BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA PIDANA JIKA DIKAITKAN DENGAN ASAS OPORTUNITAS DAN UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA A. Pengertian Asas Oportunitas - Analisis Yuridis Penerbitan Surat Perintah

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA PIDANA JIKA DIKAITKAN DENGAN ASAS OPORTUNITAS DAN UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA A. Pengertian Asas Oportunitas

   Perkataan oportunitas berasal dari kata-kata latin. Menurut kamus bahasa

  Indonesia karangan W.J.S. Poerwardarminto, oportunitas berarti ketika atau

  

  kesempatan yang baik. Sedangkan H. Kotslesen, mengartikan oportunitas sebagai

  

  “Geschte Gelegheid”. Jadi, pada umumnya oportunitas berarti kesempatan yang tepat. Kesemuanya mengandung pengertian dalam hukum pidana adalah

  

  pengenyampingan perkara (deponering). Asas tersebut memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk meniadakan penuntutan hukum terhadap seseorang yang disangka telah mewujudkan suatu perbuatan berdasarkan pertimbangan bahwa

   lebih menguntungkan kepentingan umum jikalau tidak diadakan penuntutan.

  Wewenang penuntutan dipegang oleh Penuntut Umum dengan cara monopoli, artinya tiada badan lain yang dapat melakukan itu. Ini disebut dominus di tangan Penuntut Umum. Dominus berasal dari bahasa latin yang artinya

  litis

  76 Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal. 151. 77 Djoko Prakoso, Eksistensi Jaksa di Tengah-Tengah Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 88. 78 79 Ibid. 80 Andi Hamzah, Loc.cit.

  A. Zainal Abidin, Sejarah Perkembangan Masalah Oppurtunitas di Indonesia, (Ujung Pandang: Prasaran Seminar, 1981), hal. 12. Lihat juga : Pasal 35 huruf c. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

  39 pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya. Jadi, hakim hanya menunggu saja penuntutan dari Penuntut Umum.

  Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio, menjelaskan asas oportunitas sebagai berikut

  

  “Opportuniteits Principle (bahasa Belanda) adalah suatu prinsip yang mengizinkan penuntut umum untuk tidak melakukan tuntutan terhadap seorang tersangka, pun dalam hal dapat dibuktikan kiranya bahwa tersangka benar telah melakukan suatu tindak pidana. Dikatakannyalah bahwa penuntut umum berhak mendeponir suatu perkara apabila kepentingan umum, menurut pendapatnya menghendaki pendeponiran itu”.

  : Menurut A. Zainal Abidin dalam memberikan perumusan asas oportunitas sebagai berikut :“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum”.

   Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asas oportunitas merupakan asas

  hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk tidak wajib menuntut seseorang atau korporasi yang melakukan perbuatan pidana jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum baik dengan atau tanpa syarat.

  Asas oportunitas tercantum di dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang No.

  16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Ketentuan tersebut sebenarnya tidak menjelaskan arti asas oportunitas, hanya dikatakan bahwa : “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan 81 Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1971), hal. 79. 82 A. Zainal Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1983), hal.

  89. umum”. Apa artinya “kepentingan umum” dijelaskan dalam buku pedoman pelaksanaan KUHAP, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah sebagai berikut:“....dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan asas oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan negara, dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan masyarakat”.

  Pendapat tersebut di atas hampir mirip dengan pendapat Soepomo, yang

  

  mengatakan bahwa : “Baik di negeri Belanda maupun di negeri Hindia-Belanda, berlaku yang disebut asas opportunitas dalam tuntutan pidana itu artinya Badan Penuntut Umum wewenang untuk tidak melakukan suatu penuntutan, jikalau adanya tuntutan itu dianggap tidak oppurtuun, tidak guna kepentingan masyarakat”.

  Sedangkan dalam penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16

   Tahaun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu :

  “Yang dimaksud dengan “kepentingan umum”adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung, setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”.

  Hal ini berarti kewenangan mengesampingkan perkara hanya ada pada Jaksa Agung dan bukan pada jaksa di bawah Jaksa Agung (vide Penjelasan Pasal 77 KUHAP).

  83 84 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 20.

  Lihat : Penjelasan Pasal 35 huruf c. Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Dengan Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana tersebut diatas, semakin tidak jelas pelaksanaan asas oportunitas tersebut. Dengan adanya frase“Setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”. Hal ini menjadi semakin kabur pengertiannya. Menjadi kabur karena badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut tidak jelas. Hal ini berarti wewenang oportunitas dibatasi secara remang-remang sehingga tidak ada kepastian hukum dalam penerapannya. Demikianlah sehingga dalam prakteknya menjadi sama dengan

   penerapan asas legalitas yang menjadi lawan arti asas oportunitas.

  Asas legalitas yang dianut di negara Jerman, Austria, Italia dan Spanyol berarti semua perkara harus dilimpahkan ke pengadilan oleh Penuntut Umum.

  Namun, dalam praktek di Jerman, Jaksa dapat meminta izin kepada Hakim untuk tidak melakukan penuntutan dengan syarat tertentu. Pada negara Italia ada kecenderungan Jaksa yang mengulur-ulur perkara sehingga menjadi lewat waktu (verjaard) sehingga tidak dapat dilakukan penuntutan jika jaksa terhadap suatu

   perkara tidak dikirim ke Pengadilan.

  Berbeda dengan asas oportunitas yang dikenal secara global yang merupakan wewenang semua Jaksa (bukan oleh Jaksa Agung saja), untuk melaksanakan asas itu dengan pengertian: “Penuntut Umum dapat menuntut atau tidak menuntut dengan 85

  “Laporan Tim Analisa dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana”, (Jakarta: 2006), hal. 27-28. Lihat juga : Syafruddin Kalo, “Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek”, (Medan : Fakultas Hukum Universitas Darma Agung, 2007), hal.

  1. 86 Ibid ., hal. 28.

  syarat atau tanpa syarat suatu perkara ke pengadilan” (the public prosecutor may ). Pada negara Norwegia, bahkan jaksa

  decide-to make prosecution to court or not

  dapat mengenakan sanksi sendiri sebagai syarat untuk tidak dilakukan penuntutan ke

  

  pengadilan yang disebut patale unnlantese. Hal ini untuk mencegah menumpuknya perkara di pengadilan dan membuat penjara menjadi penuh sesak. Sedangkan pada negara Nederland baru-baru ini terbit peraturan bahwa semua perkara yang diancam pidana di bawah 6 (enam) tahun penjara, jika kasusnya bersifat ringan, dengan memperhatikan keadaan pada waktu delik dilakukan, terdakwa telah berubah tingkah lakunya dikenakan afdoening yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan syarat

   terdakwa membayar denda administratif.

  Pengertian kepentingan umum sebagaimana yang dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c.Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia diperluas dan mencakup kepentingan hukum. Hal ini dikarenakan bukan saja berdasarkan atas alasan-alasan hukum semata tetapi juga didasarkan atas alasan-alasan lain, antara lain: alasan kemasyarakatan; alasan kepentingan keselamatan negara; dan saat ini meliputi juga faktor kepentingan

   tercapainya pembangunan nasional.

  Dalam mendasarkan pertimbangan dan penilainnya, Jaksa Agung akan melihatnya pula dari segi kepentingan masyarakat luas, terutama dari segi falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara yang mengutamakan sikap dasar untuk mewujudkan keselarasan, keserasian dan 87 88 Ibid. 89 Ibid.

  Ibid. , hal. 13-14. keseimbangan dalam hubungan sosial antara manusia pribadi dengan manusia lainnya untuk mencapai atau memperoleh kepentingannya. Jelas bahwa kebijakan penuntutan untuk kepentingan umum dipercayakan dan dipertanggungjawabkan pada Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi, dan adanya asas oportunitas merupakan lembaga yang dibutuhkan dalam penegakan hukum demi menjamin

   stabilitas dalam suatu negara tertentu.

  Selain itu, KUHAP juga memberi peluang mengenai keberlakuan asas oportunitas walaupun tidak diatur secara tegas seperti dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pasal-pasal mengenai penyampingan perkara tidak diatur sendiri melainkan tersebar pada ketentuan mengenai benda sitaan dan pra-peradilan. Pasal 46 ayat (1) huruf c. KUHAP menyatakan :

  “Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila : c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana”.

  Dalam ketentuan tersebut tidak ada penjelasan sama sekali mengenai penyampingan perkara kecuali tentang benda sitaan. Namun dalam penjelasan Pasal

  77 KUHAP terdapat penjelasan yang lebih memadai mengenai wewenang penyampingan perkara yang berada di tangan Jaksa Agung. Penjelasan Pasal 77 KUHAP yang berbunyi: “Yang dimaksud penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara demi kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa 90 Ibid. , hal. 14.

  Agung”. Berdasarkan penjelasan Pasal 77 KUHAP, buku pedoman pelaksanaan

   KUHAP, KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas oportunitas.

  Sebelum ketentuan diatas, dalam praktik telah dianut asas oportunitas tersebut. Dalam hal ini Lemaire, mengatakan bahwa : “Pada dewasa ini asas oportunitas lazim dianggap sebagai suatu asas yang berlaku di negara ini, sekalipun

  

  sebagai hukum tidak tertulis yang berlaku”. Menurut Andi Hamzah, dengan berlakunya UUD 1945, maka Jaksa Agung mempertanggungjawabkan pelaksanaan wewenang oportunitas kepada Presiden yang pada gilirannya Presiden mempertanggung-jawabkannya pula kepada rakyat.

B. Sejarah Penerapan Asas Oportunitas di Indonesia

  Asas oportunitas ini berasal dari Perancis melalui Belanda dimasukkan ke Indonesia melalui hukum kebiasaan dilanjutkan sampai masa penjajahan Jepang dan masa kemerdekaan sampai dengan tahun 1961 hingga sekarang dalam Undang- Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Di Indonesia hanya Jaksa Agung yang berwenang mengenyampingkan perkara pidana berdasarkan kepentingan umum, hal ini untuk mencegah penyalahgunaan wewenang seperti

  

  disinyalir oleh MVT SV Netherland. Jaksa Agung dapat mendelegasikan wewenangnya kepada Kepala Kejaksaan Tinggi. Berbeda dengan Belanda ada kemungkinan pihak yang merasa dirugikan dapat memprotes penseponeran perkara 91 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan , Edisis Kedua, (Jakarta: Sinara Grafika, 2009), hal. 37. 92 93 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op.cit., hal. 17.

  Ibid ., hal. 71. pidana dapat memohon kepada pengadilan untuk melakukan penuntutan sedangkan di Indonesia hal yang demikian tidak diatur.

  Belanda mengenal 2 (dua) macam seponering, yaitu : seponering bersyarat dan seponering tidak bersyarat. Undang-Undnag No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak menyebutkan yang demikian, namunketentuan tentang asas oportunitas yang terdapat di dalam ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan pengertian seponering perkara pidana berdasarkan asas oportunitas termasuk

  (kebebasan menetukan kebijaksanaan) yang dalam Hukum

  beleidvrijheid

  Administrasi Negara disebut dengan Freies Ermessen. Hal ini sejalan dengan

  

  pendapat A.L.Melai, yang menyatakan bahwa : “Wewenang penuntut umum dalam hal meniadakan penuntutan berdasarkan asas oportunitas merupakan Rechtsvinding (penemuan hukum) yang harus dipertimbangkan berhubung karena hukum menuntut adanya keadilan dan persamaan hukum, hukum bertujuan untuk menjamin kemanfaatan dan kedamaian”.

  Menurut A. Zainal Abidin, dimana ada kehidupan bersama manusia atau masyarakat berarti disitu ada hukum termasuk hukum pidana. Sejarah adalah apa yang telah terjadi dan bukan penghentian melainkan gerak. Bukan mati melainkan hidup. Hukum adalah gejala suatu sejarah dan tunduk kepada perkembangan yang berkesinambungan. Pengertian perkembangan mengandung 2 (dua) unsur, yaitu :

   perubahan dan stabilitas. 94 Menurut J.M. van Bemmelen, menyatakan bahwa : 95 Ibid ., hal. 72.

  “Pusat Penelitian dan Kajian Hukum Kejaksaan Agung”, Simposium Tentang Masalah- Masalah Asas Opourtunitas, (Ujung Pandang, 1981), hal. 21.

  “Asas oportunitas merupakan hukum kebiasaan yang tidak tertulis mulai dikenal di Belanda pada abad XIX dengan lahirnya lembaga baru yang khusus ditugaskan menuntut atau tidaknya perkara pidana. Asas tersebut merupakan asas hukum tidak tertulis berkaitan dengan pembentukan suatu badan khusus kekuasaan eksekutif yang secara hirarkhi disusun, yang diberikan terutama untuk menuntut perkara pidana, disamping tugas-tugas lain seperti penyidikan dan pelaksanaan keputusan hakim. Tidak tertutup kemungkinan dikenalnya sejenis asas oportunitas sebelum abad XIX. Tetapi asas tersebut tidak dilaksanakan oleh seseorang yang mewakili pemerintah. Yang menjalankan adalah tuan-tuan tanah feodal atau pegawai-pegawai gereja yang bertindak atas nama gereja”.

   Menteri Smidt pada tahun 1893 menganjurkan kepada penuntut umum untuk mengadakan penuntutan apabila delik yang dilakukan merugikan ketertiban umum.

  Anjuran tersebut memberi fungsi positif kepada asas oportunitas. Agar penuntut umum selalu mempertimbangkan untuk tidak menuntut jika ketertiban umum atau kepentingan tidak dirugikan. Pelaksanaan asas oportunitas pada abad XIX di Belanda merupakan perbedaan tersendiri karena falsafah hukum pada abad XVIII sampai permulaan abad XIX menghendaki undang-undang dilaksanakan menurut naskahnya yang berarti dikehendaki pula asas legalitas. Asas legalitas dalam hukum acara pidana mewajibkan penuntut umum menuntut setiap kali terdapat dasar dalam naskah perundang-undangan. Pada tahun 1926, Belanda menyusun KUHAP yang memberikan wewenang penyampingan perkara pidana sebagai hukum tertulis. Asas oportunitas diatur dalam Pasal 167 ayat (2), 242 ayat (2), 244 ayat (3), dan 245 ayat (4) Sv. 1926.

  

  96 Ibid. , hal. 26. 97 Ibid. , hal. 27.

  Asas oportunitas yang sumber asalnya adalah negara Perancis melalui Belanda dimasukkan juga ke Indonesia melalui hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis. Dikatakan tidak tertulis karena adanya Pasal 179 RO, yang menyatakan

  

  “Kepada Hooggerechtshof diberikan kewenangan, bila ada pengaduna pihak yang berkepentingan atau secara lain manapun, mengetahui telah terjadi kealpaan dalam penuntutan kejahatan atau pelanggaran, memberi perintah kepada Pokrol Jenderal supaya berhubung dengan itu, melaporkan tentang kelapaan itu dengan hak memerintahkan agar dalam hal itu diadakan penuntutan jika ada alasan untuk itu.”

  

  Pasal 179 RO ini menimbulkan penafsiran yang berkaitan dengan asas oportunitas. Penafsiran itu menyatakan bahwa Pasal 179 RO membuka peluang untuk pelaksanaan asas oportunitas. Ini dapat dilihat dari ayat pertama ketentuan ini, yaitu : “Kecuali penuntutan oleh Gubernur Jenderal dengan perintah tertulis telah atau akan dicegah”.

99 Sehingga praktek oportunitas tidak berdasar dari suatu

  ketentuan undang-undang dan praktik oportunitas juga dilarang menurut Pasal 57 RO, yang menyatakan

  

  Menurut Wirjono Prodjodikoro, pendapat tersebut tidak tepat. Bila dikatakan penuntut umum harus melakukan hal sesuatu yang berhubungan dengan pelaporan, ini belum berarti penuntut umum harus menuntut seseorang yang melakukan

  “Bahwa pegawai-pegawai penuntut umum wajib melakukan hal sesuatu yang berhubungan dengan suatu laporan yang diterim oleh mereka tentang adanya suatu perbuatan yang oleh undang-undang diancam hukuman pidana”.

  98 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op.cit., hal. 15. 99 Ibid. 100 Ibid. peristiwa pidana. Penuntut umum hanya diwajibkan mengusut perkara tersebut untuk mengetahui apakah laporan itu benar adanya. Tidak ditegaskan dalam ketentuan tersebut kalau penuntut umum harus melakukan penuntutan di muka hakim pidana. Sehingga ketentuan tersebut tidak melarang penuntut umum menganut prinsip

   oportunitas”.

  Asas oportunitas tetap berlaku pada masa penjajahan Jepang dengan dasar hukum yaitu Pasal 3 Osamu Serei No. 1 Tahun 1942, yang menyatakan : “Semua peraturan perundang-undangan yang berlaku pada masa penjajahan sebelumnya tetap berlaku asal tidak bertentangan dengan pemerintahan militer Jepang”. Peraturan ini dimaksudkan dengan tujuan tidak terjadi kekosongan hukum. Pada masa kemerdekaan, asas oportunitas tetap berlaku karena dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, menyatakan : “Semua peraturan terdahulu masih berlaku selama belum

  

  diadakan yang baru”. Semenjak berlakunya Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 sekarang Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, maka asas oportunitas diatur secara tertulis. Ketentuan ini memberikan wewenang kepada kejaksaan untuk tidak melakukan penuntutan berdasarkan kepentingan umum. Indonesia hanya Jaksa Agung yang berwenang mengenyampingkan perkara berdasarkan pertimbangan kepentingan umum. Namun, Kepala Kejaksaan Negeri melalui Kepala Kejaksaan Tinggi atau Kepala Kejaksaan Tinggi atas perkara yang ditanganinya dapat mengusulkan penyampingan perkara tertentu kepada Jaksa Agung. 101 102 Ibid.

  Ibid.

C. Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia

  Sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum UUD 1945 alinea pertama, yang menyatakan : “Bahwa UUD ialah hukum dasar yang tertulis, di samping itu Undang-Undang berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis”.

  Jelas bahwa hukum yang berlaku di Indonesia tidak hanya hukum tertulis yang berupa peraturan perundang-undangan saja melainkan juga hukum tidak tertulis yang meliputi adatistiadat dan kebisaan-kebiasaan baik yang timbul dalam penyelenggaraan negara (konvensi) maupun kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan dihayati oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat.

  Dengan memperhatikan sejarah hukum yang berlaku di Indonesia sebelum penjajahan sangat dominan dengan hukum adat yang sifatnya heterogen, lain daerah lain pula adatnya. Penyelesaian masalah identik dengan penyelesaian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga adat dengan perangkat-perangkat desa. Pada masyarakat primitif tidak membedakan antara hukum pidana dan hukum perdata, tuntutan perdata dan tuntutan pidana merupakan kesatuan termasuk lembaga-lembaganya.

  Pandangan rakyat Indonesia pada waktu itu melihat alam semesta dan lingkungannya merupakan suatu totalitas yang harus dijaga keharmonisannya. Setiap pelanggaran hukum (adat) para penegak hukum harus memulihkannya dengan putusan. Pelunasan/ganti rugi sesuai dengan bentuk-bentuk sanksi adat yang telah ditentukannya. Istilah Jaksa yang berasal dari bahasa sanskerta “adhyaksa”artinya sama dengan hakim pada dunia modern sekarang ini.

  Pada masa penjajahan Belanda, hukum yang berlaku di Indonesia dengan asas konkordansi, segala perubahan perundang-undangan di Negeri Belanda diberlakukan pula di Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dipandang sebagai produk nasional, merupakan penerusan pula dari asas-asas hukum acara pidana yang ada di dalam HIR (Stb. 1926 No. 559 Jo. 496). HIR sendiri berasal dari IR yaitu dengan dibentuknya lembaga Openbaar Ministerie atau Penuntut Umum yang dulu di bawah Pamong Praja secara bulat terpisah berdiri sendiri berada di bawah Officer van Justitie (untuk golongan Eropa) dan Proceireur Generaal sekarang Jaksa Agung untuk Bumiputera, sehingga Jaksa Agung sebagai penuntut

   umum tertinggi.

  Sebagaiman yang dikemukakan oleh Andi Hamzah, yang menyatakan : “Dalam hukum acara pidana dikenal adanya suatu badan khusus yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke Pengadilan yang disebut Penuntut

  

  Umum”. Di Indonesia penuntut umum disebut Jaksa. Wewenang penuntutan dipegang oleh Penuntut Umum sebagai monopoli, karena tidak ada badan lain yang boleh melakukan itu, hal ini disebut dominus litis di tangan Penuntut Umum atau Jaksa.

  103 104 “Laporan Tim Analisa dan Evaluasi Hukum”, Op.cit., hal. 58.

  Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op.cit., hal. 13. Dalam hubungannya dengan hak penuntutan dikenal adanya 2 (dua) asas,

  

  yaitu : 1.

  “Asas legalitas, yakni penuntut umum wajib melakukan penuntutan suatu delik; dan

  2. Asas oportunitas, yakni penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan tindak pidana. Jika menurut pertimbangannya merugikan kepentingan umum, jadi demi kepentingan umum seseorang yang melakukan tindak pidana tidak wajib dituntut ke pengadilan”.

  Apabila diartikan bahwa asas oportunitas itu pada dasarnya adalah asas kesederhanaan yang menyangkut perkara-perkara kecil yang ancaman hukumannya di bawah 6 (enam) tahun, dan apabila kerugiannya sudah diganti, harus diselesaikan sendiri oleh Jaksa dan tidak perlu dilanjutkan lagi ke Pengadilan, karena hak

   penuntutan berada di tangan Jaksa.

  Ada yang mengatakan bahwa oportunitas itu harus dibedakan oportunitas sebagai asas dan oportunitas sebagai pengecualian. Dalam praktek sering dilakukan pengecualian sebagai hukum tidak tertulis. Sedangkan asas oportunitas dalam tuntutan pidana itu artinya Badan Penuntut Umum wewenang tidak melakukan suatu

   penuntutan jika dianggap tidak oportunitas yakni guna kepentingan umum.

  Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 butir 6 huruf a dan b dan Pasal 137 tidak mengatur secara tegas tentang asas oportunitas. Adapun bunyi ketentuan tersebut adalah sebagai berikut : 105 106 “Laporan Tim Analisa dan Evaluasi Hukum”, Op.cit., hal. 59. 107 Ibid., hal. 62.

  Ibid., hal. 63. Pasal 1 butir 6, menyatakan bahwa : a.

  “Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

  b.

  Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.

  Pasal 14 huruf h, menyatakan bahwa : “Penuntut umum mempunyai wewenang:h. Menutup perkara demi kepentingan hukum”. Apa yang dimaksud menutup perkara demi kepentingan hukum sama sekali tidak ada penjelasan, kemungkinan kurangnya alat bukti atau sudah diselesaikan melalui perdamaian/ganti kerugian (opportuun).

  Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ada beberapa pasal yang mengatur asas oportunitas, yaitu : Pasal 1 ayat (1), ayat (2); Pasal 30 ayat (1) huruf a dan huruf b; Pasal 35 huruf c. Adapun bunyi ketentuan dimaksud adalah sebagai berikut : Pasal 1, menyatakan bahwa :

  (1) “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

  (2) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”. Pasal 30 ayat (1), menyatakan bahwa : “Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:Melakukan penuntutan : a. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

  Pasal 35, menyatakan bahwa : “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: b. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Dalam hal ini, baik secara historis maupun yuridis di Indonesia menganut asas oportunitas. Secara historis dengan diakuinya keberadaan hukum dasar tidak tertulis. Sedangkan secara yuridis adanya undang-undang pelaksanaan asas oportunitas melalui Pasal 8 Undang-Undang No. 15 Tahun 1961, Pasal 32 huruf c Undang-Undang No. 5 Tahun 1991, dan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

  Namun dalam undang-undang tersebut mengartikan asas oportunitas masih terlalu sempit. Hanya Jaksa Agung yang berwenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Lalu kepentingan umum diartikan terlalu sempit pula yaitu kepentingan negara dan masyarakat. Hal inilah yang menjadi pertimbangan penentu boleh tidaknya perkara pidana dikesampingkan, sehingga dalam praktek jarang dilakukan. Di Indonesia perkara pidana dikesampingkan karena alasan kebijakan (policy) yang meliputi: perkara ringan, umur terdakwa sudah tua, dan kerusakan telah diperbaiki, hal ini dilekatkan syarat “penseponeran” yaitu pembayaran denda

  

  damai yang disetujui oleh para pihak kejaksaan dan tersangka. Misalnya perkara Pak Harto atas dugaan korupsi senilai Rp. 1,3 triliun dan US$ 419 juta pada 7 108 Ibid., hal. 66. yayasan yang dipimpinnya, yang digelar PN Jakarta Selatan pada 21 Agustus 2000. Namun terdakwa dinyatakan sakit dan tidak dapat hadir di persidangan. Pada bulan Mei 2006 Pak Harto sakit berat sehingga Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP). Presiden RI SBY meminta agar dilakukan pengendapan wacana pemberian Rehabilitasi bagi mantan Presiden Soeharto. DPR juga membentuk Tim Pengkaji kasus Pak Harto untuk mengontrol pemerintah untuk membuat kebijaksanaan atas mantan Presiden RI itu.

  Wakil Presiden RI meminta agar kasus Pak Harto ditutup/dihentikan mengingat usia dan jasa-jasanya kepada negara. Sedangkan Jaksa Agung mengatakan proses hukum

   Pak Harto untuk sementara dihentikan hingga sembuh.

  Hak Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum adalah tugas berat, bukan perkara ringan, kepastian hukum dan keadilan harus ditegakkan melalui proses hukum, musyawarah/damai bisa ditempuh melalui pengembalian uang negara/ganti rugi/uang damai (opportuun) yang jumlah ditentukan oleh jaksa agung melalui kesepakatan Presiden, wakil Presiden,

   MA,MK,KY, KAPOLRI dan Menteri-Menteri terkait.

  Asas oportunitas berkaitan dengan wewenang penuntutan dalam perkara pidana yang merupakan tugas dan wewenang jaksa sebagai penuntut umum.

  Penuntutan adalah permintaan jaksa sebagai penuntut umum kepada hakim, agar hakim melakukan pemeriksaan perkara terdakwa di sidang pengadilan, dengan

  109 Harian Media Indonesia, diterbitkan Selasa, 16 Mei 2006/No.9276/Tahun XXXVII, hal.

  1. 110 “Laporan Tim Analisa dan Evaluasi Hukum”, Op.cit., hal. 67. maksud apabila hakim setelah melakukan pemeriksaan akan memberikan keputusannya tentang terdakwa.

  Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar Penuntut Umum (Jaksa) tidak melakukan penuntutan terhadap seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana adalah “kepentingan umum”. Jadi kepentingan umum akan lebih terjamin dengan tidak dilakukannya penuntutan. Dalam hal ini penuntut umum akan mengenyampingkan perkara pidana (seponier) artinya berkas perkara pidana tidak diteruskan ke pengadilan.

  Sebenarnya lembaga seponering perkara pidana (asas oportunitas) sama seperti lembaga abolisi yang juga meniadakan penuntutan perkara pidana, namun abolisi merupakan wewenang Kepala Negara dalam UUD NRI Tahun 1945. Disamping itu dikenal juga penyelesaian perkara diluar sidang untuk perkara-perkara pidana ringan yang ancaman hukumannya denda.

  Memberlakukan asas oportunitas ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Van Appledorn bahwa tidak semua delik perlu dituntut pelakunya terutama bilaman

   akibatnya sangat kurang berarti ditinjau dari segi kepentingan umum.

  Asas oportunitas yang berlaku dalam yurisdiksi kejaksaan mempunyai kekuasaan yang sangat penting yaitu mengenyampingkan perkara pidana yang sudah jelas pembuktiannya, mengingat tujuan dari asas ini adalah kepentingan negara maka Jaksa harus berhati-hati dalam melakukan kekuasaannya sebab ada kemungkinan bahwa dengan memakai kepentingan negara sebagai alasan seorang jaksa menyampingkan perkara pidana padahal tindakan itu dilakukan tidak lain untuk 111 Ibid., hal. 69. kepentingan pribadi atau golongan atau kelompok tertentu.Kecurangan ini mungkin terjadi karena adanya sogokan dari terdakwa.

  Dalam hal ini ada pengawasan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung terhadap semua jaksa dengan adanya hirarki dalam instansi kejaksaan maka Jaksa Agung dapat memerintahkan kepada jaksa supaya suatu perkara pidana dituntut atau tidak dituntut di muka pengadilan.

  Dalam perkembangannya, penerapan asas oportunitas terdapat perbedaan antara penutupan perkara pidana demi kepentingan hukum dengan perkara pidana ditutup dengan kepentingan umum ex asas oportunitas. Jika ternyata perkara pidana ditutup “demi hukum” tidak diseponir secara definitif, tetapi masih dapat dituntut bilamana ada alasan baru, sedangkan perkara pidana yang ditutup secara definitifdemi kepentingan umum tidak boleh dituntut kembali dan lagi pula perkara

   yang demikian cukup alat buktinya.

D. Azas Oportunitas Dalam Praktek

  Makna harfiah tentang oportunitas adalah ketepatan, kepantasan, menguntungkan, saat yang tepat, layak, kesempatan dan manfaat yang baik. Jelas sekali bahwa asas ini tiada lain adalah bertujuan untuk memberi kemanfaatan,

   kelayakan dan kesempatan yang baik guna kepentingan masyarakat.

  Merupakan suatu kenyataan universal bahwa lajunya perkembangan kehidupan masyarakat serta perubahan nilai-nilai baik karena dinamika masyarakat 112 113 Ibid ., hal. 70.

  Djoko Prakoso, Op.cit., hal. 96. itu secara kodrati maupun sebagai akibat pembangunan, tertuma dalam masyarakat yang sedang berkembang, tidak sepadan dan bahkan cenderung menimbulkan kesenjangan fisik serta psikis dengan bidang hukum.

  Perubahan masyarakat serta pertumbuhan nilai-nilai sebagai manifestasi alam dan budaya terutama pada kurun waktu menjelang berakhirnya abad ke-20 memberikan suatu gambaran, bahwa hukum pada hari ini sudah tidak mampu lagi memikul beban sosial yang sedemikian banyak dan majemuk. Konstatasi ini membawa konsekuensi bahwa hukum harus lebih terampil dalam menghadapi tugas- tugasnya untuk turut melapangkan pengadaan relung-relung pembaharuan yang sejajar dengan perkembangan masyarakat secara mengakar dan mendasar terutama pada aspek-aspek yang sudah kehilangan atau setidak-tidaknya sudah meluntur nilai kemaslahatannya, keadilannya ataupun dari sisa-sisa kemutlakan masa lalu yang tidak memiliki dimensi Pancasila.

  Asas oportunitas dalam hukum positif tertulis telah mempunyai tempat yang pasti. Pendeponeringan perkara dirasakan masih merupakan suatu kejanggalan karena dengan berlakunya asas ini ada anggapan tidak semua orang berasamaan kedudukannya di hadapan hukum. Sebagai salah satu unsur rule oflaw adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum. Anggapan-anggapan inilah yang menimbulkan permasalahan dan mungkin mengakibatkan kemerosotan wibawa hukum apabila perkara dikesampingkan.

  Hukum merupakan kaidah atau norma sosial tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan konkritisasi daripada nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang hidup di

  

  masyarakat. Namun keadaan yang diinginkan itu kadang-kadang tidak selalu selaras dengan perkembangan yang berlaku di masyarakat. Hal ini antara lain disebabkan kaidah-kaidah hukum selalu ketinggalan dengan perkembangan masyarakat yang sangat cepat lajunya. Kepekaan para penegak hukum dalam menempatkan hukum sebagai kebutuhan yang terjadi dalam masyarakat adalah kebutuhan pokok.

  Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Begitu pula penuntut umum dalam melakukan penuntutan, harus menghubungkan antara kepentingan hukum dan kepentingan umum, karena kedua soal ini saling mempengaruhi satu sama lainnya dengan suatu peraturan hukum pidana, serta mencoba menempatkan kejadian itu dengan menghubungkan kepada proposisi yang sebenarnya. Karena kepentingan umum, maka penunutut umum dapat mengenyampingkan perkara. Adapun yang dimaksudkan dengan kepentingan umum tidak ada batasan pengertian yang jelas dalam peraturan perundang-undangan. Untuk itu permasalahannya harus dikembalikan kepada tujuan hukum atau cita-cita hukum. Cita-cita hukum bagi

  114 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. Pertama, (Jakarta: Rajawali, 1980), hal. 23. bangsa Indonesia diwujudkan dalam pokok-pokok pikiran yang tertampung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  Asas oportunitas sebagai pranata hukum dikenal sebagai kewenangan jaksa agung untuk meniadakan penuntutan ke muka pengadilan terhadap seseorang, walaupun cukup bukti untuk dituntut atas dasar pertimbangan kepentingan umum. Jadi asas oportunitas lebih merupakan suatu kebijaksanaan yang memberi wewenang kepada Jaksa Agung untuk memotong salah satu mata rantai proses pengadilan, karena mata rantai proses pengadilan itu tiada lain adalah penyidikan-penuntutan-

   pemeriksaan di muka pengadilan dan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).

  Kebijaksanaan yang memberi wewenang untuk memilih atau memotong satu mata rantai dari proses peradilan adalah untuk mewujudkan manfaat hukum bagi kemaslahatn masyarakat. Asas oportunitas sebagai pranata hukum cenderung merupakan suatu tradisi itu pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan yang sadar dari masyarakat dan merupakan sarana untuk melindungi dan membimbing serta turut memberi bentuk dalam kehidupan masyarakat. Karena itu asas oportunitas merupakan bagian dari ikhtiar manusia yang dapat dipertanggungjawabkan dan perlu dipelihara serta diperkembangkan di dalam celah-celah kaidah hukum yang memaksa. Apabila dewasa ini asas oprtunitas masih dihormati dan diakui hanyalah mengenai kebijaksanaan yang memberi wewenang kepada penuntut umum untuk meniadakan salah satu mata rantai dari rangkaian proses peradilan yakni wewenang untuk tidak menuntut maka timbul pertanyaan apakah kebiasaan ini sudah cukup 115 Djoko Prakoso, Op.cit., hal. 96. tetap/tepat apabila dihubungkan dengan pengertian proses peradilan secara keseluruhan.

  Kewenangan untuk tidak menuntut atas pertimbangan kepentingan umum, disebabkan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi kemaslahatan masyarakat maka adalah layak pula apabila dipertimbangkan memperlakukan kewenangan ini pada salah satu mata rantai lainnya sepanjang penerapan hukum kebiasaan ini juga memberikan kemaslahatan umum, katakanlah mata rantai eksekusi. Dalam hal ini patut diketengahkan pendapat Wirjono Prodjodikoro yang mengemukakan asas oportunitas itu yaitu menggantungkan hal akan melakukan

   sesuatu tindakan kepada keadaan yang nyata dan yang ditinjau satu persatu.

  Penerapan asas oportunitas secara khusus pada mata rantai eksekusi berupa penangguhan pelaksanaan putusan pengadilan dianggap wajar, layak dan pantas.

  Mata rantai eksekusi sesungguhnya lebih merupakan kebijaksanaan penuntutan umum sebagaimana ditetapkan dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 13 Maret 1958 Register Nomor 16 K/Kr/1958. Kebebasan ruang gerak bagi Penuntut Umum bagi Penuntut Umum dalam eksekusi atau adanya “freies ermessen” dalam

   pelaksanaan hukuman, merupakan suatu hal yang wajar.

  Jaksa selaku eksekutor dapat menilai secara faktual dan situasional, untuk menetapkan secara arif dan bijaksana saat yang paling tepat untuk melaksanakan atau menangguhkan eksekusi.

  116 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Cet. X, (Bandung: Sumur, 1980), hal. 21. 117 Ibid ., hal. 100.

  Wewenang penuntutan dan meniadakan penuntutan sebagai salah satu mata rantai proses peradilan merupakan kebijaksanaan Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tertinggi. Untuk menerapkan asas oportunitas pada mata rantai eksekusi, di samping harus dilandasi pada kemudahan-kemudahan hukum yang tersedia masih memerlukan suatu pertimbangan secermat mungkin, karena perwujudannya sebagai kebijaksanaan harus memberi dampak yang positif dalam upaya mewujudkan cita hukum yang berlandaskan Pancasila. Dengan memahami kedudukan dan kaitan integral antara mata rantai proses peradilan, maka kebijaksanaan untuk meniadakan penuntutan berdasarkan asas oportunitas, dianggap cukup beralasan untuk memperlakukan juga pada mata rantai eksekusi, karena kebebasan wewenang penuntutan (prosecutorial discretion) dan kebebasan kewenangan eksekusi (eksecutorial discreation) kedua-duanya dapat dipertanggungjawabkan, baik menurut teori ilmu hukum, maupun penuntutan kelayakan, yang wajar dan patut berdasarkan kemanusiaan dan keadilan yang diterapkan secara selektif serta

   kasuistis.

  Tindakan Jaksa Agung tersebut sebenarnya merupakan tindakan diskresi di bidang penuntutan dan eksekusi. Prajudi Atmosudirdjo menerjemahkan discreation (Inggris), discretion (Perancis) dan freiess ermessen (jerman) “sebagai kebebasan bertindak” atau mengambil keputusan menurut “pendapat sendiri”. Yang pelu di jaga adalah agar diskresi tersebut tidak berubah menjadi detournement du pouvoir atau penyalahgunaan wewenang. Dalam hubungan ini maka pernayataan Lord Halsbury dalam bukunya A.F.Wilcox tersebut dapat dijadikan pedoman, yakni bahwa 118 Ibid ., hal. 101-102. penangguhan wewenang diskresi tersebut dilakukan within the rules of reason and

   justice.

  Dalam praktek, bilamana suatu perkara dari sesuatu Kejari hendak dikesampingkan, maka permohonan kepada Jaksa Agung RI selalu disertai dengan saran dari Muspida Tingkat II dan Gubernur Kepala Daerah dengan penjelasan- penjelasan kemungkinan adanya akibat negatif dalam masyarakat bilamana perkara

  

  dimajukan di persidangan. Hal ini tidak ditentukan di dalam KUHAP tetapi merupakan suatu hal yang baik dilakukan Kejaksaan apabila akan melakukan SKP2.

  Berdasarkan saran-saran tersebut, Kejari mengajukan Permohonan kepada Jaksa Agung RI agar Jaksa Agung mengenyampingkan perkara tersebut. Dari uraian tersebut penyampingan perkara pidana harus benar-benar demi kepentingan umum.

  Contoh Kasus I Akhir Oktober 2010, Jaksa Agung Pelaksana Tugas (Plt.) Darmono telah menyatakan deponeering perkara pidana Bibit-Chandra. Sebagai catatan, Darmono diangkat menjadi pelaksana tugas jaksa agung berdasarkan Keputusan Presiden No 104/P/2010 yang terbit pada 25 September 2010. Alasan dikeluarkannya

  

deponeering oleh Darmono lebih disebabkan faktor sosiologis, yaitu agar kinerja

  KPK dalam pemberantasan korupsi tidak terhambat, sebab bila kedua tersangka diajukan ke pengadilan, maka statusnya akan berubah menjadi terdakwa. Sebagai konsekuensinya, kedua pimpinan KPK tersebut harus diberhentikan secara permanen 119 120 Ibid .

  Osman Simanjuntak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, (Jakarta: Gramedia, 1995), hal. 90. dari jabatannya sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) huruf c. Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

  Upaya penghentian perkara ini sebenarnya telah dilakukan kejaksaan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP). Kemudian SKPP ini di pra-peradilankan, bahkan secara luar biasa hingga tahap kasasi, padahal menurut KUHAP, pra-peradilan hanya dapat dilakukan hingga tingkat banding.

  Sekalipun telah sampai ke tahapan kasasi, Mahkamah Agung memutus bahwa SKPP tidak sah, karena SKPP dibuat berdasarkan alasan sosiologis. Perbedaannya SKPP dengan Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum, yaitu adanya celah “kepentingan umum”, artinya, selama bisa dibuat merepresentasikan kepentingan umum bisa dijadikan alasan.

  Kini kemunculan kepentingan umum sebagai suatu premis dalam penalaran hukum. Alasan sosiologis Jaksa Agung ditempatkan sebagai penjelasan kepentingan umum. Demi kepentingan umum berarti, jangan sampai terhambatnya kinerja

   Komisi Pemberantasan Korupsi.

  Contoh Kasus II.

  Mahkamah Konstitusi dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan mulai beroperasi sejak 15 Oktober 2003.

  Lembaga ini memiliki kewnangan untuk mengadili perkara-perkara seputar: 1.

  “Judicial reviewUndang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; 121

  David Tampubolon, “Polemik Pemanfaatan Asas Oportunitas”, , diakses pada 11 November 2012.

  2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan

   umum”.

  Dilihat dari kewenangannya Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang sangat vital dalam hal ketatanegaraan Republik Indonesia. Kepentingan umum, yang diterjemahkan sebagai kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat luas, menjelma sempurna dalam wilayah Mahkamah Konstitusi. Saat ini, institusi ini dilanda dugaan korupsi. Opini Refly Harun mengenai adanya indikasi suap dalam kinerja hakim- hakim konstitusi, diawali adanya cerita-cerita dari anggota masyarakat di Papua mengenai mahalnya ongkos berperkara di Mahkamah Konstitusi. Ongkos perkara untuk memutus sengketa pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi, bisa mencapai Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Opini demikian memancing reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk dari Mahfud M.D. yang menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi. Mahfud langsung meminta Refly untuk membentuk Tim Investigasi Internal, untuk mencari bukti-bukti dugaan korupsi. Apabila ditemukan indikasi dan bukti korupsi, maka akan diselesaikan secara hukum. Sikap tegas demikian, patut dihargai, namun patut juga diwaspadai konsekuensinya. Hakim yang memeriksa dan memutus perkara di Mahkamah Konstitusi berjumlah 9 (sembilan) orang. Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, dilakukan dalm sidang pleno yang diikuti 9 (sembilan) hakim, dan dalam keadaan luar biasa dapat dilakukan oleh 7 (tujuh) orang hakim. Persoalan akan menjadi pelik jika ternyata di 122 Lihat : Pasal 10, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. kemudian hanya tersedia 6 (enam) orang hakim, karena 3 (tiga) orang lainnya tengah ditahan untuk menjalani pemeriksaan. Memang, hakim Mahkamah Konstitusi, tidak serta-merta diberhentikan karena menjadi tersangka atau terdakwa, mereka hanya akan diberhentikan apabila sudah menjadi terpidana dan putusan hakim telah berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi memiliki batasan waktu dalam memutus perkara-perkara yang diajukan, dan tidak sahnya satu atau dua perkara yang diajukan. Misalnya saja, dalam perkara sengeketa pemilihan umum, Mahkamah Konstitusi memiliki batas waktu bekerja 14 (empat belas) hari untuk memutus, jangka waktu ini lebih singkat dari masa penahanan yaitu 20 (dua puluh) hari. Letak persoalan sesungguhnya, apakah Mahkamah Konstitusi tetap dapat bekerja dengan 6 (enam) orang hakim? Tentu saja tidak. Pemeriksaan tindak pidana korupsi tentu menyita banyak waktu, dan pemeriksaan tingkat penyidikan, hingga persidangan akan sangat menghambat kinerja hakim Mahkamah Konstitusi, yang artinya kepentingan umum bangsa, negara dan masyarakat akan terhambat. Apakah ini akan jadi alasan bagi pengesampingan tuntutan pidana? Itupun kalau kejaksaan yang mengurus perkara ini, jika Komisi Pemberantasan Korupsi, maka pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memiliki otoritas untuk mengesampingkan perkara. Namun preseden hukum telah terbentuk. Jika langkah deponeering diambil, maka menjadi satu konklusi bahwa pejabat tinggi negara yang mengurusi kepentingan umum secara eksklusif, seperti pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, hakim Mahkamah Konstitusi hingga Presiden adalah orang-orang yang

   kebal hukum. 123 David Tampubolon,Loc.cit.

  

E. Kewenangan Jaksa Dalam Penghentian Penuntutan Perkara Pidana

Terkait Asas Oportunitas dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

  Berbicara tentang hak menuntut, maka perhatian diarahkan kepada istilah

  

subjectief strafrecht (just puniendi), yang didalamnya recht bukan berarti hukum,

  melainkan hak, yaitu hak dari negara yang diwakili oleh alat-alatnya untuk

  

  menghukum seorang oknum yang melanggar hukum pidana. Alat-alat negara itu adalah Jaksa.

  Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

  Pasal 1 angka 1 dan 2 memberikan pengertian tentang Jaksa, yakni sebagai berikut: 1.

  “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Oleh Kejaksaan Dikaitkan Dengan Asas Oportunitas Dan Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI

1 67 171

ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

1 18 17

ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

1 19 19

KETERBUKAAN UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA DALAM MENGHADAPI PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

0 5 14

KETERBUKAAN UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA DALAM MENGHADAPI PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

1 6 59

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1967 TENTANG VETERAN REPUBLIK INDONESIA DI BANDAR LAMPUNG

0 14 55

PERANAN JAKSA PENUNTUT UMUM KPK DALAM PENUNTUTAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

1 15 88

ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

0 0 10

NASKAH KAJIAN UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DIKAITKAN DENGAN PERKEMBANGAN KONVERGENSI TELEMATIKA

0 2 93

Analisis Yuridis Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Oleh Kejaksaan Dikaitkan Dengan Asas Oportunitas Dan Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI

0 0 9