Analisis Yuridis Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Oleh Kejaksaan Dikaitkan Dengan Asas Oportunitas Dan Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI

(1)

ANALISIS YURIDIS PENERBITAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENUNTUTAN OLEH KEJAKSAAN DIKAITKAN DENGAN ASAS OPORTUNITAS DAN UNDANG-UNDANG NO 16 TAHUN 2004 TENTANG

KEJAKSAAN RI

OLEH

FERDY SAPUTRA 107005025/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

HALAMAN PENGESAHAN

JUDUL : ANALISIS YURIDIS PENERBITAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENUNTUTAN OLEH KEJAKSAAN DIKAITKAN DENGAN ASAS OPORTUNITAS DAN UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN RI NAMA MAHASISWA : FERDY SAPUTRA

NOMOR POKOK : 107005025/HK PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

Menyetujui : Komisi Pembimbing

K e t u a

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M.Hum.

A n g g o t a

Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum.

A n g g o t a


(3)

ABSTRAK

Jaksa Penuntut Umum bertindak melakukan penuntutan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana kejahatan adalah berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Dalam melakukan penuntutan Jaksa bertindak untuk dan atas nama Negara. Untuk menuntut seseorang yang diduga melakukan tindak pidana tersebut, Jaksa diperbolehkan untuk mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum berdasarkan Pasal 35 huruf c. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Di sisi lain Jaksa dalam melakukan penuntutan harus menjunjung tinggi asas equality before the law. Kewenangan Jaksa untuk mengenyampingkan perkara tersebut ternyata disalahgunakan oleh Kejaksaan terhadap kasus-kasus tertentu. Sebagai contoh : Kasus BLBI dan Kasus Bibit-Chandra.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, bersifat deskriptif-analitis. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Data-data yang didapat dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif-induktif.

Pengaturan asas oportunitas di dalam KUHAP dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI belum dapat memberikan penjelasan secara tegas walaupun asas oportunitas diakui keberadaannya. KUHAP mengakui asas oportunitas, namun, KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai hal ini.


(4)

Sedangkan dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, asas oportunitas diatur pada Pasal 35 huruf c sebagai kewenangan Jaksa Agung dalam hal pengenyampingan perkara demi kepentingan umum. Mengenai kepentingan umum itu sendirijuga masih dapat menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda-beda disebabkan KUHAP dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI merumuskan pengertian kepentingan umum terlalu luas sehingga harus dikembalikan atau merujuk kepada cita-cita hukum atau bangsa sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Sebaiknya penghentian penuntutan dilakukan dengan benar-benar memperhatikan alasan penghentian penuntutan; Sebaiknya pengaturan asas oportunitas diatur secara lebih rinci dan spesifik terutama dalam memberikan pengertian “demi kepentingan umum”; dan Sebaiknya memberikan batasan pengertian kategori yang termasuk dalam “demi kepentingan umum”.

Kata Kunci : Penghentian penuntutan; Penghentian penyidikan; dan Demi kepentingan umum.


(5)

A B S T R A C T

Prosecutors acting prosecuting a person suspected of committing crimes is based on Article 8 paragraph (2) of Law No. 16 of 2004 on the Attorney RI. In prosecuting attorney acting for and on behalf of the State. To prosecute a person suspected of committing a crime, the prosecutor is allowed to waive the case in the public interest pursuant to Article 35 letter c. Law No. 16 of 2004 on the Attorney RI. On the other hand the prosecuting attorney must uphold the principle of equality before the law. Authority to waive the case prosecutor apparently misused by the Attorney on specific cases. For example: Case BLBI and Bibit-Chandra case.

This research is normative, descriptive-analytical. Sources of legal materials used are of primary legal materials, secondary and tertiary. The data obtained were analyzed using qualitative analysis methods. Inferences made using inductive logic-deductive thinking.

Setting principles and opportunity in the Code of Criminal Procedure Law. 16 Year 2004 on Indonesian Attorney can not give an explanation although expressly recognized the principle of opportunity. Criminal Procedure Code recognizes the principle of opportunity, however, the Criminal Code does not provide an explanation about this. While in Law. 16 of 2004 on the Attorney RI, the principle of opportunity provided for in Article 35 letter c as the authority of the Attorney General in the case of a waiver in the public interest. Regarding the public interest itself also still can cause a variety of different interpretations due to the Criminal


(6)

Procedure Code and the Law. 16 Year 2004 on Indonesian Attorney formulate the common definition is too broad and should be returned or refer to the ideals of the law or of the nation as expressed in the preamble of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.

The results showed that: Should termination prosecution done really pay attention to grounds for termination of prosecution; Better regulation principles set opportunity in more detail and specific especially in providing the sense of "the public interest", and should provide limits understanding of the categories included in "the interests of general ".

Key Words : Termination of prosecution; Termination of investigation, and the interest of the public.


(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Alhamdulilah, Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis serta Nabi Muhammad SAW atas doa serta syafaatnya, penulis masih diberikan kesehatan dan kesempatan serta kemudahan dalam mengerjakan penelitian ini.

Pada penulisan penelitian ini, penulis dengan ketulusan hati, mengucapkan terima kasih sebesaar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan penelitian ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K.), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Program Magister (S2) dan Doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Program Magister (S2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 5. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM., sebagai Pembantu Dekan II

dan Dosen Penguji II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan masukan pada saat kolokium dan seminar hasil.


(8)

6. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bahan untuk penyelesaian penelitian ini.

7. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing II yang memberikan waktu luang di tengah-tengah kesibukannya untuk memberikan masukan dan kritik-kritik terhadap penelitian ini.

8. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing III yang juga memberikan semangat untuk berjuang dalam penyelesaian penelitian ini. 9. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH., MS., sebagai Dosen Penguji I yang telah

memberikan masukan dan ide-ide dalam hal penulisan penelitian ini sampai dengan selesai.

10.Para Dosen dan Tata Usaha Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu selama penulis menjalani studi di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

11.Terima kasih yang sangat besar kepada kedua orang tua saya Ayahanda Alm. H. Syukri A. Gani dan Ibunda Hj. Rafdinawati, yang selalu mendoakan, mencurahkan segenap kasih sayangnya dan segala pengorbanannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

12.Terima kasih penulis kepada Sdra/i. saya Reisna Refiana, Rizky Mauliza, Aidil Fadhly, Rayyana Muizza, dan Rafifta Innayata Atqiya yang sangat memberikan motivasi kepada penulis dan doanya sehingga dapat menyelesaikan studi di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(9)

13.Tidak ketinggalan terima kasih kepada sahabat-sahabatku rekan mahasiswa, sudah membantu selama penyelesaian penelitian, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu.

Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Wassalamualaikum wr. wb. Medan, Februari2013

Penulis Ferdy Saputra


(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : Ferdy Saputra

Tmpt /Tgl Lahir : Banda Aceh / 12 April 1987

Alamat : Komp. Pemda. Jalan Pramuka No. 70 Kel. Hagu Teungoh, Kec. Banda Sakti Lhokseumawe

Pekerjaan : Wiraswasta Agama : Islam

Nama Ayah : Alm. H. Syukri A. Gani Nama Ibu : Hj. Rafdinawati

Nama Saudara/i : 1. Reisna Refiana 2. Rizky Mauliza 3. Aidil Fadhly 4. Rayyana Muizza 5. Rafifta Innayata Atqiya Suku / Bangsa : Aceh / Indonesia


(11)

II. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

1. Pendidikan Dasar dan Menengah Umum a. SD : Negeri 12 Lhokseumawe

(1993 – 1999)

b. SMP : Negeri 1 Lhokseumawe (1999 – 2002)

c. SMA : Swasta Al-Azhar (2002 – 2005)

2. Pendidikan Tinggi

a. S1 : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2006 – 2010)

b. S2 : Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

(2010 – 2013)

3. Pendidikan Tambahan

a. Kursus Pendidikan Bahasa Inggris di Cambridge School of English (CASE), April – Agustus 2008

b. ESQ Leadership Training, 16 – 17 Desember 2006

VI. PENGALAMAN BERORGANISASI

- 2007 – 2008 = Himpunan Mahasiswa Aceh; - 2008 = Persatuan Mahasiswa Indonesia;

- 2008 – 2009 = Pemerintahan Mahasiswa Universitas Sumatera Utara bidang Kementerian Kesejahteraan Mahasiswa;

- 2009 – 2011 = Ikatan Pelajar Tanah Rencong Universitas Sumatera Utara (IPTR-USU) sebagai Bendahara Umum.


(12)

VII. KARYA TULIS ILMIAH - SKRIPSI

“Peranan Pengadilan Perikanan Medan Dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Pencurian Ikan Sebagai Salah Satu Bentuk Illegal Fishing”.

- TESIS

“Analisis Yuridis Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Oleh Kejaksaan Dikaitkan Dengan Asas Oportunitas dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI”.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN (UJIAN TESIS) ii

ABSTRAK iii

ABSTRACT iv

KATA PENGANTAR v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP viii

DAFTAR ISI x

BAB I : PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 20

C. Tujuan Penelitian 21

D. Manfaat Penelitian 21

E. Keaslian Penelitian 22

F. Kerangka Teori dan Konsep 23

1. Kerangka Teori 23

2. Kerangka Konsep 31

G. Metode Penelitian 34

1. Sifat Penelitian 34

2. Jenis Penelitian 34

3. Sumber Bahan Hukum 35

4. Alat Pengumpulan Data 37

5. Analisis Data 37

BAB II : KEWENANGAN JAKSA DALAM PENGHENTIAN

PENUNTUTAN PERKARA PIDANA JIKA DIKAITKAN


(14)

DENGAN ASAS OPORTUNITAS DAN UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN

A. Pengertian Asas Oportunitas 39 B. Sejarah Penerapan Asas Oportunitas di Indonesia 44 C. Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia 50 D. Azas Oportunitas Dalam Praktek 57 E. Kewenangan Jaksa Dalam Penghentian Penuntutan

Perkara Pidana Terkait Asas Oportunitas dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

67

BAB III : PENGATURAN ASAS OPORTUNITAS PADA KUHAP DAN UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

72

A. Penghentian Penyidikan dan Penuntutan Dalam Tindak Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

72

1. Penghentian Penyidikan 72

a. Tidak Diperoleh Bukti Yang Cukup 74 b. Perisiwa Yang Disangkakan Bukan Merupakan

Tindak Pidana

76

c. Penghentian Penyidikan Demi Hukum 77

2. Penghentian Penuntutan 81

B. Penghentian Penyidikan dan Penuntutan Dalam Tindak Pidana Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

87

1. Penghentian Penyidikan 87

a. Kronologis Kasus BLBI 95 b. Analisa Hukum Dikeluarkannya SP3 Terhadap

Kasus BLBI


(15)

2. Penghentian Penuntutan 109 a. Kronologis Kasus Bibit & Chandra 112 b. Analisa Hukum Dikeluarkannya SKP2 Terhadap

Kasus Bibit & Chandra

121

C. Perbandingan Kontradiktif Penghentian Penuntutan Perkara Pidana Berdasarkan Hukum Acara Pidana Dengan Pengaturan Kejaksaan

126

BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN KEJAKSAAN DALAM

PENERBITAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENUNTUTAN

130

A. Tidak Adanya Batasan Pengertian “Demi Kepentingan Umum”

130

B. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Menganut Dualisme Azas

134

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 142

A. Kesimpulan 142

B. Saran 142


(16)

3

ABSTRAK

Jaksa Penuntut Umum bertindak melakukan penuntutan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana kejahatan adalah berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Dalam melakukan penuntutan Jaksa bertindak untuk dan atas nama Negara. Untuk menuntut seseorang yang diduga melakukan tindak pidana tersebut, Jaksa diperbolehkan untuk mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum berdasarkan Pasal 35 huruf c. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Di sisi lain Jaksa dalam melakukan penuntutan harus menjunjung tinggi asas equality before the law. Kewenangan Jaksa untuk mengenyampingkan perkara tersebut ternyata disalahgunakan oleh Kejaksaan terhadap kasus-kasus tertentu. Sebagai contoh : Kasus BLBI dan Kasus Bibit-Chandra.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, bersifat deskriptif-analitis. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Data-data yang didapat dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif-induktif.

Pengaturan asas oportunitas di dalam KUHAP dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI belum dapat memberikan penjelasan secara tegas walaupun asas oportunitas diakui keberadaannya. KUHAP mengakui asas oportunitas, namun, KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai hal ini.


(17)

4

Sedangkan dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, asas oportunitas diatur pada Pasal 35 huruf c sebagai kewenangan Jaksa Agung dalam hal pengenyampingan perkara demi kepentingan umum. Mengenai kepentingan umum itu sendirijuga masih dapat menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda-beda disebabkan KUHAP dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI merumuskan pengertian kepentingan umum terlalu luas sehingga harus dikembalikan atau merujuk kepada cita-cita hukum atau bangsa sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Sebaiknya penghentian penuntutan dilakukan dengan benar-benar memperhatikan alasan penghentian penuntutan; Sebaiknya pengaturan asas oportunitas diatur secara lebih rinci dan spesifik terutama dalam memberikan pengertian “demi kepentingan umum”; dan Sebaiknya memberikan batasan pengertian kategori yang termasuk dalam “demi kepentingan umum”.

Kata Kunci : Penghentian penuntutan; Penghentian penyidikan; dan Demi kepentingan umum.


(18)

5

A B S T R A C T

Prosecutors acting prosecuting a person suspected of committing crimes is based on Article 8 paragraph (2) of Law No. 16 of 2004 on the Attorney RI. In prosecuting attorney acting for and on behalf of the State. To prosecute a person suspected of committing a crime, the prosecutor is allowed to waive the case in the public interest pursuant to Article 35 letter c. Law No. 16 of 2004 on the Attorney RI. On the other hand the prosecuting attorney must uphold the principle of equality before the law. Authority to waive the case prosecutor apparently misused by the Attorney on specific cases. For example: Case BLBI and Bibit-Chandra case.

This research is normative, descriptive-analytical. Sources of legal materials used are of primary legal materials, secondary and tertiary. The data obtained were analyzed using qualitative analysis methods. Inferences made using inductive logic-deductive thinking.

Setting principles and opportunity in the Code of Criminal Procedure Law. 16 Year 2004 on Indonesian Attorney can not give an explanation although expressly recognized the principle of opportunity. Criminal Procedure Code recognizes the principle of opportunity, however, the Criminal Code does not provide an explanation about this. While in Law. 16 of 2004 on the Attorney RI, the principle of opportunity provided for in Article 35 letter c as the authority of the Attorney General in the case of a waiver in the public interest. Regarding the public interest itself also still can cause a variety of different interpretations due to the Criminal


(19)

6

Procedure Code and the Law. 16 Year 2004 on Indonesian Attorney formulate the common definition is too broad and should be returned or refer to the ideals of the law or of the nation as expressed in the preamble of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.

The results showed that: Should termination prosecution done really pay attention to grounds for termination of prosecution; Better regulation principles set opportunity in more detail and specific especially in providing the sense of "the public interest", and should provide limits understanding of the categories included in "the interests of general ".

Key Words : Termination of prosecution; Termination of investigation, and the interest of the public.


(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia diidealkan dicita-citakan oleh The Founding Fathers sebagai suatu negara hukum (rechts staat / the rule of law). Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, menyatakan bahwa : “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.Hal ini bermakna bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hukum merupakan urat nadi seluruh aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.1Untuk mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum, diperlukan baik norma-norma atau peraturan perundang-undangan, juga aparatur pengemban dan penegak hukum yang profesional, berintegritas, dan disiplin yang didukung oleh sarana dan prasarana hukum serta perilaku hukum masyarakat. Oleh karena itu, idealnya setiap negara hukum termasuk negara Indonesia harus memiliki lembaga/institusi/aparat penegak hukum yang berkualifikasi demikian.2

1

Lihat : Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, mengatakan bahwa : “Negara Indonesia adalah negara hukum (rechts staat) bukan negara kekuasaan (machtstaat). Hal ini membawa konsekuensi bahwa negara termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus dipertanggung-jawabkan secara hukum, karena itu, setiap tindakan harus berdasarkan hukum. Sehingga konsekuensi dari negara hukum adalah hukum sebagai panglima yang tidak memandang siapapun, baik dari kalangan pejabat, pengusaha, maupun rakyat biasa mempunyai hak dan kedudukan yang sama dihadapan hukum. Sumber : M. Ali Mansyur, “Pranata Hukum dan Penegakannya di Indonesia”,

Salah satu lembaga penegak hukum yang ada

pada 12 November 2012.

2

Marwan Effendy, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 2


(21)

di Indonesia adalah Kejaksaan Republik Indonesia, disamping lembaga penegak hukum lainnya.

Penegak hukum pada hakikatnya merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, ide-ide hukum menjadi kenyataan.3

Hukum dan penegakan hukum, menurut Soerjono Soekanto, merupakan sebagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan sebagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan, karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.

Penegakan huukum merupakan proses kegiatan atau aktivitas yang salah satunya dijalankan oleh penegak hukum (Penyidik Kepolisian, Penyidik Pegawai Negeri Sipil – PPNS, Jaksa, dan Hakim). Untuk menghasilkan penegakan hukum yang baik maka proses setiap tahapan dalam penegakan hukum harus dilakukan dengan baik dan benar.

4

Penegakan hukum pidana (criminal law enforcement) merupakan upaya untuk menegakkan norma hukum pidana beserta segala nilai yang ada di belakang norma tersebut (total enforcement), yang dibatasi oleh “area of no enforcement” melalui hukum acara pidana atau ketentuan khusus lainnya, untuk menjaga

Oleh karena itu, keberadaan Kejaksaan, sebagai institusi penegak hukum mempunyai kedudukan yang sentral dan peranan yang strategis di dalam suatu negara hukum karena institusi Kejaksaan sebagai filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan.

3

Esmi Warasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: Suryandaru Utama, 2005), hal. 83.

4

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 5.


(22)

keseimbangan antara kepentingan negara, kepentingan umum dan kepentingan individu (full enforcement).5

Proses penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana terdiri dari 4 (empat) tahapan, yaitu :

1. Penyelidikan; Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.6 Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.7

2. Penyidikan; Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.8 Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.9

3. Penuntutan; Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut 5

Muladi, “Membangun “Grand Design” Kebijakan Penegakan Hukum yang Mengakomodasi Keadilan di Era Demokrasi”, Makalah disampaikan dalam FGD “Reformasi Penegakan Hukum di Indonesia” diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanandi Hotel Sari Pan Pacific, pada hari Rabu, 12 Oktober 2011, hal. 4-5.

6

Lihat : Pasal 1 angka 5, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

7

Lihat : Pasal 1 angka 4, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

8

Lihat : Pasal 1 angka 2, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

9


(23)

cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.10 Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.11

4. Pemeriksaan di Pengadilan dan Putusan. Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.12 Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.13

Kejaksaan merupakan salah satu institusi penegak hukum yang kedudukannya berada pada lingkungan kekuasaan eksekutif (pemerintah), sebagai Pengacara Negara. Fungsi kejaksaan mencakup fungsi preventif dan fungsi represif dalam bidang kepidanaan serta pengacara negara dalam keperdataan dan tata usaha negara. Fungsi preventif berupa peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum, pengamanan peredaran barang cetakan, pengawasan aliran kepercayaan, pencegahan dan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, penelitian dan pengembangan hukum serta statistic kriminal. Dalam fungsi represifnya, kejaksaan melakukan penuntutan dalam perkara pidana, melaksanakan

10

Lihat : Pasal 1 angka 7, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

11

Lihat : Pasal 1 angka 2, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

12

Lihat : Pasal 1 angka 9, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

13


(24)

penetapan hakim dan putusan pengadilan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan lepas bersyarat, melengkapi berkas perkara tertentu yang berasal dari penyidik Kepolisian atau Penyidik PNS (PPNS).14

Kejaksaan mengemban misi yang harus disukseskan untuk kelanjutan pembangunan bangsa dan negara15

1. “Mengamankan dan mempertahankan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa terhadap usaha-usaha yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupanbermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

:

2. Mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum keadilan dan kebenaran bedasarkan hukum-hukum kesusilaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat;

3. Mampu terlibat sepeunhnya dalam proses pembangunan antara lain untuk menciptakan kondisi dan prasarana yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan UUD 1945;

4. Menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah negara; 5. Melindungi kepentingan rakyat melalui penegakan hukum”.

Dalam rangka supremasi hukum, fungsi kejaksaan sangat penting dalam mewujudkan hukum inconcreto. Menurut Bagir Manan, mewujudkan hukum in concreto bukan hanya fenomena pengadilan atau hakim, tetapi termasuk di dalam pengertian itu adalah pejabat administrasi pemberi pelayanan hukum, dan penegak hukum. Kejaksaan dan Kepolisian merupakan pranata publik penegak hukum, yang dalam sistem peradilan pidana justru merupakan sumber awal dari suatu proses peradilan.16

14

Lihat : Pasal 31 – 34, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

15

Mastra Liba, 14 Kendala Penegakan Hukum, Mahasiswa dan Pemuda Sebagai Pilar Reformasi Tegaknya Hukum dan HAM, (Jakarta: Yayasan Annisa, 2002), hal. 23.

16

Bagir Manan, “Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia”, makalah yang disampaikan pada temu ilmiah nasional mahasiswa hukum se-Indonesia, (Bandung: FH Unpad, 6 April 1999), hal. 17.


(25)

Proses penegakan hukum dalam penanggulangan kejahatan atau tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat adalah merupakan salah satu mata rantai dari fungsi jaksa, dimana fungsi tersebut tidak dapat terlepas dan dipisahkan dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, dan eksekusi. Pelaksanaan penyidikan yang baik akan dapat menentukan keberhasilan penuntutan oleh jaksa penuntut umum di depan persidangan.17 Dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) peranan jaksa sangat sentral karena Kejaksaan merupakan lembaga yang menentukan apakah seseorang harus diperiksa oleh pengadilan atau tidak. Jaksa pula yang menentukan apakah seorang tersangka akan dituntut untuk dijatuhi hukuman atau tidak melalui kualitas surat dakwaan dan tuntutan-tuntutan yang dibuat.18

Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepositme, dalam melaksanakan fungsi, tugas, wewenangnya. Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang

Dengan demikian terlihat keterkaitan antara penyidikan dengan tugas penuntutan perkara yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum.

17

Djoko Prakoso, Eksistensi Jaksa (di Tengah-tengah Masyarakat), (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 19.

18

Abdurrahman Iswano, “Refomrasi Kejaksaan: Catatan yang Terlupakan”,


(26)

hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, peran kejaksaan sebagai salah satu ujung tombak dalam penegakan hukum diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.19

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagailandasan struktural dan piranti pengikat bagi eksistensi kejaksaan saat ini, memberikan rumusan secara global perihal tugas dan wewenangnya. Termaktubdalam Pasal 30 setidaknya-tidaknya ada 7 (tujuh) aspek tugas dan wewenang. Dalambukunya “Proses Penanganan Perkara Pidana”, Leden Marpaungmengemukakan perihal esensi kejaksaan :

“Kejaksaan itu adalah suatu alat Pemerintah yang bertindak sebagai penuntutumum dalam suatu perkara pidana terhadap si pelanggar hukum pidana. Sebagaidemikian itu ia mempertaruhkan kepentingan masyarakat. Ialah yangmempertimbangkan apakah kepentingan umum mengharuskan supaya perbuatanyang dapat dihukum itu harus dituntut atau tidak. Kepadanya pulalah semata-matadiserahkan penuntutan perbuatan yang dapat dihukum”.20

Demikian pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pada Pasal 14 berikut Pasal 137 Jo. Pasal 84 ayat (1) KUHAP memberikan kejelasan mengenai kewenangan penuntut umum, diantaranya yang utama, pertama membuat surat dakwaan (letter of accusation), kedua, melakukan penuntutan (to carry out accusation), ketiga menutup perkara demi kepentingan

19

http://www.komisihukum.go.id.article., diakses pada 25 Februari 2012.

20

Leden Marpaung, Proses Penanganan Pidana Bagian Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 172


(27)

hukum, keempat mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan Undang-Undang Dasar.21

Jaksa penuntut dalam melakukan tugas penegakan hukum, pada umumnya bertindak untuk dan atas nama negara. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.Selain itu, sebagai alat penegak hukum, bukan hanya semata mata bertolak pada kekuasaan dan kewenangan yang ada padanya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tapi juga wajib melayani kebutuhan hukum individu dan kepentingan masyarakat/negara sebagai satu kesatuan secara serasi dan seimbang. Kejaksaan harus berani mengambil langkah-langkah secara tegas kepada setiap pelanggar hukum dan melindungi setiap orang dari tindakan pelanggar hukum.

Pasal 35 huruf c Undang-UndangNo. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RepublikIndonesia, yang menyatakan bahwa : “Jaksa Agung mempunyaitugas dan wewenang mengesampingkan perkara demikepentingan umum”.Menurut penjelasannya,“Mengesampingkan perkara merupakan pelaksanaan asasoportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agungsetelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badankekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalahtersebut”. Hal ini berarti kewenangan mengesampingkan perkarahanya ada pada Jaksa Agung dan bukan pada Jaksa di bawahJaksa Agung (vide Penjelasan Pasal 77 KUHAP).

21

H.M.A. Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, (Malang: UMM Press, 2005), hal. 216


(28)

Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentangKejaksaan Republik Indonesia, menyebutkan bahwa : “Yangdimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentinganbangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas”.Dalam mendasarkan pertimbangan dan penilaiannya,Jaksa Agung akan melihatnya pula dari segi kepentinganmasyarakat luas, terutama dari segi falsafah hidup bangsaIndonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara yangmengutamakan sikap dasar untuk mewujudkan keselarasan,keserasian, dan keseimbangan dalam hubungan sosial antaramanusia pribadi dengan manusia lainnya untuk mencapai ataumemperoleh kepentingannya. Jelas bahwa kebijakan penuntutanuntuk kepentingan umum dipercayakan dan dipertanggung-jawabkanpada Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi,dan adanya asas oportunitas merupakan yangdibutuhkan dalam penegakan hukum demi menjamin stabilitasdalam suatu negara hukum.

Salah satu kewenangan penting yang dimiliki oleh kejaksaan adalah penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2). Surat yang seharusnya merupakan surat ketetapan untuk menghentikan penuntutan yang diterbitkan ketika penuntut umum berpendapat bahwa berkas perkara setelah dilakukan penelitian ternyata tidak cukup alat bukti untuk membuktikan terdakwa telah melakukan tindak pidana seolah tidak hanya demi kepentingan hukum dan kepentingan umum, akan tetapi telah merembet menjadi semacam kartu sakti demi kepentingan tertentu agar lolos dari jeratan hukum.


(29)

Contoh kasus dalam SKP2 ini dapat dilihat pada kasus terakhir yang melibatkan institusi penegak hukum Kejaksaan adalah perseteruan antara oknum Kepolisian Republik Indonesia dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).22 Perseteruan ini melibatkan oknum Kejaksaan yang dikenal dengan istilah Cicak vs. Buaya dimana perseteruan tersebut dianggap seolah-olah upaya dari instansi Kepolisian dan atau Kejaksaan untuk mengkriminalisasi Pimpinan KPK, yakni Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto, dimana kasus ini bermula dari penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap Antasari Azhar (Mantan Ketua KPK) dalam dugaan kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen. Dalam proses penyidikan kasus tersebut Antasari Azhar mengeluarkan testimoni pada tanggal 16 Mei 2009 yang isinya tentang dugaan adanya penerimaan uang sebesar Rp. 6.700.000.000,- (enam miliar tujuh ratus juta rupiah) oleh sejumlah Pimpinan KPK (Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto).23

Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri yang waktu itu dijabat oleh Susno Duaji, merasa telepon genggamnya disadap oleh KPK terkait dengan kasus penggelapan dana Bank Century yang ditangani Mabes Polri. Saat itulah meluncur istilah Cicak vs. Buaya, dalam jumpa persnya yang bersangkutan mengatakan : “Masak cicak kok berani lawan buaya”. Selanjutnya Bibit Samad Rianto memastikan KPK hanya menyadap pihak yang terindikasi korupsi dan pada

Hal inilah yang menjadi dasar Kepolisian untuk melakukan penyidikan terhadap Pimpinan KPK.

22

Harian Kompas, “Muhammad Abduh: Penghentian Penyidikan Tindak Pidana dan Penyelesaian di Luar Pengadilan Dugaan Pemerasan dan Penyalahgunaan Wewenang”, diterbitkan Selasa, 15 Mei 2012.

23

Kantor Berita Antara, “Kalangan Parlemen Kaget Testimoni Antasari Azhar”, diterbitkan Sabtu, 11 Agustus 2012.


(30)

saat itu, Susno Duaji masuk ke telepon yang sedang disadap.24 KPK juga menemukan surat pencabutan pencekalan palsu terhadap Anggoro Widjojo, selain itu 3 (tiga) Pimpinan KPK dengan tegas menolak testimoni Antasari Azhar.25

Walaupun demikian, Polisi juga memperoleh fakta adanya tindak pidana penyalahgunaan wewenang oleh Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto terkait pencekalan dan pencabutan cekal yang tidak dilakukan secara kolektif.26

24

Harian Koran Demokrasi Indonesia, “Susno Duaji: Sang Jenderal Kontroversial Ditangkap di Bandara”, diterbitkan Selasa, 13 April 2010.

Chandra M. Hamzah mencekal AnggoroWidjojo, Bibit Samad Rianto mencekal Joko Tjandra. Lalu, Chandra M. Hamzah mencabut pencekalannya terhadap Joko Tjandra sehingga ada kejanggalan di dalamnya. Oleh karena itu, Polisi mulai memeriksa keempat Pimpinan KPK terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pencekalan Anggoro Widjojo dan Joko Tjandra. Sampai pada akhirnya tanggal 15 September 2009, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah ditingkatkan statusnya dari saksi menjadi tersangka dalam kasus penyalahgunaan wewenang akan tetapi kuasa hukum KPK tidak menerima salinan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah dan dicurigai adanya indikasi rekayasa dalam kasus tersebut. Hal ini langsung dibantah Inspektorat Pengawasan Umum

25

Mahendra Sucipto, Transkrip Rahasia Hasil Sadapan KPK (Membongkar Modus Operandi Para Makelar Kasus), (Yogyakarta: Narasi, 2009), hal. 16. Lihat juga : Harian Kompas, “Kronologi Lengkap: Dari Anggoro, Bibit-Chandra Lalu ke Susno”, diterbitkan Kamis, 05 November 2009.

26

Harian Tribun, “Kronologi Perjalanan Bibit-Chandra Jadi Tersangka Lagi”, diterbitkan Jum’at, 08 Oktober 2010.


(31)

(Itwasum) Mabes Polri, yang mengatakan bahwa : “Tidak ada penyalahgunaan wewenang terkait penanganan kasus Bibit Samad Rianto – Chandra M. Hamzah”.27

Setelah itu, Presiden merespon perubahan status tersangka tersebut dengan mengeluarkan Keputusan Presiden pemberhentian sementara Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Presiden juga menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang KPK yang memungkinkan Penunjukan Langsung Pelaksana Tugas Sementara (Plt.) Pimpinan KPK yang direspon oleh Pengacara Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto dengan mendaftarkan permohonan uji materil Pasal 32 ayat (1), Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa : “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena menjadi Terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan”.28

Selanjutnya, berkas Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto dilimpahkan ke Kejaksaan, namun, dikembalikan oleh Kejaksaan kepada Mabes Polri sebanyak 2 (dua) kali karena alasan belum lengkap. Pada akhirnya transkrip rekaman rekayasa kriminalisasi KPK beredar di media massa. Isi dari rekaman tersebut di antaranya percakapan antara Anggodo Widjojo (adik Anggoro Widjojo) dengan mantan Jamintel Wisnu Subroto dan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga. Percapakan pada Juli – Agustus 2009 itu merupakan praktek mafia

27

Harian Kompas, “Muhammad Abduh: Penghentian Penyidikan Tindak Pidana dan Penyelesaian di Luar Pengadilan Dugaan Pemerasan dan Penyalahgunaan Wewenang”, Op.cit.

28

Harian Suara Merdeka, “Bibit-Chandra Tunggu Keppres Aktif di KPK”, diterbitkan Rabu, 02 Desember 2009.


(32)

peradilan yang merancang kriminalisasi KPK. Nama petinggi Kepolisian dan Presiden juga disebut sehingga pada tanggal 29 Oktober 2009, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah ditahan di Markas Komando Brimob Kelapa Dua Depok karena Polisi menilai kedua tersangka melakukan tindakan mempersulit jalannya pemeriksaan dengan menggiring opini publik melalui pernyataan-pernyataan di media serta forum diskusi.29

Pada tanggal 03 November 2009, Mahkamah Konstitusi memperdengarkan rekaman yang berdurasi 4,5 jam dalam persidangan uji materil terhadap Judicial Review Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan pemutaran alat bukti rekaman yang berisi percakapan antara Anggodo Widjojo dengan sejumlah petinggi di Kejaksaan Agung dan Mabes Polri. Setelah selesai persidangan, sejumlah pihak meminta Kapolri dan Jaksa Agung mengundurkan diri sebagai bentuk dari pertanggung-jawaban, dan menuntut agar Susno Duaji segera dicopot dari jabatannya, desakan tersebut datang dari sejumlah aktivis di antaranya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang melakukan demonstrasi terhadap Kepolisian agar Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto dibebaskan sehingga karena banyaknya desakan agar Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto maka pada waktu itu juga penahanan ditangguhkan. Keduanya dikeluarkan dari tahanan pada dini hari waktu itu juga. Melihat hal seperti ini, Presiden meminta agar kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto diselesaikan di luar pengadilan (out of court settlement) walaupun pada saat itu,

29


(33)

Kejaksaan telah menyatakan bahwa Kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto telah P-21 (sudah lengkap dan siap untuk disidangkan), karena permintaan Presiden tersebut maka Kejaksaan menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP).30

Penghentian penuntutan yang dilakukan oleh Kejaksaan bukanlah hal yang pertama kali dilakukan karena sebelum adanya kasus ini, pernah dilakukan Penghentian Penuntutan dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) yang waktu itu diketuai oleh Jaksa Urip. Walaupun kemudian ditemukan bukti-bukti oleh KPK bahwa yang bersangkutan menghentikan perkara karena menerima suap sehingga dikeluarkannya Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3). Walaupun sebenarnya penghentian penyidikan ini bermasalah karena tidak sesuai dengan KUHAP.31

Penghentian penyidikan itu sendiri di dalam KUHAP dan berbagai peraturan perundang-undangan diatur sebagai berikut :

1. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP. SP3 dikeluarkan jika tidak terdapat cukup bukti, peristiwa itu bukan merupakan tindak pidana, atau dihentikan demi hukum. Merujuk KUHP dan doktrin yang dimaksudkan, jika perkara itu terkait seseorang yang tidak dapat dituntut lebih dari satu kali di depan pengadilan dengan perkara yang sama, kadaluwarsa, atau terdakwa meninggal dunia. Dalam kasus Chandra M.

30

Majalah Konstitusi, “Editorial: Jangan Melawan Kekuatan Rakyat”, Edisi 34 – November 2009, hal. 5.

31

Harian Waspada, “KPK Usut 35 Jaksa, Kasus Dugaan Suap Terkait BLBI Terus Dikembangkan”, diterbitkan Kamis, 06 Maret 2008.


(34)

Hamzah dan Bibit Samad Rianto, instrumen ini tidak mungkin lagi ditempuh karena proses perkara telah sampai ke Kejaksaan yang berarti sudah masuk ke proses penuntutan;

2. Penghentian Perkara dengan instrumen Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Alasan penghentian penuntutan sama persis dengan alasan penghentian penyidikan seperti uraian Poin 1 di atas;

3. Penghentian Perkara oleh Jaksa Agung melalui mekanisme Pasal 35 huruf c. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa : “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Hal ini merupakan asas oportunitas Jaksa Agung untuk tidak melakukan penuntutan suatu perkara pidana demi kepentingan umum. Asas ini adalah pengecualian dari asas legalitas dalam hukum acara pidana yang berarti setiap tindak pidana harus dituntut.

4. Penghentian Perkara dengan instrumen abolisi sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 1 Undang-Undang Drt. No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi, menyatakan bahwa : “Presiden atas kepentingan negara, dapat memberikan amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman dan Pasal 4 Undang-Undang Drt. No.


(35)

11 Tahun 1954, menyatakan bahwa : “Dengan pemberian abolisi, maka penuntutan terhadap orang-orang yang termasuk dalam Pasal 1 dan 2 ditiadakan”.

Penghentian penyidikan di dalam perkara Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto, dilakukan oleh Kejaksaan dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) atas permintaan Presiden yang meminta penyelesaian kasus ini dilakukan di luar pengadilan (out of court settlement). Padahal apabila dilihat dari kasusnya itu sendiri, maka sebenarnya kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto merupakan kasus biasa. Namun, penanganannya sangatlah luar biasa karena melibatkan semua elemen yang ada baik itu organisasi mahasiswa, organisasi masyarakat, LSM, media massa baik cetak maupun elektronik yang membentuk opini masyarakat. Bahkan dengan menggunakan institusi Negara, sehingga Presiden (lembaga Eksekutif) mengeluarkan fatwa seperti telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, Presiden juga sampai membentuk Tim Pencari Fakta (Tim Delapan) dengan melibatkan 2 (dua) akademisi non-hukum (Anis Baswedan dan Komarudin), yang lainnya adalah (Letjend. Koesparmono Irsan), satu politikus dari advokat (Amir Syamsudin) dan satu akademisi hukum yang menjadi penasihat hukum Presiden (Denny Indrayana), satu orang Wantimpres (Adnan Buyung Nasution), serta advokat senior (Todung Mulya Lubis).32

Harus diakui bahwa selama ini seakan-akan institusi penegak hukum, baik itu Kepolisian, Kejaksaan, dan Lembaga Peradilan maupun Advokat, semuanya

32

Harian Tribun, “Presiden Harus Selamatkan Institusi Kepolisian”, diterbitkan Minggu, 07 Oktober 2012.


(36)

mengungkap kejahatan dalam jeratan formalisme dogmatika hukum. Padahal saat ini kejahatan tidak hanya terjadi di tempat-tempat lazimnya terjadi kejahatan, begitupun dengan kejahatan tindak pidana korupsi.Bahkan sekarang ini, korupsi seakan-akan menjadi trendsetter yang biasa dilakukan terlebih bagi mereka yang memiliki kekuasaan baik swasta maupun pegawai negeri. Dari ruang lingkup yang terkecil hingga ruang lingkup yang terbesar, korupsi tampil dengan model dan gaya yang beranekaragam. Tindak pidana korupsi selalu berusaha menemukan tempat melalui pencitraan yang disengaja oleh kekuatan tertentu sehingga korupsi yang dilakukan tidak terlihat bahkan bila perlu dianggap sebagai bukan kejahatan atau disebut

simulasi kejahatan.33

Kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto tersebut tentunya merupakan preseden yang buruk dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Hal ini dikarenakan selain tidak adanya kepastian hukum kasus tersebut juga menunjukkan kepada dunia bagaimana tidak profesionalismenya aparat penegak hukum di Indonesia untuk menjalankan tugas dan wewenangnya. Perkara pidana didekati dengan political interest (kepentingan publik). Ranah hukum masih bisa diintervensi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Masyarakat (ORMAS), Media Massa yang justru bertentangan dengan prinsip-prinsip penegakan hukum yang harus mandiri dan independen, tapi justru dalam kasus ini proses hukum

33

Harian Media Indonesia, “Thomas Harming Suwarta: KPK Harus Selektif Tangani Kasus Korupsi”, diterbitkan Minggu, 23 September 2012.


(37)

dapat berubah hanya karena permintaan Presiden (lembaga eksekutif) dan atau desakan pihak tertentu.34

Pada tingkat seperti ini, benturan kepentingan antara profesionalisme dan ketaatan pada sistem dan atau atasan tidak dapat dihindarkan karena keduanya seakan-akan seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Secara teoritis komitmen memang berbeda dengan loyalitas, dimana loyalitas cenderung mengarah ke loyalitas mutlak dan berujung pada kecenderungan penguasa pimpinan untuk menyalahgunakan loyalitas tersebut (abuse of power).35 Oleh karena itu, pelaksanaan disiplin itu harus didasarkan pada persetujuan, kesadaran sebagai bagian dari integritas atau dedikasi dari rasa takut, dan didasarkan kepada komitmen dari loyalitas.36 Dewasa ini tidak ada batasan yang jelas antara kehidupan pribadi dan kehidupan pekerja sehingga seringkali jelas antara kehidupan pribadi dan kehidupan pekerja sehingga seringkali menimbulkan penyimpangan dengan melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).37

34

Tidak dapat dipungkiri bahwa kekuasaan para penegak hukum untuk menjalankan kepercayaan masyarakat, pasti akan sering berbenturan dengan kepentingan pribadi para penegak hukum. Justru dalam kondisi seperti itulah keluhuran penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenang mendapatkan tantangannya. Melacurkan profesi demi memenuhi desakan kebutuhan atau karena alasan keserakahan belaka, sama-sama merupakan kejahatan dan pelanggaran atas janji setia untuk melayani masyarakat. Para penegak hukum dalam menjalankan profesi luhurnya harus memiliki keberanian moral untuk senantiasa setia terhadap hati nuraninya dan menyatakan kesediaan untuk menanggung risiko konflik pribadi. Lihat : Febiana Rima dalam Ade Saptomo, et.al., Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta : Komisi Yudisial RI, 2012), hal. 104.

35

Agus Wijayanto, “Strategi Penegakan Hukum Disiplin Anggota Polri Guna Mewujudkan Good Governance dan Clean Government di Internal Polri Dalam Rangka Memantapkan Citra Polri”, (Semarang : Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2010), hal. 45.

36

Lihat : Pasal 1 angka 2, Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara.

37

Harian Kompas, “Muhammad Abdul : Penghentian Penyidikan dan Penyelesaian di Luar Pengadilan Dugaan Pemerasan dan Penyalahgunaan Wewenang”, diterbitkan Selasa, 15 Mei 2012.


(38)

Kesan yang muncul kemudian terhadap kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto adalah bentuk penyelesaiannya berdasarkan pendekatan politis bukan berdasarkan pendekatan hukum, karena secara kasat mata dapat dilihat bagaimana proses penegakan hukum dalam kasus tersebut telah diintervensi oleh kepentingan tertentu.38

KUHAP mengatur tentang aturan main (rule of the game). Penegakan hukum dan terhadap KUHAP sangat sedikit celah yang diberikan untuk melakukan penafsiran hukum (hanya diperbolehkan penafsiran gramatikal dan penafsiran sejarah) hal ini bertujuan agar tidak terjadi anarkisme hukum dan menjamin terciptanya kepastian hukum karena hanya dengan cara inilah sebenarnya hukum akan menjadi panglima dalam menciptakan keamanan dan ketertiban serta kesejahteraan masyarakat, bukan sebagai alat penguasa untuk mencapai suatu hal

Padahal terhadap posisi tersangka, ada asas nullum crimen sine poena legali yang artinya tiada kejahatan dapat dihukum sebelum diatur dalam undang-undang. Selain asas ini, seorang tersangka perkara pidana juga dapat memakai asas

fair trial yaitu minta diberlakukan pemeriksaan (Peradilan) yang berimbang. Sebagai seorang tersangka, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto bersama para Kuasa Hukumnya dapat menuntut adanya asas kesamaan orang di depan hukum atau

equality before the law.

38

Harian Kompas, “Daniel HT : Menengok Kembali Cicak vs. Buaya Jilid I, dan Menyaksikan Cicak vs. Buaya Jilid II (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)”, diterbitkan Selasa, 07 Agustus 2012.


(39)

tertentu dan atau tujuan tertentu, sehingga tidak diperbolehkan memberikan hukuman atau punishment terhadap seseorang tanpa melalui suatu persidangan.39

Dari uraian diatas, berupa akumulasi keprihatinan menyaksikan carut-marutnya penegakan hukum di Indonesia, penulis mencoba untuk menganalisis tentang kewenangan kejaksaan dalam penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan (SP3) ini dalam sebuah penelitian yang berjudul: “Analisis Yuridis Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Oleh Kejaksaan Dikaitkan Dengan Asas Oportunitas dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, selanjutnya dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kewenangan jaksa dalam penghentian penuntutan perkara pidana jika dikaitkan dengan asas oportunitas danUndang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia?

2. Bagaimanakah pengaturan asas oportunitas pada KUHAP dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia?

3. Bagaimanakah hambatan-hambatan yang dialami oleh jaksa dalam penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan?

39

Harian Kompas, “Muhammad Abdul : Penghentian Penyidikan dan Penyelesaian di Luar Pengadilan Dugaan Pemerasan dan Penyalahgunaan Wewenang”, Op.cit.


(40)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui kepastian hukum terkait penerbitan SP3 oleh Jaksa. Bertolak dari rumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini, antara lain :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan jaksa dalam penghentian penuntutan perkara pidana jika dikaitkan dengan asas oportunitas dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia; 2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan asas oportunitas pada

KUHAP dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia;

3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan-hambatan yang dialami oleh jaksa dalam penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu :

1. Secara Teoritis

Kegunaan Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi dan mendiskripsikan permasalahan yang timbul serta memberikan sumbangan pemikiran tentang formulasi hukum terkait dengan penghentian penuntutan, pelaksanaan kebijakan penghentian penuntutan perkara pidana, serta mengembangkan khasanah ilmu hukumkhususnya Sistem Peradilan Pidana (SPP).


(41)

2. Secara Praktis

Berkaitan dengan judul di atas, maka penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut:

a. Bagi pembaca, diharap dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan mengenai kewenangan kejaksaan yang salah satunya adalah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penuntutan (SP3).

b. Bagi lembaga pendidikan, dapat menjadi tambahan perbendaharaan kepustakaan.

c. Bagi peneliti berikutnya, penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dan masukan dalam melakukan penelitian berikutnya.

d. Bagi lembaga penegak hukum, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman dalam pelaksanaan kewenangan kejaksaan terkait dengan penghentian penuntutan perkara pidana.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Analisis Yuridis Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Oleh Kejaksaan Dikaitkan Dengan Asas Oportunitasdan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di lingkungan Universitas Sumatera Utara maupun perguruan tinggi lainnya dan penelitian ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari penelitian orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan


(42)

kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada penelitian yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

Namun untuk kajian mengenai Surat Perintah Penghentian Penuntutan dan Asas Oportunitas pernah dilakukan, yaitu :

1. “Pelaksanaan Kegiatan Lembaga Penuntutan Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Psikotropika di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara”, tesis ditulis oleh Sedia Ginting, pada 28 April 2008; dan

2. “Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, tesis ditulis oleh Hendar Rasyid Nasution, pada 08 Desember 2010.

Oleh karena itu, penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan apabila dikemudian hari ternyata terdapat bukti bahwasanya penelitian ini merupakan plagiat atau duplikasi dengan penelitian yang sudah ada sebelumnya.

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Teori dipergunakan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.40

40

J.J.M. Wuisman, M. Hisyam (Editor), Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), hal. 203.

Sedangkan kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran


(43)

atau butir-butir pendapat teori, tesis sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.41

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati.42

Suatu Negara akan mencapai keberhasilan pembangunan nasionalnya secara menyeluruh jika konsep penegakan hukum (law enforcement) dapat ditegakkan secara tepat dan benar. Menurut Bagir Manan, penegakan atau menegakkan hukum bukan hanya sebagai fungsi dan proses peradilan, apalagi sekedar fungsi dan proses di pengadilan. Secara keseluruhan, semestinya wajah penegakan hukum tidak hanya diukur dari wajah pengadilan, tetapi pada seluruh fungsi dan lembaga penegakan hukum. Selain pengadilan yang dianggap paling penting dan menentukan, sangatlah perlu untuk juga mengamati lembaga-lembaga penegak hukum di dalam dan luar proses peradilan di samping pengadilan. Pada proses di luar peradilan seperti keimigrasian, bea cukai, perpajakan, lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain.

Hal ini dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian hukum, maka kerangka teori diarahkan secara ilmu hukum dan mengarahkepada unsur hukum.

43

Menurut Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

41

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian,(Bandung: Mandar Madju, 1994), hal. 80.

42

Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hal 35.

43

Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa, (Jakarta: FH UII Press Yogyakarta, 2005), hal. 35.


(44)

kejahatan. Menanggulangi disini berarti untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. 44

Sistem Peradilan Pidana (SPP) pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pada dasarnya merupakan sistem kekuasaaan/kewenangan menegakkan hukum.45 Sistem peradilan pidana sebagai sistem pengendalian kejahatan yang teridiri dari lembaga-lembaga Kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Dalam penelitian ini yang menjadi perhatian adalah sub-sistem Kejaksaan yang salah satunya mempunyai kewenangan mencegah dan menangkal orang-orang tertentu untuk masukkedalam atau meninggalkan wilayah kekuasaan Negara Repubilk Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana.46

Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai penegak hukum, Kejaksaan tidak akan terlepas dari masalah yang mungkin terjadi. Soerjono Soekanto mengatakan :

“Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi, yaitu47

1. Faktor hukum sendiri

: 2. Faktor penegak hukum

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkanfaktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup”.

44

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan) dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1997), hal. 84.

45

Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana Terpadu Dalam Kaitannya Dengan Pembaruan Kejaksaan, (Jakarta: Media Hukum, 2002), hal. 27.

46

Lihat : Pasal 35 huruf f. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

47


(45)

Mengingat pencegahan dan penangkalan bersangkut paut dengan hak seseorang untuk bepergian, maka keputusan pencegahan dan penangkalan harus mencerminkan dan mengingat prinsip-prinsip Negara yang berdasarkan atas hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.48

Menurut Mardjono Reksodiputro,pada dasarnya setiap manusia memiliki hak-hak yang telah melekat pada dirinya sejak lahir, yang tidak dapat dicabut dan tidak boleh dilanggar. Tanpa hak-hak tersebut, seorang manusia tidak mempunyai martabat sebagai manusia. Hak-hak tersebut adalah Hak Asasi Manusia (HAM).49

Larangan adanya diskriminasi dalam pemberian jaminan atau perlindungan HAM ini dibatasi untuk keadaan-keadaan tertentu seperti yang diuraikan di dalam Pasal 29 ayat (2) Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia50

“Didalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasan setiap orang harus tunduk hanya kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penanaman nilai yang layak bagi hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk memnuhi syarat-syarat benar dari kesusilaan, tata tertib umum dalam suatu masyarakat demokrasi”.

:

Negara berperan memberikan jaminan dan perlindungan HAM secara pasti terhadap warga negaranya. Salah satu bentuk hak asasi manusia yang harus

48

Bagian Umum Penjelasan Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.

49

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi), (Jakarta: UI Press, 1999), hal. 7.

50

Menurut Muladi, hak-hak yang dapat dibatasi hanyalah hak-hak relatif (derogable rights), sendangkan hak-hak absolute (non derogable rights) seperti hak-hak untuk hidup, hak untuk tidak dalam hukum, kebebasan lain, tidak dapat dibatasi sekalipun negara dalam keadaan darurat. Sumber : Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana,(Semarang: Universitas Diponegoro, 2002), hal. xii.


(46)

dilindungi adalah hak kemerdekaan seorang warga negara. Penghargaan terhadap hak kemerdekaan seorang warga negara adalah penting, seperi pada saat seorang warga Negara menjadi tersangka atau terdakwa. Adanya pembatasan kemerdekaan membuat seseorang warga Negara mengalami penurunan status baik secara hukum maupun moral. Oleh karena itu untuk memberikan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia, hak-hak seseorang warga negara yang menjadi tersangka atau terdakwa harus diatur dalam suatu konstitusi.51

Berdasarkan uraian-uraian penjabaran diatas,maka adapun teori yang penulis gunakan didalam penelitian ini adalah Teori Penegakan Hukum dan Teori Keadilan.Menurut Lawrence M. Friedman, dalam sebuah sistem hukum terdapat tiga komponen yang saling mempengaruhi, yaitu struktur (structure), substansi (substance) dan budaya hukum (culture).

(Legal culture) the structure of legal system consists of elements of this kinds: the number and size of courts, their jurisdiction (that is what kind of cases they and how and why), and modes of appeal from one court to another .... another aspect of the legal system is its substance. By this is meant the actual rules, norm, and behavior patterns of people inside the system ... legal culture is meant people’s attitude toward law and the legal system-their beliefs, values, it is that part of the general culture which concerns the legal system.

Struktur hukum terdiri dari unsur-unsur jumlah dan ukuran pengadilan, yuridiksinya (yaitu jenis perkara dan mereka periksa dan bagaimana serta mengapa), serta cara banding dari suatu pengadilan ke pengadilan lain. Substansi hukum adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem tersebut, atau substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum tersebut, keputusan yang mereka keluarkan dan aturan baru yang mereka susun.

51

Lihat : Pasal 50 – 68, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


(47)

Sedangkan budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum tersebut, kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya. Atau dengan kata lain, budaya social adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum dipergunakan, dihindari atau disalahgunakan.52

Dari ketiga unsur di atas, menurut Friedman, unsur yang terpenting adalah unsur budaya hukum yang menjadi penggerak bagi bekerjanya sistem hukum tersebut. Dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP)Indonesia terdapat sistem – sub-sistem yang dipengaruhi oleh budaya hukum yang ada dalam sub-sistem tersebut. Sub-sistem yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan secara keseluruhan bekerjasama membentuk Suatu Sistem Peradilan Pidana Terpadu atau integrated criminal justice administration.53

Teori Keadilan menurut John Stuart Mill dalam bukunya Utilitarianism, mengatakan bahwa : “Keadilan bukan hanya berisi apa yang benar untuk dilakukan atau tidak benar untuk dilakukan, namun juga sesuatu yang memperbolehkan orang lain mengklaim dari kita sesuatu sebagai hak moralnya”.

sistem ini berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang menjadi tujuan Sistem Peradilan Pidana.

54

52

Lawrence M. Friedman, American Law and Introduction, Edisi Kedua, (New York: W.W Norton & Company, 1998), diterjemahkan oleh Wisnu Basuki, Hukum Amerika, Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 7-9.

Apa yang membedakan keadilan adalah konsep mengenai hak atau klaim itu sendiri.Darimana datangnya perasaan khusus yang melekat pada keadilan atau yang dimunculkan oleh kasus-kasus ketidakadilan. Menurut Mill, “sentimen keadilan” adalah “hasrat hewani untuk

53

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Op.cit., hal. 85.

54

Mill, Utilitarianism dalam Karen Lebacqz, Teori-Teori Keadilan,(Bandung:Nusa Media,1986), Hal 21.


(48)

menolak atau membalas sebuah rasa sakit atau kerusakan” yang menimpa dirinya atau orang lain.55

Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk direalisasikan. Banyak peristiwa dalam kehidupan masyarakat menunjukan bahwa kedua hal tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius.56

Menurut Muladi, tujuan Sistem Peradilan Pidana tersebut dapat dibedakan menjadi 3(tiga), yaitu :

1. “Tujuan jangka pendek berupa resosialisasi pelaku tindak pidana; 2. Tujuan jangka menengah berupa pengendalian kejahatan; dan 3. Tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial”.57

Jadi dalam Sistem Peradilan Pidana yang terpadu, peranan kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana khususnya dalam penghentian penuntutan, tidak dapat dipisahkan dengan sub-sistem lainnya.

Pelaksanaan kekuasaan negara pada bidang penuntutan diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, dan Cabang Kejaksaan Negeri. Dengan demikian, kedudukan kejaksaan dalam peradilan pidana bersifat menentukan karena merupakan jembatan yang menghubungkan tahap penyidikan dengan tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Berdasarkan peraturan yang berlaku

55 Ibid. 56

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 24.

57


(49)

di Indonesia, setiap orang baru bisa diadili jika ada tuntutan pidana dari Penuntut Umum.

Dalam melakukan penuntutan, jaksa bertindak untuk dan atas nama negara, sehingga jaksa harus bisa menampung seluruh kepentingan masyarakat, negara, dan korban kejahatan agar bisa dicapai rasa keadilan masyarakat. Hampir di setiap yurisdiksi, jaksa itu merupakan tokoh utama dalam penyelenggaraan peradilan pidana karena jaksa memainkan peranan penting dalam proses pembuatan keputusan pengadilan. Bahkan, di negara-negara yang memberi wewenang kepada jaksa untuk melakukan penyidikan sendiri, jaksa tetap memiliki kebijakan (diskresi) penuntutan yang luas. Jaksa memiliki kekuasaan yang luas, apakah suatu perkara akan dilakukan penuntutan ke pengadilan atau tidak. Kedudukan jaksa yang demikian penting itu, oleh Harmuth Horstkotte, seorang Hakim Tinggi Federasi Jerman, memberikan julukan kepada jaksa sebagai bosnya proses perkara (master of the procedure), sepanjang perkaranya itu tidak diajukan ke muka pengadilan.58

Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa jaksa dengan berbagai sistem penuntutan tidak tertutup kemungkinan untuk mengambil kebijakan (diskresi) dalam menyelesaikan perkara. Kedudukan jaksa di berbagai yurisdiksi sebenarnya jaksa itu “setengah hakim” (semi-judge) atau seorang “hakim semu” (quasijudicial officer). Itulah sebabnya jaksa boleh mencabut dakwaan atau menghentikan proses perkara, bahkan diskresi putusan berupa tindakan penghentian penuntutan, penyampingan perkara, dan transaksi.Fungsi yuridis semu jaksa itu berasal dari peran dan fungsi

58

R.M. Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6-7.


(50)

jaksa yang bersifat ganda karena sebagai jaksa: “Mempunyai kekuasaan dan wewenang yang berfungsi sebagai administrator dalam penegakan hukum yang merupakan fungsi eksekutif, sementara itu ia harus membuat putusan-putusan agak bersifat yustisial yang menentukan hasil suatu perkara pidana, bahkan hasilnya final”.59

Menurut Stanley Z. Fisher, sebagai penegak hukum, jaksa bertugas menuntut yang bersalah; menghindarkan keterlambatan dan tunggakan-tunggakan perkara yang tidak perlu terjadi; karena jaksa mempunyai kedudukan sebagai pengacara masyarakat yang penuh antusias. Berdasarkan kedudukan jaksa sebagai pengacara masyarakat tersebut, ia akan senantiasa mengusahakan jumlah penghukuman oleh hakim yang sebanyak-banyaknya sementara sebagai ”setengah hakim” atau sebagai ”hakim semu”, jaksa juga harus melindungi yang tidak bersalah dan mempertimbangkan hak-hak tersangka. Untuk melakukan tugas-tugas tersebut, jaksa diberi wewenang menghentikan proses perkara sehingga jaksa harus berperilaku sebagai seorang pejabat yang berorientasi pada hukum acara pidana dan memiliki moral pribadi yang tinggi sekali.60

2. Kerangka Konsep

Selanjutnya, untuk menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka berikut akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah sebagai berikut:

59

Ibid., hal. 11.

60


(51)

a. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang;61

b. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim;62

c. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan;63

d. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan;64

e. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta

61

Lihat : Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

62

Lihat : Pasal 1 angka 2, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

63

Lihat : Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

64

Lihat : Pasal 1 angka 3, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.


(52)

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya;65

f. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang;66

g. Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) adalah surat perintah yang dikeluarkan oleh Kejaksaan apabila hasil penyidikan yang dilimpahkan ke Penuntut Umum, ternyata dapat dibuktikan perbuatan tersangka dalam peristiwa hukumnya bukan merupakan tindak pidana;67

h. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) adalah merupakan surat pemberitahuan dari Penyidik kepada Penuntut Umum bahwa perkara dihentikan penyidikannya. Penghentian penyidikan merupakan salah satu dari kewenangan Penyidik;68

65

Lihat : Pasal 1 angka 2, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

66

Lihat : Pasal 1 angka 5, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

67

Osman Simanjuntak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1995), hal. 86. Lihat juga : M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Bagian Penyidikan dan Penuntutan), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 426.

68

Lihat : Pasal 109 ayat (2), Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, menyatakan bahwa : “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya”.


(53)

i. Asas oportunitas adalah suatu asas yang menyatakan agar tidak menuntut terhadap satu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan kepentingan umum.69

G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian

Sesuai dengan tujuannya, penelitian ini bersifat deskriptif-analitis,yaitu untuk menggambarkan, menganalisa, menelaah, dan menjelaskan secaraanalisis berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan.70

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatanyuridis normatif yang mengutamakan tinjauan dari segi peraturan hukumyang berlaku serta data-data maupun dokumen-dokumen yang mempunyaikaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

Penelitian ini menggambarkan sejauh mana peraturan perundang-undanganmengatur penghentian penuntutan, berguna sebagai rambubagi para jaksa dalam menjalankan jabatannya.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dalam melakukan pengkajian penerbitan SP3 oleh Kejaksaan dikaitkan dengan asas oportunitas dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

69

M.Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hal. 65

70

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 38


(54)

Indonesia. Pendekatan tersebut berkaitan dengan pendekatan dilakukan dengan menggunakan teori hukum murni yang berupaya membatasi pengertian hukum pada bidang-bidang hukum saja, bukan karena hukum itu mengabaikan atau memungkiri pengertian-pengertian yang berkaitan, melainkan karena pendekatan seperti ini menghindari pencampuradukan berbagai disiplin ilmu yang berlainan metodologi (sinkretisme metodologi) yang mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan batas-batas yang ditetapkan pada hukum itu oleh sifat pokok bahasanya.71

3. Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang menggunakan data sekunder72yang terdiri bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.73

a. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah pengaturan tentang penghentian penuntutan beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya, antara lain :

Adapun sumber bahan hukum tersebut, yaitu :

1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;

71

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, (Bandung : Nusamedia & Nuansa, Cet. III, 2007).

72

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 13-14.

73


(55)

3) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia;

4) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

5) Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Perkara No. 76/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

6) Keputusan Jaksa Agung No. KEP-518/A/J.A/11/2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung No. KEP-132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana;

b. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari ahli hukum di bidang penuntutan.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.Contohnya : kamus hukum.

Selain sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, dalam penelitian ini juga digunakan bahan-bahan non-hukum yang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Misalnya : berupa buku, hasil penelitian, dan jurnal-jurnal mengenai kewenangan kejaksaan dalam penghentian penuntutan perkara tindak


(56)

pidana. Penggunaan bahan-bahan non-hukum ini dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan.74

4. Alat Pengumpulan Data

Alat yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini hanya melakukan, studi dokumen, yaitu mempelajari dan memahami bahan pustaka yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi pustaka ini tersedia, baik diperpustakaan, perkumpulan, organisasi, instansi, dan juga yang ada di masyarakat namun sifatnya tertulis.

5. Analisis Data

Penelitian ini dimulai dengan dilakukannya pemeriksaan terhadap data yang terkumpul. Data primer (undang-undang) dan sekunder (buku-buku dan tulisan), juga yang berasal dari narasumber, diperoleh akan dianalisis dengan metode kualitatif sehingga dapat ditarik kesimpulan dengan cara deduktif induktif dan diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, setelah dibaca, dipelajari, ditelaah, maka langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi.75

74

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,(Jakarta: Kencana, 2005), hal. 143, 163dan 164.

Langkah selanjutnya adalah menyusun rangkuman dalam abstraksi tersebut dalam satuan-satuan, yang mana satuan-satuan ini kemudian dikategorisasikan. Data yang telah

75


(57)

dikategorisasikan, kemudian ditafsirkan dengan cara mengolah hasil sementara menjadi teori, substantif. Tahap terakhir, penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berpikir induktif dan deduktif.


(1)

Reksodiputro, Mardjono., Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi),Jakarta: UI Press, 1999.

---., Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan) dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1997.

Santoso, Topo., “Studi Tentang Hubungan Polisi dan Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”,Jakarta: Tesis, Fakultas Hukum Indonesia, 1999.

Saptomo, Ade., et.al., Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia,Jakarta : Komisi Yudisial RI, 2012.

Silalahi, Tumpak., dan Tevy Chawwa, “Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices Dring Financial Crisis”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Vol. 14, No. 02, Oktober 2011.

Simanjuntak, Osman., Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1995.

Soekanto, Soerjono., dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Soekanto, Soerjono., Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.

---., Penegakan Hukum, Jakarta: Binacipta, 1983.

---., Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 2006.

---., Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. Pertama, Jakarta: Rajawali, 1980.

Soesastro, Hadi., et.al., (Editor), Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia Dalam Setengah Abad Terakhir : Buku 5 (1997-2005) Krisis dan Pemulihan Ekonomi, Cet. I, Yogyakarta : Kanisius, 2005.


(2)

Sokonagoro, Rahmat Setiabudi., “Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana”, Yogyakarta : Bagian Hukum & Bagian TIT, Pemerintah Kota Yogyakarta, 2011.

Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramitha, 1971.

Sucipto, Mahendra., Transkrip Rahasia Hasil Sadapan KPK (Membongkar Modus Operandi Para Makelar Kasus), Yogyakarta: Narasi, 2009.

Sunggono, Bambang., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997

Surachman, R.M., dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara Peranan dan Kedudukannya, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

Tim Humanika, BLBI : Mega Skandal Ekonomi Indonesia, Cet. I, Jakarta : Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (HUMANIKA), 2001.

Warasih, Esmi., Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: Suryandaru Utama, 2005.

Wijayanto, Agus., “Strategi Penegakan Hukum Disiplin Anggota Polri Guna Mewujudkan Good Governance dan Clean Government di Internal Polri Dalam Rangka Memantapkan Citra Polri”, Semarang : Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2010. Wuisman, J.J.M., M. Hisyam (Editor), Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas,

Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996.

Yuntho, Emerson., dan Muji Rahayu, “Position Paper : Penyelesaian Hukum Kasus BLBI”, Indonesia Corruption Watch (ICW), 2006.

Yuwono, Ismantoro Dwi., Kisah Para Markus : Menelusuri Sepak Terjang Aktor Kejahatan Jual-Beli Kasus, Cet. I, Yogyakarta : Medpress, 2010.

Internet

Iswano, Abdurrahman., “Refomrasi Kejaksaan: Catatan yang Terlupakan”, 2012.


(3)

Mansyur, M. Ali., “Pranata Hukum dan Penegakannya di Indonesia”,

Tampubolon, David., “Polemik Pemanfaatan Asas Oportunitas”,

http://www.komisihukum.go.id.article., diakses pada 25 Februari 2012.

Media Massa

Harian Jurnal Nasional, “Soal Kasus Sandal Jepit, Kejagung Hanya Berharap Bisa Segera Tuntas”, diterbitkan Selasa, 03 Januari 2012.

Harian Kompas, “Kronologi Lengkap: Dari Anggoro, Bibit-Chandra Lalu ke Susno”, diterbitkan Kamis, 05 November 2009.

---., “Muhammad Abduh: Penghentian Penyidikan Tindak Pidana dan Penyelesaian di Luar Pengadilan Dugaan Pemerasan dan Penyalahgunaan Wewenang”, diterbitkan Selasa, 15 Mei 2012.

---., “Rubrik Opini : Deponeering Kasus Bibit & Chandra”, diterbitkan Kamis, 18 Oktober 2012.

---., “Muhammad Abdul : Penghentian Penyidikan dan Penyelesaian di Luar Pengadilan Dugaan Pemerasan dan Penyalahgunaan Wewenang”, diterbitkan Selasa, 15 Mei 2012.

---., “Daniel HT : Menengok Kembali Cicak vs. Buaya Jilid I, dan Menyaksikan Cicak vs. Buaya Jilid II (Bagian Pertma dari Dua Tulisan)”, diterbitkan Selasa, 07 Agustus 2012.

---., “BI Sulit Ambil Langkah Darurat”, diterbitkan Jum’at, 11 April 2008.

---., “GEMPUR Tuntut Penyelesaian BLBI Oleh DPR”, diterbitkan Jum’at, 25 Januari 2008.

Harian Koran Demokrasi Indonesia, “Susno Duaji: Sang Jenderal Kontroversial Ditangkap di Bandara”, diterbitkan Selasa, 13 April 2010.

Harian Media Indonesia, “Thomas Harming Suwarta: KPK Harus Selektif Tangani Kasus Korupsi”, diterbitkan Minggu, 23 September 2012.


(4)

---., diterbitkan Selasa, 16 Mei 2006/No.9276/Tahun XXXVII. Harian Republika, “Kejaksaan : Tak Ada Dokumen BLBI Hilang”, diterbitkan Sabtu,

07 Februari 2009.

Harian Sindo, “Usut BLBI, Ormas Islam Beri Penghargaan 7 Fraksi”, diterbitkan Senin, 21 Januari 2008.

---., “Gugatan Praperadilan SP3 BLBI Resmi Disidangkan”, diterbitkan Senin, 28 April 2008.

Harian Solopos, “Tuntut Korupsi Diberantas dan Perhatian Bagi Tukang Becak Makam Haji, Warga Datangi DPRD”, diterbitkan Rabu, 17 Oktober 2012. Harian Suara Merdeka, “Bibit-Chandra Tunggu Keppres Aktif di KPK”, diterbitkan

Rabu, 02 Desember 2009.

---., “Tokoh Antikorupsi Romli Artasasmita Ditahan”, diterbitkan Senin, 10 November 2008.

Harian Tribun, “Kronologi Perjalanan Bibit-Chandra Jadi Tersangka Lagi”, diterbitkan Jum’at, 08 Oktober 2010.

---., “Presiden Harus Selamatkan Institusi Kepolisian”, diterbitkan Minggu, 07 Oktober 2012.

Harian Waspada, “KPK Usut 35 Jaksa, Kasus Dugaan Suap Terkait BLBI Terus Dikembangkan”, diterbitkan Kamis, 06 Maret 2008.

---., “Catatan Peristiwa Penting Maret 2008”, diterbitkan Rabu, 02 April 2008.

Kantor Berita Antara, “Kalangan Parlemen Kaget Testimoni Antasari Azhar”, diterbitkan Sabtu, 11 Agustus 2012.

---., “PN Jaksel Tolak Permohonan Praperadilan SP3 Korupsi DPRD Sukoharjo”, diterbitkan Selasa, 01 Mei 2007.

---., “KPK Belum Temukan Kaitan Sjamsul Nursalim Dengan Arthalita”, diterbitkan Selasa, 04 Maret 2008.

Majalah Konstitusi, “Editorial: Jangan Melawan Kekuatan Rakyat”, Edisi 34 – November 2009.


(5)

Majalah Tempo, “Kaharudin Ongko Ditahan Kejagung”, diterbitkan Kamis, 22 Maret 2001.

Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Pengadilan

Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.

Keputusan Jaksa Agung No. KEP-132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana.

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258.

Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara.

Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 16/PUU-X/2012.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209.

Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3474.

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168.

Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316.


(6)

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401.

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076.