock, 1999). Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggotanya. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Friedman, 1998).

  Pada hakekatnya keluarga diharapkan mampu berfungsi untuk mewujudkan proses pengembangan timbal balik rasa cinta dan kasih sayang antara anggota keluarga, antar kerabat, serta antar generasi yang merupakan dasar keluarga yang harmonis (Soetjiningsih, 1995). Hubungan kasih sayang dalam keluarga merupakan suatu rumah tangga yang bahagia. Dalam kehidupan yang diwarnai oleh rasa kasih sayang maka semua pihak dituntut agar memiliki tanggung jawab, pengorbanan, saling tolong menolong, kejujuran, saling mempercayai, saling membina pengertian dan damai dalam rumah tangga (Soetjiningsih, 1995).

  Dukungan keluarga dapat menjadi faktor yang dapat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta menentukan program pengobatan yang akan mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan anggota keluarga yang sakit. Derajat dimana seseorang terisolasi dari pendampingan orang lain, isolasi sosial, secara negatif berhubungan dengan kepatuhan (Friedman, 1992).

2.1.2 Fungsi Keluarga

  Menurut Friedman, Bowden dan Jones (2003), ada lima fungsi keluarga yaitu : a) Fungsi afektif : Gambaran diri anggota keluarga, perasaan memiliki dan dimiliki dalam keluarga, dukungan keluarga terhadap anggota keluarga lain, saling menghargai dan kehangatan di dalam keluarga. b) Fungsi sosialisasi : Interaksi atau hubungan dalam keluarga, bagaimana keluarga belajar disiplin, norma, budaya dan perilaku. c) Fungsi kesehatan : Sejauhmana keluarga menyediakan pangan, perlindungan dan merawat anggota yang sakit, sejauhmana pengetahuan tentang masalah kesehatan, kemampuan keluarga untuk melakukan 5 tugas kesehatan dalam keluarga serta kemauan keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan yang sedang dihadapi. d) Fungsi ekonomi : Keluarga memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan. Keluarga memanfaatkan sumber yang ada di masyarakat dalam upaya peningkatan status kesehatan keluarga. Hal yang menjadi pendukung keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang sehat, fasilitas-fasilitas yang dimiliki keluarga untuk menunjang kesehatan. Fasilitas mencakup fasilitas fisik, fasilitas psikologis atau dukungan dari masyarakat setempat. e) Fungsi perawatan kesehatan, yaitu fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga.

2.1.3 Jenis Dukungan Keluarga

  Caplan (1964 dalam Friedman, 1998) menjelaskan bahwa keluarga memiliki beberapa jenis dukungan yaitu: 1) Dukungan informasional : Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi. 2) Dukungan penilaian : Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator indentitas anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan, perhatian. 3) Dukungan instrumental : Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan. 4) Dukungan emosional : Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan. 5) Dukungan jaringan sosial (Network support) : Dukungan ini tampil dalam kondisi dimana seseorang menjadi bagian dari komunitas yang memiliki kesamaan dalam bentuk minat, perhatian, kepentingan dan kegiatan yang disukai (Cohen dan Wills,1997). Dukungan ini merupakan berfungsi dalam keluarga yang bertujuan untuk mengembangkan dan tempat melatih anggota keluarga untuk berkehidupan sosial (Friedman, Bowden, & Jones 2003) Dukungan keluarga berperan dalam menjaga dan mempertahankan integritas seseorang baik fisik maupun psikologis. Orang dalam keadaan stres akan mencari dukungan sosial dari orang lain sehingga dengan adanya dukungan sosial dapat mengurangi stres dan depresi (Deux & Wrightman, 1998 dalam Taylor, 2006).

  2.1.4. Sumber Dukungan Keluarga

  Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses atau diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial kelurga internal, seperti dukungan dari suami atau istri serta dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal (Friedman, 1998).

  2.1.5. Manfaat Dukungan Keluarga

  Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman, 1998). Wills (1985) dalam Friedman (1998) menyimpulkan bahwa baik efek-efek penyangga (dukungan sosial menahan efek- efek negatif dari stres terhadap kesehatan) dan efek-efek utama (dukungan sosial secara langsung mempengaruhi akibat-akibat dari kesehatan) pun ditemukan. Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit dan dikalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi (Ryan & Austin dalam Friedman, 1998).

2.1.6. Faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga

  Menurut Feiring dan Lewis (1984) dalam Friedman (1998), ada bukti kuat dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif menggambarkan pengalaman perkembangan anak-anak yang berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian dari pada anak-anak dari keluarga yang besar. Selain itu, dukungan yang diberikan orang tua (khususnya ibu) juga dipengaruhi oleh usia. Menurut Friedman (1998), ibu yang masih muda cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan atau mengenali kebutuhan anaknya dan juga lebih egosentris dibandingkan ibu-ibu yang lebih tua. Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah kelas sosial ekonomi orang tua. Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan. Dalam keluarga kelas menengah, suatu hubungan yang lebih demokratis dan adil mungkin ada, sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas atau otokrasi. Selain itu orang tua dengan kelas sosial menengah mempunyai tingkat dukungan, afeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi dari pada orang tua dengan kelas sosial bawah.

2.2 Depresi

  2.2.1 Pengertian Depresi

  Depresi merupakan salah satu gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan sedih yang berlebihan, murung, tidak bersemangat, merasa tidak berharga, merasa kosong, dan tidak ada harapan, berpusat pada kegagalan dan menuduh diri, dan sering disertai iri dan pikiran bunuh diri, klien tidak berminat pada pemeliharaan diri dan aktivitas sehari-hari (Keliat, 1996). Salah satu masalah emosional terbesar yang dihadapi ODHA adalah depresi (Douaihy, 2001).

  2.2.2 Penyebab Depresi

  Etiologi depresi yang pasti belum diketahui. Beberapa faktor yang diketahui berkaitan dengan terjadinya depresi adalah 1) berbagai penyakit fisik, 2) faktor psikis, 3) faktor sosial dan lingkungan, 4) faktor obat, 5) faktor usia, dan 6) faktor genetik.

  Kelainan fundamental dan kelompok gangguan alam perasaan yang membedakan dengan kelompok gangguan kejiwaan lainnya adalah adanya perubahan suasana perasaan (mood), biasanya ke arah depresi (dengan atau tanpa

  

anxietas yang menyertainya), atau kearah elasi. Perubahan efek ini biasanya

  disertai dengan suatu perubahan pada keseluruhan tingkat aktifitas, dan kebanyakan gejala lainnya adalah sekunder terhadap perubahan itu, atau mudah dipahami hubungannya dengan perubahan tersebut. (Muslim, 2001)

  Depresi yang pada pasien HIV/AIDS disebabkan oleh beberapa hal diantaranya : 1). Invasi virus HIV ke susunann saraf pusat, yang bakan menghasilkan perubahan neuropatologis pada basal ganglia, talamus, nukleus batang otak yang memyebabkan disfungsi dan akan terjadi gangguan mood dan motivasi. 2). Efek samping penggunaan anti retroviral virus. 3). Komplikasi HIV/AIDS. 4). Perubahan psikologis setelah menderita HIV/AIDS mengalami reaksi penolakan dari keluarga, pekerjaan dan bahkan masyarakat.

2.2.3 Gejala Depresi

  Untuk menegakkan diagnosa depresi seseorang, maka yang dipakai pedoman adalah ada tidaknya gejala utama dan gejala penyerta lainnya, lama gejala yang muncul, dan ada tidaknya episode depresi ulang (Rusdi Maslim, 2001). Sebagaimana tersebut berikut ini : 1). Gejala utama pada derajat ringan, sedang dan berat yang mencakup: a) afek depresi, b) kehilangan minat dan kegembiraan, c) berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan yang mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas. 2). Gejala penyerta lainnya mencakup: a) konsentrasi dan perhatian berkurang, b) harga diri dan kepercayaan diri berkurang, c) gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, d) pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, e) gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, f) tidur terganggu, g) nafsu makan berkurang.

  Untuk episode depresi dan ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.

  Kategori diagnosis depresi ringan, sedang dan berat hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama). Episode depresi berikutnya harus diklasifikasikan di bawah salah satu diagnosis gangguan depresi berulang. 1) Pedoman Diagnostik Episode Depresi Ringan adalah (1) sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama depresi seperti tersebut di atas,(2) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya, (3) Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu, (4) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukannya. 2) Pedoman Diagnostik Episode Depresi Sedang adalah (1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama. (2) Ditambah sekurang- kurangnya 3 atau 4 dari gejala lainnya. (3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimum 2 minggu. (4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan urusan rumah tangga. 3) Pedoman Diagnostik Episode Depresi Berat Tanpa Gejala Psikotik adalah (1) Semua 3 gejala utama depresi harus ada, (2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya harus berintensitas berat, (3) Bila ada gejala penting (misal retardasi psikomotor) yang menyolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresi berat masih dapat dibenarkan, (4) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas. 4) Pedoman Diagnostik Episode Depresi Berat dengan Gejala Psikotik

  Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut No. 3 di atas tersebut di atas, disertai waham, halusinasi atau stupor depresi. Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau alfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor.

  Hubungan antara depresi dengan HIV/AIDS merupakan hubungan yang sangat kompleks, disatu sisi depresi dapat timbul karena HIV/AIDS dan di sisi lain depresi terjadi karena proses perjalan dari penyakit HIV/AIDS sendiri.

2.2.4 Alat Ukur (Skala) Depresi

  Skrining rutin psikiatrik pada pasien HIV/AIDS dapat dilakukan. Beck Depression Inventory (BDI) dikembangkan untuk mengukur manifestasi prilaku depresi pada remaja dan dewasa, dan telah didesain untuk menstandarisasi penilaian keparahan depresi sehingga dapat dimonitor sepanjang waktu. BDI diperoleh dari observasi pasien depresi dalam sepanjang perjalanan psikoterapi psikoanalitik.

  BDI terdiri dari 21 item yang masing-masing dengan empat pernyataan dan pernyataan tersebut menjelaskan keparahan simtom depresi. Keperahan simtom depresi diurutkan dari nilai 0 tidak, nilai 1 ringan, nilai 2 sedang dan nilai 3 berat. Tingkat nilai keparahan depresi diklasifikasikan berdasarkan simtom yang dirasakan oleh pasien, Srokoring : Beck Depression Scale:

  Tabel 2.1: Beck Depression Scale NILAI TOTAL TINGKATAN DEPRESI

  1-10 Naik turunnya perasaan ini tergolong wajar 11-16 Gangguan “mood” atau perasaan murung yang ringan 17-20 Garis batas depresi klinis 21-30 Depresi sedang 31-40 Depresi parah

  40 Ke atas Depresi ekstrim

2.3. Kualitas Hidup

2.3.1 Pengertian Kualitas Hidup

  Pemahaman mengenai kualitas hidup akan semakin baik dengan terlebih dahulu menelaah apa sebenarnya defenisi dari kualitas hidup tersebut. Sampai sekarang ini, kualitas hidup masih menjadi satu permasalahan, dan pengertian dari kualitas hidup sampai sekarang belum dapat diterima secara universal untuk menilai kualitas hidup seseorang. Kinghorn dan Gamlin (2004) mendefenisikan kualitas hidup sebagai suatu ide yang abstrak dan tidak terkait dengan tempat atau waktu, bersifat situasional dan meliputi berbagai konsep yang saling tumpang tindih. Pandangan lain dikemukakan oleh Cella (1998) bahwa kualitas hidup seseorang tidak dapat didefenisikan dengan pasti, hanya orang tersebut yang dapat mendefenisikannya, karena kualitas hidup merupakan yang bersifat subjektif.

  Pemahaman yang lebih jelas akan kualitas hidup adalah seperti yang dikemukakan oleh Ventegodt (2003), bahwa kualitas hidup dapat berarti kehidupan yang baik dan kehidupan yang baik mempunyai kualitas yang tinggi. Pandangan yang lebih umum terkait dengan kualitas hidup dikemukakan oleh Donner dkk (1997) bahwa kualitas hidup secara umum adalah keadaan individu dalam lingkup kemampuan, keterbatasan, gejala dan sifat psikososial untuk berfungsi dan menjalankan macam-macam perannya secara memuaskan.

  Kualitas hidup adalah keadaan yang dipersepsikan terhadap keadaan seseorang sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan dan niatnya. Dikutip dari kualitas hidup menurut Jennifer J. Clinch, Deborah Dudgeeon dan Harvey Schipper (1999), Kualitas hidup mencakup : a) gejala fisik, b) kemampuan fungsional (aktivitas), c) Kesejahteraan keluarga, d) spiritual, e) fungsi sosial, f) kepuasan terhadap pengobatan (termasuk masalah keuangan), g) orientasi masa depan, h) kehidupan seksual, termasuk gambaran terhadap diri sendiri, i) fungsi dalam bekerja.

  Kualitas hidup (QOL) adalah istilah yang populer digunakan untuk menyampaikan rasa keseluruhan kesejahteraan dan meliputi aspek-aspek seperti kebahagian dan kepuasan dengan kehidupan secara keseluruhan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mendefenisikan kualitas hidup sebagai “persepsi individu dari posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal dan kaitannya dengan tujuan mereka, standar, harapan dan kekhawatiran (Basavaraj, M.Navya & Rashmi, 2010).

  2.3.2 Hubungan Kesehatan dengan Kualitas Hidup

  Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (UU No.23/1992 tentang kesehatan). Kesehatan adalah kebutuhan dasar dan modal utama untuk mencapai kualitas hidup yang terbaik. Menurut Basavaraj, Navya, dan Rashmi (2010) menjelaskan dukungan sosial bagi penderita HIV/AIDS memiliki menunjukkan potensi yang kuat untuk mempengaruhi HRQOL. Tiga komponen utama dari dukungan sosial emosional, nyata, dan dukungan informasi. ARV mampu meningkatkan kelangsungan hidup, mengurangi terjadinya infeksi oportunistik terkait HIV, dan meningkatkan kualitas hidup pasien dan bahkan denial telah terbukti berkorelasi dengan harga diri rendah dan depresi pada pasien HIV. Memang, mengatasi oleh penolakan mungkin merupakan ekspresi ketidak berdayaan, kemarahan, atau depresi, dan pasien ini mungkin, pada kenyataannya, membutuhkan intervensi psikologis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

  2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi

  Ada beberapa faktor yang menentukan kualitas hidup yakni jenis kelamin, umur, etnis/ras, status pernikahan, pendidikan, penghasilan, status pekerjaan, asuransi kesehatan serta faktor kesehatan (Nazir, 2006). Faktor yang disebutkan diatas dapat dibagi menjadi dua yakni faktor internal dan eksternal.

  Faktor internal yang berpengaruh terhadap kualitas hidup adalah sebagai berikut :1) jenis kelamin, wanita memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibanding laki-laki, 2) umur, penduduk dengan usia >75 tahun (33,2%) mempunyai kualitas hidup yang buruk dibandingkan dengan usia muda 18-24 tahun, 3) etnis/ras, 4) faktor kesehatan yakni adanya penyakit kronis yang dialami penderita (Nazir, 2006).

2.3.4. Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS

  Kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang berhubungan dengan kesehatan dapat diartikan sebagai respon emosi dari penderita terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan hubungan antar keluarga, rasa senang atau bahagia, adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang ada, adanya kepuasan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain.

  Loren, et al (2010) melakukan penelitian mengenai gejala penyakit dengan kualitas hidup penderita HIV dan menyimpulkan bahwa gejala fisik seperti mual, selera makan yang menurun, batuk lama, sesak nafas, penurunan berat badan, nyeri di perut, diare, nyeri di mata memperburuk kualitas hidup.

  Dalam hal ini diketahui bahwa penderita HIV dengan gejala yang dialami memiliki kualitas hidup yang lebih buruk dibanding dengan penderita HIV tanpa gejala.

  Dalam penelitian Nojomi, Anbary, dan Ranjbar (2008) diketahui juga bahwa dari beberapa karakteristik demografi yang diteliti secara signifikan berhubungan dengan kualitas hidup yaitu jenis kelamin, perempuan dengan HIV/AIDS memiliki kualitas hidup lebih buruk dibandingkan dengan pria, status marital, tingkat pendidikan, dan bekerja mempunyai kualitas hidup yang lebih baik, lama menderita penyakit, semakin lama menderita sakit kualitas hidupnya semakin buruk, serta nilai korelasinya paling tinggi adalah derajat klinis penyakit.

  HIV menyebabkan terjadinya penurunan kekebalan tubuh sehingga individu rentan terhadap serangan infeksi opportunistik. Anti Retroviral Virus (ARV) bisa diberikan pada klien untuk menghentikan aktivitas virus, memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi opportunistik, memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan kecacatan. ARV tidak menyembuhkan klien HIV, namun bisa memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang usia harapan hidup klien HIV/AIDS. Gambaran klinik yang berat, yang mencerminkan kriteria AIDS, baru timbul sesudah jumlah CD-4 kurang dari 200/mm3 dalam darah (Yayasan Spiritia, 2006).

  Kondisi umum pada ODHA adalah kelelahan baik secara fisik ataupun psikologis. Stres yang tinggi dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang atau lama dapat memperburuk kondisi kesehatan dan menyebabkan penyakit. Tetapi dengan adanya dukungan sosial yang diterima oleh individu yang sedang mengalami atau menghadapi stres maka hal ini akan dapat mempertahankan daya tahan tubuh dan meningkatkan kesehatan individu. Kondisi ini dijelaskan oleh Sarafino (2006) bahwa berinteraksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu mengenai kejadian tersebut, dan ini akan me- ngurangi potensi munculnya stress baru atau stress yang berkepanjangan.

2.3.5 Cara Pengukuran Kualitas Hidup

  Ada beberapa instrumen yang dikembangkan untuk menilai kualitas hidup, diantaranya ada yang bersifat umum dan ada yang khusus, yaitu sebagai berikut 1) WHO QOL-BREF, 2) SF-36 Health Survey dan 3) WHQOL-HIV BREF.

  Untuk pengukuran kualitas hidup penderita HIV/AIDS dalam penelitian ini menggunakan WHQOL-HIV BREF. Ini merupakan instrumen yang dikembangkan oleh WHO untuk mengkaji kualitas hidup pada penderita HIV/AIDS yang disesuaikan dengan kondisi penderita. Instrumen ini terdiri dari 31 item pertanyaan yang meliputi dua pertanyaan tentang kualitas hidup, dan kesehatan secara umum dan sisanya mencakup 6 domain yakni 1) domain fisik terdiri dari 4 pertanyaan (nyeri dan discomfort, energi dan fatique, tidur dan istirahat, gejala penyakit), 2) domain psikologis (mencakup 5 pertanyaan (perasaan positif dan negatif, harga diri, proses berpikir, proses belajar, memori dan konsentrasi, bodyimage), 3) tingkat kemandirin (meliputi 4 pertanyaan (kemandirian mobilitas, aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada pengobatan, kapasitas kerja), 4) hubungan sosial (terdiri dari 4 pertanyaan (hubungan personal, dukungan sosial, aktivitas seksual, penerimaan sosial), 5) lingkungan (yang terdiri dari 8 pertanyaan (keamanan fisik, lingkungan rumah, sumber finansial, pelayanan kesehatan, kemudahan mendapat informasi, kesempatan untuk aktivitas rekreasi, lingkungan fisik; polusi, bising, transportasi) dan 6) spiritual/religi/keyakinan personal (yang terdiri dari 4 pertanyaan (spiritual, pengampunan, kepedulian terhadap masa depan dan kematian).

2.4 HIV/AIDS

  2.4.1 Pengertian HIV/AIDS

  AIDS atau Acquired Immuno Deficiency Syndrome merupakan gejala penyakit akibat menurunya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh masuknya virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk famili retrovirdae ke dalam tubuh seseorang (Sudoyo, dkk, 2007). Price dan Wilson (2006) menyebutkan bahwa AIDS adalah sekumpulan gejala yang menunjukkan kelemahan atau kerusakan daya tahan tubuh yang diakibatkan oleh faktor luar (bukan dibawa sejak lahir). AIDS diartikan sebagai bentuk yang paling berat dari keadaan sakit terus-menerus yang berkaitan dengan infeksi Human

  

Immunodeficiency Virus (HIV) mulai dari kelainan ringan dalam respons imun

  tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan berbagai infeksi yang dapat membawa kematian.

  2.4.2 Etiologi

  Kasus AIDS pertama kali ditemukan Centre of Disease Control (CDC) Amerika serikat tahun 1981 pada lima pemuda homoseksual yang menderita peradangan paru pneumocystic carinii di California. Pada tahun 1983, Luc Montagnier dkk dari Institut Pasteur Perancis, telah menemukan penyebab AIDS yang disebut Lymphadenophaty Associated Virus (LAV) karena virus ini dapat menyebabkan limfadenopati pada penderita. Penelitian mengenai virus penyebab AIDS kemudian dilanjutkan oleh Robert Gallo, pada Maret 1984, yang menemukan adanya perkembangan sel yang tetap berlangsung dan produktif pada pasien setelah terinfeksi virus, sehingga disebut Human T-cell Lymphotropic Virus Type III (HLTV-III). Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga pada bulan Mei tahun 1986, Komisi Taksonomi WHO (The International Community on Taxonomy of Viruses) sepakat untuk memberikan nama baru ntuk virus penyebab AIDS, yaitu HIV.

  HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen permukaan CD4, terutama sekali limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. HIV juga mempunyai sejumlah gen yang dapat mengatur replikasi maupun pertumbuhan virus yang baru. Salah satu gen tersebut ialah tat yang dapat mempercepat replikasi virus sedemikian hebatnya sehingga terjadi penghancuran limfosit T4 secara besar-besaran yang akhirnya menyebabkan kelumpuhan sistem kekebalan tubuh. Kelumpuhan sistem kekebalan tubuh ini mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi oportunistik dan keganasan yang merupakan gejala- gejala klinis AIDS.

  Virus ini berbentuk sferikal dengan diameter 120 nanometer dan sekitar 60 kali lebih kecil dibandingkan sel eritrosit. HIV terdiri atas dua bagian besar yaitu; bagian inti yang terdiri atas rantai RNA, protein inti, dan enzim reverse

  

transcriptase yang memungkinkan virus untuk mengubah informasi genetiknya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA yang kemudian diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel limfosit yang diserang (memanfaatkan sel limfosit untuk menggandakan diri menghasilkan virus baru); dan bagian selubung virus yang terdiri dari lipid, dan glikoprotein gp120 dan gp41.

Gambar 2.1 : Struktur HIV

  Mekanisme utama infeksi HIV adalah melalui perlekatan selubung glikoprotein gp120 pada molekul CD4, yang kemudian masuk ke dalam sel hospes melalui fusi antara membran virus dengan membran sel hospes dengan bantuan gp41, yang juga terdapat pada permukaan membran virus. Terjadilah awal mula infeksi HIV pada tubuh hospes. (Merati, 1999)

  HIV dapat ditemukan pada darah, semen, ASI, dan sekret vagina. Pada cairan-cairan inilah virus dapat ditularkan. Selain itu, HIV juga dapat ditemukan pada saliva, air mata, urin, cairan serebrospinal, dan cairan amnion, tetapi tidak bersifat menularkan. Transmisi HIV dapat terjadi melalui kontak atau pencampuran dengan cairan tubuh yang mengandung virus, seperti: melakukan hubungan seksual yang tidak aman dengan pengidap HIV, menggunakan jarum suntik atau alat tusuk lain (akupuntur, tindik, tato) yang telah terkontaminasi virus HIV, kontak kulit atau membran mukosa dengan darah dan produk darah yang telah terkontaminasi HIV, menerima transplantasi organ atau jaringan termasuk tulang atau transfusi darah dari penderita HIV, dan penularan dari ibu hamil pengidap HIV kepada janin saat kehamilan, proses kelahiran, maupun saat menyusui. (Merati, 1999)

2.4.3 Patogenesis

  Menurut The Center of Disease Control (CDC), setelah terpapar HIV, penderita tidak secara langsung menimbulkan gejala klinis AIDS. Ada beberapa tahapan infeksi HIV sampai timbulnya manifestasi klinis; yaitu tahap infeksi HIV akut, infeksi HIV asimtomatik (masa laten) yang tidak menimbulkan gejala, limfadenopati (radang kelenjar getah bening) yang persisten dan menyeluruh, sampai akhirnya timbul tanda-tanda penyakit yang menakutkan pada pasien, yaitu tahap AIDS.

  a. Infeksi HIV akut Sekitar dua sampai enam minggu setelah terinfeksi (biasanya dua minggu), akan terjadi sindrom retroviral akut. Lebih dari setengah orang yang terinfeksi

  HIV akan menunjukkan gejala infeksi primer yang bervariasi seperti demam, adenopati, faringitis, kelainan kulit, diare, sakit kepala, mual dan muntah, hepatosplenomegali, penurunan berat badan, gangguan jamur di rongga mulut, dan gejala neurologis (nyeri kepala, nyeri belakang kepala, depresi). Gejala ini tidak spesifik pada infeksi HIV saja, tetapi juga akan terjadi pada infeksi retrovirus lain. Setelah dua sampai enam minggu gejala dapat menghilang disertai serokonversi, dengan atau tanpa pengobatan. Setelah terinfeksi HIV, ada saat dimana pemeriksaan serologi antibodi HIV terhadap pasien menunjukkan hasil negatif, sementara virus sebenarnya telah ada dalam tubuh hospes. Fase ini disebut periode jendela (window period), yaitu penderita sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain walaupun pemeriksaan antibodinya menunjukkan hasil negatif. Periode ini dapat berlangsung selama tiga sampai dua belas minggu.

  b. Infeksi HIV asimtomatik (masa laten) Terdapat jeda waktu yang panjang pada pasien, yang mana pasien tidak mengalami manifestasi fisik dari infeksi, tapi tetap anti-HIV positif. Sebagian besar pengidap HIV berada pada fase laten ini tidak terlihat gejala pada pasien. Penderita terlihat sehat, dapat melakukan aktivitas secara normal, namun sudah dapat menularkan virus kepada orang lain. Jumlah virus di dalam darah dan jaringan limfoid pasien berada dalam batas rendah dan jumlah CD4 limfosit masih berada dalam batas normal. Masa laten klinis ini dapat terjadi selama dua minggu sampai delapan tahun atau lebih.

  c. Limfadenopati persisten yang menyeluruh Limfadenopati atau pembesaran kelenjar getah bening didefinisikan dengan adanya nodus limfe yang berdiameter lebih dari satu sentimeter pada dua atau beberapa daerah ekstra inguinal selama lebih dari tiga bulan, tetapi tidak terdapat penyakit atau kondisi lain selain infeksi HIV yang menjelaskan alasan dari keadaan tersebut.

  d. Infeksi HIV simtomatik (AIDS) Pada fase ini terjadi perubahan progresif dalam pengaturan kekebalan tubuh yang disebabkan oleh limfopenia sel-T, dan berkurangnya fungsi T-cell

  

helper ini yang mengakibatkan AIDS berkembang sepenuhnya. Penyakit ini

  ditandai oleh infeksi-infeksi oportunistik dan kerentanan terhadap bentuk–bentuk kanker tertentu. Jumlah CD4 pasien sudah berada pada taraf kritis, hingga dibawah 200sel/ul darah. Beberapa penyakit yang dapat timbul pada pasien seperti di bawah ini : a) Subgrup A : Penyakit Konstitusional : Gejala-gejala seperti demam atau diare yang persisten selama lebih dari satu bulan atau penurunan berat badan yang lebih dari 10% dari berat ideal pasien sebelum sakit, yang tidak terdapat infeksi atau penyakit lain yang dapat menjelaskan alasan keadaan tersebut, selain infeksi HIV/AIDS. b) Sub grup B : Penyakit Neurologi : Banyak pasien yang mengalami simtom neurologi sebelum mengalami tanda infeksi HIV lainnya. Pada mulanya pasien akan mengalami kehilangan memori, sulit berkonsentrasi, menarik diri dari pergaulan sosial, dan letargi. Tanda awal tersebut sering dianggap sebagai suatu depresi dan biasanya diabaikan, sampai akhirnya berkembang menjadi gangguan yang lebih dramatis seperti demensia yang hebat dan keterbelakangan psikomotor. Gangguan motoris pada mulanya terlihat dari hilangnya koordinasi, tremor, langkah yang goyah, dan bahkan dapat berkembang menjadi ataksia dan paraplegia yang hebat. c) Sub grup C : Penyakit Infeksi Sekunder (Infeksi Oportunistik) : Organisme yang relatif nonvirulen dalam tubuh dapat mengakibatkan infeksi yang hebat dan mengancam jiwa pada pasien yang sistem imunnya sudah rusak akibat HIV. Infeksi oportunistik yang sering dijumpai antara lain Pneumonia pneumositis cranii, toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus, tuberkulosis, kandidiasis rongga mulut, dan lain sebagainya. D) Sub grup D : Kanker Sekunder : Diagnosis dari satu atau beberapa kanker yang terbukti mempunyai hubungan dengan infeksi HIV merupakan indikator dari hilangnya imunitas sel sebagai mediator. Infeksi kanker sekunder yang sering terjadi adalah Sarkoma Kaposi, limfoma non-Hodgkin, atau limfoma primer dari otak. E) Sub grup E : keadaan lain pada Infeksi HIV : Tanda klinis dari penyakit, yang tidak diklasifikasikan seperti di atas, dapat berperan pada infeksi HIV dan merupakan indikator dari cacat pada imunitas sel sebagai mediator pasien, simtom yang berhubungan dengan infeksi HIV termasuk Pneumositis interstisial limfoid kronis dan simtom-simtomnya, dan penyakit infeksi sekunder dan neoplasma lain yang tidak tercantum di atas. (Merati, 1999)

2.4.4 Pemeriksaan HIV

  Ada beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV. Mendeteksi adanya virus HIV didalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus deteksi materi genetik dalam darah pasien (Sudoyono,dkk,2007). 1). ELISA metode yang biasanya digunakan di Indonesia.

  Sebagai penyaring digunakan tehnik ELISA, aglutinasi, atau dot-blot

  

immunobinding assay. Untuk pemeriksaan antibodi HIV. 2).Western Blot (WB),

  pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi HIV, biasanya setelah penyaringan hasilnya reaktif lalu dilakukan WB. 3). Tes anti bodi HIV adanya masa jendela. Masa jendela waktunya sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbul antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk 4-8 minggu setelah terinfeksi. Jika hasil tes negatif pada seseorang yang terinfeksi HIV, maka perlu dilakukan pemeriksaan pengulangan 3 bulan berikutnya. 4). Adanya konseling pra tes pada seseorang yang ingin menjalani tes HIV, agar mendapatkan informasi yang jelas mengenai infeksi HIV/AIDS. 5).Untuk memberi hasil diberikan konseling pasca tes, baik hasil negatif ataupun positif. Jika hasil positif diberikan informasi mengenai pengobatan untuk memperpanjang masa hidup tanpa gejala serta pencegahan penularan. Bila negatif diberikan informasi untuk mempertahankan prilaku yang tidak beresiko.

2.4.5 Tanda dan Gejala

  Pada pasien HIV primer akut lamanya 1-2 minggu pasien akan merasakan flu. Dan pada fase supresi imun simptomatik (3 tahun) pasien mengalami demam, keringat dimalam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan, ruam kulit, limpadenopati, penurunan kognitif, dan lesi oral (Price & Wilson, 2006) Fase infeksi HIV menjadi AIDS (bervariasi 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS) akan terdapat gejala oportunistik, yang paling umum adalah Pneumocystic Carrinii (PCC), pneumonia, meningitis, kandidiasis, cytimegalovirus, mikrobakterial, dan tipikal (Price & Wilson 2006). Secara umum gejala AIDS dibagi menjadi 2 kelompok yaitu mayor dan minor, oleh WHO diagnosis AIDS dapat ditegakkan bila ditemukan 2 gejala mayor dan 1 gejala minor (Merati, 1999).

2.5 Teori Keperawatan

  Keperawatan merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang profesional, bersifat holistik dan komprehensif yang ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat baik dalam keadaan sehat maupun sakit melalui kiat-kiat keperawatan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan. Pelayanan keperawatan yang diberikan oleh seorang perawat sangat mempengaruhi mutu asuhan keperawatan yang akan diterima oleh klien. Oleh karena itu untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas maka perawat perlu mengembangkan ilmu dan praktik keperawatan salah satunya melalui penggunaan model konseptual dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien (Muhlisin & Irdawati, 2012).

  Berbagai model konseptual keperawatan yang telah dikembangkan oleh para ahli, salah satunya adalah Self Care Defisit oleh Dorothea Orem. Fokus utama dari model konseptual ini adalah kemampuan seseorang untuk merawat dirinya sendiri secara mandiri sehingga tercapai kemampuan untuk mempertahankan kesehatan dan kesejahteraannya.

2.5.1. Konsep Self-Care Dorothea Orem

  Selama tahun 1958-1959 Dorothea Orem sebagai seorang konsultan pada bagian pendidikan Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan dan berpartisipasi dalam suatu proyek pelatihan peningkatan praktek perawat (vokasional). Pekerjaan ini menstimulasi Orem untuk membuat suatu pertanyaan : “Kondisi apa dan kapan seseorang membutuhkan pelayanann keperawatan?” Orem kemudian menekankan ide bahwa seorang perawat itu adalah “Diri sendiri”.

  Ide inilah yang kemudian dikembangkan dalam konsep keperawatannya “Self Care”. Pada tahun 1959 konsep keperawatan Orem ini pertama sekali dipublikasikan. Tahun 1965 Orem bekerjasama dengan beberapa anggota fakultas dari Universitas di Amerika untuk membentuk suatu Comite Model Keperawatan (Nursing Model Commitee, 2006).

  Orem Kemudian mengembangkan konsep keperawatanya “self care” dan pada tahun 1971 dipublikasikan Nursing; Concepts of Practice. Pada edisi pertama fokusnya terhadap individu, sedangkan edisi kedua (1980), menjadi lebih luas lagi meliputi multi person unit (keluarga, kelompok dan masyarakat). Edisi ketiga (1985) Orem menghadirkan General Theory Keperawatan dan pada edisi keempat (1991) Orem memberikan penekanan yang lebih besar terhadap anak- anak, kelompok dan masyarakat.

2.5.2. Teori Self-Care

  Untuk memahami tentang teori perawatan diri, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai konsep dasar perawatan diri (self-care), kemampuan perawatan diri (self-care agency), faktor yang mempengaruhi perawatan diri (basic

  conditioning factors ), dan terapi kebutuhan perawatan diri (therapeutic self-care demand ).

  Kemampuan perawatan diri (self-care agency) adalah kemampuan individu untuk terlibat dalam proses perawatan diri. Kemampuan ini berkaitan dengan faktor pengkondisian perawatan diri (basic conditioning factor) yang terdiri dari faktor usia, jenis kelamin, status kesehatan, orientasi sosial budaya, sistem perawatan kesehatan, kebiasaan keluarga, pola hidup, faktor lingkungan dan keadaan ekonomi.

  Teori self-care tidak terlepas dari syarat perawatan diri (self-care

  requisites ), yaitu aspek yang menentukan tingkat pemenuhan perawatan diri. Self- care requisites terdiri dari tiga kategori ;

  1. Universal self-care requisites

  Aspek universal ini berhubungan dengan proses hidup atau kebutuhan dasar manusia, yaitu : a) Pemeliharaan kebutuhan udara/oksigen, b) Pemeliharaan kebutuhan air, c) Pemeliharaan kebutuhan makanan, d) Perawatan proses eliminasi dan ekskresi, e) Pemeliharaan keseimbangan aktivitas dan istirahat, f) Pemeliharaan keseimbangan privasi dan interaksi sosial, g) Pencegahan resiko yang mengancam kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan, h) Peningkatan kesehatan dan pengembangan potensi dalam hubungan sosial

  2. Developmental self-care requisites

  Berbeda dengan universal self-care requisites, developmental self-care

  

requisites terbentuk oleh adanya : a) Perbekalan kondisi yang meningkatkan

  pengembangan, b) Keterlibatan dalam pengembangan diri, c) Pengembangan pencegahan dari efek yang mengancam kehidupan. Pengembangan aspek perawatan diri berhubungan dengan pola hidup individu yang dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggalnya.

3. Health deviation self-care

  Perawatan diri berkaitan dengan penyimpangan kesehatan. Timbul akibat adanya gangguan kesehatan dan penyakit. Hal ini menyebabkan perubahan kemampuan individu dalam proses perawatan diri.

2.6 Kerangka Teori

  Terinfeksi Virus Informasi tentang HIV/AIDS Cara penularan

  Pemahaman masyarakat Stigma Masyarakat Daya tahan tubuh tentang HIV/AIDS berkurang

  Diskriminasi pada Kondisi stressful

  Dukungan keluarga masyarakat Support System

  Mekanisme Self Care koping

  Kehilangan minat beraktivitas Kepatuhan pada terapi

  Depresi Cenderung menarik diri

  Usia, jenis kelamin, status Ketidak mampuan membangun Modulasi sitem marital, pendidikan, hubungan interpersonal imun pekerjaan, penghasilan

  Kesejahteraan sosial, psikologis Perubahan

  Kesejahteraan dan spiritual terganggu Jumlah Leukosit fisik terganggu

  Kualitas Hidup CD4, sel NK, Kondisi fisik memburuk semakin menurun, viral meningkat

  Percepatan Proses perjalanan penyakit menjadi lebih singkat

  Sumber : Diadopsi dan dimodifikasi dari konsep dukungan keluarga (2000, dalam Smet, 2004) dan kualitas hidup (Nazir, 2006).

2.4.7.Kerangka Penelitian

  Untuk menggambarkan hubungan variabel independen terhadap variabel dependen digambarkan dalam alur penelitian, digambarkan pada gambar 2.3.

  Gam

Gambar 2.3. Kerangka Penelitian

  Dukungan Keluarga: 1.

  Dukungan Informasional 2. Dukungan Penilaian 3. Dukungan Instrumental 4. Dukungan Emosional 5. Dukungan Jaringan Sosial

  Kualitas Hidup

  Depresi Karakteristik Responden: 1.

  Usia 2. Jenis Kelamin 3. Agama 4. Pendidikan 5. Status Marital 6. Suku 7. Pekerjaan 8. Penghasilan 9. Lama Terinfeksi

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelaksanaan Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Terkait Adanya Sengketa-Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

0 0 16

Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Leverage Terhadap Kinerja Perusahaan Pada Perusahaan Makanan dan Minuman yang Terdaftar di BEI Tahun 2010-2014

1 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) - Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Leverage Terhadap Kinerja Perusahaan Pada Perusahaan Makanan dan Minuman yang Terdaftar di BEI Tahun 2010-2014

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Leverage Terhadap Kinerja Perusahaan Pada Perusahaan Makanan dan Minuman yang Terdaftar di BEI Tahun 2010-2014

0 1 9

Hubungan Dukungan Sosial Dengan Tingkat Depresi Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan

1 1 19

Hubungan Dukungan Sosial Dengan Tingkat Depresi Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan

0 0 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hemodialisis 2.1.1 Definisi - Hubungan Dukungan Sosial Dengan Tingkat Depresi Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan

0 1 26

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Dukungan Sosial Dengan Tingkat Depresi Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan

0 0 8

Hubungan Dukungan Sosial Dengan Tingkat Depresi Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan

0 0 17

KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DAN DEPRESI DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN HIVAIDS DI RSUP.H.ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2014

0 0 21