2.1 Kerangka Teori - Proses Pelaksanaan Peraturan Walikota Medan Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Rincian Tugas Pokok Dan Fungsi BadanPenanaman Modal Kota Medan (Studi Pada Pengawasan Badan Penanaman Modal Kota Medan)

2.1 Kerangka Teori

  Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir – butir pendapat - pendapat, teori, thesis sipenulis mengenai suatu kasus ataupun permasalahan dan merupakan masukan eksternal bagi peneliti.

  Landasan teori atau kerangka teori merupakan bagian dari penelitian yang memuat teori – teori yang berasal dari studi kepustakaan yang berfungsi sebagai kerangka teori dalam menyelesaikan penelitian. Kerangka teori paling tidak berisi tentang deskripsi teori, yaitu uraian sistematis mengenai teori – teori dan hasil penelitian yang relevan dengan variabel – variabel yang sedang diteliti tersebut.

  Dengan demikian, dalam landasan teori ini, dikemukakan atau diberikan penjelasan mengenai variabel – variabel yang diteliti, melalui pendefenisian, dan uraian yang lengkap serta mendalam, sehingga ruang lingkup, kedudukan dan prediksi terhadap hubungan antar variabel. Dari landasan teori ini, maka variabel

  • – variabel yang diteliti akan menjadi lebih jelas dan terarah. Jadi, landasan teori merupakan bekal – bekal yang akan digunakan dalam pembahasan penelitian.

2.1.1. Kebijakan Publik

  Untuk mengawali diskusi kebijakan publik kita harus membahas apa makna dari gagasan tentang publik dan menjelaskan tentang perkembangan ini baik dalam teori maupun praktik. Ide kebijakan publik mengandung anggapan bahwa ada suatu ruang atau domain dalam kehidupan yang bukan privat atau murni milik individual, tetapi milik bersama atau milik umum. Publik itu sendiri berisi aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama. Sedangkan makna modern dari gagasan “kebijakan” adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik yang berbeda dengan makna “administration” (Wilson,1887).

  Maka secara etimologi, kebijakan publik terdiri dari dua kata yaitu kebijakan dan publik. Kebijakan publik menitik beratkan pada apa yang oleh

  

Dewey (1927) katakan sebagai “publik dan problem – problemnya“. Kebijakan

  publik membahas soal bagaimana isu – isu dan persoalan – persoalan tersebut disusun (constructed) dan didefenisikan, dan bagaimana kesemuanya itu diletakkan dalam agenda kebijakan dan agenda politik. Selain itu, kebijakan publik juga merupakan study tentang “bagaimana, mengapa, dan apa efek dari tindakan aktif ( action ) dan pasif ( inaction ) pemerintah“ (Heidenheimer, 1990 : 3). Atau seperti dinyatakan oleh Dye, kebijakan publik adalah study tentang “apa yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tesebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut“ ( Dye, 1976 : 1 ).

  Menurut James E. Anderson kebjakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor bidang kegiatan tertentu. Sebaliknya David Easton (1953, 1965), walau tidak dianggap sebagai karya utama kebijakan publik telah memberikan konstribusi penting bagi pembentukan pendekatan kebijakan, yaitu melihat proses kebijakan dari segi input yang diterima, dalam bentuk aliran dari lingkungan, dimediasi melalui saluran input (partai, media, kelompok kepentingan) pemerintah didalam sistem politik (withinputs) dan konversinya menjadi output dan hasil kebijakan.

  Dengan ini bentuk perhatian terhadap kebijakan publik benar – benar mengandung manfaat yang paling besar terhadap masyarakat, artinya dengan mengenali rakyatnya, berarti pemerintah sangat sadar benar apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya.

2.1.2. Model dan Proses Kebijakan Publik

  Model adalah sebuah kerangka sederhana yang merupakan sebuah usaha untuk memudahkan penjelasan terhadap suatu fenomena. Model banyak digunakan untuk memudahkan para pemerhati dan pembelajar tingkat awal. Banyak kesulitan yang akan ditemui jika fenomena sosial harus dijelaskan dengan konsep yang abstrak. Oleh karena itu, model diperlukan untuk menyampaikan fenomena yang rumit dan kompleks, dengan tujuan menyamankan persepsi terhadap sebuah fenomena. Model sendiri lahir dari hasil jerih payah membandingkan beberapa (atau banyak) kasus, sehingga ditemukan sebuah konsistensi gejala / fenomena, dan kemudian abstraksi kedalam sebuah model untuk menjelaskan fenomena tersebut.

  Proses analisis kebijakan secara umum merupakan suatu proses kerja yang meliputi lima komponen informasi kegiatan yang saling terkait dan dilakukan secara bertahap dengan menggunakan berbagai teknik analisis kebijakan publik.

  Bagan dari proses analisis kebijakan dibawah ini terjadi secara akumulatif antara komponen informasi dan teknik analisis yang digunakan untuk mengahasilkan dan memindahkannya. Penggunaan teknik – teknik analisis kebijakan (perumusan masalah, peramalan, peliputan, evaluasi, dan rekomendasi) memungkinkan analis memindah salah satu tipe informasi ke informasi lainnya secara berkesinambungan. Informasi dan teknik saling bergantung, dimana keduanya terkait dalam proses pembuatan dan perubahan yang dinamis melalui transformasi informasi kebijakan. Pada konteks ini komponen informasi kebijakan (masalah kebijakan, alternatif kebijakan, tindakan kebijakan, hasil kebijakan, dan hasil guna kebijakan ) ditransformasikan dari satu posisi keposisi lainnya dengan menggunakan teknik analisis kebijakan. Dalam memecahkan masalah yang dihadapi kebijakan publik. (Dunn, 1994) seperti bagan berikut ini :

Gambar 2.1 Proses Analisis Kebijakan Publik

  Masalah Kebijakan

  Sumber : Hessel Nogi S. Tangkilisan,2003 : 7 Dunn (1994) mengemukakan bahwa ada beberapa tahap analisis yang harus

  dilakukan, yaitu: 1.

   Agenda Setting

  Yang pertama kali dilakukan pada tahapan ini adalah menentukan masalah publik yang akan dipecahkan. Pada hakekatnya masalah di ditentukan melalui proses problemstructuring.

  Woll (1996) mengemukakan bahwa suatu isu kebijakan dapat berkembang

  menjadi agenda kebijakan apabila memenuhi syarat sebagai berikut :

  a) Memiliki efek yang besar terhadap kepentingan masyarakat

  b) Membuat analog dengan cara memancing dengan kebijakan publik yang pernah dilakukan c)

  Isu tersebut mampu dikaitkan dengan isu – isu nasional atau politik yang ada

  Hasil Guna Kebijakan Hasil Kebijakan

  Rekomendasi Evaluasi Peliputan Tindakan

  Kebijakan Alternatif Kebijakan e) Tersedianya teknologi dan dana untuk menyelesaikan masalah publik

  Menurut Dunn (1994)problemstructuring memiliki 4 fase yaitu :

  a) Pencarian masalah (problem search)

  b) Pendefenisian masalah (problen definition)

  c) Spesifikasi masalah (problem spesification)

  d) Pengenalan masalah (problem setting)

  Sedangkan teknik yang dapat dilakukan untuk merumuskan masalah adalah analisis batasan masalah, analisis klarifikasi, analisis hirarki dan brainstroming, analisis multi prespektif, analisis asumsional serta pemetaan argumentasi.

  2. Policy Formulation Woll (1966)

  berpendapat bahwa formulasi kebijakan berarti pengembangan sebuah mekanisme untuk menyelesaikan masalah publik, dimana pada tahap analisis kebijakan publik mulai menerapkan beberapa teknik untuk menjustifikasikan bahwa sebuah pilihan yang terbaik dari kebijakan merupakan pilihan yang terbaik dari kebijakan yang lain.

  3. Policy Adoption

  Tahap adopsi kebijakan merupakan tahap untuk menentukan pilihan kebijakan melalui dukungan para stekeholders atau pelaku yang terlibat.

  Pada tahap ini suatu kebijakan telah dilaksanakan oleh unit – unit eksekutor (birokrasi pemerintah) tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan sumber daya lainnya (teknologi dan manajemen), dan pada tahap ini monitoring dapat dilakukan. Menurut Patton dan Sawicki(1993) bahwa implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, mengintreprestasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi.

5. Policy Assesment

  Dalam tahapan ini semua proses implementasi dinilai apakah telah sesuai dengan yang telah ditentukan atau direncanakan dalam program kebijakan.

  Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai – nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah.

2.2. Implementasi Kebijakan

2.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan

  Pembuatan kebijakan tidak berakhir setelah kebijakan ditentukan atau dan diatur saat sedang dibuat “(Anderson, 1975 : 98)”. Implementasi adalah pelaksanaan pembuatan kebijakan dengan cara – cara lain, akan tetapi biasanya kita cenderung menganggap sistem politik sebagai yang menambah problem, dengan menarik garis pemisah antara kebijakan dan administrasi. (Parson, 2008 :

  464)

  Perbedaan antara kebijakan sebagai politik dan administrasi sebagai implemenatsi, maka penjelasan tentang implementasi akan dikaji lebih lanjut dengan memberikan pengertian terhadap studi implementasi. Studi implementasi adalah studi perubahan, yaitu bagaimana perubahan terjadi, merupakan suatu kajian mengenai studi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu kebijakan. Dalam praktiknya implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagai kepentingan. Untuk melukiskan kerumitan dalam proses implementasi tersebut dapat dilihat pada pernyataan yang dikemukakan oleh seorang ahli studi kebijakan Eugene Bardach dalam Leo Agustino (2006:138), yaitu:

  

”Adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang

kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-

kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakan bagi telinga para

pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk

melaksanakannya dalam bentuk cara yang memuaskan semua orang termasuk

mereka anggap klien.”

  Sedangkan, Van Meter dan Van Horn dalam Leo Agustino (2006 : 139) mendefinisikan implementasi kebijakan, sebagai: ”Tindakan-tindakan yang

  dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-

  

kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-

tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”

  Dalam sejarah perkembangan studi implementasi kebijakan, dijelaskan tentang adanya dua pendekatan guna memahami implementasi kebijakan, yakni pendekatan top down, yang muncul pertama kali. Model ini berisi gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa – apa yang diperintahkan, dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem. Sedangkan model bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi dilapangan memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan, namun pada dasarnya mereka bertitik - tolak pada asumsi - asumsi yang sama dalam bentuk mengembangkan kerangka analisis tentang studi implementasi. (Parson, 2008 : 463 - 471)

  Berangkat dari perspektif tersebut, maka timbullah pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

  1. Sampai sejauhmana tindakan-tindakan pejabat pelaksana konsisten dengan keputusan kebijakan tersebut?

2. Sejauhmana tujuan kebijakan tercapai? 3.

  Faktor-faktor apa yang secara prinsipil mempengaruhi output dan dampak kebijakan?

  4. Bagaimana kebijakan tersebut diformulasikan kembali sesuai pengalaman lapangan? Empat pertanyaan tersebut mengarah pada inti sejauhmana tindakan para pelaksana sesuai dengan prosedur dan tujuan kebijakan yang telah digariskan para perhatian terhadap aspek organisasi atau birokrasi sebagai ukuran efisiensi dan efektifitas pelaksanaan kebijakan.

2.2.2. Model-Model Implementasi Kebijakan Publik

  Dimensi paling inti dari kebijakan publik adalah proses kebijakan. Di sini kebijakan publik dilihat sebagai sebuah proses kegiatan atau sebagai satu kesatuan sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara sinambung, saling menentukan dan saling membentuk.

  Dalam bukunya Public Policy, Riant Nugroho (2009, 494-495) memberi makna implementasi kebijakan sebagai “cara agar sebuah kebijakan dapat

  mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang” .

  Ditambahkan pula, bahwa untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu: langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tesebut. Para ilmuwan yang mengembangkan pendekatan ini adalah antara lain Richard Matland (1995), Helen Ingram (1990), dan Denise Scheberle (1997).

2.2.2.1 Model Van Meter dan Van Horn

  Model yang paling klasik, yakni model yang diperkenalkan oleh Donald

  

Van Meter dan Carl Van Horn (1975) . Model ini mengandaikan bahwa implementator, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah variabel berikut:

1. Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi 2.

  Karakteristik agen pelaksana/implementator 3. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik 4. Kecenderungan (disposition) pelaksana/implementor.

  Model implementasi kebijakan ini dipengaruhi 6 faktor, yaitu : 1) Standar kebijakan dan sasaran yang menjelaskan rincian tujuan dan keputusan kebijakan secara umum. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multiintrepretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen impelementasi. 2) Sumberdaya kebijakan berupa dana pendukung implementasi. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumber daya manusia (human resources) maupun sumberdaya non manusia (non human

  ). Dalam berbagai kasus program pemerintah, seperti program

  resources

  jaringan pengaman sosial (JPS) untuk kelompok miskin dipedesaan kurang berhasil karena keterbatasan kualitas aparat pelaksana.

  3) Komunikasi inter organisasi dan kegiatan pengukuran digunakan oleh pelaksanaan untuk memakai tujuan yang hendak dicapai bagi

  4) Karakteristik pelaksanaan, artinya karakteristik organisasi merupakan faktor krusial yang akan menentukan berhasil tidaknya suatu program, mencakup struktur birokrasi, norma – norma, dan pola – pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semua itu akan mempengaruhi implementasi suatu program. 5) Kondisi sosial ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi hasil kebijakan. Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauhmana kelompok

  • – kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada dilingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan. 6) Sikap pelaksanaan dalam memahami kebijakan yang akan ditetapkan. Disposisi implementor ini mencakup akan tiga hal, yakni : (a) Respon implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, (b) Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan, (c) Intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

Gambar 2.2 Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn

  Ukuran dan tujuan Kinerja Kebijakan

  Implemen Karakteristik Disposisi tasi badan pelaksana

  Pelaksana Sumber daya Lingkungan ekonomi,sosial dan politik

  Sumber : Van Meter dan Horn, 1975 : 463

2.2.2.2 Model Grindle(1980)

  Model Implementasi Kebijakan Publik yang dikemukakan Grindle (1980:7) menuturkan bahwa keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain dipengaruhi oleh Content of Policy (isi kebijakan) dan

  (konteks implementasinya).

  Contex of Implementation

  Isi kebijakan yang dimaksud meliputi: 1) Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan (interest affected). 2) Jenis manfaat yang dihasilkan (tipe of benefit). 3) Derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned). 4) Kedudukan pembuat kebijakan (site of decision making).

6) Sumber daya yang dikerahkan (Resources commited).

Gambar 2.3 Model Implementasi Kebijakan Grindle

  Tujuan yang ingin dicapai mengukur keberhasilan

  Sumber : Samodra Wibawa, 1994 : 23

  Sedangkan konteks implementasi yang dimaksud :

  Melaksanakan kegiatan dipengaruhi oleh : (a) Isi Kebijakan

  1. Kepentingan yang dipengaruhi

  2. Tipe manfaat 3.

  Derajat perubahan yang diharapkan

  4. Letak pengambilan keputusan

  5. Pelaksana program 6.

  Sumberdaya yang dilibatkan Hasil kebijakan a.

  Dampak pada masyarakat, individu, dan kelompok b.

  Perubahan dan penerimaan oleh masyarakat Tujuan kebijakan

  Program aksi dan proyeksi individu yang didesain dan dibiayai Program yang dijalankan seperti direncanakan ?

  1) Kekuasaan (power). 2)

  Kepentingan strategi aktor yang terlibat (interest strategies of actors involved) .

  3) Karakteristik lembaga dan penguasa (institution and regime characteristics) .

  4) Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana (compliance and responsiveness).

2.2.2.3 Model Mazmanian dan Sabatier ( 1983 )

  Model yang dikembangkan Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier

  

(1983) yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan

  keputusan kebijakan. Model Mazmanian dan Sabatier disebut model kerangka analisis implementasi (a framework for implementation analysis).

  

Mazmanian - Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke

  dalam tiga variabel, yaitu:

  1. Variabel Independen

  Mudah - tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki

  2. Variabel Intervening

  Diartikan sebagai kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hirarkis diantara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana yang memiliki keterbukaan kepada pihak luar, variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio – ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan resorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.

3. Variabel Dependen

  Yaitu tahapan dalam proses implementasi kebijakan publik dengan lima tahapan, yang terdiri dari : pertama, pemahaman dari lembaga atau badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana; kedua, kepatuhan objek;

  , hasil nyata; ke empat, penerimaan atas hasil nyata; dan ke-lima, tahapan

  ketiga

  yang mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan, baik sebagian maupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.

Gambar 2.4 Model Implementasi Mazmanian dan Sabatier

  Karakteristik Masalah : 1. Ketersedian teknologi dan teori teoritis 2. Keragaman perilaku kelompok sasaran 3. Sifat populasi

  Sumber : Samodra Wibawa, 1994:26

  Menurut George Edward III administrasi publik adalah lack of attention to

  implementation . Dikatakannya, without effective implementation the decission of policymakers will not be carried out successfully

  . Edward menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu communication, resource, disposition or attitudes, dan beureucratic

  structures .

  1) Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi dan/atau publik, ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan kebijakan, sikap dan tanggap dari pihak yang terlibat, dan bagaimana struktur organisasi pelaksana kebijakan.

  Daya Dukung Peraturan 1. Kejelasan / konsistensi, tujuan / sasaran 2.

  Teori kausal yang memadai 3. Sumber keuangan yang mencukupi 4. Integrasi organisasi pelaksana 5. Dikresi pelaksana 6. Rekrutmendari pejabat pelaksana 7. Akses formal pelaksana keorganisasi lain Variabel Non – Peraturan

  1. Kondisi sosial ekonomi dan teknologi 2.

  Perhatian pers terhadap masalah kebijakan 3. Dukungan publik 4. Sikap dan sumberdaya kelompok sasaran utama 5. Dukungan kewenangan 6. Komitment dan kemampuan pejabat pelaksana

PROSES IMPLEMENTASI

  Keluaran kebijakan Kesesuain Dari organisasi keluaran Dampak aktual Dampak yang Pelaksana kebijakan dengan keluaran diperkirakan

2.2.2.4 Model George Edward III ( 1980 )

  2) Resources berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber daya manusia. Hal ini berkenaan dengan kecakapan pelaksana kebijakan publik untuk carry out kebijakan secara efektif.

  3) Disposition berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk

  carry out kebijakan publik tersebut, kecakapaan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan.

  4) Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara implementasi kebijakan publik. Tantangan adalah bagaimana agar tidak terjadi beureucratic fragmentation karena struktur ini menjadikan proses implementasi menjadi jauh dari efektif. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara lembaga-lembaga negara dan/ atau pemerintahan.

Gambar 2.5 Model Implementasi George Edwards III

  Sumber: Winarno, 2002: 125

2.3. Identifikasi Hubungan Antar Variabel Implementasi dalam Penelitian Pelaksanaan merupakan langkah yang sangat penting dalam proses kebijakan.

  Tanpa pelaksanaan, suatu kebijakan hanyalah sekedar sebuah dokumen yang tidak bermakna dalam kehidupan bermasyarakat. Maksudnya, adalah pada tahap ini bermacam alternatif strategi diperhitungkan dengan menggunakan kriteria yang berdasarkan atas nilai – nilai yang ada dalam masyarakat. Perhitungan nilai – nilai bergantung pada pendekatan yang dipakai. Pendekatan – pendekatan ini mempunyai nilai berbeda dalam melihat hakekat dari kebijakan publik yang dengan sendirinya mempunyai pengaruh pada proses kebijakan publik.

  Di karenakan penelitian sosial pada dasarnya merupakan usaha mencari hubungan diantara variabel – variabel maka atribut apapun juga tidak bervariasi tidak dapat hubungannya dengan sesuatu yang lain. Oleh karena itu seorang peneliti perlu melakukakn identifikasi terlebih dahulu terhadap variabel penelitiannya. Identifikasi variabel merupakan langkah penetapan variabel – variabel utama dalam penelitian dan penetuan fungsinya masing – masing. Untuk

gambar 2.6 yang menggambarkan suatu hubungan umum yang sederhana diantara variabel – variabel berikut ini :

  Gambar : 2.6 Hubungan antara variabel -variabel

  V V2

  V T

  V Variabel Bebas Variabel Tergantung Sumber : Saifuddin Azwar 1998 : 61

  Dalam gambar 2.6, V4 adalah suatu variabel yang variasinya dipengaruhi oleh variasi beberapa variabel lain yaitu, V1, V2,dan V3. Variasi variabel V1,

  

V2 ,dan V3 dapat terjadi secara alamiah dan dapat pula terjadi lewat manipulasi

  atau kehendak peneliti sedangkan variasi variabel V4 dalam model ini tergantung pada variasi ketiga variabel tersebut. Variabel V1, V2,dan V3 merupakan variabel bebeas ( independent ) dan variabel V4 merupakan variabel tergantung ( dependent ).

  Variabel tergantung ( dependent ) adalah variabel penelitian yang diukur untuk mengetahui besarnya efek atau pengaruh variabel lain. Besarnyavariabel tersebut diamati dari ada – tidaknya, timbul – hilangnya, membesar – mengecilnya, atau berubahnya variasi yang tampak sebagai akibat perubahan pada variabel lain. Maksudnya variabel tergantung tersebut merupakan kinerja dari implementasi kebijakan tersebut. Sedangkan variabel ( independent ) adalah suatu variabel yang variasinya mempengaruhi variabel lain, yaitu faktor – faktor yang

  Kinerja implementasi kebijakan merupakan variabel pokok yang akan dijelaskan dalam variabel – variabel lain. Kinerja implemntasi tersebut digambarkan secara sederhana dalam tingkat pencapaian tujuan dari kebijakan tersebut. Sedangkan variabel independent merupakan variabel yang di harapkan mampu menjelaskan kinerja dari seluruh kebijakan tersebut. Variabel ini menjelaskan keseluruhan faktor yang memiliki keterkaitan

  independent

  dengan proses implementasi kebijakan yang dilakukan oleh BPM sendiri terhadap investasi yang berada di wilayah Kota Medan.

  

2.4. Hasil - hasil Penelitian Terdahulu mengenai Pelaksanaan Pengawasan

Penanaman Modal Dalam Implementasi Kebijakan

  Secara umum, pengawasan diartikan adalah suatu tindakan yang dilakukan agar tidak terjadi pelanggaran, atau tidak menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan. Menurut GR Terry pengawasan diartikan sebagai kontroling yaitu proses penentuan, apa yang harus dicapai yaitu standart, apa yang sedang dilakukan yaitu pelaksanaan, menilai pelaksanaan dan apabila perlu melakukan perbaikan-perbaikan, sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras dengan standart. Menurut Saragih ( 1982 : 88 ), pengawasan adalah kegiatan menajer yang mengusahakan agar pekerjaan – pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan hasil yang dikehendaki.

  Berdasarkan pengertian diatas peneliti mengambil atau mencantukmakn beberapa penelitian terdahulu, sebagai bahan pertimbangan terhadap isu yang Daerah. Pada penelitian ini Rizky Wahyu Moch. Azhar melakukan penelitian di Provinsi Jawa Barat mengenai pengawasan pada PMA dan PMDN. Di awal penelitiannya ditemukan suatu permasalahan terutama dalam pelaksanaan kegiatan pengawasan dan pembinaan masih terdapat banyak hal yang menjadi kendala bagi Badan Koordinasi dan Penanaman Modal Daerah (BKPPMD) Provinsi Jawa Barat diantaranya yang paling mendasar belum adanya petunjuk teknis yang dimiliki oleh pemerintah daerah, adanya otonomi daerah yang mewarnai kelembagaan investasi di Kabupatenn/Kota yang berbeda-beda kondisi ini mengakibatkan lemahnya koordinasi sering terjadi mutasi pegawai di Kabupaten/Kota khususnya aparatur penanaman modal sehingga mengakibatkan kurang memahami wawasan dan pengetahuan tentang penanaman modal, peraturan daerah yang membebani para investor sehingga biaya ekonomi menjadi tinggi. Kesadaran investor untuk menyampaikan LKPM berkisar antara 4-6%.

  Kompleksnya permasalahan tersebut merupakan tantangan yang harus disikapi dengan penuh kesungguhan, cermat, teliti dan professional oleh BKPPMD Provinsi Jawa Barat sehingga fungsi pengawasan yang dilakukan terhadap proyek-proyek PMA dan PMDN dapat berjalan secara efektif dan efisien.

  Dalam pembahasan ini, menjelaskan mengenai Pengawasan Preventif oleh Badan Koordinasi Promosi dan Penanaman Modal Daerah (BKPPMD) Provinsi Jawa Barat dalam kegiatan investasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) supaya memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi khususnya Provinsi Jawa Barat. Pengawasan Investasi PMA dan PMDN di Provinsi Jawa Barat pada dasarnya telah dilakukan dengan baik, namun masih terdapat beberapa kekurangan, yaitu: tidak adanya Petunjuk Teknis (JUKNIS) tentang tata cara pengawasan kegiatan Investasi PMA dan PMDN yang berdampak pada ketidakjelasan batas kewenangan kegiatan Investasi antara Provinsi maupun Kabupaten dan Kota, ada ketidakjelasan dalam hal penerapan sanksi-sanksi kepada perusahaan PMA dan PMDN yang melanggar peraturan, pengorganisasian tim pengendalian tidak berjalan dengan apa yang seharusnya, dikarenakan peran BKPPMD Provinsi Jawa Barat masih dominan dan daerah kurang dilibatkan. Serta dalam pengawasan represif yang dilakukan oleh BKPPMD Provinsi Jawa Barat dalam kegiatan Investasi PMA dan PMDN di Provinsi Jawa Barat masih terdapat kekurangan, antara lain: belum tersedianya berapa jumlah 105 perusahaan PMA dan PMDN yang dikategorikan tahap perencanaan, tahap pembangunan, dan tahap komersil, fungsi koordinasi masih lemah karena proses penyusunan perencanaan belum melibatkan lembaga teknis penanaman modal yang berada di Kabupaten dan Kota, laporan pelaksanaan tugas tim pengendalian dan pengawasan kegiatan Investasi PMA dan PMDN baru dilakukan secara tertulis dan belum di evaluasi oleh pimpinan untuk mengetahui kinerja tim berdasarkan tingkat struktural.

  Dari penelitian diatas dapat diketahui bahwa pengawasan penanaman modal dibidang investasi masih minim. Pengawasan yang dilakukan untuk mengetahui apakah perusahaan penanaman modal memenuhi kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang – Undang Nomor 25 Tahun penting sebagai suatu upaya yang diperlukan agar rencana investasi yang disetujui oleh pemerintah bagi para penanam modal melalui pemberian persetujuan dapat direalisasikan dengan baik tanpa melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang – undangan.

  Penelitian yang dilakukan Suranto, SH., MH dan Isharyanto, SH., MH dalam yang berjudul “Pengembangan Investasi Daerah Melalui Model Pelayanan

  joernal

  Birokrasi Responsif di Kabupaten Sragen dan Kota Surakarta”. Mereka menyebutkan bahwa kendala yang dihadapi dalam Pengembangan Investasi Derah Menuju Modal Pelayanan Birokrasi Yang Responsif di Kota Surakarta, adalah :

  a) Kendala dunia usaha Pembinaan dan pengembangan dunia usaha telah dilakukan dengan berbagai upaya seperti : pembinaan dan pelatihan manajemen usaha, promosi dagang,pameran – pameran industri dan perdagangan, baik lokal maupun nasional dan Internasional. Dunia usaha yang berkembang tersebut kemudian mengalami penurunan akibat kerusuhan sehingga banyak fasilitas – fasilitas perdagangan mengalami kerusakan. Selain itu kondisi krisis ekonomi yang dampaknya melanda sampai kedaerah, telah menurunkan daya beli masyarakat, melemahkan sendi-sendi produksi, banyak kegiatan industri yang terhenti sehingga pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak dapat dihindarkan dan akhirnya pengangguran dan keluarga miskin menjadi meningkat.

  Permasalahan dunia usaha tidak hanya disebabkan oleh ketidak berdayaan pelaku usaha menghadapi krisis ekonomi, tetapi seringkali dikarenakan lingkungan usaha

  Kebijakan pemerintah daerah dalam upaya peningkatan pendapatan asli daerah kadang juga bersifat kontra produktif terhadap perkembangan dunia usaha.

  Dampak permasalahan dunia usaha ini tidak semata – mata menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga banyak terkait dengan masalah – masalah sosial serta keamanan dan ketertiban masayarakat.

  b) Kendala sumber daya manusia (SDM) Masalah – masalah yang berkenaan dengan sumberdaya manusia adalah mencakup masalah pendapatan masayarakat yang belum optimal dan merata, pendidikan danketerampilan yang masih relatif terbatas, pelayanan kesehatan yang masih mahal dan belum merata dan lain – lain.

  c) Kendala mengenai birokrasi dan hukum Pelayanan publik yang dikeluhkan terutama terkait dengan ketidak pastian biaya dan lamanya waktu berurusan dengan perizinan birokrasi.

  Kemudian didalam joernal Zainal Aqli, Deni Slamet Pribadi, dan Nur Arifudin yang membahas tentang “Pelaksanaan Pengawasan Kegiatan Investasi Oleh Badan Perizinan Dan Penanaman Modal Daerah Di Kalimantan Timur”.

  Permasalahan dalam penelitian ini yaitu lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pweijinan dan Penanaman Modal Daerah (BPPMD) yang mengakibatkan timbulnya kesenjangan antara nilai rancana dan realisasi penanaman modal yang diterbitkan oleh BPPMD.

  Dari penelitian tersebut kendala yang dihadapi oleh BPPMD yaitu lemahnya pengawasan terhadap izin prinsip yang dilakukan oleh Sub Bidang Pembinaan dimiliki BPPMD, kurangnya pembinaan ke perusahaan penanaman modal mengenai penyampaian Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM), dan koordiansi yang kurang antara instansi / lembaga dibidang penanaman modal baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

2.5. Variabel – variabel yang dianggap relevan dalam mempengaruhi Proses Pelaksanaan Peraturan Walikota Medan Nomor 54 Tahun 2010.

  Proses pelaksanaan kebijakan pemerintah terdapat banyak model-model dalam mengimplementasikan kebijakan yang menggunakan pendekatan top-down dan setiap model menawarkan variabel - variabel yang mempunyai kesamaan juga perbedaan dengan model yang lain, namun dalam penelitian ini tidak semua model tersebut efektif digunakan.

  Setelah proses legislasi kebijakan selesai, maka kebijakan publik di implementasikan. Dalam tahap implementasi kebijakan, isi kebijakan, dan akibat

  • – akibatnya mungkin akan mengalami modifikasi dan elaborasi bahkan mungkin akan dinegasikan.

  Sebagaimana di ungkapkan Lester dan Stewart 2000( dalam buku Solahuddin , implementasi adalah sebuah tahapan yang dilakukan setelah

  Kusumanegara, 47 )

  aturan hukum ditetapkan melalu proses politik. Kalimat tersebut seolah – olah menunjukkan bahwa implementasi lebih bermakna non politik, yaitu administratif. Secara luas implementasi dapat didefenisikan sebagai proses administrasi dari hukum yang didalamnya tercakup keterlibatan berbagai macam aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang dilakukan agar kebijakan yang telah

  Teori – teori implementasi berkembang seiring dengan hasil riset yang dilakukan para ahli kebijakn publik. Dari berbagai studi implementasi yang telah dilakukan, studi yang dianggap secara subtansial membantu perkembangan teori implementasi adalah studi yang dilakukan oleh Pressman dan Wildavky pada akhir 1960an. Pressman dan Wildavky melakukan penelitian dalam bentuk studi kasus yang difokuskan pada kesulitan – kesulitan yang dialami pemerintah Kota Oakland di California ketika melaksanakan program latihan personil federal. Islamy (2001) mendeskripsikan studi tersbut sebagai berikut :

  

“........ Dari hasil kajian, mereka menunjukkan bahwa kebijakan tersebut gagal

dilaksanakan. Mereka menginterview aktor – aktor yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, menilai hasil kebijakannya, dan mengkaji sebab – sebab mengapa kebijakan tersebut gagal dilaksanakan. Pada

prinsipnya implementasi adalah merupakan suatu kecakapan atau kemapuan

untuk mewujudkan hubungan sebab akibat sehingga kebijakan yang telah

dibuat dapat memberikan hasil. Implementasi menjadi semakkin tidak efektif

bila hubungan yang ada diantara berbagai agensi yang terlibat dalam

implementasi kebijakan tersebut terjadi “defisit”. Oleh karena itulah kebijaakn

yang gagal dilaksanakan itu perlu dikaji / dianalisis untuk dicarikan cara

pemecahannya., yaitu : tujuan kebijakan harus didefenisikan dengan jelas dan

dipahami oleh semua pihak ; sumber – sumber yang diperlukan harus tersedia

dengan cukup ; rantai komando harus dapat menyatukan dan mengawasi

semua sumber – sumber ; sistem komunikasi harus berjalan dengan efektif ;

pengawasan yang ketat harus dilakukan terhadap individu dan organisasi yang terlibat dalam proses pelaksanaan kebijakan tersebut”.

  Maka atas kasus yang ditelitinya, Pressman dan Wildavsky menyarankan pada pembuatan kebijakan menerapkan pendekatan top – down dalam melaksanakan kebijakan agar berhasil. Studi ini memberi energi untuk pengembangan lebih lanjut teori – teori dan kerangka analistis implementasi kebijakan, diantaranya sekarang dikenal dua pendekatan yaitu : top – down dan

  

bottom – up. Namun dalam perkembangannya studi implementasi, para penulis kompleksitas variabel yang dapat terlibat didalamnya. Ada beberapa penulis yang berani menggunakan semua variabel – variabel peneliti tersebut , tetapi tidak sedikit pula yang yang mencoba untuk lebih mngembangkan model – model yang ada sesuai dengan yang terindentifikasi dalam studi mereka.

  Secara umum suatu kebijakan dianggap berkualitas dan mampu dilaksanakan bila mengandung elemen berikut ; pertama, tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang ingin dicapai atau alasan yang dipakai untuk mengadakan kebijakan itu. Tujuan atau alasan suatu kebijakan dapat dikatakan baik, jika tujuan itu ; a) rasional, artinya tujuan dapat dipahami dan diterima oleh akal sehat. Ini terutama dilihat dari faktor – faktor pendukung yang tersedia. Suatu kebijakan yang tidak mempertimbangkan faktor pendukung, tidak dapat dianggap kebijakan yang rasional ; b) diinginkan ( desirable ), tujuan dari kebijakan menyangkut kepentingan orang banyak, sehingga mendapat dukungan dari banyak pihak. asumsi yang dipakai dalam proses perumusan kebijakan itu realistis.

  Kedua, Asumsi tidak mengada – ada. Asumsi menentukan sikap validitas suatu kebijakan.

  informasi yang digunakan cukup lengkap dan benar. Suatu kebijakan

  Ketiga,

  menjadi tidak tepat kalau didasarkan pada informasi yang tidak benar atau sudah kadaluarsa ( out of date ). Oleh karena itu dalam studi implementasi yang perlu diingat bahwa pelaksanaan kebijakan adalah upaya pemerintah untuk memenuhi keinginan masyarakat yang tidak terlepas dari berbagai konflik politik dalam masyarakat. Untuk itu, dalam hubungan dengan strategi ini juga perlu diingat pelaksanaan suatu kebijakan pada dasarnya adaalh suatu perubahan atau

  Artinya, perubahan yang diterapkan oleh studi implemntasi kebijakan mengaitkan berbagai lapisan masyarakat, baik dalam lingkungan pemerintahan yang dapat berlaku pada semua kasus, bukan hanya menjadi teori implementasi saja.

  Berdasarkan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, termasuk kedalam kategori decentralized polices, yaitu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat, namun pengimplementasiannya diserahkan pada masing - masing daerah bersifat ( top-down ). Tetapi pada penelitian ini penulis tidak hanya menggunakan model – model top – down saja, melainkan juga menggabungkan beberapa model yang dianggap relevan dengan penelitian ini, antara lain, model Van Meter dan Van Horn ( 1975 ), Edward III ( 1980 ), dan

  .

  Grindle ( 1980 )

  Proses pelaksanaan pada umumnya cenderung mengarah pada pendekatan yang bersifat sentralistis atau dari atas kebawah. Apa yang dilaksanakan adalah apa yang diputuskan. Tetapi dalam masyarakat demokratis, peranan rakyat sebagai pemilik negara selalu di indahkan. Maka itu pengertian publik sebagai masyarakat tidak boleh ditutupi dengan pengertian publik sebagai pemerintah.

  Kebijakan publik adalah kebijakan pemerintah, tapi semua kegiatan itu harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat. Sehubungan dengan kecenderungan dari pelaksanaan yang sentralistis dan prinsip demokrasi inilah pelaksana kebijakan tidak bisa hanya dilihat dari pendekatan top – down, melainkan juga dengan pendekatan bottom – up.

  Dengan begitu banyaknya pendekatan atau model – model implementasi variabel atau faktor - faktor yang mempengaruhi kinerja implementasi yang digunakan juga tidak terfokus pada satu model saja. Model implementasi kebijakan yang ada tidak perlu diaplikasikan mentah-mentah, melainkan dapat disintesiskan sesuai dengan relevansi dan kebutuhan yang sesuai untuk melihat kinerja implementasi suatu kebijakan tertentu. Dengan memahami model-model tersebut, implementasi dapat dilihat lebih cermat, sehingga banyak persoalan yang dapat dianalisis secara komprehensif. Oleh karena itu, dalam melihat kinerja implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah ini, pada Peraturan Walikota Medan Nomor 54 Tahun 2010 tentang Rincian Tugas Pokok dan Fungsi Penanaman Modal di Kota Medan.

  Maka peneliti lebih tertarik memilih beberapa variabel yang dianggap mempengaruhi, antara lain sebagai berikut :

1. Karakteristik Pelaksanaan Kebijakan

  Karakteristik pelaksana kebijakan merupakan faktor krusial yang akan menentukan berhasil tidaknya suatu program, mencakup struktur birokrasi, norma

  • – norma, dan pola – pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semua itu akan mempengaruhi implementasi suatu program. Meski model yang diajukan

  

Van Meter dan Van Horn menekankan penting partisipasi implementor dalam

  penyusunan tujuan kebijakan, namun pendekatan mereka di kategorikan pendekatan top – down, sebab dalam bukunya mereka mengatakan bahwa standar dan tujuan kebijakan di komunikasikan pada implementor melalui jaringan interorganisasional, atau dengan perkataan lain, yang terpenting adalah para implementor memahami dan menyetujui tujuan dan standar yang telah ditetapkan, bukan turut menentukan tujuan dan standar tersebut.

  Selanjutnya Van Meter dan Van Horn juga mengatakan bahwa da 6 variabel yang harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu : 1) tujuan kebijakan dana standard yang jelas ; 2) sumberdaya ; 3)kualitas hubungan inter-organisasional; 4) karakteristik lembaga / organisasi pelaksana ; 5) lingkungan politik ; 6) Disposisi.

  Karakteristik pelaksana kebijakan dan struktur birokrasi mencakup kejelasan isi atau tujuan – tujuan dari kebijakan, yaitu ; 1) sejauhmana aparat pelaksana kebijakan dan kelompok target konsisten dengan tujuan dan prosedur kebijakan yang telah ditetapkannya, 2) sejauhmana konsistensi dampak dengan tujuan kebijakan, 3) faktor akah yang secara prinsipil mempengaruhi output dan dampak yang relevan dengan kebijakan resmi dan kondusif secar politis, 4) bagaimanakah kebijakan direformulasikan sepanjang waktu disebabkan oleh pengalaman – pengalaman yang terjadi pada waktu impelementasi.

2. Komunikasi

  George Charles Edward III ( 1980 ), kendati karyanya tidak pernah dikutip

  dan dibahas oleh para penulis asing ( Amerika dan Inggris ) dalam bukunya tentang kebijakan public, khususnya dalam kajian tentang implemntasi kebijakan, namun karya Edward inu justru paling banyak di kutip oleh penulis dan pemerhati implementasi di Indonesia dibanding model yang dikembangkan Van Meter dan

  

Van Horn . Meski variabel - variabel yang ia ajukan nyaris serupa, bahkan lebih

  Dalam model yang di kembangkannya, ia mengemukakan 4 faktor kritis yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan implementasi. Pendekatan yang dilakukan dengan mengajuka pertanyaan : “ prakondisi apa yang harus ada agar implementasi berhasil?, dan apa yang menjadi kendala pokok bagi suksesnya suatu implementasi?, dan menemukan 4 variabel tersebut setelah mengkaji beberapa pendekatan yang dilakukan penulis lain, variabel tersebut adalah : 1.

  Komunikasi ; 2. Sumberdaya ; 3.Disposis atau sikap pelaksana ; 4. Struktur Birokrasi, yang keseluruhannya saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan implemntasi.

  Dalam Komunikasi, ada 3 yang perlu mendapatkan perhatian, a). Transmisi, sebuah kebijakan yang akan di implementasikan harus disalurkan kepada pejabat yang akan melaksanakannya. Seringkali masalah transmisi terjadi manakala pelaksana tidak menyetujui kebijakan tersebut dengan mendistorsikan perintah kebijakan atau bahkan menutup komunikasi yang di perlukan. Masalah transmisi juga terjadi manakala kebijakan yang kaan di implementasikan harus melalui struktur birokrasi yang berlapis atau karena tidak tersedianya saluran komunikasi yang memadai. b). Kejelasan, kejelasan tujuan dan cara yang akan digunkan dalam sebuah kebijakan merupakan hal yang mutlak agar dapat di implementasikan sebagaimana telah diputuskan. c). Konsisten, implementasi yang efektif selain membutuhkan komunikasi yang jelas, juga yang konsisten. Proses transmisi yang baik namun dengan perintah yang tidak konsisten akan menyebabkan membingungkan pelaksana.

  Disposisi adalah sikap dan komitmen dari pelaksana terhadap kebijakan atau program yang harus mereka laksanakan karena setiap kebijakan membutuhkan pelaksanaan – pelaksanaan yang memiliki hasrat kuat dan komitmen yang tinggi agar mampu mencapai tujuan kebijakan yang diharapkan. Terdapat unsur utama yang mempengaruhi kemampuan dan kemauan aparat pelaksana untuk melaksanakan kebijakan yaitu : a). Kognisi, yaitu seberapa jauh pemahaman terhadap kebijakan.

  Struktur birokrasi Edward III adalah mekanisme kerja yang dibentuk untuk mengelola pelaksanaan sebuah kebijakan. Ia menekankan perlu adanya Standard

Dokumen yang terkait

BAB II URAIAN TEORITIS - Proses Akulturasi Dan Perubahan Identitas (Pengaruh Proses Akulturasi Terhadap Perubahan Identitas Etnis Pasangan Keturunan Jepang Dan Indonesia Di Fukushi Tomo No Kai)

0 0 27

1 BAB I PENDAHULUAN - Proses Akulturasi Dan Perubahan Identitas (Pengaruh Proses Akulturasi Terhadap Perubahan Identitas Etnis Pasangan Keturunan Jepang Dan Indonesia Di Fukushi Tomo No Kai)

0 0 6

Proses Akulturasi Dan Perubahan Identitas (Pengaruh Proses Akulturasi Terhadap Perubahan Identitas Etnis Pasangan Keturunan Jepang Dan Indonesia Di Fukushi Tomo No Kai)

0 0 12

BAB II - Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Mahkamah Syar’iyah Daerah Kutacane Kabupaten Aceh Tenggara

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN - Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Mahkamah Syar’iyah Daerah Kutacane Kabupaten Aceh Tenggara

0 0 16

Kajian Selektivitas Erosi Pada Budidaya Karet 25 Tahun di Desa Lau Damak Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat

0 0 11

Analisis Viabilitas Finansial Petani Ubi Kayu Di Kabupaten Serdang Bedagai (Studi Kasus: Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Sergei)

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Viabilitas Finansial Petani Ubi Kayu Di Kabupaten Serdang Bedagai (Studi Kasus: Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Sergei)

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Kelayakan Usaha Ternak Itik Studi Kasus: Desa Percut, Kec. Percut Sei Tuan, Kab. Deli Serdang

0 3 12

Pemanfaatan Kulit Buah Kakao Dan Kulit Buah Pisang yang Difermentasi Berbagai Bioaktivator Terhadap Performans Kambing Kacang Jantan Lepas Sapih

0 1 16